Monday, September 3, 2018

Jalaludin Rakhmat, Pedagang Dusta “Ghadir Khum Dan Muawiyah RA”, Tipikal Loyalis Abdullah Bin Saba’

Hasil gambar untuk kesesatan ghadir khum

Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum (Bagian 1/3 )
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum (Bagian 2/3 )
Analisa Terhadap Klaim Syi’ah Atas Hadits Ghadir Khum (Bagian 3/3 )
Kritik Tafsir Hadits ‘Ithrah Versi Syiah; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum
Bantahan Hadits Tsaqalain; Runtuhnya Ajaran Ghadir Khum Syiah
Ahlul-Bait Tidak Mengakui Wasiat Estafet Imamah dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam – ‘Aliy – Al-Hasan – Al-Husain – ‘Aliy bin Al-Husain – Muhammad bin ‘Aliy
‘Aliy bin Abi Thaalib : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Pernah Berwasiat tentang Kepemimpinan Kepada Dirinya
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam Tidak Berwasiat tentang Kepemimpinan kepada ‘Ali radliyallaahu ‘anhu [2]
‘Aliy Berbaiat dan Ridlaa terhadap Kekhalifahan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum
Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu Mengakui ‘Umar bin Al-Khaththaab sebagai Pemimpin bagi Kaum Mukminiin (Amiirul-Mukminiin)
Aliy bin Abi Thaalib Berbaiat kepada Abu Bakr radliyallaahu ‘anhumaa [2]
Keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar yang Disebutkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Depan ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum
Ahlul-Bait Menyepakati Keputusan Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu dalam Masalah Tanah Fadak
Abu Bakar Tidak Sah Jadi Khalifah? Paparan Dibawah Ini " Menjungkirbalikkan " Fitnah-fitnah Keji Syi'ah dan Antek-anteknya !
Menghujat Abu Hurairah, Syiah Menghujat Kitabnya Sendiri, Abu Hurairah Meriwayatkan Hadits Tsaqalain
Penjelasan Hadist Dua Belas Khalifah Nabi Shallallahu alaihi wa sallam
Keluarga Nabi Dalam Pandangan Al-Qur’an Dan As Sunnah.
Musa Kazhim Al Habsyi (Militan Syi’ah, Pendengki Arab Saudi) :  Syiah Dan Ilmu Hadis ? Bantahan Ilmiyah Dan Comprehensive.
Syiah Sang Pendusta
Syi'ah di Indonesia Sering Lakukan Kebohongan Publik
Memahami Kelainan Syiah, Sebuah Nota Kesepahaman
Syi’ah, Jika Menerapkan Ilmu Al Jarh Wat Ta`Dil Sebagaimana Ahlus Sunnah, Maka Tidak Tersisa Sedikitpun Dari Hadits Mereka (Sampah). Mereka Banyak Berdusta Atas Ja`far Ash Shadiq, Menasabkan Dari Riwayat-Riwayat Yang Dibuat-Buat, Menukil Tanpa Sanad Atau Sanad Maudhu` (Dipalsukan) Atau Dhaif Atau Maqthu` (Terputus), Agama Masyayikh.
Hadits Tsaqalain : Ahlul-Bait Jaminan Keselamatan Dunia dan Akhirat
Riwayat Berpegang Dengan Al-Qur'an Dan Sunnah Adalah Sah !! (Bukan Berpegang Dengan Ahlul Bait) !
Benarkah Syiah Mengikuti Ahlulbait?
Ahlul Bait Ahlus Sunnah Beda dengan Ahlul Bait Syiah
Syi’ah (Rafidhah) : Mengapa kalian tidak mau jika ahlul bait menjadi rujukan yang hak dalam masalah agama?
Tsaqalain secondprince beserta bantahannya.
Ahlul-Bait Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam
Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki
Muawiyah Dan Keutamaannya, Beliau Adalah Juru Tulis Rasulullah, Bahkan Dijanjikan Masuk Surga
Perkataan Ajaib Rasulullah Tentang Syi’ah Yang Terbukti Hari Ini
Rafidhah dan Syiah Lebih Berbahaya Daripada Yahudi dan Nashrani
Ahlul-Bait Menyepakati Keputusan Abu Bakr Ash-Shiddiiq radliyallaahu ‘anhu dalam Masalah Tanah Fadak

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Muawiyah Bin Abi Sufyan Raja Terbaik Dalam Islam (Ust.Abd.Hakim Abdat) Dan Khalifah Yang Haq (Syaikh Adnan Al Ar'ur). (Datar Artikel terkait Keutamaan Muawiyah RA).
Sesungguhnya Mu'awiyyah Radhiyallaahu 'Anhu Lebih Baik Bagiku Daripada Mereka Yang Mengaku-Ngaku Sebagai Syi'ahku!!!!
Keutamaan Mu'awiyah Bin Abu Sufyan (Bantahan Untuk Syiah)
Kitab Syiah: Bagaimana pandangan Imam Ali terhadap Muawiyah?
Muawiyah Dan Keutamaannya, Beliau Adalah Juru Tulis Rasulullah, Bahkan Dijanjikan Masuk Surg
Meluruskan Pemahaman Tentang Shahabat Mu’awiyah Radhiallahu ‘Anhu
Muawiyah, Gerbang Kehormatan Sahabat
[Mengenang Kembali] Muawiyyah Ibnu Abu Sofyan
Mu’awiyah bin Abu Sufyan, Pemimpin Cerdas yang Mendapat Banyak Fitnah
Pembelaan Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (1): SIAPA KITA, SIAPA MU’AWIYAH?
Pembelaan Salafi Ahlussunnah terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (2): KONSPIRASI MENCABIK KEHORMATAN MU’AWIYAH BIN ABI SOFYAN
Pembelaan Salafi Ahlussunnah Terhadap Kehormatan Shahabat Nabi, Mu’awiyah bin Abi Sufyan (3): KEUTAMAAN MU’AWIYAH KESEPAKATAN AHLUSSUNAH SEPANJANG ZAMAN
Sikap Ahlus Sunnah Terhadap Mu'awiyah Dan Pertikaiannya Dengan Ali
Tanggapan Atas Artikel “Distorsi Sejarah dalam Serial Muawiyah, Hasan dan Husein”
Al Isra’ Ayat 33: Muawiyah Menuntut Hukum Qisas Ke Atas Pembunuh Khalifah Usman.
‘Aliy bin Abi Thaalib : Mu’aawiyyah adalah Saudara Seiman, Sama dengan Dirinya
Surat kepada Abu Hasan ( Penggugat ) : Muawiyah r.a – 1
Menghujat Abu Hurairah, Syiah Menghujat Kitabnya Sendiri, Apakah Imam Syiah Menjadi Antek Muawiyah?
Imam Ali: Andai Saja Muawiyah Mau Menukar 1 Orangnya Dengan 10 Syiahku
Imam Hasan, Imam Maksum Yang Dibenci Syiah, Mengapa Dia Membai'ah Muawiyah?
Kisah Tahkim Yang Palsu
Keutamaan Muawiyah, Kaum Anshar dan Siapa ( Dimana Posisi ) Kita ? (Bagian Pertama)
Keutamaan Muawiyah, Kaum Anshar dan Siapa ( Dimana Posisi ) Kita ? (Bagian Kedua)
Memandang Perang Shiffin Bukan dari Mata Pendengki
Mengenal Muawiyah bin Abu Sufyan radhiyallahu 'anhuma
Majmu Fatawa: Kedudukan Muawiyah dan Amr Bin Ash
Makam Muawiyah Oleh Syi’ah Dianggap Tempat Pembuangan Sampah
Meneliti 5 Riwayat Hadits Yang Menghujat Sahabat Mu'awiyah
Dialog Indah antara Aisyah, Ali dan Muawiyah radhiyallahu anhum
Fitnah Terhadap Daulah Bani Umayyah

●●●●●●●●●●●●●●●●●●●●

Mengenal Idul Ghadir, Hari Raya Terbesar Kaum Syiah

Oleh : Ustadz Ammi Nur Baits
Alhamdulillah was shalatu was salamu ala rasulillah, amma badu,
Syiah memiliki hari raya paling besar, melebihi keagungan hari raya Idul Fithri dan Idul Adha. Hari raya itu mereka sebut dengan Idul Ghadir (hari raya ghadir /18 Dzulhijjah). Peristiwa ghadir menjadi momentum bersejarah yang paling berharga bagi syiah. Menurut Ulama Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib sebagai Khalifah pengganti Rasulullah shallallahu alaihi wa Sallam. Mereka mengklaim bahwa Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam untuk menunjuk Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu sebagai khalifah.
Untuk membumikan aqidah ini, para tokoh Syiah menulis banyak buku yang mencantumkan fadhilah hari ghadir. Diantaranya,
Al-Ghadir wa al-Muaridhun, karya Jafar Murtadha al-Amili.
Al-Ghadir fi at-Turats al-Islami, karya Abdul Aziz at-Tabatabai.
Dalil an-Nash bi Khabar al-Ghadir ala Imamati Amiril Mukminin, karya Abul Fath Muhammad bin Ali al-Karajaki.
Al-ghadir fi al-Kitab al-Aziz, karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.
Mafad Hadis al-ghadir, juga karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.
Aqwal al-Ulama fi Shihhati Hadis al-Ghadir wa Tawaturihi, juga karya Syaikh Abdul Husain al-Amini.
Abdul Husain juga menulis Idul Ghadir fi al-Islam.
Baiatu al-Ghadir, karya Muhammad al-baqir al-Anshari.
Dan masih banyak lagi buku-buku mereka tentang hari Ghadir, yang isinya kurang lebih tidak jauh beda. Ini menunjukkan bagaimana antusias Syiah dalam menyebarkan aqidah tentang hari raya baru mereka, Idul Ghadir.
Dari sekian nama penulis di atas, ada satu penulis yang paling ngotot dalam membela idul ghadir. Dia adalah Abdul Husain al-Amini. Anda perhatikan namanya, sungguh mengerikan bukan?. Abdul Husain, hamba Husain. Artinya dia bukan hamba Allah, tapi penyembah Husain.
Kemudian ada salah satu tokoh syiah, yang digelari dengan al-Marja ad-Dini al-Ala (rujukan tertinggi masalah agama), Sayid Muhammad al-Husaini as-Syirazi, menulis sebuah buku yang berjudul: Idul Ghadir, Adzamu al-Ayad fi al-Islam (Idul Ghadir: Hari Raya Terbesar dalam Islam). Buku itu diterbitkan oleh Haiah Ilmiah fi Hauzah Ar Rasul Al Azham di Kuwait.
Buku ini tidak tebal, jika dibandingkan dengan karya semisalnya. Versi pdf yang ada pada kami tebalnya hanya 66 halaman. Si Sayid menyebutkan berbagai riwayat untuk mendukung aqidah sesat ini. Kemudian setelah menyebutkan berbegai riwayat tentang Ghadir Khum, penulis mulai memuji habis Ahlul bait, dan mencuplik beberapa kisah tentang perjalanan dakwah Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Anda yang sudah pernah membaca buku Sirah Nabawi, akan dibuat banyak keheranan dengan penjelasan buku ini. Atau bahkan anda akan menertawakannya. Dia menyampaikan lakon sejarah Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan berusaha menutupi sosok sahabat besar, seperti Abu Bakar, Umar, Utsman, radhiyallahu anhum dan para istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Sekalipun dalam sejarah aslinya, di sana ada Abu Bakr, Umar, para istri beliau, atau sahabat senior lainnya. Tokoh yang ditonjolkan penulis hanya berkutat pada Ali, Hasan, Husain, Fatimah, Miqdad bin Aswad, dan Salman al-Farisi.
Mengapa tidak disebutkan? Karena bagi syiah, nama-nama itu adalah musuh mereka. Namun sayang, tidak ada versi terjemahan untuk buku ini. Karena khawatir buku asli mereka diketahui kaum muslimin indonesia yang berpaham ahlus sunah. Tidak lain, ini bagian dari upaya taqiyah mereka. Menutupi muka aslinya, agar tidak diketahui aibnya.
Apa itu Ghadir Khum?
Selanjutnya kita akan menyimak lebih dekat apa itu peristiwa ghadir khum dan ada apa dengan hari ghadir khum?
Ghadir [arab] secara bahasa artinya sungai kecil yang dialiri air. (Mujam al-Wasith, 2/200). Sementara Khum [arab] adalah nama sebuah lembah yang banyak pepohonannya jaraknya 3 mil dari arah Juhfah, atau sekitar 250 km di sebelah utara Mekah. Artinya, jarak Khum dengan madinah sekitar 150 km.
Gabungan dua kata ini berarti, lembah yang banyak pepohonannya, ada sungai kecil, yang bernama Khum. (Taliq shahih Muslim Muhammad Fuad AbdulBaqi, hadis no. 2408).
Disebut hadis Ghadir Khum, karena Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan hadis ini di sebuah ghadir yang bernama Khum. Peristiwa tersebut terjadi pada haji, di sela-sela perjalanan pulang Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menunaikan haji wada. Atau kurang lebih tiga bulan sebelum beliau meninggal dunia.
Tinjauan Hadis Ghadir Khum
Tentang peristiwa ghadir khum disebutkan dalam hadis dari Zaid bin Arqam radhiyallahu anhu. Beliau bercerita : Suatu hari, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah di hadapan para sahabat, di pinggir sungai kecil yang bernama Khum. Lembah antara Mekah dan Madinah. Beliau memuji Allah dan memberikan nasehat kepada para sahabat. Kemudian beliau bersabda,
“Ketahuilah wahai manusia, sesungguhnya aku ini manusia biasa. Utusan Rabbku segera datang memanggilku sehingga aku harus memenuhinya. Kutinggalkan pada kalian dua hal yang berharga: pertama adalah kitab Allah, di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya, maka berpegang teguhlah pada kitab Allah sekuat tenaga kalian.Zaid melanjutkan, Lantas beliau menganjurkan agar mempelajari kitab Allah dan mencintainya. Kemudian beliau melanjutkan khutbahnya, Dan juga keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal keluargaku. Aku ingatkan kalian untuk takut kepada Allah perihal keluargaku. (beliau ulangi 3 kali).
Hushoin bertanya kepada Zaid, bertanya, Siapakah keluarga Nabi itu, wahai Zaid? Bukankah istri-istri beliau juga termasuk keluarga beliau? Zaid menjawab, Benar. Tetapi keluarga beliau adalah orang-orang yang haram menerima sedekah sepeninggal beliau.
Ia kembali bertanya, Siapakah mereka? Zaid pun menjawab, Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Jafar, dan keluarga Abbas.Hushoin bertanya lagi, Apakah mereka semua tidak boleh menerima sedekah?Zaid menjawab,Ya. (HR. Muslim no 2408).
Hadis di atas diriwayatkan oleh Muslim dalam shahihnya, dan kita sepakat untuk menerima dan mengakui hadis ini. Karena itu, ketika syiah mengatakan bahwa kelompok Sunni tidak mengakui hadis ghadir khum, ini jelas tuduhan dusta.

