Benarkah kaum wahabi
membenci keluarga Nabi? Kita sering mendengar berita itu, tapi jarang dari kita
yang mau bersikap kritis dan berani mengklarifikasi.
Dengan
nama, kita bisa membedakan manusia satu dengan lainnya. ketika nama kita berbeda,
kita bisa merasa kitalah yang dipanggil oleh teman. Tanpa nama, teman kita akan
merasa kesulitan membedakan kita, dan sulit untuk memanggil kita dari kejauhan.
Nama adalah faktor penting dalam kehidupan manusia
Nama yang indah adalah hiasan bagi seseorang, maka seluruh manusia –kafir
ataupun mukmin- berusaha memilihkan nama yang indah bagi anak-anak mereka.
nama-nama indah biasanya adalah nama-nama tokoh terkenal, juga nama yang
dianggap memiliki nama indah. Ketika orang tua memilihkan nama seorang tokoh
untuk anaknya, maka dia berharap anaknya menjadi seperti tokoh itu.
Dan masalah nama faktor subyektifitas yang tinggi, karena nama-nama yang
dipilih biasanya dianggap bagus oleh pemilik nama, jika seorang ayah memilihkan
sebuah nama bagi anaknya, minimal si ayah memiliki anggapan bahwa nama itu
bagus, meski di mata orang lain nama itu tidak memiliki makna atau bermakna
buruk. Maka nama yang bagus bagi orang belum tentu bagus di mata orang lain.
Nama yang indah bagi sebuah daerah belum tentu dianggap bagus oleh penduduk
daerah lain.
Juga bisa terjadi sebuah kasus di mana orang memberi nama anaknya dengan nama
yang dianggapnya indah, namun dia tidak tahu bahwa nama itu ternyata memiliki
makna yang buruk. Seandainya dia tahu nama itu bermakna buruk, maka dia pasti
memilihkan nama lain untuk anaknya. Orang tidak akan memilihkan nama yang buruk
bagi anaknya. Dalam hal ini keseluruhan manusia yang ada di dunia memiliki
pandangan yang sama. Tidak ada orang yang sengaja memilihkan nama buruk bagi
anaknya. Begitu juga sebaliknya, bisa jadi sebuah nama dianggap buruk bagi
seseorang atau sebuah daerah, namun di daerah lain atau bagi orang lain nama
itu dianggap nama yang indah.
Maka kita bisa memahami jika teman-teman syi’ah memberi nama anaknya dengan
nama-nama yang indah menurut mereka, seperti Jawad dan Kadzim. Dan memang
nama-nama itu memiliki makna yang indah, seperti misalnya Jawad, dalam bahasa
arab, nama jawad artinya kurang lebih suka memberi. Begitu juga kadzim artinya
mampu menahan marah. Selain memiliki makna yang indah. Juga nama seperti Ali,
Hasan dan Husein, yaitu dari nama tokoh yang mereka anggap sebagai imam.
Tidak ada teman syi’ah yang senang dengan nama-nama “musuh” mereka seperti
Abubakar dan Umar. Lalu bagaimana jika dia terlambat mengenal syi’ah lalu
diberi nama dengan nama-nama yang dulu dianggap indah seperti Abubakar dan
Umar? Ada yang tidak merubah nama itu, namun ada juga yang merubah namanya
dengan nama yang lebih baik, seperti ada seseorang yang dulunya –ketika masih
sunni- bernama Abubakar -saya rasa tidak relevan jika kita tuliskan nama
lengkapnya di sini- lalu mengganti namanya menjadi Ali, dan dikenal dengan
julukan daerah tempat dia tinggal. Di sisi lain, konon dari cerita-cerita yang
beredar, ada juga temen syi’ah orang tuanya memilihkan nama Umar untuknya, saat
itu dia belum mengenal syi’ah, tetapi setelah masuk syi’ah dia tidak mengganti
namanya.
Bahkan konon ada pepatah arab yang berbunyi: dari namamu aku tahu siapa ayahmu.
Artinya dari nama yang dipilih untuk anaknya, kita bisa mengetahui kualitas
orang tuanya. Orang tua yang ber”kualitas” tidak akan mungkin memilih nama
sembarangan untuk anaknya. Seperti ketika kita mengenal anak bernama jawad,
kita tahu bahwa orang tuanya mencintai imam Muhammad bin Ali Al Jawad, dan ingin
agar anaknya menjadi seperti dia. Begitu juga ketika kita mengenal anak bernama
kadzim, kita tahu si orang tua cinta pada imam Musa Al Kazhim.
Orang-orang awam memberi namanya dengan nama-nama yang indah, begitu juga
penganut syi’ah sendiri, maka para imam lebih mengetahui hal ini dan tidak
mungkin memberi nama anak-anaknya dengan nama yang buruk, atau nama tokoh-tokoh
musuh Islam dan musuh keluarganya sendiri. karena sudah pasti para imam itu
–menurut keyakinan syi’ah- adalah maksum dan terbebas dari kesalahan dan
kekeliruan serta sifat lupa. Masalah maksum ini adalah salah satu aksioma dalam
mazhab syi’ah yang sudah “paten” dan tidak bisa ditawar-tawar lagi. Karena
sifat maksum inilah teman-teman syi’ah menolak meyakini bahwa yang bermuka
masam dalam surat “Abasa” adalah Rasulullah SAW. Karena nama-nama yang buruk
adalah cerminan buruk bagi pemberi nama –dalam hal ini adalah ayah si anak yang
merupakan imam ahlulbait-. Para imam adalah manusia-manusia suci yang terbebas
dari keburukan. Pasti para imam memberi nama anak-anaknya dengan nama yang
mereka anggap indah.
