Ditulis pada 25 Oktober 2014 oleh Abu Zahra Hanifa
Nama dan Nasab
Beliau
bernama Muhammad dengan kunyah Abu
Abdillah. Nasab beliau secara lengkap adalahMuhammad bin Idris bin
al-‘Abbas bin ‘Utsman bin Syafi’ bin as-Saib bin ‘Ubayd bin ‘Abdu Zayd bin
Hasyim bin al-Muththalib bin ‘Abdu Manaf bin Qushay. Nasab
beliau bertemu dengan nasab Rasulullah pada diri ‘Abdu Manaf bin Qushay. Dengan
begitu, beliau masih termasuk sanak kandung Rasulullah karena masih terhitung
keturunan paman-jauh beliau, yaitu Hasyim bin al-Muththalib.
Bapak
beliau, Idris, berasal dari daerah Tibalah (Sebuah daerah di wilayah Tihamah di
jalan menuju ke Yaman). Dia seorang yang tidak berpunya. Awalnya dia tinggal di
Madinah lalu berpindah dan menetap di ‘Asqalan (Kota tepi pantai di wilayah
Palestina) dan akhirnya meninggal dalam keadaan masih muda di sana. Syafi’,
kakek dari kakek beliau, -yang namanya menjadi sumber penisbatan beliau
(Syafi’i)- menurut sebagian ulama adalah seorang sahabat shigar (yunior) Nabi.
As-Saib, bapak Syafi’, sendiri termasuk sahabat kibar (senior) yang memiliki
kemiripan fisik dengan Rasulullah shollallahu’alaihiwasallam. Dia termasuk dalam
barisan tokoh musyrikin Quraysy dalam Perang Badar. Ketika itu dia tertawan
lalu menebus sendiri dirinya dan menyatakan masuk Islam.
Para
ahli sejarah dan ulama nasab serta ahli hadits bersepakat bahwa Imam Syafi’i berasal
dari keturunan Arab murni. Imam Bukhari dan Imam Muslim telah memberi kesaksian
mereka akan kevalidan nasabnya tersebut dan ketersambungannya dengan nasab
Nabi, kemudian mereka membantah pendapat-pendapat sekelompok orang dari
kalangan Malikiyah dan Hanafiyah yang menyatakan bahwa Imam Syafi’i bukanlah
asli keturunan Quraysy secara nasab, tetapi hanya keturunan secara wala’ saja.
Adapun ibu beliau, terdapat perbedaan pendapat tentang jati dirinya. Beberapa
pendapat mengatakan dia masih keturunan al-Hasan bin ‘Ali bin Abu Thalib,
sedangkan yang lain menyebutkan seorang wanita dari kabilah Azadiyah yang
memiliki kunyahUmmu Habibah. Imam an-Nawawi menegaskan bahwa ibu Imam Syafi’i
adalah seorang wanita yang tekun beribadah dan memiliki kecerdasan yang tinggi.
Dia seorang yang faqih dalam urusan agama dan memiliki kemampuan melakukan istinbath.
Waktu dan Tempat Kelahirannya
Beliau
dilahirkan pada tahun 150. Pada tahun itu pula, Abu Hanifah wafat sehingga
dikomentari oleh al-Hakim sebagai isyarat bahwa beliau adalah pengganti Abu
Hanifah dalam bidang yang ditekuninya.
Tentang
tempat kelahirannya, banyak riwayat yang menyebutkan beberapa tempat yang
berbeda. Akan tetapi, yang termasyhur dan disepakati oleh ahli sejarah adalah
kota Ghazzah (Sebuah kota yang terletak di perbatasan wilayah Syam ke arah
Mesir. Tepatnya di sebelah Selatan Palestina. Jaraknya dengan kota Asqalan
sekitar dua farsakh). Tempat lain yang disebut-sebut adalah kota Asqalan dan
Yaman.
Ibnu
Hajar memberikan penjelasan bahwa riwayat-riwayat tersebut dapat digabungkan
dengan dikatakan bahwa beliau dilahirkan di sebuah tempat bernama Ghazzah di
wilayah Asqalan. Ketika berumur dua tahun, beliau dibawa ibunya ke negeri Hijaz
dan berbaur dengan penduduk negeri itu yang keturunan Yaman karena sang ibu
berasal dari kabilah Azdiyah (dari Yaman). Lalu ketika berumur 10 tahun, beliau
dibawa ke Mekkah, karena sang ibu khawatir nasabnya yang mulia lenyap dan
terlupakan.
Pertumbuhannya dan Pengembaraannya Mencari Ilmu
Di
Mekkah, Imam Syafi ‘i dan ibunya tinggal di dekat Syi’bu al-Khaif. Di sana,
sang ibu mengirimnya belajar kepada seorang guru. Sebenarnya ibunya tidak mampu
untuk membiayainya, tetapi sang guru ternyata rela tidak dibayar setelah
melihat kecerdasan dan kecepatannya dalam menghafal. Imam Syafi’i bercerita, “Di al-Kuttab (sekolah
tempat menghafal Alquran), saya melihat guru yang mengajar di situ membacakan
murid-muridnya ayat Alquran, maka aku ikut menghafalnya. Sampai ketika saya
menghafal semua yang dia diktekan, dia berkata kepadaku, ‘Tidak halal bagiku
mengambil upah sedikitpun darimu.’” Dan ternyata kemudian
dengan segera guru itu mengangkatnya sebagai penggantinya (mengawasi
murid-murid lain) jika dia tidak ada. Demikianlah, belum lagi menginjak usia
baligh, beliau telah berubah menjadi seorang guru.
Setelah
rampung menghafal Alquran di al-Kuttab, beliau kemudian beralih ke Masjidil
Haram untuk menghadiri majelis-majelis ilmu di sana. Sekalipun hidup dalam
kemiskinan, beliau tidak berputus asa dalam menimba ilmu. Beliau mengumpulkan
pecahan tembikar, potongan kulit, pelepah kurma, dan tulang unta untuk dipakai
menulis. Sampai-sampai tempayan-tempayan milik ibunya penuh dengan
tulang-tulang, pecahan tembikar, dan pelepah kurma yang telah bertuliskan
hadits-hadits Nabi. Dan itu terjadi pada saat beliau belum lagi berusia baligh.
Sampai dikatakan bahwa beliau telah menghafal Alquran pada saat berusia 7
tahun, lalu membaca dan menghafal kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik pada
usia 12 tahun sebelum beliau berjumpa langsung dengan Imam Malik di Madinah.
Beliau
juga tertarik mempelajari ilmu bahasa Arab dan syair-syairnya. Beliau
memutuskan untuk tinggal di daerah pedalaman bersama suku Hudzail yang telah
terkenal kefasihan dan kemurnian bahasanya, serta syair-syair mereka. Hasilnya,
sekembalinya dari sana beliau telah berhasil menguasai kefasihan mereka dan
menghafal seluruh syair mereka, serta mengetahui nasab orang-orang Arab, suatu
hal yang kemudian banyak dipuji oleh ahli-ahli bahasa Arab yang pernah berjumpa
dengannya dan yang hidup sesudahnya. Namun, takdir Allah telah menentukan jalan
lain baginya. Setelah mendapatkan nasehat dari dua orang ulama, yaitu Muslim
bin Khalid az-Zanji -mufti kota Mekkah-, dan al-Husain bin ‘Ali bin Yazid agar
mendalami ilmu fiqih, maka beliau pun tersentuh untuk mendalaminya dan mulailah
beliau melakukan pengembaraannya mencari ilmu.
Beliau
mengawalinya dengan menimbanya dari ulama-ulama kotanya, Mekkah, seperti Muslim
bin Khalid, Dawud bin Abdurrahman al-‘Athar, Muhammad bin Ali bin Syafi’ -yang
masih terhitung paman jauhnya-, Sufyan bin ‘Uyainah -ahli hadits Mekkah-,
Abdurrahman bin Abu Bakar al-Maliki, Sa’id bin Salim, Fudhail bin ‘Iyadh, dan
lain-lain. Di Mekkah ini, beliau mempelajari ilmu fiqih, hadits, lughoh, dan Muwaththa’ Imam Malik. Di samping itu beliau juga mempelajari keterampilan
memanah dan menunggang kuda sampai menjadi mahir sebagai realisasi pemahamannya
terhadap ayat 60 surat Al-Anfal. Bahkan dikatakan bahwa dari 10 panah yang
dilepasnya, 9 di antaranya pasti mengena sasaran.
Setelah
mendapat izin dari para syaikh-nya untuk berfatwa, timbul keinginannya untuk
mengembara ke Madinah, Dar as-Sunnah, untuk mengambil ilmu dari para ulamanya.
