Friday, March 13, 2015

Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy, Asyaa’irah (Asy’ariyyah), dan Bahasan Pemalsuan Kitab Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah

Sebagaimana telah diketahui bersama, di akhir usia beliau kembali ke ‘aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah setelah puluhan tahun lamanya beliau tenggelam dalam ‘aqidah Mu’tazillah dan Kullabiyyah [lihat Wifaayatul-A’yaan oleh Ibnu Khalkaan Asy-Syaafi’iy 2/446, Al-Bidaayah wan-Nihaayah oleh Ibnu Katsir 11/187, Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa oleh Taajuddin As-Subkiy 2/246, dan yang lainnya]. Adalah keliru jika banyak kaum muslimin mengira beliau masih beraqidah Asy’ariyyah. Seorang imam ahli hadits dan pakar sejarah Islam yang diakui, Abu ‘Abdillah Syamsuddin Muhammad bin Ahmad bin ‘Utsman bin Qaimaz Ad-Dimasyqiy atau yang lebih dikenal dengan Adz-Dzahabiyrahimahullah, telah mengumpulkan beberapa riwayat dan nukilan ‘aqidah seputar sifat Allah menurut Ahlus-Sunnah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-‘Adhiim[1], diantaranya adalah ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Asy-Syaikh Al-Albanirahimahullah telah meringkas kitab tersebut dengan judul : Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
Pada kesempatan kali ini, saya akan coba tuliskan ‘aqidah Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah sebagaimana tertera dalam kitab Mukhtashar Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 236-243 (Penerbit Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H) atauAl-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar halaman 159-163 (Penerbit Al-Maktabah As-Salafiyyah, Cet. 2/1388 H) :
Abul-Hasan Al-Asy’ariy (260 – 324 H)
1.    Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan ‘Aliy bin Isma’il bin Abi Bisyr Al-Asy’ariy Al-Bashriy, seorang ahli ilmu kalam, dalam kitabnya yang berjudul Ikhtilaaful-Mushalliin[2] wa Maqaalatul-Islaamiyyin menyebutkan kelompok Khawarij, Rafidlah, Jahmiyyah, dan yang lainnya, hingga kemudian beliau menyebutkan pernyataan Ahlus-Sunah dan Ashhaabul-Hadiits (dalam ‘aqidah) :
جملة قولهم الإقرار بالله وملائكته وكتبه ورسله وبما جاء عن الله وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم لا يردون من ذلك شيئا. وأن الله على عرشه كما قال (الرحمن على العرش استوى) وأنه له يدين بلا كيف كما قال : (لما خلقت بيدي). وأن أسماء الله لا يقال إنها غير الله كما قالت المعتزلة والخوارج. وأقروا أن لله علما كما قال:  (أنزله بعلمه) (وما تحمل من أنثى ولا تضع إلا بعلمه). وأثبتوا السمع والبصر ولم ينفوا ذلك عن الله كما نفته المعتزلة. وقالوا : لا يكون في الأرض من خير وشر إلا ما شاء الله وأن الأشياء تكون بمشيئته كما قال تعالى : (وما تشاؤون إلا أن يشاء الله) إلى أن قال : ويقولون : [إن] القرآن كلام الله غير مخلوق.
ويصدقون بالأحاديث التي جاءت عن رسول الله صلى الله عليه وسلم : (إن الله ينزل إلى السماء الدنيا فيقول هل من مستغفر) كما جاء الحديث. ويقرون أن الله يجيء يوم القيامة كما قال : (وجاء ربك والملك صفا صفا) وأن الله يقرب من خلقه كما يشاء قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) إلى أن قال : فهذا جملة ما يأمرون به ويستعملونه ويرونه وبكل ما ذكرنا من قولهم نقول وإليه نذهب وما توفيقنا إلا بالله.
“Kesimpulan dari perkataan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) adalah pengakuan kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari Allah serta apa yang disampaikan oleh para perawitsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam; tanpa menolak sedikitpun dari semua hal itu. Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’(QS. Thaha : 5). Juga (Allah) mempunyai dua tangan, sebagaimana firman-Nya :‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya nama-nama Allah tidak dikatakan sebagai selain Allah seperti dikatakan Mu’tazilah dan Khawarij.
Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan bahwa Allah mempunyai ilmu, sebagaimana firman-Nya : ‘Allah menurunkannya dengan ilmu-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 166). ‘Dan tidak ada seorang perempuanpun mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya’ (QS. Fathir : 11). Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) juga menetapkan sifat mendengar serta melihat bagi Allah, dan tidak menafikkannya dari Allah sebagaimana Mu’tazillah telah menafikkannya. Mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) mengatakan : ‘Tidak ada satupun kebaikan dan kejelekan yang terjadi di muka bumi kecuali apa-apa yang telah dikehendaki Allah. Segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah’ (QS. At-Takwir : 29)”.
Hingga beliau (Al-Imam Asy-ariy rahimahullah) berkata : “Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) berkata : ‘Sesungguhnya Al-Qur’an adalah Kalamullah, bukan makhluk”.
Dan mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) membenarkan hadits-hadits yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Sesungguhnya Allah turun ke langit dunia, dan berfirman : Apakah ada orang yang memohon ampun (kepada-Ku) ?’; sebagaimana disebutkan dalam hadits. Mereka pun mengakui bahwa Allah akan datang pada hari kiamat sebagaimana firman-Nya : ‘Dan datanglah Tuhanmu, sedang malaikat berbaris-baris’ (QS. Al-Fajr : 22). Dan bahwasannya Allah dekat dengan makhluk-Nya seperti yang Dia kehendaki, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya’ (QS. Qaaf : 16)”.
Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah) berkata : “Ini semua adalah kesimpulan dari apa yang mereka (Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits) perintahkan dengannya, dan mereka amalkan dan berpendapat. Semua yang kami sebutkan dari perkataan mereka adalah juga yang kami katakan dan bermadzhab dengannya. Dan tidak ada yang memberikan taufiq kepada kita melainkan Allah”.[3]
2.    Al-Imam Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan dalam kitabnya di atas (yaitu :Maqaalatul-Islaamiyyiin) pada bab : ‘Apakah Allah berada di suatu tempat tertentu, atau tidak berada di suatu tempat, atau berada di setiap tempat ?’ ; maka beliau berkata :
إختلفوا في ذلك على سبع عشرة مقالة منها قال أهل السنة وأصحاب الحديث إنه ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وإنه على العرش كما قال : (الرحمن على العرش استوى). ولا نتقدم بين يدي الله بالقول، بل نقولاستوى بلا كيف وإن له يدين كما قال : (خلقت بيدي) وإنه ينزل إلى سماء الدنيا كما جاء في الحديث.
ثم قال : وقالت المعتزلة استوى على عرشه بمعنى إستولى وتأولوا اليد بمعنى النعمة وقوله تجري بأعيننا أي بعلمنا
“Mereka (para ulama) berbeda pendapat tentang permasalahan tersebut menjadi tujuh belas pendapat. Diantara pendapat-pendapat tersebut adalah pendapat Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits yang mengatakan bahwa Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’(QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Kuciptakan dengan kedua tangan-Ku’(QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Allah turun ke langit dunia sebagaimana yang terdapat dalam hadits”.
Kemudian beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata : “Mu’tazillah berkata : ‘Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya’ ; dengan makna menguasai (istilaa’). Dan mereka menta’wilkan pengertian tangan (Allah) dengan nikmat. (Dan juga menakwilkan) firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14), yaitu :  dengan ilmu Kami”.[4]
3.    Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata dalam kitabnya yang berjudul Jumalul-Maqaalaat :
رأيته بخط المحدث أبي علي بن شاذان فسرد نحوا من هذا الكلام في مقالة أصحاب الحديث. تركت إيراد ألفاظه خوف الإطالة والمعنى واحد
“Aku melihat tulisan Muhaddits Abu ‘Aliy bin Syaadzaa – lalu menuangkan perkataan yang semisal dengan di atas dalam (Bab) Maqaalaatu Ashhaabil-Hadiits. Aku tingalkan penyebutan lafadhnya karena khawatir akan menjadi panjang (pembahasannya), padahal maknanya adalah satu (sebagaimana telah disebutkan sebelumnya)”.
4.    Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitabnya Al-Ibaanah fii Ushuulid-Diyaanah, pada Baab Al-Istiwaa’ :
فإن قال قائل : ما تقولون في الإستواء ؟. قيل [له] نقول : نقول إن الله مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وقال : (إليه يصعد الكلم الطيب) وقال : (بل رفعه الله إليه) وقال حكاية عن فرعون : (وقال فرعون يا هامان ابن لي صرحا لعلي أبلغ الأسباب أسباب السموات فأطلع إلى إله موسى وإني لأظنه كاذبا). فكذب موسى في قوله : إن الله فوق السموات. وقال عزوجل : (أأمنتم من في السماء أن يخسف بكم الأرض) فالسموات فوقها العرش، فلما كان العرش فوق السموات. وكل ما علا فهو سماء، وليس إذا قال : (أأمنتم من في السماء) يعني جميع السموات، وإنما أراد العرش الذي هو أعلى السموات، ألا ترى أنه ذكر السموات فقال : (وجعل القمر فيهن نورا) ولم يرد أنه يملأهن جميعا، [وأنه فيهن جميعا]. قال : ورأينا المسلمين جميعا يرفعون أيديهم - إذا دعوا - نحو السماء لأن الله مستو على العرش الذي هو فوق السماوات، فلو لا أن الله على العرش لم يرفعوا أيديهم نحو العرش.
“Apabila seseorang bertanya : ‘Apa yang engkau katakan mengenai istiwaa’ ?’. Maka dikatakan kepadanya : ‘Kami mengatakan sesungguhnya Allah bersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). ‘Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik’ (QS. Fathir : 10). ‘Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya’ (QS. An-Nisaa’ : 158). Allah juga berfirman mengenai hikayat/cerita Fir’aun : ‘Dan berkatalah Firaun: "Hai Haman, buatkanlah bagiku sebuah bangunan yang tinggi supaya aku sampai ke pintu-pintu, (yaitu) pintu-pintu langit, supaya aku dapat melihat Tuhan Musa dan sesungguhnya aku memandangnya seorang pendusta" (QS. Al-Mukmin : 36-37). Fir’aun mendustakan Musa yang mengatakan : ‘Sesungguhnya Allah berada di atas langit’. Allah ‘azza wa jalla berfirman : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu’ (QS. Al-Mulk : 16). Yang berada di atas langit adalah ‘Arsy (dimana Allah bersemayam/ber-istiwaa’ di atasnya). Ketika ‘Arsy berada di atas langit, maka segala sesuatu yang berada di atas disebut langit (as-samaa’). Dan bukanlah yang dimaksud jika dikatakan : ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit’ ; yaitu semua langit, namun yang dimaksud adalah ‘Arsy yang berada di puncak semua langit. Tidakkah engkau melihat bahwasannya ketika Allah menyebutkan langit-langit, Dia berfirman : ‘Dan Allah menciptakan padanya bulan sebagai cahaya’ (QS.Nuuh : 16) ? Bukanlah yang dimaksud bahwa bulan memenuhi seluruh langit dan berada di seluruh langit”.
Beliau (Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah) melanjutkan : “Dan kami melihat seluruh kaum muslimin mengangkat tangan mereka – ketika berdoa – ke arah langit, karena (mereka berkeyakinan) bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) di ‘Arsy yang berada di atas semua langit. Jika saja Allah tidak berada di atas ‘Arsy, tentu mereka tidak akan mengarahkan tangan mereka ke arah ‘Arsy”.
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية : إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه، كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء، لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول : إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) : ‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan olehAhlul-Haq (Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan (mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’ di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata : ‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas ‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)”.
