Saturday, September 22, 2018

Antara Aqidah Dan Manhaj

Hasil gambar untuk Antara Aqidah Dan Manhaj

Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi Al-Atsari
Tidaklah ragu bahwa sebagian da’i manhaj dakwah yang baru (yaitu dakwah yang mengikuti salaf dalam pokok-pokok aqidah saja, tidak dalam seluruh sisi agama) bersepakat dengan kita dalam “pokok-pokok aqidah”, artinya mereka mengakui aqidah sesuai dengan metode ulama salaf, baik yang berkaitan dengan tauhid uluhiyah, tauhid asma ‘wa shifat dan berbagai pembahasan iman yang lain.

Saya katakan “pokok-pokok aqidah” karena di sana ditemukan perbedaan dalam menerapkan beberapa rincian aqidah. Misalnya tauhid uluhiyah dengan tauhid hakimiyah/mulkiyah. (pendapat) yang membedakan dua tauhid diatas, di zaman ini, mula-mula dinukil dari tulisan-tulisan Abul A’la al Maududi, Sayid Qutb, kemudian saudaranya, yaitu Muhammad Qutb, dan orang-orang yang mengikuti mereka.
 
Para da’i itu mengambil pendapat mereka, yang hal ini sesuai dengan hasrat para pemuda yang sedang tumbuh semangat dan emosi mereka. Mereka senang mendapatkannya, menjadikannya sebagai tema dakwah serta simbol manhaj mereka.

Andaikan mereka mau sejenak merenungkan, niscaya akan mengetahui kesalahan istilah tauhid hakimiyah dari dua segi :

1.Istilah tersebut adalah istilah baru yang tidak ada faedahnya, kecuali hanya membesar-besarkan beberapa masalah daripada masalah-masalah lainnya.

2. Tauhid hakimiyah, yang menurut mereka adalah makna dari firman Allah:

إِنِ الْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ
“Tidaklah menetapkan hukum itu melainkan hak Allah” [Al-An’aam/6 :57]

Adalah bagian dari keumuman makna tauhid uluhiyah. Ini adalah suatu yang sangat jelas. Kalau demikian, membedakannya adalah perbuatan sia-sia.

Tauhid uluhiyah adalah aspek paling penting dalam dakwah para Rasul sebagaimana yang dipaparkan Al-Quran. Tauhid ini merupakan tema konflik yang terjadi antara para Rasul dengan para penentang dan musuh mereka di setiap umat. Tauhid ini hingga sekarang menjadi tema konflik antara pembela kebenaran dan pendukung kesesatan. Bahkan mungkin hal ini akan terus berlangsung sampai hari kiamat. Sebagai ujian bagi ahli waris para Rasul dan sebagai sarana untuk meninggikan kedudukan mereka di hadapan Allah.

Pemisahan tauhid uluhiyah dengan hakimiyah ini menyebabkan prioritas dakwah Islam menjadi berantakan. Dalam kitab “Al-Usus Al-Akhlaqiyyah” Al-Maududi menyatakan: “Tujuan hakiki agama (Islam) adalah menegakkan sistem imamah/kepemimpinan yang shalih lagi terbimbing”.

Ini adalah ucapan yang tidak berdasar, karena tujuan hakiki agama ini, tujuan penciptaan jin dan manusia, tujuan para Rasul diutus dan tujuan berbagai kitab samawi diturunkan adalah beribadah kepada Allah dan memurnikan ketundukan kepadaNya.

Meski demikian, bentuk perpecahan nampak jelas dalam manhaj dan metode yang ditempuh para da’i tersebut untuk mewujudkan aqidah dan tujuannya. Inilah titik perbedaan antara dakwah salafiyah dengan dakwah-dakwah lainnya, yang hanya mengadopsi aqidah salafiyah namun menyelisihi manhajnya.

