Thursday, November 12, 2015

Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang. Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’

Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang yang Diulang
Dokumentasi Mantan Presiden Iran Ahmadinejad saat bertemu ulama Al Azhar, di mana Al Azar melarang Syiah mengembangkan diri di negeri Sunni
Taqrib Sunni – Syiah Gagasan Usang Yang Diulang

Selasa, 10 November 2015 - 10:00 WIB
Lembaga taqrib al-Azhar telah lama mati, karena terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi
Oleh: Fahmi Salim
BELUM lama ini, Koran Republika, hari Ahad 8 November 2015 hal. 18 di rubrik Islam Digest, mengangkat kembali soal Taqrib (penyatuan) antara Sunni dan Syiah dengan judul Sunni dan Syiah Bersatu, Mungkinkah?
Sebenarnya, ide ini adalah gagasan usang yang terus diulang-ulang. Di bawah ini adalah empat hal yang membuktikan gagasan itu sangat usang dan penulisnya tidak melihat perkembangan terbaru.
Pertama, tulisan itu hanya mengulang lagu lama Dr Quraish Shihab, cuma sedikit diupgrademenggunakan buku terbitan Libanon karya Prof Dr Musthafa ar-Rifa’i lewat kitab bertajukIslamuna fi at-Taufiq Baina as-Sunni wa asy-Syi’ah, sebab kalau mengacu ke buku Quraish Shihab maka para pembaca sudah paham gagasan yang sesungguhnya basi.
Apalagi tim penulis Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan Jawa Timur sudah pernah membantahnya secara ilmiah dengan judul, ”Mungkinkah Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah Bergandengan Tangan! Mungkinkah?)”. [baca: ”Persatuan Sunnah-Syiah: Mungkinkah”]
Kesalahan kedua, tulisan itu memposisikan Imam Ja’far Shadiq sebagai tokoh Syiah dan juga Imam Zaid bin Ali, padahal keduanya adalah imam Ahlus Sunnah wal jamaah.
Untuk lebih jauh membuktikan ke-sunnian Imam Ja’far dan jauhnya akidah beliau dari klaim Syiah silakan baca buku biografi Imam Ja’far yang ditulis oleh sarjana ahli tafsir jebolan Universitas al-Azhar, Dr. Muchlis M Hanafi yang diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati.
Ketiga, informasi yang tidak update, bahwa lembaga taqrib di Al-Azhar sudah lama non aktif karena banyak ditentang oleh para ulama besar Al-Azhar sendiri seperti Syeikh Muhammad Arafah (anggota Hai’ah Kibar Ulama Azhar), Syeikh Hasanain Makhluf (mantan Mufti Agung Mesir), Syeikh Gad elHaq Ali Gad elHaq, mantan Grand Syeikh al-Azhar, Dr. Abdul Mun’im Annimr (mantan Wakil Grand Syeikh al-Azhar dan Menteri Wakaf Mesir), serta Syeikh Athiyyah Shaqr (Ketua Komisi Fatwa al-Azhar) dll karena terbukti terkuak taqiyahnya Al-Qummi dan tak sesuai harapan karena Abdul Husain al-Musawi salah satu penggerak motor taqrib ternyata menerbitkan Kitab al-Muraja’at yang isinya surat menyurat fiktif dia dengan yang diklaim sebagai Syeikh al-Azhar yaitu Fadhilatu Syeikh Salim al-Bisyri, sehingga Syeikh Gad elHaq memerintahkan ulama Azhar untuk mentahqiq dan membantah buku fiktif tersebut.
Syeikh Prof. Dr. Yusuf Qardhawi yang hendak menghidupkan lembaga taqrib itu pun pada akhirnya menyerah tidak mau lagi berdialog dengan kaum Syiah karena 3 permintaannya kepada mereka untuk mengakui status kesempurnaan Quran, tidak mencaci sahabat Nabi, mencegah penyebaran Syiah di negeri-negeri Sunni atau sebaliknya, tidak diindahkan bahkan kerap dilanggar oleh Syiah dengan dalih taqrib untuk menyebarkan paham Syiah di tengah masyarakat Sunni. (Lebih jauh baca Kitab Fatawa Muashirah jilid 4, hal. 251 dst).
Dalam Kitab Fatawa itu, Syeikh Qardhawi menyatakan; “Perbedaan yang sebenarnya antara Madzhab Ahlus Sunnah dengan Syiah Imamiyah adalah dalam ushul (dalam masalah pokok) bukan dalam furu’ (masalah cabang).
Oleh karena itu pernyataan paling jelas bagi perbedaan ini ialah perbedaan dua firqah aqidah, Ahlus Sunnah dan Syiah Imamiyah, bukan antara dua madzhab fiqih.” (hal. 254)
Keempat, sampai hari ini sejak diwacanakan pengajaran fikih Ja’fari Syiah di Al-Azhar tahun 60 an tidak pernah terwujud karena juga banyak ditentang para ulama guru besar Syariah di Al-Azhar.
Yang terealisir adalah proyek Mausu’ah Fiqih 8 Madzhab di masa orde Presiden Gamal Abd Nasser.
Selebihnya tidak pernah diajarkan fiqih Syiah baik Ja’fari dan Zaidi di lingkungan al-Azhar.
Sebab Al-Azhar hanya mengakui keabsahan 4 Madzhab Ahlus Sunnah saja yang berhak diikuti.
Ini bisa dibuktikan oleh banyak alumni al-Azhar yang sejak awal masuk mendaftar harus mengisi pilihan madzhab fiqih apa yang hendak diajarkan, dan tak pernah dijumpai pilihan madzhab Ja’fari dan Zaidi di formulir pendaftaran kuliah Al-Azhar. Wallahu waliyyu attaufiq.*
Penulis adalah Sekertaris Komisi Dakwah MUI Pusat

