Sesungguhnya kaum Syi’ah beranggapan bahwa orang-orang Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu memusuhi keluarga Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam. Itulah sebabnya mereka menyebutAhli Sunnah wal Jama’ah dengan sebutan An-Nawashib, yaitu orang-orang yang melancarkan permusuhan terhadap keluarga Rasul. Padahal sebenarnya orang-orang Ahli Sunnah wal Jama’ahberlepas diri dari apa yang dituduhkan mereka.
• Seorang tokoh ulama Syi’ah yang ahli fiqih sekaligus ahli hadits, Yusuf Al-Bahrani dalam kitabnya Al-Hada’iq An-Nadhirah (XVIII/157), Muassasah An-Nasyr Al-Islami-Qumm, mengatakan,
“Dalam kontek riwayat-riwayat hadits dan ucapan para ulama terdahulu, kalimat An-Nashib itu secara mutlak dimaksudkan sebagai para pembangkang atau para penentang.”
• Dalam kitab yang sama hal. 157, ia juga mengatakan,
“Dalam riwayat-riwayat para imam, kalimat AN-Nashib terkait masalah-masalah hukum seperti najis, larangan pernikahan, dihalalkannya harta atau darah, dan lain sebagainya, itu ditafsiri sebagai orang yang mentang.”
Kami katakan, menurut pendapat yang populer di kalangan kaum Syi’ah bahwa yang dimaksud dengan penentang ialah kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah atau selain Syi’ah Itsna Asyar.
• Diriwayatkan oleh orang kepercayaan Islam mereka, Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini dalam Al-Kafi (VIII/292), Daar Al-Kuub Al-Islamiyah-Teheran, Iran, berikut sanadnya dari Muhammad bin Muslim, ia berkata,
“Aku menemui Abu Abdullah yang saat itu ia sedang bersama Abu Hanifah. Aku berkata, ‘Sungguh aku mengalami suatu mimpi yang sangat menakjubkan.’ Ia berkata kepadaku, ‘Wahai putra Muslim, ceritakan pengalaman mimpimu itu, karena di sini sedang ada seorang yang ahli dalam tafsir mimpi.’ Ia berkata seperti itu sambil menunjuk ke arah Abu Hanifah. Aku lalu menceritakan pengalaman mimpiku, ‘Aku melihat seolah-olah sedang masuk ke rumahku. Lalu istriku muncul menyambutku sambil membawa segenggam kacang kemudian melemparkannya padaku. Aku benar-benar heran terhadap pengalaman mimpi itu.’ Abu Hanifah berkata, ‘Kamu akan terlibat dalam perdebaan dan pertengkaran sengit soal harta pusaka keluargamu. Dan setelah bersusah-payah, insya Allah kamu akan berhasil mendapatkan apa yang kamu perlukan.’ Abu Abdullah menyahut, ‘Demi Allah, jawaban Anda benar, wahai Abu Hanifah.’
Setelah Abu Hanifah pamit pulang, aku berkata yang dikatakan oleh pembangkang tadi.’ Ia berkata, ‘Wahai putra Muslim, Allah tidak akan berbuat buruk kepadamu. Istilah mereka berbeda dengan istilah kita, dan apa yang kita katakan tidak sama seperti yang ia katakan tadi.’ Aku berkata, ‘Kalau ia salah, kenapa tadi aku dengan Anda malah membenarkannya bahkan bersumpah segala?’ Ia menjawab, ‘Benar. Tadi aku memang bersumpah padanya kalau ia telah membenarkan kesalahan.’ Aku bertanya kepadanya, ‘Jadi apa tafsir mimpiku itu?’ Ia menjawab, ‘Wahai putra Muslim, itu artinya kamu akan menikahi seorang wanita secara mut’ah. Dan ketika wanita itu diketahui oleh istrimu, ia marah asmbil merobek-robek baju di depanmu’.”
• Guru Syi’ah, Muhammad bin Muhammad bin An-Nu’man yang dijuluki Al-Mufid juga menyatakan bahwa yang dimaksud An-Nashib atau pembangkang ialah Abu Hanifah Rahimahullah, sebagaimana yang ia tulis dalam kitabnya Iddatu Rasa’il, Pasal Al-Masa’il Al-Shaghaniyat: 253-263,265-268, 270, terbitan Qumm.
