Sunday, May 31, 2015

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albany dan 9 Tuduhan Dusta Yang Dialamatkan Padanya (Bag. III)

Berikut adalah lanjutan dari dua tulisan sebelumnya :
Tulisan ini diterjemahkan secara ringkas dan bebas, serta diambil dari artikel yang dituliskan oleh Syaikh  Muhammad Umar Bazmul (untuk yang mengerti bahasa arab, silahkan baca artikel lengkapnya disini)
6. Bermadzhab Dzohiri
Tuduhan ini juga perlu bukti. Adapun sifat yang disandarkan kepada ahli hadits bahwa mereka termasuk ahli dzahir, ini merupakan kata-kata yang terdengar setiap masa. Oleh karena itu disandarkannya sifat tersebut kepada Syaikh Al-Albany bukanlah suatu yang aneh, sebab beliau termasuk ahli hadits.
Untuk menghilangkan kesamaran yang telah merasuki otak sebagian orang, perlu dipaparkan beberapa pertanyaan berikut.
Apakah Syaikh Al-Albany pernah berkata terus terang di kitab-kitabnya bahwa ia bermadzhab dzahiri?
Apakah Syaikh Al-Albany yang hanya sekedar menukil perkataan dari kitab Ibnu Hazm bisa dikatakan bermadzhab dzahiri?
Perlu diketahui bahwa Syaikh Al-Albani di beberapa tempat dari kitabnya menyampaikan kritik keras terhadap Ibnu Hazm Adz-Dzahiri. Di kitab Tamamul Minnah, halaman 160 beliau berkomentar : “Untuk menyelisihi pendapat yang dipegang oleh Ibnu Hazm”.
Pada kitab yang sama, halaman 162 beliau berkata : “Saya merasa heran dengan Ibnu Hazm seperti kebiasaannya berpegang teguh dengan madzhab Dzahiri”.
Diantara karangan Syaikh, ada sebuah kitab yang membantah Ibnu Hazm dalam masalah alat musik. Oleh karenanya, maka ahli hadits –termasuk Al-Albani- termasuk orang yang paling jauh dari kesalahan-kesalahan yang ulama catat dari madzhab Dzahiriyah.
Bahkan Syaikh Al-Albany berbicara dengan terus-terang tidak hanya pada satu tempat, dan yang paling popular adalah di muqaddimah kitab Sifat Shalat Nabi bahwasanya dalam manhajnya, beliau bersandar kepada hadits-hadits dan atsar, tidak keluar dari keduanya, menghargai para imam dan mengambil manfaat dari fikih mereka.
7. Mutasahil (Terlalu Mudah) Menshahihkan Hadits
Hal ini bersifat relatif, berbeda sesuai dengan masing-masing orang. Ulama yang mutasyaddid (terlalu keras/mempersulit, maka) ia melihat orang lain sebagai mutasahil. Begitu juga dengan ulama yang mutasahil, maka ia melihat orang lain sebagai mutasyaddid. Dan yang menjadi pegangan dalam mengetahui yang benar dalam masalah ini adalah dengan banyak membaca, berusaha mengetahui keadaan, dan saling membandingkan satu sama lain.
Sejumlah permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albany bahwa ia terlalu mudah menshahihkan hadits diantaranya.
a). Menghasankan hadits dha’if dengan banyaknya jalan.
b). Menerima hadits seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya, dan bersandar pada tautsiq Ibnu Hibban (rekomendasi beliau untuk perawi hadits)
c). Beliau menerima dan memberikan rekomendasi kepada beberapa perawi yang lemah.
Semua jenis hadits lemah dapat menerima penguat dan pendukung, hadits tersebut akan naik derajatnya dengan banyaknya jalan, kecuali hadits yang pada sanadnya terdapat perawi yang pendusta dan pemalsu hadits, perawi hadits yang tertuduh berdusta, dan perawi hadits yang berada pada derajat ditinggalkan (seperti perawi yang sangat buruk hafalannya), hadits syadz (ganjil, menyelisihi hadit lainnya), dan hadits munkar.
Adapun menerima hadits dari seorang perawi yang tidak diketahui keadaannya dan bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban, ini merupakan permasalahan yang disandarkan kepada Syaikh Al-Albani tanpa dalil shahih yang mendukungnya. Dan yang benar, bahwa tidak hanya pada satu tempat Syaikh Al-Albany membantah orang yang bersandar kepada tautsiq Ibnu Hibban dan beliau mensifatinya dengan kata-kata mutasahil
Beliau juga telah menulis pada muqaddimah kitab Tamamul Minnah, halaman 20-26, kaedah yang kelima dengan judul “Tidak dibolehkannya bersandar dengan Tautsiq Ibnu Hibban”.
Permasalahan rekomendasi beliau kepada beberapa perawi yang lemah merupakan tuduhan semata, dimana mereka (yang melontarkan tuduhan tersebut) tidak mampu mendatangkan seorang perawi yang disepakati bersama kelemahannya, lalu datanglah Syaikh Al-Albany yang kemudian  memberikan rekomendasi terhadap perawi tersebut.
Oleh : Aziz Rachman