Disamping hadis riwayat Muslim di atas, ada beberapa kalimat tambahan yang disebutkan dalam riwayat lain, diantaranya :
Tambahan pada riwayat Ahmad, Nasai dan Tirmidzi serta lainnya, bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan dalam peristiwa itu, Siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya. (HR. At-Tirmidzi 3713, Ahmad, 5/374, dan Mustadrak Hakim, 3/110).
Ada juga tambahan lain, dimana Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyatakan,
Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya (Ali), musuhilah orang yang memusuhinya.
Ada juga tambahan.
Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.
Dari berbagai riwayat hadis tentang ghadir Khum, Dr. Utsman al-Khamis mengklasifikasi hadis ini menjadi empat tingkatan:
Hadis riwayat Muslim, yang TIDAK ada kalimat, Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya.
Tambahan yang terdapat pada riwayat Tirmidzi, Ahmad, Nasai dan lainnya, yaitu kalimat, Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya.
Tambahan yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad, Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, musuhilah orang yang memusuhinya.;
Tambahan yang diriwayatkan oleh Thabrani dan lainnya,  Bela orang yang membelanya, rendahkanlah orang yang merendahkannya, dan sertakanlah kebenaran bersamanya di manapun dia berada.
Kesimpulan untuk hadis Ghadir Khum dan tambahan riwayatnya,
Riwayat yang tercantum dalam Shahih Muslim, kita menerima semua riwayat yang ada dalam Shahih Muslim.
Untuk tambahan kedua, hadits tersebut shahih, diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ahmad serta lainnya. Pendapat yang kuat bahwa hadits kedua ini shahih. Meskipun ada sebagian ulama yang mendhaifkannya, diantaranya Ishaq al-Harbi, Syaikhul Islam, Ibnu Hazm, dan yang lainnya.
Sementara tambahan yang ketiga, diperselisihkan oleh para ulama. Sebagian menilainya shahih dan sebagian menilainya dhaif.
Sedangkan untuk tambahan yang keempat, itu merupakan kedustaan murni yang dibuat atas nama Nabi shallallahu alaihi wa sallam. (Syubuhat Syiiyah, hlm. 53).
Kesimpulan Syiah dari Hadis Ghadir Khum Hadis ghadir khum di atas, digunakan orang Syiah sebagai dalih untuk menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu, adalah orang yang paling berhak menjadi khilafah sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wa sallam secara langsung. Mereka beralasan, bahwa maksud sabda Nabi Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya adalah kekasih yang berarti hakim (penguasa) atau khilafah.
Akan tetapi penduduk Madinah yang mendengar hadis ini dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, mereka semua berkhianat. Sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, yang diangkat menjadi Khalifah adalah Abu Bakr, kemudian Umar, kemudian Utsman, dan baru yang keempat, Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhum.
Karena alasan ini, mereka mengkafirkan sahabat Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat senior di Madinah. Mereka dituduh oleh syiah, telah merebut kekuasaan Ali bin Abi Thalib.
Laa haula wa laa quwwata illa billah, sejak kapan sahabat sampai rebutan kekuasaan? Padahal mereka berusaha menolak ketika ditunjuk sebagai khalifah. Lalu dengan logika apa, pernyataan Barang siapa yang aku menjadi pemimpinnya, maka Ali adalah pemimpinnya bisa disimpulkan bahwa itu adalah penobatan Ali sebagai khalifah?
Bukankah ini kesimpulan yang terlalu dipaksakan?
Pernyataan ini selanjutnya dijadikan dasar oleh syiah bahwa Ali telah diangkat sebagai Khalifah di Khum. Namun para penduduk madinah tidak amanah, dan mengkhianati pesan Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Khum. Sehingga yang ditunjuk sebagai khalifah sepeninggal Nabi shallallahu alaihi wa sallam bukan Ali tapi Abu Bakr.
Ada beberapa catatan untuk menyatakan bahwa kesimpulan syiah tentang hadis ghadir khum adalah kesimpulan yang ngawur.
Pertama, Catatan Sisi Geografis
Bagi syiah, masalah kepemimpinan merupakan masalah paling penting. Sampai mereka berani mengkafirkan Abu Bakr, Umar, Utsman, dan beberapa sahabat lainnya, sebabnya kembali pada masalah kepemimpinan.
Karena ini masalah sangat penting, seharusnya Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan menyampaikannya kepada seluruh umat manusia, sebelum beliau meninggal. Bagi Syiah, di Ghadir Khum, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah tentang Ali, dengan maksud kekhalifahan, yang berarti Rasulullah menginginkan agar Ali menjadi khalifah sepeninggal beliau.
Sanggahan Untuk Syiah
Jika kepemimpinan Ali adalah satu hal yang sangat penting sekali, bukankah seharusnya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan pesan ini kepada seluruh jamaah haji ketika di arafah? Karena ketika di Arafah, semua jamaah haji dari berbagai negeri berkumpul. Tidak hanya penduduk madinah, tapi seluruh penjuru jazirah arab. Sehingga apabila penduduk Madinah berkhianat, dan mereka lebih memilih Abu Bakr sebagai khalifah, maka umat muslim yang lainnya dari luar Madinah bisa menjadi saksi akan hal itu.
Sementara jarak lembah Khum dengan Mekah sekitar 250 km. Dan jarak antara Mekah dan Madinah adalah 400 km. Artinya, beliau telah melakukan separuh perjalanan, lebih dekat dengan kota Madinah. Sehingga bisa dipastikan, jamaah haji dari Mekah, atau pelosok daerah lainnya, tidak mengetahui kejadian di ghadir khum.
Sebagaian tokoh Syiah menyanggah, bahwa ketika itu (di hari Arafah) Nabi shallallahu alaihi wa sallam takut menyampaikan masalah khilafah ini kepada seluruh jamaah haji. Beliau takut sabdanya ditolak, dan beliau takut pada jamaah haji yang jumlahnya ribuan, sehingga tidak beliau sampaikan, dan hanya menyampaikannya kepada penduduk Madinah.
Anda yang mendengar, tentu akan berkomentar, pantaskah seorang Nabi takut pada para sahabat?
Kedua, Catatan Sisi Moral
Mereka yang mendengar khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam ketika di Khum adalah masyarakat Madinah. Sehingga pesan ini didengar oleh Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali sendiri, dan para sahabat senior lainnya.
Menurut syiah, ada dua kemungkinan mengapa Ali bin Abi Thalib tidak diangkat sebagai khalifah pertama oleh para penduduk Madinah, (1) Para sahabat tidak paham dengan pesan Nabi shallallahu alaihi wa sallam dalam khutbah tersebut. (2) Para sahabat berkhianat terhadap pesan tersebut, sehingga mereka tidak mengangkat Ali sebagai khalifah pertama.
Dan dua kemungkinan ini jelas tidak bisa diterima.
Apakah mungkin semua sahabat yang tinggal bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Madinah tidak memahami maksud pesan beliau di Khum? Para sahabat tidak paham, sementara syiah paham? Berarti para sahabat yang berada di sekitar Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah orang bodoh, sampai pesan yang demikian penting mereka tidak pahami.
Kata syiah, para sahabat paham, tapi mereka berkhianat. Allahu akbar¦
Berarti manusia yang berada di sekitar Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah para pengkhianat. Yang itu berarti Allah membiarkan nabi-Nya bersama para pengkhianat.??
Para sahabat adalah para pengkhianat, dan syiah manusia paling amanah??!!
Ketiga, Catatan Latar Belakang Khutbah Ghadir Khum
