Muawwiyah
bin Abi Sofyan (20 SH – 60 H)
29 June 2012
Mu’awwiyah bin Abu Sofyan bin Harb bin Umaiah Al Qurasyi Al
Umawi adalah pendiri Daulat Umaiah di Suriah. Beliau lahir di Mekah dan sempat
memusuhi Islam dan akhirnya memeluk Islam ketika penaklukan kota Mekah (8 H).
Beliau sempat belajar baca tulis dan matematika, sehingga Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam mengangkatnya menjadi juru tulisnya. Beliau bertugas di Suriah
di masa pemerintahan Umar bin Khattab dan Usman bin Affan. Beliau menentanag
Ali dan berkonfrontasi dengan Ali dalam perang Shiffin (37 H/657 M) yang
berakhir dengan sebuah arbitrase. Beliau dinobatkan menjadi khalifah (40-60
H/661-680 M) di mana ibu kota pemerintahan dia pindahkan ke Damaskus. Beliau
termasuk tokoh penakluk ternama dalam sejarah Islam, di mana penaklukannya
sampai ke daerah di Lautan Atlantik.
Dia meriwayatkan hadits dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam sebanyak seratus enam puluh tiga hadits. Beberapa
sahabat dan tabi’in yang meriwayatkan hadits darinya antara lain : Abdullah bin
Abbas, Abdulah bin Umar, Abdullah bin Zubair, Abu Darda’, Jarir aI-Bajali,
Nu’man bin Basyir dan yang lain. Sedangkan dari kalangan tabiin antara lain :
Sa’id bin al-Musayyib, Hamid bin Abdur Rahman dan lain-lain.
Dia termasuk salah seorang yang memiliki
kepintaran dan kesabaran. Banyak hadits yang menyatakan keutamaan pribadinya,
namun dari hadits-hadits tersebut hanya sedikit yang bisa diterima.
Imam at-Tirmidzi meriwayatkan (dia
mengatakan bahwa hadits ini hasan) dari Abdur Rahman bin Abi Umairah (seorang
sahabat Rasulullah) dari Rasulullah bahwa dia bersabda kepada Mu’awiyah, “Ya
Allah, jadikanlah dia orang yang memberi petunjuk dan mendapat petunjuk.”
Imam Ahmad dalam Musnadnya meriwayatkan
dari al-Mirbadh bin Sariyyah dia berkata: Saya mendengar Rasulullah bersabda,
“Ya Allah ajarilah Mu’awiyah al-Qur’an dan hisab serta lindungilah dia dari
adzab.”
Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya dan
Imam ath-Thabarani dalam kitabnya al-Kabir meriwayatkan dari Abdul Malik bin
Umair dia berkata: Mu’awiyyah berkata : Sejak Rasulullah bersabda kepada saya.
“Wahai Mu’awiyah, jika kamu menjadi raja, maka berbuat baiklah!” saya selalu
menginginkan jabatan kekhilafahan.
Mua’wiyyah adalah seorang lelaki yang
bertubuh tinggi berkulit putih dan tampan serta karismatik. Suatu ketika Umar
bin Khaththab melihat kepadanya dan berkata, “Dia adalah kaisar Arab.”
Diriwayatkan dari Ali bin Abu Thalib dia
berkata, “Janganlah kalian membenci pemerintahan Mu’awiyah. Sebab andai kalian
kehilangan dia, niscaya akan kalian lihat beberapa kepala lepas dari lehernya.”
Al-Maqbari berkata : “Kalian sangat kagum
kepada kaisar Persia dan Romawi namun kalian tidak mempedulikan Mu’awiyah!
Kesabarannya dijadikan sebuah pepatah. Bahkan Ibnu Abid Dunya dan Abu Bakar bin
‘Ashim mengarang buku khusus tentang kesabarannya.”
Ibnu ‘Aun berkata, “Ada seorang lelaki
berkata kepada Mu’awiyah: Demi Allah hendaknya kamu menegakkan hukum dengan
lurus wahai Mu’awiyah. Jika tidak, maka kamilah yang akan meluruskan kamu!”
Mu’awiyah berkata, “Dengan apa kalian
akan meluruskan kami?”
Dia menjawab, “Dengan pentungan kayu!”
Muawiyyah menjawab, “Jika begitu kami
akan berlaku lurus.”
Qubaishah bin Jabir berkata : Saya
menemani Mu’awiyah beberapa lama, ternyata dia adalah seorang yang sangat
sabar. Tidak saya temui seorang pun yang sesabar dia, tidak ada orang yang
lebih bisa berpura-pura bodoh darinya, sebagaimana tidak ada orang yang lebih
hati-hati daripadanya.
Tatkala Abu Bakar mengutus pasukan ke
Syam, dia dan saudaranya Yazid bin Abu Sufyan berangkat ke sana. Tatkala Yazid
meninggal dia ditugaskan untuk menggantikan saudaranya di Syam untuk menjadi
gubernur. Umar mengokohkan apa yang ditetapkan Abu Bakar dan Utsman menetapkan
apa yang ditetapkan oleh Umar. Utsman menjadikan Syam seluruhnya berada di
bawah kekuasaannya. Dia menjadi gubernur di Syam selama dua puluh tahun dan
menjadi khalifah juga selama dua puluh tahun.
Muawwiyah Bin Abu Sofyan adalah juru
tulis Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam saat turunnya wahyu.
Dan sungguh telah meriwayatkan Imam
Muslim di dalam Sohihnya dari hadits Ikrimah bin Ammar, dari Abi Zamil Sammak
bin Walid dari Ibnu Abbas bahwasanya Abu sofyan Berkata : “Wahai Rasulullah
berikanlah tiga perkara kepadaku?” Rasulullah menjawab: “ya”. Beliau berkata :
“perintahkanlah aku supaya memerangi orang-orang kafir sebagaimana dulu aku
memerangi orang-orang Islam.” Rasulullah menjawab: “ya”, Beliau berkata lagi :
“dan Muawiyah engkau jadikan sebagai penulis disisimu?” Rasulullah menjawab:
“ya”.
Mu’awwiyah dijamin masuk Surga
Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan di dalam
Sohihnya dari Kholid bin Ma’dan dan bahwasanya Umair bin Mas’ud telah
menceritakan kepadanya bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Pasukan pertama daripada kalangan umatku yang berperang di laut,
telah dipastikan bagi mereka (tempat di syurga).”
Fakta sejarah mencatat bahawa armada laut
yang pertama bagi umat Islam dipimpin oleh Muawiyah pada zaman pemerintahan
Amirul Mukminin Usman ibn Affan Radhiallahu.
عَنْ
خَالِدِ بْنِ مَعْدَانَ أَنَّ عُمَيْرَ بْنَ الْأَسْوَدِ الْعَنْسِيَّ
حَدَّثَهُ أَنَّهُ أَتَى عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ ، وَهُوَ نَازِلٌ فِي
سَاحَةِ حِمْصَ ، وَهُوَ فِي بِنَاءٍ لَهُ وَمَعَهُ ، أُمُّ حَرَامٍ ،
قَالَ عُمَيْرٌ : فَحَدَّثَتْنَا أُمُّ حَرَامٍ أَنَّهَا سَمِعَتْ
النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ : أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ
أُمَّتِي يَغْزُونَ الْبَحْرَ قَدْ أَوْجَبُوا ، قَالَتْ أُمُّ حَرَامٍ :
قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ أَنَا فِيهِمْ ، قَالَ أَنْتِ فِيهِمْ ، ثُمَّ
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوَّلُ جَيْشٍ مِنْ
أُمَّتِي يَغْزُونَ مَدِينَةَ قَيْصَرَ مَغْفُورٌ لَهُمْ ، فَقُلْتُ : أَنَا
فِيهِمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، قَالَ : لَا . رواه البخاري (2924) .
Dari Khalid bin Ma’dan bahwa ‘Umair bin
Al Aswad Al ‘Ansiy bercerita kepadanya bahwa dia menjumpai ‘Ubadah bin
ash-Shomit ketika dia sedang singgah dalam perjalanan menuju Himsh. Saat itu dia sedang berada di rumahnya dan
bersama dengan Ummu Haram. ‘Umair berkata; \”Maka Ummu Haram bercerita kepada
kami bahwa dia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: \”Pasukan
dari ummatku yang pertama kali akan berperang dengan mengarungi lautan pasti
akan diberi pahala dan surga\”. Ummu Haram berkata; Aku katakan: \”Wahai
Rasulullah, aku termasuk diantara mereka?\” Beliau berkata; \”Ya, kamu termasuk
dari mereka\”. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lagi: \”Pasukan dari
ummatku yang pertama kali akan memerangi kota Qaishar (Romawi) pasti mereka
akan diampuni\”. Aku katakan: \”Aku termasuk diantara mereka, wahai
Rasulullah?\” Beliau menjawab: ‘Tidak\”. (HR Al-Bukhari)
قال
الحافظ ابن حجر في ” الفتح ” (6/120) : قَالَ الْمُهَلَّب : فِي هَذَا الْحَدِيثِ
مَنْقَبَة لِمُعَاوِيَة لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَزَا الْبَحْرَ وَمَنْقَبَةٌ
لِوَلَدِهِ يَزِيد لِأَنَّهُ أَوَّلُ مَنْ غَزَا مَدِينَةَ قَيْصَرَ .ا.هـ.
Al-Hafidh Ibnu Hajar dalam “Al-Fath”
120/6: al-Muhallab berkata: Dalam hadits ini defile/ parade
(perarakan barisan tentara) bagi Mu’awiyah karena dia adalah orang pertama yang
berperang di laut, dan manqabah/ parade bagi anaknya, Yazid, karena dia orang
pertama yang menyerang kota Kaisar. Selesai.
Mu’awwiyah adalah Orang yang Faqih
Pada zaman pemerintahan Umar bin khottob
Radiallahu anhu pernah seorang mengadu kepada Ibn Abbas radhiallahu ‘anh bahwa
Muawiyah melaksanakan solat witir dengan hanya satu rakaat. Ibn Abbas menjawab
: “(Biarkan), sesungguhnya dia seorang yang faqih (faham agama).” [Shahih
al-Bukhari – hadis no: 3765]
Muawwiyah adalah orang yang didoakan
untuk mendapat hidayah
Dalam sebuah hadis yang dinilai sahih
oleh Syaikh al-Albani rahimahullah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
pernah mendoakan Muawiyah : “Ya Allah! Jadikanlah beliau orang yang memimpin
kepada hidayah dan berikanlah kepada beliau hidayah.” [Silsilah al-Ahadits
al-Shahihah (Maktabah al-Ma`arif, Riyadh, 1995), hadits no: 1969]
Pujian
Para Sahabat Kepada Mu’awwiyah
Sahabat besar Saad bin Abi Waqqas
radhiallahu ‘anhu berkata : “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih pandai
memutuskan hukum selepas Sayyidina Utsman daripada tuan pintu ini (beliau
maksudkan Mu’awiyah)”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s. 133)
Seorang lagi sahabat Qabishah bin Jabir
berkata : “Tak pernah saya melihat seorang yang lebih penyantun, lebih layak
memerintah, lebih hebat, lebih lembut hati dan lebih luas tangan di dalam
melakukan kebaikan daripada Mu’awiyah”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s.
135)
Abdullah bin Mubarak, seorang tabi’in
terkenal pernah ditanya : “ Apa pendapat anda tentang Mua’awiyah dan Umar bin
Abdul Aziz, siapakah di antara mereka yang lebih utama?”. Mendengar pertanyaan
itu Abdullah Ibnu al-Mubarak naik Pitam lalu berkata: “Kamu bertanya tentang
perbandingan keutamaan antara mereka berdua. Demi Allah! Debu yang masuk ke
dalam lubang hidung Mu’awiyah karena berjihad bersama-sama Rasulullah itu saja
lebih baik dari Umar bin Abdul Aziz”. (Al-Bidayah Wa an-Nihayah jilid 8 m.s.
139)
Pujian
para Ulama kepada Mu’awwiyah
Imam Adz-Dzahabi berkata bahwa
hadist-haidist riwayat Muawiyah berjumlah 163 hadist dalam Musnad Baqiyi (bin
Makhlad). Al Ahwazi telah menyusun Musnad Muawiyah dalam satu jilid kitab.
Hadisnya (Muawiyah) yang disepakati Bukhari-Muslim sebanyak 4 hadist, dan yang
diriwatkan oleh Imam Bukhari sebanyak 4 hadist dan Imam Muslim sebanyak 5
hadist (Siyar A’lam Nubala 3/162)
Dari Irbadh bin Sariyah berkata, “Saya
mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,” Ya Allah,
ajarkanlah Muawiyah ilmu tulis dan hitung dan lindungilah dia dari siksa.”
(Hasan Lighairihi Diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah 1938, Ibnu Hibban 2278,
Ahmad 4/127, dan Fadhail Ash-Shahihah 1748, Al-Bazzar 2723, Al Fai dalam Tarikh
2/345, Ath-Thabrani dalam Al Mu’jam 18/252/628)
Dari Abdur Rahman bin Abi Umairah
Al-Muzanni, berkata Said dan dia termasuk sahabat Nabi dari Nabi bahwa beliau
berdo’a untuk Muawiyah, ”Ya Allah, jadikanlah dia penunjuk dan yang memberi
petunjuk, tunjukilah ia dan berilah manusia petunjuk karenanya.” (Hasan Shahih
Diriwayatkan Bukhari dalam Tarikh 4/1/327, Tirmidzi 2/316, Ibnu Asakir
16/684-686, dan Adz-Dzahabi dalam Siyar 8/38)
Umar bin Khattab berkata tatkala
mengangkatnya sebagai Gubernur Syam, ”Janganlah kalian menyebut Muawiyah
kecuali dengan kebaikan”. (Al-Bidayah 8/125)
Ali bin Abi Thalib berkata sepulangnya
dari perang Shiffin,” Wahai manusia, janganlah kalian membenci kepemimpinan
Muawiyah, seandainya kalian kehilangan dia, niscaya kalian akan melihat kepala
kepala bergelantungan dari badannya (banyak pembunuhan)”. (Al-Bidayah 8/134)
Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma berkata,
”Saya tidak melihat setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam orang yang
lebih pandai memimpin manusia daripada Muawiyah.”
Dikatakan padanya, ”Sekalipun Ayahmu?”
katanya, ”Ayahku Umar lebih baik daripada Muawiyah, tetapi Muawiyah lebih
pandai berpolitik darinya.” (As-Sunnah I/443 Al-Khallal, Siyar A’lam Nubala
3/152, Al-Bidayah 8/138)
Ibnu Abbas berkata, ”Saya tidak melihat
seorang yang lebih arif tentang kenegaraan daripada Muawiyah” (Al-Bidayah
8/138) Beliau juga mensifati Muawiyah dengan “faqih” (Shahih Bukhari 3765)
Mujahid berkata, ”Seandainya kalian
melihat Muawiyah, niscaya kalian akan mengatakan : Inilah Al Mahdi.” Ucapan
senada juga dikatakan Qatadah (As-Sunnah I/438 Al-Khallal)
Zuhri berkata, ”Muawiyah bekerja dalam
pemerintahan Umar bin Khattab bertahun-tahun tiada cela sedikit pun darinya.”
(As-Sunnah I/444 Al-Khallal).
Suatu kali pernah diceritakan kepada
A’masy tentang keadlian Muawiyah, maka dia berkata, ”Bagaimana kiranya
seandainya kalian mendapati Muawiyah?” Mereka berkata, ”Wahai Abu Muhammad
apakah dalam kelembutannya?” Dia menjawab, ”Tidak, demi Allah, bahkan dalam
keadilannya.” (As-Sunnah I/437)
Al-Muafa bin Amran pernah ditanya, ”Wahai
Abu Mas’ud, siapakah yang lebih utama: Umar bin Abdul Aziz atau Muawiyah?”
Beliau langsung marah sekali seraya berkata,” Seorang sahabat tidak
dibandingkan dengan seorang pun. Muawiyah adalah sahabat Nabi, iparnya, penulis
wahyunya.” (Tarikh Dimasyq 59/208)
Ibrahim bin Maisarah berkata, ”Saya tidak
melihat Umar bin Abdul Aziz memukul sesorang kecuali seorang yang mencela
Muawiyah, beliau mencambuknya dengan beberapa cambukan.” (Tarikh Dimasyq
59/211)
Imam Ahmad pernah ditanya tentang seseorang
yang Muawiyah dan Amr bin Ash, “Apakah dia Rafidhah?” Katanya,” Tak seorang pun
berani mencela keduanya kecuali mempunyai tujuan jelek.” (Tarikh Dimasyq
59/210)
Ibnu Qudamah Al-Maqdisi berkata,
”Muawaiyah adalah paman kaum mukminin, penulis wahyu Alloh, salah seorang
khalifah muslimin- semoga Allah meridhai mereka.” (Lum’atul I’tiqad hal 33)
Ibnu Taimiyah berkata,” Para ulama
sepakat bahwa Muawiyah adalah raja terbaik dalam umat, karena 4 pemimpin
sebelumnya adalah para khalifah nubuwwah, adapun dia adalah awal raja dan
kepemimpinannya adalah rahmat.” (Majmu’ Fatawa 4/478, Minhaj Sunnah 6/232)
Ibnu Abil Izzi Al Hanafi berkata, ”Raja
pertama kaum muslimin adalah Muawiyah, dan dia adalah sebaik-baiknya raja kaum
muslimin.” (syarh Aqidah Thahawiyah hal 722)
Adz-Dzahabi berkata dalam biografinya,
”Amirul mukminin, raja Islam. Muawiyah adalah raja pilihan yang keadilannya
mengalahkan kezhaliman.” (Siyar 3/120, 259) …
Ka’ab al-Ahbar berkata : “Tidak ada orang
yang akan berkuasa sebagaimana berkuasanya Mu’awiyah.”
Adz-Dzahabi berkata : “Ka’ab meninggal
sebelum Mu’awiyah menjadi khalifah, maka benarlah apa yang dikatakan Ka’ab.
Sebab Mu’awiyah menjadi khalifah selama dua puluh tahun, tidak ada
pemberontakan dan tidak ada yang menandinginya dalam kekuasaannya. Tidak
seperti para khalifah yang datang setelahnya. Mereka banyak yang menentang,
bahkan ada sebagian wilayah yang menyatakan melepaskan diri.”
Mu’awiyah melakukan pemberontakan kepada
Ali sebagaimana yang telah disinggung di muka, dan dia menyatakan dirinya
sebagai khalifah. Kemudian dia juga melakukan pemberontakan kepada al-Hasan.
Al-Hasan akhirnya mengundurkan diri. Kemudian Mu’awiyah menjadi khalifah pada
bulan Rabiul Awal atau Jumadil Ula, tahun 41 H. Tahun ini disebut sebagai ‘Aam
Jama’ah (Tahun Kesatuan), sebab pada tahun inilah umat Islam bersatu dalam
menentukan satu khalifah. Pada tahun itu pula Mu’awiyah mengangkat Marwan bin
Hakam sebagai gubernur Madinah.
Pada tahun 43 H,
kota Rukhkhaj dan beberapa kota lainnya di Sajistan ditaklukkan. Waddan di
Barqah dan Kur di Sudan juga ditaklukkan. Pada tahun itu pulalah Mu’awiyah
menetapkan Ziyad anak ayahnya. Ini -menurut ats-Tsa’labi- merupakan keputusan
pertama yang dianggap mengubah hukum yang ditetapkan Rasulullah.
Pada tahun 45 H,
Qaiqan dibuka.
Pada tahun 50 H,
Qauhustan dibuka lewat peperangan. Pada tahun 50 H, Mu’awiyah menyerukan untuk
membaiat anaknya Yazid sebagai putra mahkota dan khalifah setelahnya jika dia
meninggal.
Mu’awiyah meninggal
pada bulan Rajab tahun 60 H. Dia dimakamkan di antara Bab al-Jabiyyah dan Bab
ash-Shaghir. Disebutkan bahwa usianya mencapai tujuh puluh tujuh tahun. Dia
memiliki beberapa helai rambut Rasulullah dan sebagian potongan kukunya. Dia
mewasiatkan agar dua benda itu di diletakkan di mulut dan kedua matanya pada saat
kematiannya. Dia berkata, “Kerjakan itu, dan biarkan saya menemui Tuhan Yang
Maha Pengasih lagi Maha penyayang!”.
Hadits
dalam artikel berjudul “ HAmengkafirkan Mua’wiyah?”
8 January 2013
Dalam artikel berjudul “HA
mengkafirkan Mua’wiyah?” dimuat hadits Muslim tentang Muawiyah jadi katib
(juru tulis) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Artikel itu dapat
disimak kembali pada link inihttp://nahimunkar.com/16095/ha-mengkafirkan-muawiyah/#comment-23788
Di antara pembaca
ada yang meminta agar terjemahan haditsnya dilengkapi.
Untuk itu, kini
dicantumkan hadits dimaksud dan dilengkapi terjemahnya.
Berikut ini hadits
yang dimaksud.
6565 – حَدَّثَنِى عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِىُّ
وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ الْمَعْقِرِىُّ قَالاَ حَدَّثَنَا النَّضْرُ – وَهُوَ
ابْنُ مُحَمَّدٍ الْيَمَامِىُّ – حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ
حَدَّثَنِى ابْنُ عَبَّاسٍ قَالَ كَانَ الْمُسْلِمُونَ لاَ يَنْظُرُونَ إِلَى
أَبِى سُفْيَانَ وَلاَ يُقَاعِدُونَهُ فَقَالَ لِلنَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم-
يَا نَبِىَّ اللَّهِ ثَلاَثٌ أَعْطِنِيهِنَّ قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ عِنْدِى
أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِى سُفْيَانَ
أُزَوِّجُكَهَا قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ وَمُعَاوِيَةُ تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ
يَدَيْكَ. قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ وَتُؤَمِّرُنِى حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ
كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ. قَالَ « نَعَمْ ». قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ
وَلَوْلاَ أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- مَا
أَعْطَاهُ ذَلِكَ لأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْئَلُ شَيْئًا إِلاَّ قَالَ « نَعَمْ ».
صحيح مسلم ـ مشكول وموافق للمطبوع – (7 / 171)صحيح مسلم ـ تح عبد الباقي – (4 /
1945)
Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin
‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiriy, mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr bin Muhammad Al-Yamaamiy :
Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah : Telah menceritakan kepada kami Abuu
Zumail : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Kaum
muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya.
Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Wahai Nabi Allah, penuhilah tiga
permintaanku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
“Ya”. Abu Sufyan berkata : “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik
dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan,
aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab : “Ya”. Abu Sufyan
berkata : “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata
: “Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir
sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Zumail berkata : “Seandainya Abu
Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tentu beliau tidak akan memberinya, karena jika
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu, maka
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjawab selain
‘ya’”. [Shahih Muslim, 4/1945 no 2501, Bab Keutamaan Abu Sufyan bin
Harb tahqiqMuhammad Fuad Abdul Baqi].
Rupanya
sebagian orang menganggap bahwa hadits itu palsu padahal riwayat Muslim. Maka
perlu dijelaskan duduk soalnya, untuk menjawab anggapan palsunya hadits itu.
Pembahasan
untuk menjawab masalah itu dapat dibaca di bagian bawah, kutipan dari tulisan
Abu Al-Jauzaa’. Di antaranya beliau tegaskan:
Para ulama hanyalah mengkritik seputar
lafadh permintaan pernikahan dari Abu Sufyaan saja. Seandainya lafadh
itu kita hukumi syaadz, maka lafadh yang lain tidak. Tetap dipakai dan
dijadikan hujjah. Ini adalah ma’ruf di kalangan ulama hadits.
Tidak ada petunjuk yang mengindikasikan
bahwa hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih
Muslim di atas palsu. Tapi jika memang niatnya ‘membonceng’ perkataan Ibnu
Hazm rahimahullah, itu lain perkara.
Beda
halnya dengan keadaan ‘peneliti’ Syi’ah Raafidlah yang sedang kebingungan dalam
mencari jalan melemahkan riwayat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.
Seandainya ada orang Syi’ah ‘mendompleng’
perkataan Ibnu Hazm akan penghukumannya atas kepalsuan riwayat, Anda tentu
paham karena lafadh hadits Ibnu ‘Abbaas itu tidaklah menguntungkan posisi
‘aqidah Syi’ah Raafidlah yang penuh umpatan dan caci maki terhadap Abu Sufyaan dan anaknya
(Mu’aawiyyah) radliyallaahu ‘anhumaa. Kebetulan ada celah yang
dapat dimanfaatkan, maka dipakailah ia.
Demikian tulis Abu Al-Jauzaa’.
Selanjutnya mari kita simak kutipan
selengkapnya pembahasan tentang hadits ini.
***
Diposkan
oleh Abu Al-Jauzaa’ : di 23:49
Label: Syi’ah
Al-Imaam Muslim bin
Hajjaaj rahimahullah berkata :
حَدَّثَنِي
عَبَّاسُ بْنُ عَبْدِ الْعَظِيمِ الْعَنْبَرِيُّ، وَأَحْمَدُ بْنُ جَعْفَرٍ
الْمَعْقِرِيُّ، قَالَا: حَدَّثَنَا النَّضْرُ وَهُوَ ابْنُ مُحَمَّدٍ
الْيَمَامِيُّ، حَدَّثَنَا عِكْرِمَةُ، حَدَّثَنَا أَبُو زُمَيْلٍ، حَدَّثَنِي
ابْنُ عَبَّاسٍ، قَالَ: ” كَانَ الْمُسْلِمُونَ لَا يَنْظُرُونَ إِلَى أَبِي
سُفْيَانَ وَلَا يُقَاعِدُونَهُ، فَقَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ: يَا نَبِيَّ اللَّهِ، ثَلَاثٌ أَعْطِنِيهِنَّ، قَالَ: نَعَمْ، قَالَ:
عِنْدِي أَحْسَنُ الْعَرَبِ وَأَجْمَلُهُ أُمُّ حَبِيبَةَ بِنْتُ أَبِي سُفْيَانَ
أُزَوِّجُكَهَا؟ قَالَ نَعَمْ، قَالَ: وَمُعَاوِيَةُ، تَجْعَلُهُ كَاتِبًا بَيْنَ
يَدَيْكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ: وَتُؤَمِّرُنِي حَتَّى أُقَاتِلَ الْكُفَّارَ
كَمَا كُنْتُ أُقَاتِلُ الْمُسْلِمِينَ؟ قَالَ: نَعَمْ، قَالَ أَبُو زُمَيْلٍ:
وَلَوْلَا أَنَّهُ طَلَبَ ذَلِكَ مِنَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
مَا أَعْطَاهُ ذَلِكَ لِأَنَّهُ لَمْ يَكُنْ يُسْأَلُ شَيْئًا إِلَّا، قَالَ:
نَعَمْ “
Telah menceritakan kepadaku ‘Abbaas bin
‘Abdil-‘Adhiim Al-‘Anbariy dan Ahmad bin Ja’far Al-Ma’qiriy, mereka berdua
berkata : Telah menceritakan kepada kami An-Nadlr bin Muhammad Al-Yamaamiy :
Telah menceritakan kepada kami ‘Ikrimah : Telah menceritakan kepada kami Abuu
Zumail : Telah menceritakan kepadaku Ibnu ‘Abbaas, ia berkata : Kaum
muslimin tidak memandang Abu Sufyan dan tidak pula mereka duduk menyertainya.
Kemudian Abu Sufyan berkata kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam : “Wahai Nabi Allah, penuhilah tiga
permintaanku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab :
“Ya”. Abu Sufyan berkata : “Saya mempunyai seorang putri yang paling baik
dan paling cantik di kalangan orang Arab yaitu Ummu Habibah putri Abu Sufyan,
aku ingin menikahkannya dengan anda”. Beliau menjawab : “Ya”. Abu Sufyan
berkata : “Dan agar Anda mengangkat Muawiyah sebagai juru tulis anda”.
Beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallammenjawab : “Ya”. Abu Sufyan berkata :
“Dan anda mengangkat saya sebagai pemimpin untuk memerangi orang-orang kafir
sebagaimana dulu saya memerangi orang-orang Islam”. Beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam menjawab : “Ya”. Abu Zumail berkata : “Seandainya Abu
Sufyan tidak menuntut hal tersebut kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam tentu beliau tidak akan memberinya, karena jika
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dimintai sesuatu, maka
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak akan menjawab selain
‘ya’”. [Shahih Muslim, 4/1945 no 2501, Bab Keutamaan Abu Sufyan bin
Harb tahqiqMuhammad Fuad Abdul Baqi].
Ada hal yang menarik dalam bahasan hadits
di atas, yaitu perkataan Ibnu
Hazmrahimahullah. Saat mengomentari hadits di atas, ia berkata :
هَذَا
حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ لا شَكَّ فِي وَضْعِهِ , وَالآفَةُ فِيهِ مِنْ عِكْرِمَةَ بْنِ
عَمَّارٍ , وَلا يَخْتَلِفُ اثْنَانِ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِالأَخْبَارِ
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمْ يَتَزَوَّجْ أُمَّ
حَبِيبَةَ إِلا قَبْلَ الْفَتْحِ بِدَهْرٍ وَهِيَ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ وَقِيلَ :
هَذَا لا يَكُونُ خَطَأَ إِمْلَاءٍ ، وَلا يَكُونُ إِلا قَصْدًا ، فَنَعُوذُ
بِاللَّهِ مِنَ الْبَلاءِ
“Hadits ini maudluu’ (palsu),
dan tidak lagi diragukan akan kepalsuannya. Dan penyebabnya adalah dari
‘Ikrimah bin ‘Ammaar. Para ulama tidak berselisih pendapat tentang khabar bahwa
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah menikahi Ummu Habiibah
kecuali sebelum peristiwa Fathu Makkah, yaitu pada saat ia berada di negeri
habasyah. Dan dikatakan : Hal ini tidaklah terjadi karena kekeliruan penyalinan
(penulisan) dan tidak pula terjadi kecuali karena kesengajaan. Kita berlindung
kepada Allah dari balaa’ (yang akan menimpa)” [Al-Mishbaah fii
‘Uyuunish-Shihaah – lihat di sini].
Ini adalah sikap berlebih-lebihannya Ibnu
Hazm rahimahullah dalam penilaian hadits dan perawi. Para ulama, dulu
dan sekarang, telah banyak memberikan kritikan kepada Ibnu
Hazm rahimahullah ini.
Ibnu Hajar Al-‘Asqaalaniy ketika
menyebutkan biografi Ibnu Hazm rahimahumallah berkata : “Ia adalah
orang yang sangat luas hapalannya. Hanya saja, bersamaan dengan ketisqahan dan hapalannya, ia sangat ofensif
dalam perkataan jarh dan ta’diil, serta penjelasan nama-nama
perawi, sehingga ia jatuh karenanya dalam banyak kekeliruan yang buruk”
[Lisaanul-Miizaan, 4/198 no. 531 – biografi Ibnu Hazm].
Perkataan Ibnu
Hazm rahimahullah ini seringkali dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang
senang memanfaatkan situasi untuk menjatuhkan kredibilitas hadits dan/atau
perawinya, seperti kalangan kuffar orientalis. Juga Syi’ah Raafidlah, karena keduanya memang kakak beradik
yang beda warna kulit.
Tentang ‘Ikrimah bin
‘Ammaar rahimahullah, berikut keterangan para ulama tentangnya :
‘Ikrimah bin ‘Ammaar Al-‘Ijliy Abu
‘Ammaar Al-Yamaamiy (عكرمة بن عمار العجلي ، أبو عمار
اليمامي). Termasuk thabaqah ke-5, dan wafat tahun
159 H. Dipakai oleh Al-Bukhaariy secaramu’allaq, Muslim, Abu Daawud,
At-Tirmidziy, An-Nasaa’iy, dan Ibnu Maajah.
Ahmad bin Hanbal berkata :
“Mudltharibul-hadiits dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Ia juga berkata :
“Mudltharibul-hadits dari selain Iyaas bin Salamah. Adapun haditsnya yang
berasal dari Iyaas bin Salamah shaalih (baik)”. Dalam riwayat lain :
“Orang yang paling menguasai hadits Iyaas bin Salamah, yaitu ‘Ikrimah bin
‘Ammaar”. Abu Zur’ah berkata : Aku mendengar Ahmad bin Hanbal melemahkan
riwayat Ayyuub bin ‘Utbah dan ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir,
dan ia berkata : ‘’Ikrimah paling tsiqah dari keduanya (yaitu antara ‘Ikrimah
dan Ayyuub)”. Dalam riwayat lain dari Al-Fadhl bin Ziyaad, Ahmad bin Hanbal
mengatakan bahwa ‘Ikrimah kedudukannya di atas Ayyuub bin ‘Utbah, Muzaazim bin
‘Amru, dan yang lainnya dari penduduk Yamaamah.
Yahyaa bin Ma’in berkata : “Tsiqah”. Di
riwayat lain: “Tsabat”. Di lain riwayat : Shaduuq, tidak mengapa
dengannya”. Di riwayat lain: “Ia seorang buta huruf (ummiy),
namun haafidh”. Di riwayat lain ia mengatakan bahwa ’Ikrimah lebih ia
cintai daripada Ayyuub bin ‘Utbah.
‘Aliy bin Al-Madiiniy berkata :
“Hadits-hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dari Yahyaa bin Abi Katsiir tidaklah
seperti itu. Ia diingkari. Adapun Yahyaa bin Sa’iid mendla’ifkan keduanya”. Di
lain riwayat : “Yahyaa (bin Sa’iid) melemahkan riwayat penduduk Yamaamah
seperti ‘Ikrimah bin ‘Ammaar dan membuangnya”. Di lain riwayat ia
(Ibnul-Madiiniy) berkata : “’Ikrimah bin ‘Amaar di sisi shahabat kami seorang
yang tsiqah lagi tsabat”.
Ahmad bin ‘Abdilah Al-‘Ijliy berkata :
“Tsiqah, telah meriwayatkan darinya An-Nadlr bin Muhammad seribu hadits”.
Al-Bukhaariy berkata : “Mudltharib dalam hadits Yahyaa bin Abi Katsiir,
dan ia (‘Ikrimah) tidak mempunyai kitab (catatan)”. Al-Aajurriy berkata : “Aku
pernah bertanya kepada Abu Daawud tentang ‘Ikrimah in ‘Amaar, maka ia berkata :
‘Tsiqah, dan dalam hadits Yahyaa bin Katsiir idlthiraab (goncang)”.
An-Nasaa’iy berkata : “Tidak mengapa dengannya, kecuali haditsnya yang berasal
dari Yahyaa bin Abi Katsiir”. Abu Haatim berkata : “Ia seorang
yang shaaduq, kadangkala ragu dalam haditsnya, kadangkala pula
melakukan tadlis. Sedangkan haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi
Katsiir sebagiannya terdapat beberapa kekeliruan”.
Zakariyyaa bin Yahyaa As-Saajiy berkata :
“’Ikrimah bin ‘Ammaar, shaduuq. Telah meriwayatkan darinya Syu’bah,
Ats-tsauriy, dan Yahyaa bin Sa’iid Al-Qaththaan. Ia telah ditsiqahkan oleh Ibnu
Ma’iin dan Ahmad bin Hanbal. Hanya saja, Yahyaa Al-Qaththaan melemahkan
hadits-haditsnya yang berasal dari Yahyaa bin Abi Katsiir, dan ia mendahulukan
Mulaazim daripada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar”.
Muhammad bin ‘Abdillah Al-Muushiliy
berkata : “’Ikrimah bin ‘Ammaar tsiqah di sisi mereka. Telah
meriwayatkan darinya Ibnu Mahdiy. Dan tidaklah aku mendengar tentangnya kecuali
hanya kebaikan”. ‘Aliy bin Muhammad Ath-Thanaafisiy berkata : “Tsiqah”. Shaalih
bin Muhammad Al-Asadiy berkata : “Ia sering bertafarrud dalam hadits-hadits
yang panjang tanpa ada penyertanya….. Ia seorang yang shaduuq, kecuali
dalam haditsnya terdapat sesuatu”. Ishaaq bin Ahmad bin Khalaf Al-Bukhaariy
Al-Haafidh berkata : “Tsiqah. Telah meriwayatkan darinya Sufyaan Ats-Tsauriy
dan ia menyebutkan tentang keutamaannya. Akan tetapi ia banyak keliru,
bertafarrud dalam riwayat Iyyaas tanpa ada penyertanya seorangpun”.
Ibnu Khiraasy berkata : “Shaduuq, dan
dalam haditsnya terdapat nakarah”. Ibnu ‘Adiy berkata :
“Mustaqiimul-hadiits, apabila meriwayatkan darinya perawi tsiqah”.
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : “Dalam
riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab. Ia meriwayatkan dari
selain jurusan kitabnya”. Ya’quub bin Syaibah berkata :
“Tsiqah lagi tsabat”. Ibnu Syaahiin menyebutkannya
dalam Ats-Tsiqaat dan berkata : Telah berkata Ahmad bin Shaalih :
“Aku katakan bahwa ia seorang yang tsiqah, dan aku berhujjah dengannya dan
perkataannya”. Ayyuub pernah ditanya tentangnya, lalu ia berkata : “Seandainya
ia bukan seorang yang tsiqah, niscaya aku tidak menulis hadits
darinya. Abu Ahmad Al-Haakim berkata : “Haditsnya sangat banyak dari Yahyaa,
namun ia tidak tegak dalam periwayatan (darinya)” [selengkapnya lihat
: Tahdziibul-Kamaal, 20/256-264 no.
4008, Tahdziibut-Tahdziib, 7/261-263 no. 475, danMausu’ah Aqwaal
Al-Imaam Ahmad 3/23-25 no. 1843].
Adz-Dzahabiy berkata : “Tsiqah, kecuali
riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka mudltharib” [Al-Kaasyif, 2/33
no. 3866].
Ibnu Hajar berkata : “Shaduuq, sering
keliru. Dan riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir idlthiraab”
[At-Taqriib, hal. 687 no. 4706].
Dengan
melihat jarh dan ta’diil para imam di atas, maka ‘Ikrimah
ini adalah seorang yang mempunyai beberapa kekeliruan dalam periwayatan
sehingga menurunkan kredibilitasnya pada level shaduuq, tidak lebih rendah
dari itu. Dan khusus riwayatnya dari Yahyaa bin Abi Katsiir, maka
terdapat idlthiraab.
Kita kembali pada pernyataan Ibnu
Hazm rahimahullah tentang penghukuman ‘palsu’ hadits di atas.
Definisi hadits palsu adalah :
هُوَ
الخَبْرُ الْمَكْذُوبُ الْمَنْسُوبُ إِلى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ افْتِرَاءً عَلَيْهِ . فَلاَ يَجُوزُ عَزْوُهُ إِلى النَّبِيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ غَيْرِ بِيَانٍ
“Ia adalah khabar dusta yang dinisbatkan
kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sebagai bentuk
kebohongan terhadap beliau. Maka tidak diperbolehkan menisbatkannya kepada
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam tanpa adanya penjelasan”[Al-Fushuul oleh
Haafidh Tsanaaullah Az-Zaahidiy hafidhahullah].
Kedustaan dalam definisi di atas,
maksudnya kedustaan murni yang dilakukan dengan sengaja (al-mukhtalaq
al-mashnuu’) [Al-Muqaddimah oleh Ibnu Shalaah, hal. 130].
Adz-Dzahabiy rahimahullah menjelaskan persyaratan
hadits maudluu’, bahwa matannya menyelisihi kaedah-kaedah (yang telah
ma’ruf), dan perawinya adalah pendusta (kadzdzaab)” [Syarh Al-Muuqidhah, hal.
60].
Jika demikian, bisakah dibenarkan
perkataan Ibnu Hazm – dan orang yang memanfaatkan perkataannya – bahwa ‘Ikrimah
bin ‘Ammaar adalah pendusta yang melakukan pemalsuan riwayat ?. Anda dapat
lihat perkataan para imam di atas. Banyak ulama yang mengatakan ‘Ikrimah
seorang yang tsiqah, yang artinya : menetapkan kejujuran padanya dan tidak
melakukan kedustaan secara sengaja (dalam riwayat). Ia dikritik dalam jurusan
hapalannya saja.
Jika ada yang mengatakan
: kepalsuannya benar tetapi pernyataan bahwa yang bertanggung-jawab
adalah Ikrimah bin Ammar layak diberikan catatan. Ikrimah bin Ammar disebutkan
dalam kitab biografi perawi hadis adalah perawi yang tsiqat, mereka yang
mempermasalahkan Ikrimah hanya mempersoalkan hadis Ikrimah dari Yahya bin Abi
Katsir; maka ini adalah pernyataan yang ambigu.
Pura-pura ‘membela’ ‘Ikrimah bin ‘Ammaar
tidaklah banyak menolong, karena kemungkinan yang ada dalam perkataan di atas
ada dua :
a. Tidak
tahu definisi hadits palsu (maudluu’).
b. Pura-pura
tidak tahu definisi hadits palsu dengan ‘mendompleng’ perkataan Ibnu Hazm.[1]
Hadits dinyatakan palsu tentu
dikembalikan pada syarat-syaratnya yang dikenal dalam ilmu hadits. Dan itu
tidak terpenuhi dalam hadits ‘Ikrimah bin ‘Ammaar di atas.
Ibnul-Atsiir rahimahullah berkata
:
لا
اختلاف بين أهل السير وغيرهم في أن النبي صلى الله عليه وسلم تزوج أم حبيبة وهي
بالحبشة إلا ما رواه مسلم بن الحجاج في صحيحه ……. وهو وهم من بعض رواته
“Tidak ada perselisihan di kalangan ahli
sejarah dan yang lainnya bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam menikahi Ummu Habiibah saat ia (Ummu Habiibah) di
Habasyah, kecualihadits yang diriwayatkan Muslim bin Al-Hajjaaj
dalam Shahiih-nya…… dan itu merupakankekeliruan sebagian perawinya”
[Usudul-Ghaabah, 7/304 no. 7409].
Ibnu
Sayyidin-Naas rahimahullah berkata :
وَهَذَا
مُخَالِفٌ لِمَا اتَّفَقَ عَلَيْهِ أَرْبَابُ السِّيَرِ وَالْعِلْمِ بِالْخَبَرِ
“Dan hal ini[2] menyelisihi apa yang
telah disepakati oleh para ahli sejarah dan ahli riwayat”
[‘Uyuunul-Akhbaar – lihat : sini].
Al-‘Alaaiy rahimahullah berkata
:
وهو
خطأ فاحش، فإن أحدا لم ينسب عكرمة إلى الوضع، وقد وافقه جماعة، واحتج به مسلم
كثيرا، ولكنه وهم فيه
“Hal itu[3] adalah kekeliruan yang
sangat fatal, karena tidak ada ulama menisbatkan pada ‘Ikrimah memalsukan
hadits. Sekelompok ulama telah menyepakatinya, dan Muslim banyak berhujjah
dengannya, akan tetapi ia telah keliru (wahm) dalam riwayat
tersebut” [lihat :At-Tanbiihaat, hal. 66-67].
Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata :
وأما
مسلم ففيه ألفاظ عرف أنها غلط…….. وفيه أن أبا سفيان سأله التزويج بأم حبيبة، وهذا
غلط
“Dan adapun Muslim, maka padanya terdapat
beberapa lafadh yang diketahui kekeliruannya….. dan padanya terdapat hadits
bahwa Abu Sufyaan meminta Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi Ummu
Habiibah. Ini keliru” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 18/43].
Dan yang lainnya.
Banyak ulama yang mengkritisi hadits
Muslim tersebut, khususnya lafadh permintaan pernikahan dengan Ummu
Habiibah radliyallaahu ‘anhaa. Ini menunjukkan para ulama Ahlus-Sunnah
bersikap ‘adil, meskipun di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dalam
menyikapi lafadh tersebut – dan itu biasa.
Sebagaimana disebutkan di atas, ada ulama
yang mengatakan bahwa perawi telah keliru dalam membawakan sebagian lafadh
hadits. Ada yang mengatakan bahwa seharusnya lafadh Ummu Habiibah tersebut
adalah ‘Azzah bintu Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhaa. Ada juga ulama yang
menempuh jalan takwil untuk menjamak hadits-hadits yang ada. Diantaranya ada
yang mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu agar Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam memperbaharui akad nikahnya. Diantaranya ada yang mentakwil
permintaan itu adalah untuk melanggengkan pernikahannya (yaitu :
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak menceraikan Ummu Habiibah).
Diantaranya ada yang mentakwil permintaan Abu Sufyaan itu menunjukkan
keridlaannya atas pernikahan beliau shallallaahu ‘alaihi wa
sallamtersebut, setelah sebelumnya (ketika masih kafir) tidak meridlai[4]. Dan
yang lainnya.
Di sini saya tidak akan membahas lebih
jauh tentang konklusi lafadh permintaan Abu Sufyaan agar
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menikahi anaknya
tersebut. Yang menjadi fokus di sini hanyalah cara pandang kepada hadits saja.
Seandainya lafadh tersebut keliru, maka
itu pun tidak mengkonsekuensikan hadits menjadi palsu. Kekeliruan perawi tsiqah adalah
sangat mungkin, karena mereka masih dinamakan manusia yang tidak ma’shuum.
Tentu saja, kekeliruan itu mesti dibuktikan dengan metode-metode standar yang
dikenal di kalangan ulama. Oleh karena itu, dalam ilmu hadits dikenal
hadits syaadz, mudltharib, atau mudraj. Hadits-hadits ini
merupakan jenis hadits lemah yang (bisa) terjadi pada perawi tsiqah. Bisa
terjadi pada sanad ataupun matan hadits/riwayat.
Contoh 1 :
عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ
Dari Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhu : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallammenikahi
Maimuunah dalam keadaan ihram [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no.
1837 & 4259 & 5114, Muslim no. 1410, At-Tirmidziy no. 842-844, Abu
Daawud no. 1844, dan yang lainnya].
Perkataan Ibnu ‘Abbaas ini diselisihi
oleh Maimuunah sendiri sebagaimana hadits :
عَنْ
مَيْمُونَةَ، قَالَتْ: ” تَزَوَّجَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَنَحْنُ حَلَالَانِ بِسَرِفَ “
Dari Maimuunah, ia berkata :
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahiku, dan kami dalam
keadaan halal (selesai ihraam) di Sarif” [Diriwayatkan oleh Muslim no.
1411, Abu Daawud no. 1843, At-Tirmidziy no. 845, Ahmad 6/332 & 333 &
335, Ad-Daarimiy no. 1831, dan yang lainnya; ini adalah lafadh Abu Daawud].
Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu
‘anhu telah keliru dalam membawakan hadits, karena ada bukti kuat bahwa
memang ia telah keliru. Tapi apakah lantas bisa seenaknya dikatakan bahwa
riwayat Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa di atas palsu (maudluu’)
?. Tentu tidak.
Contoh 2 :
حَدَّثَنَا
حَفْصُ بْنُ عُمَرَ النَّمَرِيُّ، حَدَّثَنَا هَمَّامٌ، حَدَّثَنَا قَتَادَةُ،
عَنْ الْحَسَنِ، عَنْ سَمُرَةَ، عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: ” كُلُّ غُلَامٍ رَهِينَةٌ بِعَقِيقَتِهِ تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ
السَّابِعِ وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ وَيُدَمَّى “
Telah menceritakan kepada kami Hafsh bin
‘Umar An-Namariy : Telah menceritakan kepada kami Hammaam : Telah menceritakan
kepada kami Qataadah, dari Al-Hasan, dari Samurah, dari
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Setiap
anak tergadai dengan ‘aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur
rambut kepalanya, dan kepalanya dilumuri darah (yudammaa)” [Diriwayatkan
oleh Abu Dawud no. 2837].
Hammaam adalah seorang yang terpercaya.
Namun ia telah menyelisihi beberapa orang dan lebih dlabth darinya
dalam penyampaian khabar (periwayatan) dari Qataadah; dimana mereka
menggunakan lafadh : yusammaa (diberikan nama) – bukan yudammaa.
Mereka adalah : Sa’iid bin Abi ‘Aruubah (ia adalah orang yang
paling tsabt periwayatannya di antara ashhaab Qataadah),
Abaan bin Yaziid Al-‘Aththaar, Sallaam bin Abi Muthii’, dan Ghailaan bin
Jaami’[5] [Irwaaul-Ghaliil oleh Al-Albaaniy 4/387-388
dan Taisiru ‘Uluumil-Hadits oleh ‘Amr bin ‘Abdil-Mun’im hal. 81].
Hadits Hammaam tidak lantas dikatakan
palsu, dan Hammaam dituduh memalsukan riwayat.
Selain itu, ketika Hammaam dikatakan
telah keliru dalam penyampaian sebagian lafadh riwayat, tidaklah berkonsekuensi
membatalkan keseluruhan lafadh riwayat. Yang dikritik hanyalah sebatas
lafadh wa yudammaa saja, karena ada qarinah kuat yang
menunjukkan kekeliruannya. Riwayat Hammaam ini tetap dipakai dan dijadikan
hujjah dengan pengkoreksian pada lafadh wa yudammaa saja.
Sama
halnya dengan hadits Muslim yang sedang kita bahas. Para ulama hanyalah
mengkritik seputar lafadh permintaan pernikahan dari Abu Sufyaan
saja. Seandainya lafadh itu kita hukumi syaadz, maka lafadh yang
lain tidak. Tetap dipakai dan dijadikan hujjah. Ini adalah ma’ruf di
kalangan ulama hadits.[6]
Tidak ada petunjuk yang mengindikasikan
bahwa hadits Ibnu ‘Abbaas radliyallaahu ‘anhumaa dalam Shahiih
Muslim di atas palsu. Tapi jika memang niatnya ‘membonceng’ perkataan Ibnu
Hazm rahimahullah, itu lain perkara.
Hadits tersebut menunjukkan keutamaan Abu
Sufyaan radliyallaahu ‘anhu, sebagaimana fiqh dari Muslim bin Al-Hajjaaj
dalam judul Baab kitab Shahiih-nya.
Keutamaan lain dari Abu
Sufyaan radliyallaahu ‘anhu antara lain terdapat dalam sabda
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam saat Fathu Makkah :
مَنْ
دَخَلَ دَارَ أَبِي سُفْيَانَ فَهُوَ آمِنٌ، وَمَنْ أَلْقَى السِّلَاحَ فَهُوَ
آمِنٌ، وَمَنْ أَغْلَقَ بَابَهُ فَهُوَ آمِنٌ
“Barangsiapa yang masuk ke rumah Abi
Sufyaan, maka ia aman. Barangsiapa yang meletakkan senjatanya, maka ia aman.
Dan barangsiapa yang menutup pintunya, maka ia aman” [Diriwayatkan oleh Muslim,
Abu Daawud, Ahmad, dan yang lainnya].
Penyebutan secara khusus rumah Abu
Sufyaan radliyallaahu ‘anhu merupakan satu keutamaan darinya yang
diperhatikan oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Begitu juga menunjukkan keutamaan
Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhusebagai pencatat wahyu.
Apakah mungkin Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan
menyerahkan amanah pencatatan wahyu yang suci kepada orang yang kafir atau
orang yang akan mati kafir – sebagaimana kedengkian Raafidlah kepadanya –
sementara di sisi beliau ada ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu yang sebelumnya telah beliau tunjuk sebagai sekretaris beliau ?. Tidakkah
beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan dengan ‘Aliy saja
?. Tidakkah mereka (orang Raafidlah) mau sejenak berpikir ?.
Wallaahul-musta’aan.
Semoga ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’
– sardonoharjo, ngaglik, sleman, yogyakarta].
[1] Cara
ini sangatlah bermanfaat. Kalaupun toh nanti akan ketahuan sikap
‘kepura-puraannya’ itu, masih ada Ibnu Hazm rahimahullah yang akan
menjadi bumper. Ini adalah metode yang lazim dipakai ‘peneliti’ berniat
bengkong.
[2] Yaitu
tawaran Abu Sufyaan agar Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menikahi
Ummu Habiibah, dalam riwayat Muslim.
[3] Yaitu
perkataan Ibnu Hazm yang menghukumi palsu dan menisbatkan kepalsuan tersebut
pada ‘Ikrimah bin ‘Ammaar rahimahumallah.
[4]
Diantara yang mengatakannya adalah Al-Mu’allimiy
Al-Yamaaniy rahimahullah dalam Al-Anwaarul-Kaasyifah,
[5] Abu
Daawud berkata :
وَهْمٌ
مِنْ هَمَّامٍ وَيُدَمَّى، قَالَ أَبُو دَاوُد: خُولِفَ هَمَّامٌ فِي هَذَا
الْكَلَامِ وَهُوَ وَهْمٌ مِنْ هَمَّامٍ، وَإِنَّمَا قَالُوا: يُسَمَّى، فَقَالَ
هَمَّامٌ: يُدَمَّى،
“Kekeliruan (wahm) berasal dari Hammaam,
yaitu lafadh : wa yudammaa. Hammaam telah diselisihi dalam perkataan
tersebut, yaitu merupakan kekeliruan dari Hammaam. Mereka (para perawi lain)
berkata : ‘yusammaa’ – lalu Hammaam berkata : ‘yudammaa’ [selesai].
[6] Beda halnya dengan keadaan
‘peneliti’ Syi’ah Raafidlah yang sedang kebingungan dalam mencari jalan
melemahkan riwayat karena tidak sesuai dengan hawa nafsunya.
Seandainya ada orang Syi’ah ‘mendompleng’
perkataan Ibnu Hazm akan penghukumannya atas kepalsuan riwayat, Anda tentu
paham karena lafadh hadits Ibnu ‘Abbaas itu tidaklah menguntungkan posisi
‘aqidah Syi’ah Raafidlah yang penuh umpatan dan caci maki terhadap Abu Sufyaan
dan anaknya (Mu’aawiyyah) radliyallaahu ‘anhumaa. Kebetulan ada celah yang
dapat dimanfaatkan, maka dipakailah ia.
Bukan hanya sekali. Misal dalam kasus
sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
يَا
عَلِيُّ، هَذَانِ سَيِّدَا كُهُولِ أَهْلِ الْجَنَّةِ وَشَبَابُهَا بَعْدَ
النَّبِيِّينَ وَالْمُرْسَلِينَ
“Wahai ‘Aliy, dua orang ini (yaitu Abu
Bakr dan ‘Umar) adalah pemimpin bagi orang-orang dewasa penduduk surga dan
para pemudanya (wa syabaabuhaa), selain para Nabi dan Rasul”.
Hadits ini diriwayatkan oleh
‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaaidul-Musnad 1/80
dan Fadlaailush-Shahaabah no. 141, serta Al-Aajuriiy
dalam Asy-Syarii’ah 3/68-69 no. 1376; dari jalan Wahb bin Baqiyyah
Al-Waasithiy, dari ‘Umar bin Yuunus Al-Yamaamiy, dari ‘Abdullah bin ‘Umar
Al-Yamaamiy, dari Al-Hasan bin Zaid bin Hasan, dari ayahnya, dari, kakeknya,
dari ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu secara marfu’ [lihat
juga Ithraaful-Musnid oleh Ibnu Hajar, 4/395 no. 6198].
Sanad riwayat ini hasan, seluruh
perawinya tsiqah lagi terkenal kecuali Al-Hasan bin Zaid bin
Al-Hasan. Ibnu Hajar berkata : “Jujur, kadang salah (shaduuq yahimu). Dan
ia seorang yang mempunyai keutamaan” [Taqriibut-Tahdziib, hal. 236 no. 1252].
Sedangkan ‘Abdullah bin ‘Umar Al-Yamaamiy, ia adalah ‘Abdullah bin Muhammad
Al-Yamaamiy, dikenal sebagai Ibnu Ar-Ruumiy, termasuk rijaal Muslim.
[catatan : penghukuman Basyar ‘Awwaad dan
Al-Arna’uth dalam Tahriirut-Taqriib no. 1242 yang melemahkan Al-Hasan
bin Zaid adalah keliru – dan mendapatkan kritik oleh Dr. Maahir Al-Fahl
dalam Kasyful-Iihaam, hal. 349. Al-Hasan bin Zaid ini telah ditsiqahkan oleh
Ibnu Sa’d, Al-‘Ijliy, dan Ibnu Hibbaan. Ia juga merupakan syaikh dari Maalik
bin Anas dimana telah diketahui bahwa Maalik tidaklah meriwayatkan dari
seseorang (syaikh-nya) kecuali ia tsiqah di sisinya. Dan dikecualikan
dua orang, yaitu : Ibnu Abil-Mukhtaar dan ‘Aashim bin ‘Ubaidillah. Maalik
adalah orang yang paling ‘alim tentang penduduk Madiinah – sedangkan Al-Hasan
bin Zaid termasuk dari kalangan mereka. Selain itu, Al-Hasan bin Zaid juga
merupakan syaikh dari Ibnu Abi Dzi’b, dimana Ahmad bin Shaalih dan
Ibnu Ma’iin mengatakan bahwa syuyuukh Ibnu Abi Dzi’b
adalah tsiqaat, kecuali ‘Abdul-Kariim dan Abu Jaabir. Jadi, hadits
Al-Hasan ini tidaklah jatuh di bawah derajat hasan – dengan
adanyajarh dari Ibnu Ma’iin dan Ibnu ‘Adiy].
‘Peneliti’ Raafidlah ini bingung
melemahkan riwayat ini, dan akhirnya berkata :
Nashibi ini maaf tidak memahami dengan
baik letak kemungkaran hadis Hasan bin Zaid. Lafaz “dan para
pemudanya” adalah lafaz yang mungkar dan bertentangan dengan kabar yang
shahih. Asal kemungkaran ini hanya bisa dikembalikan pada Hasan bin Zaid karena
ia diperbincangkan dan dikenal meriwayatkan hadis-hadis yang diingkari, Jarh
Ibnu Ma’in dan Ibnu Ady sangat sesuai dari sisi ini. Jadi Hasan bin Zaid
tertuduh dalam hadis ini dan jelas sekali hadis mungkar ini tidak bisa dijadikan
hujjah.
Taruhlah bahwa kita sependapat bahwa
lafadh ‘dan para pemudanya’ adalah munkar dan kemunkaran itu disebabkan oleh
Al-Hasan bin Zaid – seperti sangkaannya; maka itu tetap tidak menghapuskan
eksistensi lafadh yang lainnya. Kemunkaran itu hanyalah terletak disebagian
lafadh saja. Apalagi dalam riwayat Al-Aajurriy tidak disebutkan lafadh yang
dipermasalahkan.
Membatalkan keseluruhan lafadh merupakan
pilihan yang mesti diambil oleh orang Rafidlah tersebut. Jika tidak, sama saja
dengan ‘bunuh diri’ dengan adanya pengakuan keutamaan Abu Bakr dan
‘Umar radliyallaahu ‘anhu yang diriwayatkan melalui jalan ‘Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhum.
So, hadits tentang keutamaan Abu Bakr dan
‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dari jalan Al-Hasan bin Zaid, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Aliy di atas adalah
hasan lidzaatihi tanpa lafadh : ‘dan para pemudanya’.
Baca
artikel :
Nah,…
dari sini Anda akan kenal sedikit-demi sedikit metode ‘peneliti’ Raafidlah
tersebut.