Oleh
Syaikh Dr Muhammad bin Musa Al-Nashr
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama
besar dan salah satu dari empat imam besar, yang ilmunya telah tersebar di
penjuru dunia, serta jutaan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Iraq,
Hijaz, Negeri Syam, Mesir, Yaman dan Indonesia bermadzhab dengan madzhabnya.
Faktor yang menyebabkan saya memilih
pembahasan ini, karena mayoritas kaum muslimin di negeri ini atau di negara ini
berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan hanya sedikit dari
mereka yang berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah ushul. Ironisnya
ini menjadi fenomena.
Kita mendapati sejumlah orang mengaku
bermadzhab Imam Malik dalam masalah furu’, namun tidak memahami dari madzhab
beliau kecuali tidak bersedekap dalam shalat. Mereka menyelisihi aqidah Imam
Malik yang Sunni dan Salafi.
Juga kita mendapati selain mereka mengaku
berada di atas madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan tidak memahami
dari madzhabnya kecuali masalah menyentuh wanita membatalkan wudhu. Dan, seandainya
isterinya menyentuh walaupun tidak sengaja, maka ia sangat marah sembari
berteriak : “Sungguh kamu telah membatalkan wudhu’ ku, wahai perempuan !”.
Apabila ditanya, tentang siapakah Imam Asy-Syafi’i tersebut, siapa namanya dan
nama bapaknya, niscaya sebagian mereka tidak dapat memberikan jawaban kepadamu,
dan ia tidak mengenal tokoh tersebut ; dalam masalah aqidah, ia menyelisihi
aqidah Imam Asy-Syafi’i, dan dalam masalah furu’ ia tidak mengerti dari madzhab
beliau kecuali sangat sedikit.
Demikian juga, jika engkau mendatangi
banyak dari pengikut madzhab Hanabilah kecuali yang tinggal di menetyap di
Jazirah Arab dan sekitarnya dari orang yang terpengaruh oleh dakwah Syaikh
Muhammad bin Abdul Wahab, seorang mujaddid (pembaharu) abad ke -12 Hijriyah.
Kita mendapati, kebanyakan dari pengikut madzhab Ahmad di negeri Syam dan yang
lainnya, mereka tidak mengetahui Aqidah Ahmad bin Hambal, sehingga engkau
mendapati mereka dalam aqidahnya berada di atas madzhab Asy’ariyah atau
Mufawwidhah. Padahal Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang Salafi dan imam Ahlus
Sunnah wal Jama’ah. Beliau menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa takyif,
tamtsil dn tasybih.
Demikian juga pengikut madzhab Hanafiyah
yang tinggal di wilayah India, negara-negara a’jam, Turki, Asia Timur, dan
negara-negara Kaukasus serta lainnya. Kita mendapati mereka berada di atas
madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah furu’, namun mereka tidak berada di atas
madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah ushul. Mereka tidak beragama dengan
aqidah imam besar ini dalam permasalahan tauhid, nama dan sifat Allah.
Empat Imam besar ini (aimmat al-arba’ah)
tidak berbeda dalam masalah aqidah, tauhid dan ushul kecuali sedikit yang Abu
Hanifah tergelincir padanya. Yaitu dalam masalah iman, tetapi kemudian beliau
rujuk dan kembali kepada ajaran yang difahami para imam lainnya, seperti
Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal
[Diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad
bin Musa Al-Nashr, dalam pengantar pelajaran Aqidah Imam Syafi’i, yang
disampaikan dalam “Daurah Syar’iyah Lil Masa’il Al-Aqdiyah wal Manhajiyah”,
pada hari Kamis 7 Februari 2008M yang diadakan oleh Ma’had Aaliy Ali bin Abi
Thalib bekerja sama dengan Markaz Al-Albani, Yordania]
[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi
01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat
Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp.
0271-5891016]
Aqidah Imam Empat
Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
“Bagilah
masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang
ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini
disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir
abad 13 Hijriyah.
Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah
memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i.
Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya
shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.
Ini di antara contoh sekian banyak kasus
fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4].
Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza
wa Jalla berfirman:
وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ
تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً
فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada
tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat
Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah
mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang
bersaudara. [Ali ‘Imran/3 : 103].
Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi
para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah
yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?
Benar, ternyata banyak di antara para pengikut
Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun
secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para
pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau
lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah.
Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.
IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat
Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit
rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H – 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari
Madinah (hidup th 93 H – 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris
rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau
bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th
150 H – 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah
dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H – 241 H).
Empat ulama ini sangat masyhur di
kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.
AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama
Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu,
jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari
nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan,
atau perkataan manusia.
Mereka mempunyai pandangan yang jernih,
bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi
kedudukannya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku,
atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan
RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang
telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka apa yang ada
di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih
telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani
rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka
(Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka,
yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota
dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di
suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan
aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu
(aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan
perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya
engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka
nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah
itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]
Termasuk Imam Empat, mereka berada di
atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis
aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.
Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini
antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah
Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas
Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr.
Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.
IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata:
“Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam
kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah
Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku
akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan
perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan
meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”.
[Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As
Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im
Salim].
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321
H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang
kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan
perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di
atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi,
Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy
Syaibani, dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan
cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath
Thahawiyah]
As Subki rahimahullah memberikan komentar
terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini
–segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang
mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim
[7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq.
Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh
oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil
Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].
Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath
Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu
dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi
penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi.
Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz
dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam
syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di
dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para
ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.
IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas rahimahullah dikenal
sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau
yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam
(dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi)
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah
Ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ
وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا
Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk
kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam
itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]
Maka apa-apa yang pada hari itu bukan
agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]
Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani
rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah
risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama
lainnya.
IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah,
maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali
dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan
para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau salah satu dari mereka”.
[Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari
Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].
Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i
rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah
(yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman
kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -pen), sesuai dengan yang dikehendaki
utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat
371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah.
Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat
kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah
mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya,
dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah
shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10].
IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah
berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para
sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya, dan
meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]
Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin
Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah,
menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang
bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah:
“Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang
datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha
Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka.
Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau
mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama
dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah)
kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka
adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As
Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa
menyelisihi para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam
sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”.[11]
KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus
dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:
1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab
(pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para
imam.
Anggapan ini batil, sebagaimana telah
kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya,
anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah,
(tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah.
Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para
pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Ini adalah aqidah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Lihat
Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.
2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah
dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti
perbedaan di antara madzhab empat.
Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir
muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara
Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah,
madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna
‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu
Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana
kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu
Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat
bahwa mereka adalah ahli bid’ah.
Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam
Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah,
bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan
mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka
dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq.
Wallahul Musta’an.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi
03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl.
Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang
mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang
menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang
mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm.
171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah
(2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm.
73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah
dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy
Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam
Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al
Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5,
karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.
Kesamaan Aqidah Imam Empat
Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Abdurrahman
Al-Khumais
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik,
Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi,
sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada
perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat
untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah,
bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.
Mereka juga mengingkari para ahli kalam,
seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat
Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan,
“… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang
menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari
para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah Al-Qur’an, dan tentang
beriman kepada sifat-sifat Allah.
Mereka sepakat seperti keyakinan para
ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat,
Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan
pembenaran dalam hati dan lisan.[1]
Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para
imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka
mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah
itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik
yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang
banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits
bin Sa’ad, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.[2]
Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya
tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para
ulama Salaf seperti Imam Malik, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Ibnu
Al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti
aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam Al-Fudhal bin ‘Iyadh,
Imam Abu Sulaiman Ad-Darani, Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dan lain-lain.
Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula
Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan
sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah
para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai
dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [3]
Aqidah inilah yang dipilih oleh
Al-Allamah Shidiq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “ Madzhab kami adalaha
mazhab ulama Salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa
menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat
kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan
dengan sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam
Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al
Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai
ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam
diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan
As-Sunnah.”[4]
[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah
Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i,
Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama
Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
__________
Footnotes
[1]. Kitab Al-Iman, hal. 350-351, Dar
ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf Ats-tsamar, hal. 47-48
WAJIBKAH BERPEGANG PADA SALAH
SATU MADZHAB?
Dr Wahbah AzZuhaili dalam bukunya Ar Rukhas Asy Syar’iyyahmeletakkan satu judul: “Adakah beriltizam
dengan mazhab tertentu perkara yang dituntut syarak?” Beliau menyebut tiga
pendapat. Namun beliau telah mentarjihkan (memilih) pendapat yang menyatakan
tidak wajib.
Kata beliau, “Kata jumhur ulama: Tidak wajib bertaklid
kepada imam tertentu dalam semua masalah atau kejadian yang terjadi. Bahkan
boleh untuk seseorang bertaklid kepada mujtahid manapun yang dia mau. Jika dia beriltizam (berkomitmen, berpegang teguh) dengan mazhab tertentu,
seperti mazhab Abu Hanifah, atau Asy Syafi’i atau selainnya, maka tidak wajib
dia memegangnya terus-menerus. Bahkan boleh untuk dia berpindah-pindah mazhab.
Ini karena tiada yang wajib melainkan apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya.
Allah dan Rasul-Nya tidak pula mewajibkan seseorang bermazhab dengan mazhab
imam tertentu. Hanya yang Allah wajibkan ialah mengikut ulama, tanpa dibatasi
hanya tokoh tertentu, dan bukan yang lain.
Firman Allah: “Maka
bertanyalah kamu kepada Ahl al-Zikr jika kamu tidak mengetahui. “
Ini kerana mereka yang
bertanya fatwa pada zaman sahabat dan tabi’in tidak terikat dengan mazhab
tertentu. Bahkan mereka bertanya kepada siapa saja yang mampu tanpa terikat
dengan hanya seorang saja. Maka ini adalah ijmak (kesepakatan) dari mereka
baawa tidak wajib mengikut hanya seseorang imam, atau mengikut mazhab tertentu
dalam semua masalah.
Katanya lagi: “Kemudian, pendapat yang mewajibkan
beriltizam dengan mazhab tertentu membawa kepada kesusahan dan kesempitan,
sedangkan mazhab adalah nikmat, kelebihan dan rahmat. Inilah pendapat yang
paling kukuh di sisi ulama Ushul al Fiqh…Maka jelas dari pendapat ini, bahwa
yang paling shahih dan rajih di sisi ulama Usul al-Fiqh adalah tidak wajib
beriltizam dengan mazhab tertentu. Boleh menyelisihi imam mazhab yang dipegang
dan mengambil pendapat imam yang lain. Ini karena beriltizam dengan mazhab
bukan suatu kewajipan –seperti yang dijelaskan-. Berdasarkan ini, maka pada
asasnya tidak menjadi halangan sama sekali pada zaman ini untuk memilih
hukum-hakam yang telah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang berbeda tanpa terikat
dengan keseluruhan mazhab atau pendetailannya”. (silakan merujuk: Al-Zuhaili,
Dr Wahbah, al-Rukhas al-Syar’iyyah, halaman 17-19, Beirut: Dar al-Khair).