Terlebih lagi di sana ada Imam Malik bin Anas, penyusun al-Muwaththa’. Maka berangkatlah beliau ke sana menemui sang Imam. Di hadapan
Imam Malik, beliau membaca al-Muwaththa’ yang telah dihafalnya di
Mekkah, dan hafalannya itu membuat Imam Malik kagum kepadanya. Beliau menjalani mulazamah kepada Imam Malik demi mengambil ilmu darinya sampai sang Imam
wafat pada tahun 179. Di samping Imam Malik, beliau juga mengambil ilmu dari
ulama Madinah lainnya seperti Ibrahim bin Abu Yahya, ‘Abdul ‘Aziz ad-Darawardi,
Athaf bin Khalid, Isma’il bin Ja’far, Ibrahim bin Sa’d dan masih banyak lagi.
Setelah
kembali ke Mekkah, beliau kemudian melanjutkan mencari ilmu ke Yaman. Di sana
beliau mengambil ilmu dari Mutharrif bin Mazin dan Hisyam bin Yusuf al-Qadhi,
serta yang lain. Namun, berawal dari Yaman inilah beliau mendapat cobaan -satu
hal yang selalu dihadapi oleh para ulama, sebelum maupun sesudah beliau-. Di
Yaman, nama beliau menjadi tenar karena sejumlah kegiatan dan kegigihannya
menegakkan keadilan, dan ketenarannya itu sampai juga ke telinga penduduk Mekkah.
Lalu, orang-orang yang tidak senang kepadanya akibat kegiatannya tadi
mengadukannya kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, Mereka menuduhnya hendak
mengobarkan pemberontakan bersama orang-orang dari kalangan Alawiyah.
Sebagaimana
dalam sejarah, Imam Syafi’i hidup pada masa-masa awal pemerintahan Bani
‘Abbasiyah yang berhasil merebut kekuasaan dari Bani Umayyah. Pada masa itu,
setiap khalifah dari Bani ‘Abbasiyah hampir selalu menghadapi pemberontakan
orang-orang dari kalangan ‘Alawiyah. Kenyataan ini membuat mereka bersikap
sangat kejam dalam memadamkan pemberontakan orang-orang ‘Alawiyah yang
sebenarnya masih saudara mereka sebagai sesama Bani Hasyim. Dan hal itu
menggoreskan rasa sedih yang mendalam pada kaum muslimin secara umum dan pada
diri Imam Syafi’i secara khusus. Dia melihat orang-orang dari Ahlu Bait Nabi
menghadapi musibah yang mengenaskan dari penguasa. Maka berbeda dengan sikap
ahli fiqih selainnya, beliau pun menampakkan secara terang-terangan rasa
cintanya kepada mereka tanpa rasa takut sedikitpun, suatu sikap yang saat itu
akan membuat pemiliknya merasakan kehidupan yang sangat sulit.
Sikapnya
itu membuatnya dituduh sebagai orang yang bersikap tasyayyu’, padahal sikapnya sama sekali berbeda dengan tasysyu’ model orang-orang syi’ah. Bahkan Imam Syafi’i menolak keras
sikap tasysyu’ model mereka itu yang
meyakini ketidakabsahan keimaman Abu Bakar, Umar, serta ‘Utsman , dan hanya
meyakini keimaman Ali, serta meyakini kemaksuman para imam mereka. Sedangkan
kecintaan beliau kepada Ahlu Bait adalah kecintaan yang didasari oleh
perintah-perintah yang terdapat dalam Al-Quran maupun hadits-hadits shahih. Dan
kecintaan beliau itu ternyata tidaklah lantas membuatnya dianggap oleh
orang-orang syiah sebagai ahli fiqih madzhab mereka.
Tuduhan
dusta yang diarahkan kepadanya bahwa dia hendak mengobarkan pemberontakan,
membuatnya ditangkap, lalu digelandang ke Baghdad dalam keadaan dibelenggu
dengan rantai bersama sejumlah orang-orang ‘Alawiyah. Beliau bersama
orang-orang ‘Alawiyah itu dihadapkan ke hadapan Khalifah Harun ar-Rasyid.
Khalifah menyuruh bawahannya menyiapkan pedang dan hamparan kulit. Setelah
memeriksa mereka seorang demi seorang, ia menyuruh pegawainya memenggal kepala
mereka. Ketika sampai pada gilirannya, Imam Syafi’i berusaha memberikan penjelasan
kepada Khalifah. Dengan kecerdasan dan ketenangannya serta pembelaan dari
Muhammad bin al-Hasan -ahli fiqih Irak-, beliau berhasil meyakinkan Khalifah
tentang ketidakbenaran apa yang dituduhkan kepadanya. Akhirnya beliau
meninggalkan majelis Harun ar-Rasyid dalam keadaan bersih dari tuduhan
bersekongkol dengan ‘Alawiyah dan mendapatkan kesempatan untuk tinggal di
Baghdad.
Di
Baghdad, beliau kembali pada kegiatan asalnya, mencari ilmu. Beliau meneliti
dan mendalami madzhab Ahlu Ra’yu. Untuk itu beliau berguru dengan mulazamah
kepada Muhammad bin al-Hassan. Selain itu, kepada Isma ‘il bin ‘Ulayyah dan
Abdul Wahhab ats-Tsaqafiy dan lain-lain. Setelah meraih ilmu dari para ulama
Irak itu, beliau kembali ke Mekkah pada saat namanya mulai dikenal. Maka
mulailah ia mengajar di tempat dahulu ia belajar. Ketika musim haji tiba,
ribuan jamaah haji berdatangan ke Mekkah. Mereka yang telah mendengar nama
beliau dan ilmunya yang mengagumkan, bersemangat mengikuti pengajarannya sampai
akhirnya nama beliau makin dikenal luas. Salah satu di antara mereka adalah
Imam Ahmad bin Hanbal.
Ketika
kamasyhurannya sampai ke kota Baghdad, Imam Abdurrahman bin Mahdi mengirim
surat kepada Imam Syafi’i memintanya untuk menulis sebuah kitab yang berisi khabar-khabar yangmaqbul, penjelasan tentang nasikh dan mansukh dari ayat-ayat Alquran
dan lain-lain. Maka beliau pun menulis kitabnya yang terkenal, Ar-Risalah.
Setelah
lebih dari 9 tahun mengajar di Mekkah, beliau kembali melakukan perjalanan ke
Irak untuk kedua kalinya dalam rangka menolong madzhabAsh-habul Hadits di sana. Beliau mendapat
sambutan meriah di Baghdad karena para ulama besar di sana telah
menyebut-nyebut namanya. Dengan kedatangannya, kelompok Ash-habul Hadits merasa mendapat angin
segar karena sebelumnya mereka merasa didominasi oleh Ahlu Ra’yi. Sampai-sampai dikatakan bahwa ketika beliau datang ke Baghdad,
di Masjid Jami ‘ al-Gharbi terdapat sekitar 20 halaqah Ahlu Ra ‘yu. Tetapi ketika hari Jumat tiba, yang tersisa hanya 2 atau 3
halaqah saja.
Beliau
menetap di Irak selama dua tahun, kemudian pada tahun 197 beliau balik ke
Mekkah. Di sana beliau mulai menyebar madzhabnya sendiri. Maka datanglah para
penuntut ilmu kepadanya meneguk dari lautan ilmunya. Tetapi beliau hanya berada
setahun di Mekkah.
Tahun
198, beliau berangkat lagi ke Irak. Namun, beliau hanya beberapa bulan saja di
sana karena telah terjadi perubahan politik. Khalifah al-Makmun telah dikuasai
oleh para ulama ahli kalam, dan terjebak dalam pembahasan-pembahasan tentang
ilmu kalam. Sementara Imam Syafi’i adalah orang yang paham betul tentang ilmu
kalam. Beliau tahu bagaimana pertentangan ilmu ini dengan manhaj as-salaf ash-shaleh -yang selama ini
dipegangnya- di dalam memahami masalah-masalah syariat. Hal itu karena
orang-orang ahli kalam menjadikan akal sebagai patokan utama dalam menghadapi
setiap masalah, menjadikannya rujukan dalam memahami syariat padahal mereka
tahu bahwa akal juga memiliki keterbatasan-keterbatasan. Beliau tahu betul
kebencian meraka kepada ulama ahlu hadits. Karena itulah beliau menolak madzhab
mereka.
Dan
begitulah kenyataannya. Provokasi mereka membuat Khalifah mendatangkan banyak
musibah kepada para ulama ahlu hadits. Salah satunya adalah yang dikenal
sebagai Yaumul Mihnah, ketika dia mengumpulkan
para ulama untuk menguji dan memaksa mereka menerima paham Alquran itu makhluk.
Akibatnya, banyak ulama yang masuk penjara, bila tidak dibunuh. Salah satu di
antaranya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Karena perubahan itulah, Imam Syafi’i
kemudian memutuskan pergi ke Mesir. Sebenarnya hati kecilnya menolak pergi ke
sana, tetapi akhirnya ia menyerahkan dirinya kepada kehendak Allah. Di Mesir,
beliau mendapat sambutan masyarakatnya. Di sana beliau berdakwah, menebar
ilmunya, dan menulis sejumlah kitab, termasuk merevisi kitabnya ar-Risalah, sampai akhirnya beliau menemui akhir kehidupannya di sana.
Keteguhannya Membela Sunnah
Sebagai
seorang yang mengikuti manhaj Ash-habul Hadits, beliau dalam menetapkan
suatu masalah terutama masalah aqidah selalu menjadikan Alquran dan Sunnah Nabi
sebagai landasan dan sumber hukumnya. Beliau selalu menyebutkan dalil-dalil
dari keduanya dan menjadikannya hujjah dalam menghadapi penentangnya, terutama
dari kalangan ahli kalam. Beliau berkata,“Jika
kalian telah mendapatkan Sunnah Nabi, maka ikutilah dan janganlah kalian berpaling
mengambil pendapat yang lain.” Karena komitmennya
mengikuti sunnah dan membelanya itu, beliau mendapat gelar Nashir as-Sunnah wa al-Hadits.
Terdapat
banyak atsar tentang ketidaksukaan beliau kepada Ahli Ilmu Kalam, mengingat
perbedaan manhaj beliau dengan mereka. Beliau berkata,“Setiap orang yang berbicara (mutakallim) dengan bersumber dari
Alquran dan sunnah, maka ucapannya adalah benar, tetapi jika dari selain
keduanya, maka ucapannya hanyalah igauan belaka.” Imam
Ahmad berkata, “Bagi Syafi’i
jika telah yakin dengan keshahihan sebuah hadits, maka dia akan
menyampaikannya. Dan prilaku yang terbaik adalah dia tidak tertarik sama sekali
dengan ilmu kalam, dan lebih tertarik kepada fiqih.” Imam Syafi ‘i berkata, “Tidak ada yang lebih aku benci daripada ilmu kalam dan
ahlinya.” Al-Mazani
berkata, “Merupakan
madzhab Imam Syafi’i membenci kesibukan dalam ilmu kalam. Beliau melarang kami
sibuk dalam ilmu kalam.”Ketidaksukaan
beliau sampai pada tingkat memberi fatwa bahwa hukum bagi ahli ilmu kalam
adalah dipukul dengan pelepah kurma, lalu dinaikkan ke atas punggung unta dan
digiring berkeliling di antara kabilah-kabilah dengan mengumumkan bahwa itu adalah
hukuman bagi orang yang meninggalkan Alquran dan Sunnah dan memilih ilmu kalam.
Wafatnya
Karena
kesibukannya berdakwah dan menebar ilmu, beliau menderita penyakit bawasir yang
selalu mengeluarkan darah. Makin lama penyakitnya itu bertambah parah hingga
akhirnya beliau wafat karenanya. Beliau wafat pada malam Jumat setelah shalat
Isya’ hari terakhir bulan Rajab permulaan tahun 204 dalam usia 54 tahun. Semoga
Allah memberikan kepadanya rahmat-Nya yang luas.
Ar-Rabi
menyampaikan bahwa dia bermimpi melihat Imam Syafi’i, sesudah wafatnya. Dia
berkata kepada beliau, “Apa yang telah
diperbuat Allah kepadamu, wahai Abu Abdillah?” Beliau
menjawab, “Allah
mendudukkan aku di atas sebuah kursi emas dan menaburkan pada diriku
mutiara-mutiara yang halus.”
Karangan-Karangannya
Sekalipun
beliau hanya hidup selama setengah abad dan kesibukannya melakukan perjalanan
jauh untuk mencari ilmu, hal itu tidaklah menghalanginya untuk menulis banyak
kitab. Jumlahnya menurut Ibnu Zulaq mencapai 200 bagian, sedangkan menurut
al-Marwaziy mencapai 113 kitab tentang tafsir, fiqih, adab dan lain-lain. Yaqut
al-Hamawi mengatakan jumlahnya mencapai 174 kitab yang judul-judulnya
disebutkan oleh Ibnu an-Nadim dalam al-Fahrasat. Yang paling terkenal di
antara kitab-kitabnya adalah al-Umm, yang terdiri dari 4
jilid berisi 128 masalah, danar-Risalah al-Jadidah (yang
telah direvisinya) mengenai Alquran dan As-Sunnah serta kedudukannya dalam
syariat.
Sumber
1. Al-Umm, bagian muqoddimah hal.
3-33
2. Siyar A’lam an-Nubala’
3. Manhaj Aqidah Imam
asy-Syafi’,
terjemah kitab Manhaj al-Imam
Asy-Syafi ‘i fi Itsbat al-‘Aqidah karya DR. Muhammad AW al-Aql terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi ‘i,
Cirebon
Tulisan serupa
Biografi Al-Imam Asy-Syafi’I Rahimahullah
Sesungguhnya
diantara tanda Allah menghendaki kebaikan bagi hambaNya adalah Allah
menjadikannya cinta dengan ilmu. Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
مَنْ يُرِدِ
اللهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ
"Barang siapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya maka
Allah akan menjadikannya faqih/faham tentang agama" (HR Al-Bukhari)
Dan diantara keagungan agama ini Allah telah menjadikan adanya para imam yang
memikul ilmu agama, yang menjelaskan kepada umat tentang urusan agama.
Merekalah cahaya yang menerangi jalan menuju kebaikan…merekalah yang sangat
dibutuhkan oleh orang yang menghadapi kebingungan dalam urusan agama mereka…,
merekalah penyejuk hati bagi orang yang menghadapi problematika kehidupan dan
berusaha mencari solusi agamis…, merekalah para pejuang yang memerangi
jalan-jalan kesesatan yang selalu siap menyimpangkan umat ini…, merekalah yang
Allah perintahkan umat agar bertanya kepada mereka dalam firmanNya :
فَاسْأَلُوا
أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لا تَعْلَمُونَ
"Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai
pengetahuan/ilmu jika kamu tidak mengetahui" (QS An-Nahl : 43)
Banyak para imam umat ini yang kita banggakan, akan tetapi diantara mereka ada
4 imam yang tersohor, yaitu para pendiri 4 madzhab. Mereka itu adalah Al-Imam
Abu Hanifah, Al-Imam Malik bin Anas, Al-Imam Asy-Syaf'i dan Al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahumullah.
Meskipun ada madzhab-madzhab fikih yang lain akan tetapi keempat madzhab inilah
yang diterima secara luas dalam dunia Islam hingga saat ini. Bahkan sebagian
negeri dikenal dengan madzhab tertentu. Madzhab Syafi'i banyak tersebar di
negara-negara Asia tenggara, madzhab Maliki banyak tersebar di negeri-negeri
Afrika, madzhab Hanafi banyak tersebar di India, Pakistan, Bangladesh, dan
Afghanistan, dan juga di China, adapun madzhab Hanbali banyak tersebar di
negeri-negeri Arab, khususnya Arab Saudi.
Diantara keempat imam
tersebut yang sangat cemerlang adalah Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah,
beliaulah pendiri dan pemrakasa madzhab Syafi'i yang merupakan madzhab yang
banyak dianut di bumi pertiwi nusantara ini.
Nama lengkap beliau adalah Muhammad
bin Idris bin
Al-'Abbas bin 'Utsman bin Syaafi' bin As-Saaib bin 'Ubaid bin 'Abd Yaziid bin
Haasyim bin Al-Muthollib bin 'Abdi Manaaf, sehingga nasab beliau bermuara
kepada Abdu Manaaf kakek buyut Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Al-Muthollib
adalah saudaranya Hasyim ayahnya Abdul Muthholib kakek Nabi shallallahu 'alaihi
wa sallam. Dan kepada Syafi' bin As-Saaib penisbatan Al-Imam Asy-Syafi'i
rahimahullah (lihat Siyar A'laam An-Nubalaa 10/5-6 dan Tobaqoot Asy-Syaafi'iyah
Al-Kubro 2/71-72)
Meskipun nenek moyang beliau suku Quraisy di Mekah akan tetapi beliau tidak
lahir di Mekah, karena ayah beliau Idris merantau di Palestina. Sehingga beliau
dilahirkan di Ghozza (Palestina) dan ada yang mengatakan bahwa beliau lahir di
'Asqolan pada tahun 150 Hijriah, tahun dimana wafatnya Al-Imam Abu Hanifah
An-Nu'man bin Tsaabit Al-Kuufi rahimahullah, bahkan ada pendapat yang
menyatakan di hari wafatnya Al-Imam Abu Hanifah.