Pengakuan Syeikh Al-Qaradhawi: ‘Iran Menipu Saya’

Kamis, 6 Juni 2013 - 06:18 WIB
Syeikh al Qaradhawi: “Saya dulu membela Hasan Nasrallah (pemimpin Hizbullah) dan partainya"
oleh: Abdulrahman Al-Rashed
UCAPAN koreksi dari ulama besar Sunni, Syeikh Yusuf Al-Qaradhawi merupakan sebuah perkembangan penting. Pekan lalu, Syeikh Al-Qaradhawi berdiri dan berkata, “Selama bertahun-tahun saya menyerukan agar doktrin-doktrin Islam bisa bersatu. Saya pergi ke Iran saat masa pemerintahan mantan Presiden Iran, Mohammad Khatami. Namun mereka ternyata menipu saya dan banyak orang lainnya seperti saya. Mereka selalu mengatakan bahwa mereka juga ingin menyatukan doktrin-doktrin yang berbeda.”
Syeikh Al-Qaradhawi mengakui kesalahannya dengan mengatakan, “Saya dulu membela Hasan Nasrallah (pemimpin Hizbullah) dan partainya, partai tirani di depan para ulama Arab Saudi. Tampaknya para ulama Arab Saudi ini lebih dewasa dibandingkan saya.”
Akui Kesalahan
Pengakuan publik dan jujur Qaradawi adalah momentum penting. Ia mengakui dirinya keliru atas semua yang pernah diasumsikannya dan membela Hizbullah serta mengkritik orang lain. Syeikh Al-Qaradhawi berasumsi perjuangan yang telah berlangsung selama 20 tahun terakhir ini didasarkan pada konsep membangun sebuah pemerintahan Islam, partai dan tokoh. Rencana ini dibangun di atas kebohongan besar dan mitos.
Keberanian Syeikh Qaradhawi ini layak diapresiasi karena ia mungkin hanya satu-satunya orang yang mengakui kesalahannya. Padahal dia bisa saja membenarkan sikapnya, namun ia memilih untuk berbicara di depan para pengikutnya dan mengakui kesalahannya.
Syeikh Qaradhawi sebenarnya tidak salah ketika menyerukan penyatuan semua doktrin Islam juga ketika ia berseru tentang kerja sama Islam. Ini merupakan ide yang mulia. Kesalahannya ada pada pemahaman politiknya terkait rencana desain di Teheran, Beirut dan Damaskus.
Rencana Khomeini Teheran adalah sebuah proyek yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Itu adalah skema Iran untuk mendominasi wilayah tersebut. Skema tersebut didasarkan pada kebohongan atas revolusi Islam dan merupakan satu-satunya cara untuk menyatu dengan jutaan umat Muslim di seluruh dunia. Ini adalah cara mereka untuk memperluas wilayah geografis dan mendapatkan pengaruh.
Sejarah Qaradhawi
Kami sudah melewati pertempuran dialektika dengan semua sekutu Iran, Hizbullah dan rezim Suriah. Kami berjuang melawan para intelektual dan pengkhotbah mereka karena kami memahami maksud dari rezim ini, tujuannya dan segala aktivitas mereka.
