“NU GARIS LURUS” SUDAH LURUSKAH?
Baru-baru ini muncul sebuah istilah anyar dikalangan NU. Istilah
tersebut adalah, NU GARIS LURUS. Istilah NU Garis Lurus ini muncul, kalau kita
cermati konten “kampanye” dan kalangan yang menyuarakannya, karena kekecewaan
dan keresahan mereka terhadap sebagian oknum petinggi NU yang mereka anggap
melenceng dari NU yang sebenarnya, dan menyimpang dari NU-nya Mbah Hasyim.
Siapapun yang bergelut dalam dunia NU pasti mengakui adanya
Syiahisasi dan Liberalisasi dewasa ini ditubuh NU. Pelaku Syiahisasi dan
Liberalisasi sendiripun -menurut hemat saya- pasti juga mengakui bahwa memang
ada usaha kesana. Perbedaannya mungkin terletak pada persepsinya. Kalau bagi
pelaku Syiahisasi dan Liberalisasi ditubuh NU, usaha mereka itu mungkin mereka
anggap sebagai bentuk aplikasi tawassuth nya NU. Sementara bagi yang kontra,
Syiahisasi dan Liberalisasi ditubuh NU dianggap sebagai usaha untuk “menajisi”
NU.
Dari
yang menentang Syiahisasi dan Liberalisasi dalam tubuh NU itulah kemudian lahir
istilah NU Garis Lurus.
Dan yang perlu untuk digaris bawahi disini, bahwa sebetulnya yang
mengalami keresahan itu bukan hanya yang gencar menyuarakan NU Garis Lurus
semisal, KH. Luthfi Bashori, KH. Najih Maimun, KH. Idrus Romli, dkk. Tetapi
dibelakang mereka sebenarnya ada ribuan Kiyai NU yang telah merasakan keresahan
tersebut. Kalau kita mau turba ke pesantren-pesantren terutama sekali yang ada
di Jawa-Madura pasti kita akan merasakan dan mendengar keluhan-keluhan dan
kekhawatiran itu.
Berulang kali al Faqir utarakan, dusta besar jika dikatakan bahwa
sebetulnya yang khawatir akan merebaknya Syiah dan Liberalisme dalam tubuh NU
hanya segelintir orang NU saja, dan bukan suara kebanyakan ulama NU. Bila ada
yang tetap memaksakan mengatakan bahwa yang resah hanya segelintir dari warga
NU, berarti dia tidak pernah turba ke pesantren-pesantren atau dia mungkin
penganut “‘anzatun wa in thôrot“.
Jadi, sudah tidak dapat dipungkiri bahwa kebanyakan umat NU dewasa
ini khawatir akan menyeruaknya Syiahisasi dan Liberalisasi ditubuh NU. Hanya
bedanya kalau beliau-beliau yang kami tulis namanya diatas gencar menyuarakan
keresahannya lewat tulisan melalui berbagi macam media, adapun ribuan Kiyai
yang lain lebih memilih untuk “mencurhatkannya” kepada Allah saja.
Namun pertanyaannya, benarkah istilah NU Garis Lurus itu? benarkah
NU bengkok sehingga perlu diluruskan?
Untuk menjawab pertanyaan ini tentu terlebih dahulu harus kita
bahas secara detil apa maksud istilah “NU Garis Lurus” itu. Sebab kata ulama
ushul ” al hukmu ala as Syai-i far’un
‘an tashowwurihi“.
Menurut kami, jika yang dimaksud NU Garis Lurus adalah mau
meluruskan ajaran-ajaran KH. Hasyim Asy’ari dan ulama-ulama lain yang merupakan
pendiri NU karena ada dari ajaran mereka yang perlu diluruskan, maka saya kira
istilah tersebut kurang benar. Dan kalau masih saja ada yang memaksakan
kehendak untuk menggunakan istilah NU Garis Lurus dengan maksud seperti ini,
maka -menurut saya- berarti orang tersebut bukan orang NU, dan lebih baik cari
istilah lain yang tidak memakai kata NU.
Tetapi, kalau kami amati dari diskusi kami dengan kalangan yang
menyuarakan istilah NU Garis Lurus, tampaknya bukan maksud seperti diatas tadi
itu yang mereka inginkan.
