Friday, November 6, 2015

Benarkah Khawarij Muncul Dari Najd Arab Saudi?? Di Manakah Najd? Fitnah Masyriq – Kemunculan Tanduk Setan. [ Bagian Kedua ]



Ini merupakan sedikit kelanjutan artikel saya yang berjudul : Tanduk Setan. Hanya sedikit tambahan saja, karena sebenarnya dalam artikel tersebut telah dijelaskan kedudukan permasalahannya. Ada beberapa point yang perlu tambahkan, karena ada orang yang mendla’ifkan riwayat yang telah saya bahas. Adapun validitas kritikan orang tersebut, mari kita lihat bersama :1.      Riwayat Ath-Thabaraaniy dalam Mu’jamul-Kabiir.
حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر : أن النبي صلى الله عليه وسلم قال : اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في الثالثة أو الرابعة، قالوا: يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال: إنّ بها الزلازل والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Ma’mariy : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Mas’uud : Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun, dari ayahnya, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yamaan kami”. Beliau mengatakannya beberapa kali. Saat beliau mengatakan yang ketiga kali atau keempat, para shahabat berkata : “Wahai Rasulullah, dari juga ‘Iraaq kami ?”. Beliau bersabda : “Sesungguhnya di sana terdapat bencana dan fitnah. Dan di sana lah muncul tanduk setan” [Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/384 no. 13422; sanadnya jayyid].