Dalam sejarah -yang ditulis oleh kitab-kitab syi’ah sendiri- tercantum
kenyataan bahwa Ali memberi nama anak-anaknya dengan nama-nama Abubakar, Umar
dan Utsman. Tokoh-tokoh yang dianggap lebih kafir oleh syi’ah. Begitu juga imam
Hasan dan Imam Husein memberi nama anaknya dengan nama Umar. Padahal Muhammad
Baqir Al Majlisi -seorang pakar hadits syiah- menyatakan :
saya katakan dalil yang menunjukkan bahwa Abubakar, Umar dan orang yang sejalan
mereka dengan mereka adalah kafir, juga menunjukkan pahala melaknat dan
memusuhi mereka, yang menunjukkan bid’ah mereka, terlalu banyak untuk
disebutkan dalam satu jilid atau berjilid-jilid buku, apa yang telah kami
nukilkan di atas cukup bagi orang yang diberi petunjuk Allah ke jalan yang
lurus. Biharul Anwar jilid 30 hal 399.
Bukan hanya kafir, tapi harus dilaknat, dan melaknat Abubakar, Umar dan Utsman
dan ahlussunnah mendatangkan pahala.
Ali Zainal Abidin memberi nama anak perempuannya dengan nama Aisyah, sebuah
nama yang dibenci oleh syiah hari ini. Imam Hasan memberi nama anaknya dengan
nama Thalhah .
Padahal Aisyah dan Thalhah di mata Khomeini –tokoh syi’ah hari ini- yang sering
disebut oleh syi’ah dengan panggilan Imam Khomeini, adalah lebih buruk dari
anjing dan babi:
Sedangkan seluruh kelompok nashibi bahkan khawarij, tidak ada dalil yang
menunjukkan najisnya mereka meskipun mereka akan disiksa lebih pedih dari
siksaan orang kafir. Jika ada seorang penguasa yang memberontak terhadap Amirul
Mukminin tanpa alasan [keyakinan] agama [karena alasan dunia], tetapi karena
ingin merebut kekuasaan, atau karena tujuan-tujuan lain. Seperti Aisyah,
Zubair, Thalhah, Muawiyah dan yang lainnya. Atau yang memusuhi Ali dan salah
satu dari para imam tanpa alasan keyakinan agama, tetapi karena memusuhi suku
Quraisy, atau Bani Hasyim, atau membenci bangsa arab, atau karena [imam] telah
membunuh ayahnya atau anaknya, atau sebab lainnya, semua itu tidak
mengakibatkan status najis secara zhahir, meskipun mereka [hakekatnya] lebih
buruk dari anjing dan babi, karena tidak ada dalil dari hadits maupun ijma’
tentang hal itu [najisnya nashibi secara zhahir].Kitab Thaharah jilid 3 hal
457.
Ali memang mencintai Abubakar, Umar dan Utsman, maka Ali memilih nama-nama
mereka untuk anaknya. Sebagaimana syi’ah hari ini memberi nama anaknya dengan
nama kadzim dan jawad karena cinta mereka pada Imam Kadzim dan Jawad, Ali
memberi nama anaknya dengan Abubakar dan Umar karena kecintaannya pada mereka.
Begitu pula imam Hasan dan Husein, yang jelas maksum dan lebih mengenal sejarah
dibanding syi’ah hari ini, karena mereka adalah pelaku sejarah.
Ini bisa dilihat dalam Kasyful Ghummah jilid 2 hal 334, I’lamul Wara karya
Thabrasi, begitu juga dalam kitab Al Irsyad karya Al Mufid.
Kita sudah terbiasa untuk menelan segala berita yang ada mentah-mentah, tanpa
menggunakan lagi sikap kritis untuk menilai sebuah berita. Ini bisa jadi karena
berita itu begitu sering kita dengar, akhirnya kita tidak merasa perlu lagi
untuk klarifikasi dan tabayun. Meskipun berita itu kita dengar dari orang-orang
yang mungkin nampak valid, namun kita masih harus bersikap kritis dan meneliti
lagi. Di antara yang sering kita dengar adalah klaim bahwa Muhammad bin Abdul
Wahab adalah membenci ahlulbait. Seperti pembaca juga, saya pun sering
mendengar berita-berita itu. Tapi saya mencoba melangkah lebih jauh dari
sekedar percaya, saya mencoba bersikap kritis dan mencari tahu tentang hal
itu.
Ternyata Muhammad bin Abdul Wahab memberi nama anaknya dengan nama-nama
keluarga Nabi, yaitu Ali, Fatimah, Hasan dan Husein. Ini tercantum dalam kitab
Ad Durar As Saniyyah cetakan pertama dari Darul Ifta’ jilid 19 hal 12, begitu
juga kitab Ulama Najd karya Al Bassam jilid 1 hal 155. Sebagaimana temen-temen
syi’ah memberi nama anaknya dengan Kadzim karena cinta pada imam Musa Al
Kadzim, begitu juga Muhammad bin Abdul Wahhab memberi nama anaknya dengan Ali,
Fatimah, Hasan dan Husein karena cintanya pada mereka.