Sunday, April 26, 2015

Khawarij menurut Syaikh Ibnu Taimiyah (3/3) : Beberapa Permasalahan dan Hukum Seputar Khawarij

Ada 8 Bahasan yang sering dipertanyakan terkait dengan Khawarij. Dalam hal ini, Syaikh Ibnu Taimiyah telah menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dalam kumpulan fatwanya.
1. Apakah Boleh Memulai Perang terhadap Khawarij?
Syaikh Ibnu Taimiyah, “(Ali bin Abi Thalib) memulai perang terhadap Khawarij atau mengusir mereka secara kesluruhan dan jumhur ulama membedakan antara Khawarij, ahlu bughat dan mereka yang melakukan ta’wil dan ini diketahui di kalangan para sahabat dan mayoritas penulis kitab…ahlu hadits sepakat untuk memerangi orang yang keluar dari syariat seperti kelompok Haruriah atau kelompok lain yang seperti mereka, dan ini hukumnya wajib. (Fatawa Kubra, 5/568)
Adapun kelompok Khawarij, orang yang tidak mau membayar zakat dan penduduk Thaif yang tidak mengharamkan riba, mereka diperangi sampai mereka itu mau kembali menaati syariat yang telah ditetapkan oleh Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam. (Majmu’ Fatawa, 28/551)
2. Apakah Boleh Mengambil Harta dan Senjata Mereka?
Di antara para ulama ada yang membolehkan untuk mengambil ghanimah dari harta kelompok Khawarij. Sebagaimana yang diriwayatakn oleh Imam Ahmad yaitu tentang Ali bin Abi Thalib ketika di Haruri. Disebutkan bahwa kelompok Khawarij memilki persediaan anak panah di kampung mereka. Kemudian mereka keluar memerangi kaum muslimin, maka mereka pun berhasil dibunuh oleh kaum muslimin sementara tanah mereka dijadikan fai’ (harta rampasan). Kemudian dibagikan lima perlima dan empat perlima bagi mereka yang ikut berperang atau amir menjadikannya sebagai kharaj bagi kaum muslimin dan tidak boleh dibagi sebagaimana yang dilakukan oleh Umar saat menguasai Irak, beliau mewakafkannya untuk umat Islam.
Imam Ahmad berpendapat bahwa tanah orang Khawarij menjadi ghanimah sama sebagaimana ghanimah dari harta orang kafir. dan secara garis besar, cara ini adalah yang jelas benarnya.” (Majmu’ Fatawa, 28/514-515)
Adapun kuda dan senjata atau barang lainnya yang mereka pakai untuk menyerang kaum muslimin, hukum mengambilnya menjadi perdebatan diantara para ulama. Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib bahwa pasukannya merampas segala sesuatu yang terdapat di dalam pasukan Khawarij. Jika pemimpin membolehkan mengambil harta yang ada di pasukan mereka, maka hal itu boleh dengan syarat mereka masih dalam keadaan membangkang…(Majmu’ Fatawa, 28/555)
3. Apakah boleh membunuh tawanan mereka serta menangkap tokoh mereka?
Para ulama berbeda pendapat tentang bagaimana hukum membunuh tawanan mereka, menahan para pimpinannya dan membunuh pengikut mereka yang luka jika mereka berlindung pada sebuah kelompok. Imam Abu Hanifah membolehkannya, sementara Imam Syafi’i melarangnya, demikian juga yang masyhur di kalangan Imam Ahmad dan di kalangan Imam Ahmad. Ada juga yang berpendapat untuk mengincar para tokohnya pada awal perperangan.
4. Apakah boleh membunuh salah seorang di antara mereka yang berada dalam kekuasaan kita?
Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun membunuh orang Khawarij yang ada dalam kekuasaan kita atau seperti Haruriah, Rafidhah dan yang semisal dengan mereka. Dalam hal ini pendapat para ulama fikih terbagi menjadi dua pendapat, yaitu dua riwayat dari Imam Ahmad…. Namun yang benar adalah boleh membunuhnya seperti orang yang mengajak kepada mazhab tersebut atau yang mendatangkan mafsadah yang serupa. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Di mana saja kalian mendapati mereka, maka bunuhlah.”