Berikutnya kita perlu mengetahui latar belakang mengapa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, Barang siapa yanga aku menjadi kekasihnya, maka Ali adalah kekasihnya. Karena salah satu cara untuk memahami maksud Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah memahami sababul wurud hadis. Dengan demikian, kita bisa memahami hadis lebih komprehensif.
Ada dua analisis yang dijelaskan para ulama menganai latar belakang khutbah Nabi shallallahu alaihi wa sallam di Ghadir Khum.
Analisis pertama, disimpulkan dari dua hadis berikut,
Hadis pertama, Dari Imran bin Hushoin radhiyallahu anhu, beliau bercerita,
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengirim pasukan. Dan beliau meminta Ali untuk mengambil harta rampasan perangnya. Beliaupun menemui pasukan perang itu, dan mengambil seorang tawana (budak) wanita, kemudian beliau menyetubuhinya. Para sahabatpun mengingkari sikap Ali bin Abi Thalib. Dan ada 4 sahabat yang berjanji, Jika kita telah sampai Madinah, akan kita sampaikan apa yang dilakukan Ali. Kebiasaan kaum muslimin, sepulang mereka dari safar, mereka mulai dengan menemui Nabi shallallahu alaihi wa sallam, memberi salam beliau, kemudian baru kembali ke rumahnya masing-masing.
Ketika pasukan perang ini sampai di Madinah, mereka memberi salam kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan salah satu dari 4 sahabat tadi melaporkan,
Wahai Rasulullah, tahukan anda bahwa Ali telah melakukan tindakan demikian dan demikia. Namun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpaling dan tidak mengindahkan laporan mereka. Orang kedua gantian melaporkan yang sama, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak mempedulikannya. Orang ketiga juga demikian, dan terakhir orang keempat. Semuanya diacuhkan Nabi shallallahu alaihi wa sallam.
Kemudian Nabi shallallahu alaihi wa sallam memandangi mereka dan nampak ada suasana marah di wajah beliau,
Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Apa yang kalian inginkan terhadap Ali? Sesungguhnya Ali bagian dariku dan aku bagian darinya. Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku. (HR. Turmudzi 3712 dan dishahihkan al-Albani).
Hadis kedua, kasus sama dari Buraidah radhiyallahu anhu, beliau menceritakan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu agar mendatangi Khalid, untuk mengambil seperlima. Dan aku menjadi benci dengan Ali, karena dia telah mandi junub (karena menyetubuhi tawanan/budak). Akupun menyampaikannya kepada Khalid, Lihat apa yang dilakukan Ali.
Sesampainya kami kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, akupun ceritakan kejadian itu kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Kemudian beliau bersabda,
Hai Buraidah, apakah kamu membenci Ali. Aku jawab: Ya. Beliau bersabda, Janganlah kamu membencinya, karena dia berhak mendapatkan seperlima yang lebih banyak dari pada seorang budak itu.(HR. Bukhari 4350).
Cerita Selengkapnya
Sebelum berangkat haji, dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam masih berada di Madinah, beliau telah mengirim Khalid bin walid ke Yaman untuk suatu pertempuran. Setelah Khalid bin Walid menang dalam tugas jihadnya, dia mengirim berita kepada Nabi, Sesungguhnya kami menang dan mendapatkan harta rampasan. Maka kirimkanlah orang kepada kami untuk mengambil seperlima dari harta rampasan perang ini. Nabi shallallahu alaihi wa sallam mengutus Ali bin Abi Thalib ke Yaman untuk mengambil seperlima ghanimah itu dan memerintahkannya agar segera kembali untuk bisa bersama beliau ke mekah melaksanakan haji.
Dalam aturan jihad, ghanimah tersebut, dibagi menjadi lima: 4/5nya untuk para pejuang, sedangkan 1/5nya untuk dibawa Ali. Harta ghanimah yang dibawa Ali itupun akan dibagi menjadi lim lagi: 1/5 untuk Allah dan Rasul, 1/5 untuk kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 untuk kaum miskin dan 1/5 untuk Ibnu Sabil. Ali mengambil bagian yang menjadi hak kerabat Nabi, karena dia pemimpin kerabat beliau. Wujudnya adalah hewan seperti kuda, bighal, onta, sapi, kambing dan juga tawanan (budak) wanita, anak-anak, atau laki-laki dewasa. Ali mengambil seorang tawanan wanita lalu menggaulinya.
Sebagian sahabat, termasuk Buraidah, menjadi marah dengan sikap Ali. Bagaimana bisa Ali melakukan hal tersebut? Dia mengambil seorang tawanan wanita dari bagian kerabat Rasulullah. Harusnya di Madinah dia mengambil tawanan itu, bukan di sini.
Berita tentang Ali ini sangat memungkinkan tersebar di seluruh penjuru Madinah. Sehingga untuk mengembalikan nama baik Ali bin Abi Thalib, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam membenarkan sikap beliau, dan menyatakan, Dia menjadi kekasih setiap mukmin sepeninggalku (Syubuhat Syiiyah, hlm. 49 “ 50)
Analisis kedua, disimpulkan dari riwayat al-Baihaqi dari hadis Abu Said al-Khudri radhiyallahu anhu, bahwa setelah Ali pulang dari Yaman, beliau langsung menuju Mekah. Sementara Nabi shallallahu alaihi wa sallam bertolak dari Madinah menuju Mekah untuk berhaji. Ali membawa beberapa onta zakat dan pakaian.
Di perjalanan, Ali menunjuk salah satu sahabat untuk menggantikan posisi beliau dan Ali menyuruh rombongan untuk mendahului beliau. Beliau melarang semua sahabat menaiki onta-onta tersebut dan melarang memakai pakain yang dibawa rombongan.
Setelah Ali menyusul, ternyata beberapa onta telah dinaiki dan beberapa kain telah dipakai para sahabat. Alipun memarahi mereka dengan keras, sehingga membuat beberapa sahabat merasa tidak nyaman dengan sikap Ali. Diantaranya Abu Said al-Khudri. Setelah mereka ketemu Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Merekapun menyampaikan sikap Ali ini. Namun, Nabi shallallahu alaihi wa sallam membenarkan sikap Ali, dan bersabda kepada mereka,
Saya tahu sikap Ali, dia benar dalam bersikap, karena itu, janganlah kalian marah kepada Ali.
Al-Hafidz Ibnu Katsir menilai riwayat Baihaqi ini sanadnya shahih. Kemudian beliau menjelaskan,
Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkhutbah di lembah antara Mekah dan Madinah, sepulang dari haji Wada, dekat dengan daerah juhfah, namanya Ghadir Khum. Di sana, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan keutamaan Ali bin Abi Thalib dan beliau membersihakn nama Ali, dari setiap komentar beberapa sahabat yang bersama beliau dari Yaman, karena kebijakan Ali terhadap mereka, yang mereka anggap sebagai tindakan kedzaliman dan sikap bakhil. Padahal yang benar adalah sikap Ali.
Kemudian Ibnu Katsir kembali menegaskan,
Karena itu, setelah beliau shallallahu alaihi wa sallam selesai manasik, dan kembali ke Madinah, di tengah jalan pada tanggal 18 Dzulhijjah di tahun yang sama, bertepatan dengan hari Ahad di Ghadir Khum, di bawah pepohon, beliau menyampaikan khutbah yang sangat menyentuh. Beliau jelaskan beberapa hal, dan menyebutkan keutamaan Ali, bagaimana amanahnya Ali, keadilannya, dan kedekatannya dengan beliau. Yang ini akan menghilangkan ketidak-nyamanan di hati banyak sahabat terhadap Ali radhiyallahu anhum. (al-Bidayah wa an-Nihayah, 5/208).
Berdasarkan keterangan ini, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa tujuan Nabi shallallahu alaihi wa sallam menyampaikan khutbah di ghadir Khum, bukan dalam rangka menobatkan Ali sebagai khalifah sepeninggal beliau. Jelas ini kesimpulan yang salah. Tapi dalam rangka membersihkan nama baik Ali bin Abi Thalib radhiyallahu anhu.
Allahu alam
GHADIR KHUM ANTARA KEYAKINAN SYIAH DAN AHLUS SUNNAH