• Sayid Ni’matullah Al-Jaza’iri dalam kitabnya Al-Anwar An-Nu’maniyah (II/307), terbitan Tibriz Iran, mengatakan sebagai berikut,
“Yang menguatkan makna seperti itu ialah bahwa para imam Alaihimussalam dan ulama-ulama khusus kaum Syi’ah menyatakan bahwa secara mutlak kalimat An-Nashibi atau pembangkang ialah untuk Abu Hanifah dan ulama-lama lain yang sepertinya.” Padahal sebenarnya Abu Hanifah bukan termasuk orang-orang yang melancarkan rasa permusuhan terhadap keluarga RasulAlaihimussalam. Bahkan secara terang-terangan ia memperlihatkan rasa kasih sayang kepada mereka.
• Guru Syi’ah, Husain bin Syaikh Muhammad Abu Ushfur Ad-Darazi Al-Bahrani dalam kitabnya Al-Mahasin AN-Nafsamiyah fi Ajwibah Al-Masa’il Al-Kharsaniyah 157, terbitan Beirut, mengatakan,
“Satu hal yang terlebih dahulu harus kamu ketahui ialah, bahwa istilah An-Nashib atau pembangkang ialah untuk orang yang tidak mau mendahulukan Ali Alaihissalam atas lainnya.”
Imam Abu Hanifah Rahimahullah adalah orang yang lebih mendahulukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman Radhiyallahu Anhum atas Ali. Itulah sebabnya mereka menyebutnya An-Nashib. Na’udzu billah.
• Dikarenakan Ahli Sunnah wal Jama’ah lebih mendahulukan Abu Bakar, Umar, dan Utsman atas Ali, maka mereka oleh orang-orang Syi’ah, dan Utsman atas Ali, maka mereka oleh orang-orang Syi’ah dianggap sebagai An-Nawashib atau para pembangkang. Itulah yang juga dikatakan oleh Husain bin Syaikh alias Muhammad Alu Ushfur Ad-Darazi Al-Bahrani dalam kitabnya Al-Mahasin An-Nafsaniyah fi Ajwibah Al-Masa’il Al-Kharsaniyah 147,
“Bahkan riwayat-riwayat para imam Alaihimussalam menyatakan bahwa yang disebut AN-Nashib atau pembangkang ialah yang di kalangan kaum Syi’ah disebut orang Sunni.”
• Guru, ulama, peneliti, penganalisa, orang yang bijaksana menurut Syi’ah, Husain bin Syihabuddin Al-Karki Al-Amili dalam kitabnya Hidayah Al-Abrar Ila Thariqi Al-Aimmah Al-Athhar, hal. 106, cetakan pertama, tahun 1396 Masehi, mengatakan,
“Hal itu seperti keragu-raguan yang mendorong orang-orang kafir mengingkari nubuwat Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi wa Sallam, dan para pembangkang yang sama mengingkari khilafah Al-Washi.”
• Seorang guru Syi’ah, Alu Muhsin dalam kitabnya Kasyfu Al-Haqa’iq, Daar Al-Shafwat-Beirut 249, mengatakan,
“Pembangkang-pembangkang yang berasal dari para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah itu cukup banyak. Di antara mereka ialah Ibnu Taimiyah, Ibnu Katsir Ad-Dimasyqi, Ibnu Al-Jauzi, Syamsuddin Adz-Dzahabi, Ibnu Hazm Al-Andalusi, dan yang lainnya.”