Untuk mengetahui perbedaan aqidah dengan manhaj, saya katakan:

Allah Ta’ala berfirman:

لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk setiap kalian, kami jadikan manhaj dan syariat yang berlainan”.[Al Maidah/5 : 48]

Ibnu Abbas berkata, ‘Jalan dan sunnah’ [Lalikai:66, Thabari 6/271]

Ibnu Katsir dalam tafsirnya 2/105 menyatakan : “Ayat ini berisi informasi tentang berbagai umat yang berbeda-beda agamanya, dari sisi perbedaan syariat dalam hukum amaliah, tetapi sama dalam masalah tauhid”.

Jadi ayat ini mengisyaratkan kesatuan dakwah para Nabi dalam aspek tauhid dan perbedaan mereka dalam manhaj, jalan dan metode.

ثُمَّ جَعَلْنَاكَ عَلَىٰ شَرِيعَةٍ مِنَ الْأَمْرِ فَاتَّبِعْهَا
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan agama itu, maka ikutilah syariat itu”. [Al Jatsiyah/45 :18]

Sufyan bin Husain menyatakan (berada di atas suatu syariat), yaitu: ‘di atas Sunnah’ [Thabari 6/271].

Walhasil syariat Islam ini memilih manhaj yang jelas, kita diperintahkan untuk mengikutinya, yaitu jalan orang-orang beriman. Manhaj ini secara sangat gamblang telah dinyatakan oleh Allah dalam Al-Quran. Bahkan Allah mendorong untuk mengikutinya dan mencela keras orang yang menyelisihinya, sebagaimna dalam firmanNya:

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَىٰ وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ ۖ وَسَاءَتْ مَصِيرًا
“Barangsiapa menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk/ilmu dan menempuh bukan jalan orang-orang beriman, maka Kami akan palingkan ia ke mana ia mau, dan Kami akan memasukkannya ke dalam jahanam. Itulah sejelek-jelek tempat kembali”. [An-Nisaa’/4:115]

Ini merupakan penjelasan yang sangat gambalang dan hujjah yang sangat kuat bagi para hambaNya untuk menyatakan kewajiban menempuh jalan orang-orang yang beriman. Allah juga mengancam kepada orang yang keluar dari jalan orang-orang yang beriman dan menempuh selain jalan mereka. Allah akan meninggalkan mereka di dunia, dan akan menyiksanya di akhirat nanti dengan azab yang menyakitkan.

Akan kami tegaskan lagi manhaj dan urgensinya. Manhaj itu adalah manhaj para shahabat dan orang-orang yang menempuh jalan mereka, baik tabiin maupun tabiut tabiin. Merekalah Salafush Shalih yang mendapat rekomendasi dari Nabi. Karena mereka adalah generasi yang memiliki pemahaman pada masa wahyu diturunkan. Mereka sendiri menyaksikan Al-Quran diturunkan. Tentu, mereka adalah orang yang memiliki pemahaman yang paling dekat dengan kehendak Allah dan RasulNya serta mengetahui sisi-sisi pemahaman hukum.

Maka kita menempuh manhaj mereka, mengikuti petunjuk mereka, menisbatkan diri dan mengajak kepada manhaj itu. Manhaj mereka adalah menekuni dakwah, saling mewasiatkan kebenaran dan komitmen dengan jalan yang lurus.

قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي ۖ وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ
“Katakanlah, inilah jalanku mengajak kepada agama Allah berdasarkan ilmu, aku dan orang-orang yang mengikutiku. Maha Suci allah dan aku bukan termasuk orang-orang musyrik”.[Yusuf/12 :108]

وَأَنَّ هَٰذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ
“Dan Inilah jalanku yang lurus, ikutilah ia dan jangan kalian menikuti berbagai jalan yang lain niscaya kalian akan terpisah dari jalanNya”. [Al An’am/6 :153]

Pemahaman salaf merupakan rujukan pokok, karena mereka adalah orang yang berfitrah lurus, beriman yang benar, memiliki kefasihan dan Al Quran turun dengan menggunakan bahasa mereka.

Demikian pula Rasulullah di tengah-tengah mereka. Beliau jelaskan hal-hal yang musykil, beliau singkap hal-hal yang samar/tidak jelas dalam pikiran mereka dan selalu meluruskan jalan mereka.

Nash Al Quran dan Sunnah yang menunjukkan keutamaan dan ketinggian kedudukan mereka, sudah sampai derajat mutawatir. Kedudukan ini mereka dapatkan, karena mereka pendahulu dalam menempuh jalan-jalan kebaikan. Allah menjadikan mereka sebagai panutan beragama bagi orang-orang sesudah mereka. Allah juga menyanjung orang-orang yang mau mengikuti dan menempuh jalan mereka. Sedangkan pengikut itu mendapatkan keutamaan karena disebabkan keutamaan orang yang diikuti sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang terdahulu lagi pertama kali masuk Islam di antara muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah. Allah sediakan bagi mereka surga-surga yang sungai-sungai mengalir di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar”. [At Taubah/9 :100]

Inilah cuplikan dan keutamaan manhaj salaf dan keistimewaannya dibandingkan manhaj-manhaj yang baru atau menyimpang. Manhaj yang dibangun di atas kepasrahan mutlak kepada perintah Allah dan RasulNya tanpa mempertimbangkan kemaslahatan, menoleh kepada istihsan (anggapan baik berdasarkan akal/perasaan) atau mengkonsentrasikan kepada emosi, semangat atau pendapat manusia.

Dalil tentang hal ini, berlimpah ruah dalam Al-Quran dan Sunnah. Di sini akan disebutkan dua diantaranya. Kedua dalil ini merupakan penjelasan yang gamblang berkaitan dengan kerangka umum manhaj yang lurus ini.

Pertama.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّىٰ يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka tidak, demi Rabbmu, tidaklah mereka beriman sehingga mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam hal-hal yang diperselisihkan di antara mereka. Kemudian mereka tidak mendapatkan kesempitan dalam diri mereka terhadap keputusan yang engkau berikan dan mereka benar-benar memasrahkan diri”. [An Nisaa’/4 : 65]

Kedua:
Perkataan Rafi bin Khadij dalam sebuah hadits:

نَهَانَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَمْرٍ كَانَ لَنَا نَافِعًا وَطَوَاعِيَةُ اللَّهِ وَرَسُولِهِ أَنْفَعُ لَنَا

“Rasulullah melarang dari hal yang bermanfaat bagi kami. Namun ketaatan kepada Allah dan RasulNya lebih bermanfaat bagi kami”. [Hadits Riwayat Muslim no 1548]

Berdasarkan penjelasan di atas, nampak jelas perbedaan global antara aqidah dan manhaj. Intinya, manhaj itu dibangun berdasarkan kepasrahan yang mutlak. Namun di sini harus dijelaskan bahwa terus-menerus menyimpang dari manhaj akan menyebabkan penyimpangan dalam aqidah dan tauhid itu sendiri. Orang yang mengamati jama’ah-jama’ah dakwah kontemporer akan melihat bukti jelas tentang hal itu.

Bukanlah sudah maklum dalam pembinaan keimanan yang dilakukan Allah, bahwa Allah akan menghukum tindakan dosa dengan mengerjakan dosa yang lain, inilah hukuman dosa yang paling keras.

Seperti itulah karena penyimpangan umat Islam dalam amal dan perilaku, umat ini dihukum dengan terjadinya penyimpangan dalam aqidah dan persepsi.
[Disalin dari terjemahan Mukadimah Kitab Ru’yah Waqi’iyah karya Syaikh Ali bin Hasan al Halabi oleh Ibnu Ahmad al Lambunji dari majalah As Sunnah Edisi 02/Tahun VI/1423H/2002M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta]