Tuesday, September 20, 2016

Sejarah Terbunuhnya ‘Uthman R.A

Bukan Gambar Uthman
Hanya Ilustrasi: Bukan Gambar Uthman

‘Uthman dibunuh secara zalim akibat fitnah yang dibangkitkan oleh ‘Abd Allah ibn Saba’. Beliau seorang Yahudi dari Yaman yang berpura-pura mengaku Islam dan mencetuskan fitnah terhadap Khalifah ‘Uthman. Fitnahnya sampai sekarang masih dipercayai oleh golongan Syi’ah. Salah satu hasutannya adalah dengan mengatakan bahwa Nabi Muhammad SAW telah mewasiatkan yang akan menjadi pengganti beliau adalah Ali. ‘Abd Allah menuduh bahwa ‘Uthman telah berlaku zalim karena tidak mematuhi wasiat Nabi SAW, dikarenakan mengangkat dirinya sebagai khalifah, bukannya Ali.

‘Abd Allah mengapi-apikan masyarakat untuk bangkit dan mencerca pemimpin-pemimpin mereka yaitu ‘Uthman dan para gubernurnya. Cerita tentang keburukan ‘Uthman dan para gubernurnya semakin meluas sehingga tersebar ke wilayah lain.
Akhirnya berita jahat ini sampai juga ke telingan ‘Uthman dan beliau merasa terperanjat mendengarnya. Beliau segera mengutus wakil-wakilnya ke setiap wilayah untuk menyelidiki apakah benar berita mengenai para gubernurnya yang berlaku zalim. Beliau kemudian mengutus salah seorang sahabat Nabi SAW, Muhammad ibn Maslamah, ke Kufah. ‘Uthman juga mengutus Usamah ibn Zayd ke Basrah, ‘Ammar ibn Yasir ke Mesir dan ‘Abd Allah ibn ‘Umar ke Syam. Kesemua wakil tersebut kembali dengan membawa berita bahwa para gubernur ‘Uthman sebenarnya telah berlaku adil kepada rakyat mereka.
Selain mengirimkan wakil ke setiap wilayah, ‘Uthman juga menulis surat kepada rakyat jelata mengenai fitnah tersebut. Apabila surat ini dibaca di setiap negeri, maka rakyat jelata pun mengangis dan berkata: “Sesungguhnya telah bergerak di kalangan umat ini kejahatan yaitu fitnah yang telah menular di tengah-tengah umat”.
Tidak cukup dengan hanya percaya kepada laporan wakilnya tersebut, ‘Uthman juga memanggil para gubernurnya untuk didengar keterangan langsung olehnya. Setelah mendengar segala keterangan dari para gubernurnya, ‘Uthman pun bangun dan memuji Allah dan berkata: “Aku telah mendengar semua penjelasan kamu. Setiap perkara ada pintu yang mendahuluinya. Sesungguhnya fitnah yang ditakuti umat telah terjadi. Kita akan mencoba menghalanginya dengan bersikap lembut, memberi dan meneliti setiap keadaan, kecuali terhadap hukum-hakam Allah yang telah Allah nyatakan, karena tidak ada seorangpun yang boleh mempertikaikannya. Apa yang telah diketahui bahwa aku tidak pernah mengurangkan kebaikan untuk orang ramai juga untuk diriku sendiri. Sesungguhnya putaran fitnah itu telah berputar. Beruntunglah ‘Uthman kalau dia mati sedangkan dia tidak menggerakkan fitnah tersebut. Jagalah orang ramai, berikanlah hak mereka dan maafkanlah mereka. Namun kalau mereka melanggar larangan Allah, maka tiada maaf bagi mereka”. Inilah sikap ‘Uthman yang begitu warak dan berlapang dada terhadap rakyatnya. Sikat terlalu lembut ini telah diambil kesempatan oleh golongan yang berkhianat dan ingin merusakkan umat.
Keadaan semakin menegangkan. ‘Abd Allah ibn Saba’ dan pengikutnya mensosialisasikan rencana jahat mereka dengan bersungguh-sungguh. Pengaruh mereka di Kufah, Basrah dan Mesir semakin berkembang. Melihat keadaan ini Mu’awiyah menyarankan ‘Uthman untuk pindah ke Syam. Namun ‘Uthman menolak meninggalkan Madinah tempat di mana beliau selalu mendampingi Nabi SAW, walaupun urat tengkuknya dipotong. Mu’awiyah kemudian mengusulkan agar tentaranya di tempatkan di Madinah untuk melindingi ‘Uthman dan rakyat Madinah. Sekali lagi ‘Uthman menolak dengan alasan kehadiran tentara akan menyempitkan rezeki penduduk Madinah dan pembantu Nabi Muhammad SAW. Akhirnya Mu’awiyah berkata: “Demi Allah wahai Amir al-Mukminin! Mereka akan menyerang dan memeangimu.” ‘Uthman r.a. menjawab: “Cukuplah Allah sebagai penolong.”
Ketika pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ sampai ke Madinah, ‘Uthman mengundang mereka untuk hadir ke masjid di hadapan para sahabat agar beliau bisa menjawab segala tuduhan yang diarahkan kepadanya. Akan tetapi para sahabat menyarankan agar pemberontak itu dikenakan hukuman bunuh. Namun ‘Uthman menolaknya dengan alasan hukuman hudud hanya dikenakan kepada mereka yang telah jelas kekufurannya. Setelah itu ‘Uthman menjawab satu-persatu tuduhan yang diarahkan kepadanya:
1. Mereka menuduh bahwa ‘Utsman tidak menqasarkan shalatnya ketika sedang bermusafir. ‘Utsman menjawab bahwa beliau tidak perlu mengqasar shalatnya karena beliau bermusafir ke negeri Makkah dimana sanak keluarganya tinggal di sana.
2. Mereka menuduh ‘Utsman telah membuat al-Hima (tanah mati yang menjadi kawasan larangan untuk menggembala ternak di dalamnya, hanya unta-unta yang dapatkan dari hasil zakat dan jihad saja yang boleh digembalakan di situ). ‘Utsman menjawab bahwa tanah mati itu telah ada sejak jaman Rasulullah s.a.w, Abu Bakar dan ‘Umar. Sekarang ini, ‘Uthman hanya menambah unta-unta zakat dan jihad saja, bukannya unta-unta milik ‘Uthman. Walaupun dulunya ‘Uthman adalah orang Arab yang paling banyak memiliki unta dan kambing, sekarang ini beliau hanya memiliki dua ekor unta saja untuk naik haji.
3. Mereka munuduh ‘Utsman mengurangi jumlah ‘mushaf Al’Quran dari banyak menjadi satu. ‘Uthman menjawab bahwa beliau hanya mengikuti perbuatan Abu Bakar dan para sahabat yang bersamanya.
4. Mereka menuduh ‘Utsman telah mengizinkan al-Hakam kembali ke Madinah setelah di hukum buang keluar daerah oleh Rasulullah s.a.w., karena suka menghidupkan fitnah di kalangan umat Islam dan bekerja sama dengan golongan kuffar. ‘Uthman menjawab bahwa Rasullulah s.a.w yang membuang al-Hakam keluar dari makkah ke Taif. Kemudian Rasulullah jugalah yang mengembalikannya.
5. Mereka menuduh ‘Uthman melantik pegawai yang masih muda. ‘Uthman menjawab bahwa beliau melantik mereka yang memiliki kemampuan dan disukai.
6. Mereka menuduh bahwa ‘Uthman memberikan harta benda orang Islam kepada keluarganya dan lebih sayang keluarganya. ‘Uthman menjawab bahwa perasaan sayangnya kepada keluarganya tidak menyebabkan beliau menzalimi rakyatnya. Harta yang diberikan ‘Uthman kepada keluargnya juga adalah harta miliknya sendiri. Beliau berkata bahwa beliau tidak akan menghalalkan harta benda orang islam (harta yang diperoleh dari pajak-pajak wilayah Islam) untuk dirinya sendiri dan orang lain.
7. Mereka menuduh ‘Uthman telah memberikan tanah kepada orang-orang tertentu. ‘Uthman berkata, tanah itu mulai dibuka oleh golongan Muhajirin dan Ansar. Kaum mujahidin yang berjihad kemudian melanjutkan pembukaan tanah itu. Di kalangan Mujahidin ada yang menetap dan dan ada yang pulang. Bagi yang pulang, ‘Uthman akan menjual tanah tersebut dengan persetujuan dari Mujahidin yang akan pulang tersebut, dan memberikan hasil penjualan tersebut kepada Mujahidin tersebut.
8. Mereka menuduh ‘Uthman telah memberikan uang hadian sebesar 100 ribu dari harta rampasan perang (al-fai’) kepada Ibn Abi Sarh yang berjasa membuka Afrika. Abu Bakar dan ‘Umar juga pernah melakukan hal yang sama. Namun karena tentara tidak setuju, maka ‘Uthman mengambil kembali uang tersebut dan memberikannya kepada para tentara.
Penjelasan tersebut membuat wakil para pemberontak terdiam. ‘Uthman memaafkan mereka dan mengizinkan mereka pulang kepada kaum mereka dalam keadaan putus asa. Para sahabat dan orang ramai meminta ‘Uthman membunuh mereka, tapi ‘Uthman menolak permintaan tersebut.
Sebenarnya tujuan pemberontak itu bukan mencari kebenaran, tapi mencari alasan yang membolehkan mengambil tindakan terhadap ‘Uthman. Untuk mencapai hasrat ini, para pemberontak yang menjadi pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ telah membuat rencana yang baru. Mereka menuju Madinah melalui tiga markas mereka yaitu Mesir, Kufah dan Basrah. Mereka berpura-pura hendak naik haji. Padahal rencana mereka adalah, setelah sampai di Madinah, mereka akan meninggalkan jamaah haji lain yang menuju Makkah dan kemudian mengepung ‘Uthman pada saat banyak penduduk Madinah yang pergi haji juga. Ada sekitar 3000 pengikut ‘Abd Allah ibn Saba’ yang akan mengepung Madinah.
Mereka juga memperalat nama para sahabat untuk mengaburi mata orang ramai. Para pemberontak dari Mesir kononnya mengatakan bahwa mereka akan melantik ‘Ali sebagai khalifah. Pemberontak dari Kufah menginginkan al-Zubayr ibn ‘Awwam dilantik sebagai khalifah. Sedangkan pemberontak dari Basrah menginginkan supaya Talhah ibn ‘Ubayd Allah sebagai khalifah. Namun ketiga sahabat tersebut menolak, bahkan memberitahu para pemberontak bahwa mereka semua dilaknat oleh Rasulullah s.a.w. Cerita yang mengatakan bahwa ketiga sahabat tersebut terlibat dalam pemberontakan inilah yang coba digambarkan oleh perawi Syi’ah seperti Abu Mikhnaf.
Apabila para pemberontak ini tiba di Madinah lagi, mereka sekali lagi membuat ketegangan dengan ‘Uthman. Sehubungan dengan itu sekali lagi terjadi perbincangan antara ‘Uthman dan pemberontak. ‘Uthman telah menjelaskan segala kekeliruan mereka. Para pemberontak itu berpura-pura menunjukkan rasa puas hati dan berjanji untuk taat. Mereka pun pulang ke negeri masing-masing. Penduduk Madinah lega dengan keluarnya pemberontak itu dari Madinah. Mereka merasakan segala masalah sudah berkahir. Namun perkara sebaliknya berlaku.
Sebenarnya dalam pihak pemberontak pun ada dua golongan. Golongan yang menipu dan golongan yang ditipu. Ini dibuktikan ketika para peberontak kembali ke wilayahnya masing-masing, pemberontak dari Mesir merampas sebuah surat dari seorang penunggang kuda yang mengaku wakil ‘Uthman untuk gubernur Mesir. Isi surat untuk gubernur Mesir itu adalah perintah dari ‘Uthman kepada gubernur Mesir untuk menyalib, membunuh serta memotong tangan dan kaki mereka apabila mereka tiba di Mesir. Pemberontak dari Mesir itu dengan segera kembali ke Madinah. Mereka menemui Ali r.a. untuk segera menentang ‘Uthman. Mereka beralasan bahwa Ali r.a. pernah mengirimkan surat kepada mereka untuk menentang ‘Uthman. Tapi Ali menolak tuduhan itu. Beliau menyatakan tidak pernah menulis surat kepada pemberontak Mesir untuk memberontak terhadap ‘Uthman. Sebagian pemberontak dari Mesir itu terkejut dan saling berpandangan ketika mendengar jawaban Ali. Mereka berkata kalau bukan Ali yang menulis surat tersebut, terus siapa pula yang menulis surat ajakan untuk memberontak? Yang herannya kaum pemberontak dari Kafah dan Basrah juga ikut kembali ke Madinah. Padahal mereka tidak terlibat dengan insiden surat ‘Uthman yang menyuruh gubernur Mesir untuk membunuh para pemberontak. Jadi memang ada rencana jahat yang membuat surat palsu ‘Uthman. Tujuannya agar pemberontak itu kembali lagi ke Madinah.
Golongan munafiqin kemudian menemui ‘Uthman sekali lagi dan menunjukkan isi surat tersebut. ‘Uthman menyangkal pernah menulis surat tersebut. Para pemberontak meminta ‘Uthman turun dari jabatannya sebagai khalifah. Tapi ‘Uthman menolak karena Nabi s.a.w. pernah berkata kepada ‘Uthman apabila ada orang yang menyuruh ‘Uthman meletakkan jabatan khalifah tersebut, jangan ikuti mereka. Segala nasihat ‘Uthman tidak dipedulikan oleh kaum pemberontak tersebut, karena tujuan mereka sebenarnya untuk membunuh ‘Uthman. Mereka terus mengepung ‘Uthman dan terus bersikap biadap terhadap khalifah tersebut. Kepungan bertambah hebat apabila ada berita yang menyatakan tentara Islam bersiap-siap menuju Madinah.