• Seorang ulama Syi’ah terkemuka, Muhsin Al-Mu’allim dalam kitabnya, An-Nashbu wa An-Nawashib, Daar Al-Hadi Beirut, bab kelima, pasal ketiga, hal. 259, menus sebuah judul “Pembangkang-Pembangkang pada Hamba” menuturkan dua ratus lebih nama pembangkang menurut pengakuannya. Di antara mereka ialah: Umar bin Khaththab, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Utsman bin Affan, Ummul Mukminin Aisyah, Ans bin Malik, Hassan bin Tsabit, Az-Zubair bin Al-Awwam, Sa’id bin Al-Abu Waqqash,Thalhah bin Ubaidillah, Imam Al-Auza’i, Imam Malik, Abu Musa Al-Asy’ari, Urwah bin Az-Zubair, Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, Imam Adz-Dzahabi, Imam Al-Bukhari, Az-Zuhri, Al-Mughirah bin Syu’bah, Abu Bakar Al-Baqilani, Syaikh Hamid Al-Faqi seorang tokoh pembela sunnah Muhammadiyah di Mesir, Muhammad Rasyid Ridha, Muhibuddin Al-Khathib, Mahmud Syukri Al-Alusi, dan masih abnyak yang lainnya.
Jadi, para pembangkang adalah semau ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah. Itulah yang juga dikatakan oleh Ayatullah yang agung Muhammad Al-Husaini Asy-Syairazi dalam Ensiklopedi Al-Fiqhu (XXXIII/38), cetakan kedua, Daar Al-Ulum-Beirut 1409 Hijriyah, “Ketiga, pertentangan kedua riwayat tersebut memang harus terjadi, setelah kalimat An-Nashib secara umum ditafsiri sebagai orang-orang awam atau kaum Ahliu Sunnah. Contohnya seperti riwayat Ibnu Sinan dari Abu Abdullah…”
Jika ada yang bertanya, bagaimana kita mengetahui bahwa yang mereka maksudkan dengan orang-orang awam itu para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah, maka akan kami jawab bahwa kita ini mengenal Syi’ah hanya dari buku-buku mereka dan ucapan-ucapan para ulama mereka.
Ayatullah yang agung, Mushin Al-Amin dalam kitabnya yang cukup populer A’yan Asy-Syi’aht (I/21), Daar Al-Ta’aruf-Beirut Libanon 1986, mengatakan,
“Al-Khashshah oleh teman-teman kita diartikan sebagai diri mereka sendiri. Dan sebagai bandingannya ialah Al-Ammah, yaitu orang-orang yang mereka sebut sebagai Ahli Sunnah wal Jama’ah.”
• Guru, ulama, peneliti, dan sekaligus orang yang bijaksana menurut Syi’ah, Husain bin Syihabuddin Al-Karki Al-Amili yang wafat pada tahun 1076 dalam kitabnya Hidayah Al-Abrar Ila Thariqi Al-Aimmah Al-Athhar, hal. 264, cetakan pertama 1396 Masehi, mengatakan,
“Ada beberapa orang-orang yang tergabung dalam golongan Al-Ammah, yaitu seperti Al-Muzani, Al-Ghazali, dan Ash-Shirafi. Dan yang termasuk dalam golongan Al-Khashshah ialah Al-Allamah dalam salah satu ucapannya…”
• Ayatullah agung yang di kalangan orang-orang Syi’ah disebut sebagai peneliti besar Syaikh Fathullah An-Namazi Asy-Syairazi dalam kitabnya Qa’idah la Dharara Wala Dhirara, hal. 21, cetakan pertama, Daar Al-Adhwa’-Beirut, mengatkan,
“Hadits yang berasal dari sanad Al-Ammah banyak diriwayatkan oleh sebagian besar ulama-ulama ahli hadits mereka. Contohnya seperti Al-Bukhari, Muslim, …”
Jadi, menurut orang-orang Syi’ah Al-Ammah ialah kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah. Dan berdasarkan hal itu, maka secara umum An-Nawashib atau pembangkang ialah seluruh pengikut Ahli Sunnah wal Jama’ah.
• Kemudian muncul di tengah-tengah kami seorang yang berpaham Syi’ah, Muhammad At-Tijani As-Samawi dalam kitabnya Asy-Syi’ah Hum Ahlu As-Sunnah yang diterbitkan oleh Muassasah Al-Hajr di London dan Bairut. Kami mendapatkan kitabnya ini dari sebuah perpustakaan di Syi’ah. Orang ini memperoleh dua ijazah Ayatullah agung dari dua orang ulama terkemuka Syi’ah.
