Friday, April 10, 2015

Pengaruh Yahudi, Kristen dan Majusi Dalam Agama Syiah

Date: 
Sebuah Resume Dari Bedah Buku Oleh Ust. Anwar IslamBuku ini ditulis oleh Sayyid Ali Murtadho dari Kuffah, Irak. Beliau merupakan keturunan Nabi Muhammad dari Hasan bin Ali.
Sejarah Syiah dimulai sejak peristiwa pengangkatan Abdurahman bin Abu Bakar sebagai Gubernur Mesir oleh Khalifah Utsman bin Affan. Dalam perjalanan menuju Mesir Abdurahman disusul oleh seseorang yang mengaku sebagai utusan dan membawa pesan dari khalifah. Utusan ini kemudian diketahui membawa surat perintah untuk membunuh Abdurahman bin Abu Bakar. Surat perintah tersebut berstempel negara Madinah dan ditandatangani oleh Khalifah.
Mendapati kenyataan tersebut Abdurahman membatalkan rencana ke Mesir dan memilih kembali ke Madinah menemui Khalifah. Sesampainya di Madinah, Abdurahman bertanya kepada Khalifah, “Wahai Amirul Mukminin, engkau mengangkatku sebagai Gubernur Mesir, lalu mengapa engkau mengutus orang untuk membunuhku?” Tanya Abdurahman sambil menyerahkan surat perintah pembunuhan atas dirinya.
Mendapat pertanyaan tersebut Khalifah bingung karena tidak merasa menandatangani surat tersebut. Khalifah kemudian memanggil para pembantunya termasuk Ali bin Abi Thalib dan Marwan bin Hakam dua orang yang selama ini menjadi asistennya.
Para sahabat kemudian memberi kesaksian bahwa itu merupakan tulisan tangan Marwan bin Hakam. Marwan ini merupakan kerabat Khalifah. Maka Abdurahman dan orang-orang Mesir yang menyertainya menuntut Khalifah untuk menyerahkan Marwan untuk dibunuh, tetapi Utsman menolak dan justru melindungi Marwan di rumahnya.
Inilah yang kemudian menjadi sebab dikepungnya rumah Utsman oleh orang-orang Mesir hingga 40 hari. Ali dan para sahabat yang lain menyarankan agar Utsman memerintahkan tentaranya untuk mengusir para pengepungnya. Permintaan ini ditolak dengan alasan Utsman tidak mau menumpahkan darah kaum muslimin. Selain itu Utsman juga ingin membuktikan kebenaran nubuwat Rasulullah tentang kematiannya.
Maka disuatu hari, saat Utsman sedang membaca Al Quran para pengepung berhasil masuk ke rumah Utsman. Abdurahman dengan kasar memegang kepala Utsman dan menarik jenggotnya, maka Utsman berkata, “Seandainya ayahmu menyaksikan perbuatanmu niscaya dia akan malu.”

Seketika itu lemaslah Abdurahman, tetapi baru saja dilepasnya kepala Utsman sebilah pedang yang yang ditebaskan seorang Mesir yang selama ini ikut dalam pengepungan berhasil membunuh Utsman.

Pasca terbunuhnya Utsman, Ali dipilih oleh para sahabat sebagai Khalifah. Awalnya Ali menolak namun semua sahabat yang lain juga menolak dan menganggap Ali paling layak. Dukungan paling besar atas Ali diberikan oleh orang-orang Mesir yang terlibat dalam pembunuhan Utsman. Mereka inilah yang kemudian menamakan dirinya sebagai Syiah—pembela—Ali.
Setelah Ali menjadi khalifah, para sahabat dan penduduk Madinah meminta Ali untuk segera melakukan qishash bagi pembunuh Utsman, namun permintaan ini ditolak Ali. Pertimbangan Ali saat itu dukungan untuk dirinya masih kecil sebab masih ada beberapa sahabat yang menolak/menunda baiat yaitu Muawiyah (Gubernur Syam) dan Amr bin Ash (Gubernur Mesir). Kedua sahabat ini menuntut Ali melakukan qishash terlebih dahulu. Ali ingin kondisi politik stabil dulu baru qishash dilakukan. Muawiyah kemudian memproklamirkan diri sebagai khalifah.
Maka terjadilah peristiwa tahkim (arbitrase). Pihak Ali diwakili Abu Musa al Ansyari sedangkan pihak Muawiyah menunjuk Amr bin Ash. Dalam arbitrase ini berkat kecerdikan Amr bin Ash, pihak Muawiyah keluar sebagai pemenang.

Pasca tahkim Syiah Ali pecah menjadi 2 kelompok yaitu Khawarij yang bermarkas di Makkah dan Syiah yang berpusat di Kufah, Irak. Kedua kelompok ini bersikap serba berlebihan terhadap Ali. Khawarij menganggap Ali telah murtad karena berhukum kepada selain Al Quran (tahkim), sementara Syiah menganggap Ali sebagai seorang yang maksum tanpa dosa. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal Syiah dimasa-masa awal.

Saking berlebihannya Khawarij, mereka sampai menghalalkan darah Ali dan kaum muslimin yang dianggap telah kafir. Dalam sebuah musyawarah mereka sepakat untuk membunuh 3 orang yang dianggap sebagai tokoh golongan murtadin yaitu Ali (Kufah), Muawiyah (Syam) dan Amr bin Ash (Mesir). Orang yang mendapat tugas membunuh Ali adalah Abdullah bin Muljam.
Maka berangkatlah Ibnu Muljam ke Kufah. Setibanya di sana ia menyembunyikan identitas, hingga terhadap teman-temannya dari kalangan Khawarij yang dahulu bersamanya. Ketika ia sedang duduk-duduk bersama beberapa orang dari Bani Taim ar-Ribab, mereka mengenang teman-teman mereka yang terbunuh pada peperangan Nahrawan.
Tiba-tiba datanglah seorang wanita bernama Qatham binti Asy-Syijnah, ayah dan abangnya dibunuh oleh Ali pada peperangan Nahrawan. Ia adalah wanita yang sangat cantik dan populer. Dan ia telah mengkhususkan diri beribadah dalam masjid jami’. Demi melihatnya Ibnu Muljam mabuk kepayang. Ia lupa tujuannya datang ke Kufah. Ia meminang wanita itu.
Qatham mensyaratkan mahar tiga ribu dirham, seorang khadim, budak wanita dan membunuh Ali bin Abi Thalib untuk dirinya. Ibnu Muljam berkata, “Engkau pasti mendapatkannya, demi Allah tidaklah aku datang ke kota ini melainkan untuk membunuh Ali.”
Lalu Ibnu Muljam menikahinya dan berkumpul dengannya. Kemudian Qathami mulai mendorongnya untuk melaksanakan tugasnya itu. Ia mengutus seorang lelaki dari kaumnya bernama Wardan, dari Taim Ar-Ribab, untuk menyertainya dan melindunginya. Lalu Ibnu Muljam juga menggaet seorang lelaki lain bernama Syabib bin Bajrah al-Asyja’i al-Haruri. Ibnu Muljam berkata kepadanya, “Maukah kamu memperoleh kemuliaan dunia dan akhirat?”
“Apa itu?” Tanyanya.
“Membunuh Ali!” Jawab Ibnu Muljam.
Ia berkata, “Celaka engkau, engkau telah mengatakan perkara yang sangat besar! Bagaimana mungkin engkau mampu membunuhnya?”
Ibnu Muljam berkata, “Aku mengintainya di masjid, apabila ia keluar untuk mengerjakan shalat subuh, kita mengepungnya dan kita membunuhnya. Apabila berhasil maka kita merasa puas dan kita telah membalas dendam. Dan bila kita terbunuh maka apa yang tersedia di sisi Allah lebih baik dari-pada dunia.”
Ia berkata, “Celaka engkau, kalaulah orang itu bukan Ali tentu aku tidak keberatan melakukannya, engkau tentu tahu senioritas beliau dalam Islam dan kekerabatan beliau dengan Rasulullah. Hatiku tidak terbuka untuk membunuhnya.”

Ibnu Muljam berkata, “Bukankah ia telah membunuh teman-teman kita di Nahrawan?”
“Benar!” jawabnya.

“Marilah kita bunuh ia sebagai balasan bagi teman-teman kita yang telah dibunuhnya” kata Ibnu Muljam.

Beberapa saat kemudian Syabib menyambutnya.

Masuklah bulan Ramadhan. Ibnu Muljam membuat kesepakatan dengan teman-temannya pada malam Jum’at 17 Ramadhan. Ibnu Muljam berkata, “Malam itulah aku membuat kesepakatan dengan teman-temanku untuk membunuh target masing-masing. Lalu mulailah ketiga orang ini bergerak, yakni Ibnu Muljam, Wardan dan Syabib, dengan menghunus pedang masing-masing. Mereka duduk di hadapan pintu yang mana Ali biasa keluar dari-nya.
Ketika Ali keluar, beliau membangunkan orang-orang untuk shalat sembari berkata, “Shalat… shalat!” Dengan cepat Syabib menyerang dengan pedang-nya dan memukulnya tepat mengenai leher beliau. Kemudian Ibnu Muljam menebaskan pedangnya ke atas kepala beliau. Darah beliau mengalir membasahi jenggot beliau. Ibnu Muljam menebas leher Ali sambil berkata, “Tidak ada hukum kecuali milik Allah, bukan milikmu dan bukan milik teman-temanmu, hai Ali!” Ia membaca firman Allah:
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hambaNya.” (Al-Baqarah: 207).
Ali berteriak, “Tangkap mereka!”
Adapun Wardan melarikan diri namun berhasil dikejar oleh seorang lelaki dari Hadhramaut lalu membunuhnya. Adapun Syabib, berhasil menyelamatkan diri dan selamat dari kejaran manusia. Sementara Ibnu Muljam berhasil ditangkap.
Ali menyuruh Ja’dah bin Hubairah bin Abi Wahab untuk mengimami Shalat Fajar. Ali pun dibopong ke rumahnya. Lalu digiring pula Ibnu Muljam kepada beliau dan dibawa kehadapan beliau dalam keadaan dibelenggu tangannya ke belakang pundak, semoga Allah memburukkan rupanya.
Ali berkata kepadanya,” Apa yang mendorongmu melakukan ini?” Ibnu Muljam berkata, “Aku telah mengasah pedang ini selama empat puluh hari. Aku memohon kepada Allah agar aku dapat membunuh dengan pedang ini makhlukNya yang paling buruk!”
Ali berkata kepadanya, “Menurutku engkau harus terbunuh dengan pedang itu. Dan menurutku engkau adalah orang yang paling buruk.”
Kemudian beliau berkata, “Jika aku mati maka bunuhlah orang ini, dan jika aku selamat maka aku lebih tahu bagaimana aku harus memperlakukan orang ini!”
Tidak lama setelah itu Ali wafat. Ibnu Muljam diqishash. Perkataan Ibnu Muljam saat menebas leher Ali menjadi slogan kaum khawarij hingga hari ini : ‘La hukmu illa lillah…’
Pasca terbunuhnya Ali, kaum Syiah Ali membaiat Husein sebagai khalifah. Mereka mengagungkannya secara berlebihan, memuja Husein sebagaimana mereka memuja Ali. Husein sendiri dipilih—bukan Hasan—karena Husein menikah dengan anak perempuan Kisra sehingga mereka menganggap Husein adalah penyatuan dua kemuliaan : Ali dan Kisra. Sejatinya, Ibnu Muljam adalah juga Syiah yang kemudian bergabung dg Khawarij dan kelak orang Syiah pula yang membunuh Husein.
Pada dasarnya Syiah setelah wafatnya Ali memang lebih kental dipengaruhi Persia. Mereka—penduduk—Kufah masih menyimpan dendam atas pembunuhan Kisra dan ditaklukkannya Persia oleh tentara Umar bin Khattab.
Penulis: *Mas Azzam