Allah Ada Tanpa Tempat
Keyakinan yang paling mendasar setiap
Muslim adalah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Sempurna dan Maha
Suci dari segala kekurangan. Allah subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari
menyerupai makhluk-Nya. Allah subhanahu wa ta‘ala juga Maha Suci dari tempat
dan arah. Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat. Demikian keyakinan yang
paling mendasar setiap Muslim Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Dalam ilmu akidah atau teologi,
keyakinan semacam ini dibahasakan, bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala memiliki
sifat Mukhalafatuhu lil-Hawaditsi, yaitu Allah subhanahu wa ta‘ala wajib tidak
menyerupai makhluk-Nya.
Ada sebuah dialog yang unik antara seorang
Muslim Sunni yang meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat, dengan
seorang Wahhabi yang berkeyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bertempat.
Wahhabi berkata: “Kamu ada pada suatu tempat. Aku ada pada suatu tempat.
Berarti setiap sesuatu yang ada, pasti ada tempatnya. Kalau kamu berkata, Allah
ada tanpa tempat, berarti kamu berpendapat Allah tidak ada.” Sunni menjawab;
“Sekarang saya akan bertanya kepada Anda: “Bukankah Allah telah ada tanpa
tempat sebelum diciptakannya tempat?” Wahhabi menjawab: “Betul, Allah ada tanpa
tempat sebelum terciptanya tempat.” Sunni berkata: “Kalau memang wujudnya Allah
tanpa tempat sebelum terciptanya tempat itu rasional, berarti rasional pula
dikatakan, Allah ada tanpa tempat setelah terciptanya tempat. Mengatakan Allah
ada tanpa tempat, tidak berarti menafikan wujudnya Allah.”
Wahhabi berkata: “Bagaimana seandainya
saya berkata, Allah telah bertempat sebelum terciptanya tempat?” Sunni
menjawab: “Pernyataan Anda mengandung dua kemungkinan. Pertama, Anda mengatakan
bahwa tempat itu bersifat azali (tidak ada permulaannya), keberadaannya bersama
wujudnya Allah dan bukan termasuk makhluk Allah. Demikian ini berarti Anda
mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
اَللهُ
خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ. (الزمر : ٦٢).
“Allah-lah pencipta segala sesuatu.” (QS.
al-Zumar : 62).
Kemungkinan kedua, Anda berpendapat, bahwa
Allah itu baru, yakni wujudnya Allah terjadi setelah adanya tempat, dengan
demikian berarti Anda mendustakan firman Allah subhanahu wa ta‘ala:
هُوَ
اْلأَوَّلُ وَاْلآَخِرُ. (الحديد : ٣).
“Dialah (Allah) Yang Maha Awal (wujudnya tanpa
permulaan) dan Yang Maha Akhir (Wujudnya tanpa akhir).” (QS. al-Hadid :
3).
Demikianlah dialog seorang Muslim Sunni
dengan orang Wahhabi. Pada dasarnya, pendapat Wahhabi yang meyakini bahwa
wujudnya Allah subhanahu wa ta‘ala ada dengan tempat dapat menjerumuskan
seseorang keluar dari keyakinan yang paling mendasar setiap Muslim, yaitu Allah
subhanahu wa ta‘ala Maha Suci dari segala kekurangan.
Tidak jarang, kaum Wahhabi menggunakan
ayat-ayat al-Qur’an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah subhanahu
wa ta‘ala bertempat di langit. Akan tetapi, dalil-dalil mereka dapat dengan
mudah dipatahkan dengan ayat-ayat al-Qur’an yang sama.
NU – WAHABI BERSATU, MUNGKINKAH?
Wawancara Dengan Situs www.islampos.com di Ruang Khalid bin al-Walid, az-Zikra, Sentul Bogor.
Wawancara Dengan Situs www.islampos.com di Ruang Khalid bin al-Walid, az-Zikra, Sentul Bogor.
Pada tanggal 22 Pebruari 2015 yang lalu, saya diundang az-Zikra, majlis
dzikir pimpinan Ustadz Arifin Ilham, di Bogor, untuk menjadi salah satu
pembicara dalam acara Tabligh Akbar. Sepertinya dalam acara tersebut juga
melibatkan orang-orang Wahabi. Dalam acara yang membicarakan penyimpangan
ajaran Syiah tersebut, sepertinya aroma Wahabi memang agak terasa.
Saya berbicara di forum yang dihadiri orang-orang yang memenuhi lantai
bawah Masjid az-Zikra tersebut. Konon Masjid tersebut hasil sumbangan al-Marhum
Muammar Qadzafi, Presiden Libia, yang dibunuh dalam serangan tentara Barat ke
Libia beberapa waktu yang lalu. Setelah saya selesai berbicara tentang
perbedaan ajaran Ahlussunnah Wal-Jama’ah dengan Syiah, dua orang wartawan situs islampos.com mengikuti saya menuju ruang istirahat, ruangan VIP di sebelah Raudhatul
Athfal az-Zikra. Mereka mengikuti saya untuk wawancara dengan saya seputar
ajaran Syiah. Pada waktu itu, saya ditemani beberapa teman sealmamater dengan
saya di Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan, yaitu Ustadz Abdussalam, Ahmad
Mukhlishuddin, Rohmatullah Adni Asymuni, Ahmad Zuhud, Badrus Sholeh dan
Abdurrohim.
Pada awalnya, kedua wartawan tersebut, yang kemudian disusul oleh seorang
wartawan lagi dari situs yang sama, menanyakan tentang hal-hal yang berkaitan
dengan Syiah. Tetapi, tanpa saya duga, setelah selesai menanyakan hal-hal yang
berkaitan dengan Syiah, mereka mulai menanyakan tentang serangan-serangan saya
terhadap Wahabi di dunia maya. Berikut wawancaranya.
Islampos (IP): Mengapa Anda sering
menyerang Wahabi dalam tulisan-tulisan Anda di dunia maya, baik di akun
facebook, fanpage maupun situswww.idrusramli.com?
Saya (S): Saya tidak pernah menyerang Wahabi. Saya hanya menanggapi dan
merespon serangan mereka. Coba Anda perhatikan, kaum Wahabi tidak pernah lelah
dan tidak pernah berhenti mensyirikkan, mengkafirkan dan membid’ahkan kami,
baik melalui dunia maya, radio, televisi, buku-buku dan lainnya. Jadi, kami
hanya merespon saja.
IP: Apakah mungkin Nahdlatul Ulama
bersatu dengan Wahabi?
S: Pertanyaan Anda ini lucu. Sebab sebenarnya Islam telah menyatukan
semuanya. Ahlussunnah Wal-Jama’ah Islam, Wahabi Islam, Syiah juga Islam. Jadi Islam telah menyatukan
mereka. Hanya saja kemudian mereka dikotak-kotakkan dan dipisahkan oleh banyak
perbedaan baik dalam masalah-masalah ushul (akidah) maupun dalam
masalah-masalah furu’ (fiqih). [Tentu saja, Syiah masih dianggap Islam, selama mereka
tidak menistakan para istri Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam, tidak
mengakafirkan sahabat dan tidak meyakini kepalsuan al-Qur’an).
Sebenarnya bagaimana peta perpecahan antara aliran-aliran tersebut?
Jadi begini, 90 % umat Islam itu pengikut madzhab empat, yaitu Hanafi,
Maliki, Syafi’i dan Hanbali. Sedangkan yang 10 % ada yang Syiah, Zaidiyah,
Khawarij (Ibadhiyah) dan Mu’tazilah.
Dari 90 % pengikut madzhab empat tersebut, apabila kita petakan akidah
mereka adalah sebagai berikut:
1) Pengikut madzhab Hanafi, 30 % mengikuti akidah Asya’irah, dan 70 %
mengikuti Maturidiyah
2) Pengikut madzhab Maliki dan Syafi’i, 100 % mengikuti Asya’irah
3) Pengikut madzhab Hanbali, dalam akidah pecah menjadi tiga kelompok.
Pertama, mayoritas mereka, atau
sekitar 60 % adalah pengikut Hasyawiyah, atau Mujassimah yang berkeyakinan
Allah berdomisili di Arasy. Kelompok ini disebut dengan Ghulat al-Hanabilah
(kaum ekstrem madzhab Hanbali).
Kedua, kelompok yang mengikuti
madzhab Asya’iroh, seperti Abul Wafa Ibnu ‘Aqil, Rizqullah bin Abdul
Wahhab al-Tamimi dan Abul Faraj Ibnul Jauzi. Kelompok ini disebut
dengan fudhala’ al-hanabilah (kaum utama madzhab Hanbali).
Ketiga, mengikuti ajaran tafwidh,
yakni tidak melakukan ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat, tapi menyerahkan
maknanya kepada Allah subhanahu wata’ala.
Ketiga kelompok tersebut sama-sama mengklaim sebagai representasi
pemikiran Imam Ahmad bin Hanbal dalam bidang akidah. Akan tetapi meskipun
ketiga kelompok tersebut berbeda dalam soal-soal akidah, mereka sama-sama
mengikuti ajaran tashawuf, melakukan istighatsah, tawasul, tabaruk dan ziarah kubur.
Pada abad ketujuh Hijriah,
kelompok Ghulat al-Hanabilah hampir habis dan beralih haluan mengikuti
Asya’irah, berkat kebijakan Raja Zhahir Baibars al-Bindiqdari, yang mengangkat
Hakim Agung (Qadhi al-Qudhat) dari madzhab empat. Sehingga keempat madzhab
tersebut sering melakukan diskusi, dan dampak positifnya, penyakit tajsim
(menjasmanikan Tuhan) yang menggerogoti Hanabilah, sedikit demi sedikit
terobati dan hampir habis.
Hanya saja setelah itu lahir Syaikh
Ibnu Taimiyah, yang kemudian berhasil meradikalisasi madzhab Hanbali dalam
bidang ushul dan furu’. Dalam bidang akidah, Ibnu Taimiyah mengembalikan
mayoritas Hanabilah menjadi pengikut Hasyawiyyah dan membabat habis kelompok
Fudhala’ al-Hanabilah yang mengikuti Asya’irah. Sedangkan dalam bidang furu’,
Ibnu Taimiyah mengharamkan istighatsah, tawasul, tabaruk dan
ziarah makam Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan wali dengan tujuan tabaruk. Dalam rangka radikalisasi
tersebut, Ibnu Taimiyah membuat perangkat ideologi yang disebut dengan
pembagian Tauhid menjadi tiga, yaitu Rububiyah, Uluhiyah dan Asma wa Shifat.
Tauhid Uluhiyah dibuat untuk melarang amalan-amalan seperti istighatsah,
tawasul, tabaruk dan ziarah. Sedangkan
Tauhid Asma wa Shifat dibuat untuk menyesatkan mayoritas umat Islam yang
berakidah tanzih (menyucikan Allah dari menyerupai makhluk) dan melakukan
ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat. Akan tetapi perlu dicatat, Ibnu
Taimiyah masih membolehkan membaca al-Qur’an di kuburan, tahlilan, dzikir
bersama, maulid dan beberapa tradisi shufi lainnya.
Pada abad kedua belas Hijriah,
muncul Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab al-Najdi, pendiri Wahabi. Dia
meradikalisasi madzhab Hanbali, lebih keras dari Ibnu Taimiyah, dengan
mengadopsi akidah Hasyawiyah. Hanya saja,
beberapa amalan yang diharamkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti istighatsah,
tawasul, tabaruk dan ziarah dengan alasan Tauhid Uluhiyah, oleh pendiri Wahabi
tersebut dinaikkan status hukumnya menjadi syirik akbar, murtad dan kafir.
Sedangkan beberapa tradisi shufi yang dibolehkan oleh Ibnu Taimiyah, seperti
dzikir bersama, membaca al-Qur’an di kuburan, maulid, tahlilan dan semacamnya
diharamkan dengan alasan bid’ah dhalalah dan pemurnian agama.
Lalu bagaimana perbedaan mendasar
dalam aspek akidah, antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi dan Syiah?
Perbedaannya tidak sederhana, dan tidak semudah Anda mengajak kami, mari
kita bersatu menghadapi Syiah dan Liberal. Ini namanya menyederhanakan
persoalan.
Sekarang kita melihat perbedaan akidah, antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
Wahabi dan Syiah. Contohnya dalam
konsep tentang ketuhanan. Dalam madzhab Ahlussunnah Wal-Jama’ah, berkaitan dengan ketuhanan ada
konsep sifat wajib dua puluh bagi Allah. Sifat dua puluh ini( ????? ), selain sebagai internalisasi, atau membangun konsep yang benar
tentang ketuhanan sesuai dengan al-Qur’an dan Sunnah seperti yang dipahami oleh
ulama salaf, juga sebagai respon terhadap penyimpangan-penyimpangan yang
dilakukan faksi-faksi di luar Ahlussunnah Wal-Jama’ah, seperti Mu’tazilah,
Zaidiyah, Syiah, Wahabi dan lain-lain.
Secara sederhana begini, sifat dua puluh tersebut dibangun oleh para
ulama dalam rangka menjawab pertanyaan paling mendasar tentang Allah.
Misalnya tentang sifat wujud. Ada sebuah pertanyaan, apakah Allah itu ada? Jawabannya, Allah itu ada, dan
keberadaannya bersifat wajib ‘aqli (wajibul wujud). Dalam masalah ini,
tidak ada perbedaan antara Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Wahabi, Mu’tazilah dan para
pengikutnya, yaitu Zaidiyah, Syiah, Khawarij dan Hizbut Tahrir. Karena keempat
kelompok tersebut secara ideologi mengikuti Mu’tazilah.
Pertanyaan kedua, apabila Tuhan
itu ada, lalu sejak kapan keberadaan-Nya? Jawabannya, Tuhan itu bersifat qidam,
keberadaan-Nya tanpa permulaan. Mengenai
sifat qidam ini, umat Islam sepakat, bahwa wujudnya Tuhan tanpa permulaan, baik
Ahlussunnah, Mu’tazilah, Syiah dan Wahabi. Hanya saja, dalam ajaran Hasyawiyah (yang diikuti
Wahabi), sejak masa Ibnu Taimiyah, menolak penggunaan istilah qidam bagi Allah,
dan menganggapnya bid’ah yang sesat, dengan alasan istilah qidam bagi Allah
tidak ada dalam al-Qu’an dan hadits. ( ????? )
Padahal penetapan sifat Qidam tersebut didasarkan pada dalil ijma’ ulama
salaf. Oleh karena itu, para ulama sebelum Ibnu Taimiyah, termasuk Hasyawiyah
sendiri menerima istilah Qidam bagi Allah.( ??????
)
Pertanyaan ketiga, sampai kapan
wujudnya Tuhan? Jawabannya,
Tuhan wajib bersifat
baqa’, kekal dan abadi, yaitu wujudnya tidak ada akhirnya. Dalam masalah
ini, semua umat Islam sepakat, karena istilah baqa’ bagi Tuhan memang
ditegaskan dalam al-Qur’an.
Pertanyaan keempat, kalau Tuhan
itu memang Wujud, Qidam dan Baqa’, lalu Tuhan itu seperti apa? Jawabannya,
mayoritas umat Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah, Mu’tazilah dan Syiah sepakat
menjawab, Tuhan
itu bersifat mukhalafah lil-hawaditsi, yaitu Dzat Tuhan berbeda dengan apapun
dari makhluk-makhluk-Nya yang baru. ( mana tex tulisan wahhabi yang
bertentangan dengan paragraph ini ? ) Sementara kaum Wahabi berbeda dengan mayoritas umat Islam. Karena itu,
Wahabi disebut kaum Musyabbihah (menyerupakan Tuhan dengan makhluk) dan
Mujassimah (menjasmanikan Tuhan).( ?????? ) bodoh benar !
Pertanyaan kelima, kalau begitu,
Tuhan tinggal di mana? Menjawab pertanyaan ini, ketiga kelompok tadi berbeda
lagi. Mu’tazilah dan Syiah menjawab, Tuhan ada di mana-mana.
Wahabi menjawab lain,
dan berpendapat bahwa Tuhan bertempat di Arasy. Sedangkan Ahlussunnah
Wal-Jama’ah yang merupakan mayoritas umat Islam menjawab, Tuhan tidak butuh
pada tempat. Tuhan ada sebelum adanya tempat.
Masalah ini sebenarnya perbedaan yang
paling utama dan paling pokok antara Wahabi dengan umat Islam yang lain dalam
masalah ketuhanan. Sehingga menurut Wahabi, umat Islam yang tidak meyakini
Tuhan berdomisili di Asrasy adalah kafir, karena telah melanggar Tauhid Asma wa
Shifat. Dan dengan
Tauhid Asma wa Shifat ini pula, Wahabi menganggap umat Islam yang melakukan
ta’wil terhadap nash-nash mutasyabihat adalah sesat. Padahal ta’wil dalam hal
tersebut telah dilakukan oleh kaum salaf yang shaleh sejak generasi sahabat.
Jadinya, Tauhid Asma wa Shifat
telah berdampat negatif, karena menyesatkan umat Islam sejak generasi salaf
yang shaleh.
Sementara Ahlussunnah Wal-Jama’ah,
berpendapat bahwa keyakinan Wahabi bahwa Tuhan berdomisili di Arasy adalah
sesat dan menyesatkan. Karena
keyakinan tersebut dapat menjerumuskan pada kekufuran. Kaum Wahabi memiliki
keyakinan, bahwa setiap sesuatu yang ada pasti bertempat. Tuhan itu ada, berarti bertempat.
Kalau tidak bertempat, berarti tidak ada.
Beberapa waktu yang lalu saya pernah berdialog dengan seorang Ustadz
Wahabi. Saya bertanya kepada dia, Tuhan itu bertempat apa tidak? Dia menjawab,
ya bertempat. Kalau tidak bertempat berarti tidak ada. Karena setiap sesuatu
yang ada pasti bertempat. Lalu saya tanya, kalau begitu, tempat-Nya di mana?
Dia menjawab, di Arasy. Lalu saya bertanya lagi, Arasy itu makhluk apa bukan?
Kalau Anda menjawab bukan makhluk, Anda kafir, karena meyakini ada sesuatu
selain Tuhan yang bukan makhluk Tuhan. Kalau Anda menjawab, Arasy itu makhluk,
saya akan bertanya lagi. Dia menjawab, tentu saja Arasy itu makhluk. Lalu saya
bertanya lagi, kalau begitu, sebelum Allah menciptakan Arasy, Allah bertempat
di mana? Akhirnya Wahabi tersebut tidak bisa menjawab, dan berbicara ke
mana-mana.
Pendapat Wahabi bahwa setiap
sesuatu yang ada pasti bertempat, jelas menjerumuskan pada kekufuran, ketika
mereka dihadapkan pada persoalan, di mana tempat Tuhan sebelum menciptakan
tempat. Kalau mereka menjawab,
Tuhan tidak ada, berarti mereka kafir. Kalau mereka menjawab, Tuhan ada tanpa tempat, berarti
mereka paradoks dan membatalkan konsepnya sendiri.
Ahlussunnah Wal-Jama’ah juga menolak
konsep Mu’tazilah dan Syiah yang mengatakan Tuhan ada di mana-mana. Karena
pendapat tersebut melecehkan Tuhan, dengan kesimpulan bahwa Tuhan ada di
tempat-tempat yang baik seperti Masjid dan tempat ibadah, juga di tempat-tempat
yang tidak baik seperti toilet dan semacamnya. Oleh karena itu, mayoritas umat
Islam, Ahlussunnah Wal-Jama’ah meyakini Tuhan itu ada tanpa tempat.
Nah, dari jawaban saya yang agak
panjang, pertanyaan Anda, mungkinkan Nahdlatul Ulama bersatu dengan Wahabi?
Jawabannya, di sini harus dipahami bahwa perbedaan kami dengan Wahabi tidaklah
sederhana. Kami mengikuti mayoritas umat Islam
sejak generasi salaf yang shaleh dari kaum ahli tafsir, ahli hadits dan ahli
fiqih. Sedangkan Wahabi mengikuti kaum Hasyawiyah, Ibnu Taimiyah dan Muhammad
bin Abdul Wahhab al-Najdi. Sedangkan Syiah mengikuti Mu’tazilah.
IP: Menurut Anda, Wahabi itu bagaimana?
S: Saya terus terang saja, Wahabi itu
bukan Ahlussunnah Wal-Jama’ah. Wahabi itu sesat dan menyesatkan. Hanya saja,
Syiah lebih sesat dari Wahabi. Ini seperti yang ditegaskan oleh mayoritas ulama
madzhab yang empat, termasuk Hadlratusysyaikh KH Hasyim Asy’ari dalam
Risalah-nya.
Demikian wawancara kami dengan wartawan www.islampos.com
Jul 6th, 2013 @ 03:42 pm ›
Ust. Idrus Ramli
Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang
Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya
berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH
pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH:
“Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”
Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang
menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit.
Lalu saya berkata: “Ayat-ayat
yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit.
Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu,
apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat
dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa
ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala
berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4).
Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan
ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقَالَ إِنِّيْ
ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ. (الصافات : ٩٩).
“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina),
yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).
Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju
Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan
demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala
bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian,
AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata:
“Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ
صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي
السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا
فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak
perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab:
“Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya
siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia
seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”
Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan
berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd
al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits
mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya
menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. ( coba jabarkan/tulis dan dimana kelemahannya? )Kesimpangsiuran
periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam
meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan
selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.
Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut
dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah
subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa
ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.
( ???????
mana dalilnya )
Ketiga, apabila Anda berargumen
dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di
langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang
lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit,
bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ
النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا
بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ
صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ
فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ.
رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.
“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan
tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau
bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka
ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara
dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya,
akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR.
al-Bukhari [405]).
Hadits ini menegaskan bahwa Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit.
Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini
riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya
dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain
dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.”
Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di
langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan,
Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi,
Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi
sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu
Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى
أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَانٌ
“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah
bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq
bayna al-Firaq, 256).
Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah
al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ
الْجِهَاتُ السِتُّ.
“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”
Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH:
“Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya
bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada
di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan
yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari
semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin
terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.
Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat
menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana
tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu
bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah
subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan
oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan
tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam
Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ
حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ
مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ
وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ
وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ. (رواه البخاري).
“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman
dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan
yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR.
al-Bukhari [3191]).
Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat.
Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam
al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ
قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ
خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ
وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ
بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ
وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.
“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di
manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya.
Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah
menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun
berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai
(termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini
bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).
Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi,
pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi
mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan
ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan
argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen
dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya.
Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan
kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali
bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ
مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ
“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan
Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak
bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).
Membedah Syubhat-Syubhat “Buku Pintar Berdebat
Dengan Wahabi”
Ustadz Abu Ahmad Arif Fathul Ulum bin Ahmad
Saifullah
Di antara karakteristik ahli bid’ah dari masa
ke masa, bahwasanya mereka selalu mencela dan mencoreng citra Ahli Sunnah wal
Jama’ah untuk menjauhkan umat dari al-haq. Al-Imam Abu Hatim ar-Razi Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Ciri ahli bid’ah adalah mencela ahlil atsar.” (Ashlu
Sunnah hlm. 24)
Al-Imam Abu Utsman ash-Shabuni Rahimahullahu
Ta’alaberkata, “Tanda yang paling jelas dari ahli bid’ah adalah kerasnya
permusuhan mereka kepada pembawa Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam. Mereka melecehkan dan menghina Ahli Sunnah dan menamakan Ahli Sunnah
dengan Hasyawiyyah, Jahalah, Dhahiriyyah, dan Musyabbihah.” (Aqidah Salaf
Ashabul Hadits hlm. 116)
Di antara deretan buku-buku ‘hitam’ yang
mencela ulama Sunnah adalah Buku Pintar Berdebat Dengan Wahabi yang
beredar belakangan ini. Buku ini penuh dengan banyak cercaan, kedustaan, tadlis (manipulasi),
dan pengkhianatan ilmiah terhadap Dakwah Salafiyyah.
Mengingat kitab ini telah menyebar di kalangan
kaum muslimin—bahkan banyak dijadikan rujukan oleh para pemasar bid’ah—maka
untuk menunaikan kewajiban kami dalam nasihat kepada kaum muslimin dan membela
dakwah yang haq, dengan memohon pertolongan kepada Allah akan kami paparkan
telaah kritis terhadap buku ini agar menjadi kewaspadaan dan peringatan bagi
kita semua.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini ditulis oleh Muhammad Idrus Ramli dan
diterbitkan oleh Bina Aswaja, Surabaya, cetakan ketujuh, Rajab 1433 H/Juni
2012 M.
Penulis Mengingkari “Allah di Langit”
Penulis berkata di dalam hlm. 16:
Allah juga Maha Suci dari tempat dan arah.
Allah ada tanpa tempat.
Dia juga berkata di dalam hlm. 18:
Tidak jarang, kaum Wahabi menggunakan ayat-ayat
Al-Qur‘an untuk membenarkan keyakinan mereka, bahwa Allah bertempat di langit.
Akan tetapi dalil-dalil mereka dapat dengan mudah dipatahkan dengan ayat-ayat
Al-Qur‘an yang sama.
Kami katakan:
Tidak syak lagi bahwa bahwa penulis telah
terpengaruh dengan pemikiran Mu’tazilah yang menolak sifat-sifat Allah seperti istiwa‘ dan
yang lainnya. Ini menyelisihi manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah yang menetapkan
semua sifat yangtsabitah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Yang shahih adalah bahwa “Allah bersemayam di
atas ’Arsy di atas semua makhluk-Nya”. Al-Qur‘an, hadits shahih, dan fitrah
yang bersih serta cara berpikir yang sehat adalah dalil-dalil yang qath’i yang
mendukung kenyataan bahwa Allah berada di atas ’Arsy:
Allah Ta’ala berfirman:
ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ ﴿٥﴾
Allah Yang Maha Pengasih itu beristiwa‘ di atas
’Arsy. (QS Thaha [20]: 5)
Keterangan bahwa Allah bersemayam di atas ’Arsy
terdapat dalam tujuh surat, yaitu: al-A’raf [7]: 54, Yunus [10]: 3, ar-Ra’d
[51]: 2, Thaha [20]: 5, al-Furqan [25]: 59, as-Sajdah [22]: 4, dan al-Hadid
[59]: 4.
Para tabi’in menafsirkan istiwa‘ dengan
“naik dan tinggi”, sebagaimana diterangkan dalam hadits al-Bukhari (lihat Syarh
al-’Aqidah al-Wasithiyyah, asy-Syaikh al-Fauzan hlm. 73–75 cet. Maktabah
al-Ma’arif).
1. Dan Allah Ta’ala berfirman:
ءَأَمِنتُم مَّن فِى ٱلسَّمَآءِ أَن يَخْسِفَ بِكُمُ ٱلْأَرْضَ
Apakah kalian merasa aman terhadap “Yang di
langit” bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kalian? (QS al-Mulk
[67]: 16)
Menurut Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhu, yang
dimaksud dengan “Yang di langit” adalah Allah, seperti disebutkan dalam kitab Tafsir
Ibnul Jauzi.
2. Dan Allah Ta’ala berfirman:
يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ
Mereka takut kepada Tuhan mereka yang (ada) di
atas mereka. (QS an-Nahl [16]: 50)
3. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam mi’raj ke langit ketujuh dan berdialog dengan Allah serta
diwajibkan untuk melakukan shalat lima waktu. (Muttafaqun ’alaih)
4. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda, “Kenapa kamu tidak mempercayaiku, padahal aku ini
dipercaya oleh Allah yang ada di langit?” (Muttafaqun ’alaih)
5. Di dalam Shahih Muslim (no. 537)
bahwa ada seorang jariyah(budak perempuan) penggembala kambing ditanya
oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, “Di manakah Allah?” Jawab
budak perempuan, “Di atas langit.” Beliau bertanya (lagi), “Siapakah aku?”
Jawab budak itu, “Engkau adalah Rasulullah.” Beliau bersabda, “Merdekakan ia,
karena sesungguhnya ia mukminah (seorang perempuan yang beriman).”
6. Al-Imam Malik, ketika ditanya tentang
masalah istiwa‘(tingginya) Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas
’Arsy-Nya berkata, “Istiwa‘ (Allah) sudah sama dipahami, dan bagaimana
(hakikat)nya tidak diketahui, sedangkan mengimaninya adalah wajib, dan bertanya
tentang bagaimana (hakikat) Allah ber-istiwa‘ adalah bid’ah.” (Lihat Mukhtashar
al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 141.)
7. Al-Imam Abdullah bin Mubarak Rahimahullahu
Ta’alaberkata, “Kita mengetahui bahwa Tuhan kita berada di atas langit yang
tujuh; ber-istiwa‘ di atas ’Arsy-Nya; terpisah dari makhluk-Nya. Kami
tidak mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Jahmiyyah.” (Lihat Mukhtashar
al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 151.)
8. Al-Imam al-Auza’i Rahimahullahu Ta’ala berkata,
“Kami dan para Tabi’in mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah penyebutannya di atas
’Arsy-Nya dan kami mengimani apa saja yang terdapat di dalam Sunnah.’” (Lihat Mukhtashar
al-’Uluw oleh al-Imam adz-Dzahabi hlm. 138.)
9. Al-Imam Abu Hanifah Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang mengatakan ‘Saya tidak tahu apakah Tuhan
saya berada di langit atau bumi’ berarti dia telah kafir.” (LihatMukhtashar al-’Uluw oleh
al-Imam adz-Dzahabi hlm. 136.)
10. Al-Imam Ibnu Khuzaimah Rahimahullahu
Ta’ala berkata, “Barangsiapa yang tidak menetapkan sesungguhnya Allah
Ta’ala di atas ’Arsy-Nya Dia istiwa‘ di atas tujuh langit-Nya, maka
ia telah kafir dengan Rabbnya…” (Diriwayatkan oleh al-Hakim di dalam kitab Ma’rifah
Ulumul Hadits hlm. 84 dengan sanad yang shahih)
Dikutip
dari :
PENJELASAN ILMIAH TERHADAP
FATWA MAJELIS PERMUSYAWARATAN ULAMA ACEH
(MPU ACEH) NOMOR 09 TAHUN
2014TENTANG:
PEMAHAMAN, PEMIKIRAN, PENGAMALAN DAN PENYIARANAGAMA ISLAM DI ACEH
PEMAHAMAN, PEMIKIRAN, PENGAMALAN DAN PENYIARANAGAMA ISLAM DI ACEH
TIM PENYUSUN:
USTADZ HARITS, USTADZ IMAM dan USTADZ ADAM
USTADZ HARITS, USTADZ IMAM dan USTADZ ADAM
Mengimani
bahwa zat Allah“hanya” di atas langit/’arasy
adalah sesat dan menyesatkan;
adalah sesat dan menyesatkan;
Jawaban:
Perlu kami
luruskan di sini, bahwa keyakinan Dzat Allah “HANYA” di atas langit
/ ‘Arsy bukan dari perkataan dan keyakinan kami.
Adapun yang kami ketahui dari Al-Qur’an dan
hadits serta ucapan para ulama dijelaskan bahwa Allah di atas
langit/’Arsy-Nya beristiwa’ sesuai dengan keagungan dan kemulianNya,
Allah berfirman:
Artinya: (Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah.Yang beristiwa’ di atas ´Arsy.
[Thaha:
5]
Allah juga
berfirman:
Artinya: “Sesungguhnya Tuhan kamu ialahAllah
Yang menciptakan langit danbumi dalam enam masa,
kemudianDia beristiwa’ di atas ´Arsy untukmengatur segala
urusan”.
[QS. Yunus: 3]
Sesungguhnya Allah beristiwa’ di atas ‘Arsy,
tetapi Allah tidak berhajat kepadanya, bahkan Dia
beristiwa’ dengan hikmah yang Dia Maha Mengetahui.