Tapi ada yang mengatakan bahwa ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun ini telah menyelisihi Husain bin Hasan dan ‘Azhar bin Sa’d yang membawakan dengan lafadh Najd, bukan ‘Iraq. Sehingga, katanya, haditsnya ini tidak shahih.
Saya katakan : Nampaknya orang ini sedang berandai-andai dengan pemikirannya. Yang dikatakan ta’arudl (dalam matan) dalam ilmu hadits adalah jika bertentangan dalam makna dan tidak bisa untuk dijamak. Pengandai-andaiannya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq adalah bertentangan (ta’arudl) adlah sesuai dengan definisi dan keinginannya. Bukan sesuai dengan ilmu ushul hadits dan ushul-fiqh yang ma’ruf. Telah saya tulis sebelumnya bahwa lafadh Najd dan ‘Iraq tidak bertentangan dan bisa dijamak. Sesuai dengan lisan dan pemahaman orang ‘Arab. Telah saya sebutkan perkataan Al-Khaththaabiy dan Al-Kirmaaniy bagaimana makna kata ‘Najd’ bagi orang ‘Arab (bukan menurut orang tersebut). Silakan merujuk kembali. Dalam kamus bahasa ‘Arab pun Ibnul-Mndhuur menyebutkan :
وما ارتفع عن تِهامة إِلى أَرض العراق، فهو نجد
“Semua tanah yang tinggi dari Tihaamah sampai tanah ‘Iraaq, maka itu Najd” [lihat dalam Lisaanul-‘Arab].
Adapun ‘Ubaidullah sendiri, maka Al-Bukhaariy berkata : “Ma’ruuful-hadiits” [At-Taariikh Al-Kabiir, 5/388 no. 1247]. Abu Haatim berkata :  “Shaalihul-hadiits” [Al-Jarh wat-Ta’diil, 5/322 no. 1531].
Oleh karena itu, hadits ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun masih selaras dengan perawi lainya. Asy-Syaikh Masyhuur rahimahullah menghukumi sanad ini jayyid (sebagaimana saya sebutkan pada artikel terdahulu).
2.      Riwayat Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath.
حدثنا علي بن سعيد، قال : نا حماد بن إسماعيل بن علية، قال : نا أبي، قال : نا زياد بن بيان، قال : نا سالم بن عبد الله بن عمر [عن أبيه] قال : صلى النبي صلى الله عليه وسلم صلاة الفجر، ثم انتفل، فأقبل على القوم، فقال : اللهم بارك لنا في مدينتنا، وبارك لنا في مدِّنا وصاعنا، اللهم بارك لنا في شامنا، ويمننا. فقال جل : والعراقُ يا رسول الله، فسكت، ثم قال : اللهم بارك لنا في مدينتنا، وبارك لنا في مدِّنا وصاعنا، اللهم بارك لنا في حرمنا، وبارك لنا في شامنا، ويمننا. فقال رجل : والعراق يا رسول الله، قال : من ثَمَّ يطلع قرن الشيطان، وتهيج الفتن.
Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Sa’iid, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Hammaad bin Ismaa’iil bin ‘Ulayyah, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ziyaad bin Bayaan, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari ayahnya, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat shubuh, kemudian berdoa, lalu menghadap kepada para orang-orang. Beliau bersabda : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah kami, berikanlah barakah kepada kami pada (takaran) mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata : “Dan ‘Iraaq, wahai Rasulullah ?”. Beliau diam, lalu bersabda :  “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah kami, berikanlah barakah kepada kami pada (takaran) mudd dan shaa’ kami. Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada tanah Haram kami, dan berikanlah barakah kepada kami pada Syaam kami dan Yaman kami”. Seorang laki-laki berkata : “Dan ‘Iraaq, wahai Rasulullah ?”. Beliau bersabda : “(Tidak), dari sana akan muncul tanduk setan dan berkobar dan fitnah” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Ausath, 4/245-246 no. 4098; shahih].
Katanya, hadits ini tidak shahih karena faktor Ziyaad bin Bayaan. Ziyaad bin Bayaan dikatakan oleh Adz Dzahabi “tidak shahih hadisnya”. Bukhari berkata “dalam sanad hadisnya perlu diteliti kembali” [Al Mizan juz 2 no 2927] ia telah dimasukkan Adz Dzahabi dalam kitabnya Mughni Ad Dhu’afa no 2222 Al Uqaili juga memasukkannya ke dalam Adh Dhu’afa Al Kabir 2/75-76 no 522.
Saya katakan : Ia hanya menyebutkan jarh-nya saja. Padahal kedudukan yang benar atas diri Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq lagi ‘aabid [Taqriibut-Tahdziib, hal. 343 no. 2068]. An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya (laisa bihi ba’s)”. Ibnu Hibbaan memasukkanya dalam Ats-Tsiqaat, dan berkata : “Ia seorang syaikh yang shaalih”. Tautsiq Ibnu Hibbaan jika dijelaskan seperti ini adalah diterima, sebagaimana penjelasan Al-Mu’allimiy Al-Yamaaniy dalam At-Tankiil. Ibnu ‘Adiy memasukkan dalam Al-Kaamil karena mengambl pertimbangan perkataan Al-Bukhaariy. Dan sebab pendla’ifan Al-Bukhaariy pun dijelaskan, yaitu dengan sebab hadits Al-Mahdiy. Al-Bukhaariy berkata : “Fii isnadihi nadhar”. Jarh ini kurang shariih. Ibnu ‘Adiy pun menyebutkan pentautsiqan Abul-Maliih (Al-Hasan bin ‘Umar – seorang yang tsiqah) pada Ziyaad bin Bayaan saat menyebutkan sanad hadits Al-Mahdiy; Abul-Maliih berkata : “Telah menceritakan kepada kami seorang yang tsiqah”. Ibnu ‘Adiy menjelaskan : “Telah menceritakan kepada kami sorang yang tsiqah, maksudnya adalah Ziyaad bin Bayaan”. Kemudian Ibnu ‘Adiy menyebutkan sanad yang lain yang menjelaskan hal tersebut [Al-Kaamil, 4/144-145 no. 697]. Hal yang sama pada Al-‘Uqailiy, dimana ia memasukkan dalam Adl-Dlu’afaa dengan pijakan perkataan Al-Bukhaariy di atas [2/430-431 no. 523]. Adz-Dzahabiy pun demikian, yaitu menyandarkan ketidakshahihan haditsnya pada hadits Al-Mahdiy. Akan tetapi ia memberikan penghukuman akhir terhadap Ziyaad : “Shaduuq” [Al-Kaasyif, 2/408 no. 1671].
Oleh karenanya, pentautsiqan An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, dan Abul-Maliih lebih kuat dari perkataan yang mendla’ifkannya. Kaidah mengatakan : Ta’diil lebih didahulukan daripada jarh yang mubham.
Final result-nya adalah sebagaimana dikatakan Ibnu Hajar : “shaduuq”.
Walhasil, hadits ini hasan atau shahih.
3.      Riwayat Al-Fasaawiy dalam Al-Ma’rifah.
حدثنا محمد بن عبد العزيز الرملي : حدثنا ضمرة بن ربيعة عن ابن شوذب عن توبة العنبري عن سالم عن ابن عمر قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : اللهم بارك لنا في مدينتنا، وفي صاعنا، وفي مدِّنا وفي يمننا وفي شامنا. فقال الرجل : يا رسول الله وفي عراقنا ؟. فقال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : بها الزلازل والفتن، ومنها يطلع قرن الشيطان.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-‘Aziiz Al-Ramliy : Telah menceritakan kepada kami Dlamrah bin Rabii’ah, dari Ibnu Syaudzab, dari Taubah Al-‘Anbariy, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ya Allah, berikanlah barakah kepada kami pada Madinah kami, pada (takaran) shaa’ kami, pada (takaran) mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata : “Wahai Rasulullah, dan juga pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab : “Di sana terdapat bencana dan fitnah. Dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [Diriwayatkan oleh Al-Fasawiy dalam Al-Ma’rifah 2/746-747; sanad hadits ini hasan].
Katanya, hadits ini mengandung ‘illat, yaitu Ibnu Syaudzab tidak mendengar dari Taubah. Katanya juga, ia melakukan tadlis dengan menghilangkan nama gurunya.
Apa dasar penghukuman Ibnu Syaudzab tidak mendengar dari Taubah ? Katanya, hadis dengan matan seperti di atas diriwayatkan juga dari Walid bin Mazyad Al Udzriy Al Bayruuti dari Abdullah bin Syaudzaab dari Abdullah bin Qasim, Mathr, Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbary dari Salim dari ayahnya secara marfu’ sebagaimana yang disebutkan oleh Al Fasawi dalam Ma’rifat Wal Tarikh 2/747, Ath Thabrani dalam Musnad Asy Syamiyyin 2/246 no 1276, Ibnu Asakir dalam Tarikh Dimasyq 1/130-131 dan Abu Nu’aim dalam Hilyatul Auliya 6/133.
حدثنا عبد الله بن العباس بن الوليد بن مزيد البيروتي حدثني أبي أخبرني أبي حدثني عبد الله بن شوذب حدثني عبد الله بن القاسم ومطر الوراق وكثير أبو سهل عن توبة العنبري عن سالم بن عبد الله بن عمر عن أبيه أن رسول الله صلى الله عليه و سلم قال اللهم بارك في مكتنا وبارك لنا في مدينتنا وبارك لنا في شامنا وبارك لنا في يمننا اللهم بارك لنا في صاعنا وبارك لنا في مدنا فقال رجل يا رسول الله وعراقنا فأعرض عنه فرددها ثلاثا وكان ذلك الرجل يقول وعراقنا فيعرض عنه ثم قال بها الزلازل والفتن وفيها يطلع قرن الشيطان
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin ‘Abbas bin Walid bin Mazyad Al Bayruutiy yang berkata telah menceritakan kepadaku ayahku yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Syawdzab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abdullah bin Qasim, Mathr Al Waraaq dan Katsir Abu Sahl dari Taubah Al Anbariy dari Salim bin Abdullah bin Umar dari ayahnya bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda “Ya Allah berikanlah keberkatan kepada Mekkah kami, dan berikanlah keberkatan kepada kami pada Madinah kami, pada shaa’ kami, pada mudd kami, pada Yaman kami, dan pada Syaam kami”. Seorang laki-laki berkata “Wahai Rasulullah, dan pada ‘Iraaq kami ?”. Beliau menjawab “di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula akan muncul tanduk setan” [Musnad Asy Syamiyyin Thabrani 2/246 no 1276].
Saya katakan :
Perkataan ini secara eksplisit hendak menyimpulkan bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas adah munqathi’.
Pertama, menyandarkan keterputusan Ibnu Syaudzab dengan Taubah hanya karena Ibnu Syaudzab juga meriwayatkan melalui perantaraan ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl; dari Taubah, bukan sebab yang kuat. Alasannya, telah ma’ruf bahwa salah satu guru/syaikh dari Ibnu Syaudzab adalah Taubah Al-‘Anbariy [lihat : Tahdziibul-Kamaal, 15/94]. Jadi bukan satu hal yang mustahil ia meriwayatkan dari Taubah, dan bersamaan dengan itu ia juga meriwayatkan melalui perantaraan orang lain. Semuanya dihukumi bersambung. Misalnya, Hafsh bin Ghiyaats meriwayatkan hadits puasa Syawal melalui jalan Sa’d bin Sa’iid bin Qais [Diriwayatkan oleh Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Aatsaar 6/123 no. 2345 dan Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912]. Namun, di lain kesempatan ia juga meiwayatkan melalui perantaraan Yahyaa bin Sa’iid bin Qais. Keduanya adalah riwayat bersambung. Hafsh bin Ghiyaats sendiri berkata : “Kemudian aku bertemu dengan Sa’d bin Sa’iid, lalu ia menceritakan kepadaku (hadits ini)” [Diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy 4/136 no. 3912].
Masih banyak contoh lain semisal dengan ini.
Pendek kata, menyimpulkan riwayat ini terputus hanya semata-mata karena Ibnu Syaudzab juga meriwayatkan dari Taubah melalui perantaraan orang lain bukan alasan yang kuat.
Kedua, taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasawiy di atas munqathi’; maka sejak kapan meriwayatkan hadits secara munqathi’ seperti ini langsung di-ta’yin melakukan tadlis ? Jelas beda antara irsal dan tadlis. Pensifatan tadlis itu hanya diterima jika ada perkataan para ulama yang menjelaskan bahwa ia orang yang melakukan tadlis. Kalau hanya sekedar meriwayatkan secara maushul di satu jalan dan mursal/munqathi’ di jalan yang lain, itu bukan tadlis namanya. Saya pingin tahu rujukannya di kitab ilmu hadits yang menjelaskan kaedah aneh ini. Jika ini diterapkan, maka jumlah perawi mudallis yang ditulis Ibnu Hajar dalam Ath-Thabaqaat akan bertambah tebal dua kali lipat atau lebih.
Ketiga, taruhlah kita terima bahwa riwayat Al-Fasaawiy di atas munqathi’, justru riwayat Ibnu Syaudzaab yang secara shaarih berkata : “Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Abdullah bin Al-Qaasim, Mathr, dan Katsiir bin Sahl, dari Taubah Al-‘Anbariy” menunjukkan penyambungan riwayat munqathi’ tadi.
Keempat, ‘Abdullah bin Al-Qaasim adalah seorang yang shaduuq. Mathr Al-Warraaq ini adalah shaduuq, namun banyak salahnya. Katsiir (bin Ziyaad) Abu Sahl ini adalah seorang yang tsiqah. Ketiganya meriwayatkan dari Taubah, dari Saalim, dari Ibnu ‘Umar secara marfuu’. Riwayat ketiganya saling menjadi saksi dengan yang lain, sehingga tidak ragu untuk mengatakan bahwa riwayat ini shahih.
Oleh karena itu, perkataan : Illat atau cacat yang ada pada riwayat Ibnu Syawdzab adalah tidak diketahui dari syaikhnya yang mana lafaz Iraq tersebut berasal; tidak perlu dihiraukan.
Anehnya, ada metode pilih-pilih perawi saat orang itu berkata : Terdapat kemungkinan kalau riwayat Ibnu Syawdzab dengan lafaz Iraq ini berasal dari Mathar bin Thahman Al Warraq dan disebutkan Ibnu Hajar kalau ia seorang yang shaduq tetapi banyak melakukan kesalahan [At Taqrib 2/187]. Mengapa harus Mathar bin Thahmaan ? Ya, karena ia adalah perawi yang paling mungkin untuk dijadikan alasan pendla’ifan. Padahal, sanad hadits itu satu, dimana Mathar ini diikuti (punya mutaba’ah) dari ‘Abdullah bin Al-Qaasim dan Katsiir bin Ziyaad Abu Sahl.
Adapun pencacatan terhadap Taubah Al-‘Anbariy dengan mengambil perkataan Al-Azdiy, maka ini tidak merusak kredibilitas Taubah. Al-Azdiy dikenal sebagai seorang yang sangat keras dalam masalah jarh. Adapun jama’ah ulama telah mentsiqahkan Taubah.
4.      Riwayat Muslim dalam Shahih-nya.
حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر الوكيعي (واللفظ لابن أبان). قالوا: حدثنا ابن فضيل عن أبيه. قال: سمعت سالم بن عبدالله بن عمر يقول: يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن الفتنة تجئ من ههنا" وأومأ بيده نحو المشرق "من حيث يطلع قرنا الشيطان" وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض. وإنما قتل موسى الذي قتل، من آل فرعون، خطأ فقال الله عز وجل له: {وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا} [20/طه/40].
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini - ia menunjukkan tangannya ke arah timur - dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Muusaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir'aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah 'azza wa jalla berfirman padanya : 'Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan." (Thaahaa: 40)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 (50)].
Katanya, jika dilihat baik-baik tidak ada penunjukkan bahwa timur yang dimaksud oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah Iraq. Disini Salim bin Abdullah bin Umar mengingatkan penduduk Iraq bahwa terdapat hadis Nabi akan ada fitnah yang datang dari arah timur.  Oleh karena itu Salim memberi peringatan kepada penduduk Iraq agar mereka tidak menjadi fitnah yang dimaksud dalam hadis tersebut. Telah lazim kalau mengingatkan seseorang bukan berarti menuduh orang tersebut. Lagipula perkataan seorang tabiin tidaklah menjadi hujjah jika telah jelas dalil shahih dari Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Bisa jadi Salim tidak mengetahui hadis shahih dari Ibnu Umar kalau tempat yang dimaksud adalah Najd sebagaimana yang telah diriwayatkan dari Nafi’.
Saya katakan : Silakan para Pembaca budiman membandingkan perkataannya dengan perkataan Saalim. Justru Saalim sedang mengamalkan apa yang ia pahami tentang hadits fitnah, kemunculan tanduk setan. Ia berbicara tentang hadits itu kepada penduduk ‘Iraaq, bukan selainnya. Adapun perkataannya bahwa perkataan tabi’in tidak menjadi hujjah, maka ini bukan konteksnya. Konteks yang berlaku di sini adalah perkataan Saalim diterima dalam penafsiran hadits. Asal perkataan perawi terhadap hadits yang dibawakannya lebih didahulukan daripada selainnya. Ini yang ma’ruf. Lagi pula, apa yang dikatakan Saalim sesuai dengan hadits-hadits shahih yang telah disebut di atas, dan juga hadits di bawah (saya tulis yang belum tertulis di artikel lalu) :
حدثنا عبد الله حدثني أبي حدثنا ابن نمير حدثنا حنظلة عن سالم بن عبد الله بن عمر عن ابن عمر قال رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يشير بيده يؤم العراق ها إن الفتنة ههنا إن الفتنة ههنا ثلاث مرات من حيث يطلع قرن الشيطان.
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah : Telah menceritakan kepadaku ayahku (Ahmad bin Hanbal) : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Numair : Telah menceritakan kepada kami Handhalah, dari Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : Aku pernah melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berisyarat dengan tangannya menunjuk ke arah ‘Iraaq. (Beliau bersabda) : “Di sinilah, fitnah akan muncul, fitnah akan muncul dari sini”. Beliau mengatakannya tiga kali. “Yaitu, tempat munculnya tanduk setan" [Diriwayatkan oleh Ahmad, 2/143].
Shahih sesuai syarat Al-Bukhaariy dan Muslim.
Ibnu Numair, ia adalah ‘Abdullah bin Numair Al-Hamdaaniy Abu Hisyaam Al-Kuufiy; seorang yang tsiqah shaahibul-hadiits dari kalangan Ahlus-Sunnah (w. 199 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [Taqriibut-Tahdziib, hal. 553 no. 3692].
Handhalah, ia adalah Ibnu Abi Sufyaan bin ‘Abdirrahmaan bin Shafwaan bin Umayyah Al-Qurasyiy Al-Jumahiy Al-Makkiy; seorang yang tsiqah lagi hujjah (w. 151 H). Dipakai Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya [idem, hal. 279 no. 1591].
Dan saya pikir, dalam penshahihan ini tidak ada hubungannya dengan keberatan jika yang dimaksud daerah kemunculan tanduk setan itu adalah Najd. Sebab para ulama terdahulu, ratusan tahun sebelum Asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhaab dilahirkan, telah menjelaskan makna Najd dalam hadits fitan adalah ‘Iraaq.
Adapun yang lain, silakan merujuk artikel Tanduk Setan.
Wallaahu a’lam.
[abul-jauzaa’, nJakal, Ngaglik, nJokja].

