Friday, May 22, 2015

Negara yang Kuat Harus Didasari Fanatisme Agama

Direktur Pusat Kajian Fiqih dan Ilmu-ilmu Keislaman (PUSKAFI) Dr. Ahmad Zain An-Najah, MA mengatakan untuk memiliki negara yang kuat, suatu pemerintahan harus membangun jiwa korsa atau ikatan emosional yang kuat di dalam masyarakatnya.
“Ibnu Khaldun mengatakan untuk menguasai sebuah negara dibutuhkan sebuah fanatism, kefanatikkan yang kuat, suatu ikatan emosional yang kuat. Kefanatikan yang kuat itu hanya bisa dibangun dilandasi agama,” ujarnya menelaah pemikiran politik Ibnu Khaldun dalam Pengajian Politik Islam (PPI) di Masjid Al-Azhar, Kebayoran baru, Jakarta, Minggu (26/1/2014).
Lanjut Zain, suatu kelompok yang memiliki satu ikatan agama akan memiliki visi dan misi yang kuat. Namun, berbeda jika ikatan tersebut dibangun selain oleh emosional agama.
“Kalau dibangun dengan kepentingan-kepentingan lain, pasti cepat hancur dan tidak akan kuat karena sifatnya hanya sesaat. Tapi, jika diikat dengan emosional agama, maka akan kuat karena sampai akhirat. Memenangkan apa saja jika dibangun ikatan emosional agamanya, pasti akan kuat,” tegasnya.
Sedangkan, menurutnya, yang mampu membangun kekuatan ikatan hati hanyalah Allah SWT, seperti diterangkan dalam al-Qur’an surat al-Anfal: 63.
“Maka, di sini jangan lepas dari Allah Subhanahu wa ta’aala,” tutur Zain.
Lebih dari itu, Zain mengatakan kekuatan yang paling mendasar dan tidak mudah dikoyak-koyak oleh musuh itu adalah kekuatan aqidah. “Maka bangunlah kekuatan politik dengan kekuatan agama,” tukasnya.
Ia mencontohkan dalam perang Qadisiyah bagaimana kekuatan agama dapat memenangkan kaum Muslimin dalam menghadapi Persia.
“Pasukan Persia ketika itu berjumlah 130 ribu sedangkan pasukan Islam hanya 30 ribu, tapi menang. Kenapa? Karena memiliki kekuatan keyakinan agama itu, ukhuwah Islamiyah,” papar Zain.
Selain itu, peristiwa serupa juga dapat dilihat dalam perang Yarmuk ketika umat Islam menghadapi pasukan Romawi yang jumlahnya 140 ribu, sedangkan umat Islam tidak sampai 30 ribu.
“Dalam perang Yarmuk menang juga, karena dibangun oleh kekuatan agama. Berbeda bila dibangun dengan kekuatan selain agama, orang akan rebutan kekuasaan, saling berbeda kepentingan dan akan hancur,” jelas Zain.
Sehingga, menurut Zain, kelompok yang paling kuat adalah umat Islam di antara kelompok lainnya. Ia menyarankan kepada elemen gerakan Islam untuk memperhatikan aspek kekuatan agama ini, agar dapat memenangkan Islam.
“Maka, untuk memenangkan Islam harus bisa memicu emosional umat Islam,” pungkasnya. (qathrunnada)

