Kamis, 11 Juni 2015 - 15:00 WIB
Persetujuan
pihak-pihak bertikai di Yaman untuk bertemu di Jenewa pekan depan tidak serta
merta mengurangi tensi perang di negeri itu
Hari-hari mendatang masih menyimpan banyak
kejutan, meskipun yang ditunggu-tunggu rakyat dan masyarakat internasional
adalah kejutan positif
OPERASI militer negara-negara
sekutu pimpinan Arab Saudi dengan nama sandi Aashifatul
Hazm (Badai Menentukan) untuk mengembalikan pemerintahan sah di
Yaman telah memasuki bulan ketiga. Bila upaya politis untuk mengatasi krisis di
negeri Ratu Sheba itu tidak mengalami kemajuan berarti, dipastikan perang akan
berlarut seperti kejadian di Suriah.
Kekhawatiran upaya penyelesaian politis
bakal gagal sempat terbersit pada minggu terakhir Mei 2015 ketika diumumkan
pertemuan di Kota Jenewa, Swiss ditunda untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pertemuan ini bertujuan untuk menfasilitasi faksi-faksi yang bertikai di Yaman
agar dapat duduk bersama mencari penyelesaian politis guna mengakhiri
pertikaian bersenjata di negara itu.
Pertemuan Jenewa membuka peluang lebar bagi
penyelesaian politis untuk menghentikan pertikaian bersenjata. Karenanya banyak
pihak yang kecewa ketika Utusan Khusus Sekjen PBB untuk Yaman, Ismail Walad
Sheikh Ahmad mengumumkan pada 26 Mei lalu tentang penundaan pertemuan tersebut
untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik
yakni pemerintahan sah dibawah pimpinan Presiden Abdurrabbu Mansyur Hadi di
satu pihak dan kelompok pemberontak Syiah Hautsi dan mantan Presiden Ali
Abdullah Saleh di pihak lain sama-sama mengklaim bahwa pihak lawan lah sebagai
penyebab penundaan itu.
Pemberontak Syiah Al Hautsi (Al-Houthi) dan
kubu mantan Presiden yang masih menguasai sebagian besar angkatan bersenjata
Yaman dinilai ”setengah hati” berunding dengan pemerintahan sah. Kedua kubu
(Hautsi dan Saleh) yang sebelumnya adalah musuh bebuyutan namun bersekutu
menjatuhkan pemerintahan sah ditengarai ingin melanjutkan petualangan militer
untuk memaksa masyarakat internasional menerima realita.
Realita dimaksud adalah bahwa Yaman tidak
lagi berada dibawah pemerintahan Hadi yang dinilai lemah tanpa dukungan
militer, namun negeri itu berada dibawah kekuasaan mantan Presiden Saleh dan
sekutunya Hautsi yang unggul secara militer. Namun upaya pemberontak Hautsi
(Al-Houthi) dan mantan Presiden Saleh yang pernah berkuasa lebih dari tiga
puluh tahun itu dimentahkan oleh Resolusi PBB nomor 2216.
Resolusi tersebut intinya berisi tuntutan
kepada pemberontak Hautsi dan Saleh untuk segera mengundurkan diri dari seluruh
wilayah yang didudukinya dan mengembalikan semua senjata yang dikuasainya ke
pemerintah yang sah. Resolusi ini juga sempat menjadi kendala pertemuan Jenewa
tersebut ketika Presiden Mansyur Hadi menuntut Syiah al-Hautsi dan Saleh
melaksanakan resolusi itu sebagai pra syarat kesedian pemerintah berunding di
Jenewa.
Melihat kebuntuan tersebut, AS yang telah
berhasil mencapai kata sepakat dengan Iran terkait program nuklir negeri Persia
itu mencoba melakukan terobosan dengan melakukan pertemuan dengan Hautsi di
Muscat Oman.
Pertemuan AS dengan Hautsi yang didukungan
Iran itu ternyata berjalan lancar sehingga lobi negeri Paman Sam itu berhasil
meyakinkan kelompok Syiah ini untuk berunding di Jenewa tanpa syarat.
Kebekuan upaya penyelesaian politis di
negeri itu akhirnya mencair karena sebelum Hautsi menerima untuk berunding
pemerintahan Hadi juga lebih dahulu menyatakan kesediaan untuk hadir dalam
pertemuan Jenewa yang dijadwalkan pada 14 Juni mendatang. Hal ini oleh banyak
pengamat dinilai sebagai pembuka jalan bagi Yaman menuju fase politik baru.
Sayangnya persetujuan pihak-pihak bertikai
di Yaman untuk bertemu di Jenewa pekan depan tidak serta merta mengurangi tensi
perang di negeri itu. Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa serangan udara
sekutu terus berlanjut, di lain pihak Hautsi dan Saleh meningkatkan aksinya dengan
menyerang wilayah perbatasan Arab Saudi yang mereka sebut sebagai balasan atas
serangan udara sekutu.
Empat faktor
Terlepas dari situasi perang yang masih
berkecamuk, upaya penyelesaian politis yang diprakarsai PBB di Jenewa tersebut
perlu mendapat perhatian dan dukungan penuh masyarakat internasional.
Pasalnya kekuatan senjata sulit menjadi
penentu penyelesaian damai apalagi dengan kondisi di Yaman yang seluruh
warganya memiliki senjata api dan para pemimpin kabilah pun memiliki milisi
khusus.
Perlu pula dicatat bahwa operasi militer
sekutu pimpinan Saudi ke Yaman intinya bertujuan untuk memaksa pemberontak
Hautsi dan Saleh kembali melanjutkan dialog nasional sesuai kesepakatan
sebelumnya yang diprakarsai oleh negara-negara Teluk. Serangan sekutu tersebut
dilakukan setelah Hautsi dan Saleh secara sepihak melanggar kesepakatan dan
menggunakan kekuatan militer menggulingkan pemerintahan sah dan berusaha
menguasai Yaman.
Memang banyak pihak di Yaman yang khawatir
pertemuan Jenewa tersebut dapat dimanfaatkan Hautsi dan Saleh untuk
menyelamatkan diri dengan mengorbankan rakyat Yaman yang mayoritas antipati
terhadap keduanya. Namun kali ini Hautsi dan Saleh kelihatannya tidak bisa lagi
”mempermainkan” masyarakat dunia setelah mereka menjadi penyebab utama meletusnya
perang saudara di negeri itu.
Setidaknya ada empat faktor yang
menyebabkan Hautsi setuju berunding di Jenewa.
Pertama, adalah serangan badai
penentuan yang menandai bahwa Saudi dan sekutunya di Teluk dan Arab tidak bisa
lagi mentolerir upaya-upaya Iran menguasai negara Arab dengan menanam
pengaruhnya lewat milisi bersenjata di Yaman seperti yang dilakukannya di
Libanon lewat milisi Syiah Hizbullah.
Faktor kedua, adalah
Al-Hautsi dan Saleh beserta pasukannya dianggap berada di luar kerangka
legitimasi internasional setelah keluarnya resolusi PBB nomor 2216. Resolusi
ini mengisyaratkan bahwa kekuasaan mereka tidak sah dan hanya bersifat
sementara sehingga harus segera diakhiri sesuai kehendak rakyat Yaman dan
masyarakat internasional.*
FAKTOR ketiga, adalah terkait dengan
mantan Presiden Ali Abdullah Saleh yang telah kehilangan sekutu utamanya di
negara-negara Teluk. Upaya Saleh yang telah berkuasa secara otoriter lebih dari
tiga dekade di Yaman untuk terus ”bermain api” dinilai sebagai bentuk sikap
putus asa karena kehilangan sekutu dan tidak didukung mayoritas rakyat Yaman.
Faktor keempat, yang oleh banyak pengamat dinilai sebagai faktor terpenting
adalah mengendornya dukungan Iran terhadap Al-Hautsi. Hal ini disebabkan karena
negeri Syiah itu merasa bahwa secara geografis dan sikap internasional, tidak
mampu lagi menancapkan pengaruhnya di Yaman dan merasa gagal memanfaatkan
milisi Hautsi untuk menggabungkan Yaman dalam kelompok negara Arab loyalis
Iran.
Dengan demikian, kendala satu-satunya yang
mungkin dapat mengganggu perundingan Jenewa adalah mantan Presiden Saleh. Belum
ada kepastian apakah ”singa tua” ini siap berunding untuk mencapai penyelesaian
politis atau siap berunding untuk sekedar sarana untuk rehat sejenak sebelum
melanjutkan perang.
Sejumlah analis menilai di tangan Seleh lah
akan muncul kejutan yang ditunggu-tunggu rakyat Yaman. Beberapa informasi
menyebutkan bahwa dia siap mengasingkan diri keluar Yaman yang berarti sebagai
kejutan positif karena akan membuka peluang lebar bagi penyelesaian politis.
Atau sebaliknya kejutan buruk, bila dia tetap ingin melanjutkan perang
habis-habisan meskipun akan bernasib seperti pendahulunya penguasa Libya,
Muammar Kaddafi. Pasalnya bila Saleh menolak ikut serta di Jenewa itu pertanda
buruk karena akan terjadi perang lebih dahsyat dengan musuhnya bahkan dengan
sekutunya sekarang Hautsi bila Hautsi nantinya mencapai kesepakatan dengan
pemerintahan Hadi.
Lebih kondusif
Idealnya semua pihak bertikai di Yaman
dapat memanfaatkan pertemuan Jenewa tersebut untuk mencari solusi damai yang
diterima semua pihak dan sebagai sarana untuk membahas penerapan resolusi PBB
nomor 2216. Pelaksaaan resolusi itu tidak semudah membalik telapak tangan
mengingat peliknya situasi di negeri Ratu Bilquis itu.
Barangkali itu sebabnya pemerintahan
Mansyur Hadi bersedia berunding di Jenewa tanpa besikukuh agar seterunya
melaksanakan terlebih dahulu resolusi tersebut sebagai pra syarat sebelum
memutuskan ikut serta. Pertemuan Jenewa adalah tempat yang lebih kondusif untuk
membahas masalah tersebut.
Sebagai contoh ketika penerapan resolusi
tersebut menyangkut penyerahan semua senjata yang dikuasai Hautsi, tentunya
masih terdapat tanda tanya kepada pihak mana senjata diserahkan mengingat
mayoritas petinggi militer dan angkatan bersenjata Yaman loyal terhadap mantan
Presiden Saleh. Kemudian siapa yang akan mengawasi penyerahan senjata dimaksud.
Lalu pertanyaan selanjutnya, bila Hautsi
bersedia mundur ke basisnya di Provinsi Sa`dah pasukan mana yang akan mengisi
kekosongan di ibu kota dan daerah-daerah yang ditinggalkannya. Tentunya masalah
tersebut secara teknis dan lebih rinci dapat dibahas dalam pertemuan tersebut
agar tercapai kesepakatan yang diterima semua pihak.
Situasi di Yaman menjelang pertemuan Jenewa
masih menyimpan teka-teki akan kesudahan krisis di negeri itu. Hari-hari
mendatang masih menyimpan banyak kejutan, meskipun yang ditunggu-tunggu rakyat
dan masyarakat internasional adalah kejutan positif dari kota indah di Swiss
itu.* (Ahad, 20 Sya`ban 1436 H).*
Penulis adalah
kolumnis hidayatullah.com,
tinggal di Yaman