NB : Dalam artikel lalu dan ini, saya sengaja tidak membawakan seluruh riwayat dan hadits yang berbicara tentang tanduk setan, khususnya yang menyebutkan ‘Iraaq untuk menghemat waktu dan energi. kelanjutan artikel ini, silakan baca :  Fitnah Masyriq - Kemunculan Tanduk Setan.

COMMENTS

abu wafa mengatakan...
subhanalloh...
syukron atas tambahan ilmunya ust...
another counter to SP...
baarokallohu fiik

15 Oktober 2010 15.50
Anonim mengatakan...

27 Oktober 2010 15.31
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Terima kasih telah menunjukkan link-nya. Tapi yang saya lihat dari ‘bantahan’ tersebut hanyalah apologi orang yang sedang kehabisan akal. Akan saya jawab dalam beberapa poin sebagai berikut :

1. Hadits Ziyaad bin Bayaan.

Permasalahan mengenai lafadh jarh : fii isnaadihi nadhar (dalam sanad yang ia bawakan perlu diteliti). Nampaknya orang Syi’ah itu tidak memahami dengan baik makna jarh ini. Fii isnadihi nadhar itu berbeda dengan fiihi nadhar. Jarh fii isnadihi nadhar merupakan lafadh jarh yang menunjukkan pengingkaran Al-Bukhaariy terhadap hadits/sanad yang dibawakan. Dan itu belum tentu menunjukkan pengingkaran Al-Bukhaariy kepada shaahibut-turjumah. Bisa jadi karena kelemahan shahibut-turjumah, bisa juga selainnya, bisa juga karena sanadnya mursal, dan yang lainnya.

Silakan baca pembahasan ini dalam kitab : Syifaaul-‘Alill bi-Alfaadhi wa Qawaa’idi Al-Jarh wat-Ta’diil oleh Abul-Hasan Al-Ma’ribiy, hal. 312-313 dan 378-379.

Oleh karena itu, saya katakan dalam artikel di atas, jarh tersebut tidak/kurang sharih. Dalam bahasan ini, mana qarinah dari Al-Bukhaariy yang secara jelas menunjukkan kelemahan dari Ziyaad ? Pembaca akan lihat ‘pemaksaan’ logika yang dikemukakan orang Syi’ah tersebut pada diri Ziyaad. Dan sangat lucu orang Syi’ah itu mengatakan :

Jadi kesimpulannya Ziyaad bin Bayaan tertuduh meriwayatkan hadis mungkar dan pengingkaran Bukhari terhadap hadisnya justru menunjukkan kalau disisi Bukhari Ziyaad bin Bayaan adalah seorang yang dhaif.

Kok ‘ujug-ujug’ tertuduh meriwayatkan hadits munkar dan Ziyaad adalah dla'if di sisi Al-Bukhaariy. Yang dikatakan Ibnu ‘Adiy adalah :

والبخاري إنما أنكر من حديث زياد بن بيان هذا الحديث، وهو معروف به

“Al-Bukhaariy hanyalah mengingkari hadits Ziyaad bin Bayaan adalah hadits ini saja (yaitu hadits Al-Mahdiy). Dan ia telah dikenal dengannya”.

Mafhumnya, menurut Ibnu ‘Adiy, Al-Bukhaariy tidak mengingkari hadits Ziyaad yang lainnya.

Begitu juga dengan Al-‘Uqailiy : “Dan yang benar, itu adalah perkataan Ibnul-Musayyib, sedangkan yang musnad (=marfu’), maka tidak benar”. Ini semakin jelas menunjukkan kritikan Al-Bukhaariy itu adalah tentang status kemarfu’-an hadits Ziyaad bin Bayaan itu. Perkataan mengingkari (sbagian) hadits Ziyaad itu tidak sama artinya bahwa Ziyaad munkarul-hadits, atau hadits-haditsnya munkar. Pahami ini dengan baik.

Perkataan para ulama setelahnya yang memberikan jarh kepada Ziyaad (seperti Ibnu Hibbaan, Ibnu ‘Adiy, Al-‘Uqailiy, da yang lainnya) adalah mengikuti Al-Bukhaariy di atas.

Mengenai tautsiq Abu Maliih, setelah saya teliti, memang benar adalah kelemahan dari Ahmad bin ‘Abdirrahmaan. Namun tautsiq itu juga ada dalam jalan yang lain, yaitu dari perkataan Al-Bukhaariy :

“Telah berkata ‘Abdul-Ghaffaar bin Daawud : Telah menceritakan kepada kami Abu Maliih Ar-Raqqiy, ia mendengar Ziyaad bin Bayaan – lalu Abul-Maliih menyebutkan keutamaannya - ….” [At-Taariikh Al-Kabiir 3/346 no. 1171 dan Tahdziibul-Kamaal 9/436; shahih sampai Abul-Maliih].

Adapun Adz-Dzahabiy, ia mengatakan bahwa haditsnya yang tidak shahih itu adalah hadits tentang Al-Mahdiy. Namun haditsnya yang lain, maka hasan/shahih. Terbukti dalam Al-Kaasyif ia mengatakan shaduuq.

Dengan tetapnya tautsiq An-Nasaa’iy, Ibnu Hibbaan, Abul-Maliih, yang kemudian hal itu disepakati oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabiy menunjukkan bahwa status yang benar atas diri Ziyaad bin Bayaan adalah shaduuq.

Dikuatkan lagi beberapa perawi tsiqah meriwayatkan darinya seperti Abul-Maliih, Ismaa’iil bin ‘Aliyyah Al-Bashriy, dan Ja’far bin Burqaan.

30 Oktober 2010 16.16
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
2. Permasalahan ‘Abdullah bin Syaudzab.

Di point saya mengharapkan kepada rekan-rekan Pembaca agar ikut membantu menyaksikan keanehan metodologi orang Syi’ah ini dengan membuka buku mushthalah – bahkan yang paling ringkas sekalipun. Ia mengatakan bahwa ‘Abdullah bin Syaudzab telah melakukan tadlis dengan alasan ia telah meriwayatkan secara langsung dengan Taubah dalam satu sanad, dan meriwayatkan melalui perantaraan dalam sanad yang lain.

Kita tanyakan kepada orang Syi’ah itu :

“Apa dlabith (batasan/kaedah) Anda dalam membedakan irsal dan tadlis ?”.

Jawab saja secara sederhana, ringkas dan padat. Bukan dengan logika berputar-putar sebagaimana dalam tulisannya. Hadits mudallas tentu mursal, namun yang mursal belum tentu mudallas. Kita pingin tahu jawaban dia dalam pembedaan mursal dan mudallas.

[catatan : menurut kaedah bid’ahnya itu, akan mengkonsekuensikan para perawi yang mengirsalkan satu hadits akan dihukumi melakukan tadlis. Sebab, yang namanya meng-irsal-kan riwayat itu adalah menggugurkan perantara dan menyambungkannya langsung dengan syaikh di atasnya].

Telah saya katakan dalam artikel di atas bahwa membawakan pembawaan ‘Abdullah bin Syaudzab dari Taubah secara langung bukan sebab yang kuat untuk menjustifikasi bahwa riwayat ‘Abdullah tersebut adalah mursal (ingat : saya tidak menyebutkan mudallas). Dalam ilmu hadits telah dikatakan bahwa hadits mu’an’an itu diterima jika perawinya bukan mudallas dan ada kemungkinan ia dan gurunya melakukan pertemuan. Dan hal itu telah terpenuhi dalam diri Taubah. Tidak ada seorang pun ahli hadits yang mengatakan ‘Abdullah bin Syaudzab ini seorang mudallis, dan ia sejaman dengan Taubah. ‘Abdullah bin Syaudzab termasuk kibaaru atbaa’ut-taabi’iin (86- 156/157 H), sedangkan Taubah termasuk thabaqah pertengahan dari tab’in (w. 131 H). ‘Abdullah bin Syaudzab tinggal di Bashrah, dan kemudian di akhir hayatnya tingal di Syaam. Sedangkan Taubah juga tinggal di Bashrah. Tidak ada ulama hadits yang menyatakan bahwa ia tidak mendengar dari Taubah. Oleh karenanya, haditsnya yang berasal dari Taubah adalah shahih lagi bersambung. Kebersambungan itu hanya bosa dipalingkan jika ada bukti kuat bahwa Ibnu Syaudzab memang tidak pernah mendengar dari Taubah.

Mengapa saya katakan bahwa periwayatannya dari Taubah melalui perantaraan Abdullah bin Qasim, Mathr Al-Waraaq dan Katsir Abu Sahl dalam hadits ‘Iraaq ini bukan sebab/bukti kuat untuk menunjukkan keterputusan, ya karena kasus-kasus seperti ini banyak. Dan telah saya contohkan keterangan yang jelas tentang hal itu dalam kasus hadits puasa Syawal. Ini sebagai hujjah dalam perkara ini. Anehnya,… justru orang Syi’ah itu menggunakan hal itu untuk menghujjahi saya. Aneh bukan ? Yang tidak paham itu dia atau saya ?

Dan kalaupun kita anggap bahwa hadits Ibnu Syaudzab dari Taubah itu mursal, maka periwayatannya dengan perantara itu telah menyambungkannya. Kalaupun dianggap mudallas (dan anggapan ini memang sama sekali tidak tepat), maka ia hilang dengan dengan sebab perantaraan ini.

Tentang penggabungan riwayat, maka saya lihat orang Syi’ah itu mengambil logika dan pencontohan yang justru itu merupakan barang yang digunakan untuk menghujjahinya.

Memang benar bahwa ‘Abdullah bin Syaudzab telah menggabungkan matan (dan sanad) hadits tersebut. Hukum asal riwayat-riwayat yang semacam ini adalah sebagaimana dhahirnya, yaitu lafadh yang dibawakan oleh ketiga orang tersebut (Abdullah bin Qasim, Mathr Al-Waraaq dan Katsir Abu Sahl) adalah sama sesuai yang dibawakan Ibnu Syaudzab. Kecuali ada bukti lain yang memalingkannya. Orang Syi’ah itu mencontohkan beberapa hadits yang ia kira bisa memperkuat logikanya dengan kasus Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin ‘Abdul A’la.