Kemudian Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah menyebutkan beberapa dalil dari Al-Kitab (Al-Qur’an), As-Sunnah, dan akal selain yang tersebut di atas.[5]
5.    Al-Imam Abu Bakr bin Faurak menukil perkataan di atas dari para ahli hadits, dari Abul-Hasan Al-Asy’ariy dalam kitab Al-Maqaalaatu wal-Khilaaf Bainal-Asy’ariy wa Baina Abi Muhammad ‘Abdillah bin Sa’iid bin Kullaab Al-Bashriy – tulisan Ibnu Faurak. Beliau (Ibnu Faurak) berkata :
الفصل الأول في ذكر ما حكى أبو الحسن رضي الله عنه في كتاب المقالات من جمل مذاهب أصحاب الحديث وما أبان في آخره أنه يقول بجميع ذلك.
 “Pasal Pertama : Penyebutan Apa-Apa yang Dihikayatkan Abul-Hasan Radliyallaahu ‘anhu dalam Kitab Al-Maqaalaat dari Kumpulan Pendapat Ashhaabul-Hadiits dan Apa yang Dijelaskan di Akhir Kitab tersebut Bahwa Beliau Mengatakan Keseluruhan Pendapat Tersebut.”
Ibnu Faurak kemudian menyatakan perkataan tersebut apa adanya, lalu berkata di bagian akhirnya :
فهذا تحقيق لك من ألفاظه أنه معتقد لهذه الأصول التي هي قواعد أصحاب الحديث وأساس توحيدهم
“Ini adalah satu penelitian bagi Anda dari perkataan Al-Asy’ariy bahwasannya beliau berkeyakinan dengan prinsip ini dimana hal itu merupakan kaidah yang dipegang oleh Ashhaabul-Hadiits dan pondasi bagi ketauhidan mereka”.
Telah berkata Al-Haafidh Abul-‘Abbas Ahmad bin Tsaabit Ath-Tharqiy[6] : Aku pernah membaca kitab Abul-Hasan Al-Asy’ariy yang berjudul Al-Ibaanah beberapa dalil yang menetapkan al-istiwaa’ (bersemayam). Beliau berkata dalam kesimpulan atas hal tersebut :
ومن دعاء أهل الإسلام إذا هم رغبوا إلى الله يقولون : يا ساكن العرش ومن حلفهم : لا والذي إحتجب بسبع.
“Termasuk salah satu doa orang Islam saat mereka berharap kepada Allah, mereka berkata : ‘Wahai yang penghuni ‘Arsy dan Dzat yang dijadikan sumpah oleh mereka’; tidak (dikatakan) : ‘Demi Dzat yang terhijab oleh tujuh langit”.[7]
6.    Telah berkata Al-Ustadz Abul-Qaasim Al-Qusyairiy rahimahullah dalam Syikaayatu Ahlis-Sunnah :
ما نقموا من أبي الحسن الأشعري إلا أنه قال بإثبات القدر، وإثبات صفات الجلال لله، من قدرته، وعلمه، وحياته، وسمعه، وبصره، ووجهه، ويده، وأن القرآن كلامه غير مخلوق.
سمعت أبا علي الدقاق يقول : سمعت زاهر بن أحمد الفقيه يقول مات الأشعري رحمه الله ورأسه في حجري فكان يقول شيئا في حال نزعه لعن الله المعتزلة موهوا ومخرقوا
“Tidaklah mereka membenci Abul-Hasan Al-Asy’ariy kecuali karena ia telah menetapkan adanya qadar, menetapkan sifat keagungan bagi Allah, mulai dari kekuasaan-Nya, ilmu-Nya, hidup-Nya, pendengaran-Nya, penglihatan-Nya, wajah-Nya, tangan-Nya, dan bahwasannya Al-Qur’an adalah kalamullah, bukan makhluk.
Aku pernah mendengar Abu ‘Aliy Ad-Daqaaq berkata : Aku pernah mendengar Zaahir bin Ahmad Al-Faqiih berkata : ‘Ketika Al-Asy’ariy rahimahullah menjelang wafat, kepalanya berada di pangkuanku, maka beliau mengatakan : ‘Semoga Allah melaknat Mu’tazillah. Mereka telah tertipu dan telah berdusta”.[8]
7.    Telah berkata Al-Haafidh Al-Hujjah Abul-Qaasim bin Al-‘Asaakir dalam kitabnyaTabyiinu Kadzibil-Muftariy fii maa Nusiba ilaa Al-Asy’ariy :
فإذا كان أبو الحسن رحمه الله كما ذكر عنه من حسن الإعتقاد، مستصوب المذهب عند أهل المعرفة والإنتقاد، يوافقه في أكثر ما يذهب إليه أكابر العباد، ولا يقدح في مذهبه غير أهل الجهل والعناد، فلا بد أن يحكى عنه معتقده على وجهه بالأمانة، ليعلم حاله في صحة عقيدته في الديانة، فاسمع ما ذكره في كتاب الإبانة فإنه قال : ((الحمد لله الواحد العزيز الماجد، المتفرد بالتوحيد، المتمجد بالتمجيد، الذي لا تبلغه صفات العبيد، وليس له مثل ولا نديد....)). فرد في خطبته على المعتزلة والقدرية والجهمية [والرافضة. إلى أن قال : فإن قال قائل : قد أنكر تم قول المعتزلة والقدرية والجهمية] والحرورية والرافضة والمرجئة، فعرفونا ما قولكم الذي تقولون، وديانتكم التي بها تدينون ؟ قيل له : قولنا الذي به نقول، وديانتنا التي بها ندين، التمسك بكتاب الله وسنة نبيه صلى الله عليه وسلم، وما روي عن الصحابة والتابعين وأئمة الحديث، ونحن بذلك معتصمون، وبما كان عليه أحمد بن حنبل نضر الله وجهه قائلون، ولمن خالف قوله مجانبون، لأنه الإمام الفاضل، والرئيس الكامل، الذي أبان الله به الحق عند ظهور الضلال، وأوضح به المنهاج، وقمع به المبتدعين، فرحمه الله من إمام مقدم، وكبير مفهم وعلى جميع أئمة المسلمين.
“Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, sebagaimana telah disebutkan dari beliau, adalah seorang yang mempunyai keyakinan (i’tiqad) yang baik, sesuai dengan madzhab yang ditempuh para ulama, dimana sebagian besar perkataannya mencocoki madzhab mereka (para ulama). Tidak ada yang mencela madzhabnya[9]kecuali dari kalangan orang-orang bodoh dan ingkar. Maka, sudah seharusnya bagi seseorang yang ingin menjelaskan i'tiqadnya disertai rasa amanah agar dapat diketahui kebenaran ‘aqidahnya dalam perkara agama. Maka, dengarkanlah apa yang telah ia sebutkan dalam kitabnya yang berjudul Al-Ibaanah : ‘Segala puji bagi Allah Yang Maha Esa, Maha Agung, dan Maha Terpuji. Yang sendiri dengan keesaan-Nya, yang terpuji dengan pujian, yang tidak sampai kepada-Nya sifat-sifat hamba, dan tidak ada kesamaan maupun tandingan bagi-Nya…”.
Beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) membantah dalam khutbahnya kepada Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Raafidlah. Hingga kemudian beliau berkata : Apabila ada seseorang mengatakan jika engkau telah mengingkari/membantah secara lengkap perkataan Mu’tazillah, Qadariyyah, Jahmiyyah, Haruriyyah/Khawarij, Raafidlah, dan Murji’ah; maka beritahukanlah kepada kami tentang perkataan yang menjadi pendapat dan agama bagimu ! Maka katakanlah padanya : ‘Perkataan yang kami katakan dan agama yang kami anut adalah berpegang-teguh kepada Kitabullah (Al-Qur’an), Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dan apa-apa yang diriwayatkan dari shahabat, tabi’in, serta para imam ahli-hadits. Kami berpegang teguh terhadap hal itu. Dan juga, dengan agama (pemahaman) yang Ahmad bin Hanbal berada di atasnya – semoga Allah membaguskan wajahnya. Barangsiapa yang menyelisihi perkataannya (Ahmad bin Hanbal) adalah para pembangkang, karena ia adalah seorang imam yang utama dan pemimpin yang sempurna dimana Allah telah memberikan penjelasan kebenaran melalui perantaraannya di saat muncul kesesatan. Melalui perantaraannya, Allah juga telah menjelaskan manhaj yang benar dan membungkam ahlul-bida’. Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada imam yang unggul dan agung, serta kepada seluruh imam-imam kaum muslimin.
وجملة قولنا : أن نقر بالله وملائكته وكتبه ورسله، وما جاء من عند الله، وما رواه الثقات عن رسول الله صلى الله عليه وسلم، لا نرد من ذلك شيئا، وأن الله إله واحد فرد صمد، لا إله غيره، وأن محمدا عبده ورسوله، وأن الجنة والنار حق، وأن الساعة آتية لا ريب فيها، وأن الله يبعث من في القبور، وأن الله تعالى مستو على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى) وأن له وجها كما قال : (ويبقى وجه ربك) وأنه له يدين كما قال : (بل يداه مبسوطتان) وأن له عينين بلا كيف كما قال : (تجري بأعيننا) وأن من زعم أن اسم الله غيره كان ضالا، وندين أن الله يرى بالأبصار يوم القيامة كما يرى القمر ليلة البدر، يراه المؤمنون - إلى أن قال :
وندين بأنه يقلب القلوب، وأن القلوب بين إصبعين من أصابعه، وأنه يضع السموات والأرض على إصبع، كما جاء في الحديث، - إلى أن قال : -
وأنه يقرب من خلقه كيف شاء كما قال : (ونحن أقرب إليه من حبل الوريد) وكما قال : (ثم دنا فتدلى فكان قاب قوسين أو أدنى) ونرى مفارقة كل داعية إلى بدعة، ومجانبة أهل الأهواء، وسنحتج لما ذكرناه من قولنا وما بقي [منه] بابا بابا، وشيئا شيئا.
Dan kesimpulan perkataan kami adalah : ‘Kami mengakui Allah, para malaikat-Nya. Kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, dan apa-apa yang datang dari sisi Allah, serta apa-apa yang diriwayatkan oleh para perawi tsiqaat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak menolak satupun dari hal tersebut sedikitpun. Dan bahwasannya Allah adalah Tuhan yang Esa, tempat bergantung, tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Dia. Dan bahwasannya Muhammad adalah hamba sekaligus utusan-Nya, surga dan neraka adalah haq (benar), kiamat akan datang tanpa ada keraguan di dalamnya, Allah akan membangkitkan manusia dari kuburnya, Allah ta’alabersemayam (istiwaa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Allah mempunyai wajah, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’(QS. Ar-Rahmaan : 27). Allah mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya :‘Tetapi kedua tangan Allah terbuka’ (QS. Al-Maaidah : 64). Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14). Dan barangsiapa yang berkeyakinan bahwa nama Allah bukanlah Allah, maka ia adalah orang yang sesat. Kami meyakini bahwa Allah kelak akan dilihat dengan penglihatan (mata) pada hari kiamat oleh kaum mukminin sebagaimana dilihatnya bulan di malam purnama”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
Kami berkeyakinan bahwasannya Allah membolak-balikkan hati, dan hati-hati manusia itu berada di antara dua jari di antara jari-jari Allah. Juga, bahwasannya Allah meletakkan semua langit dan bumi di atas satu jari, sebagaimana tercantum dalam hadits”. Hingga beliau (Al-Imam Al-Asy’ariy) berkata :
“Dan bahwasannya Allah itu dekat dengan makhluk-Nya dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya : ‘Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat kehernya’(QS. Qaaf : 16). ‘Kemudian dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi, maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak) dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi)’(QS. An-Najm : 8-9). Sedangkan di sisi lain kami melihat jauhnya setiap penyeru bid’ah dan pengikut hawa nafsu (dari agama dan pemahaman yang benar ini). Kami akan berhujjah (berargumentasi) dengan apa yang telah kami sebutkan tadi bab per bab secara rinci”.