Ayah beliau Idris meninggal dalam keadaan masih muda, hingga akhirnya Imam
Asy-Syafi'i dipelihara oleh ibunya dalam kondisi yatim. Karena khawatir
terhadap anaknya maka sang ibu membawa beliau –yang masih berumur 2 tahun- ke
kampung halaman aslinya yaitu Mekah, sehingga beliau tumbuh berkembang di Mekah
dalam kondisi yatim. Beliau menghafal Al-Qur'an tatkala berusia 7 tahun,
dan menghafal kitab Al-Muwattho' karya Imam Malik tatkala umur beliau 10 tahun.
Ini menunjukkan betapa cerdasnya Al-Imam Asy-Syafi'i.
Beliaupun belajar dari para ulama Mekah, diantaranya Muslim bin Kholid Az-Zanji
Al-Makky yang telah memberi ijazah kepada Al-Imam Asy-Syafi'i untuk boleh
berfatwa padahal umur beliau masih 15 tahun. Lalu setelah itu beliau bersafar
ke Madinah dan berguru bertahun-tahun kepada Al-Imam Malik bin Anas
rahimahullah.
Pada tahun 195 H beliau pergi ke Baghdad, dan beliau mengajar di sana sehingga
banyak ulama yang berputar haluan dari madzhab ahli ro'yu menuju madzhab Syafi'i.
di Baghdad beliau banyak menulis buku-buku lama beliau, setelah itu beliaupun
kembali ke Mekah. Pada tahun 198 beliau kembali lagi ke Baghdad dan menetap di
sana selama sebulan lalu beliau pergi ke Mesir dan menetap di sana meneruskan
dakwah beliau hingga akhirnya beliau sakit bawasir yang menyebabkan beliau
meninggal dunia pada tahu 204 Hijriyah, rahimahullah rahmatan waasi'ah.
PERTAMA : Al-Imam Asy-Syafi'i adalah imam dalam
lugoh (bahasa). Beliau telah banyak tinggal bersama Qobilah Hudzal dan
menghafalkan banyak qoshidah (bait-bait sya'ir) mereka, sehingga hal ini sangat
mempengaruhi kekuatan bahasa Arab beliau. Karenanya tidak pernah ditemukan
kesalahan bahasa dari beliau sebagaimana ditemukan dari para ulama yang lain.
Ibnu Hisyaam (penulis siroh Nabi) berkata الشَّافِعِيُّ حُجَّةٌ
فِي
اللُّغَةِ
"Asy-Syafi'i hujjah dalam bahasa Arab" (Al-Waafi bil Wafaayaat
19/143).
Adapun kritikan terhadap Al-Imam Asy-Syafi'i dalam masalah bahasa maka tidak
mematahkan keimaman beliau dalam bahasa Arab. Diantara kritikan tersebut :
- Beliau dikritik karena
menyatakan bahwa huruf jar baa' (الباء) memberikan faedah التَّبْعِيْض
"sebagian/parsial". Karenanya beliau menyatakan bolehnya mengusap
sebagian kepala tatkala berwudu karena Allah berfirman (وَامْسَحُوا
بِـرُؤُوْسِكُمْ).
Maka beliaupun diingkari oleh sebagian ulama, mereka menyatakan bahwa huruf
baa' tidak mengandung makna "parsial", dan ini tidak dikenal dalam
bahasa Arab, dan tidak ada ahli bahasa yang menyebutkan bahwa diantara
makna-makna yang dikandung huruf baa' adalah untuk parsial. Akan tetapi
kenyataannya ternyata banyak ahli bahasa yang menetapkan makna ini (huruf baa'
memberi makna faedah parsial) diantaranya adalah Al-Ashma'i dan ulama Kufiyiin
(lihat Al-Bahr Al-Muhiith fi Ushuul Al-Fiqh li Az-Zarkasyi 2/15-16).
Ternyata juga setelah diamati ada bukti yang tegas bahwasanya Al-Imam
Asy-Syafi'i menyatakan bahwa huruf baa' memberi faedah "parsial". Dan
penisbatan hal ini kepada Al-Imam Asy-Syafi'i merupakan kekeliruan sebagaimana
dijelaskan oleh Az-Zarkasy (Al-Bahrul Al-Muhiith (2/15). Bahkan jika kita
kembali kepada kitab Al-Umm kita akan dapati bahwasanya Asy-Syafi'i berkata :
وَدَلَّتْ
السُّنَّةُ
على
أَنْ
ليس
على
الْمَرْءِ
مَسْحُ
الرَّأْسِ
كُلِّهِ
وإذا
دَلَّتْ
السُّنَّةُ
على
ذلك
فَمَعْنَى
الْآيَةِ
أَنَّ
مَن
مَسَحَ
شيئا
من
رَأْسِهِ
أَجْزَأَهُ
"Sunnah menunjukkan bahwasanya tidak wajib bagi seseorang untuk mengusap
seluruh kepalanya, dan jika sunnah telah menunjukkan demikian maka makna ayat
adalah barang siapa yang mengusap sesuatupun dari kepalanya maka sudah
cukup/sah) (lihat Al-Umm 1/26)
Yang dimaksud dengan sunnah oleh Al-Imam Asy-Syafi'i di sini adalah hadits
tentang Nabi yang berwudu dengan mengusap ubun-ubun beliau saja tatkala beliau
memakai sorban.
- Beliau dikritik karena
menafsirkan kata "الْعَوْلُ" dalam firman
Allah
ذَلِكَ
أَدْنَى
أَلا
تَعُولُوا
(٣)
"Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya" (QS
An-Nisaa :3).
Beliau tafsirkan dengan "كَثْرَةُ الْعِيَالِ"
(banyaknya anak).
Tafsiran Asy-Syafi'i ini diingkari dengan keras oleh Ibnul 'Arobi yang
bermadzhab Maliki, dan menyatakan bahwa tidak ada ahli bahasa yang berpendapat
dengan pendapat Asy-Syafi'i (lihat Ahkaamul Qur'an li Ibnil 'Arobi 1/411). Akan
tetapi perkataan Ibnul 'Arobi ini telah dibantah oleh para ulama. Makna
tersebut ternyata telah disebutkan oleh Al-Kisaai dan Al-Farroo' (lihat
Al-Haawi fi Fiqh Asy-Syaafi'i 11/415 dan Al-Majmuu' Syarh Al-Muhadzab 16/125).
Bahkan Al-Qurthubi yang juga bermadzhab Malikiyah telah membantah perkataan
Ibnul 'Arobi dengan menjelaskan bahwa tafsiran Asy-Syafi'i bukanlah tafsiran
yang baru, telah mendahului beliau dua imam besar yaitu Zaid bin Aslam dan
Jaabir bin Zaid (lihat Tafsiir Al-Qurthubi 5/21-22)
Al-Imam Asy-Syafi'i tidak banyak menulis sya'ir-sya'ir, akan tetapi
sya'ir-sya'ir beliau sederhana mudah dipahami dan mengandung makna yang sangat
dalam. Meskipun ada sya'ir-sya'ir para ulama bahasa yang lain yang lebih nampak
ketinggian bahasanya dalam sya'ir-sya'ir mereka akan tetapi ternyata kesohoran
sya'ir-sya'ir Asy-Syafi'i lebih besar karena kandungan makna yang dalam dengan
penggunaan kata-kata yang sederhana.
Diantara sya'ir-sya'ir beliau ;
أمَتُّ مَطَامِعي
فأرحْتُ نَفْسي ** فإنَّ النَّفسَ ما طَمعَتْ تهونُ
Aku bunuh sifat tamak yang ada pada diriku, maka akupun menenangkan diriku
Karena jiwa kapan ia tamak maka rendahlah jiwa tersebut
وَأَحْيَيْتُ
القُنُوع وَكَانَ مَيْتاً ** ففي إحيائهِ عرضٌ مصونُ
Dan aku hidupkan sifat qona'ah pada diriku yang tadinya telah mati….