Komen singkat saya : “Silakan orang Syi’ah itu menunjukkan bukti serupa untuk kasus periwayatan Ibnu Syaudzab dari Abdullah bin Qasim, Mathr Al-Waraaq dan Katsir Abu Sahl ini”.

30 Oktober 2010 16.18
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Mungkin saja orang Syi’ah itu akan menjawab :

kami telah panjang lebar menjelaskan dan jelas-jelas kami katakan disitu terdapat kemungkinan kalau lafaz tersebut berasal dari Mathar Al Warraq. Kami tidak berani memastikan tetapi kami menunjukkan kemungkinan ini apalagi telah kami kutip perkataan Abu Nu’aim

كذا رواه ضمرة عن ابن شوذب عن توبة ورواه الوليد بن مزيد عن ابن شوذب عن مطر عن توبة

Begitulah riwayat Dhamrah dari Ibnu Syawdzab dari Taubah dan telah meriwayatkan Walid bin Mazyad dari Ibnu Syawdzab dari Mathar dari Tawbah [Hilyatul Auliya 6/133]

Perhatikan baik-baik disini Abu Nu’aim hanya menyebutkan Mathar padahal setelah itu ia menyebutkan hadis Ibnu Syawdzab dari ketiga syaikh-nya. Mengapa Abu Nu’aim hanya menyebutkan Mathar dalam komentarnya di atas?. Mengapa Abu Nu’aim tidak menyebutkan Abdullah bin Qasim dan Katsir Abu Sahl?. Abu Nu’aim pilih-pilih perawi?. .

Saya tidak habis pikir bagaimana perkataan Abu Nu’aim itu bisa dijadikan sebagai ‘bukti’. Makanya, dalam artikel di atas saya sama sekali tidak menyinggungnya karena memang tidak nyambung. Saya sama sekali tidak menafikkan bahwa Mathar meriwayatkan dengan lafadh ‘Iraaq, karena itu memang sesuai dengan lafadh yang dibawakan Ibnu Syaudzab yang sedang dibahas. Namun bukti yang dicari bukan itu kawan ! Karena itu bukan bukti pemalingan sebagaimana kasus Abdullah bin Umar bin Aban dan Washil bin ‘Abdul A’la yang Anda contohkan. Kalau itu sudah jelas, Anda telah membuktikannya dengan baik. Namun dalam kasus ini apa ? Kalau Anda tidak kunjung paham, maka saya perjelas : ”Adakah riwayat dari ‘Abdullah bin Qaasim dan Katsiir bin Abi Sahl yang beda riwayatnya dengan yang dibawakan Mathr ?”.

Jika jawaban orang Syi’ah itu adalah ‘kemungkinan’ atau ‘tidak berani memastikan’; maka cukuplah kita kaedah ushul :

اليقين لا يزال بالشك

“Keyakinan itu tidak hilang hanya karena keragu-raguan”.

Keyakinan dalam hadits ini adalah sesuai dengan kaedah ushul ilmu hadits tentang hadits mu’an’an, dan keraguan itu hanya dimunculkan dari syubhaat tidak berdasar dari orang Syi’ah itu.

Selain itu, apakah Abu Nu’aim juga ‘menafikkan’ lafadh ‘Iraaq itu dari selain Mathar sebagaimana yang orang Syi’ah itu lakukan ?. Dan perlu dicatat, bahwasannya komentar itu Abu Nu’aim itu diberikan setelah membawakan riwayat Ibnu Syaudzab langsung dari Taubah. Adapun riwayat Ibnu Syaudzab yang melalui perantaraan Abdullah bin Qasim, Mathr Al-Waraaq dan Katsir Abu Sahl; tidak ia komentari apa-apa. Yang mengomentari riwayat tersebut bukan Abu Nu’aim, tapi orang Syi’ah itu. Jadi tidak tepat membawakan komentar Abu Nu’aim itu kepada riwayat setelahnya.

30 Oktober 2010 16.21
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
3. Hadits Saalim.

Semakin mengkerucut sebenarnya manhaj orng Syi’ah itu. Perkataan Saalim tntang hadits yang ia bawakan tentu lebih diterima daripada perkataan selainnya, apalagi perkataan orang Syi’ah itu. Ini yang diketahui dalam ilmu ushul. Tidak ada ta’arudl antara Najd dan ‘Iraaq sebagaimana telah dijelaskan dalam artikel di atas.

4. Arah Timur/arah matahari terbit.

Orang Syi’ah itu mengklaim bahwa arah timur sebagai arah terbit matahari adalah Najd, bukan ‘Iraq. Kalau boleh saya katakan : Orang Syi’ah itu memang kurang wawasan terhadap fakta sekaligus lisan orang Arab. Secara fakta, daerah Najd itu luas terbentang dari mulai timur laut hingga tenggara kota Madinah. Lihat : http://www.google.co.id/imglanding?q=najd+tanduk+setan&hl=id&sa=G&biw=1280&bih=617&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=4BWgqOPLKgiIfM:&imgrefurl=http://www.kaskus.us/showthread.php%253Ft%253D4689221%2526page%253D23&imgurl=http://upload.wikimedia.org/wikipedia/en/0/07/Najd,_Saudi_Arabia_locator_map.png&zoom=1&w=1500&h=1470&iact=hc&oei=XZjLTKywHISfcY24pZYO&page=1&tbnh=158&tbnw=161&start=0&ndsp=18&ved=1t:429,r:9,s:0 atau di http://www.google.co.id/imglanding?q=najd+map&hl=id&biw=1280&bih=617&gbv=2&tbs=isch:1&tbnid=IzTuhKiD9YWRtM:&imgrefurl=http://sunniworld.wordpress.com/2009/11/30/lord-of-najd-part-2/&imgurl=http://ed-thelen.org/LordOfArabia-map06-.jpg&zoom=1&w=755&h=800 . Selanjutnya tentang makna masyriq, maka menurut lisan orang ‘Arab itu meliputi negeri-negeri yang terletak di sebelah Saudi ‘Arabia (termasuk dalam hal ini ‘Iraq). Ketika Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan tentang Dajjal, beliau pun mengisyaratkan bahwa ia akan muncul dari arah timur. Saya tidak akan berpanjang lebar, karena salah seorang teman telah menuliskannya : http://alfanarku.wordpress.com/2010/09/30/tempat-keluarnya-dajjal-tanduk-setan-dan-arah-timur/ .

Dan sebaiknya kita ketahui bersama bahwa orang Arab dulu itu hanya mengenal arah : Barat dan Timur, serta Kanan dan Kiri. Tidak ada dalam lisan orang dulu : Tenggara, Timur Laut dan lain sebagainya. Maka, daerah-daerah yang berada di timur dan sekitarnya (termasuk tenggara dan timur laut) dimutlakkan dengan arah Timur.

30 Oktober 2010 16.24
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
5. Memahami makna ta’arudl.

Sependek yang saya baca dari tulisan orang Syi’ah itu, memang tidak ada penjelasan yang memadai (atau kemungkinan besarnya ia tidak paham) tentang makna ta’arudl dalam disiplin ilmu hadits. Ta’arudl matan itu bisa dikatakan jika memang maknanya bertolak belakang dan tidak bisa untuk dijamak. Tentu kita paham mengapa orang Syi’ah itu tidak mau menjamak hadits itu. Karena dengan manjamak hadits, otomatis akan menggugurkan perkataannya yang telah capek ia tuliskan.

Telah saya sebutkan dalam peristilahan dalam Lisaanul-‘Arab bahwa yang dinamakan Najd itu semua tanah yang tinggi dari Tihaamah sampai tanah ‘Iraaq, maka itu Najd. Dan itulah kata yang dikenal dalam lisan orang Arab. Katanya, definisi ini tidak masalah baginya. Lalu ia sok menjelaskan definisi etimologi dan terminologi. Namun pada intinya, definisi terminologi yang ia bangun adalah yang sesuai dengan kehendaknya.

Jika perkataan Saalim sebagai periwayat hadits yang menjelaskan makna hadits saja ditolak karena bertentangan dengan pikirannya, lantas siapa yang diacu dalam definisi terminologi dalam hal ini ? Dirinya ?

Oleh karena itu, jangan heran jika hadits Al-Mu’jamul-Kabiir, 12/384 no. 13422 yang sanadnya jayyid dan Musnad Ahmad 2/143 yang sanadnya shahih ia hukumi bertentangan karena tidak sesuai dengan keinginannya. Ia tidak punya jalan lain kecuali menghukumi bertentangan.

Saya katakan : Yang bertentangan itu pikiran Anda dengan hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Mungkin hujjah yang paling kuat menurut anggapnnya adalah hadits yang menjelaskan tentang mawaaqitul-hajj (yang kemudian ia bangun asas bertentangannya).

Saya jawab dengan ringkas :

Yang kita bahas di sini hadits fitan atau hadits mawaaqitul-hajj ?

Ketika ‘Iraaq dan Najd dibawakan dalm satu lafadh, maka ia menuntut adanya pembedaan. Dan memang benar adanya di jaman Nabi daerah yang bernama Najd.

Namun ketika satu lafadh dikatakan Najd dalam satu lafadh, di lafadh lain digantikan dengan ‘Iraaq, maka kita mengkajinya berdasarkan ilmu ushul (hadits dan fiqh) dan bahasa Arab. Apakah ia bertentangan atau tidak ? Jawabnya tidak bertentangan sebagaimana telah lalu uraiannya.
Bahasan semacam ini banyak dalam syari’at. Seperti misal : kata faqir dan miskin. Ketika ia disebut secara bersama-sama, maka ia menuntut pembedaan. Namun ketika ia tidak disebut bersama-sama, maka satu lafadh mencakup lafadh yang lain.

Terakhir, orang Syi’ah itu mengatakan :

Ada baiknya salafy itu melihat hadis berikut

حدثنا موسى بن إسماعيل حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله رضي الله عنه قال قام النبي صلى الله عليه وسلم خطيبا، فأشار نحو مسكن عائشة، فقال هنا الفتنة – ثلاثا – من حيث يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Ismail yang berkata telah menceritakan kepada kami Juwairiah dari Nafi’ dari ‘Abdullah radiallahu’anhu yang berkata Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berdiri menyampaikan khutbah kemudian Beliauberisyarat menunjuk tempat tinggal Aisyah dan berkata “disini fitnah” tiga kali dari arah munculnya tanduk setan [Shahih Bukhari no 2937]

Hadis dengan lafaz seperti ini anehnya ditolak oleh para salafiyun dengan alasan telah diriwayatkan oleh jama’ah dengan lafaz timur dan itulah yang tsabit. Pada hadis ini dikatakan kalau yang sebenarnya ditunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah arah timur. Kalau tempat tinggal Aisyah yang sangat dekat itu saja bisa terjadi salah persepsi maka apalagi hadis dengan lafaz Iraq.

Maaf, siapa yang menolak ? Kalau boleh tahu dimana letak penolakannya ? Kalau yang ia maksud adalah dalam artikel saya di : http://abul-jauzaa.blogspot.com/2010/08/tanduk-setan.html (merujuk pada Silsilah Ash-Shahiihah 5/653), maka sebaiknya membaca ulang. Yang dianggap syaadz dan bertentangan adalah : lafadh عند باب حفصة (di samping pintu Hafshah). Inilah yang syaadz, karena ia bertentangan dengan riwayat Ahmad disebutkan dengan lafadh : عند باب عائشة (di samping pintu ‘Aaisyah).

30 Oktober 2010 16.30
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Atau yang ia maksud adalah jawaban Syaikh Al-Albaaniy terhadap penulis kitab Al-Muraaja’aat (Silsilah Ash-Shahiihah 5/657) :

الجواب: أن هذا هو صنيع اليهود الذين يحرفون الكلم من بعد مواضعه، فإن قوله في الرواية الأولى: «فأشار نحو مسكن عائشة»، قد فهمه الشيعي كما لو كان النص بلفظ: «فأشار إلى مسكن عائشة»! فقوله: «نحو» دون «إلى» نص قاطع في إبطال مقصوده الباطل، ولا سيما أن أكثر الروايات صرحت بأنه أشار إلى المشرق، وفي بعضها العراق، والواقع التاريخي يشهد لذلك.

وأما رواية عكرمة فهي شاذة، ولو قيل بصحتها، فهي مختصرة جدّاً اختصاراً مخلاًّ، استغله الشيعي استغلالاً مرّاً، كما يدل عليه مجموع روايات الحديث، فالمعنى:
خرج رسول الله من بيت عائشة -رضي الله عنها-، فصلى الفجر، ثم قام خطيباً إلى جنب المنبر (وفي رواية: عند باب عائشة)، فاستقبل مطلع الشمس، فأشار بيده، نحو المشرق (وفي رواية للبخاري: نحو مسكن عائشة)، وفي أخرى لأحمد: يشير بيده يؤم العراق.
فإذا أمعن المنصف المتجرد عن الهوى في هذا المجموع قطع ببطلان ما رمى إليه الشيعي من الطعن في السيدة عائشة -رضي الله عنها-، عامله الله بما يستحق».

Apakah ada perkataan Syaikh Al-Albaaniy yang melemahkan dan membatalkan lafadh نحو مسكن عائشة ? (sebagaimana perkataan orang Syi’ah itu melemahkan dan membatalkan lafadh ‘Iraaq ?).

Kalau bukan ini yang dimaksud, ada baiknya orang Syi’ah tersebut menyebutkan pembahasan yang ia maksud….

6. Perkataan “Tidak shahih”.

Orang Syi’ah itu sering menghukumi hadits dengan lafadh ‘Iraaq dengan perkataan tidak shahih. Ini rancu dan tidak jelas. Apa maksud tidak shahih ini ? Dla’if yang dapat terangkat dengan adanya mutaba’ah atau dla’if sekali sehingga tidak bisa terangkat ?

Kalaupun misal kita terima penghukuman ngawurnya bahwa semua hadits itu adalah dla’if, maka ia termasuk dla’if yang menerima penguat. Itu disebabkan tidak ada perawi yang matruk, dla’if jiddan, atau pendusta – sepanjang riwayat yang saya bawakan.

Itu saja yang dapat saya komentari.

30 Oktober 2010 21.51
Anonim mengatakan...
ASSALAAMU'ALAIKUM..
AFWAN ANA MAU POSTINGKAN BANTAHAN DARI TEMAN SAYA SBB: (MOHON UNTUK DI TANGGAPI)

Hadis Dengan Lafaz Iraq

Selain memiliki matan yang mungkar, hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy tersebut tidaklah shahih dan mengandung illat [cacat] pada sanadnya. Berikut adalah hadis-hadis yang dijadikan hujjah oleh salafy.

حدثنا الحسن بن علي المعمري ثنا إسماعيل بن مسعود ثنا عبيد الله بن عبد الله بن عون عن أبيه عن نافع عن ابن عمر أن النبي صلى الله عليه وسلم قال اللهم بارك لنا في شامنا، اللهم بارك في يمننا، فقالها مراراً، فلما كان في الثالثة أو الرابعة، قالوا يا رسول الله! وفي عراقنا؟ قال إنّ بها الزلازل والفتن، وبها يطلع قرن الشيطان

Telah menceritakan kepada kami Hasan bin Ali Al-Ma’mariy yang berkata telah menceritakan kepada kami Ismaail bin Mas’ud yang berkata telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun dari ayahnya, dari Naafi’ dari Ibnu ‘Umar bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda “Ya Allah, berikanlah keberkatan kepada kami pada Syaam kami dan pada Yamaan kami”. Beliau [shallallaahu ‘alaihi wa sallam ] mengatakannya beberapa kali. Ketika beliau mengatakan yang ketiga kali atau yang keempat, para shahabat berkata “Wahai Rasulullah, dan juga Iraq kami?”. Beliau bersabda “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah, dan disanalah akan muncul tanduk setan” [Mu’jam Al Kabiir Ath Thabrani 12/384 no 13422].

12 Februari 2012 12.14
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Wa'alaikumus-salaam.

Silakan lihat pembahasannya dalam hadits pertama di atas.

12 Februari 2012 15.44
Anonim mengatakan...
subhanallaah.. penjelasan ushul hadist yang luar biasa ustadz.. belakangan wa jadi tertarik dengan topik ini.. dan browsing di forum berbahasa Inggris wa nemu argumentasi ini.. awa posting disini saja ya ustadz.. mungkin ustadz bisa memberikan tanggapan..

IBN TAYMIYYA ON THE MEANING OF "NAJD"

Q. Did Ibn Taymiyya understand Najd in the hadith to mean Iraq?

A. No. Ibn Taymiyya always differentiates between Najd and Iraq although acknowledging they both lie East of Madina in the language of the people of Madina: "They would call the people of Najd *and* Iraq 'the people of the East' (ahl al-mashriq)," "The people of al-Sham are the people of the West (al-gharb) just as Najd *and* Iraq are the beginning of the East."1

Elsewhere he states: "The texts affirming the superiority of the people of Sham to those of Najd *and* Iraq and the rest of the people of the East are more than can be counted."2 If Najd meant Iraq, it would be redundant to say "Najd and Iraq" and one would have to say, more correctly, "Najd, meaning Iraq."

Ibn Taymiyya also cites the report of Ibn 'Abbas who said: "The first Jumu'a that gathered in Islam after the Jumu'a of Madina was that of Jawathi, one of the towns of al-Bahrayn. They said: 'O Messenger of Allah! Between us and you are those regions of the disbelievers of Mudar, and [we] cannot come to you except in a sacred month. Therefore give us a decisive order which we might put into practice and by which we shall call those who are behind us.' Meaning: the people of Najd such as [the tribes of] Tamim, Asad, Ghatafan, and others."3

And again: "The delegation of 'Abd al-Qays was one of the best delegations ever to come to the
Prophet - Allah bless and greet him -... and they said: 'Between us and you there are those regions of the disbelievers of Mudar - and they meant Najd - and we cannot reach you except during a sacred month.'"4

And again: "The delegation of 'Abd al-Qays came to the Prophet - Allah bless and greet him -... and said: 'O Messenger of Allah! Between us and you there are those regions of the disbelievers of Mudar' - meaning by that, the people of Najd such as Tamim, Asad, and Ghatafan, because those were between al-Bahrayn and al-Madina, while 'Abd al-Qays are from Rabi'a and not
from Mudar."5 Bahrayn is far from Iraq; in fact, a line drawn from Bahrayn to Madina would pass slightly higher than Riyad, the capital of
present-day Najd.

Elsewhere Ibn Taymiyya counts among the tribes of Najd "Banu Asad, Ashja', Fazara, and others of the tribes of Najd."6 These are not Iraqi but
Najdi tribes. He also said: "Those that committed apostasy after his death - Allah bless and greet him - were only those that entered Islam with the sword, such as the companions of Musaylima and the peole of Najd."7
This cannot mean Iraq since, at the time the Prophet - Allah bless and greet him - left this world, Islam had not yeat reached Iraq.

NOTES

1Ibn Taymiyya, Majmu'a al-Rasa'il (27:42, 28:532, cf.
27:508).
2Op. cit. (4:448).
3Op. cit. (7:552).
4Op. cit. (7:598).
5Op. cit. (7:607).
6Op. cit. (28:443).
7Ibn Taymiyya, Minhaj al-Sunna (1986 ed. 7:478).

20 Maret 2012 09.16
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Silakan baca juga tulisan teman saya :


20 Maret 2012 13.27
Anonim mengatakan...
wong saat itu Islam belum mencapai Iraq, dgn sendirinya mengasosiasikan Iraq dgn najd = fail :D
tetap saja, wahabbi/salafiy lah yg dimaksud fitnah dari Najd tempat keluarnya tanduk syaitan

31 Mei 2012 12.57
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Makanya itu Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam memakai redaksi : "akan muncul".

Jadi, saat beliau mengatakannya itu memang belum muncul.

31 Mei 2012 14.14
Anonim mengatakan...
Memang para penentang da'wah ini adalah para ahli bid'ah...ngaku2 ummat Muhammad shallallaahu 'alaihi wa sallam tapi tidak suka dengan sunnahnya, sukanya ngarang2 ibadah sendiri. yg dicontohkan aja belum dilaksanakan malah menambah2 yg jelas dilarang....dan yg satu lagi ngaku2 pengikut Ali (ra) tapi perilaku dan agamanya sangat jauh dengan Ali (ra). Dalam berdebat kebiasaannya ngotot/muka tembok atau sejenisnya mempertahankan kesalahan walaupun sudah disampaikan hujjah yg shahih...misalkan ketika Imam Syafii mengatakan benci terhadap org2 yg berkumpul di rumah ahli waris si mayat pada malam kematiannya, justru mereka yg mengaku mazhab Syafii melakukan apa yg dibenci Imam Syafii itu dengan 1001 macam alasan (utk melawan Imam Syafii)....dan...ketika Ali (ra) mengakui akan keutamaa sahabat2 yg lain...tapi mereka yg ngaku2 pengikut Ali (ra) malah mengkafirkan para sahabat....Kalaupun misalnya iman dan kecintaan kpd agama yg haq ini sudah tdk ada, maka tak salah juga utk menanyakan kpd mereka...KEMANA AKAL PIKIRAN???????

18 Juni 2012 16.11
gol mengatakan...
haha.. @anonim keliatan bangat kelimpungan..
thnks stad

25 Juni 2012 10.49
Anonim mengatakan...
Semua riwayat yang menyebut tanduk setan dari Timur adalah Irak berasal dari SALIM dari Ibnu Umar.

Sedang yang menyebut adalah NAJD berasal dari NAFI' dari Ibnu Umar.

Menurut saya itu kekeliruan SALIM yang menyebut IRAK, karena arah Timur atau arah matahari terbit di Madinah adalah arah Najd (Riyadh).

Riwayat Bukhari yang hanya mentakhrij dari jalur NAFI, tentu lebih kuat. Imam Bukhari sama sekali tidak mentakhrij tanduk setan yg dari Salim.

17 Juli 2012 10.04
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Itu kan kata Anda, bukan kata ulama. Saalim itu termasuk fuqahaa sab'ah di kalangan penduduk Madinah. Ia disimpulkan oleh Ibnu Hajar sebagai seorang yang tsabt, 'aabid (ahli ibadah), lagi faadlil (mempunyai keutamaan). Riwayatnya dipakai oleh Al-Bukhaariy dan Muslim dalam Shahih-nya. Adapun masalah Al-Bukhaariy tidak meriwayatkan dengan lafadh 'Iraaq, ya itu ndak masalah, sebagai dikenal di kalangan ahli hadits. Yang mempermasalahkan itu kan Anda. Tidakkah Anda juga melihat bahwa Naafi' juga meriwayatkan dengan lafadh 'Iraaq ?