Kalau yang dimaksud NU Garis Lurus adalah untuk menjernihkan dan
meluruskan NU sehingga tetap pada rel yang sudah dibuat oleh Mbah Hasyim yang
dewasa ini sudah mulai ada yang berupaya membelokkannya ke arah yang lain, maka
saya kira hal itu sah-sah saja. Yang seperti ini hampir sama dengan penamaan
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang kalau kita amati sejarahnya, dimunculkan sebagai
pembeda dan penyelamat Umat Islam, ditengah-tengah ramainya usaha untuk meng
“Qodariyah” kan dan men “Jabriyah” kan Islam dan Umat Islam.
Sejauh yang kami tangkap dari berbagai diskusi kami dengan para
pegiat NU Garis Lurus, tujuan dan maksud seperti inilah yang diinginkan mereka.
Sehingga, sah-sah saja mereka menggunakan istilah tersebut.
Yang aneh, banyak kalangan yang menentang istilah NU Garis Lurus
ini justru dari kalangan-kalangan pegiat Liberalisasi yang setiap harinya
menyuarakan kebebasan berpendapat. Jika ketika mereka mengkritik istilah NU
Garis Lurus disertai penjelasan “masing-masing boleh berpendapat” kemudian
setelah itu silahkan mengkonter, saya kira jika mereka melakukan yang demikian
berarti mereka sportif. Namun sejauh yang saya cermati ada ketidak fair-an dari
mereka para pegiat Liberalisme ketika mengkonter istilah NU Garis Lurus ini.
Dimana kalau kita baca ditulisan-tulisan mereka, sama sekali tidak ada kesan
menghargai kebebasan berpendapat. Bila kita membaca tulisan-tulisan mereka yang
mengkritisi istilah NU Garis Lurus satu kesimpulan yang akan kita dapatkan,
“pokoknya siapa yang menggunakan istilah NU Garis Lurus dan pengiatnya berarti
bukan NU”. Disinilah kami menangkap ada ketidak sportifan.
Memang (ini hanya sebagai istithroth dalam tulisan ini)
wabilkhusus di Indonesia banyak dari kalangan yang seringkali menyuarakan
kebebasan berpendapat, tetapi ketika tidak sependapat dengan sebuah pendapat
dan akan mengkritisi pendapat orang lain yang tidak dia sepakati itu, kadang-kadang
mereka terjebak kepada tidak menghargai pendapat orang lain.
Sebuah contoh, permasalahan yang baru-baru saja hangat
diperbincangkan, yaitu masalah membaca al Quran dengan langgam jawa. Adalah
Musthofa Bisri atau yang akrab dipanggil Gus Mus, sebagai sosok yang setiap
harinya getol menyuarakan kebebasan berpendapat yang kebetulan dia pro al Quran
langgam jawa, namun alangkah naifnya ketika kami membaca komentarnya. “Islam
Kagetan. Termasuk ciri-ciri orang memiliki ilmu yang nyegoro (luas laksana
lautan) salah satunya adalah tidak kagetan. Bukan seperti ini: ada al Quran
langgam jawa kaget…..”, begitu tulisnya.
Menurut saya, ini adalah contoh sikap yang tidak fair. Meskipun
saya termasuk yang tidak mempermasalahkan langgam jawa asal tidak merubah
tajwid dan makhrajnya, tetapi seharusnya Gus Mus tidak menuduh yang tidak pro
al Quran langgam jawa dengan tuduhan dangkal pengetahuannya (sebagai mafhum
mukholafah dari tidak nyegoro ilmunya), juga tidak menyematkan predikat yang
berkonotasi negatif kepada mereka yang anti al Quran langgam jawa dengan
predikat “Islam Kagetan”.
Sungguh yang seperti ini merupakan langkah yang tidak sportif dari
seorang yang getol mengkampanyekan kebebasan berpendapat. Seharusnya Gus Mus
sebagai sosok yang getol mengkoar-koarkan kebebasan berpendapat juga
menghormati yang berbeda pendapat dengannya. Bukan kok dicap Islam Kagetan.
Kalau memang mau fair, seharus Gus Mus membawa perbedaan pendapat
tersebut kepada ranah kebebasan berpendapat.