Istiwa’Allah di atas ‘Arsy bukan berarti Allah dibatasi
(terikat) oleh arah (jihah), tempat dan waktu, bahkan Allah yang
meliputi segala-galanya. Akan tetapi istiwa’ Allah mengikut
cara yang layak bagi-Nya yang Maha Suci lagi Maha Besar , yang tidak dapat
diketahui dandijangkau oleh akal makhluk-Nya akan kaifiyat (bagaimananya) dan
hakikatnya.
Allah berfirman:
Artinya: “…Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”. [Asy-Syura: 11]
Inilah
yang kami yakini sebagai ‘itiqad Ahlus-sunnah Waljama’ah dari pada
junjungan kita Baginda Rasulullah , sahabat, tabi’in,tabiut-tabi’in,
para imam 4 (empat) mazhab,para salafusshalih (ulama-ulama terdahulu) dan yang
mengikuti mereka dengan baik.
Artinya: Dari Mu’awiyah bin Al-Hakam
As-Sulami : dia berkata, ”Aku mempunyai seorang budak perempuan
yang menggembalakan kambingku di antara gunung Uhud dan Al-Jawaniyah. Suatu
hari aku mengawasinya; tiba-tiba seekor serigala menerkam kambing yang dia
gembalakan. Sebagai manusia biasa, tentu saja aku merasa kecewa
sebagaimana orang lain kecewa.Aku pun memukul dan menampar budakku itu.
Kemudian aku menemui Rasulullah dan beliau menegurku, aku
berkata, ‘Wahai Rasulullah , apa aku harus
memerdekakan-nya?’ Beliauberkata, ‘bawa dia kemari.’Kemudian beliau
bertanya kepadanya, ‘Di mana Allah?’Budak itu menjawab, ‘di langit’ Beliau
bertanya, ‘Siapakah aku? ’Dia menjawab, ‘Engkau adalah Rasulullah ’.
Rasulullah bersabda:
Artinya: “Bebaskanlah dia (budak perempuan) karena dia
adalah seorang mukminah”. (HR.Muslim)
Di dalam hadits di atas menunjukkan bahwa di antara bukti akan
benarnya keimanan seseorang adalah meyakini bahwa Allah diatas langit, di
atas ‘Arsy-Nya. Sehingga budak perempuan itu dibenarkan oleh
Rasulullah sebagai seorang mukminah.
Dari Abi
Sa’id Al-Khudry Rasulullah bersabda:
Artinya: “Tidakkah kalian percaya padaku sedangkan aku
adalah kepercayaan Dzat yang berada di langit. Datang kepadaku wahyu dari
langit diwaktu pagi dan petang”. (HR.Bukhari dan Muslim)
Dalil di
atas adalah dalil yang menunjukkan bahwa Allah berada di atas
makhluk-makhluk-Nya di atas ‘Arsy-Nya beristiwa’.
Berikut
kami nukilkan ijma’ para ulama yang menunjukkan bahwa Allah di atas
makhluk-Nya di atas ‘Arsy-Nya beristiwa’:
Artinya: “Abu Bakr Al-Khallal
mengatakan,telah mengabarkan kepada kami Al-Maruzi. Beliau berkata,
telahmengabarkan pada kami Muhammad bin Shobah An-Naisaburi. Beliau berkata,
telah mengabarkan pada kami Abu DaudAl-Khonaf Sulaiman bin Daud. Beliau
berkata, Ishaq bin Rahawaih berkata, Allah berfirman:
Artinya: (Yaitu)
Tuhan Yang Maha Pemurahyang beristiwa’ di atas ´Arsy.
[Thaha: 5]
Para ulama sepakat (ijma’) bahwa Allah berada di atas ‘Arsy
dan beristiwa’ (tinggidi atas). Namun Allah Maha Mengetahui segala sesuatu yang
terjadi dibawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi yang ketujuh. Al-Imam
Adz-Dzahabi Rahimahullah ketika membawakan perkataan Ishaq di atas, beliau
Rahimahullah mengatakan:
Artinya: “Dengarkanlah perkataan imam yang satu
ini, lihatlah bagaimana beliau menukil adanya ijma’ (kesepakatan ulama)
mengenai masalah ini. Sebagaimana pula ijma’ ini dinukil oleh Qutaibah di
masanya”.
Kalau kita melihat ucapan para sahabat, kita mendapatkan bahwa
mereka juga menyakini dengan apa yang telah dijelaskan oleh Rasulullah .
Dari Zaid bin Aslam, dia berkata:
Artinya: “(Suatu saat) Ibnu Umar melewati seorang
budak pengembala. Lalu beliau berkata,‘Adakah hewan yang bias
disembelih?’ budak Pengembala tadi mengatakan, ‘Pemiliknya tidak ada
di sini.’ Ibnu Umar mengatakan, ‘Katakan saja padapemiliknya
bahwa ada serigala yang telah memakannya.’ Kemudian budak pengembala
tersebut menghadapkan kepalanya ke langit. Lantas mengajukan pertanyaan pada
Ibnu Umar ‘Lalu dimanakah Allah?’ Ibnu Umar malah
mengatakan, ‘demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘di
manaAllah? Kemudian setelah Ibnu Umar melihat keimanan budak
pengembala itu, dia lantas membelinya, juga dengan hewan gembalaannya (dari
Tuannya).
Kemudian
Ibnu Umar membebaskan budak pengembala tadi dan memberikan hewan gembalaan
tadi pada pengembala tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghoffar no. 311]
Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini jayyid
sebagaimana dalam [Mukhtashor Al ‘Uluw-no. 95, hal. 127]
Masruq Rahimahullah [wafat tahun 63 H] menceritakan
dari ‘Aisyah :
Artinya:
“Aisyah wanita yang shidiq anak dari orang yang shidiq (Abu
Bakar),kekasih di antara kekasih Allah,yang disucikan oleh Allah yang berada di
atas langit yang tujuh”. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghoffarno. 317.
Syaikh Al-Albanimengatakan bahwa riwayat ini shahih berdasarkan syarat
Bukhari Muslim dan sanadnya sampai padaAbu Shafwan itu shahih. LihatMukhtashor
Al ‘Uluw, hal. 128]
Kemudian kami nukilkan di sini ucapan empat imam madzhab agar
menjadi jelas bahwa mereka juga meyakini bahwa Allahdi atas langit beristiwa di
atas ‘Arsy-Nya.