Kemudian Ibnu ‘Asakir berkata :
فتأملوا رحمكم الله هذا الإعتقاد ما أوضحه وأبينه، واعترفوا بفضل هذا الإمام الذي شرحه وبينه.
“Maka renungkanlah – semoga Allah memberikan rahmat kepada kalian – i’tiqad/keyakinan ini. Alangkah terang dan jelasnya keyakinan ini. Dan hendaknya kalian mengakui keutamaan imam ini (yaitu Abul-Hasan Al-Asy’ariy) yang telah menjelaskan dan menerangkannya (kepada kalian semua)”.[10]
8.    Telah berkata Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir : “Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy telah berkata dalam kitabnya yang berjudul Al-‘Imad fir-Ru’yah :
ألفنا كتابا كبيرا في الصفات تكلمنا فيه على أصناف المعتزلة والجهمية، فيه فنون كثيرة من الصفات في إثبات الوجه واليدين، وفي إستوائه على العرش.
كان أبو الحسن أولا معتزليا أخذ عن أبي علي الجبائي، ثم نابذه ورد عليه، وصار متكلما للسنة، ووافق أئمة الحديث في جمهور ما يقولونه، وهو ما سقناه عنه من أنه نقل إجماعهم على ذلك وأنه موافقهم. وكان يتوقد ذكاء، أخذ علم الأثر عن الحافظ زكريا الساجي. وتوفي سنة أربع وعشرين وثلاثمائة، وله أربع وستون سنة رحمه الله تعالى.
“Kami telah menulis satu kitab besar dalam permasalahan sifat-sifat (Allah) dimana kami berbicara dari sudut pandang kelompok Mu’tazillah dan Jahmiyyah. Padanya terdapat berbagai macam pembahasan sifat dalam penetapan wajah dan dua tangan, serta istiwaa’-Nya di atas ‘Arsy”.[11]
Abul-Hasan Hasan pada mulanya adalah seorang Mu’tazillah yang mengambil pemahaman dari Abu ‘Ali Al-Juba’iy. Kemudian beliau meninggalkannya dan menolaknya serta berpaling menjadi seorang mutakallim (ahli ilmu kalam) Sunah. Para imam ahli hadits menyepakati sebagian besar apa yang dikatakannya. Demikianlah yang kami tuturkan dari beliau, bahwasannya beliau mengutip ijma’ mereka dan setuju dengan pendapat mereka. Beliau adalah orang yang cerdas, mempelajari ilmu atsar (hadits) dari Al-Haafidh Zakariyyah As-Saajiy. Beliau wafat pada tahun 324 H dalam usia 64 tahun. Semoga Allah memberikan rahmat kepada beliau”.
[selesai]
https://www.scribd.com/doc/16205688/Kitab-Al-Ulluw
lihat sumber diatas
lihat sumber diatas
Dapat kita lihat dari keterangan di atas bahwa manhaj Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariyrahimahullah sangat berbeda dengam kaum Asy’ariyyah (Asyaa’irah). Beliau telah menetapkan sifat-sifat Allah ta’ala yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah sebagaimana dhahirnya. Beliau rahimahullah menetapkan sifat istiwaa’, tangan, wajah, turun, dan yang lainnya. Bahkan yang menunjukkan manhaj beliau yang bertolak belakang dengan kaum Asy’ariyyah adalah pengingkaran beliau tentang ta’wilistiwaa’ dengan istilaa’ (menguasai) atau tangan dengan nikmat. Keyakinan ini adalah keyakinan Mu’tazillah dimana beliau dulu pernah berkeyakinan dengannya. Oleh sebab itu, keyakinan/’aqidah kaum Asy’ariyyah yang ada sekarang ini (dimana mereka gemar menta’wilkan sifat-sifat Allah – dan ini diingkari oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy) adalah keyakinan Mu’tazillah yang telah beliau tinggalkan sebelum taubatnya.
‘Wahabi’ Telah Memalsukan Kitab Al-Ibaanah ?
Ini adalah tuduhan yang getol dikampanyekan oleh kaum Asy’ariyyah kepada Ahlus-Sunnah. Sebelum ini mereka menolak penisbatan kitab Al-Ibaanah kepada Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Namun karena bukti-bukti yang ada sedemikian kuat menunjukkan bahwa kitab tersebut memang benar-benar karya Al-Imam Al-Asy’ariy[12], maka mereka beralih kepada tuduhan lain tentang adanya pemalsuan kitab tersebut. Saya ambil sedikit contoh dari perkataan mereka (yaitu perkataan orang yang sangat benci kepada dakwah salaf :  Abu Syafiq Al-Ahbasyiy - yang kemudian banyak ditaqlidi oleh seorang jahil yang menamakan dirinya Salafytobat) :
Al-Allamah al-Kauthari ada menyatakan pada pada muqaddimah kitab tabyin kizb al-muftari : Naskhah kitab al-Ibanah yang dicetak di India adalah merupakan naskhah yang telah dipalsukan sebahagian dari isinya, adalah menjadi kewajipan untuk mencetak semula sebagaimana yang asal dari manuskrip yang dipercayai.
Dr Abd rahman Badawi didalam kitabnya berjodol mazahib islamiyyin menyokong pandangan al-Kauthari dengan katanya :
Apa yang telah disebut oleh al-Kauthari adalah merupakan suatu yang benar , dimana kitab al-Ibanah telah dicetak semula di India dengan permainan pehak-pehak jahat
Kita katakan :
Bagaimana bisa Al-Kautsariy (yang kemudian diamini oleh Abdurrahman Badawiy) mengatakan bahwa manuskrip yang ada di India adalah cetakan yang salah padahal ia tidak melakukan perbandingan dan penelitian di antara manuskrip-manuskrip yang ada ? Tidak lain ia mengatakan hal itu karena bertentangan dengan ‘aqidahnya yang Jahmiyyah. Bagi para peneliti, tentu tidak asing bagaimana talbis yang biasa dilakukan oleh Al-Kautsari ini, sebagaimana ia lakukan pada kitab Al-Baihaqiy yang berjudul Al-Asmaa’ wash-Shifaat. Sudah sangat dimaklumi bahwa tahqiq (penelitian) kitab tidaklah berkembang di kalangan ahlul-bida’. Mereka banyak menghukumi bukan berdasarkan ilmu, namun hanya berdasarkan hawa nafsu. Memang benar ada beberapa ‘kekeliruan’ pada manuskrip di India, namun itu jumlahnya sedikit. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy hafidhahullah telah menulis desertasi S3 tentang kitab Al-Ibaanah. Beliau banyak menelaah beberapa manuskrip kitab Al-Ibaanah diantaranya : Manuskrip yang tersimpan di Daarul-Kutub Al-Quumiyyah Al-Mishriyyah di Kairo, bernomor 107 & 377; manuskrip Hindiyyah yang tersimpan di Maktabah Jaami’ah ‘Utsmaniyyah di Heidar-Abad, nomor 502; manuskrip yang tersimpan di Maktabah Azhariyyah, nomor 904; dan lain-lain. Juga beberapa cetakan dari beberapa penerbit seperti : Cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud, Cet. Daarul-Bayan Beirut dengan pentahqiq Basyir ‘Uyuun, Cet. Daarun-Nafaais Beirut dengan pentahqiq ‘Abbas Shabbaagh, dan yang lainnya.
Oleh karena itu, perkataan mereka (= Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) :
Setelah merujuk kepada semua cetakan kitab Al-Ibanah
adalah merupakan bualan semata. Kita ketahui bahwa seorang Abu Syafiq Al-Ahbasyiy tidak mempunyai kapasitas sebagai seorang pentahqiq. Selain disebabkan banyaknya kedustaan yang telah ia lakukan dalam banyak tulisannya, juga perlu kita tanyakan : ‘Dari mana ia mendapati semua cetakan ataupun manuskrip kitab Al-Ibaanah sebagai bahan untuk men-tahqiq satu kitab ? Sedangkan dalam tulisannya hanya tersebut dua cetakan saja (yaitu Cet. Dr. Fauqiyyah dan Cet. Universitas Islam Madinah !?! Bagaimana ia bisa melakukan perbandingan dan penelitian ?
Ia (Abu Syafiq Al-Ahbasyiy) mengatakan :
Bahkan tertera pada cetakan kitab Al-Ibanah ‘An Usuli Ad-Diyanah oleh Imam Abu Hasan Al-Asya’ry yang diTahkik Oleh Dr. Fauqiyah Husain Mahmoud , Prof Di Universiti ‘ain Syam Kaherah Mesir cetakan 2 Tahun 1987 M didapati dalam kitab Al-Ibanah tersebut Al-Imam Abu Hasan Al-Asya’ary menyatakan : ‘Istiwa Allah bukan bersentuhan, bukan menetap, bukan mengambil tempat, bukan meliputi Arasy, bukan bertukar tempat, bukanlah Allah diangkat oleh Arasy bahkan Arasy dan malaikat pemikul arasy-lah yang diangkat oleh Allah dengan kekuasaan-Nya, dan mereka dikuasai oleh Allah dengan keagungan-Nya”
Pernyataannya dan nukilannya ini justru semakin memperjelas pernyataan bahwa Abu Syafiq bukan merupakan orang berilmu yang mempunyai kemampuan melakukan penelitian terhadap kitab para ulama. Ia hanya membaca, menukil, dan membenarkan satu pernyataan yang berkesesuaian dengan hawa nafsunya.
Saya katakan : Justru cetakan Dr. Fauqiyyah Mahmud yang ia nukil – dan kemudian ia benarkan – tersebut merupakan cetakan yang terdapat banyak kekeliruan. Termasuk diantaranya adalah kalimat yang ia nukil di atas. Kalimat yang ia nukil tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam manuskrip yang mahfudh. Perhatikan lafadh cetakan Dr. Fauqiyyah di bawah :
وأن الله تعالى استوى على العرش على الوجه الذي قاله وبالمعنى الذي أراده استواء منزها عن الممارسة والاستقرار والتمكن والحلول والانتقال لا يحمله العرش، بل العرش وحملته محمولون بلطف قدرته ومقهورون في قبضته وهو فوق العرش وفوق كل شيء إلى تخوم الثرى فوقية لا تزيده قربا إلى العرش والسماء بل هو رفيع الدرجات عن العرش كما أنه رفيع الدرجات عن الثرى وهو مع ذلك قريب من كل موجود وهو أقرب إلى العبد من حبل الوريد وهو على كل شيء شهيد
“Dan bahwasannya Allah ta’ala ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy dalam bentuk sebagaimana yang Ia firmankan. Adapun makna istiwaa’ sebagaimana yang dimaksudkan adalah : Terbebas dari bersentuhan, menetap, bertempat tinggal, mendiami, serta berpindah (tempat).  ‘Arsy tidak membawa/mengangkat Allah, namun ‘Arsy dan malaikat pemikulnya lah yang dibawa/diangkat oleh Allah dengan kekuasaannya, serta dikuasai dalam genggaman-Nya; sedangkan Ia berada di atas ‘Arsy. Dan Allah berada di atas segala sesuatu. Keberadaan Allah di atas segala sesuatu (fauqiyyah) tidaklah menambah dekat kepada ‘Arsy dan langit. Namun hal itu menunjukkan makna tingginya kedudukan Allah dari ‘Arsy sebagaimana juga ketinggian kedudukan Allah dari muka bumi. Bersamaan dengan itu, Allah sangat dekat dengan segala sesuatu. Dia lebih dekat dengan hamba dari urat lehernya. Dan Allah Maha Menyaksikan atas segala sesuatu” [selesai].
Yang mahfudh dari perkataan Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullahsebagaimana terdapat dalam beberapa manuskrip – sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiy dalam desertasinya – adalah sebagai berikut :
وأن الله استوى على عرشه كما قال : (الرحمن على العرش استوى).
“Dan bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5)” [lihat Al-Ibaanah ‘an Ushuulid-Diyaanah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ary hal. 9; Daar Ibni Zaiduun, Cet. 1] – perhatikan kalimat yang saya garis bawah !!