Maka dengan mengidupkannya harga dirikupun terjaga…
إذا طمعٌ
يحلُ بقلبِ عبدٍ ** عَلَتْهُ مَهَانَةٌ وَعَلاَهُ هُونُ
Jika sifat tamak telah menetap di hati seorang hamba….maka ia akan didominasi
oleh kehinaan dan dikuasai kerendahan
Beliau berkata :
نَعِيبُ
زمانَنا والعيبُ فِيْنا *** وَما لِزَمانِنا عَيْبٌ سِوانا
"Kita mencela zaman kita, padahal celaan itu ada pada diri kita sendiri...
Dan zaman kita tidaklah memiliki aib/celaan kecuali kita sendiri"
Beliau berkata :
لَمَّا عَفَوْتُ
وَلَمْ أحْقِدْ عَلَى أحَدٍ ** أَرَحْتُ نَفْسِي مِنْ هَمَّ الْعَدَاوَاتِ
Tatkala aku memaafkan maka akupun tidak membenci seorangpun…
Akupun merilekskan diriku dari kesedihan dan kegelisahan (yang timbul akibat)
permusuhan
إنِّي أُحَيِّي
عَدُوِّي عنْدَ رُؤْيَتِهِ ** لِأَدْفَعَ الشَّرَّ عَنِّي بِالتَّحِيَّاتِ
Aku memberi salam kepada musuhku tatkala bertemu dengannya…untuk menolak
keburukan dariku dengan memberi salam
وأُظْهِرُ
الْبِشْرَ لِلإِنْسَانِ أُبْغِضهُ ** كَمَا إنْ قدْ حَشَى قَلْبي مَحَبَّاتِ
Aku menampakkan senyum kepada orang yang aku benci… sebagaimana jika hatiku
telah dipenuhi dengan kecintaan
النَّاسُ
داءٌ وَدَاءُ النَّاسِ قُرْبُهُمُ ** وَفِي اعْتِزَالِهِمُ قَطْعُ الْمَوَدَّاتِ
Orang-orang adalah penyakit, dan obat mereka adalah dengan mendekati mereka…
dan sikap menjauhi mereka adalah memutuskan tali cinta kasih
Beliau berkata :
بقَدْرِ
الكدِّ تُكتَسَبُ المَعَــالي ....ومَنْ طَلبَ العُلا سَهِـرَ اللّيالي
Ketinggian diraih berdasarkan ukuran kerja keras…
Barang siapa yang ingin meraih puncak maka dia akan begadang
ومَنْ رامَ
العُلى مِن ْغَيرِ كَـدٍّ .....أضَاعَ العُمرَ في طَـلَبِ المُحَالِ
Barang siapa yang mengharapkan ketinggian/kemuliaan tanpa rasa letih…
Maka sesungguhnya ia hanya menghabiskan usianya untuk meraih sesuatu yang
mustahil…
تَرُومُ
العِزَّ ثم تَنامُ لَيـلاً .....يَغُوصُ البَحْرَ مَن طَلَبَ اللآلي
Engkau mengharapkan kejayaan lantas di malam hari hanya tidur aja??
Orang yang yang mencari mutiara harus menyelam di lautan…
Beliau berkata :
إِذَا أَصْبَحْتُ
عِنْدِي قُوْتُ يَوْمٍ ... فَخَلِّ الْهَمَّ عَنِّي يَا سَعِيْدُ
Jika di pagi hari dan aku telah memiliki makanan untuk hari ini…
Maka hilangkanlah kegelisahan dariku wahai yang berbahagia
وَلاَ هُتَخْطُرْ
مُوْمُ غَدٍ بِبَالِي ... فَإِنَّ غَدًا لَهُ رِزْقٌ جَدِيْدُ
Dan tidaklah keresahan esok hari terbetik di benakku….
Karena sesungguhnya esok hari ada rizki baru yang lain
أُسَلِّمُ
إِنْ أَرَادَ اللهُ أَمْراً ... فَأَتْرُكُ مَا أُرِيْدُ لِمَا يُرِيْدُ
Aku pasrah jika Allah menghendaki suatu perkara…
Maka aku biarkan kehendakku menuju kehendakNya
KETIGA : Tegar Di Atas Sunnah dan Memerangi Bid'ah
Al-Imam Asy-Syafi'i digelari dengan نَاصِرُ الْحَدِيْثِ
"Penolong hadits-hadits Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam".
Pengagungan beliau terhadap sunnah-sunnah Nabi sangatlah nampak. Karenanya
beliau sering berdebat dengan ahlul bid'ah dan mematahkan hujjah-hujjah mereka.
Demikian juga di Baghdad adanya sikap mendahulukan ro'yu (pendapat) dari pada
sunnah-sunnah Nabi, sehingga sunnah-sunnah Nabi ditolak dengan berbagai metode.
Al-Imam Asy-Syafi'i datang dan membantah dan mematahkan pemikiran yang
menyimpang tersebut. Akan datang penjelasan yang lebih dalam tentang bantahan
Al-Imam Asy-Syafi'i terhadap ahlul bid'ah.
KEEMPAT : Kharismatik Al-Imam Asy-Syafi'i
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah memiliki kharismatik dan daya tarik yang luar
biasa, hingga ulama-ulama besar yang ada di Baghdad tertarik dengan beliau dan
belajar kepada beliau. Seperti Al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Abu Tsaur yang
masing-masing ternyata memiliki madzhab tersendiri, akan tetapi mereka belajar
kepada Al-Imam Asy-Syafi'i dan sangat mencintai dan mengagungkan Al-Imam
Asy-Syafi'i. Abu Tsaur pernah ditanya :
"Manakah yang lebih faqih, Asy-Syafi'i ataukah Muhammad bin
Al-Hasan?". Dan Muhammad bin Al-Hasan adalah guru Al-Imam Asy-Syafi'i,
beliau menimba ilmu darinya tatkala beliau menetap di Baghdad.
Akan tetapi apa jawaban Abu Tsaur??. Beliau berkata :
الشافعي
أفقه من محمد، وأبي يوسف، وأبي حنيفة، وحماد، وإبراهيم، وعلقمة، والأسود
"Asy-Syafi'i lebih faqih dari pada Muhammad bin Al-Hasan dan juga Abu
Yusuf (Muhamamad bin Al-Hasan dan Abu Yusuf adalah murid senior Abu
Hanifah-pen), dan lebih faqih dari Abu Hanifah, dan juga lebih faqih dari
Hammad (gurunya Abu Hanifah-pen), dan lebih faqih dari Ibrahim (gurunya
Hammad-pen), dan lebih faqih daripada 'Alqomah (gurunya Ibrahim-pen), dan lebih
faqih daripada Al-Aswad (gurunya 'Alqomah)" (Mukhtashor Taarikh Dimasyq
6/434)
Padahal Abu Tsaur dahulunya mengikuti madzhab Ahlu Ro'yi di Baghdad sebelum
datangnya Al-Imam Asy-Syafi'i. Jawaban Abu Tsaur ini menunjukkan kecintaan yang
sangat dalam kepada Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah.
Lihatlah bagaimana cintanya Al-Imam Ahmad kepada gurunya Asy-Syafi'i, sehingga
beliau pernah berkata :
سِتَّةٌ
أَدْعُوا لَهُمْ سَحراً، أَحَدُهُمْ الشَّافِعِيُّ
"Enam orang yang aku mendoaakan mereka di waktu sahur (sebelum subuh),
salah satunya adalah Asy-Syafi'i" (Taariikh Al-Islaam li Adz-Dzhabi
14/312)
Al-Imam Ahmad bin Hanbal terlalu sering mendoakan Asy-Syafi'i, sampai-sampai
anak beliau Abdullah bertanya kepada beliau :
يَا أَبَةِ،
أَيُّ رَجُلٍ كَانَ الشَّافِعِيُّ فَإِنِّي سَمِعْتُكَ تُكْثِرُ مِنَ الدُّعَاءِ لَهُ
"Wahai ayahanda, siapakah Asy-Syafi'i itu, aku mendengarmu banyak
mendoakannya?".
Al-Imam Ahmad menjawab :
يَا بُنَيَّ،
كَانَ الشَّافِعِيُّ كَالشَّمْسِ لِلدُّنْيَا، وَكَالْعَافِيَةِ لِلنَّاسِ، فَهَل لِهَذَيْنِ
مِنْ خَلَفٍ؟
"Wahai putraku, Asy-Syafi'i seperti matahari bagi dunia, seperti
keselamatan bagi manusia, maka apakah ada pengganti bagi kedua kenikamatan
ini?" (Taarikh Al-Islaam 14/312)
Karena ilmu dan dakwah
Al-Imam Asy-Syafi'i diterima oleh masyarakat dan para ulama secara luas maka
munculah orang-orang yang tidak suka kepada beliau. Diantara mereka adalah
salah seorang ulama bermadzhab Maliki yang bernama Asyhub. Tatkala Al-Imam
Asy-Syafi'i datang ke Mesir beliau tidak bertemu dengan murid-murid Imam Malik
kecuali dua orang yaitu Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim dan Asyhub.