Kami tahu sebagian besar orang yang mengikuti kelompok jahat ini telah ditipu. Syeikh Al-Qaradhawi sendiri sempat menyakini ilusi-ilusi mereka, seperti halnya banyak ulama lain yang terlibat dalam politik yang memiliki antusiasme besar tapi hanya sedikit mempunyai pemahaman politik.
Syeikh Qaradhawi meninggalkan Mesir lalu pergi ke Qatar sebagai bentuk protesnya atas sikap mantan Presiden Mesir Anwar al-Sadat yang menandatangani perjanjian perdamaian dengan ‘israel’. Iran adalah sebuah tempat berlabuh bagi orang-orang yang marah dan sangat berantusias mengubah dunia Islam.
Orang-orang yang frustrasi dan merasa terkesan kemudian banyak menulis buku yang memuliakan revolusi Iran. Mereka menyampaikan pidato berisi pujian terhadap pemimpin Iran meskipun politik kotor Iran sudah banyak diketahui sejak Abu al-Hassan Bani Sadr—presiden Iran terpilih pertama yang dekat dengan pemimpin tertinggi Iran, Ayatullah Khomeini, melarikan diri.
Rezim baru Iran kemudian mengejar mitra-mitra revolusi mereka dan membunuh banyak dari mereka. Setelah semua ini, bagaimana bisa orang percaya bahwa rezim yang membunuh rakyatnya sendiri di Teheran bisa benar-benar memimpin mereka, membebaskan Palestina dan mengakhiri rezim tirani?
Tidak benar kalau Iran dianggap sebagai misteri yang belum terungkap. Sejak awal Iran adalah sebuah rezim sekte yang jelek. Ketika Salam Rushdie menulis bukunya yang berjudul “The Satanic Verses”, Iran meluncurkan sebuah kampanye melawan Inggris dan mengutuknya dalam sebuah konferensi Islam di Jeddah.
Paradoksnya adalah pewakilan Palestina yang mengetahui kebohongan rezim Khomeini merespons permintaan Iran tersebut dengan mengatakan kalau Inggris bukanlah negara Muslim. Delegasi Iran marah mendengarnya lalu meninggalkan ruangan.
Sayangnya, masih ada rekan Syeikh Qaradhawi yang tertipu, yang masih mendukung Iran. Apakah tidak ada salah satu dari mereka yang berpikir dan membayangkan bagaimana nasib dunia ini di bawah kepemimpinan orang-orang seperti Khomeini atau Qassem Suleimani atau Hassan Nasrallah?
Satu hal yang pasti adalah, suatu hari nanti Iran akan bersekutu dengan Amerika—setan yang paling besar, bekerja sama dengan ‘israel’ dan memaksakan semua rencana-rencananya.*
Penulis general manager stasiun televisi Al Arabiya, wartawan senior. Artikel diambil Al Arabiya|Sahabat Al-Aqsha
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar