Tuesday, April 28, 2015

Kemenangan Islam Di Perang Qadisiyah

Merupakan satu kepastian bahwa kehidupan yang baik membutuhkan perjuangan. Harapan menumbuhkan semangat dan kekuatan, sementara angan-angan hanyalah melalaikan dan menyulut kemalasan.


Allah telah memilih para ksatria yang berjibaku dalam jihad fi sabilillah. Sekumpulan manusia yang mendambakan syahid di jalan-Nya. Mereka meninggalkan kelezatan dan kemegahan dunia, bergegas menuju gelanggang pertempuran. Tak lain, berjuang demi tegaknya Islam di muka bumi. Upaya menapaki bimbingan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, bukan aksi brutal mengatasnamakan agama.

Mereka tak menghiraukan jauhnya diri dari keluarga, sabetan pedang, luka yang menganga, maupun gugurnya teman seperjuangan. Sedari dulu, perjuangan membutuhkan pengorbanan. Teguh di saat menghadapi beratnya perjuangan, sabar di kala musibah mendera. Mereka benar-benar yakin bahwa apa yang ada di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah lebih baik dan kekal.

SEKILAS TENTANG PERANG QADISIYYAH

Qadisiyyah merupakan sebuah daerah di sebelah timur sungai Eufrat. Memiliki banyak kebun kurma dan aliran irigasi. Pintu gerbang kerajaan Persia Majusi (penyembah api) pada masa lampau. Adapun saat ini, Qadisiyyah terletak di barat daya Hillah dan Kufah, bagian tengah negara Irak.

Perang ini merupakan pertempuran terbesar yang belum pernah terjadi sebelumnya di Irak. Sejumlah kisah keberanian dan pengorbanan yang mendebarkan hati menghiasi insiden bersenjata ini. Peristiwa monumental tersebut berlangsung pada tahun 14 H, pada masa khalifah ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu.

LATAR BELAKANG PEPERANGAN

Setelah gugurnya panglima Abu ‘Ubaid pada pertempuran di jembatan sungai Eufrat, ditambah dengan pengkhianatan kaum kafir Irak pada masa itu, ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertekad memimpin ekspansi militer menuju Irak. Di tengah perjalanan, digelar majelis musyawarah militer. Para sahabat senior menyetujui kepemimpinan ‘Umar, kecuali ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. Beliau radhiyallahu ‘anhu berujar: “Aku khawatir apabila engkau kalah, maka kaum muslimin di seluruh penjuru bumi akan melemah. Aku mengusulkan agar engkau menunjuk seorang panglima, sementara engkau kembali ke Madinah.”

Kemudian ‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya: “Menurut pendapatmu, siapa orang yang tepat sebagai panglima perang di Irak?”, ‘Abdurrahman radhiyallahu ‘anhu menjawab: “Aku telah menemukannya.” ‘Umar radhiyallahu ‘anhu kembali bertanya: “Siapa dia?”, “Singa yang menerkam dengan kukunya, Sa’ad bin Malik Az-Zuhri!”, tegas ‘Abdurrahman bin ‘Auf radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar pun membenarkan hal itu, lalu segera mengutus Sa’ad beserta bala tentaranya menuju Irak yang termasuk teritorial imperium Persia. Sa’ad bin Malik sendiri lebih dikenal dengan nama Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.

STRATEGI PASUKAN ISLAM

Dengan sigap, Sa’ad mengerahkan tentaranya, untuk bergabung dengan pasukan Al-Mutsanna bin Haritsah di sana. Namun, sebelum kedua pasukan bertemu telah terdengar berita meninggalnya Al-Mutsanna. Lengkaplah jumlah pasukan Islam menjadi 30.000 prajurit. Di dalamnya terdapat 70 veteran perang Badar 300 sahabat nabi yang mengikuti Fathu Mekkah, dan 700 putra sahabat nabi.

Garda depan dipimpin oleh Zahrah bin ‘Abdullah, sayap kanan di bawah komando Jarir bin ‘Abdullah Al-Bajali radhiyallahu ‘anhu, dan sayap kiri diatur oleh Qais bin Maksyuh radhiyallahu ‘anhu. Bertindak sebagai panglima tertinggi seluruh pasukan Islam adalah Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu. ‘Umar mengomentari: “Demi Allah, aku akan mempertemukan para raja non Arab dengan raja-raja Arab.”

STRATEGI PASUKAN KAFIR PERSIA

Sampailah pasukan Islam di Qadisiyyah dan menetap selama satu bulan. Maka rakyat Persia segera melaporkan tindakan kaum muslimin tersebut kepada Yazdigird, raja Persia kala itu. Kemudian, Yazdigird mengirim parade militer berskala besar ke Qadisiyyah. Bataliyon gabungan artileri-kavaleri ini di bawah komando panglima senior yang bernama Rustum.

Mereka berangkat membawa 12.000 personil. Garda depan dipimpin Jalinius, pertahanan belakang diatur oleh Al-Bairuzan, sayap kanan dipimpin Hurmuzan, adapun sayap kiri dipegang oleh Mihran. Persia semakin congkak tatkala diperkuat oleh 33 gajah. Setiap gajah menarik gerbong yang membawa 20 serdadu beserta peti persenjataan. Musuh menempatkan 18 gajah pada lini tengah pasukan, di antaranya seekor gajah putih milik raja yang paling besar di garis terdepan. Adapun 15 gajah lainnya pada posisi sayap kanan dan kiri pasukan. Sebuah taktik tempur yang membahayakan.

SATUAN INTAI DAN TEMPUR

Satuan intelijen dikirim guna menjalankan misi spionase atas musuh. Di antara mereka adalah Thulaihah Al-Asadi. Beliau memacu kudanya menempuh perjalanan sejauh enam mil menyusup ke dalam barisan musuh, dan mendapatkan data akurat. Thulaihah berhasil menewaskan dua komandan senior Persia, yang mana kekuatan masing-masingnya setara dengan 1.000 serdadu. Beliau juga menawan seorang komandan senior lainnya untuk dihadapkan kepada Sa’ad. Tawanan tersebut justru menceritakan sepak terjang Thulaihah yang menakjubkan, lalu menginformasikan bahwa musuh berkekuatan 120.000 personil dan di belakangnya terdapat jumlah pasukan yang sama. Setelah itu tawanan tersebut masuk Islam dan Sa’ad memberinya nama Muslim.

PERUNDINGAN SEBELUM MELETUSNYA PERTEMPURAN

Di saat kedua kubu saling berhadapan, Sa’ad mengutus Al-Mughirah bin Syu’bah radhiyallahu ‘anhu. Beliau segera datang dan langsung duduk di sisi Rustum. Hal ini membuat para pembesar Persia berang, namun dengan tenang beliau menjawab: “Sesungguhnya duduk di singgasana ini tidaklah meninggikan kedudukanku, dan tidak pula mengurangi kedudukan panglima kalian.”

Setelah itu Rib’i bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu diutus menemui Rustum. Bersamaan dengan itu, musuh telah menghiasi tenda dengan berbagai perhiasan yang menyilaukan mata. Mereka meletakkan sejumlah bantal berajut benang emas serta permadani yang terbuat dari sutera. Rustum sendiri memakai mahkota tengah duduk di atas singgasana yang terbuat dari emas.

Di sisi lain, Rib’i bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu datang menaiki seekor kuda pendek. Beliau masuk tenda dengan tetap mengenakan baju besi dan senjatanya. Namun, kedua perundingan ini berakhir tanpa membawa hasil.

BERKOBARNYA API PERTEMPURAN

Menjelang pecahnya pertempuran, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu tertimpa penyakit bisul di sekujur tubuhnya. Keadaan ini menghalangi beliau untuk memacu kudanya.

Pintu benteng sendiri tidak ditutup menunjukkan keberanian Sa’ad. Dari atas benteng, beliau mengatur pasukan dalam keadaan bersandar di atas dadanya yang terletak di atas bantal. Sa’ad radhiyallahu ‘anhu menghadirkan para pemuka kaum, jagoan perang, dan penyair sebagai upaya mengobarkan ruh jihad tentara Islam.

Beliau radhiyallahu ‘anhu juga memerintahkan agar dibacakan ayat-ayat jihad dari surat Al-Anfal. Hal ini membawa ketenangan bagi pejuang Islam. Mereka mengetahui kemenangan bukan dinilai dari kekuatan pasukan. Kemenangan adalah karunia dan pertolongan Allah subhanahu wa ta’ala.

Di sisi lain, Persia mempersiapkan 30.000 tentara khusus yang diikat dengan rantai besi agar tidak melarikan diri. Rustum sendiri mengenakan dua lapis baju besi. Rustum sempat mengalami mimpi buruk tentang kekalahan pasukannya. Dia adalah seorang dukun yang mengetahui ilmu perbintangan. Dia pun bersedih, namun ia menyembunyikan hal itu.

Seusai shalat zhuhur, Sa’ad radhiyallahu ‘anhu mengumandangkan takbir pertama, seluruh prajurit bertakbir dan menyiapkan diri. Takbir kedua, mereka kembali bertakbir dan bersiap dengan senjatanya. Takbir ketiga dikumandangkan, merekapun serempak bertakbir sembari bersiap memacu kuda-kuda. Dan setelah pekikan takbir keempat, seluruh prajurit menggempur barikade Persia hingga malam tiba, ibarat singa-singa garang yang memburu mangsanya. Bahkan singa saja tidak segarang mereka. Di hari itu, banyak korban berjatuhan dari pihak Islam. Gajah-gajah Persia membuat takut kuda-kuda Arab hingga lari darinya.

Pertempuran berkobar pada pagi hari kedua hingga larut malam. Al-Qa’qa’ bin ‘Amr memerintahkan agar memberikan kostum menyeramkan pada sejumlah unta Arab. Hal ini membuat kuda Persia ketakutan.

Sementara itu, bantuan pasukan Islam datang dari Syam sebanyak 6.000 personil. Tentara Islam benar-benar bertempur dengan gagah berani hingga larut malam. Di saat pergantian hari, kaum muslimin mengubur jenazah pejuang dan memindahkan prajurit yang terluka parah. Adapun mayat-mayat serdadu Persia dibiarkan bergelimpangan.

Pada pagi hari ketiga, mereka kembali berperang hingga sore hari. Tak terdengar pada hari itu melainkan suara pedang-pedang yang beradu. Sampailah pertempuran pada hari keempat. Milisi militan Islam berhasil melukai dan membunuh sejumlah gajah pasukan Persia.

AKHIR DARI PERTEMPURAN

Permukaan bumi Qadisiyyah bersimbah darah. Api perang terus berkobar. Para pejuang Islam terus maju menggempur barikade musuh. Matahari tergelincir siang itu, tiba-tiba berhembus angin kencang memporak-porandakan tenda-tenda Persia, termasuk tenda milik Rustum. Suasana menjadi samar tak jelas dipenuhi debu. Rustum hendak melarikan diri namun tewas terbunuh. Nasib serupa juga menimpa Jalinius.

Akhirnya, pasukan penyembah api itu mengalami kekalahan telak dan lari tercerai-berai. Para pejuang Islam dengan leluasa membunuh dan mengejar ke mana pun mereka menuju, baik ke arah sungai, gunung maupun lembah. Jumlah pasukan Persia yang terbunuh pada perang ini sebanyak 40.000 tentara. Adapun jumlah pasukan Islam yang gugur sebanyak 2.500 tentara.

Itulah para mujahidin sejati yang berupaya menaati Allah subhanahu wa ta’ala dan rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wasallam. Mereka sibuk memperbaiki anak panah dan meruncingkan ujung tombak. Barisan ksatria yang selalu bergemuruh membaca Al-Qur’an ketika malam tiba. Adapun di siang hari, mereka adalah para penunggang kuda yang tangguh tak terkalahkan. Berjuang sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan ikhlas mengharap ridho Allah subhanahu wa ta’ala, sehingga Allah subhanahu wa ta’ala turunkan pertolongan untuk mereka dan memberi mereka kemenangan. Walhamdulillah..

Buletin Al-Ilmu Edisi No: 16 / IV / IX / 1432

Mengapa Syiah Hanya Berpusat di Iran, Tidak di Negara Lain?

SEPERTI yang kita ketahui, Iran adalah salah satu negara Syiah terbesar di dunia. Iran terkenal dengan sejarahnya yaitu ‘Revolusi (Islam) Iran’ yang dipimpin oleh Ayatullah Khomeini, seorang pemimpin besar Syiah. Namun, pernahkah kita bertanya, “Mengapa Syiah itu berpusat di Iran dan tidak di negara lain?”
Iran merupakan negara yang dahulunya dikenali dengan nama Parsi. Parsi merupakan sebuah kerajaan yang besar dimana mayoritas penduduknya menganut agama Majusi (penyembah api, atau lebih dikenal sebagai Zoroasterisme). Kehidupan mereka mewah dengan harta benda, kerana memang kota-kota di Parsi indah dan subur, serta peradabannya cukup maju pada masa itu.
Pada abad ke-7 Masehi, ketika cahaya Islam baru saja menjadi satu kekuatan besar dalam percaturan kekuasaan di dunia, Islam tampil sebagai ‘rising star’ di bawah pimpinan Umar Al-Khattab. Ketika itu, Umar mengembangkan wilayah Islam hingga ke Parsi, dimana pada ketika itu Parsi bernama Sassania. Pertempuran tentara Islam melawan tentara Parsi yang dikenal dengan nama peperangan Qadisiyah, di antaranya Saad bin Abi Waqqash melawan panglima Parsi, Rustum. Parsi akhirnya kalah. Peperangan demi peperangan melemahkan lagi kerajaan Parsi sekaligus menenggelamkan Kaisar Parsi ke ambang kehancuran. Akhirnya kerajaam Parsi benar-benar runtuh dalam Perang Madain pada tahun 651 Masehi.
Pada ketika itu, banyak kaum Majusi yang berpura-pura memeluk agama Islam. Niat mereka hanyalah satu : untuk menghancurkan Islam dari dalam. Mereka menyusun rencana demi meruntuhkan kekuasaan kaum muslimin dengan cara menyelewengkan ajaran Islam dengan mencampuradukkan aqidah Majusi dan Yahudi.
Dan di antara rencana itu adalah dengan pembunuhan Umar Al-Khattab, Khalifah Islam yang telah meruntuhkan kerajaan Majusi Kaisar Parsi. Itulah mengapa Syiah benar-benar benci kepada Umar Al-Khattab. Kebencian yang amat sangat itu bisa dilihat dengan pengagungan Abu Lu’luah (pembunuh Khalifah Umar) dengan gelar ‘Bapak Pembela Agama’
Sementara salah seorang puteri kaisar terakhir mereka, yaitu Yazdegerd III telah menjadi tawanan kaum Muslimin sejurus setelah kejatuhan Kaisar Parsi. Puteri Kaisar itu akhirnya dinikahkan dengan Hussein bin Ali bin Abi Thalib. Maka, karena ini jugalah mereka begitu fanatik dan cenderung ‘mendewakan’ Hussein bin Ali. Hussein memiliki keturunan dari puteri Sassania yang mereka anggap sebagai keramat.
Di sini terjawablah sudah mengapa Syiah berpusat di Iran. Syiah adalah agama yang ‘dilahirkan’ untuk membalas dendam kekalahan Kaisar Parsi terhadap Islam. Syiah adalah simbol hasad dan kemarahan kaum Parsi kepada bangsa Arab umumnya dan kaum Muslimin khususnya.
Peneliti Iran: Permusuhan Syiah pada Umar bin Khattab Dibungkus Baju Agama dan Mazhab

Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) Kabupaten Pati pada Selasa, (27/04) mengadakan seminar “Membongkar Kesesatan Syiah”. Acara yang dihadiri sekitar 500 kaum muslimin itu digelar bersamaan dengan pelantikan pengurus DDII Kabupaten Pati.
KH. Abdul Wahid, salah seorang ulama dari Gemolong Sragen dalam seminar itu menyampaikan bahwa syiah bukanlah bagian dari Islam. Bahkan, aliran syiah dapat membahayakan akidah umat Islam.
“Agama syiah bukan agama Islam, tetapi agama baru yang dibangun di atas kedustaan, kebencian serta kedengkian para bangsawan dan pemuka agama Majusi-Persia (sekarang Iran, red). Karena kerajaan mereka dihancurkan oleh tentara kaum muslimin pada masa khalifah Umar bin Khattab pada tahun 14 H,” ujar KH. Abdul Wahid dalam kesempatannya.
Beliau juga mengutip pernyataan Dr. Lawrence Brown, seorang orientalis berkebangsaan Inggris yang tinggal di Iran selama waktu yang panjang dalam penelitiannya tentang sejarah bangsa Iran.
Dalam karyanya yang berjudul “Tarikh Adabiyat Iran Juz I halaman 217, Brown menuturkan, “Di antara faktor terpenting yang menyebabkan permusuhan bangsa Iran terhadap Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, Khalifah Rasyidah II adalah karena beliau telah menaklukkan negeri bangsa non Arab dan telah meruntuhkan kekuatan mereka. Hanya saja permusuhan tersebut dibungkus dengan baju agama dan madzhab.”
Brown juga menjelaskan bahwa kebencian kelompok syiah kepada Khalifah Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bukan karena merampas hak-hak Ali bin Abu Tahalib  radhiyallahu ‘anhu, dan Fathimah radhiyallahu ‘anha, tetapi karena beliau menaklukkan Iran dan menumbangkan Dinasti Sassaniyah.
Sementara, pembicara kedua adalah Ustadz Mas’ud Izzul Mujahid, salah seorang relawan kemanusiaan Suriah. Beliau menceritakan bagaimana kebrutalan dan kebiadaban syiah nushairiyah yang telah membantai umat Islam di Suriah.
Ketika di temui reporter Kiblat.net, panitia acara ini menegaskan bahwa seminar semacam ini diadakan untuk membangkitkan kewaspadaan umat akan bahayanya gerakan syiah.
 “Seminar ini kita adakan agar umat Islam di Pati dan sekitarnya ini, waspada akan kesesatan syiah dan perkembangannya. Apalagi di daerah Bangsri, Jepara yang tetangga kabupaten itu sudah ada komunitas syiah yang sudah terang terangan dalam menjalankan Ibadah. Bahkan, sampe punya sekolah dan masjid sendiri,” ujar salah seorang panitia acara yang tidak menyebutkan namanya.