Umar pernah berkata kepada Sabigh bin ‘Asl, “Seandainya saya mendapati engkau dalam keadaan gundul maka akan saya pukul wajahmu.”
Demikian juga Ali pernah ingin membunuh Abdullah bin Saba’ namun dia lari dari Ali. Mereka dibunuh karena kerusakan yang mereka timbulkan di muka bumi. Seandainya tidak ada cara lain untuk mencegah kerusakan tersebut kecuali dengan perang maka harus diperangi.
Namun tidak wajib membunuh salah seorang di antara mereka jika belum menampakkan kejelasan keyakinannya atau jika membunuhnya akan mendatangkan mafsadat yang lebih besar. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengeksekusi mereka yang keluar dari jamaah—kaum muslimin waktu itu—karena khawaitr nanti orang-orang akan mengatakan “Muhammad telah membunuh para sahabatnya.” Dan syaratnya mereka tidak membuat kerusakan di muka umum. Oleh karena itu, Ali tidak membunuh mereka ketika awal kemunculannya dan jumlah mereka banyak serta berbaur dalam jamaah dan tidak memerangi kaum muslimin serta belum ada kejelasan jika mereka adalah Khawarij.” (Majmu’ Fatawa, 28/499-500)
5. Apakah Khawarij itu Dikafirkan dan Akan Masuk Neraka?
Dalam hal ini para ulama juga memiliki dua pendapat, yaitu dua riwayat dari Imam Ahmad.   Namun yang shahih adalah perkataan Khawarij yang menyelisihi sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan mereka mengetahui hakikat tersebut maka mereka kafir. Demikian juga dengan perbuatan mereka yang termasuk bagian dari perbuatan orang kafir, maka itu juga kafir. Dan saya telah menyebutkan dalil yang menunjukkan hal itu dalam banyak tempat. Namun mengafirkan secara muayaan atau menganggap salah satu di antara mereka kekal di dalam neraka, tentu hal tersebut—baru bisa divonis—ketika memenuhi syarat takfir serta hilangya segala bentuk penghalang. (Majmu’ Fatawa, 28/500)
Para ulama sepakat untuk mencela para Khawarij dan menganggap mereka sesat, namun mereka berselisih dalam hal mengafirkan. Pendapat yang mengafirkan mereka ada dua, yang masyhur dalam mazhab Imam Malik dan Ahmad, demikian juga dengan Imam Syafi’i. Namun secara umum mereka menghukumi Khawarij menjadi dua pendapat. Pertama, Mereka adalah bughat (pemberontak). Kedua, Mereka dalah kafir murtad, boleh mengawali perang terhadap mereka, membunuh pemimpinnya serta memburu para tokoh-tokohnya dan jika ada yang berada dalam kekuasaan kita, maka dimintai tobat seperti orang murtad, jika tidak mau maka dibunuh. Sebagaimana halnya dalam menyikapi mereka yang menolak zakat.
Sementara perkataan Ali bin Abi Thalib dan selainnya tentang Khawarij menimbulkan hukum bahwa mereka tidak kafir sebagaimana murtad dari Islam. (lihat: Majmu’ Fatawa, 28/518)
6. Mana yang Lebih Keji antara Rafidhah dan Khawarij?
Sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa kelompok Rafidhah yang memerangi lebih keji daripada Khawarij, kedua kelompok tersebut berada pada dua titik yang ekstrem. Namun orang Khawarij memuliakan Al-Qur’an, oleh karena itu kelompok Khawarij lebih kecil kesesatannya dibandingkan dengan Rafidhah –walaupun kedua-duanya menyelisihi Al-Qur’an dan hadits serta menyimpang dari jalan para sahabat dan keluarga nabi serta menyelisihi sunnah khulafaurrasyidin dan keturunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.“ (Majmu’ Fatawa, 28/493)
Para ulama telah sepakat untuk memerangi Khawarij dan Rafidhah dan kelompok-kelompok semacam mereka jika keluar dari jamaah kaum muslimin. Orang yang pertama kali memerangi mereka adalah Ali bin Abi Thalibradhiyallahu’anhu. Kemudian kaum muslimin terus memerangi mereka di bawah pemimpin Bani Umayyah dan Abbasiyah meskipun penguasa tersebut zalim. Sebagaimana yang dilakukan oleh Al-Hajjaj yang memerangi kelompok Khawarij, seluruh pemimpin kaum muslimin memerintahkan untuk memerangi mereka.