Muhammad bin Abdillah bin Abdil Hakim berkata :
سَمِعْتُ
أَشْهُبَ فِي سُجُوْدِهِ يَدْعُو عَلَى الشَّافِعِي بِالْمَوْتِ فَذَكَرْتُ ذَلِكَ
لِلشَّافِعِي
"Aku mendengar Asyhub dalam sujudnya mendoakan agar Asy-Syafi'i meninggal.
Maka akupun menyebutkan hal tersebut kepada Asy-Syafi'i"
Dalam riwayat yang lain Asyhub berdoa :
اللَّهُمَّ
أَمِتِ الشَّافِعِيَّ فَإِنَّكَ إِنْ أَبْقَيْتَهُ اِنْدَرَسَ مَذْهَبُ مَالِكٍ
"Ya Allah matikanlah Asy-Syafi'i, karena kalau Engkau membiarkannya hidup
maka akan punah madzhab Imam Malik"
Maka Al-Imam Asy-Syafi'i heran dengan hal ini, lalu ia berkata dengan menyebut
sya'ir :
تَمَنَّى
رِجَالٌ أَنْ أَمُوْتَ وَإِنْ أَمُتْ فَتِلْكَ سَبِيْلٌ لَسْتُ
فِيْهَا بَأَوْحَدِ
Beberapa lelaki berangan-angan kematianku, dan jika akupun mati….
Maka (kematian) itu adalah jalan yang tidak ditempuh oleh aku sendirian…
فَقُلْ لِلَّذِي
يَبْغِي خِلاَفَ الَّذِي مَضَى تَزَوَّدْ لِأُخْرَى مِثْلِهَا
فَكَأَنْ قَدِ
Maka katakanlah kepada orang yang menginginkan berbedanya apa yang telah
berlalu…
Hendaknya engkau berbekal untuk menghadapi kematian yang semisalnya maka
seakan-akan ia telah datang…
Maka setelah itu Al-Imam Asy-Syafi'i pun meninggal, dan tidak lama kemudian
sekita 18 hari atau sebulan Asyhub pun meninggal dunia.
(lihat : Taarikh Dimasyq 51/428, Siyar A'laam An-Nubalaa 10/72, Al-Waafi bil
Wafayaat 9/165)
KELIMA : Inovasi Spektakuler
Diantara keistimewaan
Al-Imam Asy-Syafi'i rahimahullah beliau telah menyusun sebuah kitab istimewa
yang berjudul Ar-Risaalah, yang kitab ini merupakan kitab pertama yang ditulis
tentang kaidah-kaidah ushul fiqh. Beliau menulis buku tersebut atas permintaan
Abdurrahman bin Mahdi rahimahullah. Beliau menulis surat kepada Asy-Syafi'i
–dan tatkala itu Asy-Syafi'i masih muda belia- agar Asy-Syafi'i membuat sebuah
buku yang mencakup makna-makna Al-Qur'an dan mencakup ilmu-ilmu hadits,
hujjahnya ijmak, serta nasihk dan mansukh dari Al-Qur'an dan hadits. Maka
Al-Imam Asy-Syafi'i lalu menyusun kitab Ar-Risaalah. Maka Abdurrahman bin Mahdi
berkata :
مَا أُصَلِّي
صَلاَةً إِلاَّ وَأَنَا أَدْعُو لِلشَّافِعِي فِيْهَا
"Tidaklah aku sholat kecuali aku mendoakan Asy-Syafi'i dalam sholatku
tersebut" (Tariikh Baghdaad 2/64-65)
Demikian pula halnya dengan kitab Al-Umm yang disusun oleh Al-Imam Asy-Syafi'i
sebagai kitab fikih yang disusun dengan penyusunan bab-bab fikih yang luar
biasa, sehingga memudahkan para murid beliau untuk belajar dengan baik. Dengan
demikian Al-Imam Asy-Syafi'i telah menyusun kitab tentang ushul fikih dan juga
menyusun kitab tentang penerapan ushul fikih tersebut dalam kitab fikih beliau
yaitu Al-Umm.
Diantara keistimewaan beliau juga adalah beliau telah belajar dari dua
madrosah, madrosah Hadits (yang dalam hal ini diwakili oleh Imam Malik yang
merupakan guru beliau) dan madrosah Ar-Ro'yu (yang dalam hal ini diwakili oleh
Muhammad bin Al-Hasan Asy-Syaibaani yang juga merupakan guru beliau). Maka
Al-Imam Asy-Syafi'i menggabungkan kebaikan dari dua madrosah ini sehingga
jadilah madzhab beliau madzhab yang kokoh.
Kota Nabi
-shallallahu 'alaihi wa sallam-, 30-10-1434 H / 06 September 2013 M
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
Abu Abdil Muhsin Firanda
www.firanda.com
Biografi Singkat
Imam Ahmad bin Hanbal
Ditulis
pada 22 Februari 2015 oleh Abu Zahra Hanifa
Beliau adalah Abu Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asad bin Idris bin Abdullah bin Hayyan
bin Abdullah bin Anas bin ‘Auf bin Qasith bin Mazin bin Syaiban bin Dzuhl bin
Tsa‘labah adz-Dzuhli asy-Syaibaniy. Nasab beliau bertemu dengan nasab Nabi pada diri Nizar bin
Ma‘d bin ‘Adnan. Yang berarti bertemu nasab pula dengan nabi Ibrahim.
Ketika beliau masih dalam kandungan, orang tua beliau pindah
dari kota Marwa, tempat tinggal sang ayah, ke kota Baghdad. Di kota itu beliau
dilahirkan, tepatnya pada bulan Rabi‘ul Awwal -menurut pendapat yang paling
masyhur- tahun 164 H.
Ayah beliau, Muhammad, meninggal dalam usia muda, 30 tahun,
ketika beliau baru berumur tiga tahun. Kakek beliau, Hanbal, berpindah ke
wilayah Kharasan dan menjadi wali kota Sarkhas pada masa pemeritahan Bani
Umawiyyah, kemudian bergabung ke dalam barisan pendukung Bani ‘Abbasiyah dan
karenanya ikut merasakan penyiksaan dari Bani Umawiyyah. Disebutkan bahwa dia
dahulunya adalah seorang panglima.
Masa Menuntut Ilmu
Imam Ahmad tumbuh dewasa sebagai seorang anak yatim. Ibunya,
Shafiyyah binti Maimunah binti ‘Abdul Malik asy-Syaibaniy, berperan penuh dalam
mendidik dan membesarkan beliau. Untungnya, sang ayah meninggalkan untuk mereka
dua buah rumah di kota Baghdad. Yang sebuah mereka tempati sendiri, sedangkan
yang sebuah lagi mereka sewakan dengan harga yang sangat murah. Dalam hal ini,
keadaan beliau sama dengan keadaan syaikhnya, Imam Syafi‘i, yang yatim dan
miskin, tetapi tetap mempunyai semangat yang tinggi. Keduanya juga memiliki ibu
yang mampu mengantar mereka kepada kemajuan dan kemuliaan.
Beliau mendapatkan pendidikannya yang pertama di kota Baghdad.
Saat itu, kota Bagdad telah menjadi pusat peradaban dunia Islam, yang penuh
dengan manusia yang berbeda asalnya dan beragam kebudayaannya, serta penuh
dengan beragam jenis ilmu pengetahuan. Di sana tinggal para qari’, ahli hadits,
para sufi, ahli bahasa, filosof, dan sebagainya.
Setamatnya menghafal Alquran dan mempelajari ilmu-ilmu bahasa
Arab di al-Kuttab saat berumur 14 tahun, beliau melanjutkan pendidikannya ke
ad-Diwan. Beliau terus menuntut ilmu dengan penuh azzam yang tinggi dan tidak
mudah goyah. Sang ibu banyak membimbing dan memberi beliau dorongan semangat.
Tidak lupa dia mengingatkan beliau agar tetap memperhatikan keadaan diri
sendiri, terutama dalam masalah kesehatan. Tentang hal itu beliau pernah
bercerita,“Terkadang aku ingin segera pergi pagi-pagi sekali mengambil
(periwayatan) hadits, tetapi Ibu segera mengambil pakaianku dan berkata,
‘Bersabarlah dulu. Tunggu sampai adzan berkumandang atau setelah orang-orang
selesai shalat subuh.’”
Perhatian beliau saat itu memang tengah tertuju kepada keinginan
mengambil hadits dari para perawinya. Beliau mengatakan bahwa orang pertama
yang darinya beliau mengambil hadits adalah al-Qadhi Abu Yusuf, murid/rekan
Imam Abu Hanifah.
Imam Ahmad tertarik untuk menulis hadits pada tahun 179 saat
berumur 16 tahun. Beliau terus berada di kota Baghdad mengambil hadits dari
syaikh-syaikh hadits kota itu hingga tahun 186. Beliau melakukan mulazamah
kepada syaikhnya, Hasyim bin Basyir bin Abu Hazim al-Wasithiy hingga syaikhnya
tersebut wafat tahun 183. Disebutkan oleh putra beliau bahwa beliau mengambil
hadits dari Hasyim sekitar tiga ratus ribu hadits lebih.
Pada tahun 186, beliau mulai melakukan perjalanan (mencari
hadits) ke Bashrah lalu ke negeri Hijaz, Yaman, dan selainnya. Tokoh yang
paling menonjol yang beliau temui dan mengambil ilmu darinya selama
perjalanannya ke Hijaz dan selama tinggal di sana adalah Imam Syafi‘i. Beliau
banyak mengambil hadits dan faedah ilmu darinya. Imam Syafi‘i sendiri amat
memuliakan diri beliau dan terkadang menjadikan beliau rujukan dalam mengenal
keshahihan sebuah hadits. Ulama lain yang menjadi sumber beliau mengambil ilmu
adalah Sufyan bin ‘Uyainah, Ismail bin ‘Ulayyah, Waki‘ bin al-Jarrah, Yahya
al-Qaththan, Yazid bin Harun, dan lain-lain. Beliau berkata,“Saya tidak sempat bertemu
dengan Imam Malik, tetapi Allah menggantikannya untukku dengan Sufyan bin
‘Uyainah. Dan saya tidak sempat pula bertemu dengan Hammad bin Zaid, tetapi
Allah menggantikannya dengan Ismail bin ‘Ulayyah.”
Demikianlah, beliau amat menekuni pencatatan hadits, dan
ketekunannya itu menyibukkannya dari hal-hal lain sampai-sampai dalam hal
berumah tangga. Beliau baru menikah setelah berumur 40 tahun. Ada orang yang
berkata kepada beliau, “Wahai Abu Abdillah, Anda telah mencapai semua ini. Anda telah
menjadi imam kaum muslimin.” Beliau menjawab, “Bersama mahbarah (tempat tinta) hingga ke maqbarah (kubur). Aku akan
tetap menuntut ilmu sampai aku masuk liang kubur.” Dan memang senantiasa
seperti itulah keadaan beliau: menekuni hadits, memberi fatwa, dan
kegiatan-kegiatan lain yang memberi manfaat kepada kaum muslimin. Sementara
itu, murid-murid beliau berkumpul di sekitarnya, mengambil darinya (ilmu)
hadits, fiqih, dan lainnya. Ada banyak ulama yang pernah mengambil ilmu dari
beliau, di antaranya kedua putra beliau, Abdullah dan Shalih, Abu Zur ‘ah,
Bukhari, Muslim, Abu Dawud, al-Atsram, dan lain-lain.
Beliau menyusun kitabnya yang terkenal, al-Musnad, dalam jangka
waktu sekitar enam puluh tahun dan itu sudah dimulainya sejak tahun tahun 180
saat pertama kali beliau mencari hadits. Beliau juga menyusun kitab tentang
tafsir, tentang an-nasikh dan al-mansukh, tentang tarikh, tentang yang muqaddam
dan muakhkhar dalam Alquran, tentang jawaban-jawaban dalam Alquran. Beliau juga
menyusun kitab al-Manasik ash-Shagir dan al-Kabir, kitab az-Zuhud, kitab
ar-Radd ‘ala al-Jahmiyah wa az-Zindiqah (Bantahan kepada Jahmiyah dan Zindiqah),
kitab as-Shalah, kitab as-Sunnah, kitab al-Wara‘ wa al-Iman, kitab al-‘Ilal wa
ar-Rijal, kitab al-Asyribah, satu juz tentang Ushul as-Sittah, Fadha’il
ash-Shahabah.
Pujian dan Penghormatan Ulama
Lain Kepadanya
o Imam Syafi‘i pernah
mengusulkan kepada Khalifah Harun ar-Rasyid, pada hari-hari akhir hidup
khalifah tersebut, agar mengangkat Imam Ahmad menjadi qadhi di Yaman, tetapi
Imam Ahmad menolaknya dan berkata kepada Imam Syafi‘i, “Saya datang kepada Anda
untuk mengambil ilmu dari Anda, tetapi Anda malah menyuruh saya menjadi qadhi
untuk mereka.” Setelah itu pada tahun 195, Imam Syafi‘i mengusulkan hal yang
sama kepada Khalifah al-Amin, tetapi lagi-lagi Imam Ahmad menolaknya.
o Suatu hari, Imam Syafi‘i
masuk menemui Imam Ahmad dan berkata, “Engkau lebih tahu tentang hadits dan
perawi-perawinya. Jika ada hadits shahih (yang engkau tahu), maka beri tahulah
aku. Insya Allah, jika (perawinya) dari Kufah atau Syam, aku akan pergi
mendatanginya jika memang shahih.” Ini menunjukkan kesempurnaan agama dan akal Imam Syafi‘i karena
mau mengembalikan ilmu kepada ahlinya.
o Imam Syafi‘i juga
berkata, “Aku keluar (meninggalkan) Bagdad, sementara itu tidak aku
tinggalkan di kota tersebut orang yang lebih wara’, lebih faqih, dan lebih
bertakwa daripada Ahmad bin Hanbal.”
o Abdul Wahhab al-Warraq
berkata, “Aku tidak pernah melihat orang yang seperti Ahmad bin Hanbal.” Orang-orang bertanya
kepadanya, “Dalam hal apakah dari ilmu dan keutamaannya yang engkau pandang
dia melebihi yang lain?” Al-Warraq menjawab, “Dia seorang yang jika ditanya tentang 60.000
masalah, dia akan menjawabnya dengan berkata, ‘Telah dikabarkan kepada kami,’
atau, ‘Telah disampaikan hadits kepada kami’.”
o Ahmad bin Syaiban
berkata, “Aku tidak pernah melihat Yazid bin Harun memberi penghormatan
kepada seseorang yang lebih besar daripada kepada Ahmad bin Hanbal. Dia akan
mendudukkan beliau di sisinya jika menyampaikan hadits kepada kami. Dia sangat
menghormati beliau, tidak mau berkelakar dengannya.” Demikianlah, padahal
seperti diketahui bahwa Harun bin Yazid adalah salah seorang guru beliau dan
terkenal sebagai salah seorang imam huffazh.
Keteguhan di Masa Penuh
Cobaan
Telah menjadi keniscayaan bahwa kehidupan seorang mukmin tidak
akan lepas dari ujian dan cobaan, terlebih lagi seorang alim yang berjalan di
atas jejak para nabi dan rasul. Dan Imam Ahmad termasuk di antaranya. Beliau
mendapatkan cobaan dari tiga orang khalifah Bani Abbasiyah selama rentang waktu
16 tahun.
Pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah, dengan jelas tampak
kecondongan khalifah yang berkuasa menjadikan unsur-unsur asing (non-Arab)
sebagai kekuatan penunjang kekuasaan mereka. Khalifah al-Makmun menjadikan
orang-orang Persia sebagai kekuatan pendukungnya, sedangkan al-Mu‘tashim
memilih orang-orang Turki. Akibatnya, justru sedikit demi sedikit kelemahan
menggerogoti kekuasaan mereka. Pada masa itu dimulai penerjemahan ke dalam
bahasa Arab buku-buku falsafah dari Yunani, Rumania, Persia, dan India dengan
sokongan dana dari penguasa. Akibatnya, dengan cepat berbagai bentuk bid‘ah
merasuk menyebar ke dalam akidah dan ibadah kaum muslimin. Berbagai macam
kelompok yang sesat menyebar di tengah-tengah mereka, seperti Qadhariyah,
Jahmyah, Asy‘ariyah, Rafidhah, Mu‘tazilah, dan lain-lain.
Kelompok Mu‘tazilah, secara khusus, mendapat
sokongan dari penguasa, terutama dari Khalifah al-Makmun. Mereka, di bawah
pimpinan Ibnu Abi Duad, mampu mempengaruhi al-Makmun untuk membenarkan dan
menyebarkan pendapat-pendapat mereka, di antaranya pendapat yang mengingkari
sifat-sifat Allah, termasuk sifat kalam (berbicara). Berangkat dari
pengingkaran itulah, pada tahun 212, Khalifah al-Makmun kemudian memaksa kaum
muslimin, khususnya ulama mereka, untuk meyakini kemakhlukan Alquran.