Hukum di Indonesia Tak Jalan Karena Tak Sesuai Jiwa Masyarakatnya yang Muslim

Adab itu hanya ada dan dikenal oleh umat Islam, umat lainnya tidak mengenal adab
Ketua Komisi Bidang Hukum Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Dr Jeje Zaenuddin mengatakan di Indonesia sudah disepakati undang-undang dibentuk melalui legislasi dan legislasi ditentukan dalam prolegnas (program legislasi nasional, red).
Sementara, prolegnas itu dirumuskan dengan empat landasan, yaitu; filosofis, yuridis, sosiologis dan politis.
“Filosofis tersebut maksudnya Ketuhanan yang Maha Esa, keadilan sosial, kesejahteraan dan sebagainya,” kata Jeje usai acara bedah buku bertema “Metode dan Strategi Penerapan Syari’at Islam di Indonesia” di Ruang Utama Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Maka pertanyaannya, kata Jeje, saat pertama rancangan undang-undang dibuat apakah ada pasal-pasal yang bertentangan dengan Ketuhanan yang Maha Esa atau tidak? Jika bertentangan menurutnya undang-undang atau hukum itu gugur dan tidak diperbolehkan.
“Kalau itu sudah terpenuhi selanjutnya apakah sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab di Indonesia atau tidak? Lalu apakah arti dari beradab itu?,” ujar Jeje.
Jeje menegaskan jika adab itu hanya ada dan dikenal oleh umat Islam, sementara umat lainnya tidak mengenal adab.
Untuk itu, menurut Jeje, hukum itu harus mengandung nilai-nilai moral atau akhlaq, secara murni teori-teori Barat (seperti hukum itu harus bebas dari norma atau moralitas) seperti itu tidak bisa dan gugur di Indonesia, karena hukum di Indonesia, lanjutnya, harus sesuai dengan kemanusiaan yang adil dan beradab.
“Produk perundang-undangan itu pun harus dikontrol oleh masyarakat, apakah sesuai dengan landasan filosofis atau tidak. Jika bertentangan dengan landasan filosofis Indonesia, berarti hukum itu gugur,” tegas Jeje.
Jika sudah memenuhi landasan filosofis, yang kedua menurut Jeje, hukum itu harus sesuai dengan landaskan yuridis Indonesia, di mana negara harus  melindungi agama, karena negara berdasarkan Ketuhanan yang Maha Esa. Maka hukum perundang-undang itu semuanya harus berdasarkan pada Undang-Undang Dasar 1945.
“Selanjutnya, hukum harus sesuai landasan sosiologis atau budaya hukum masyarakat di Indonesia yaitu Islam yang muncul dari keluarga. Dan dari situ munculah ekonomi, pendidikan, pergaulan dan lain-lain,” kata Jeje.
Maka, ungkap Jeje, sekarang yang ingin dirusak oleh orang-orang liberal itu dari keluarga terlebih dahulu. Karena dari keluarga pangkal munculnya budaya hukum. Jika keluarga tidak disiplin maka tidak akan ada budaya hukum Negara [baca: Jeje Zaenuddin: Jangan Sampai Pemikiran Liberalisme Masuk Ke Dalam Keluarga].
“Nah, hukum yang mengingkat masyarakat itu hukum yang sejiwa dengan masyarakat. Hukum yang efektif itu hukum yang sejalan dengan jiwa masyarakat,” cetus Jeje.
Di Indonesia, menurut Jeje, hukum tidak berjalan karena tidak sejalan dengan jiwa masyarakat. Dan, lanjutnya, jiwa masyarakat Indonesia sendiri adalah muslim tetapi justru hukum yang digunakan adalah sekuler (hukum buatan orang barat,red) bukan hukum Islam.
Dan yang terakhir, Jeje menegaskan, hukum tidak akan tegak jika tidak ada dukungan politik. Maka, menurutnya, dukungan politik itu juga penting. Apalagi saat ini politik di Indonesia telah dikuasai oleh orang-orang non muslim atau yang memiliki pemikiran barat.
“Sehingga ketiga landasan itu kuat tetapi gagal karena tidak ada kekuatan politik. Ini masalah kita,” pungkas Jeje.*

Manusia Tak Akan Nikmati Kedamaian Jika Mengusung Paham Liberal Dalam Jalani Kehidupan

Di negara-negara liberal orang yang paling menarik keuntungan itu adalah seorang lawyer
Manusia pada akhirnya tidak bisa menemukan atau menikmati kedamaian, keteraturan dan keharmonisan dalam kehidupan jika mengusung ide atau pemikiran liberalisme, karena batasan hak antara orang satu dengan lainnya itu cuma satu yaitu selama perbuatan itu tidak mengganggu orang lain (tidak memiliki parameter yang jelas, red).
Pernyataan tersebut disampaikan Ketua Komisi Bidang Hukum Majelis Intelektual dan Ulama Muda (MIUMI) Indonesia, Dr Jeje Zaenuddin usai acara bedah buku bertajuk “Metode dan Strategi Penerapan Syari’at Islam di Indonesia” di Ruang Utama Masjid Pondok Indah, Jakarta Selatan, belum lama ini.
“Jika suatu hukum tidak memiliki batasan atau parameter yang jelas maka kepastian hukum tidak akan pernah ada,” tegas Jeje.
Maka, menurut Jeje, suatu negara yang tidak memiliki batasan hukum yang jelas akan kesulitan dan capek sendiri dalam menangani dan menyelesaikan masalah-masalah atau konflik yang sedang terjadi.
“Negara akan kesulitan ketika harus menangani konflik yang terjadi di antara warganya (kamu melanggar hak saya dan begitu seterusnya,red), itu akan capek sekali negara,” ungkap Jeje.
Karena itu, masih menurut Jeje, di negara-negara liberal orang yang paling menarik keuntungan itu adalah seorang lawyer. Bahkan, lanjutnya, komposisi masyarakat dengan lawyer di negara-negara liberal itu 1 banding 100, maksudnya 100 keluarga dengan 1 lawyer.
“Di sana orang bertetangga saja itu sering berantem dan mereka butuh lawyer. MasyaAllah, itulah rusaknya negara liberal,” ungkap Jeje merasa prihatin.
Sementara dalam Islam, kata Jeje, tidak seperti itu karena menurutnya batasan dengan tetangga itu sudah jelas, batasan antara suami-istri pun juga jelas. Jadi, lanjutnya, pada akhirnya jika bicara jujur mereka yang mengusung liberalisme dalam bidang hukum maka harus tunduk. Sebab tidak bisa liberalisme dilandasi dengan hukum.
“Hukum sendiri itu adalah batas ikatan, setelah fungsinya mencegah, dan melindungi. Lalu, bagaimana hukum bisa dibangun di atas kebebasan, sementara hukum itu sendiri adalah menjaga dan melindungi?” pungkas Jeje.*