Pertama dari Imam Al-Khau’i di Najf, dan yang kedua dari Al-Mar’asyi An-Najfi di Qumm. Telah dijelaskan dalam kitabnya tersebut halaman 316 ini menyatakan,
“Telah muncul di tengah-tengah kami seorang yang berpaham Syi’ah yang berterus-terang bahwasanya Ahli Sunnah adalah An-Nawashib atau para pembangkang. Menurut kaum Syi’ah , orang-orang Ahli Sunnah wal Jama’ah itu najis. Bahkan darah dan harta mereka halal, sebagaimana yang akan dikemukakan nanti.”
• At-Tijani dalam kitabnya tersebut halaman 79 mengatakan,
“Boleh jadi bahwa para ulama ahli hadits, mereka sendiri adalah Ahli Sunnah wal Jama’ah. Tetapi berdasarkan bukti yang tidak perlu diragukan bahwa As-Sunnah yang mereka maksudkan ialah membenci, melaknat dan berlepas dari Ali bin Abi Thalib. Dan itulah yang disebut pembangkangan.”
Wahai hamba-hamba Allah, apakah ada kaum Ahli Sunnah yang pernah mengutuk Ali Radhiyallahu Anhu dan berlepas diri darinya? Mahasuci Engkau, ya Allah. Sungguh ini suatu kebohongan yang besar.
• At-Tijani dalam kitabnya tersebut halaman 161 mengatakan,
“Tidak perlu dijelaskan lagi, bahwa aliran para pembangkang adalah aliran Ahli Sunnah wal Jama’ah.”
Tetapi sikap para ulama Ahli Sunnah wal Jama’ah menentang dan menolak para pembangkang dengan cara menyusun biografi para Ahlul Bait Radhiyallahu Anhu, yang bisa ditemukan oleh kaum Syi’ah dalam kitab-kitab induk mereka, merupakan bukti atas kebohongan At-Tijani dari Allah apa yang tidak berhak.
Dalam kitab yang sama halaman 163, At-Tijani mengatakan,
“Setelah pemaparan ini, jelas bagi kita bahwa para pembangkang yang selalu memusuhi Ali dan memerangi Ahlul Bait, Alaihimussalam adalah orang-orang yang menyebut dirinya sebagai Ahli Sunnah wal Jama’ah.”
• At-Tijani dalam kitabnya Kullu Al-Hulul Inda Ali Ar-Rasul, hal. 10, Daar Al-Mujtaba-Libanon, juga mengatakan,
“Sulit bagi orang-orang Syi’ah untuk melakukan shalat dengan imam kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah, yaitu orang-orang yang dalam satu segi mereka mengunakan ijtihad dalam masalah yang menyangkut hukum-hukum shalat, namun dari segi yang lain di tengah-tengah shalat mereka justru menghujat Ali dan Ahlul Bait.”
• At-Tijani dalam kitabnya Asy-Syi’ah Hum Ahli AS-Sunnah, halaman 295, mengatakan,
“Jika ingin memperluas pembahasan ini, kita harus mengatakan bahwa Ahli Sunnah wal Jama’ah adalah orang-orang yang memerangi keluarga besar Nabi lewat rezim para penguasa Dinasti Umayah dan Dinasti Abasiyah.”
• Tidak cukup hanya itu. At-Tijani pada halaman 159 dalam kitabnya tersebut juga menulis pasal dengan judul “Permusuhan Kaum Ahli Sunnah terhadap Ahlul Bait telah Membuka Kedok Mereka.” Pada halaman yang sama ia mengatakan,
“Sesungguhnya seorang peneliti akan tercengang ketika ia terbentur pada hakikat Ahli Sunnah wal Jama’ah. Ia akan tahu bahwa mereka adalah orang-orang yang memusuhi keturunan yang suci. Mereka ikut-ikutan kepada orang memusuhi, mengutuk, dan berusaha membunuh keturunan yang suci, serta menghapus jejak peninggalannya.”
• Pada halaman 164, ia mengatakan,
“Perhatikan pasal ini, maka Anda akan tahu hal-hal yang disembunyikan oleh kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah.bahkan mereka telah jauh dan telah berani bersikap dengki terhadap keluarga besar Nabi. Mereka sedikitpun tidak menyebutkan keutamaan-keutamaan Ahlul Bait Alaihimussalam, kecuali mereka telah menyelewengkannya.”
Menurut kami, orang sesat ini memang aneh. Ia menetapkan keutamaan-keutamaan Ahlul bait Radhiyallahu Anhum dari kitab-kitab Ahli Sunnah wal Jama’ah berdasarkan As-Sunnah. Tetapi anehnya, kenapa ia justru berargumen dengan hadits-hadits yang diselewengkan dengan ucapannya sendiri?
• Dan pada halaman 249, ia juga mengatakan,
“Tetapi karena terdorong oleh rasa permusuhan yang sangat berat, secara membabi-buta orang-orang Ahli Sunnah wal Jama’ah selalu berseberangan dengan Ali bin Abi Thalib dan Ahlul Bait. Alaihimussalam dalam segala sesuatu. Sampai-sampai semboyan mereka ialah menentang Ali dan golongannya dalam segala hal, sekalipun mereka memiliki dasar sunnah Nabi yang kuat.”
- Wahai para ulama dan orang-orang awam golongan Ahli Sunnah wal Jama’ah, benarkan semboyan kita ialah menentang Ali dalam segala hal?
- Selain itu, apakah kalian tidak sadar bahwa penganut Syi’ah, tidak memelihara (hubungan) kerabat terhadap orang-orang Islam dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian?
- Saudara-saudara kami sesama kaum Muslimin, dalam buku ini kalian akan tahu mazhab Syi’ah Itsna Asyar memperbolehkan para pengikutnya untuk berbohong dan mendustakan orang-orang yang menentang mereka.
• Pada halaman 299, ia mengatakan,
“Dengan melihat sekilas saja akidah-akidah kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah, kitab-kitab mereka, dan perilaku historis mereka terhadap Ahlul Bait, secara gamblang Anda akan tahu bahwa mereka selalu memilih jalan yang bertolak-belakang dan berlawanan dengan Ahlul Bait Alaihimussalam, dan bahwa memerangi keluarga Nabi tersebut, serta menggoreskan pena untuk mencari kekurangan-kekurangannya dan memperoleh kelemahan dari mereka untuk mengangkat harkat Syi’ah terhadap musuh mereka.”
• Dan pada halaman 300, ia mengatakan,
“Kita perhatikan mereka (kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah) bersikap diam dan merestui peristiwa pembantaian Husain. Hal itu tidak aneh, karena semua pembunuh Husain adalah orang Ahli Sunnah wal Jama’ah.”
Kebohongan yang dituduhkan oleh At-Tijani bahwa para pembunuh Husain itu kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah itu sangat jelas, sehingga tidak perlu untuk disanggah. Penyebab peristiwa pembantaian terhadap Husain Radhiyallahu Anhu adalah orang-orang Syi’ah sendiri. Orang-orang Ahli Sunnah wal Jama’ah sendiri, alhamdulillah bersih dari darahnya (tragedi pembunuhan itu).
• Seorang ulama mujtahid besar Syi’ah, Ayatullah Muhsin Al-Amin meriwayatkan dalam kitab A’yan Asy-Syi’ah (I/26) dari Abu Ja’far alias Muhammad Ali Al-Baqir yang ketika ditanya tentang orang yang bertanggung jawab atas darah cucu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam tersebut, ia mengatakan,
“Setelah Hasan dibai’at dan diambil janji oleh putranya, ia lalu ditipu dan dibiarkan begitu saja. Hasan diserang oleh penduduk Irak sehingga lambungnya tertikam, dan pasukannya dirampas. Mu’awiyah lah yang meumpahkan darahnya dan darah anggota keluarganya. Setelah Husain dibai’at oleh sebanyak dua puluh ribu penduduk Irak, mereka kemudian melanggar bai’at tersebut. Mereka keluar untuk menantangnya. Padahal saat itu bai’at masih terikat di leher mereka. Mereka membunuhnya.”
Penduduk Irak tersebut tersebut berasal dari kaum Syi’ah, bukan dari kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah. Fatimah Ash-Shughra Radhiyallahu Anha mengatakan,
“Selanjutnya, ketahuilah wahai penduduk Kuffah, wahai orang-orang yang suka berbuat makar, yang suka berbuat makar, yang suka berkhianat, dan yang sombong, sesungguhnya kami Ahlul Bait diuji oleh Allah lewat kalian, dan kalian juga diuji-Nya lewat kami. Mudah-mudahan Allah menjadikan kalian sebagai ujian yang baik.”
Riwayat tadi diketengahkan oleh guru Syi’ah Abu Manshur Ath-Thabrasi dalam Al-Ihtijaj (II/27), Naif, Al-A’lami-Beirut, cetakan kedua, hal. 392, seperti yang dituturkan oleh Shadiq Makki adlam kitab Mazhalim Ahli Al-Bait, hal. 265, cetakan pertama, Daar Al-Alamiyah, 1404 Hijriyah.
• Imam Ali bin Al-Husain As-Sajjad Radhiyallahu Anhuma berkata kepada pendahulu-pendahulu kaum Syi’ah,
“Itu tidak mungkin, wahai orang-orang suka berkhianat dan berbuat makar. Kalian terhalang dari keinginan-keinginan nafsu kalian. Apakah kalian ingin mendatangi aku sebagaimana sebelumnya kalian mendatangi bapak-bapakku?”4 [Riwayat ini diketengahkan oleh Ath-Thibrisi dalam Al-Ihtijaj, ii/32, Al-A’lami-Beirut, jilid II, hal. 306.]
• Coba simak berikut apa yang dikatakan oleh cucu Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, Al-Hasan bin Ali Radhiyallahu Anhuma, seperti yang diriwayatkan oleh Abu Manhsur Ath-Thibrisi dalam Al-Ihtijaj, terbitan An-Najf (II/10) Najf, Al-A’lami-Beirut, jilid II, hal. 290,
“Demi Allah, aku melihat Mu’awiyah lebih baik bagiku daripada mereka. Mereka mengaku sebagai para pengikutku. Tetapi mereka malah berusaha membunuhku dan merampas hartaku. Demi Allah, untuk mengambil janji dari Mu’awiyah yang dapat melindungi darahku dan merasa aman di tengah-tengah keluargaku, hal itu lebih baik daripada mereka membunuhku. Kalau aku memerangi Mu’awiyah, pasti mereka memegang leherku lalu menyerahkanku kepadanya.”
Menurut kami, tidak hanya ini persoalan yang dihadapi oleh para pendahulu At-Tijani terhadap Al-Hasan dan Al-Husain, bahkan juga terhadap ayah mereka, dengan alasan karena ia lebih mengutamakan para pengikut Mu’awiyah. Dengarkan apa yang ia katakan dalam Nahju Al-Balaghah, (I/188-190), Daar Al-Ma’rifah,
“Demi Allah, sesungguhnya aku suka kalau Mu’awiyah menukar aku dengan kalian seperti ia menukar dinar dengan dirham, lalu ia mengambil dariku sepuluh orang dari kalian, dan memberikan kepadaku satu orang dari mereka. Wahai penduduk Kuffah, aku mendapatkan cobaan karena kalian berkat tiga dan dua; ia tuli walaupun memiliki pendengaran, ia bisu walaupun bisa berbicara, ia buta walaupun memiliki penglihatan, tidak merdeka dan tidak jujur dalam berperang, dan tidak ada kawan yang terpercaya ketika tertimpa musibah.”
• Diriwayatkan oleh ahli hadits tokoh Syi’ah, Abu Amr Al-Kisysyi’, dalam kitab Al-Rijal, pada biografi Abu Al-Khattab, 254, dari imam Ash-Shadiq, sesungguhnya ia berkata,
“Setiap ayat yang diturunkan oleh Allah Ta’ala tentang orang-orang munafik, pasti menyinggung soal Syi’ah (ketika dilihat dari positif dan negatif –red).”
• Diriwayatkan oleh Al-Kasysyi dalam kitab Al-Rijal, hal. 253, dari Imam Ash-Shadiq Rahimahullah, sesungguhnya ia berkata,
“Ketika nanti Al-Qa’im muncul, yang pertama kali akan mendustakan aku adalah golonganku sendiri, lalu ia akan membunuh mereka.”
Di antara orang-orang yang disebutkan oleh Imam Ash-Shadiq, yang merasa keberatan hanya yang telah menuduh kaum Ahli Sunnah selalu memusuhi Ahlul Bait Radhiyallahu Anhum.
• Diriwayatkan oleh Muhammad bin Ya’qub Al-Kulaini dalam Al-Kafi (VIII/228), dari Imam Al-Kazhim Rahimahullah, sesungguhnya ia mengatakan,
“Jika aku berusaha memilih dari para pengikut (Syi’ah)ku, niscaya tidak aku dapatkan kecuali sifatnya saja. Jika aku uji mereka, niscaya tidak aku temukan kecuali orang-orang yang murtad. Dan jika aku seleksi mereka, niscaya dari seribu orang tidak ada satu pun yang lolos.”
Riwayat ini diketengahkan oleh Waram dalam kitabnya yang terkenal Tanbih Al-Khawathir wa Nuzhat AN-Naqazhir (II/152), Muassasah Al-A’lami-beirut. Berdasarkan hal ini, penisbatan orang-orang Syi’ah terhadap Ahlul Bait sama seperti penisbatan orang-orang Nashrani terhadap Nabi Isa, dan seperti perlakuan orang-orang Yahudi terhadap Nabi Musa.5[Bagi yang ingin mengetahui bagaimana Al-Husain Radhiyallahu Anhu dibantai, silahkan baca kitab Man Qatala Al-Husain, oleh Abdullah bin Abdul Aziz, terbitan Kairo.]
Itulah nash-nash yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan An-Nashib ialah Ahli Sunnah wal Jama’ah. Sementara nash-nash yang menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Al-Mukhalif juga Ahli Sunnah wal Jama’ah, dalam hal ini ada dua nash yang bisa saya kemukakan secara tegas, yakni:
A. Ayatullah agung, Al-Kalbayakani ditanya tentang beberapa pertanyaan sebagai berikut: “Siapa itu Al-Mukhalif? Apakah ia orang yang menentang ideologi Syi’ah dalam soal imamah, atau orang yang menentang sebagian imam dan setia kepada sebagian yang lain, sehingga dalam hal ini termasuk aliran Zaidiyah dan yang lain? Dan apakah hukum seorang penentang itu sama seperti hukum yang berlaku pada seorang pemberontak. Atau pembangkang, atau ekstrimis, atau bukan?”
Ia menjawab, “Dengan menyebut nama Allah Ta’ala menurut istilah kami, Al-Mukhalif itu berarti orang yang meningkari kekhilafan Amirul Mukminin Ali Alaihissalam, tanpa perlu dirinci. Orang yang hanya percaya kepada beberapa imam Alaihimussalam saja, kendatipun ia masih dianggap termasuk golongan Syi’ah namun hukum-hukum yang berlaku pada Itsna Asyar tidak memberlakukan haknya.”6[Lihat, Irsyad As-Sa’il, oleh Al-Kalbayakani, hal. 199, pertanyaan nomor 742.]
B. Yang mereka maksudkan dengan istilah Al-Mukhalifin ialah setiap orang Muslim yang bukan termasuk pengikut Syi’ah Imamiyah. Dan menurut mereka, kaum Ahli Sunnah wal Jama’ah ialah orang-orang yang mempercayai kekhilafan Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab Radhiyallahu Anhuma.
Ayatullah agung, Muhammad Sa’id Al-Hakim (yang sekarang berkuasa di Najf) dalam kitabnya Al-Muhkam fi Ushul Al-Fiqhi (VI/194) mengatakan, “Jelasnya, yang dimaksud dengan Al-Ammah Al-Mukhalifun ialah orang-orang yang loyal pada Abu Bakar Ash-Shiddiq dan Umar bin Khaththab, dan mengakui kekhilafannya, dari mana pun asal golongan mereka. Sebab, ia adalah termasuk orang yang terdapat dalam daftar-daftar nash yang telah disebutkan tadi.”