Sebenarnya Harun ar-Rasyid, khalifah sebelum al-Makmun, telah
menindak tegas pendapat tentang kemakhlukan Alquran. Selama hidupnya, tidak ada
seorang pun yang berani menyatakan pendapat itu sebagaimana dikisahkan oleh
Muhammad bin Nuh, “Aku pernah mendengar Harun ar-Rasyid berkata, ‘Telah sampai berita
kepadaku bahwa Bisyr al-Muraisiy mengatakan bahwa Alquran itu makhluk.
Merupakan kewajibanku, jika Allah menguasakan orang itu kepadaku, niscaya akan
aku hukum bunuh dia dengan cara yang tidak pernah dilakukan oleh seorang pun.’” Tatkala Khalifah
ar-Rasyid wafat dan kekuasaan beralih ke tangan al-Amin, kelompok Mu‘tazilah
berusaha menggiring al-Amin ke dalam kelompok mereka, tetapi al-Amin
menolaknya. Baru kemudian ketika kekhalifahan berpindah ke tangan al-Makmun,
mereka mampu melakukannya.
Untuk memaksa kaum muslimin menerima pendapat kemakhlukan
Alquran, al-Makmun sampai mengadakan ujian kepada mereka. Selama masa pengujian
tersebut, tidak terhitung orang yang telah dipenjara, disiksa, dan bahkan
dibunuhnya. Ujian itu sendiri telah menyibukkan pemerintah dan warganya baik
yang umum maupun yang khusus. Ia telah menjadi bahan pembicaraan mereka, baik
di kota-kota maupun di desa-desa di negeri Irak dan selainnya. Telah terjadi
perdebatan yang sengit di kalangan ulama tentang hal itu. Tidak terhitung dari
mereka yang menolak pendapat kemakhlukan Alquran, termasuk di antaranya Imam
Ahmad. Beliau tetap konsisten memegang pendapat yang hak, bahwa Alquran itu
kalamullah, bukan makhluk.
Al-Makmun bahkan sempat memerintahkan bawahannya agar membawa
Imam Ahmad dan Muhammad bin Nuh ke hadapannya di kota Thursus. Kedua ulama itu
pun akhirnya digiring ke Thursus dalam keadaan terbelenggu. Muhammad bin Nuh
meninggal dalam perjalanan sebelum sampai ke Thursus, sedangkan Imam Ahmad
dibawa kembali ke Bagdad dan dipenjara di sana karena telah sampai kabar
tentang kematian al-Makmun (tahun 218). Disebutkan bahwa Imam Ahmad tetap
mendoakan al-Makmun.
Sepeninggal al-Makmun, kekhalifahan berpindah ke tangan
putranya, al-Mu‘tashim. Dia telah mendapat wasiat dari al-Makmun agar
meneruskan pendapat kemakhlukan Alquran dan menguji orang-orang dalam hal
tersebut; dan dia pun melaksanakannya. Imam Ahmad dikeluarkannya dari penjara
lalu dipertemukan dengan Ibnu Abi Duad dan konco-konconya. Mereka mendebat
beliau tentang kemakhlukan Alquran, tetapi beliau mampu membantahnya dengan
bantahan yang tidak dapat mereka bantah. Akhirnya beliau dicambuk sampai tidak
sadarkan diri lalu dimasukkan kembali ke dalam penjara dan mendekam di sana
selama sekitar 28 bulan –atau 30-an bulan menurut yang lain-. Selama itu beliau
shalat dan tidur dalam keadaan kaki terbelenggu.
Selama itu pula, setiap harinya al-Mu‘tashim mengutus orang
untuk mendebat beliau, tetapi jawaban beliau tetap sama, tidak berubah.
Akibatnya, bertambah kemarahan al-Mu‘tashim kepada beliau. Dia mengancam dan memaki-maki
beliau, dan menyuruh bawahannya mencambuk lebih keras dan menambah belenggu di
kaki beliau. Semua itu, diterima Imam Ahmad dengan penuh kesabaran dan
keteguhan bak gunung yang menjulang dengan kokohnya.
Sakit dan Wafatnya
Pada akhirnya, beliau dibebaskan dari penjara. Beliau
dikembalikan ke rumah dalam keadaan tidak mampu berjalan. Setelah luka-lukanya
sembuh dan badannya telah kuat, beliau kembali menyampaikan
pelajaran-pelajarannya di masjid sampai al-Mu‘tashim wafat.
Selanjutnya, al-Watsiq diangkat menjadi khalifah. Tidak berbeda
dengan ayahnya, al-Mu‘tashim, al-Watsiq pun melanjutkan ujian yang dilakukan
ayah dan kakeknya. Dia pun masih menjalin kedekatan dengan Ibnu Abi Duad dan
konco-konconya. Akibatnya, penduduk Bagdad merasakan cobaan yang kian keras.
Al-Watsiq melarang Imam Ahmad keluar berkumpul bersama orang-orang. Akhirnya,
Imam Ahmad bersembunyi di rumahnya, tidak keluar darinya bahkan untuk keluar
mengajar atau menghadiri shalat jamaah. Dan itu dijalaninya selama kurang lebih
lima tahun, yaitu sampai al-Watsiq meninggal tahun 232.
Sesudah al-Watsiq wafat, al-Mutawakkil naik menggantikannya.
Selama dua tahun masa pemerintahannya, ujian tentang kemakhlukan Alquran masih
dilangsungkan. Kemudian pada tahun 234, dia menghentikan ujian tersebut. Dia
mengumumkan ke seluruh wilayah kerajaannya larangan atas pendapat tentang
kemakhlukan Alquran dan ancaman hukuman mati bagi yang melibatkan diri dalam
hal itu. Dia juga memerintahkan kepada para ahli hadits untuk menyampaikan
hadits-hadits tentang sifat-sifat Allah. Maka demikianlah, orang-orang pun
bergembira pun dengan adanya pengumuman itu. Mereka memuji-muji khalifah atas
keputusannya itu dan melupakan kejelekan-kejelekannya. Di mana-mana terdengar
doa untuknya dan namanya disebut-sebut bersama nama Abu Bakar, Umar bin
al-Khaththab, dan Umar bin Abdul Aziz.
Menjelang wafatnya, beliau jatuh sakit selama sembilan hari.
Mendengar sakitnya, orang-orang pun berdatangan ingin menjenguknya. Mereka
berdesak-desakan di depan pintu rumahnya, sampai-sampai sultan menempatkan
orang untuk berjaga di depan pintu. Akhirnya, pada permulaan hari Jumat tanggal
12 Rabi‘ul Awwal tahun 241, beliau menghadap kepada rabbnya menjemput ajal yang
telah ditentukan kepadanya. Kaum muslimin bersedih dengan kepergian beliau. Tak
sedikit mereka yang turut mengantar jenazah beliau sampai beratusan ribu orang.
Ada yang mengatakan 700 ribu orang, ada pula yang mengatakan 800 ribu orang,
bahkan ada yang mengatakan sampai satu juta lebih orang yang menghadirinya.
Semuanya menunjukkan bahwa sangat banyaknya mereka yang hadir pada saat itu
demi menunjukkan penghormatan dan kecintaan mereka kepada beliau. Beliau pernah
berkata ketika masih sehat, “Katakan kepada ahlu bid‘ah bahwa perbedaan antara kami dan kalian
adalah (tampak pada) hari kematian kami.”
Demikianlah gambaran ringkas ujian yang dilalui oleh Imam Ahmad.
Terlihat bagaimana sikap agung beliau yang tidak akan diambil kecuali oleh
orang-orang yang penuh keteguhan lagi ikhlas. Beliau bersikap seperti itu
justru ketika sebagian ulama lain berpaling dari kebenaran. Dan dengan
keteguhan di atas kebenaran yang Allah berikan kepadanya itu, maka madzhab
Ahlussunnah pun dinisbatkan kepada dirinya karena beliau sabar dan teguh dalam
membelanya. Ali bin al-Madiniy berkata menggambarkan keteguhan Imam Ahmad, “Allah telah mengokohkan
agama ini lewat dua orang laki-laki, tidak ada yang ketiganya. Yaitu, Abu Bakar
as-Shiddiq pada Yaumur Riddah (saat orang-orang banyak yang murtad pada
awal-awal pemerintahannya), dan Ahmad bin Hanbal pada Yaumul Mihnah”.