Ibn ‘Abbas yang mengepalai jamaah haji dari Madinah memberitahui umat Islam apa yang terjadi Madinah. Mendengar berita tersebut, para jamaah haji tersebut berniat untuk segera menuju ke Madinah setelah haji mereka selesai untuk mempertahankan khalifah. Pada saat yang sama, Mu’awiyah gubernur ‘Uthman di Syam segera mengutus tentaranya di bawah pimpinan Habib ibn Maslamah seorang sahabat Nabi s.a.w. Apabila kaum pemeberontak mendengar berita kedatangan tentara tersebut, mereka mempercepat rencana mereka. Mereka segera membakar pintu rumah ‘Uthman. Masyarakat dan para sahabat yang ada berusaha melindungi ‘Uthman, di antaranya adalah ‘Abd Allah ibn al-Zubayr, Abu Hurayrah r.a., dan anak Saydina Ali, Saydina Hasan. Ramai di kalangan sahabat yang cedera bahkan ada juga anggota masyarakat yang terbunuh.
Jadi tidak benar seperti tuduhan Syi’ah sampai saat ini yang menyatakan bahwa para sahabatlah yang sebenarnya hendak menjatuhkan ‘Uthman. Yang sebenarnya adalah para sahabat dari wilayah Islam berdatangan ke Madinah untuk mempertahankan ‘Uthman. Dari Kufah ada ‘Uqbah ibn ‘Amar. Ada juga ‘Abd Allah ibn Abi Awfa. Dari Basrah bangkit ‘Imran ibn Husayn. Dan banyak lainnya.
Para pemberontak itu juga sangat kejam. Mereka menahan air yang hendak diberikan kepada ‘Uthman oleh istri Nabi, Umm al-Mukminin Umm Habibah. Para pemberontak itu memukul tunggaannya dan lari, hingga hampir menyebabkan beliau hampir terbunuh. Jadi tidak heran dalam buku-buku Syi’ah banyak menghina istri-istri Nabi s.a.w dengan tuduhan yang kotor.
Ketika keadaan menjadi gawat, ‘Uthman melarang para sahabat menghunuskan senjata bahkan meminta mereka untuk pulang ke rumah masing-masing. Keadaan ini membuat para sahabat merasa serba salah. Mereka tahu ‘Uthman harus ditolong, tapi ‘Uthman telah menggunakan kuasa khalifahnya yang wajib ditaati dengan melarang mereka menghunuskan senjata.
Pada hari para pemberontak itu membunuh ‘Uthman, beliau sedang berpuasa. Pada hari yang sama beliau memerdekakan 20 orang budak. Beliau juga meminta untuk memakai celana, padahal beliau tidak pernah sekalipun memakai celana panjang. Beliau memberitahu mereka yang bersama-samanya: “Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah s.a.w, Abu Bakr dan ‘Umar di dalam mimpiku, mereka berkata kepadaku: ‘Bersabarlah! Engkau akan berbuka puasa di sisi kami nanti.’ “. Kemudian ‘Uthman meminta al-Quran untuk dibaca. Kemudian beliau dibunuh ketika sedang membaca al-Quran. Lebih menyayat hati apabila para pemberontak itu memasuki rumah ‘Uthman, mereka memukul ‘Uthman dengan besi dan memijak Al-Quran yang sedang dibacanya. Darah ‘Uthman menitis di atas mashaf. Istri ‘Uthman pula dipotong jarinya. Pembunuh ‘Uthman bergelar al-Mar’u al-Aswad. Ada kemungkinan al-Mar’u al-Aswad adalah ‘Abd Allah ibn Saba’. Ini karena dia turut hadir bersama-sama para pemberontak.
Barang siapa yang membaca peristiwa tersebut maka akan timbul perasaan marah, benci dan dendam terhadap mereka yang terlibat dalam konspirasi jahat tersebut. Sudah pasti yang hidup pada jaman itu, lebih membara lagi kemarahannya. Inilah keadaan yang harus dihadapi oleh Sayyidina ‘Ali ibn Abi Thalib r.a. pada masa pemerintahannya. Perasaan marah yang lahir dari keimanan para sahabat yang mendesak agar segera diambil tindakan terhadap para pembunuh ‘Uthman r.a., sedangkan suasana pemerintahan ‘Ali ketika itu tidak mengizinkan. Di sinilah bermulanya fitnah yang besar di kalangan para sahabat.
Referensi:

1. Dr. Mohd Asri Zainul Abidin, “Pertelingkahan Para Sahabat Nabi s.a.w: Antara keltulenan Fakta dan Pembohongan Sejarah“