Kembali kepada pembahasan NU Garis Lurus. Lebih parahnya lagi,
kadang-kadang ketika mengkonter istilah NU Garis Lurus mereka keliru didalam
perhujjahan dan hanya asbun (asal bunyi) saja. Sebuah contoh, komentar dari
Ulil Abshar ketika dia mengkritisi istilah NU Garis Lurus, kata dia, NU tidak
perlu diluruskan. Kalau NU Lurus justru bukan NU namanya. Karena -masih kata
Ulil- filosofi NU itu seperti tali yang dalam lambang NU. Dia lentur, tidak
kaku.
Menurut saya, komentar dari Ulil Abshar ini keliru alamat dan asbun (asal
bunyi) saja. Karena sebenarnya, lambang NU itu -menurut saya- justru lebih
identik dan lebih memihak kepada NU Garis Lurus. Hujjahnya justru ada pada
lambang NU, terutama tali yang melingkar pada lambang tersebut. Karena siapapun
tahu (dan silahkan lihat pada Anggaran Dasar NU) bahwa sembilan bintang yang
ada pada lambang NU merupakan perlambang Rasulullah dan al Khulafa’ul Arba’ah,
sementara empat bintang sisanya merupakan perlambang al Madzahibul Arba’ah.
Yang kesemuanya itu dilingkari dengan tali. Juga bintang sembilan tersebut
merupakan perlambang wali sembilan. Maka, dari sinilah -menurut kami- justru
lambang itu berpihak kepada NU Garis Lurus. Dari lambang NU dapat kita
simpulkan bahwa NU adalah organisasi yang sangat menghargai al Khulafa’ul
Arba’ah, itu artinya berarti NU sangat bersimpangan dan tidak bisa menerima
Syiah sebagai madzhab yang tidak menerima Abu Bakar, Umar dan Utsman, bahkan
mengkafirkannya. Juga, NU adalah berpedoman kepada al Madzahibul Arba’ah.
Artinya, lagi-lagi NU tidak menerima Syiah. Kesemuanya itu diperkuat bahwa
sembilan bintang dalam lambang NU diakhiri dengan dilingkari tali sembilan
puluh sembilan simpul. Demi menegaskan bahwa NU tidak menerima selain yang
dalam tali tersebut.
Sekalilagi, kalau kita mau berhujjah dengan lambang NU, justru itu
memihak kepada NU Garis Lurus yang termasuk kampanyenya memurnikan NU dari
terkontaminasi ajaran dan oknum Syiah. Dan tidak memihak kepada NU nya Ulil wa
ashabih, yang notabene mengakomodir Syiah sekalipun.
Audan ilal waro’. Jadi,
menurut saya jika yang dimaksud dengan istilah “NU Garis Lurus” adalah
menjernihkan, mengawal dan meluruskan NU sehingga tetap pada rel yang sudah
dibuat oleh Mbah Hasyim yang dewasa ini sudah mulai ada yang berupaya
membelokkannya ke arah yang lain, maka saya kira hal itu sah-sah saja.
Sekalilagi, Yang seperti ini hampir sama disaat salafunas sholih mencetuskan
istilah Ahlus Sunnah Wal Jama’ah yang kalau kita amati sejarahnya, dimunculkan
sebagai pembeda dan penyelamat Islam yang betul-betul jernih, ditengah-tengah
ramainya usaha untuk meng “Qodariyah” kan dan men “Jabriyah” kan Islam. Padahal
sebenarnya Islam sebetul-sebetul Islam ya Islam. Dimunculkan istilah Islam
Ahlus Sunnah wal Jama’ah untuk menyelamatkan Umat Islam dari Qadariyahisasi dan
Jabariyahisasi.
“Rabbî
fasluk binâ sabîla rijâlin
Salakû fit tuqô thorîqon
sawiyyah”
Jember 28 Ramadlan 1436 H.
Ditulis oleh, Muhammad Hasan
Abdul Muiz, khodimu Ma’had as Sayyid Muhammad Alawi al Maliki, Bondowoso.
Alumni Masyru’ Abuya as Sayyid Ahmad al Maliki, angkatan 2006-2013.
(NUGarisLurus.Com)