Syiah membenci
panglima Islam pembebas AL Aqsha ini karena Shalahuddin dianggap melenyapkan
Daulah Fathimiyah di Mesir
Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc
SEBAGIAN orang mengenal namanya Shalahuddin Al-Ayyubi. Bahasa Kurdish disebut
Silhedine Eyubi. Bahasa Parsina Selahuddin Eyyubi. Lahir pada 1137 atau 1138
Hijrah di Kurdi (Iraq), Shalahuddil al Ayyubi dikenal seorang anak bangsawan di
mana ayahnya, Najm ad-Din Ayyub adalah seorang gubernur atau penguasa di
wilayah Baalbeak. Ia mendapat latihan kemiliteran dari pamannya Asad ad-din
Shirkuh, seorang panglima perang kepada Nur al-Din
sebagai Pembebas al-Quds, Palestina, dari cengkraman Pasukan Salib. Padahal, masih
banyak sisi menarik yang bisa diulas dari sosok kelahiran Kurdi tersebut.
[Baca: Shalahuddin: Sang Pembebas al-Quds (1)] dan [Shalahuddin: Sang Pembebas
al-Quds (2)]
Salah satu contoh -tanpa mengurangi prestasi yang lain-, ia juga dikenal
sebagai salah satu tokoh penting dalam pembebasan Mesir dari Daulah tirani
Syiah Fathimiah (909–1171M).
Dalam sejarah (baca: Siyaru A`lām al-Nubalā`, karya Ad-Dzahabi, juz. 21, hal.
279) disebutkan bahwa ia bersama pamannya, Asad ad-Dīn Shīrkūh, diutus Nuruddin
Mahmud Zanki untuk membersihkan Mesir dari hegemoni Syiah Fathimiyah. Melalui
peristiwa tersebut, pada tulisan ini akan dipaparkan secara ringkas bagaimana
sikap Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap Syiah.
Sebagai pijakan pada masalah ini, terlebih dahulu diceritakan secara kronologis
peristiwa pra-pembebasan Mesir. Sebelum menguasai Mesir, daulah Fathimiyah
(Ubaidiyah) sudah berkuasa di daerah Maghrib (sekarang Maroko, Tunisia, Libya).
Selama berkuasa, mereka melakukan tindakan-tindakan yang sangat meresahkan. Di
antaranya: sikap ghuluw (berlebihan) para da`i terhadap Ubaidillah al-Mahdi
(yang dianggap Nabi, bahkan Tuhan), berlaku dzalim terhadap orang Sunni,
mengeksekusi setiap yang bersebrangan dengan pendapatnya, guru-guru Sunni
dilarang mengajar, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan,
melenyapkan karangan Ahlus Sunnah, membekukan beberapa syari`at, dan tindakan
anarkis lainnya (baca: Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa Juhūduhu fi al-Qadhā `alā
al-Daulah al-Fāthimiyah wa Tahrīru Baiti al-Maqdis, karya Syeikh Muhammad
Shallābi).
Tak hanya itu, Syiah kerap kali membuat onar, merusak akidah umat, bahkan
memecah-belah mereka. Ternyata, ketika menjadi penguasa di Mesir, tindakan
mereka tak berbeda jauh dari sebelumnya. Inilah beberapa faktor yang mendesak
Nuruddin Mahmud Zanki membebaskan Mesir dari pengaruh Syiah.
Hal itu sangat logis karena kala itu Syiah ibarat ‘duri dalam daging’. Misi
pembebasan Al-Quds, akan senantiasa terhalang jika sekte ini tidak dibersihkan
terlebih dahulu. Momen yang ditunggu pun tiba. Shawar bin Mujīr al-Sa`adi -yang
dimakzulkan secara paksa dari kursi kepemimpinan- lari ke Damaskus meminta
bantuan Nuruddin Zanki. Ia berjanji -kalau kembali memimpin- akan menjadi
wakilnya di Mesir. Tak tanggung-tanggung, ia siap memberikan sepertiga pendapatan
Mesir pertahun kepadanya.
Untuk mengemban misi besar ini, diutuslah Asad ad-Dīn Shīrkūh, bersama
Shalahuddin Al-Ayyubi. Singkat cerita, penguasa baru Mesir (Dhorghom bin
Tsa`labah yang bekerjasama dengan Raja Amauri I) bisa dikalahkan. Setelah kembali
berkuasa, ternyata watak asli Shawar tampak. Ia ingkar janji, memperlakukan
tentara dengan tidak baik, bahkan mengusir Asad ad-Dīn dan Shalahuddin beserta
rombongannya. Seperti inilah sikap Syiah di sepanjang sejarah. Ketika mereka
dalam kondisi tertindas, lemah, mereka akan menjilat dan pura-pura bersahabat,
namun ketika kuat, mereka akan bertindak semena-mena terhadap orang yang tak
sependapat. Pada ekspedisi awal ini, Asad ad-Dīn gagal dalam membebaskan Mesir.
Ia bersama Shalahuddin baru sukses menumbangkan Shawar pada ekspedisi militer
ketiga (564H/1169M).
Dengan segera, diangkatlah Asad ad-Dīn menjadi pemimpin. Tak lama setelah itu
(2 bulan 15 hari), ia pun meninggal dan digantikan oleh Shalahuddin al Ayyubi.
Selama menjadi pemimpin, Shalahuddin melakukan beberapa kebijakan. Di antaranya
adalah sikapnya terhadap kelompok Syiah.
Shalahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i. Tatkala
berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Shalahuddin berusaha keras untuk
menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan
mazhab Syiah.
Ia juga berlaku tegas dengan tidak mempekerjakan prajurit Syiah di Mesir.
Shalahuddin juga memerangi dan melawan ajaran-ajaran serta simbol-simbol mazhab
Syiah, mengisolir ulama Syiah bahkan menghentikan ibadah-ibadah Syiah. Di
antaranya adalah perayaan Asyura. Juga menghapus, ungkapan “Hayya ‘ala Khair
al-‘Amal” yang merupakan salah satu syiar mazhab Syiah dihapus dari azan.
Peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565 ini dicatat juga dicatat
kaum Syiah dalam kitab “Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Shalâhuddin
Ayyûbi”.
Untuk mengliminir Syiah, panglima yang dikenal sebagai Pembebas Baitul Maqdis
atau Masjid al-Aqsha ini menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah
rasyidun yang merupakan simbol Ahlus Sunnah disebutkan dalam setiap khutbah.
Juga pergantian hakim-hakim yang berasal dari Syiah dan menempatkan hakim-hakim
bermazhab Syafi’i sebagai mengganti hakim Syi’ah agar fikih Syafi’i dijalankan
di tengah masyarakat Mesir.
Shalahuddin sangat menentang orang-orang Syiah Mesir dan dengan menghancurkan
simbol-simbol dan syiar-syiar Syiah, ia berusaha memberangus Syiah hingga ke
akar-akarnya. Karena itu ia berusaha keras menyebarkan fikih Syafi’i dan
menyebarluaskan mazhab Syafi’I sebagai ganti mazhab Syiah Ismaliyyah.
Selama berkuasa, setidaknya ada lima sikap Shalahuddin Al Ayyubi menghadapi
kaum Syiah.
Pertama, meskipun ia tidak setuju dengan ideologi Syiah, tapi tetap berupaya
memberi penyadaran, bahkan ia masih menggunakan cara-cara penuh hikmah (baca:
al-nawādir al-sulthāniyah wa al-mahāsin al-yusufiyah, karya: Ibnu Syaddād).
Kedua, ia tidak mengubah Daulah Fathimiyah secara langsung, namun bertahap.
Ketiga, mengubah dengan cara persuasif melalui dialog intensif berdasarkan
hujjah yang kuat.
Keempat, mendirikan dan memperbanyak madrasah-madrasah Sunni, sebagai upaya
konkrit strategis untuk mengubah pandangan yang rusak.
Kelima, ketika mereka melakukan kudeta (seperti yang dilancarkan Umārah bin
Ali), maka Shalahuddin menindaknya dengan tegas.
Akibat sikap tegas Shalahuddin ini orang-orang Syiah sangat membenci panglima
Islam yang ditakuti Barat sepenjang sejarah ini. Kaum Syiah bahkan tak pernah
lupa bahwa Shalahuddin al-Ayyubi adalah yang dianggap melenyapkan Daulah Fathimiyah
(kerajaan Syiah) di Mesir karena memberikan tempat bagi Ahlus Sunnah wal
Jamaah. Tak heran, banyak usaha-usaha membunuh Shalahuddin Al Ayyubi.
Dari pengalaman sejarah Shalahuddin tersebut, ada banyak pelajaran yang
berharga yang bisa dijadikan acuan dalam menyikapi Syiah.
Pertama, sebagai muslim kita harus tetap waspada terhadap Syiah. Di sepanjang
sejarah, mereka kerap kali melakukan makar, kebohongan dan pemecahbelahan umat.
Kedua, persatuan antara Sunni dan Syiah sangat sulit –kalau tidak boleh dikatakan
mustahil- diwujudkan. Di samping karena ideologi berbeda, mereka juga punya
prinsip kitmān (menyembunyikan identitas) dan taqiyah (secara lahir mendukung,
sedangkan batin memusuhi) (lihat: Ushulul-Kāfi, karya al-Kulaini, hal.
282,485).
Ketiga, mengubah dengan cara-cara persuasif dan bertahap.
Keempat, membuat langkah konkrit dengan mendirikan lembaga keilmuan sebagai
benteng dari pengaruh ajaran Syiah, serta memperkuat basis keislaman dari
berbagai aspeknya.
Kelima, mengonsolidasikan persatuan umat Islam, serta kaderisasi ulama. Wallahu
a`lam bi al-shawāb.* (hidayatullah.com)