Kelompok Rafidhah lebih buruk daripada Khawarij dalam hal akidah akan tetapi Khawarij lebih lancang dalam menggunakan pedang dan suka membunuh. (Majmu’ Fatawa, 3/83)
7. Syaikh ditanya bagaimana tentang seseorang yang lebih mengutamakan Yahudi dan Nasrani daripada Rafidhah
Beliau menjawab bahwa setiap orang yang beriman terhadap apa yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam maka dia adalah orang yang lebih baik (utama) daripada orang yang mengingkarinya. Meskipun amalan orang mukmin tersebut masih tercemari dengan sebagian perbuatan bid’ah, baik itu bid’ah Khawarij, Syiah, Murjiah, Qadariah atau kelompok sesat lainnya.
Orang Yahudi dan Nasrani adalah kafir sebagaimana maklum diketahui di dalam Islam. Sementara pelaku bid’ah jika dia mengira bahwa amalannya sesuai dengan petunjuk Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak menyelisihinya, maka orang itu tidak bisa dihukumi kafir. Walaupun pada taraf tertentu dia menjadi kafir, namun kekafirannya tetap tidak sama seperti kafirnya mereka yang mendustakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Majmu’ Fatawa, 35/201)
8. Mana yang paling membahayakan bagi kaum muslimin, Khawarij atau pelaku maksiat?
Ahlu bid’ah lebih buruk daripada pelaku maksiat—dalam hal syahwat. Hal ini sesuai dengan ketetapan sunnah dan ijma ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk membunuh orang Khawarij dan melarang untuk memerangi pemimpin yang zalim, Nabi bersabda mengenai mereka yang minum khamer, “Jangan kalian laknat dia karena dia mencintai Allah dan rasulnya.” Rasul juga bersabda kepada Dzul Khuwaishiroh, “Akan keluar dari orang ini satu kaum yang membaca Kitabullah (Al-Qur’an) dengan mudah, namun tidak melampaui tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama—dalam riwayat lain disebut keluar dari Islam—bagaikan anak panah yang meleset dari sasarannya.” (Majmu’ Fatawa, 20/103)
Pelaku dosa yang mengetahui dosa-dosanya lebih ringan kerusakannya terhadap kaum muslimin daripada amalan pelaku bid’ah yang menciptakan sebuah bid’ah kemudian menghalalkan darah terhadap siapa saja yang menyelisihi mereka. (Minhaju Sunnah, 5/154)
Penyusun: Fahrudin, diinspirasi dari tulisan Syaikh Abu Hasan Al-Kuwaiti yang berjudul “Khawarij ‘inda Ibni Taimiyah”

Khawarij Muslim Syiah Bukan !
Khawarij itu adalah muslimun yang sesat dan tidak kafir. Ibnu Abi Syaibah mengeluarkan di dalam Mushannaf-nya (15/332) dari Thariq Ibnu Syihab, berkata:
Dulu saya berada di samping Ali Ibnu Abi Thalib radliyallahu ‘anhu terus beliau ditanya tentang Ahli Nahrawan apakah mereka itu musyrikin? Maka ia berkata: Dari syirik itu mereka lari,” ditanya lagi: Apakah mereka itu munafiqun? Ia berkata: Sesungguhnya munafiqin itu tidak mengingat Allah kecuali sedikit,” ditanya: Maka apa mereka itu? Ia berkata: Kaum yang aniaya terhadap kita.”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Dan di antara hal yang menunjukkan bahwa para sahabat itu tidak mengkafirkan Khawarij adalah bahwa mereka itu shalat di belakang mereka, dan Abdullah Ibnu Umar radliyallahu ‘anhu dan para sahabat lainnya shalat di belakang Najdah Al Haruriy, dan para sahabat juga mengajak mereka berbicara dan menyapa mereka sebagaimana orang muslim menyapa orang muslim lainnya, dan sebagaimana Abdullah Ibnu ‘Abbas menjawab surat Najdah Al Haruriy tatkala dia mengirim serat kepadanya untuk menanyakan beberapa masalah, dan haditsnya ada di dalam Al Bukhariy, dan sebagaimana beliau menjawab Nafi’ Ibnu Al Azraq tentang permasalahan yang masyhur, dan Nafi’ itu mengajaknya diskusi dalam beberapa persoalan dengan Al Qur’an sebagaimana layaknya dua muslim yang saling berdiskusi. Dan senantiasa sikap kaum muslimin seperti ini, di mana mereka tidak menjadikan Khawarij itu sebagai murattdin seperti yang diperangi Ash Shiddiq.”.
Sampai beliau rahimahullah berkata:”Para sahabat radliyallahu ‘anhum dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik itu tidak mengkafirkan mereka dan tidak menjadikan mereka sebagai murtaddin serta tidak berbuat aniaya kepada mereka baik dengan ucapan maupun perbuatan, akan tetapi mereka bertaqwa kepada Allah dalam menyikapi mereka dan memperlakukan mereka dengan perlakuan yang adil.” Selesai (Minhaj As Sunnah 5/247).
Al Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata:”Jumhur ulama berpendapat bahwa Khawarij itu tidak keluar dari barisan kaum muslimin, berdasarkan sabdanya di dalam hadits “yatamaaraa fil fuuq” karena tamariy itu tergolong syakk (keraguan), dan bila terjadi keraguan dalm hal itu maka tidak dipastikan status mereka keluar dari islam, dikarenakan orang yang telah terbukti keislamaannya dengan meyakinkan adalah tidak dikeluarkan darinya kecuali dengan meyakinkan pula. Dan berkata: Ali telah ditanya tentang Ahli Nahrawan, apakah mereka itu kafir? Beliau berkata: Dari kekafiran itu mereka lari.” Selesai(Fathul Bari 12/375).
Al Imam An Nawawiy rahimahullah berkata:”Asy Syafi’iy dan jumhur ulama madzhabnya berpendapat bahwa Khawarij itu tidak kafir.” Selesai ( Syarh Shahih Muslim 7/225).
Al Hafidh Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Mayoritas Ahlul Ushul dari kalangan Ahlussunnah bahwa Khawarij itu orang-orang fasiq dan bahwa mereka itu masih berstatus sebagai muslim dikarenakan mereka mengucapkan dua kalimah syahadat dan masih komitmen dengan rukun-rukun Islam, dan sebab mereka fasiq itu adalah dikarenakan mereka mengkafirkan kaum muslimin seraya bersandar kepada takwil yang rusak dan hal itu menggiring mereka untuk menghalalkan darah dan harta orang-orang yang menyelisihi mereka serta memvonis mereka sebagai orang kafir dan musyrik.” Selesai (Fathul Bari 12/375).
Bahkan Al Imam Al Khaththabiy mengklaim ijma terhadap sikap tidak mengkafirkan Khawarij, di mana beliau berkata: “Ulama kaum muslimin telah ijma bahwa Khawarij itu walaupun mereka itu sesat adalah masih salah satu firqah dari firqah-firqah kaum muslimin, dan para ulama membolehkan menjalin pernikahan dengan mereka dan memakan sembelihan mereka, dan bahwa mereka itu tidak kafir selagi masih berpegang dengan Ahlul Islam.” Selesai (Fathul Bari 12/375).
Maka tidak boleh langsung memerangi mereka, akan tetapi diterapkan pada mereka tuntunan orang yang paling paham tentang Khawarij yaitu Al Khalifah Ar Rasyid yang keempat Amirul Mu’minin Ali Ibnu Abi Thalib radliyallahu ‘anhu, di mana beliau berkata kepada mereka: “Sesungguhnya hak kalian atas kami adalah tiga:
1- Kami tidak menghalangi kalian dari shalat di mesjid ini.
2- Kami tidak menghalangi kalian dari bagian kalian dari fai ini selagi tangan-tangan kalian bersama tangan-tangan kami.
3- Kami tidak akan memerangi kalian sampai kalian memerangi kami.”
Selesai (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 15/238-327, Ibnu Jarir di dalam Tarikh-nya 5/688, dan Asy Syafi’iy di dalam Al Umm 4/136 sedangkan sanadnya adalah munqathi’ akan tetapi sanad itu memiliki banyak penguat dan telah diriwayatkan pada jalur lain, itu dikatakan oleh Al Baniy dalam Irwaul Ghalil 8/117-118).

Al Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:”Khawarij yang mengkafirkan dengan sebab dosa dan mengkafirkan Utsman, Ali, Thalhah, Az Zubair dan banyak sahabat serta menghalalkan darah dan harta kaum muslimin kecuali orang yang keluar bersama mereka, maka dhahir ucapan para fuqaha dari kalangan ulama muta’akkhirin madzhab kami adalah bahwa mereka itu bughat, status mereka sama dengan status bughat, dan ini adalah pendapat Abu Hanifah, Asy Syafi’iy, jumhur fuqaha dan banyak ahli hadits.” Selesai (Al Mughniy 12/238).
Maka bagaimana bisa diperangi dan dikobarkan semangat untuk memerangi mereka, sedangkan mereka itu tidak memulai memerangi? Bahkan bagaimana bisa harta mereka, kendaraan-kendaraan mereka dan maqar-maqar mereka dijadikan ghanimah? Bahkan bagaimana boleh orang-orang yang terluka dan tawanan-tawanan mereka itu dihabisi dan disiksa? Bahkan bagaimana isteri-isteri mereka yang merdeka itu dinodai?
Padahal para ulama telah menegaskan di dalam kitab-kitab mereka terhadap perbedaan antara memerangi kaum muslimin dari kalangan bughat atau khawarij dengan memerangi kaum musyrikin, sebagaimana yang dikatakan oleh Al Imam Al Qarafiy rahimahullah:
“Memerangi mereka itu dibedakan dari memerangi kaum musyrikin dengan sebelas sisi perbedaan: Tujuan memerangi mereka itu adalah penjeraan bagi mereka bukan membunuh mereka, orang yang melarikan diri dari mereka tidak dikejar, korban mereka yang luka-luka tidak dihabisi, tawanan mereka tidak dibunuh, harta mereka tidak dijadikan ghanimah, anak isteri mereka tidak dijadikan sabaya (budak-budak), dalam memerangi mereka tidak boleh meminta bantuan orang musyrik, tidak menjalin damai dengan mereka dengan bayaran harta, tidak dipasang pelontar (semacam mortir) terhadap mereka, rumah-rumah mereka tidak dibakar dan pohon-pohon mereka tidak ditebang.” Selesai (Anwarul Buruq Fi Anwa’I’ll Furuq 4/172).
Kemudian seandainya atas analogi bolehnya memerangi mereka secara asal, maka apakah boleh memerangi mereka pada saat kondisi sedang memerangi Nushairiyyah dan Rafidlah?
Al Imam Syamsuddien Adz Dzahabiy berkata dalam biografi Al Imam Abu Al Fadlli Al ‘Abbas Al Mumsiy rahimahullah:
“Tatkala Abu Yazid Mukhallad Ibnu Kandad Al A’raj pimpinan Khawarij menentang Banu ‘Ubaid, maka Al Mumsiy ini keluar bersamanya dengan sejumlah ulama Qairuwan dikarenakan dasyatnya bencana yang menimpa mereka, di mana sesungguhnya Al ‘Ubaidiy ini telah terbongkar hakikatnya dan dia menampakkan apa yang disembunyikan batinnya, sampai mereka mengikat Hasan Adl Dlarir As Sabab di jalanan dengan sajak yang mereka nukilkan, dia mengatakan: “Laknatlah goa dan apa yang ada di dalamnya, dan (laknatlah) selimut dan apa yang ditutupinya, serta hal lainnya, dan barangsiapa mengingkari(nya), maka dipenggal leherrnya.
Dan itu pada awal kekuasaan Raja Ketiga Ismail, maka Mukhallad Az Zalatiy tersebut penguasa Himarah, sedangkan dia itu orang yang zuhud, dan yang lainpun ikut bangkit mengikutinya, sehingga dia bisa menaklukan negeri-negeri dan merampas kota Qairuwan, akan tetapi Khawarij melakukan setiap keburukan, sampai para ulama-pun mendatangi Abu Yazid untuk mencelanya. Maka dia berkata: Menjarah kalian adalah halal bagi kami” maka mereka-pun berbuat lembut kepadanya sampai dia memerintahkan orang-orang agar menahan tangan, dan Al ‘Ubaidiy itu berlindung di benteng Mahdiyyah..”.
Sampai beliau rahimahullah berkata:”Khawarij itu adalah musuh kaum muslimin, dan adapun Ubaidiyyah Bathiniyyah itu maka mereka itu musuh Allah dan Rasul-Nya.” (Siyar A’lamin Nubala 15/372).
Jadi inilah madzhab yang shahih dan pendapat yang rajih, bukan seperti apa yang difatwakan oleh setiap orang busuk. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:”Bila penegakkan kewajiban berupa ilmu, jihad dan lainnya itu tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan orang yang padanya ada bid’ah – yang bahayanya lebih rendah dari bahaya peninggalan kewajiban itu – maka peraihan mashlahat kewajiban dengan disertai mafsadah yang lemah bersamanya adalah lebih baik dari sebaliknya.” Selesai(Majmu’ Al Fatawa 28/212).
Orang yang mengikuti Al Haq maka dia akan merasa cukup dengan satu dalil, dan adapun orang yang mengikuti hawa nafsu maka seribu dalil-pun tidak akan cukup baginya! Allah Ta’ala berfirman:”Sungguh, orang-orang yang telah di pastikan mendapat ketetapan Tuhanmu, tidaklah akan beriman. Meskipun mereka mendapatkan tanda-tanda (kebesaran Allah), hingga mereka menyaksikan azab yang pedih.” (Yunus: 96-97).
Dan barangsiapa yang menolak dan kembali menuduh setelah bukti-bukti penjelasan yang terang ini, maka mari berdiskusi ilmiyyah dan beradu hujjah! Alangkah indahnya apa yang diriwayatkan dari Umar Ibnu Abdil Aziz radliyallahu ‘anhu, bahwa ia mengirim surat kepada Syaudzab Al Kharijiy, di mana di dalam isi surat itu berkata:”Telah sampai kepadaku bahwa kamu memberontak sebagai bentuk marah karena Allah dan Nabi-Nya, sedangkan kamu tidak lebih utama dengan hal itu dari diriku, maka marilah ke sini kita berdiskusi, kemudian bila Al Haq ada pada kami maka kamu masuk dalam ketaatan yang dilakukan manusia, dan bila kebenaran itu ada pada dirimu maka kami akan meninjau urusan kami.” Selesai(Silahkan rujuk diskusi yang terjadi antara Umar dengan Syaudzab pada Ibnul Hakam hal: 99-102).
Dan akhir seruan kami adalah Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin. Shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada Nabi paling mulia dan imam para Rasul. Cukuplah Allah bagi kami dan Dia sebaik-baiknya penolong.
Dikutip/dimodifikasi dari tulisan Abu Humam Bakr Ibnu Abdil Aziz Al Atsariy (18/3/1435H / 19/1/2014M).
Diterjemahkan oleh Abu Sulaiman Al Arkhabiliy pada tanggal 01/4/1435H