Apalagi hal itu dikuatkan dari nukilan Adz-Dzahabi rahimahullah dalam kitab Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar sebagaimana telah lewat penyebutannya - yang persis seperti kalimat di atas tanpa ada penambahan. Hal yang sama oleh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiin Kadzibil-Muftariy hal. 158[13]; Ibnu Taimiyyah dalam Majmu’ Al-Fataawaa 5/142,Dar’ut-Ta’arudl Al-‘Aql wan-Naql 7/104, dan Bayaan Talbiisil-Jahmiyyah 2/15; Ibnul-Qayyim dalam Ijtimaa’ul-Juyuusy Al-Islaamiyyah hal. 169; Ibnul-‘Imad dalamSyadzdzaraatudz-Dzahab 2/304; Al-Alusiy dalam Ruuhul-Ma’aaniy 1/60 (dengan peringkasan); ‘Abdul-Baqiy Al-Hanbaliy dalam Al-‘Ain wal-Atsar fii Mawaahibi Ahlil-Atsarhal. 111; dan lain-lain – dimana semua menukil/menyebutkan tanpa adanya penambahan kalimat dalam cetakan Dr. Fauqiyyah.
Perlu diketahui bahwa kalimat tambahan di atas hanya ada dalam naskah/manuskrip yang terdapat di Iskandariyyah yang kemudian dijadikan acuan dalam cetakan Dr. Fauqiyyah. Adapun dalam naskah-naskah (manuskrip) yang lain tidak terdapat tambahan kalimat tersebut. Selain itu, kelemahan naskah/manuskrip ini adalah tidak diketahuinya siapa yang menulisnya/menyalinnya dan tanggal penulisannya. Banyak hal yang menunjukkan kelemahan tambahan ini. Apalagi tambahan lafadh tersebut merupakan gaya khas Mu’tazilah yang banyak melakukan ta’wil (seperti Asy’ariyyuun) dimana madzhab ini telah ditinggalkan – dan bahkan dicela – oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah. Kuat penunjukkannya adanya tambahan ini berasal dari Al-Ghazaliy rahimahullah, karena tambahan lafadh ini hanya tertulis dalam tiga buah kitabnya, yaitu : Ihyaa ‘Uluumiddin 1/90, Al-Arba’iin fii Ushuuliddiin hal. 7-8, danQawaaidul-‘Aqaaid hal. 52.
Scan kitab Al-Ibaanah hal. 9 (Daar Ibni Zaiduun) dapat dilihat di bawah :
                                   
Kalangan salaf rahimahullah telah sepakat bahwa Allah ta’ala ber-istiwaa’ (bersemayam) di atas ‘Arsy dan tidak ada sesuatu apapun yang tersembunyi dari-Nya di antara perbuatan-perbuatan mereka. Makna istiwaa’ Allah adalah hakiki, bukan seperti istiwaa’(bersemayam)-nya makhluk.
Dalam menafsirkan kata istiwaa’, kalangan salaf mempunyai empat ungkapan : al-‘ulluw(ketinggian), al-irtifa’ (meninggi), as-su’uud (naik), dan al-istiqrar (menetap). Allah ber-istiwaa’ di atas ‘Arsy bukan karena Dia membutuhkan ‘Arsy.
Banyak dalil yang mendasari tentang ‘aqidah ini, diantaranya :
Firman Allah ta’ala :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy” [QS. Al-A’raf : 54].
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ يُدَبِّرُ الأمْرَ
“Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan” [QS. Yunus : 3].
وَهُوَ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلا
“Dan Dia-lah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan adalah ‘Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya”[QS. Huud : 7].
Juga sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam :
إن الله لما قضى الخلق، كتب عنده فوق عرشه: إن رحمتي سبقت غضبي
“Sesungguhnya Allah ketika Dia selesai menciptakan ciptaan-Nya, Dia menulis di sisi-Nya di atas ‘Arsy-Nya : Sesungguhnya rahmat-Ku mendahului murka-Ku” [HR. Al-Bukhari no. 7422 dan Muslim no. 2751].
عن أنس قال : فكانت زينب تفخر على أزواج النبي صلى الله عليه وسلم تقول: زوَّجكنَّ أهاليكنَّ، وزوجني الله تعالى من فوق سبع سماوات
Dari Anas ia berkata : Adalah Zainab membanggakan dirinya atas istri-istri Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata : “Yang menikahkan kamu (dengan Nabi) adalah keluarga-keluargamu, sedangkan yang menikahkan aku adalah Allah ta’ala yang berada di atas tujuh langit” [HR. Al-Bukhari no. 7420].
Diriwayatkan oleh Syaikhul-Islaam Abul-Hasan Al-Hakariy dan Al-Haafidh Abu Muhammad Al-Maqdisiy melalui isnad mereka yang sampai kepada Abu Tsaur dan Abu Syu’aib; mereka berdua dari Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syaafi’iy, seorang pembela hadits rahimahullah. Beliau berkata :
القول في السنة التي أنا عليها، ورأيت عليها الذين رأيتهم، مثل سفيان ومالك وغيرهما، الإقرار بشهادة أن لا إله إلا الله، وأن محمدا رسول الله، وأن الله على عرشه في سمائه، يقرب من خلقه كيف شاء، وينزل إلى السماء الدنيا كيف شاء.... وذكر سائر الاعتقاد.
“Pendapatku tentang Sunnah, dimana aku berpegang kepadanya, dan juga berpegang kepadanya orang-orang yang aku lihat semisal Sufyan, Malik, dan lain-lain; yaitu pengakuan terhadap persaksian bahwa tidak ada tuhan yang berhak untuk disembah selain Allah dan bahwa Muhammad itu utusan Allah, dan bahwa Allah itu berada di atas ‘Arsy-Nya yang ada di langit-Nya. Dia mendekat kepada makhluk-Nya menurut apa yang Dia kehendaki dan turun ke langit terendah menurut apa yang Dia kehendaki”. Lalu beliau (Al-Imam Asy-Syafi’iy) pun menyebutkan seleuruh i’tiqad-nya” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 176].
Oleh karena itu, makna istiwaa’ adalah sebagaimana dhahirnya. Bukan di-ta’wil denganistilaa’ (menguasai) sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah – yang hal ini justru dibantah oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah dalam kitab Al-Ibaanah dan Maqaalatul-Islaamiyyiin, sebagaimana telah berlalu penyebutannya.
Mereka (ahlul-bida’) juga berkata :
Para pengkaji mendapati dua pasal dari kitab al-Ibanah yang telah dimuatkan di dalam kitab tabyin kizb al-muftari karangan Imam Ibnu Asakir dan kitab al-Ibanah yang berada dipasaran ternyata dengan jelas terdapat pemalsuan.
Contoh pemalsuan kitab al-Ibanah:
Kitab Ibanah yang berada dipasaran : halaman 16 (وأنكروا أن يكون له عينان…. )
Kalimah عينان dengan lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibanah cetakkan Dr Fauqiyyah : halaman 22 (وأن له عينين بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan juga adalah dari lafaz tathniah(menunjukkan dua).
Kitab Ibnu Asakir halaman 158 : (وأن له عينا بلا كيف….)
Kalimah yang digunakan adalah lafaz mufrad ( satu )
Kalimah mufrad adalah bertepatan dan tidak bertentangan dengan al-Kitab ,al-Sunnah dan pendapat-pendapat salaf.Ini kerana lafaz عينين tidak warid (datang) di dalam al-Kitab dan al-Sunnah. Ini kerana menduakan kalimah عين adalah dianggap mengkiaskan Allah dengan makhluk yang sesuatu yang dapat disaksikan secara zahir .Maha suci Allah dari yang demikian itu.
Ini adalah satu kedustaan sekaligus kejahilan dari si empunya kalam. Orang ini – dengan tulisannya di atas – semakin menunjukkan minimnya pengetahuan yang dimiliki. Namun sungguh disayangkan jika ia berpuas diri dengan statement tanpa arti.
Sudah sangat lazim bahwa di alam percetakan kitab terdapat banyak perbedaan lafadh. Jangan buru-buru menuduh adanya pemalsuan. Mungkin disebabkan oleh faktor teknis pencetakan ataupun memang perbedaan manuskrip yang dijadikan acuan. Ini terjadi dalam cetakan kitab para ulama. Misalnya, tahqiq yang dilakukan oleh Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Mahmud Syaakir – ahli hadits Mesir -  terhadap Tafsir Ath-Thabariy; Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth terhadap Jaami’ul-Ulum wal-Hikaam; Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman terhadap Al-I’tishaam lisy-Syaathibi; dan yang lainnya yang semuanya menjelaskan pada kita adanya perbedaan lafadh dalam beberapa cetakan kitab yang beredar. Kemudian, para muhaqqiq tersebut melakukan tashhih(koreksi) atas beberapa manuskrip atau cetakan yang ada untuk menghasilkan satu matan kitab yang sesuai dengan aslinya.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan ahlul-bid’ah yang jarang/tidak pernah melakukan penelitian, sebagaimana telah dikatakan sebelumnya. Jika ia menemukan perbedaan lafadh dalam satu cetakan kitab, maka ia pilih yang sesuai dengan hawa nafsunya serta melemparkan tuduhan kepada pihak yang beseberangan dengannya sebagai pihak yang telah memalsukan kitab.
Kembali kepada kitab Al-Ibaanah, jika yang dipermasalahkan adalah kata mata/‘ain(عَيْنٌ) yang merupakan salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah – apakah ia berbentukmufrad (tunggal) atau mutsanna (mempunyai pengertian dua) –, maka seharusnya kita kembalikan kepada matan kitab Al-Ibaanah itu sendiri. Segala nukilan yang ada di kitab lain, maka itu bukan menjadi acuan utama. Bahkan jika ada perbedaan antara nukilan dengan matan kitab asli, kita harus mengembalikannya kepada matan kitab asli dan mengoreksi nukilan tersebut. Tidak terkecuali dalam permasalahan ini. Terdapat perbedaan lafadh dari manuskrip yang ada. Dr. Shaalih bin Muqbil Al-‘Ashimiyhafidhahullah dalam desertasinya terhadap kitab Al-Ibaanah telah menjelaskan bahwa bentuk mufrad (tunggal) memang terdapat dalam salah satu naskah/manuskrip. Namun dalam naskah/manuskrip lainnya menggunakan bentuk mutsannaa (عَيْنَيْنِ). Dan inilah yang mu’tamad (sah) :
وأن له سبحانه عينين بلا كيف كما قال سبحانه : ( تجري بأعيننا ) من الآية ( 14 )
“Allah mempunyai dua mata tanpa ditanyakan bagaimananya, sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14)”.
Dan seperti itulahlah yang dinukil oleh Adz-Dzahabi dalam Al-‘Ulluw (hal. 262) dari kitabAt-Tabyiin karangan Ibnu ‘Asaakir (sebagaimana telah disebutkan di atas).
Kalaulah hal ini dianggap sebagai satu perbedaan, maka perbedaan ini tidaklah bertentangan karena Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah ingin menetapkan sifat ‘ain/mata pada Allah ta’ala – dimana hal itu dinafikkan oleh Asy’ariyyah dan semisalnya.
Dalam Al-Qur’an, kata ‘ain disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepadadlamir mufrad, dan juga dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepada dlamir jamak.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk mufrad yang di-idlafah-kan kepadadlamir mufrad adalah :
وَلِتُصْنَعَ عَلَى عَيْنِي
“Dan supaya kamu diasuh di bawah mata (pengawasan)-Ku” [QS. Thaha : 39].
Penyebutan kata ‘ain (mata) dalam bentuk mufrad di sini tidak berarti hanya menunjukkan satu ‘ain (mata) saja, sebagaimana firman Allah ta’ala :
وَإِنْ تَعُدُّوا نِعْمَةَ اللَّهِ لا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tidaklah dapat kamu menghitungnya” [QS. Ibraahiim : 34].
Yang dimaksud adalah, kenikmatan-Nya yang bemacam-macam yang tidak termasuk dalam pembatasan dan bilangan.
Contoh kata ‘ain yang disebutkan dalam bentuk jamak yang di-idlafah-kan kepadadlamir jamak adalah :
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
Adapun penetapan sifat bahwasannya Allah mempunyai dua mata (‘ainaan - عَيْنَانِ) adalah hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية
“Sesungguhnya Allah tidaklah tersembunyi darimu. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya” - Beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya - .“Sesungguhnya Al-Masih Ad-Dajjal itu buta sebelah matanya yang kanan, seakan-akan buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [HR. Al-Bukhari dan Muslim].
Perkataan : ‘beliau mengatakan sambil berisyarat kepada matanya’ dalam hadits Dajjaal di atas menunjukkan bahwa makna ‘ain (mata) yang dinisbahkan kepada Allah adalah makna dhahir, bukan ta’wil sebagaimana diyakini oleh Asy’ariyyah. Mereka (Asy’ariyyah) menakwilkan sifat mata (‘ain) dengan ilmu (al-‘ilmu).
Hal senada dengan di atas adalah apa yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma :
عن عطاء : عن ابن عباس رضي الله عنه في قوله عز وجل : (تَجْرِيْ بِأَعْيُنِنَا) [القمر : ١٤]. قَالَ : أشار بيده إلى عينيه.
Dari ‘Athaa’ : Dari Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma mengenai firman Allah ‘azza wa jalla : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar : 14), maka ‘Athaa’ berkata : Ibnu ‘Abbas berisyarat dengan tangannya kepada dua matanya’ [Diriwayatkan oleh Al-Laalika’iy, 3/411; di dalam sanadnya terdapat ‘Aliy bin Shadaqah yang tidak diketemukan biografinya, adapun perawi yang lainnya adalah tsiqah – dinukil melalui perantaraan Al-Asyaa’irah fii Mizaani Ahlis-Sunnah oleh Faishal bin Qazaar Al-Jaasim, hal. 90; Al-Mabarratul-Khairiyyah li-‘Uluumil-Qur’an was-Sunnah, Cet. Thn. 1428, Kuwait].
Al-Imam Asy-Syafi’iy rahimahullah berdalil dengan hadits Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma di atas untuk menetapkan sifat dua mata bagi Allah ta’ala, dengan perkataannya :
وَأَنَّهُ لَيسَ بِأَعْوَرَ بِقَولِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم  إِذْ ذَكَرَ الدَّجَّالَ فَقَالَ : إِنَّهُ أَعْوَرُ، وَإِنَّ رَبَّكُمْ لَيْسَ بِأَعْوَرَ.
“Bahwasannya Allah itu tidak buta sebelah mata-Nya dengan dasar sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam ketika menyebutkan perihal Dajjaal, beliau bersabda :‘Sesungguhnya Dajjal itu buta sebelah matanya, dan sesungguhnya Rabb kalian tidak buta sebelah mata-Nya” [Thabaqaatul-Hanaabilah oleh Al-Qadli Abu Ya’la Al-Farraa’, 2/269, tahqiq : Dr. ‘Abdurrahman bin Sulaiman Al-‘Utsaimin; Terbitan Univ. Ummul-Qurra’, Cet. Thn. 1419].
Al-Imam Al-Baihaqi rahimahullah juga berdalil dengan hadits di atas ketika menetapkan sifat ‘ain (mata) sebagai salah satu sifat dzatiyyah bagi Allah ta’ala [lihat Al-Asmaa’ wash-Shifaat oleh Ahmad bin Al-Husain Al-Baihaqiy, 2/114-115, tahqiq : ‘Abdullah bin Muhammad Al-Haasyidiy; Maktabah As-Suwadiy].
I’tiqad bahwasannya Allah mempunyai dua mata adalah i’tiqad para imam salaf Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Telah berkata Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah :
وقال أهل السنة وأصحاب الحديث‏:‏ ليس بجسم ولا يشبه الأشياء وأنه على العرش كما قال عز وجل‏:‏ ‏"‏الرحمن على العرش استوى‏"‏ ولا نقدم بين يدي الله في القول بل نقول استوى بلا كيف وأنه نور كما قال تعالى‏:‏ ‏"الله نور السماوات والأرض‏"‏ وأن له وجهاً كما قال الله‏:‏ ‏"‏ويبقى وجه ربك‏"‏ وأن له يدين كما قال‏:‏ ‏"‏خلقت بيدي‏"‏ وأن له عينين كما قال‏:‏ ‏"‏تجري بأعيننا"‏
“Telah berkata Ahlus-Sunnah dan Ashhaabul-Hadiits : Allah tidak bersifat mempunyai badan (seperti makhluk), dan tidak pula Dia menyerupai sesuatupun (dari makhluk-Nya). Dan bahwasannya Dia berada di atas ‘Arsy sebagaimana firman-Nya ‘azza wa jalla: ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas 'Arsy’ (QS. Thaha : 5). Kami tidak mendahului Allah dengan satu perkataanpun tentangnya, namun kami mengatakan bahwa Allah bersemayam (istiwaa’) tanpa menanyakan bagaimananya. Dan bahwasannya Allah mempunyai cahaya sebagaimana firman-Nya ta’ala : ‘Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi’ (QS. An-Nuur : 35). Dan bahwasannya Dia mempunyai wajah sebagaimana firman Allah : ‘Dan tetap kekal wajah Tuhan-Mu’ (QS. Ar-Rahmaan : 27). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua tangan sebagaimana firman-Nya : ‘Kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku’ (QS. Shaad : 75). Dan bahwasannya Dia mempunyai dua mata sebagaimana firman-Nya : ‘Yang berlayar dengan mata-mata Kami’ (QS. Al-Qamar ; 14)” [Maqaalatul-Islaamiyyiin oleh Abul-Hasan Al-Asy’ariy, hal. 260-261, tahqiq : Muhammad Muhyiddin ‘Abdul-Hamiid; Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H].
Scan kitab Maqaalatul-Islaamiyyiin karya Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah, hal. 260-261 (Maktabah An-Nahdlah Al-Mishriyyah, Cet. 1/1369 H) dapat dilihat di bawah :
                      
Telah berkata Al-Imam Al-Laalika’iy rahimahullah :
سياق ما دل من كتاب الله عز وجل وسنة رسوله صلى الله عليه وسلم على أن من صفات الله عز وجل الوجهوالعينين واليدين
“Pembicaraan yang ditunjukkan oleh Kitabullah ‘azza wa jalla dan Sunnah Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam adalah : Termasuk sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla adalah (bahwa Dia mempunyai) wajah, dua mata, dan dua tangan” [Tahqiq Kitaab Syarh Ushuulil-I’tiqaad Ahlis-Sunnah wal-Jama’ah li-Abil-Qaasim Hibatullah Al-Laalikaiy oleh Ahmad bin Mas’ud Al-Hamdaan, 3/412; desertasi S3 Universitas Ummul-Qurra’].
Telah berkata Al-Imam Ibnu Khuzaimah rahimahullah :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain(mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamyang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasanMuhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla oleh Ibnu Khuzaimah, hal. 97, tahqiq : Dr. ‘Abdul-‘Aziiz bin Ibrahim Asy-Syahwaan; Daar Ar-Rusyd, Cet. 1/1408 H].
Menetapkan sifat dua mata, dua tangan, wajah, kaki, jari-jari, dan yang lainnya dari sifat dzatiyyah Allah sebagaimana dhahir maknanya bukan merupakan tasybih(penyerupaan Allah kepada makhluk-Nya). Apalagi sampai menuduh sebagaimujassimah atau musyabbihah !
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata :
إنما يكون التشبيه إذا قال : يد مثل يدي أو سمع كسمعي، فهذا تشبيه. وأما إذا قال كما قال الله : يد وسمع وبصر، فلا يقول : كيف، ولايقول : مثل، فهذا لا يكون تشبيهاً، قال تعالى : (لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ
Tasybih itu hanya terjadi ketika seseorang itu mengatakan : ”Tangan (Allah) seperti tanganku, pendengaran (Allah) seperti pendengaranku”. Inilah yang dinamakan tasybih(penyerupaan). Adapun jika seseorang mengatakan seperti firman Allah : ’Tangan, pendengaran, penglihatan’ , kemudian ia tidak menyatakan : ’bagaimana’ dan ’seperti’; maka itu tidak termasuk tasybih. Allah berfirman : ”Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [Mukhtashar Al-’Ulluw lidz-Dzahabi, hal. 69].
Al-Imam Nu’aim bin Hammad Al-Khuzaa’iy Al-Haafidh rahimahullah berkata :
من شبه الله بخلقه، فقد كفر، ومن أنكر ما وصف به نفسه فقد كفر، وليس ما وصف به نفسه، ولا رسولُه تشبيهاً
”Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya, maka ia telah kafir. Barangsiapa yang mengingkari apa-apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya, maka ia telah kafir. Dan tidaklah apa yang disifatkan Allah bagi diri-Nya dan (yang disifatkan) Rasul-Nya itu sebagai satu penyerupaan (tasybih)” [Mukhtashar Al-’Uluuw, hal. 184 no. 216, dengan sanad shahih].
Tuduhan mereka (ahlul-bid’ah) kepada Ahlus-Sunnah sebagai kaum Musyabbihah sudah terjadi semenjak beratus-ratus tahun yang lalu, sebagaimana dikatakan oleh Abu ‘Utsman Ash-Shabuniy rahimahullah :
وعلامات البدع على أهلها بادية ظاهرة، وأظهر آياتهم وعلاماتهم شدة معاداتهم لحملة أخبار الني صلى الله عليه وسلم، واحتقارهم لهم وتسميتهم إياهم حشوية وجهلة وظاهرية ومشبهة، اعتقادا منهم في أخبار الرسول صلى الله عليه وسلم أنها بمعزل عن العلم، وأن العلم ما يلقيه الشيطان إليهم من نتائج عقولهم الفاسدة، ووساوس صدورهم المظلمة، وهواجس قلوبهم الخالية من الخير، وحججهم العاطلة. أولئك الذين لعنهم الله
“Tanda-tanda bid’ah yang ada pada ahlul-bid’ah adalah sangat jelas. Dan tanda-tanda yang paling jelas adalah permusuhan mereka terhadap pembawa khabar Nabishallallaahu ‘alaihi wa sallam (yaitu para ahlul-hadits), memandang rendah mereka, serta menamai mereka sebagai hasyawiyyah, orang-orang bodoh, dhahiriyyah, danmusyabbihah. Mereka meyakini bahwa hadits-hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak mengandung ilmu. Dan bahwasannya ilmu itu adalah apa-apa yang dibawa setan kepada mereka dalam bentuk hasil pemikiran aka-akal rusak mereka, was-was yang terbisikkan dalam hati-hati mereka yang penuh kegelapan, dan hal-hal yang terlintas dalam hati mereka nan kosong dari kebaikan dan hujjah. Mereka adalah kaum yang dilaknat oleh Allah” [selesai].
Kesimpulan yang ingin ditekankan di point ini adalah bahwa klaim pemalsuan kitab Al-Ibaanah yang mereka tuduhkan kepada ‘Wahabi’ sama sekali tidak berdasar. Omong kosong belaka. Semakin banyak tuduhan mereka justru semakin mengungkap siapa sebenarnya mereka dan seberapa jauh keilmuan yang mereka miliki. Akhirnya, kita hanya berharap kepada Allah agar memberikan keistiqamahan kepada kita semua di atas manhaj yang haq, sekaligus memberikan petunjuk kepada mereka yang telah tersesat dari jalan-Nya yang lurus.
Abu Al-Jauzaa’ – Perumahan Ciomas Permai, Bogor.


[1]     Ini sesuai judul pada manuskrip, sedangkan judul pada naskah cetakan terkenal dengan judul : Al-‘Ulluw lil-‘Aliyyil-Ghaffaar.
[2]     Dalam beberapa cetakan tertulis : Al-Mudlilliin. Namun yang benar adalah sebagaimana di atas.
[3]     Maqaalatul-Islaamiyyin, hal. 290-297.
[4]     Maqaalatul-Islaamiyyiin, hal. 210-211, 218.
[5]     Al-Ibaanah, hal. 34-37.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah memberikan ta’liq (komentar) di akhir paragraph ini dengan perkataannya :
قلت : وفي قول الأشعري دليل واضح على بطلان قول الكوثري في تعليقه على ((تبيين كذب المفتري)) (ص ٢٨) أن كتاب الإبانة هذا هو على طريقة المفوضة في الإمساك عن تعيين المراد، وهو مذهب السلف !

فإن كلام الأشعري الذي نقله المصنف رحمه الله عن ((الإبانة)) وأشارنا إلى محله منه صريح في تعيين المراد، وهو أن الاستواء بمعنى العلو، فأين التفويض والإمساك عن تعيين المراد الذي زعمه الكوثري، ولا شك أن قوله ((وهو مذهب السلف))، كذب أيضًا كما يعلمه من درس أقوالهم في كتب أصول السنة التي جمعها المصنف رحمه الله تعالى في كتابه ((العلو)) فأوعى، ثم قربتها إليك في ((مختصره)) هذا، منبهًا على ما صح إسناده منها كما ترى.

“Aku katakan : Dalam perkataan Al-Asy’ariy terdapat dalil yang jelas atas bathilnya perkataan Al-Kautsariy dalam ta’liq-nya terhadap kitab Tabyiinu Kadzibil-Muftariy (hal. 28) bahwasannya kitab Al-Ibaanah ditulis di atas metode Mufawwidlah dalam menahan diri untuk tidak memberikan penjelasan makna (terhadap sifat Allah). Dan (menurut Al-Kautsariy) inilah manhaj salaf !!
Sesungguhnya perkataan Al-Asy’ariy yang dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabiy) rahimahullahdari kitab Al-Ibaanah, dan juga yang telah kami isyaratkan tempat perkataanya; sangat jelas menunjukkan makna sebenarnya. Yaitu istiwaa’ bermakna al-‘ulluw (tinggi).  Lantas, dimana letak tafwidl dan menahan diri dari makna sebenarnya sebagaimana diklaim oleh Al-Kautsariy ? Tidak ragu lagi bahwa perkataannya : ‘dan inilah manhaj salaf’ adalah satu kedustaan juga sebagaimana diketahui oleh orang-orang yang mempelajari perkataan beliau (Al-Asy’ariy) dari kitab-kitab Ushulus-Sunnah (kitab-kitab ‘aqidah) yang dikumpulkan oleh mushannif (Adz-Dzahabi) rahimahullahu ta’ala dalam kitabnya Al-‘Ulluw. Kemudian telah aku dekatkan hal itu kepada Anda dalam Mukhtashar (ringkasan) ini, dengan disertai pemberitahuan atas apa yang shahih sanadnya sebagaimana yang Anda lihat”.
[6]     Dengan mem-fat-hah huruf tha’ dan men-sukun huruf ra’, merupakan nisbah pada Tharq, sebuah desa di daerah Ashbahan. Beliau wafat setelah tahun 520 H.
[7]     Al-Ibaanah, hal. 35-36.
Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah berkata : “Dan dalam perkataannya : ‘Wahai Penghuni ‘Arsy’, ada pembicaraan, karena sepengetahuanku lafadh tersebut (yaitu : Penghuni) tidak ditemukan dalam khabar yang shahih”.
[8]     At-Tabyiin, hal. 148, dan tambahan itu berasal darinya. Ibnu Qaadliy Syuhbah menisbatkan laknat menjelang kematian tersebut kepada Zaahir bin Ahmad. Hal ini sebagaimana terdapat dalam biografinya dalam kitab Asy-Syadzdzaraat (3/131). Ada kemungkinan bahwa hal itu merupakan kekeliruan dan kekurangan saat ia hendak menisbatkan kepada Al-Asy’ariy, maka pandangannya terhenti pada riwayat dari Zaahir, lantas ia pun menisbatkan laknat itu kepadanya.
Adapun Zaahir, maka ia adalah salah seorang imam dari kalangan Syafi’iyyah. Wafat 389 H pada usia 96 tahun.
[9]     Dalam At-Tabyiin (hal. 152) tertulis : “i’tiqadnya”.
[10]    At-Tabyiin (hal. 152-163) yang telah dinukil oleh mushannif (Adz-Dzahabi) dengan banyak peringkasan. Pernyataan itu terdapat dalam kitab Al-Ibaanah mulai halaman pertama sampai halaman 13.
[11]    At-Tabyiin (hal. 129).
[12]    Banyak ulama telah menuliskan perihal Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullahbeserta kitab Al-Ibanah-nya, diantaranya adalah : Al-Haafidh Ibnu ‘Asaakir dalam Tabyiinu Kadzibil-Muftariy, Al-Imam Al-Baihaqiy dalam Al-I’tiqaad, Al-Haafidh Adz-Dzahabi dalamAl-‘Ulluw, Al-Imam Ibnul-‘Imad dalam Syadzdzaratudz-Dzahab, dan yang lainnya.
[13]    Namun dalam cetakan yang diberikan ta’liq oleh Al-Kautsariy, tambahan ini ia munculkan. Ia (Al-Kautsariy) melakukannya untuk menuruti hawa nafsunya, padahal hal ini tidak ada dalam naskah/manuskrip aslinya.
COMMENTS
Anonim mengatakan...
ustad, 
mau tanya, disebutkan bhw syaikh albani di akhir hidupnya telah taubat dari aqidah salaf tentang sifat Alloh diatas langit, sehingga mengikuti aqidah asy'ariyyah yg menyatakan bhw Allah tidak ber arah dan Allah tidak bertempat”. apakah ini benar ? mohon penjelasannya tentang syubhat ini, makasih
http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/12/al-bani-berakidah-allah-wujud-tanpa.html
http://abu-syafiq.blogspot.com/2007/11/al-hafiz-az-zahabi-kafirkan-akidah.html
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Yang jadi pertanyaan adalah, apakah Asy-Syaikh Al-Albaaniy sebelum itu pernah menetapkan sifat arah dantempat bagi Allah ta'ala ?. Tidak lain itu adalah pemahaman sakit dari pemilik blog tersebut.
Tentang permasalahan sifat 'juluus' (duduk), maka ini permasalahan yang di khilafkan kalangan salaf. Silakan baca : Istiwa dan Duduk.
Anonim mengatakan...
ustad, masih syubhat
jadi aqidah syaikh albani tentang Alloh diatas Arsy, seperti apa 
mohon penjelasannya, Kalo di atas langit berarti, menunjukkan arah atas dan tempat di atas, bukan begitu ustad? 
mohon maaf ustad, krn blog milik orang malaysia itu bikin bingung aja.......
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
'Aqidah Syaikh Al-Albaaniy adalah Allah berada di atas 'Arsy.
Nampaknya antum terbawa dengan logika yang dibawa oleh kalangan Asy'ariy, lebih khusus lagi orang Malaysia yang antum baca artikelnya.
Dalam masalah penetapan al-asmaa' wash-shifaat, maka ini harus berdasarkan dalil Al-Qur'an dan As-Sunnah, baik dalam makna dan lafadhnya.
Mengenai 'tempat' (makaan), tidak ada dalil shahih yang menyebutkan lafadh 'tempat' bagi Allah. Maka, dalam hal ini perlu diperinci. 
Jika 'tempat' itu adalah dalam arti bahwa ia melingkupi sesuatu, maka ini baathil, karena Allah Maha Besar, tidak ada satupun makhluk yang dapat melingkupinya. Inilah yang kemudian banyak dinafikkan para ulama.
Jika 'tempat' itu adalah dalam arti keberadaan Allah di atas 'Arsy, maka ini benar. Maka, para ulama menetapkan 'tempat' ketika ada orang yang membantah atau menafikkan keberadaan Allah di atas 'Arsy.
Intinya, sifat 'tempat' ini tidaklah ditetapkan atau dinafikkan secara mutlak. Itulah yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Albaaniy dalam beberapa tempat yang berbeda.
Sebenarnya logika orang Asy'ariyyah itu karena hendak menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Mereka tidak menetapkan sebagaimana salaf menetapkannya, dan tidak berhenti sebagaimana salaf berhenti darinya. Logika mereka adalah bahwa jika kita mengatakan Allah berada di atas 'Arsy-Nya dan beristiwaa', maka itu berarti Allah membutuhkan tempat. Ya,... ini adalah argumentasi yang dibangun berdasarkan persepsi ekuivalensi Allah dengan makhluk.
Adapun tentang 'arah' (jihah), maka pembahasannya kurang lebih sama.
Wallaahu a'lam.
NB : Saran saya, kita tidak usah bersibuk-sibuk membaca tulisan Abu Syafiq atau yang lainnya. Bersibuk-sibuklah dengan membaca perkataan atau penjelasan para ulama Ahlus-Sunnah. Bukan ilmu nanti yang kita dapat, namun malah syubhat yang akan kita bawa pulang dan kemudian membekas pada diri kita.......
Anonim mengatakan...
buat yang memliki blog, silahkan Bantah di blog itu. Blog milik orang malaysia itu juga. jangan menyesatkan umat, sehingga bikin blog tersendiri untuk mbantah. Braninya sama orang a
pemahaman Nt hanya untuk kalian N orang awam yang tertipu.
Anonim mengatakan...
meniPu,,,
bantah aja di blog itu
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Bisa dijelaskan kepada saya (berikut buktinya) jenis tipuan apa yang sedang saya buat dalam tulisan di atas ?.
Menyajikan dalam Blog sendiri akan lebih bebas, baik dalam bentuk format, panjang pendeknya kalimat, serta penampilan teks-teks validistas scan, dibandingkan mengisinya di kolom komentar Blog orang. Lagi pula, metode bantahan dalam Blog tersendiri itu juga bukan hanya saya yang melakukannya, tapi juga dari kalangan 'Anda'.
Anonim mengatakan...
Para pengekor abu-syafiq itu , memcoba meniru kisah Imam Abul-Hasan Al-Asy'ariy , dimana di akhir hidupnya beliau ruju' ke manhaj salaf , tetapi peniruan yang bertujuan menyesasatkan pengikutnya.
Anonim mengatakan...
buktinya Ustadz tak brani mbantah/ketemu langsung sama pemilik blog yang Ustadz komen/bantah. dan komennya bantahannya pun hanya di blog sendiri.
Anonim mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Anggaplah saya tak punya nyali, no problem. Urusan saya jauh lebih banyak daripada sekedar meladeni omong kosong yang ada dalam group tersebut.
Artikel di atas usianya sudah lebih dari 2 tahun. Gak ada bantahan berarti yang bernilai ilmiah. Ada juga cuma klaim-klaim bahwa Al-Ibaanah itu palsu hanya berdasarkan perbandingan edisi cetak. Basi. Gak ada tahqiq.
So, jika Anda dan kawan-kawan memang mempunyai effort untuk menuliskan bantahan khusus atas artikel yang saya tulis, sangat dipersilakan untuk menuliskannya. Di media apapun.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ibnu Abi Irfan mengatakan...
Siti Mahmudah Hasanah berkata:
wahabi ke'enakan, 'tuhan'-nya menclok di arsy dan baru turun saat sepertiga malam, pada ngapain siang-siang orang2 wahabi mumpung 'tuhan'-nya blon turun?
ana katakan:
apa yang seperti ini yang dibilang komen bagus?
Bukan Ballerina mengatakan...
Ustadz, maaf jika ustadz tidak berkenan atau ana tidak sopan kepada ustadz, ana hanya ingin agar ustadz menghapus/edit link group yang di posting di atas. Maaf tadz, khawatir yang melihat komen ini menjadi tertarik untuk mengklik link tersebut.
Anonim mengatakan...
ternyata panutan anda al-albani.....
Ya sudahlah, apa hendak dikata........... 
Ulamanya penipu , pengikutnya korban penipuan....
Anonim mengatakan...
Ustadz Abu Jauzaa', 
ane minta nomer HP Ustadz, ada yang mau klarifikasi sama Ustadz. Soal tulisan2 yang Ustadz buat di blog.
klarifikasi jumpa darat.
mohon nomer HP Ustadz tulis dibalasan komen ane ini.
komen ane yang bawa link kemarin sebaiknya jangan ditendang Ustadz, jangan dihapus. mohon ditampilkan lagi link dari komen ane.
ane baru lulusan SMA. 
nomer HP Ustadz ane tunggu.
Santai aja Ustadz :-)
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya tidak pernah khawatir tentang diri Anda atau yang lainnya. Tapi menampilkan nomor hp pribadi di publik atau situs bukan merupakan etika yang baik. Tidakkah Anda tahu 'rule' ini di dunia maya ?.
Adapun link Anda, cukup saya tampilkan secara temporal saja. Blog saya bukan blog sampah yang menampung semua komentar dan link-link tidak bermanfaat.
Anonim mengatakan...
ahahahahaa... itukah alasan Ustadz???
klo Ustadz mau jaga privasi, Ustadz bisa kirim nomer hp Ustadz ke email ane!!!
memang sudah kebiasaan Ustadz2 & Pengekor Wahabi yang merasa paling bener untuk menyembunyikan, menghapus komen2 yang tidak sesui dengan otaknya.
demi menyebarkan paham sempalan, cara dusta pun dilakukan.
gmn Ustadz, ada yang mau jumpa darat klarifikasi tentang tulisan Ustadz??? mau kan?????
Anonim mengatakan...
iya percaya, komen2, Link2 yang tidak sepaham dengan Otak Wahabi bakal didelet biar seolah2 tulisan Ustadz tiada tandingannya.
indrasir mengatakan...
@anonim,kamu ini emangnya siapa? baru tamatan sma berlagak berilmu dan sombong lg, kebanyakan kalian pengagum sekte sufiyah/Asy'ariyyah saya perhatikan klo sdh berdiskusi tidak beradab, hati kalian tidak kalian gunakan untuk menyimak dan tidak mau mengambing pelajaran. tidak jauh beda perbuatan kalian dengan orang2 kristen yang menghujat islam tanpa dasar yg asal comot dalil dengan penuh kedengkian dan kebencian yang sangat.
saya nasehatkan takutlah kepada Allah.
ingatlah firman Allh:
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (Al-Israa`:36)
kalian diberi Allah akal untuk berpikir, gunakanlah akal dan hati nurani kalian sebagaimana yg diperintahkan Allah dan Rasul..
wasallam.
ras mengatakan...
buat ente yang pingin jumpa darat , nggak usah jauh-jauh , datangi saja majelis ilmu yang didaerah ente dan silahkan bertanya jawab sepuasnya .
ente ada dimana ? di surabayakah ? kalau iya , ane tunggu jumpa daratnya.
Anonim mengatakan...
Wah wah begitu banyak anonim yg pingin kopi darat ama Abul Jauzaa'. Entah beneran ngajak diskusi terbuka atau mau ngajak berantem (tersirat dari nada komennya)
Mas mas anonim asy'ariyun/sufi yg saya hormati. Dengan tidak mengurangi rasa hormat saya kepada antum2 asy'ariyun semua, untuk apa kalian jauh2 mengajak ustadz Abul Jauzaa kopdar? Blm tentu beliau punya waktu meladeni kalian karena setahu saya dari artikel2 beliau, beliau tidak sedang berada di Jabotabek.
Saran nih ya mas mas anonim asy'ariyun yg begitu mudahnya panasan, kajian salafi begitu banyak beredar di bumi nusantara ini. Kalian tinggal dimana? jakarta? Silahkan datangi kajian Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat di Krukut, Gajah Mada. Bogor? silahkan datangi kajian ustadz Yazid di Masjid Imam Ahmad. Bandung? Silahkan datangi kajian Ustadz Abu Haidar atau Abu Qotadah di Cipaganti. Yogyakarta? Silahkan datangi kajian Ustadz Aris Munandar di masjid Pogung Sleman. Blm puas? Sok atuh dibuka nih :
http://infokajiansalaf.blogspot.com/
Silahkan datangi langsung tuh ustadz2nya mas bila memang kalian haus pada kebenaran, saya sudah kasih linknya, kalian kebangetan klo hanya berani menghina di blog ini. Saya jamin diskusi kalian akan diladeni dengan baik oleh mereka asalkan kalian datang kepada mereka dengan adab dan kesopanan yg baik. Oh ya mas, saya pesan, pakai helm dan jangan kebut-kebutan di jalan ya.........malu nanti ditangkap oleh polisi dan bikin malu nama guru kalian.
Wassalam.
anas mengatakan...
wahai anonim yg katanya baru anak sma dan ngajak kopi darat, 
orang gini biasanya baru lulus pesantren/kuliah/modnok, atau biasanya baru belajar di internet,
dan bagi yg sudah lama belajar di internet, cukup membanding-bandingkan saja diantara 2 blog yg pro kontra, tinggal pilih saja antum mau pilih yg mana ? pilih asyariyyah atau salafi ? 
kalopun ada kopi darat, dijamin tidak bakalan ada kata mufakat, bahkan takut timbul fitnah, terjadi adu jotos beneran.
silahkan teruskan ust. abul jauzaa untuk membantah orang2 asy'ariyyah, semoga barokah..........amin
Anonim mengatakan...
kopi darat? hm.. jadi ingat kejadian di lampung beberapa waktu lalu, seorang ust difitnah sesat. diundang pertemuan katanya mau klarifikasi eh taunya dipaksa tanda tangan kalo ust tersebt sesat, kalo gk mau massa teriak mau bunuh.. padahal cuma masalah pendhoifan hadits, disebuah buku yg beliau jual. betul2 gk beradab! 
Abu aisyah
Anonim mengatakan...
diatas ada ketikan ayat2 yang indah, yang ditulis oleh pengikut Wahabi.
betapa pandainya Kalian menghiasi kelicikan Wahabi.
sudah bukan rahasia umum lagi kelicikan Wahabi dalam mengolah blog2, situs2, dsb.
bener juga, yang tdk berkenan bakal tdk ditampilkan, dianggap sampah.
seolah tulisan tiada yang bisa menandingi. 
Buat Ustadz N yang mau diajak klarifikasi, mohon cantumkan identitasnya!!!
ini beneran serius, ada yang mau klarifikasi.
sudah bukan rahasia umum lagi buat para Wahabi seperti Nt2 jika ada komen yang tak bisa dijangkau dengan kemampuannya musti didelet sesuai selera. Semua komen yang tak bisa dijangkau dianggap sampah.
link2 yang bakal membongkar kedok Wahabi bakal tidak ditampilkan.
jadi, kebenaran hanya versi Wahabi aja. 
yang sepaham dengan Ustadz Abul Jauzaa dan yang meremehkan ane, mohon cantumkan identitasnya ato kontaknya untuk diajak ketemu langsung. ini ada yang mau klarifikasi.
beberapa yang lalu beberapa tokoh kebanggaan kalian Wahabi sudah didatangi langsung untuk mempertanggungjawabkan karyanya yang nyinggung2 yang lain. Seperti Mahrus Ali, Afrokhi, ...
ini beneran ada yang mau klarifikasi, soal tulisan Ustadz Abul Jauzaa Dan pengikutnya/orang sepaham dengan Ustadz ini yang berkenan dan mau diajak klarifikasi langsung, mohon cantumkan nomer HPnya.
huwwwfttt, klo main delet2 komen yang tidak bisa dijangkau. 
mana mungkin kebenaran bisa masukkk.
lawong mata hatinya aja udah ditutup sendiri, tak mau menerima dari yang lain, yang nggak sepaham dibuang, diambil sesuai pikirannya
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Dari kemarin Anda katakan pada saya bahwa saya telah berdusta. Tinggal tulis saja dimana letak kedustaannya, beres. Tidak panjang-panjang kalimat seperti di atas.
Saya sama sekali tidak keberatan Anda bilang 'cemen', penakut, atau yang semisal. Toh dari kemarin perkataan Anda cuma busa sabun saja.
Sebagai hadiah,... saya dah menulis singkat berkaitan dengan artikel kawan Anda yang ada di group Anti Wahabi :
Barangkali Anda mau bantu publikasi.....
Ibnu Abi Irfan mengatakan...
gimana tidak dibilang sampah kalo komennya kaya begini:
wahabi ke'enakan, 'tuhan'-nya menclok di arsy dan baru turun saat sepertiga malam, pada ngapain siang-siang orang2 wahabi mumpung 'tuhan'-nya blon turun?
Fredy mengatakan...
To Anonim berkata...
@ 27 Juni 2011 08:09
@ 27 Juni 2011 09:59
Assalamu'alaykum.
Daripada (maaf) memaksa orang untuk memberikan identitas lengkap, nomor hape segala macem..
Apa ndak sebaiknya antum dulu yang memberikan nama & alamat lengkap, nomor hape yang bisa di hubungi..?
Kenapa individu yang mau klarifikasi tidak langsung menyampaikan sendiri ? kenapa harus lewat antum ?
Sebenernya klarifikasi seperti apa yang antum dkk inginkan ?
Apa seperti model DENSUS 88 ANTI TERORIS AQIDAH* (??)
datang bergerombol (saya katakan bergerombol karena lebih dari satu) mendatangi salah seorang yang disebutkan diatas (mahrus ali, afrokhi)..
Apa tujuan sebenarnya ? klarifikasi atau intimidasi ?
Kalo memang ada iktikad baik untuk mencari kebenaran, tidak bisakah dilakukan dengan cara person to person saja, antar individu ?
Saran saya datangi rumah ustadz2 yang ada di list antum yang menurut antum penipu/menyesatkan dengan santun, ucapkan salam, sampaikan hajat, berdiskusi, dst.
Saya yaqin -insyaAllah- cara yang seperti itu akan lebih mendatangkan manfaat, dibandingkan dengan dialog terbuka, masing-masing membawa massa.
Yang saya takutkan bukannya kebenaran yang di cari, akan tetapi sebuah pembenaran karena perasaan tidak mau kalah.
Demikian saran dari saudaramu.
Semoga Allahu ta'ala memberikan petunjuk kepada kita semua.
NOTES :
*Semoga "pembentukan" Densus 88 Anti Teroris Aqidah bukan kerena sentimen wahabi saja, akan tetapi di tujukan untuk teroris aqidah yang lain, seperti rafidhah, nashrani, yahudi, penyembah dewa, patung, dlsb.
3 Juli 2011, 10:47
[Tanjung Tabalong-Kalimantan Selatan]
Abu 'Abdillah mengatakan...
untuk anonim 22 juni 2011:
http://ahbash-sesat.blogspot.com/2009/02/abu-syafiq-mengatakan-allah-tidak-besar.html
http://ahbash-sesat.blogspot.com/2009/07/antara-abu-syafiq-al-jahmiyyah-wujudkah.html
http://ahbash-sesat.blogspot.com/2008/03/al-ibanah-adalah-kitab-karya-imam-abul.html
herrys77 mengatakan...
maaf bos, 
apa tidak sebaiknya anda dan orang yang berseberangan pendapat dengan anda bertemu di satu tempat (kopi darat, istilahnya), lalu silakan keluarkan hujjah masing-masing. kalau cuma debat di dunia maya, cuma bikin orang awam jadi bingung, orang keblinger jadi tambah fanatik taqlid.
tp.... kalau dah ketemu dan hujjah anda "kalah" ya terimalah kebenaran itu, walaupun dari seorang anak kecil. 
semoga Alloh SWT memberikan kita ilmu yang bermanfaat, dan kita diberikan kefahaman. Amien.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Saya kira nasihat Anda juga perlu Anda sampaikan ke kawan-kawan Anda. Karena pengalaman saya di dunia nyata (kopi darat, meminjam istilah Anda), justru banyak di antaranya yang cuma debat sebagai tujuannya. Parahnya, seringkali mengandalkan kekuatan fisik/massa. Bukan intelektual.

Satu hal yang perlu saya ingatkan kepada Anda, barangkali lupa, bahwasannya agama ini bukan untuk didebatkan. Kadangkala orang yang menang berdebat bukan karena ia berada di pihak yang benar, namun karena ia lebih pandai berbicara dan berdebat dibandingkan lawan bicaranya. 
وَعَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم : إِنَّكُمْ تَخْتَصِمُونَ إِلَيَّ, وَلَعَلَّ بَعْضَكُمْ أَنْ يَكُونَ أَلْحَنَ بِحُجَّتِهِ مِنْ بَعْضٍ, فَأَقْضِيَ لَهُ عَلَى نَحْوٍ مِمَّا أَسْمَعُ, مِنْهُ فَمَنْ قَطَعْتُ لَهُ مِنْ حَقِّ أَخِيهِ شَيْئًا, فَإِنَّمَا أَقْطَعُ لَهُ قِطْعَةً مِنَ اَلنَّارِ
Dari Ummu Salamah radliyallaahu 'anhaa, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam : "Sesungguhnya kalian senantiasa mengadukan persengketaan kepadaku. Bisa jadi sebagian darimu lebih pandai mengemukakan alasan daripada yang lainnya, lalu aku memutuskan untuknya seperti yang aku dengar darinya. Maka barangsiapa yang aku berikan kepadanya sesuatu yang menjadi hak saudaranya, sebenarnya aku telah mengambilkan sepotong api neraka untuknya" [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7169 dan Muslim no. 1713].
ibnmuflih mengatakan...
bismillah ... akhi, org jahil kok di ladenin ?
Ahmad Dailami mengatakan...
Masih terdapat perbezaan pandangan di sisi ulama tentang "marhalah thaalithah" (perjalanan ketiga) dalam kehidupan Imam Abul Hasan al-Asy'ari yang dikatakan beliau bertaubat dari akidah Asy'ariyyah dan kembali kepada akidah asal para Salaf. Justeru, saya katakan dengan setegas-tegasnya, tidak sahih hujjah sebilangan orang yang menggunakan ini sebagai satu-satunya alasan untuk membatalkan seluruh kehujjahan mazhab akidah Asy'ariyyah kerana satu jemaah besar ulama-ulama Ahlus Sunnah yang terdiri dari pakar-pakar hadith juga menerima penetapan dari mazhab Asy'ariyyah dan mereka menyeru supaya berpegang kepada prinsip-prinsipnya. Berdasarkan ini, mustahil untuk dikatakan bahawa Allah menjadikan hati satu jemaah besar ulama - yang hati mereka disinari dengan cahaya kefahaman al-Qur'an dan Sunnah - untuk bersepakat di atas sesuatu yang salah, sesat atau batil.
Ini sama keadaannya seperti Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah yang dikatakan telah bertaubat dari akidahnya di saat akhir hidupnya. Ini telah dinukilkan sendiri oleh al-Hafizh Ibn Hajar al-'Asqalani dalam kitabnya "ad-Durarul Kaaminah fi al-A'yaan al-Mi'ah at-Thaaminah" di mana beliau menyatakan pengakuan beliau di atas taubatnya Syeikhul Islam Ibn Taimiyyah dari akidahnya.
Namun, adakah sahih untuk menggunakan penetapan ini bagi membatalkan seluruh kehujjahan akidah Ahlul Hadith Hanbaliyyah (yang menjadi pegangan Syeikhul Islam dan ulama-ulama yang seangkatan dengannya)? Jawapannya tidak, kerana masalah ini masih diragukan, seperti kes taubatnya Imam Abul Hasan tadi, ada yang menerimanya dan ada pula yang membantahnya.
Dan kita menentang dengan sekeras-kerasnya sikap pentaksub dari kalangan Salafiyyah Wahabiyyah dengan kebodohan mereka yang semata-mata menghukum akidah Asy'ariyyah sebagai i'tiqad yang keluar dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah, hingga kedangkalan ini membawa mereka kepada menyangka, akidah Imam an-Nawawi bukan Ahlus Sunnah atau akidah al-Hafiz Ibn Hajar al-'Asqalani dan al-Imam al-Baihaqi bukan Ahlus Sunnah.
Berkenaan dengan masalah kitab al-Ibanah, al-Hafizh Ibn 'Asakir telah menulis satu kitab khas untuk menjawab semua tuduhan ke atas mazhab Asy'ariyyah berjudul "Tabyiin Kizbil Muftari fii maa Nusiba ila Abil Hasan al-Asy'ari" (Memperjelaskan Kedustaan Para Pembohong di dalam Apa yang Dikaitkan dengan Abul Hasan al-Asy'ari), di mana beliau menjelaskan, kitab al-Ibanah telah bermain-main di tangan para pendusta semenjak lama dan kandungannya, jika ada yang bertentangan dengan akidah Asy'ariyyah, tidak sahih digunakan hujjah untuk membatalkan pegangan mazhab Asy'ariyyah, kerana ia masih sangat diragukan.
Abu Al-Jauzaa' : mengatakan...
Ahmad Dailami mengatakan...
al-Imam an-Nawawi rahimahullah menulis di dalam kitabnya, Syarah Sahih Muslim ketika mensyarahkan satu hadith dalam bab yang bertajuk:
النهي عن اتباع متشابه القرآن والتحذير من متبعيه والنهي عن الاختلاف في القرآن 
"Larangan dari mengikuti mutasyabih al-Qur'an dan amaran dari mengikutinya dan larangan daripada melakukan perselisihan pada al-Qur'an".
عن عائشة قالت تلا رسول الله صلى الله عليه وسلم هو الذي أنزل عليك الكتاب منه آيات محكمات هن أم الكتاب وأخر متشابهات فأما الذين في قلوبهم زيغ فيتبعون ما تشابه منه ابتغاء الفتنة وابتغاء تأويله وما يعلم تأويله إلا الله والراسخون في العلم يقولون آمنا به كل من عند ربنا وما يذكر إلا أولو الألباب قالت قال رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا رأيتم الذين يتبعون ما تشابه منه فأولئك الذين سمى الله فاحذروهم
Di mana terdapat satu hadith daripada A'isyah katanya: Rasulullah (shallallahu 'alaihi wasallam) telah membaca ayat ini:
"Dialah yang menurunkan kepadamu (wahai Muhammad) Kitab Suci Al-Quran. Sebahagian besar dari Al-Quran itu ialah ayat-ayat "Muhkamaat" (yang tetap, tegas dan nyata maknanya serta jelas maksudnya), ayat-ayat Muhkamaat itu ialah ibu (atau pokok) isi Al-Quran. Dan yang lain lagi ialah ayat-ayat "Mutasyaabihaat" (yang samar-samar, tidak terang maksudnya). Oleh sebab itu (timbulah faham yang berlainan menurut kandungan hati masing-masing) - adapun orang-orang yang ada dalam hatinya kecenderungan ke arah kesesatan, maka mereka selalu menurut apa yang samar-samar dari Al-Quran untuk mencari fitnah dan mencari-cari Takwilnya (memutarkan maksudnya menurut yang disukainya). Padahal tidak ada yang mengetahui Takwilnya (tafsir maksudnya yang sebenar) melainkan Allah. Dan orang-orang yang tetap teguh serta mendalam pengetahuannya dalam ilmu-ilmu ugama, berkata:" Kami beriman kepadanya, semuanya itu datangnya dari sisi Tuhan kami" Dan tiadalah yang mengambil pelajaran dan peringatan melainkan orang-orang yang berfikiran".
Kemudian Baginda bersabda: "Apabila engkau melihat mereka yang mengikuti apa yang tasyaabuh (samar-samar) darinya, maka merekalah yang telah dinamakan Allah (dalam ayat ini), maka berwaspadalah dari mereka".
al-Imam an-Nawawi rahimahullah ketika mensyarahkan ayat ini telah berkata:
قد اختلف المفسرون والأصوليون وغيرهم في المحكم والمتشابه اختلافا كثيرا . قال الغزالي في المستصفى : إذا لم يرد توقيف في تفسيره فينبغي أن يفسر بما يعرفه أهل اللغة
"Para muafassirun dan usuliyuun serta selain dari mereka telah berbeza pendapat di dalam hal ayat muhkam dan mutasyaabih dengan perbezaan pendapat yang banyak sekali. Berkata Imam al-Ghazali di dalam kitabnya, al-Mustashfa: Apabila tidak ditemukan penentuan terhadap tafsirnya, maka wajiblah ditafsirkan dengan apa yang diketahui oleh ahli lughah (bahasa)".
Dalam hal ini, Imam an-Nawawi kelihatan cenderung kepada pendapat tokoh besar Asy'ariyyah, Hujjatul Islam Imam al-Ghazali yang mewajibkan ayat-ayat sifat ditakwil kepada makna yang bersesuaian dengan makna bahasa 'Arab.
Dan golongan Salafiyyah Wahabiyyah kerana sempitnya akal mereka tidak akan mahu mengaku permasalahan ini sebagai khilaf, bahkan mereka menutup ruang khilaf padanya, lalu menjadikan jalan kebenaran yang berbeza itu sebagai satu jalan sahaja, mereka menyempitkan sesuatu yang pada hakikatnya telah diluaskan Allah, lalu mereka jatuh ke dalam ketaksuban dan kejahilan yang tidak berpenghujung.
Kelihatan dalam perbahasan-perbahasan mereka (seperti yang dibawa oleh penulis blog inj) mereka tidak membawakan maqalah-maqalah akidah yang berbeza, tapi mereka hanya membawakan maqalah ulama yang sejalan dengan aliran mereka sahaja. Saya katakan, sikap mereka ini pada saya ialan tindakan "menipu" pemikiran orang-orang awam yang tidak mampu mengkaji masalah akidah dengan dalil-dalil bahawa hanya merekalah (mazhab Salafiyyah Wahabiyyah) yang benar, yang selain mereka (mazhab Asya'irah) salah, sesat dan terkeluar dari Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
amin ben ahmed mengatakan...
mohon ana copas di blog ana ustadz
www.aminbenahmed.blogspot.com
barakallahu fiik
Anonim mengatakan...
http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2014/08/26/28035/sumbangan-madzhab-al-asyari-dalam-ilmu-hadits.html
kalo asyariyyah sesat, kenapa ulama2 banyak yg bermadzhab asyariyyah ? seperti artikel diatas ini.
Pusat Langit mengatakan...
To Anomim 26 Agustus 2014 14.49
Asy`ariyah itu sesat dalam aqidah, bukan ilmu hadits.
Anonim mengatakan...
abul jauza bukan penipu.. 
dia cuma korban penipuan oleh tukang edit kitab.
Apakah Al Asy’ariyyah Termasuk Ahlu Sunnah?
Aqidah Asy’ariyah
Aqidah Imam Empat
Kesesatan dan penyimpangan asy’ariyah
Kesesatan Abul Hasan Al asy`ari - imam tauhid ahli bid`ah
Memurnikan Pemahaman Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah Dari Penyimpangan Ajaran Syiah
Madzhab asy’ariyah ahlu sunnahkah?
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah pengingkar sifat allah (1)
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah pengingkar sifat allah (2)
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah pengingkar sifat allah (3)
Menyingkap kerancuan paham nu asy’ariyah pengingkar sifat allah (4)
Mengenal Madzab Asy’ari dan Akidah Ahlus Sunnah
Pemikiran kalam Abu Hasan Al-Asy’ari
Sejarah dan Pemikiran Golongan Asy'Ariyah (Ahlu sunnah wal jamaah)