Berkata Al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin
Tsabit rahimahullah ( imam Madzhab Hanafi):
Artinya: “Dan Allah itu kita mintai dari
tempat yang rendah ke atas bukan dari Atas ke tempat yang rendah, dikarenakan
kerendahan bukan termasuk sifat Robb”. [Al Fiqh Al- Abshath: 51]
Al-Imam Malik rahimahullah ( ImamMadzhab Maliki) berkata:
Artinya: "Allah berada di atas langit, dan ilmu-Nya ada
di setiap tempat dan tidak ada yang tersembunyi daripada-Nya sesuatu
pun”. (Itsbat Sifat Al-'Uluw, halaman 115)
Dalam ucapan lain, beliau berkata:
Artinya:
"Kaifiat (tatacara bagaimana Istiwa`) itu tidak dapat digambarkan
oleh akal) Istiwa’ itu tidaklah majhul (diketahui akan maknanya), dan
mengimaninya adalah kewajiban, dan bertanya tentangnya (yaitu bagaimana
kaifiatnya) adalah bid'ah ( sesuatu yang baru)”. (Itsbat Sifat Al-'Uluw,
halaman 119)
Kemudian
lebih jelas lagi pernyataan Al-Imam Asy-Syafi’i Muhammad bin Idris
rahimahullah yang mana beliau adalah imam kita dan juga imam seluruh kaum
muslimin,tanpa terkecuali kaum muslimin yang ada di Aceh. Berikut ini
pernyataan beliau, ImamAsy-Syafi’i rahimahullah berkata:
Artinya: "Perkataan yang mengikuti sunnah yang mana aku
berada di atasnya serta aku melihat orang-orang yangberada di atasnya seperti
Sufyan,Malik dan selain mereka berdua ialah berikrar (mengakui) dengan
persaksian bahwasanya tidak adaTuhan yang berhak disembah (dengan benar)
melainkan Allah dan Muhammad itu utusan Allah, dan bahwasanya Allah beristiwa`
diatas 'Arasy-Nya di atas langit-Nya,dekat dengan makhluk-Nya sebagaimana yang
dikehendaki-Nya, dan Dia (Allah) turun ke langit dunia sebagaimana yang
dikehendaki-Nya (juga)”. (Itsbat Sifat Al-'Uluw, halaman 123-124)
Artinya: "Ya, Dia berada di atas 'Arasy-Nya,dan tidak
ada sesuatu pun yang tersembunyi dari ilmu-Nya”. (ItsbatSifat Al-'Uluw,
halaman 116)
Beliau
juga berkata:
Artinya: "Kami
beriman bahwa Allah di atas‘Arsy-Nya, sesuai dengan kehendak-Nya, tanpa ada
batasan dan tidak ada sifat yang semisal dengan-Nya,sifat Allah berasal dari
Allah dan hanya dimiliki Allah dan sesuaidengan apa yang Allah sifatiterhadap
diri-Nya sendiri dan tidakakan terliputi oleh pandangan mata”.
Termasuk di dalamnya apa yang dinukilkan anaknya Hanbal, beliau
berkata:
Artinya: Hanbal berkata: “Aku bertanya kepada Abu
Abdillah, tentang makna ayat Allah: dan Dia bersama dengan
kalian” [Al-Hadid: 4], dan firman Allah: “dan tidaklah suatu
perbincangan tiga orang kecuali Dia-Lah yang keempat” [AlMujadalah: 7].
Beliau berkata:Ilmunya Allah mencakup segala sesuatu, dan Rabb kita Allah di
atas‘Arsy-Nya tanpa dengan had (batasan) dan sifat (bagaimana)”.
Kemudian
kami nukilkan di sini beberapa ucapan ulama dari madzhab Syafi’iyyah, agar
semakin jelas bahwa mereka juga menyakini bahwa Allah di atas
langit.
Berkata
Al-Imam Abul Hasan Al-Asy’ary didalam kitab beliau Al-Ibanah:
Artinya: “Jika
ada orang yang berkata kepadamu: Apa yang kamu yakini tentang sifat Al-Istiwa’?
Maka katakanlah kepadanya: kami menyakini, sesungguhnya Allah
beristiwa’ di atas ArsyNya dengan sifat istiwa’ yang sesuai dengan
kemuliaan Allah dan keagunganNya.”
Lalu
beliau menyebutkan beberapa dalil dari Al-Quran yang menjelaskan
keyakinantersebut.
Berkata
Abu Qasim Al-Lalikai Asy-Syafi’i (418H):
Artinya:
“Dan konteks yang diriwayatkan didalam firman Allah: Ar-Rahman
beristiwa’ diatas ‘Arsy dan bahwa Allah di
atas ‘Arsy di atas langit. Allah berfirman kepadanya: Akan naik
kepada-Nya ucapan yang baik dan amalan yang shalih diangkat kepada Allah“. Dan
Allah berfirman: “apakah kalian merasa aman dari Dzat yang di langit untuk
menenggelamkan bumi kalian”. Dan berkata: “dan Dialah Dzatyang mengatur di
atas hamba-hamba-Nya dan mengirimkankepada kalian penjaga”.
Ayat-ayat
di atas menunjukkan bahwa Allah di langit dan ilmu-Nya di semua tempatdari
tempat-tempat bumi dan langit-Nya.
Berkata
Sa’ad bin Ali Az-Zinjani Asy-Syafi’i (471H):
Artinya:
“Dan bukan makna istiwa’ bahwa Allah menempel dengan ‘Arsy-Nya
atau menyandar dengan ‘Arsy-Nya.Karena itu semua tidak mungkin disifatkan
kepada Allah, akan tetapi Allah beristiwa’ dengan Dzat-Nyadi
atas ‘Arsy-Nya tanpa dengan membagaimanakan. Sebagaimana Dia mengabarkan
tentang diri-Nya,dan telah sepakat kaum muslimin bahwa Allah itu maha tinggi
dan paling di atas”
Telah dinyatakan pula di dalam Al-Quran dengan
firman-Nya: “Maha Suci nama Rabb-mu yang Maha Tinggi”
Berkata
Al-Husain Al-Baghawi Asy-Syafi’i (510H):
Artinya:
“Allah berfirman: Ar-Rahman diatas ‘Arsy beristiwa’, dan Allah
berfirman: kemudian Allah bersitiwa di atas ‘Arsy-Nya. Lalu beliau
menyebutkan beberapa ayat dan hadits tentang sifat-sifat Allah. Kemudian beliau
berkata: ‘dan ayat-ayat tersebut atau yang semisalnya adalah sifat-sifat
Allah yang datang dalilnya,wajib kita imani dan menjalankannya sesuai dhahirnya
tanpa menta'wil dan mejauhitasybih dengan meyakini bahwa Allah tidak serupa
dengan-Nya sesuatu dari sifat-sifat mahluk,sebagaimana Dzat-Nya tidak sama
dengan zat mahluk. Allahberfirman: tidak ada yang serupa dengan-Nya sesuatu
apapun danAllah Maha Mendengar dan Melihat. Dan di atas inilahk eyakinan
salaful ummah dan ulamasunnah”.