17 Juli 2012 11.50
Anonim mengatakan...
Inilah Pendapat yang paling banyak dinukil. Pendapat ini merupakan pendapat Imam khattabi, Ibnu Abdil Bar[6], al Kirmani[7], dan Allamatul Iraq al Alusi[8]. Pendapat yg paling selamat adalah pendapat para salaf, mereka bukan termasuk kepada ulama salaf tetapi yg mengikuti generasi salaf, Dzahir hadis di atas adalah Najd, bukan Iraq mengapa Najd dirubah menjadi Iraq, mengapa Nabi tidak protes kalau itu adalah Iraq dan malah mengikuti pendapat bukan dari 3 generasi salaf sehingga yg dimaksud adalah Najd, jadi kota fitnah itu adalah Iraq dan Najd, sedangkan kota para Habib keturunan Nabi adalah Iman Yaman=Iman sesuai hadis, Ibnu Taimiyah pun di atas berpendapat jikalau kota fitnah itu berasal dari timur –timur Madinah- seperti Najd dan semua daerah sebelah timurnya (Madinah), Juga hadis Arab Fadadin itu.

25 Juli 2012 21.47
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Inilah pendapat salaf :

حدثنا عبدالله بن عمر بن أبان وواصل بن عبدالأعلى وأحمد بن عمر الوكيعي (واللفظ لابن أبان). قالوا: حدثنا ابن فضيل عن أبيه. قال: سمعت سالم بن عبدالله بن عمر يقول: يا أهل العراق! ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة! سمعت أبي، عبدالله بن عمر يقول : سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول "إن الفتنة تجئ من ههنا" وأومأ بيده نحو المشرق "من حيث يطلع قرنا الشيطان" وأنتم يضرب بعضكم رقاب بعض. وإنما قتل موسى الذي قتل، من آل فرعون، خطأ فقال الله عز وجل له: {وقتلت نفسا فنجيناك من الغم وفتناك فتونا} [20/طه/40].

Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin ‘Umar bin Abaan, Waashil bin ‘Abdil-A’laa, dan Ahmad bin ‘Umar Al-Wakii’iy (dan lafadhnya adalah lafadh Ibnu Abaan); mereka semua berkata : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail, dari ayahnya, ia berkata : Aku mendengar Saalim bin ‘Abdillah bin ‘Umar berkata : “Wahai penduduk ‘Iraaq, aku tidak bertanya tentang masalah kecil dan aku tidak mendorong kalian untuk masalah besar. Aku pernah mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : Aku pernah mendengar Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa salam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah itu datang dari sini - ia menunjukkan tangannya ke arah timur - dari arah munculya dua tanduk setan’. Kalian saling menebas leher satu sama lain. Muusaa hanya membunuh orang yang ia bunuh yang berasal dari keluarga Fir'aun itu karena tidak sengaja. Lalu Allah 'azza wa jalla berfirman padanya : 'Dan kamu pernah membunuh seorang manusia, lalu kami selamatkan kamu dari kesusahan dan Kami telah mencobamu dengan beberapa cobaan." (Thaahaa: 40)” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 2905 (50)].

The case is closed.

25 Juli 2012 22.08
Anonim mengatakan...
Saya percaya Salim anaknya ibnu Umar aja lah, soalnya sanadnya lebih mangkul.. Iraq kalo begitu.. mumtazz

25 Juli 2012 22.33
Anonim mengatakan...
seandainya perkataan Salim bahwasanya Iraq itu di sebalah timur Madinah adalah salah, tentu saja akan ada protes dari penduduk Iraq yang diajak bicara oleh beliau. niscaya mereka akan berkata "Wahai Salim, kamu keliru. Iraq itu di sebelah utara Madinah, bukan di sebelah timurnya."

akan tetapi kenyataannya tidak ada yang menyanggah perkataan Salim ini. bahkan musuh2 Wahabi pun tidak ada yang menyanggah, baik dari sisi sanad maupun matan.

25 Juli 2012 23.28
abu abdillah mengatakan...
Ini seperti saudara saya orang jakarta, taunya daerah jateng-jatim itu daerah 'jawa'. Jadi kalau saya mudik dari jakarta ke jogja, dia bilang :'elu mau ke jawa bu?'. Sehingga kalau saudara saya itu bilang ke tetangganya dia akan bilang : si abu lagi ke jawa. Sedangkan kalau saya pulang ke jakarta, saya akan bilang ke tetangganya : saya baru dari jogja. Tidak ada pertentangan dari dua pengabaran (hadits) ini. Jawa maksudnya jogja itu.

18 Agustus 2012 01.34
abu abdillah mengatakan...
Tambahan, bila masalahnya ada di Bani Tamim, jangan lupa Rasul yang mulia alaihis sholatu wassalam bersabda yg intinya mengatakan Bani Tamim ini adalah Asyaddu ummatii 'ala dajjal, yg paling keras permusuhannya terhadap dajjal (Muttafaqun alaih, Al lu'lu wal marjan muh fuad abdul baqi hadits no. 1641).

18 Agustus 2012 20.57
Anonim mengatakan...
Assalamu'alaikum. Ustad, mengenai pembahasan ini, memang sangat ilmiah sehingga dpt menambah ilmu. namun baru2 ini teman saya membaca tentang pembahasan ini dan kebetulan, yg d baca adalah blog yg membantah Ustad ini, (blog saudara Ahmad itu). jadi saya mohon nasihat untuk teman saya agar tidak mengalami kebingungn yg nantinya ditakutkan akan enggan untuk menuntut ilmu, dan juga untuk saya sendiri tentuny. sekian. Wassalamu'alaikum

28 Agustus 2012 20.50
Anonim mengatakan...
وما ارتفع عن تِهامة إِلى أَرض العراق، فهو نجد
“Semua tanah yang tinggi dari Tihaamah sampai tanah ‘Iraaq, maka itu Najd” [lihat dalam Lisaanul-‘Arab].

pengertian kata najd diatas tidak memasukan iraq sebagai najd (dataran tinggi)
kos dlm definisi diatas memakai huruf jer Ilaa (إِلى).

jd terjemahan "sampai" tidak diartikan iraq adalah termasuk najd.

kecuali memakai kata hatta (حتى).

lebih jelasnya mungkin begini tadz

- إِلى أَرض العراق = sampai tanah irak
- حتى أَرض العراق = sampai tanah irak

terjemahan keduanyanya sama2 "sampai", tapai kandungan arti keduanya lain
jika pake ilaa, "sampai"nya tidak mencakup iraq. tapi kalau pakai hatta, "sampainya" memiliki kandungan mana mencakup irak.

perlu diingat juga kata iraq artinya dataran rendah kan...?

16 April 2015 07.26
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Benar,... kan sudah ditulis juga, ilal ardlil-'Iraaq. Artinya, sampai negeri 'Iraaq. Itu secara bahasa. Konsekuensinya, makna Najd itu bukan mengeluarkan 'Iraaq dari cakupan Najd. Kemudian secara istilah yang dimaksudkan hadits, maka Najd di situ adalah negeri 'Iraaq. Jadi pas lah.

18 April 2015 05.44
Azzura mengatakan...
Sebuah nubuah (ramalan nabi) kadang bersifat jelas, kadang bersifat majazi....

Kalo sifat jelas, kemungkinan NEJD satu2-nya itu yg teman2 syiah bilang. Tapi kalo secara majazi maka perlu ada penelitian ulang.

Jika seseorang yg menginginkan "islam semurni-murni"nya ditegakkan kembali di sebut Fitnah, rasanya ini bentuk tidak kesenangan bahwa Islam di kembalikan seperti zaman Rasulullah dan sahabat. Harusnya ikhwan syiah punya alasan lain untuk menuduh itu.

Jika ada ummat menginginkan hukum qishash, cambuk, jizyah, rajam, dll di tegakkan di tuduh sbg Fitnah... juga rasanya tidak adil sebab Allah dan Rasulnya yg memerintahkan itu.

Ana kurang Faham mustholah hadits sehingga hanya menyimak saja penjelasan dari kedua belah pihak sambil mencari rujukan yg membenarkan salah satu dari keduanya.
29 Juni 2015 09.39