Oleh Abu Salma al-Atsari
Rasulullah yang mulia Shallallahu ‘alahi wa ‘ala Ali wa Salam pernah bersabda :

من كنت مولاه فعلي مولاهاللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Dari hadits di atas, kaum Syi’ah mengklaim bahwa ’Ali-lah yang berhak atas wilayah (kekuasaan khilafah) setelah wafatnya Rasulullah yang mulia ’alaihi ash-Sholatu was Salam, benarkah demikian? Mari kita telusuri keabsahan hadits ini dan kesimpulannya…
TAKHRIJ HADITS GHADIR KHUM
من كنت مولاه فعلي مولاهاللهمّ والى من واله وعادى من عاداه
Barangsiapa yang menganggap aku sebagai walinya, maka (aku angkat) Ali sebagai walinya, Ya Allah, dukunglah siapa saja yang mendukungnya (Ali)dan musuhilah siapa saja yang memusuhinya.”
Hadits di atas warid dari banyak thuruq (jalur periwayatan) dari jama’ah Shahabat, seperti :
Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu.
Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘anhu.
Buraidah bin al-Hashib Radhiallahu ‘anhu.
Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘anhu.
Abu Ayyub Al-Anshari Radhiallahu ‘anhu.
Al-Barra’ bin ‘Aazib Radhiallahu ‘anhu.
Abdullah bin ‘Abbas Radhiallahu ‘anhu.
Anas bin Malik Radhiallahu ‘anhu.
Abu Sa’id Al-Khudri Radhiallahu ‘anhu.
Abu Hurairah Radhiallahu ‘anhu.
Tafshil (perincian) thuruqil hadits
I) Hadits Zaid bin Arqam Radhiallahu ‘anhu. Padanya 5 thuruq :
Pertama : Dari Abi Thufail yang dikeluarkan oleh Nasa’i dalam Khoshoish ‘Ali hal 15, Hakim (III/109), Ahmad (I/118), Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1365), Thabrani (hal. 4969-4970).
Berkata al-Hakim : “Shahih atas syarat Syaikhaini.”
Al-Albani berkata : “Dzahabi mendiamkannya, di sanadnya terdapat Habib, dan ia adalah Mudallis, dan ia ber’an’anah. Namun hadist ini tak bersendirian, karena ia memiliki penyerta.” Diantaranya adalah :
Dari Fithr bin Khalifah yang dikeluarkan oleh Ahmad (IV/370), Ibnu Hibban dalam shahihnya 2205, Ibnu Abi ‘Ashim (1367,1368) dan Thabrani (4968).
Albani berkata : “Shahih menurut syarat Bukhori”.
Berkata al-Haitsami dalam Majmu’ (IX/104) : “Hadits ini diriwayatkan oleh Ahmad, dan rijalnya shahih kecuali Fithr bin Khalifah, ia adalah Tsiqah.
Dari Salamah bin Kuhail yang dikeluarkan oleh Turmudzi (II/298) dan ia berkata : “Hadits Hasan Shahih”.
Al-Albani berkata : “Isnadnya Shahih atas syarat syaikhaini
Dari Harits bin Jubair dan ia adalah orang yang dha’if, dikeluarkan oleh Thabrani (4971)
Kedua : Dari Maimun Abi Abdillah yang dikeluarkan Ahmad (IV/372) dan Thabrani (5092) dari jalan Abu Ubaid, dikeluarkan Nasa’ i (hal 16) dari jalan A’masy dan ‘Auf keduanya, dari Maimun tanpa lafadh “Allahumma waali…”.
Berkata Maimun, “Menceritakan kepadaku sebagian kaum dari Zaid bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, Allahumma…dst”.
Berkata Haitsami : “Diriwayatkan Ahmad dan Bazzar, pada sanadnya terdapat Maimun Abu Abdullah Al-Bishri, Ibnu Hibban mentsiqahkannya namun jama’ah (Muhaddits) mendhaifkannya”.
Albani berkata : “Hakim menshahihkannya” (III/125).
Ketiga : Dari Abu Sulaiman (Al-Mu’adzdzin) yang dikeluarkan oleh Ahmad (V/370).
Abul Qasim Hibatullah Al-Baghdadi dalam bagian kedua ‘Al-Amaaliy’ (20/2), ia berkata : “Hadits hasan matannya shahih”.
Berkata Haitsami (IX/107) : “Diriwayatkan Ahmad, pada sanadnya terdapat Abu Sulaiman, dan aku tak mengetahuinya kecuali (jika yang dimaksud) adalah Basyir bin Sulaiman, (jika benar ia), maka ia adalah orang yang tsiqah dan sisanya adalah perawi tsiqah.”
Adapun Abu Israil adalah Ismail bin Khalifah, di dalam ‘At-Taqrib’ dinyatakan ia adalah ‘shaduq sedikit hapalannya’.
Albani mengatakan : “Hadits ini hasan dengan syawahid.”
Keempat : Dari Yahya bin Ju’dah yang dikeluarkan oleh Thabrani (4986) dan rijalnya tsiqat.
Kelima : Dari ‘Athiyah Al-‘Aufiy yang dikeluarkan oleh Ahmad (IV/368) dan Thabrani (5068-5071), dan rijalnya tsiqat termasuk rijal Muslim kecuali ‘Athiyah, ia adalah dha’if.
II) Hadits Sa’ad bin Abi Waqqash, padanya terdapat 3 thuruq:
Pertama : Dari Abdirrahman bin Sabith secara Marfu’ yang dikeluarkan oleh Ibnu Hibban (121), berkata Al-Albani : “Isnadnya shaih”.
Kedua : Dari Abdul Wahid bin Aiman, dari ayahnya yang dikeluarkan oleh Nasa’i (Khashaish hal 16), Isnadnya Shahih, Rijalnya Tsiqat.
Ketiga : Dari Khaitsamah bin Abdirrahman yang dikeluarkan oleh Hakim (III/116) dari jalan Muslim Al-Mala`i, berkata Dzahabi dalam ‘Talkhish’ : “Hakim mendiamkan keshahihannya dan Muslim (al-Mala`i) adalah matruk”.
III) Buraidah bin Al-Hashib, padanya terdapat 3 thuruq :
Pertama : Dari Ibnu Abbas, dikeluarkan oleh an-Nasa’i dan Hakim (III/110), Ahmad (V/347) dari jalan Abdul Malik bin Abi ‘Athiyah, ia berkata, mengabarkan pada kami Hakim dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas.
Albani berkata : “isnadnya shahih menurut syarat syaikhain”.
Kedua : Dari Ibnu Buraidah, dari ayahnya, dikeluarkan oleh Nasa’i dan Ahmad (V/350,358,361).
Albani berkata : “Isnad ini shohih menurut syarat Syaikhaini atau Muslim, jika Ibnu Buraidah yang dimaksud adalah Abdullah, maka ia termasuk rijalnya syaikhaini, jika yang dimaksud adalah Sulaiman maka ia termasuk rijalnya Muslim.”
Dikeluarkan pula oleh Ibnu Hibban (2204).
Ketiga : Dari Thawus dari Buraidah tanpa lafadh “Allahumma…”, dikeluarkan oleh Thabrani dalam ‘Ash-Shaghir’ no 171 dan ‘Al-Awsath’ (341) dari 2 jalan dari Abdurrazaq dengan 2 sanad dari Thawus dan rijalnya tsiqat.
IV) Ali bin ‘Abi Thalib, padanya 9 thuruq :
Pertama : Dari ‘Amr bin Sa’id, dikeluarkan oleh Nasa’i dari jalan Haani’ bin Ayyub dari Thawus (asalnya Thalhah) dari ‘Amr bin Sa’id (asalnya Sa’d).
Albani mengatakan : “Hani’ sebagaimana dikatakan Ibnu Sa’d, padanya kelemahan, namun Ibnu Hibban menyebutnya dalam ‘Ats-Tsiqat’.”
Kedua : Dari Zadzan bin Umar, dikeluarkan oleh Ahmad (I/87), Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1372) dari jalan Abu Abdurrahman Al-Kindi.
Albani berkata : “Al-Kindi aku tak mengetahuinya.”
Haitsami berkata : “Diriwiyatkan Ahmad dan sanadnya terdapat rijal yang tak kukenal.”
Ketiga dan Keempat : Dari Said bin Wahb dan Zaid bin Yutsi’, dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad dalam Zawa’id ‘Al-Musnad’ (I/118) dan darinya Adh-Dhiyaa’ Al-Muqoodisi dalam Al-Mukhtarah (406) dari jalan Syarik dari Ibnu Ishaq dari keduanya dan dikeluarkan oleh Nasa’i (16), namun tanpa menyebutkan Sa’id bin Wahb dalam sanadnya.
Albani berkata : “Syarik adalah Abdullah Al-Qadhi dan dia sedikit hafalannya, haditsnya jayyid jika disertai syawahid, dan telah disertai hadits Syu’bah oleh Nasa’i (16) dan Ahmad (V/366).
Kelima : Dari Syarik juga, dari Abu Ishaq, dari Amir, dengan tambahan, “Wan-shur man nashorohu wakhdzul man khodzalahu”. Dikeluarkan oleh Ibnu Hatim (III/1/232).
Keenam : Dari Abdurrahman bin Abu Laila, tanpa tambahan, “Wanshur…”. Dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad (I/119) dengan jalan Yazid bin Abu Ziyad dan Samak bin ‘Ubaid bin Walid al-Abbasi.
Albani berkata : “Hadits ini shohih dengan mengumpulkan 2 jalan darinya.
Ketujuh dan Kedelapan : Dari Abu Maryam dan orang-orang yang bermajlis dengan ‘Ali bin Abi Thalib, dikeluarkan oleh Abdullah (I/152) dari Nu’aim bi Hakim dan orang-orang yang bermajlis dengan Ali. Sanadnya laa ba’sa bihi dengan penyertanya. Abu Maryam adalah Majhul sebagaimana dalam at-Taqrib.
Kesembilan : Dari Thalhah bin Musharrif, dikeluarkan oleh Ibnu ‘Abi ‘Ashim (1373) dengan sanad yang dha’if, dan ia adalah Muhajir bin ‘Umairah, demikianlah dalam ‘al-Jarh wat Ta’dil’ (IV/1/261) dari riwayat ‘Adi bin Tsabit Al-Anshari darinya. Dan tidaklah disebutkan padanya jarh maupun ta’dil, demikian pula pada ‘Tsiqaat Ibnu Hibban’ (III/256).
V) Abu Ayyub Al-Anshari, meriwayatkan padanya Riyah bin Al-Harits.
Dikeluarkan oleh Ahmad (V/419) dan Thabrani (4052,4053) dari jalan Hinsy bin Al-Harits bin Laqith an-Nakha’I dari Riyah bin al-Harits.
Albani berkata : “Sanadnyanya jayyid dan rijalnya tsiqat”.
Haitsami berkata : “Diriwayatkan Ahmad dan Thabrani, dan rijalnya Ahmad tsiqat.
VI) Al-Barra’ bin’Aazib, meriwayatkan padanya ‘Adi bin Tsabit.
Dikeluarkan oleh Ahmad dan putranya dalam Zawaid-nya (IV/281) dan Ibnu Majah (116) secara ringkas dari jalan Ali bin Zaid dari ‘Adi bin Tsabit. Rijalnya Tsiqat dan semuanya rijalnya Muslim kecuali Ali bin Zaid dan ia adalah Ibnu Jud’an dan ia adalah Dha’if.
VII) Ibnu ‘Abbas, meriwayatkan darinya ‘Amr bin Maimun secara Marfu’ tanpa tambahan.
Dikeluarkan oleh Ahmad (I/330-331) dan Hakim (III/132-134), ia berkata : “Isnadnya shahih dan Dzahabi mensepakatinya”.
VIII), IX) dan X) Anas bin Malik, Abu Sa’id Al-Khudri dan Abu Hurairah.
Meriwayakan dari mereka ‘Amirah bin Sa’d. Dikeluarkan oleh Thabrani dan ‘ash-Shaghir’ (hal 33 no 112) dan dalam ‘al-awsath’ (no 2442) dari Ismail bin Amr, Mas’ar menerima dari Thalhah bin Mushrif dari ‘Amirah bin Sa’d, ia berkata, tidaklah diriwayatkan dari Mas’ar kecuali Isma’il.
Albani berkata : “Ia adalah dha’if” karenannya Haitsami berkata (IX/108) setelah dengan cerdiknya beliau menjama’nya, “dalam isnadnya layyin”.
Albani berkata : “Namun dikuatkan oleh thuruq lainnya dari Abu Hurairah dan Abu sa’id Al-Khudri, dan selain keduanya dari sahabat Nabi.”
Adapun Hadits Abu Hurairoh, meriwayatkan darinya Ikrimah bin Ibrahim al-‘Azdiy, menceritakan padaku Idris bin Yazid al-‘Awdiy dari ayahnya. Dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Awsath (1105) dan ia berkata, tidak diriwayatkannya dari Idris kecuali Ikrimah.
Albani berkata : “Ia adalah dha’if”.
Adapun Hadits Abu Sa’id, meriwayatkan padanya Hafsh bin Rasyid, menerima Fudhail bin Marzuq dari ‘Utbah dari ayahnya, dikeluarkan oleh Thabrani dalam al-Awsath (8599), dan ia berkata : “Tidak meriwayatkannya dari Fudhail melainkan Hafsh bin Rasyid”.
Albani berkata : “Hadits ini memiliki banyak thuruq” dan beliau mengumpulkan thuruqul haditsnya dan mentashhihnya.
Beliau berkata lagi : “Jika kalian telah mengetahui hal ini, sesungguhnya saya terdorong untuk menjelaskan perkataan atas hadits ini dan menerangkan keshahihannya, dikarenakan aku melihat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, dimana beliau telah mendha’ifkan bagian pertama dari hadits ini dan adapun bagian kedua beliau menuduhnya dusta (lihat ‘Majmu’ Fatawa’ (IV/417-418)). Hal ini termasuk diantara sikap berlebih-lebihannya beliau, dan menurut asumsiku/perkiraanku hal ini disebabkan karena ketergesa-gesaan beliau dalam mendha’ifkan hadits ini sebelum menjama’ thuruqnya dan meneliti secara mendalam terhadapnya. Wallahul Musta’an!
Kesimpulan : Hadits di atas shahih setelah pengumpulan thuruqul hadits­-nya.
TANBIH (PERINGATAN PENTING) :
Imam Albani berkata : “Adapun yang disebutkan oleh Syi’ah dalam hadits ini dengan tambahan lafazh yang lain, bahwasanya Nabi bersabda, “Sesungguhnya ia adalah khalifahku sepeninggalku nanti”, maka lafazh (tambahan) ini tidak shahih dari segala penjuru/sisi, bahkan padanya memiliki kebathilan yang banyak, yang menunjukkan kejadian/peristiwa tersebut di atas kedustaan.
Seandainya memang benar Nabi bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataannya/janjinya.”
Dan telah dikeluarkan hadits-hadits dusta ini dalam kitab lainnya milik Imam Albani, yakni ‘adh-Dha’ifah’ (4923,4932).
Lucunya, dengan hadits dusta dan munkar ini, syi’ah mengklaim bahwa ‘Ali adalah khalifah setelah Rasulullah, sedangkan Abu Bakar dan Umar mengkhianati Ali dan mengkhianati sabda Rasulullah dengan merampas hak wilayah Ali, maka sungguh mereka (syi’ah) itu telah melakukan:
Kedustaan atas nama Allah dan Rasul-Nya.
Kedustaan atas nama Ali dan sahabat-sahabatnya.
Mengingkari firman Allah subhanahu wa Ta’ala bahwa tidaklah Muhammad itu berkata kecuali dari wahyu yang diwahyukan.
Mendustakan kebenaran sabda Nabi.
Menuduh Allah Ta’ala tidak amanah dengan perkataan dan janji-Nya.
Menuduh Rasulullah berdusta karena sabdanya tidak terlaksana.
Menuduh, menfitnah dan mencela sahabat-sahabat Rasulullah yang mulia.
Mendustakan hadits-hadist Nabawi yang shohih.
Mengada-adakan sesuatu di dalam Islam yang tak pernah dituntunkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Mengkafirkan sahabat Rasulullah, melaknat mereka dan mengkafirkan ahlus sunnah wal jama’ah.
Maka wajib atas kita, baro’ terhadap kesesatan dan kekufuran mereka (syi’ah) atas tuduhan dan pengada-adaan yang mereka lakukan di dalam dien ini.
Allahumman-shur man nashoro dien wakh-dzul man khadzalahu.!!!
Ya Alloh tolonglah hamba-Mu yang membela agama-Mu dan hinakanlah mereka yang menghinakan agama-Mu
(diringkas dari Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah IV/330-334/1750)


