Saturday, May 16, 2015

Qom : Pusat Keagamaan Syiah Di Iran Yang Sarat Akan Kerusakan Moral

                                             Hasil gambar untuk Qom : Pusat Keagamaan Syiah Di Iran Yang Sarat Akan Kerusakan Moral
Kota Bejat Itu Bernama Qom
Oleh : Fairuz Ahmad

Gelar Republik “Islam” yang disandang negeri Iran ternyata tak seindah yang kita bayangkan. Bagi yang belum mengerti kerusakan agama Syi’ah, boleh jadi berpikiran bahwa gelar itu merupakan manifestasi dari penerapan hukum Islam di negara itu. Lantas, bagaimana halnya jika asumsi itu kita tabrakkan dengan judul artikel di atas?
Berikut ini kami sajikan sebuah tulisan ringkas yang akan membuka mata kita, tentang potret kebobrokan Iran, tepat di jantung pusat keagamaan Syi’ah, kota Qom.

Kerusakan kota-kota suci Iran ternyata erat kaitannya dengan para mollah. Sebab hanya para mollah itulah yang dapat masuk ke pusat-pusat pendidikan yang dikhususkan untuk gadis-gadis, meski pada dasarnya mengajar di tempat-tempat tersebut terlarang bagi laki-laki di kota Qom. Begitu juga dengan pusa-pusat kesehatan, rumah sakit dan tempat-tempat wisata yang dikhususkan buat wanita, banyak dijumpai para mollah berjalan-jalan dengan bebasnya seakan mereka adalah kelompok orang yang telah dihalalkan atas semua wanita yang masuk ke tempat-tempat tersebut.

Bahkan kerusakan di kota Qom jauh melebihi kerusakan kota Teheran yang merupakan kota yang lebih terbuka di banding Qom.
Angka bunuh diri di kalangan wanitanya dengan jalan minum racun sangatlah tinggi, dan hal itu disebabkan oleh beban mental yang banyak dirasakan oleh para wanita dan gadis-gadis yang tinggal di kota itu sebagai dampak dari situasi yang telah memaksa mereka dan juga cara-cara yang diterapkan oleh “syurthatul akhlaqil hamidah” yaitu polisi penegak akhlak terpuji di bawah kekuasaan para mollah.
Kondisi kejiwaan inilah yang di saat tertentu dapat memicu tindak kejahatan dari kaum laki-laki Iran untuk melakukan penculikan dan pemerkosaan, bahkan tak jarang berakhir dengan dibunuhnya sang korban karena takut dilaporkan. Dan sebagian wanita dan gadis korban perkosaan pun tak jarang yang mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri karena malu dengan apa yang menimpanya.
Nyatanya, wanita di kota Qom selalu dalam resiko penghinaan dan pelecehan seksual, khususnya yang dilakukan oleh kalangan pelajar agama di Hauzah. Setiap kali mereka melihat wanita atau gadis yang sedang berada dijalan, maka buru-buru mereka membuka percakapan dengannya tentang nikah mut’ah, bahkan sedikit pun mereka tidak membuka ruang tanya jawab meski si wanita atau gadis tersebut merasa keberatan. Hal itu dikarenakan apa yang mereka inginkan adalah perkara yang disyari’atkan dan telah ditegaskan oleh pemerintah, di samping mut’ah dalam keyakinan mereka adalah perbuatan terpuji dan telah diwasiatkan oleh para Imam mereka sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab Imam mereka.
Karena itulah wanita-wanita di Qom harus menanggung penghinaan dan pelecehan seksual ini dari para mollah, pemuda dan juga kaum laki-laki. Mereka hanya mempunyai dua pilihan; tetap tunduk dengan aturan itu atau hidup dalam situasi kepahitan jiwa.

Sebagian besar kehidupan rumah tangga di kota Qom juga mengalami kegagalan, karena sebagian besar dari mereka hidup dengan tetap menjalani kebiasaan dan mengikuti adat yang menguasai di kota itu. Adat kebiasaan ini kadang bertentangan dengan tingkat pengetahuan dansosial mereka, dan adat inilah yang sering kali mendorong kaum laki-laki untuk melakukan mut’ah sebab mereka meneladani para mollah. Dan sebaliknya banyak para istri yang kemudian membalas perbuatan suaminya dengan menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Inilah yang menyebabkan kehidupan rumah tangga mereka berakhir dengan kegagalan lalu dilanjutkan dengan perceraian. Menurut penelitian tentang keadaan sosial di kota Qom, ternyata angka perceraian di kota itu menduduki peringkat terbesar kedua di negara Iran.
Seperti diketahui bahwa pengadilan yang khusus menangani kasus-kasus perdata di Iran dilaksanakan dengan perantara hakim-hakim yang selalu memotivasi para wanita dan gadis untuk melakukan perceraian, dan segera setelah perceraian itu mereka dipindahkan ke Yayasan-yayasan sosial dengan dalih menolong mereka agar cepat mendapatkan pekerjaan, namun pada kenyataannya mereka terjebak dalam perangkap para mollah untuk dijadikan budak dengan alasan mut’ah. Yayasan Az-Zahra’ termasuk Yayasan paling terkenal yang menjadi tempat tinggal para janda dan tempat bersenang-senangnya para mollah dan para pelajar agama di Hauzah yang sangat menginginkan berbuat mesum atas nama mut’ah.

Sampai ada hal yang sangat sulit dipercaya, jika dikatakan ada data yang tidak resmi menegaskan bahwa kota Qom telah mencatat angka tertinggi dalam masalah aborsi dengan cara yang tidak diatur oleh undang-undang. Sehingga sangat mustahil bila dalam sehari tidak ditemukan janin-janin yang telah dibuang di tempat-tempat sampah atau selokan air.
Kerusakan kota Qom tidak hanya itu, sebab kerusakan-serusakan lain juga telah mencatat angka yang sangat tinggi seperti pertikaian dan perkelahian antar kelompok dan perorangan yang menyebabkan menumpuknya korban luka-luka di rumah sakit Nakui di Qom setiap harinya. Salah satu jalan yang sering terjadi perkelahian adalah jalan Bajik.

Kota Qom juga mencatat angka tertinggi kedua penderita AIDS. Demikian juga dengan angka pecandu kokain jenis “crack”, tercatat bahwa satu dari tiga orang di kota Qom adalah pecandu opium.
Kota Qom juga tercatat sebagai kota yang paling banyak menggunakan minuman keras oplosan yang mengandung bahan kimia yang dapat menyebabkan kematian atau hilangnya penglihatan, sebagaimana yang pernah terjadi dalam peristiwa peringatan “Iedun Nairuz”.
Sedang kondisi mata pencaharian masyarakat dan tingkat kemiskinan di kota Qom juga sangat memprihatinkan. Angka kemiskinan dan kelaparan di kota ini sangat tidak bisa dipercaya. Banyak masyarakat di kota ini yang sulit bahkan sekedar melindungi diri mereka dari cuaca dingin yang ekstrim atau musim panas yang menyengat. Makanan mereka sehari-hari adalah roti dan air, dan agak lebih baik sedikit adalah makaroni. Sering kali orang tua mereka menyaksikan kematian anak-anaknya di depan mata mereka karena ketidakmampuan berobat, bahkan mereka juga tidak memiliki kartu jaminan kesehatan.

Di antara keluarga-keluarga miskin di kota Qom juga sangat banyak yang mempekerjakan anak-anak kecil mereka di pabrik pembuatan batu bata dari malam hingga siang hari untuk sekedar bertahan hidup.
Sedang pemandangan seperti ini berlangsung di tengah banyaknya mollah yang hidup dalam kondisi serba mewah yang dihasilkan dari kekuasaan mereka atas proyek-proyek ekonomi dan kepemilikan saham pada banyak perusahaan-perusahaan besar. Mereka dapatkan bagian itu dari apa yang dinamakan harta “humus” yaitu berhak atas 5% dari harta yang diambil dari para pengikutnya. Harta humus ini bisa mencapai milyaran Tuman dalam setahunnya sehingga memungkinkan para mollah memiliki bangunan-bangunan istana di kawasan elit seperti Salarie, Amin Boulvare dan lain-lain di samping kepemilikan mereka atas rumah-rumah mewah di kawasan Niavaran utara Teheran.
Sumber :

Meneropong Masyarakat Iran

(Tiga Dasawarsa Pasca Revolusi)

                                                              iran
Politik Shah Iran sebelum revolusi berkiblat ke Barat. Iran saat itu merupakan sebuah negara dengan praktek korupsi yang terjadi di mana-mana. Pada tahap selanjutnya, Revolusi Islam Syi’ah pimpinan Khomeini mengklaim datang untuk mewujudkan cita-cita Islam yang luhur: moralitas, stabilitas, kesetaraan, kesejahteraan, keadilan, perang terhadap narkoba dan prostitusi, dll.
Pertanyaannya, setelah lewat 30 tahun lebih revolusi, apakah cita-cita luhur tersebut telah terwujud?
Fakta menunjukkan bahwa problem yang membelit masyarakat Iran semakin berat.
Problem Pertama : Penyalahgunaan Narkoba
Problem pertama adalah penyalahgunaan narkoba. Peneliti memperkirakan bahwa di Iran terdapat 2,5 juta pecandu narkoba. Bila rata-rata keluarga terdiri dari 5 orang anggota, maka 12,5 juta anggota masyarakat Iran sibuk mengurus pecandu narkoba dengan segala persoalan yang ditimbulkannya.
Laporan United Nations Office on Drugs and Crime tahun 2005 yang memonitor statistic pengguna opium dunia menunjuk Iran sebagai negara dengan pengguna narkoba terbesar di dunia. 2,5% penduduk yang berusia di atas 15 tahun merupakan pecandu salah satu jenis narkoba. Menyusul Iran dalam penyalahgunaan narkoba di atas 2% ialah Mauritius dan Kyrgyzstan.
Laporan kawat diplomatik yang dirilis Wikileaks menyebut Iran sebagai negara terbesar pemasok obat-obatan terlarang di dunia. Menteri luar negeri Azerbaijan pernah menyinggung bahwa operasi pengedaran narkoba dikendalikan langsung oleh petugas keamanan Iran. Dia menyebut bahwapengedar narkoba asal Iran yang berhasil dibekuk keamanan negaranya dan diekstradisi ke Iran justru dapat segera lepas dari tuntutan hukum.
Problem Kedua : Prostitusi/Pelacuran
Adapun prostitusi, Radio Liberty merilis berdasarkan laporan resmi bahwa di Iran terdapat 300 ribu perempuan yang bekerja sebagai pekerja seks komersial (PSK). Koran-koran lokal menegaskan bahwa angka tersebut secara konsisten mengalami peningkatan. Rasool Nafisi, sosiolog dan analis politik Iran di Strayer University, Washington mengungkapkan bahwa peningkatan tersebut akibat tekanan ekonomi, tingginya tingkat perceraian, dan eksploitasi perempuan-perempuan keluarga miskin yang lari dari wilayah desa.
Beberapa penelitian mengungkapkan bahwa sebelumnya prostitusi hanya menyebar di kalangan yang belum menikah, namun kini berpindah ke kalangan yang telah menikah. Usia PSK pemula juga mengalami kecenderungan turun hingga ke usia 15 tahun. Padahal, di dua dasawarsa pertama revolusi, PSK pemula berusia rata-rata 30 tahun. Motif prostitusi juga mengalami pergeseran, dari yang sebelumnya pemenuhan kebutuhan primer menjadi sekadar tuntutan kebutuhan sekunder.
Penelitian mutakhir bahkan menunjukkan fakta yang lebih jauh, yaitu mulainya profesi PSK di kalangan anak-anak usia 8-10 tahun. Sebuah laporan yang pernah menimbulkan reaksi keras dari parlemen Iran.
Laporan Iran yang dirilis pertama pada tahun 2000 silam mengakui adanya fenomena dan peningkatan konsisten praktek prostitusi dan penyalahgunaan narkoba, khususnya di kalangan remaja. Sesuai laporan tersebut, peningkatan tajam terjadi khususnya pada rentang waktu 1998-1999. Laporan tersebut disusun oleh Mohamad Ali Zam, Ketua Bidang Budaya dan Seni di Teheran, dan punya pengaruh politik.
Problem Ketiga : Shalat
Laporan yang sama merilis tingkat kedisiplinan melakukan shalat. Hasilnya, 75% penduduk, dan khususnya 86% pelajar dan remaja, tidak melakukan shalat.
Problem Keempat : Kemiskinan
Selanjutnya, ada laporan yang menyebut angka antara 10-15 juta penduduk miskin di Iran. Sosiolog dan ekonom Dr. Muhammad Jawwad Zahidi memperingatkan dalam penelitiannya tentang apa yang dia sebut sebagai bahaya “Tsunami Kemiskinan” yang mengancam Republik Iran. Bahaya tersebut, menurutnya, merupakan dampak dari berbagai sebab: inflasi, korupsi, diskriminasi ekonomi, dan lemahnya sektor swasta.
Tidak adanya jaminan sosial turut menyeret kelompok menengah dan rendah ke tingkat kemiskinan akut. Kemiskinan ini selanjutnya menimbulkan berbagai problem sosial lainnya, seperti penyalahgunaan narkoba, kekerasan, dan prostitusi. Bank Dunia melaporkan pada 2010 berdasarkan indikator pekerjaan dan penghasilan bahwa Iran menduduki ranking 137 dari 187 negara di dunia.
Problem Kelima : Kriminalitas
Problem lain yang membelit Iran adalah penduduk kawasan kumuh yang diperkirakan mencapai 5 juta jiwa. Laporan lain menyebut angka hingga 20 juta jiwa. Kondisi ini laten menimbulkan perilaku kriminalitas. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap penduduk di daerah pedesaan pinggiran Teheran menyimpulkan bahwa 59% mereka adalah kriminalis.
Problem Keenam : Pendidikan
Pada medio tahun 2010 Iran tersadar akan krisis serius yang menimpa sektor pendidikan. Kesadaran tersebut lahir pasca evaluasi pemimpin-pemimpin Iran terhadap pemerintah revolusi yang silih berganti namun gagal mentransformasikan nilai-nilai revolusi Islam Syi’ah. Menindaklanjuti hal tersebut, Pemerintah Iran mendeklarasikan piagam nasional pendidikan dalam rangka islamisasi Syi’ahisasi pendidikan. Perumusan piagam tersebut memakan waktu hingga lima tahun dan telah diumumkan sendiri oleh presiden yang lalu, Ahmadinejad.
Jelas bahwa kriteria masyarakat yang bersih, disiplin, menjaga nilai-nilai moral, keadilan, persamaan, pemerataan pendapatan, dan yang sejenisnya merupakan karakter pokok masyarakat yang menerapkan nilai-nilai ajaran Islam. Setidaknya, kriteria tersebut semakin lama semakin jelas dan tampak setelah sebelumnya jauh dari nilai-nilai Islam. Sehingga kebersihan, kedisiplinan, moralitas, keadilan, kehidupan layak, dll semakin merata dan dirasakan.
Demikian itulah seharusnya. Namun, hal tersebut sama sekali tidak terjadi di Republik Islam Iran. Kenapa? Penulis mengajak untuk melihat ke dalam ajaran Syiah dengan komposisinya yang spesifik. Menurut hemat penulis, ada dua faktor yang dominan: (1) kelas mullah, dan (2) konsep wilayah versi Syiah.
Bagian berikut akan mengurai peran kedua faktor tersebut dalam menciptakan kebangkrutan dan amoralitas.
Pertama, Kelas Mullah
Salah satu perbedaan fundamental antara Islam dengan agama-agama sebelumnya, khususnya Nasrani, adalah dihapuskannya kelas pendeta.
Nasrani, misalnya, memosisikan gereja sebagai pengatur urusan agama. Kelas pendeta mengelola gereja dan menjadi mata rantai penghubung antara penganut Nasrani dengan Allah. Kelas pendeta ini dahulu memberikan pengampunan, memonopoli pemahaman agama, mengancam neraka kepada pihak-pihak yang menyelisihi gereja, serta bisa mengkavling Syurga bagi yang mampu menyerahkan bayaran kepada gereja.
Kelas pendeta inilah yang dalam masyarakat Eropa merupakan faktor penting mewabahnya kerusakan moral. Inilah yang menjadi latar belakang bangkitnya revolusi Martin Luther di Jerman. Revolusi yang melahirkan Protestanisme di awal abad ke-16 M. Latar belakang sama yang membangkitkan Revolusi Prancis di akhir abad ke-18 (1789 M), yang berhasil mengakhiri koalisi antara feodalisme tuan tanah dengan gereja dan melahirkan era modern.
Islam menghapuskan konsep kependetaan dan menetapkan bahwa hubungan antara hamba dengan Rabbnya tidak memerlukan perantara. Lantaran itu, Al-Qur’an mengecam kaum Musyrik yang menjadikan patung berhala sebagai perantara kepada Allah.
أَلا لِلَّهِ الدِّينُ الْـخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاءَ مَا نَعْبُدُهُمْ إلَّا لِيُقَرِّبُونَا إلَى اللَّهِ زُلْفَى
“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya.” (QS. al-Zumar/39: 3)
Al-Qur’an mengajarkan kepada setiap Muslim untuk hanya berdoa kepada Allah, tidak kepada selain-Nya dan tanpa perantara.
وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُونِي أَسْتَجِبْ لَكُمْ إنَّ الَّذِينَ يَسْتَكْبِرُونَ عَنْ عِبَادَتِي سَيَدْخُلُونَ جَهَنَّمَ دَاخِرِينَ
“Dan Tuhanmu berfirman: ‘Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari menyembah-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina.” (QS. Ghafir: 60)
Patut dicatat bahwa Syiah mewajibkan kepada setiap pengikutnya untuk terikat kepada seorang marja’ Syiah kontemporer. Selanjutnya, dia harus komitmen taat kepadanya, menyetor khumus(1/5 harta), taklid kepada ajaran ibadahnya, menjadikannya sumber fatwa, serta loyal kepadanya.
Dengan begitu, secara relatif para mullah dalam Syiah mirip dengan pendeta dalam gereja Nasrani. Dan mullah menjadi faktor yang juga berperan dalam mewabahnya kerusakan moral dalam masyarakat Iran. Terlebih karena kelompok mullah termasuk kelas borjuis lewat fasilitas khumus yang mereka nikmati.
Pemerintah Iran sendiri berusaha menutup-nutupi kejahatan para mullah tersebut. Pemerintah menutup segala informasi terkait kejahatan mullah. Politik ini diambil rezim Iran sejak periode awal pemerintahan revolusi saat terkuaknya skandal Sadegh Khalkhali, seorang tokoh kunci revolusi Iran tahun 1979.
Eksistensi pemuka agama dalam puncak rantai keagamaan penganut Syiah berakibat langsung terhadap dua hal: pribadi penganut Syiah itu sendiri, yang pasif serta terikat kepada mullahnya; dan masyarakat, yang bukti-bukti kerusakannya tampak dalam masyarakat Syiah klasik maupun kontemporer. Hasil investigasi, studi, serta laporan media memuat banyak sekali contoh tindakan amoral kelas mullah Syiah.
Kedua, Konsep Wilayah
Islam dibangun di atas dua fondasi: wahyu dan akal. Keselarasan antara keduanya akan membawa umat kepada kemajuan dan inovasi. Sebaliknya, kerapuhan terhadap salah satunya akan menjatuhkan dan melemahkan posisi umat Islam.
Kita berkeyakinan bahwa wahyu telah terputus dengan wafatnya Rasulullahshallallahu alaihi wasallam. Sehingga yang tersisa bagi kita adalah optimalisasi peran akal dalam proses ijtihad dan menerapkan ajaran syariat.
Sebaliknya, doktrin Syiah menetapkan bahwa wahyu belum terputus sehingga terdapat 12 imam pasca Rasulullah yang menerima wahyu lewat ilham. Perkataan para imam itu setingkat dengan wahyu dan melengkapi syariat yang dibawa Nabi Muhammadshallallahu alaihi wasallam.
Tidak cukup sampai di situ, Syiah menunggu Mahdi al-Muntazhar yang diklaim hidup abadi dan menampakkan diri pada segelintir manusia. Dia mengajar manusia-manusia tertentu dan meluruskan pendapat-pendapatnya.
Doktrin-doktrin semacam ini mengkultuskan pendapat-pendapat manusia biasa dan membuka pintu bagi suburnya khurafat, takhayul, dan angan-angan.
Dalam ajaran Syiah, konsep wilayah merupakan bagian dari “irfan.” Al-Jabiri mencatat dalamal-Aql al-Arabiybahwa konsep “irfan” Syiah terpengaruh dengan peninggalan hermetisisme. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Henry Corbin dalam bukunyaHistoire de la philosophie Islamique.
Corbin menulis tentang Syiah sebagai“kelompok pertama yang mengalami hermetisisme dalam Islam.” Padahal, secara umum diketahui bahwa “irfan” mengklaim ilmu berasal darikasyf/penampakan, bukan dari hasil penalaran akal. Konsep yang membuka pintu bagi berkembangnya dongeng dan kepercayaan semu serta mematikan akal kritis.
Konsep wilayah pada gilirannya melahirkan dua konsekuensi serius dalam ajaran Syiah. Di bidang naql/wahyu, penambahan perkataan manusia yang nisbi (imam dua belas) sejajar dengan wahyu yang suci. Sedangkan di bidang nalar, berkembangnya paham-paham irrasional akibat “irfan hermetisisme.”
Jelaslah bahwa struktur sosial masyarakat Iran sangat rapuh. Revolusi “Islam” Syi’ah gagal memberantas prostitusi, penyalahgunaan narkoba, korupsi, kriminalitas,broken home yang diwariskan dari pemerintahan Shah silam. Data-data yang ada bahkan menunjukkan kecenderungan peningkatan yang berbanding lurus dengan mewabahnya problem sosial.
Kajian ini menelusuri problem tersebut dalam perspektif ajaran Syiah dan menemukan saham penting kelas mullah dan konsep wilayah versi Syiah di dalamnya.
Sumber : Moslem Channel‘s status.
https://salafytaubat.wordpress.com/2013/10/02/meneropong-masyarakat-iran/