Sunday, April 26, 2015

Khawarij menurut Syaikh Ibnu Taimiyah (2/3) : Beberapa Perilaku Khawarij, Antara Bughat dan Khawarij

Syaikh Ibnu Taimiyah menunjukkan beberapa perilaku Khawarij dan ibadah mereka. Sadar atau tidak, perilaku ini bisa jadi dilakukan oleh seseorang atau kelompok tertentu.  Agar tidak terjerumus kepada perilaku ini, hendaknya setiap Muslim mengetahui bagaimana sikap mereka.
Dua Perangai Khawarij yang Paling Buruk
Ada dua karateristik yang masyhur dan menyebabkan kelompok Khawarij memisahkan diri dari jamaah kaum muslimin dan para pemimpin mereka. Yaitu,pertama: keluarnya mereka dari petunjuk sunnah dan menjadikan sesuatu yang baik menjadi buruk atau yang buruk menjadi baik. Fenomena ini pernah terjadi di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu ketika Dzu Khuwaisiroh berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Berlaku adillah karena engkau tidak adil,’ sehingga Rasulllah bersabda, ‘Celaka kamu, adakah yang lebih adil jika saya tidak berbuat adil? Sungguh keji dan merugi jika aku tidak berlaku adil,’ pernyataan bahwa ‘engkau tdak adil’ muncul dari lisannya karena melihat perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang terlihat bodoh atau meninggalkan sisi keadilan. Lantas ia pun berkata ‘berlaku adillah’, ia memerintah kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk melakukan sesuatu yang dipandangnya baik dalam hal pembagian.
Sifat ini yang mencakup juga perkara bid’ah lain yang menyelisihi sunnah, sehingga orang yang mengatakan itu sedang menetapkan sesuatu yang dihilangkan oleh sunnah atau menghilangkan sesuatau yang ditetapkan sunnah, menganggap baik sesuatu yang buruk menurut sunnah atau menganggap buruk sesuatu yang baik menurut sunnah.
Kedua, Mereka mengafirkan pelaku dosa besar, sehingga dari sini mereka menghalalkan darah kaum muslimin dan harta mereka serta menganggap negara Islam sebagai negara perang sementara wilayah mereka dianggap sebagai wilayah iman (Darul Iman).
Maka hendaklah seorang muslim menghindari dua perkara buruk tersebut atau dampak lain dari keyakinan tersebut terhadap kaum muslimin, seperti mencela dan melaknat mereka serta menghalalkan darah atau harta mereka. Dua keyakinan ini sangat bertentangan dengan prinsip ahlussunnah dan barangsiapa yang menyelisihi sunnah dan mengafirkan kaum muslimin karena perbuatan dosa, maka dia membelot dari jamaah.
Pada umumnya perbuatan bid’ah muncul karena dua hal. Pertama; melakukan ta’wil atau qiyas fasid. Baik karena hadits yang sampai kepadanya tidak shahih atau atsar dari selain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diyakininya benar tapi tidak jelas siapa yang berkata. Atau karena menta’wilkan ayat Al-Qur’an dan hadits dengan ta’wil yang salah. Atau juga karena melakukan qiyas suatu perkara dengan qiyas fasid. Hal inilah yang menyebabkan awal menyimpangnya kelompok Filsafat, Tasawuf atau kelompok-kelompok sesat yang lain.
Kelompok Khawarij menyelisihi sunnah yang diperintahkan dalam Al-Qur’an untuk mengikutinya dan mengafirkan kaum muslimin yang diperintahkan di dalam Al-Qur’an untuk bersikap wala’ kepada mereka. Oleh karena itu, Saad Bin Abi Waqos menafsirkan bahwa khawarij adalah orang yang diceritakan oleh Allah dalam surat al-Baqarah ayat 26-27–
‘….Dan tidak ada yang disesatkan Allah kecuali orang-orang yang fasik. (yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi…”(QS. Al-Baqaroh: 26-27)
Oleh karena itu, Saad bin Abi Waqash menyebut Khawarij dengan fasik karena sesat dalam memahami Al-Qur’an. (lihat Majmu’ Fatawa, 16/588)
Dalam hadits Abi Said, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut suatu kaum yang muncul pada umatnya ‘mereka keluar ketika terjadi perpecahan di antara manusia. Tanda mereka adalah gundul. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk atau bagian dari makhluk yang buruk, (kelompok) yang memerangi mereka adalah yang paling dekat dengan kebenaran.’ Tanda ini adalah tanda generasi awal mereka (khawarij) sebagaimana Dzu Tsadiyah, karena sifat tersebut telah lazim pada diri mereka.” (majmu fatawa, 28/497)
Dalam pernyataan ini, Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa ciri khas gundul tidak menjadi tanda mereka pada setiap masa, akan tetapi itu hanya tanda Khawarij ketika awal kemunculannya.
Ibnu Taimiyah berkata, “Para ulama telah sepakat tentang wajibnya memerangi kelompok khawarij, Rafidhah dan kelompok-kelompok lain yang keluar dari jamaah kaum muslimin.”
Sikap Meraka dalam Bermanhaj
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Khawarij adalah kelompok manusia yang paling berhati-hati dalam perkara dosa dan berlepas diri dari pelakunya. Sehingga mereka mengafirkan seseorang karena perbuatan dosa dan tidak melakukannya jika mereka terjebak dosa. Oleh karena itu, setiap yang melakukan tobat di hadapan mereka maka akan dihormati dan ditaati, sedangkan mereka yang tidak mau bertobat maka akan dimusuhi karena dianggap masih melakukan dosa walaupun itu pada hakikatnya bukan perkara dosa.” (Minhaju Sunnah. 2/408)
“Ahlu bid’ah seperti Khawarij menciptakan bid’ah dan mengafirkan setiap orang yang menyelisihi mereka dan menghalalkan darahnya.” (Fatawa Qubra, 6/336)
“Ajaran Khawarij yang paling besar adalah memecah belah jamaah kaum muslimin, menghalalkan darah dan harta mereka.” (Majmu’ Fatawa 13/209)
Fenomena ini sudah sangat jelas terdapat pada kelompok Khawarij masa ini, mereka memecah belah kelompok kaum muslimin, memisahkan mereka, kemudian menghalalkan darah dan harta mereka.
“Mereka menghalalkan darah kaum muslimin karena diyakini telah murtad itu lebih banyak daripada mereka membunuh orang kafir yang bukan karena murtad (kafir asli),” (Majmu’ Fatawa, 28/479)
Bentuk Pengamalan Ibadah Menurut Khawarij
Ibnu Taimiyah berkata, “Tidak diragukan bahwa orang Khawarij sangat wara dan cukup bersungguh-sungguh dalam beribadah yang tidak bisa ditandingi oleh para sahabat—sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam—namun ketika melihat sesuatu yang tidak sesuai dengan syariat, maka mereka akan keluar dari agama.” (Al-Istiqomah, 1/258)
Beliau melanjutkan, “Di antara sifat mereka adalah—sebagaimana hadits Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam‘Salah seorang kalian meremehkan shalatnya di hadapan shalat mereka, puasanya di hadapan puasa mereka, dan bacaannya di hadapan bacaan mereka, mereka membaca Al-Qur’an (akan tetapi) tidak melampaui tenggorokan mereka, mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah keluar (saat menembus) sasarannya. Di mana saja kalian menemui mereka maka bunuhlah mereka karena sesungguhnya membunuh mereka ada pahalanya pada hari kiamat dan seandainya saya mendapati mereka, maka saya akan membunuh mereka sebagaimana pembunuhan kaum ‘Ad.’ Mereka diperangi oleh Ali bin Abi Thalib dan para sahabat yang bersamanya demikian juga para ulama salaf telah bersepakat untuk memerangi mereka, dan tidak ada satu pun di antara mereka yang menyelisihi kesepakatan tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 28/512)
Sebagian orang terheran-heran dengan ibadah orang Khawarij dan apa yang mereka tampakkan—menipu—begitu juga dengan apa yang dibangga-banggakan oleh Khawarij terhadap diri mereka.
Bahkan muslim sunni pun lebih rendah jika dibandingkan dengan ibadah Khawarij, namun itu semua tidak menutupi keadaan perangai mereka yang keluar dari ketentuan sunnah, sehingga yang diperintahkan kepada kita adalah memerangi mereka karena kerusakan yang ditimbulkan oleh mereka.
Sikap Wara’ dalam Pandangan Khawarij
Khawarij, Rafidhah, Mu’tazilah dan kelompok-kelompok lain yang semisal memiliki sikap wara’ yang cukup besar dalam menjaga diri dari kezaliman dan dari segala amalan yang mereka yakini sebagai bentuk kezaliman jika bercampur baur dengan kezaliman tersebut. Sehingga mereka rela meninggalkan kewajiban yang lebih utama, seperti shalat Jum’at, berjamaah, haji, jihad, menasihati sesama mukmin, berlaku rahmah terhadap mereka. Namun sikap wara’ seperti ini diingkari oleh para ulama seperti imam yang empat, sehingga mereka merasa dirinya berakidah ahlusunnah wal jamaah.”
Dari Ibnu Mas’ud, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hancurlah al-Mutanattiun (orang yang memberatkan diri bukan pada tempatnya), beliau mengulangnya sebanyak 3 kali.” (HR. Muslim). Sikap wara’ ahlu bid’ah yang seperti itu sangat banyak sekali contohnya.
Oleh karena itu orang Islam harus memperdalam ilmu Al-Qur’an dan As-Sunnah karena kalau tidak, sikap wara’nya hanya membawa kepada kerusakan yang lebih besar sebagaimana yang dilakukan oleh orang kafir, ahlu bid’ah dari Khawarij dan Rafidhah serta kelompok sesat lainnya.
Tidak diragukan bahwa orang Khawarij adalah orang yang sangat bersungguh-sungguh dalam beribadah dan bersikap wara’, di mana para sahabat tidak ada yang bisa menandingi mereka—sebagaimana yang disebutkan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam—namun ketika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan petunjuk syari maka dia akan keluar dari agamanya,” (Al-Istiqamah, 1/258)
Syaikh Ibnu Taimiyah ditanya tentang bughat dan Khawarij, apakah kedua kata itu memiliki makna yang sama? atau apakah keduanya berbeda? Apakah syariat juga membedakan antara keduanya dalam menanggapi hukum yang berkaitan dengan keduanya? Kemudian ada yang mengklaim bahwa para ulama telah bersepakat tentang tidak ada perbedaan di antara mereka kecuali pada namanya saja, lantas klaim ini dibantah dengan dalil bahwa amirul mukminin Ali bin Abi Thalib berbeda dengan Ahlu Syam dan penduduk Nahrawan. Manakah yang benar?
Ibnu Tamiyah menjawab, “Penyataan bahwa ‘para ulama sepakat tentang tidak adanya perbedaan antara keduanya kecuali hanya pada namanya saja’ adalah klaim yang batil dan sangat ceroboh dalam mengeluarkan pendapat. Karena yang membedakan kedua hal tersebut adalah para ulama dari mazhab Abu Hanifah, Syafi’i, Ahmad dan lain-lain.
Sebagaimana banyaknya penulis kitab tentang ‘Memerangi Ahlu Bughat’ yang menjadikan pembahasan perang Abu Bakar terhadap orang yang menolak zakat, perangnya Ali terhadap orang Khawarij, perangnya dalam peristiwa Jamal dan Shiffin dan perang-perang lain terhadap mereka yang menisbatkan diri kepada Islam, termasuk dalam satu bab ‘Perang Terhadap Ahlu Bughat’
Kemudian mereka juga bersepakat bahwa perang yang dilakukan oleh Thalhah, Zubair, dan sahabat-sahabat lainnya tidak boleh dihukumi kafir atau fasik, akan tetapi mereka adalah mujtahid yang kadangkala benar dan kadang juga salah dan dosa mereka telah diampuni. Sehingga istilah bughat tidak bisa digeneralisir sebagai orang fasik semuanya.
Karena kalau mereka menganggap semuanya sama, maka tidak ada bedanya menjadikan Khawarij dan orang yang berperang karena landasan ijtihad masuk dalam satu katagori. Oleh karena itu, sebagian kelompok menghukumi ahlu bughat seluruhnya fasik. Sementara ahlusunnah bersepakat atas keadilan para sahabat dan jumhur ulama juga membedakan antara Khawarij Mariqin dan mereka yang ikut dalam perang Jamal dan Shiffin—yang dikatagorikan sebagai ahlu bughot yang melakukan berperang karena salah ta’wil— pendapat inilah yang dikenal di kalangan para sahabat, ahlu hadits, fuqoha dan para ulama yang mengikuti mereka dari Mazhab Maliki, Ahmad, Imam Syafi’i dan lain-lain.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
تمرق مارقة على حين فرقة من المسلمين تقتلهم أولى الطائفتين بالحق
“Akan muncul sebagian orang yang keluar memisahkan diri ketika terjadi perpecahan kaum muslimin dan orang yang memerangi mereka adalah kelompok yang lebih dekat dengan kebenaran.” (HR. Muslim-Abu Daud)
Hadits ini menyebutkan tiga kelompok dan menjelaskan bahwa al-Mariqin (Khawarij) termasuk kelompok ketiga yang bukan bagian dari kelompok para sahabat. Maka kelompok Ali lebih dekat dengan kebenaran daripada kelompok Muawiyah.
Para ulama sepakat dalam memerangi Khawarij, sementara yang ikut dalam perang Jamal atau Siffin di antara mereka ada yang berperang atas dasar tersebut. Namun kebanyakan tokoh sahabat memilih untuk tidak terlibat dalam perperangan. Mereka berdalil dengan hadits Nabi yang memerintahkan untuk menghindari perperangan dalam masa fitnah, dan mereka berkesimpulan bahwa perang tersebut adalah perang fitnah.
Adapun Ali bin Abi Thalib sangat bergembira ketika berhasil memerangi Khawarij, karena beliau telah meriwayatkan hadits dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkan untuk memerangi mereka, sementara tentang perperangan Shiffin tidak ada dalil yang beliau pegang. Sehingga sebagian orang bersyukur karena tidak terlibat dalam perperangan.
Barang siapa yang menyamakan antara perang terhadap Khawarij yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib dengan perperangan Jamal dan Shiffin, maka perkataan tersebut adalah bagian dari perkataan orang jahil dan zalim, dia bagian dari Rafidhah dan Mu’tazilah yang mengafirkan atau mengatakan fasik kepada siapa saja yang melancarkan perang dalam peristiwa Jamal dan Shiffin. Dan Nabi juga telah memerintahkan untuk memerangi Khawarij sebelum kaum muslimin diperangi oleh mereka.
Sementara ahlu bughat peperangan bukanlah pilihan pertama dalam menyikapi mereka.
“Apabila dua kelompok dari kaum mukminin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Apabila salah satu diantara mereka melampaui batas, maka perangilah yang melampaui batas itu sampai dia kembali kepada perintah Alloh. Jika kelompok itu telah kembali, maka damaikanlah antara mereka dengan adil Berlaku adillah, sesungguhnya Alloh mencintai orang-orang yang berlaku adil.” (Al-Hujurat: 9)
Pilihan pertama bukanlah perang, namun ketika mereka saling memerangi, perintah pertama adalah melakukan Islah (damai) di antara mereka, kalau salah satu di antara mereka membangkang maka dibunuh. Inilah yang disebutkan oleh para fuqaha, “Orang yang melampaui batas (bughat) tidak diawali dengan memerangi mereka sampai mereka memulai perperangan.”
Sementara tentang Khawarij, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di mana pun kalian menjumpai mereka, maka bunuhlah karena membunuh mereka akan menjadi pahala di hari kiamat.” Beliau juga bersabda, “Seandainya saya mendapati mereka maka akan saya akan membunuh sebagaimana pembunuhan kaum’Ad.” (lihat Fatawa Kubra, 3/443)
Penyusun: Fahrudin, diinspirasi dari tulisan Syaikh Abu Hasan Al-Kuwaiti yang berjudul “Khawarij ‘inda Ibni Taimiyah”