Oleh: Muhajirin, LC
SETIAP 18 Dzulhijjah H, kaum Syiah seluruh dunia memperingati Ghadir Khum (Hari Raya Idul Ghadir), yakni sebuah peyaraan sebagai anggapan pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang hal ini?

Perayaan Ghadir Khum adalah perayaan yang tidak ada dasarnya di dalam Islam. Perayaan ini dibuat oleh seorang raja bernama Abu Al-Hasan Ahmad bin Buwaih Al-Dailami bergelar Mu’izzu Al-Daulah dari Dinasti Buwaihiyah yang bermadzhabkan Syiah Itsna Asyariyah di Iraq, seorang raja yang pernah memerintahkan dan memaksa rakyatnya –baik Syiah maupun Sunni di Baghdad pada tahun 351 H– sebelum munculnya perayaan Ghadir Khum pada tahun 352 H untuk melaknat tiga Khulafa` Al-Rasyidin Abu Bakar, Umar bin Khatthab dan Utsman bin Affan Radhiyallahu Anhum ajma’in dan Mu’awiyah Radhiyallahu Anhu pada setiap hari besar Islam dan Syiah di masjid-masjid dan jalan raya. [Ibnu Katsir dalam Al-Bidayah wa An-Nihayah].


Ibnu Katsir mengkisahkan salah satu peristiwa yang terjadi di tahun 352 H :

وفي عشر ذي الحجة منها أمر معز الدولة بن بويه بإظهار الزينة في بغداد ، وأن تفتح الأسواق بالليل كما في الأعياد ، وأن تضرب الذبابات والبوقات، وأن تشعل النيران في أبواب الأمراء ، وعند الشرط ، فرحاً بعيد الغدير – غدير خم – فكان وقتاً عجيباً مشهوداً ، وبدعة شنيعة ظاهرة منكرة

“Pada tanggal 18 Dzulhijjah Muizzu Ad-Daulah bin Buwaih memerintahkan untuk memeriahkan dan menghiasi Baghdad, membuka pasar-pasar di malam hari seperti halnya hari raya, menabuh gendang dan rebana, meniup terompet, menyalakan unggun di depan pintu para pejabat pemerintahan dan aparat, sebagai bentuk ungkapan gembira atas perayaan Ghadir Khum, maka ini adalah peristiwa aneh yang disaksikan oleh sejarah dan bid’ah buruk yang sangat jelas serta perbuatan munkar.” [Kitab Al-Bidayah wa An-Nihayah 165]

Berkata Al-Maqrizi :
اعلم أن عيد الغدير لم يكن عيداً مشروعاً ، ولا عمله أحد من سالف الأمة المقتدى بهم ، وأول ما عرف في الإسلام بالعراق أيام معز الدولة على بن بويه ، فإنه أحدثه في سنة اثنتين وخمسين وثلاثمائة فاتخذه الشيعة من حينئذٍ عيداً

“Ketahuilah Hari Raya Ghadir Khum bukan perkara yang disyariatkan dan tidak pernah ada praktiknya di kalangan salaful ummah yang menjadi panutan, diketahui perayaan Ghadir Khum diperkenalkan pertama kali di Iraq saat Mu’izzud daulah bin Buwaih berkuasa, dia membuat-buat perayaan tersebut pada tahun 352 H, maka dari sejak itu umat Syiah menjadikannya sebagai hari raya.” [Dalam Al-Khuthath Wal Atsar karya Al-Maqrizi, 1/388]

Perayaan Ghadir Khum memiliki sejarah dan arti sendiri bagi umat Syiah. Menurut mereka, perayaan Ghadir Khum ini berangkat dari peristiwa kepulangan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dan para sahabatnya Radhiyallahu Anhum dari haji Wada’ pada tanggal 18 Dzulhijjah di mana beliau dan sahabatnya berhenti di sebuah muara (Ghadir) bernama Khum dan di situ beliau bersabda tentang Ali:

من كنت مولاه فعلي مولاه ، اللهم وال من والاه ، وعاد من عاداه


“Barang siapa yang aku adalah walinya maka Ali adalah walinya, ya Allah berwala`lah kepada orang yang berwala` kepada Ali, dan musuhilah orang yang memusuhi Ali.” [HR Ahmad]

Dan dalam riwayat lain Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam menekankan untuk berpegang dengan Kitab Allah kemudian bersabda: “Dan Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku, aku ingatkan kalian tentang Ahlu Baitku.” [HR Muslim]

Dalam konteks hadits ini, umat Syiah menganggap sangat sacral. Di mana menurut anggapannya, Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam dengan nash hadits ini telah resmi memandatkan amanat dan jabatan khilafah kepada Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu Anhu dan keturunannya.

Di sisi lain, mereka menganggap hadits-hadits Ahlus Sunnah tidak valid dan tertolak.

Tidak cukup di situ, klaim Syiah atas maksud hadits Ghadir Khum berupa wasiat resmi imamah untuk Ali yang menjadi ajaran dan doktrin utamanya, melahirkan doktrin-doktrin lain yang melukai hati umat Islam.

Di antaranya; penistaan terhadap simbol-simbol penting Islam terutama tiga Khulafa’ur Rasyidin; Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu Anhum Ajma’in karena dianggap telah merampas mandat dan jabatan Khilafah dari Ali Radhiyallahu Anhu dan mengkhianati amanat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

Dampak pemahaman ini memang tidaklah sedikit. Kaum Syiah akhirnya banyak mencela para Sahabat besar Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam tersebut serta sahabat lainnya, karena dianggap menyeleweng dari wasiat Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam.

Sebagai bukti dalam buku “Mafatih Al-Jinan” karya Abbas Al-Qummi yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul yang sama, dan diterbitan oleh pustakan Al-Huda atau ICC Jakarta, teraktub pada hal 150 dan 172 tentang doa dan adab ziyarah ke maqbarah Ali bin Abu Thalib Radhiyallahu Anhu :

Hal 150 :

لعن الله جاحد ولايتك بعد الإقرار، وناكث عهدك بعد الميثاق

“Semoga Allah melanat orang yang membangkang dari berwilayah kepadamu (Ali) setelah sebelumnya dia mengkuinya, dan melanggar sumpahnya kepadamu setelah dia mengikat sumpah.”
Yang dimaksud dalam doa laknat ini menurut Syiah tentu para Sahabat yang mengetahui peristiwa Ghadir Khum namun justru mereka melanggarnya dengan mengabaikan Ali Radhiyallahu Anhu pasca wafatnya Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam terutama Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallah Anhum Ajma’in.

Pada halaman 172 :

والعن من غصب وليك حقه وأنكر عهده وجحده بعد اليقين والإقرار……..اللهم العن أول ظالم ظلم آل محمد ومانعيهم حقوقهم، اللهم خص أول ظالم وغاصب لآل محمد باللعن

“Ya Allah laknatlah orang yang merampas hak walimu (Ali) dan dan mengingkari janjinya serta membangkang darinya setelah sebelumnya yakin dan mengakuinya ………… ya Allah laknatlah orang zhalim pertama yang mezhalimi keluarga Muhammad dan menghalangi dari mendapatkan haknya, ya Allah khususkan laknat kepada orang zhalim pertama dan yang telah merampas hak keluarga Muhammad.”

Maksud dalam doa laknat ini tentu Abu Bakar Radhiyallahu Anhu yang dianggap syiah sebagai orang pertama yang merampas hak khilafah Ali Radhiyallahu Anhu dan menghalangi Fatimah Radhiyallahu Anha dari mendapatkan warisan tanah Fadak, dan sesungguhnya Abu Bakar bersih dari segala tuduhan mereka.

Dan sayangnya buku tersebut belum ada revisi dari pihak ABI (Ahlu Bait Indonesia) yang sering menggaungkan persatuan sunni Syiah dan masih belum ditarik dari percetakan dan penjualan.

Sikap ekstrim

Perayaan Ghadir Khum –baik disadari atau tidak disadari– menyakiti hati dan perasaan mayoritas umat Islam. Ini hal yang wajar, mengingat, perayaan Ghadir Khum melebihi Idul Fitri dan Idul Adlha, dua syariat hari raya yang dikenal dalam Islam.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu berkata,

قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِى الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ

“Ketika Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mendatangi kota Madinah, para sahabat memiliki dua hari raya yang padanya mereka bersenang-senang. Maka beliau bersabda: Dua hari apa ini? Mereka menjawab: Dua hari yang sudah biasa kami bersenang-senang padanya di masa Jahiliyah. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda: Sesungguhnya Allah telah mengganti kedua hari tersebut dengan dua hari yang lebih baik, yaitu idul adha dan idul fitri.” [HR. Abu Daud, Shahih Abi Daud: 1039]
Karenanya, selain dua hari raya tersebut (Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha) peristiwa-peristiwa besar dan penting di zaman Nabi Shallallahu Alaihi Wasallam, seperti; peristiwa hijrah dan kemenangan dalam peperangan, peristiwa Fathu Makkah dan beberapa peristiwa besar lainnya tidak dijadikan sebagai hari raya karena memang tidak ada nash baik sharih (terang-terangan) atau muawwal bil qaraa`in (yang tersirat dengan indikasi lain yang menyertainya) memerintahkan untuk menjadikannya sebagai hari raya.
Sementara kaum Syiah menjadikan Ghadir Khum bahkan meyakininya lebih baik dan utama dari pada Idul Fithri dan Idul Adha, padahal merayakan hari tersebut saja tidak ada dasarnya dalam Islam sebagaimana dijelaskan sebelumnya.
Penulis peminat masalah keagamaan
(hidayatullah.com/syiahindonesia.com)
http://www.syiahindonesia.com/2015/10/sikap-umat-islam-terhadap-ghadir-khum.html?m=0
http://www.syiahindonesia.com/2015/10/sikap-umat-islam-terhadap-ghadir-khum_7.html