Berkata Yahya Al-'Amrani Asy-Syafi’i(558H):
Artinya: Menurut Ashabul Hadits dan sunnah bahwa Allah
dengan Dzat-Nya beristiwa’ di atas ‘Arsy-Nya terpisah dari mahlukNya
dan tidak menempel dengan-Nya dan ilmu-Nya mencakup segala sesuatu.
Berkata
Al-Imam Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani:
Artinya: “Dan Allah ada di atas ‘Arsy-Nyaberistiwa’,
dan Kerajaan Allahmencakup segala-galanya, dan IlmuAllah menjangkau segala sesuatu”
[Al-Ghunyah]
Dari
nukilan dalil-dalil di atas dapatdisimpulkan bahwa Allah berada di
ataslangit, istiwa’ di atas ‘arsy-Nya sesuai dengan kesucian dan
kebesaranNya.
Posted By Abu Ayaz
Oleh: Abu Nu'aim Al Atsari
Golongan Asy 'ariyah yaitu sekelompok orang yang mengaku mengikuti aqidah Imam
Abul Hasan Ali bin Isma'il Al Asy'ari dalam masalah aqidah khususnya
sifat-sifat Allah, menetapkan sifat Allah hanya duapuluh. Padahal beliau hanya
menetapkan tujuh sifat (sebelum kembali ke manhaj salaf, ahlussunnah wal
jama'ah). Yang tiga belas itu sebenarnya tambahan dari kelompok Maturidiyyah,
pengikut Abul Manshur Muhammad bin Muhammad Al Maturidi As Samarqondi (wafat
333 H)
Adapun sifat duapuluh itu adalah Wujud, Qidam,
Baqa', Mukholafatuhu Ta'ala lil Hawaditsi, Qiyamuhu binafsihi, Wahdaniyah,
Qudrat, Iradah, Ilmu, Hayat, Sama', Bashar, Kalam, Kaunuhu Qadiran, Kaunuhu
Muridan, Kaunuhu 'Aliman, Kaunuhu Hayyan, Kaunuhu Sami'an, Kaunuhu Bashiran,
Kaunuhu Mutakalliman. Inilah yang dinamakan sifat wajib duapuluh bagi Allah
yang wajib diyakini menurut Asy 'Ariyah.
Dalam menetapkan sifat tujuh (ditambah menjadi
dua puluh oleh Maturidiyyah) mereka (Asy 'Ariyah) hanya berdasarkan akal. Kata
mereka: "Adanya makhluk ini menunjukkan adanya qudroh, lalu adanya sifat
khusus bagi masing-masing akhluk menunjukkan adanya irodah, teraturnya alam ini
tanda adanya 'ilmu. Ketiga sifat ini tanda adanya sifat Hayyu(hidup) karena
ketiga sifat itu tidak akan terwujud tanpan Al Hayyu. Dan sifat hayyu harus
memiliki sifat berbicara, mendengar dan melihat. Ini adalah sifat sempurna.
Atau tersifati dengan bisu, tuli atau buta, namun karena ini sifat tercela maka
tidak mungkin Allah tersifati dengannya".
Bantahan Ahlussunnah (manhaj salaf) : Berbicara
dalam masalah ini hanya berdasarkan akal mengandung konsekwensi sebagai berikut
:
1. Menyelisihi metode yang diterapkan oleh
salaful ummah, generasi awal, dari kalangan shahabat, tabi'in, atba'uttabi'in
dan para ulama setelah mereka. Mereka mengembalikan masalah ini kepada Al
Qur'an dan Sunnah. Mereka menetapkan semua nama-nama dan sifat sebagaimana
Allah tetapkan dalam Al Qur'an atau melalui sunnah Nabi-Nya tanpa diserupakan
dan dita'thil. Imam Ahmad berkata: "Kita mensifati Allah sesuai yang telah
Allah tentukan, tidak boleh melampaui Al Qur'an dan Hadits".
2. Juga menyelisihi akal itu sendiri. Karena
masalah ini termasuk urusan ghoib. Sehingga akal tidak bisa campur tangan. Yang
bisa dilakukan hanyalah menerima.
3. Akan menyebabkan perselisihan dan
kontradiksi yang tiada henti. Karena setiap orang mempunyai akal. Lalu akal
mana yang dipakai? Si Fulan akan menetapkan sesuatu yang dinafikan oleh Fulan
yang lain, begitu seterusnya. Maka tidak ada mizan (timbangan) yang kongkrit
sebagai pijakan baku. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah mengatakan : "Aduhai,
dengan akal siapa Kitab dan Sunnah akan ditimbang? Semoga Allah meridhoi Imam
Malik bin Anas dimana beliau berkata: 'Atau apakah setiap kali ada seseorang
yang lebih lihai berdebat mendatangi kita, lalu kita akan campakkan apa yang
disampaikan Jibril kepada Muhammad y hanya karena mengikuti pendapatnya?
Padahal sudah dimaklumi bahwa kontradiktifnya perkataan merupakan bukti
kebatilannya".
4. Jika mereka(Asy 'Ariyah dan ahlikalam)
mengatakan bahwa makna tangan Allah adalah kekuatan karena takut dikhawatirkan
menyerupai tangan makhluk, maka mereka juga harus menta'wilkan makna kekuatan
supaya tidak terjadi penyerupaan karena makhluk juga punya kekuatan. Jika mereka
berkelit (dgn mengatakan) kekuatan Allah tidak sama dengan kekuatan makhluk.
Kita jawab: Demikian pula tangan Allah tidak sama dengan tangan makhluk. Jadi
tidak ada jalan untuk menta'wil.(Majmu' Fatawa, bagian Taqrib At Tadamuriyah,
Sayikh Ibnu Utsaimin, 4/123-124). Allahu A'lam bish showab.
Uraian berikut akan mencoba mengulas kesalahan
madzhab mereka yang sudah mengakar di masyarakat. Semoga Allah masih membuka
jalan bagi mereka untuk kembali ke manhaj ahsunnah yang hakiki.
Nama dan sifat Allah tidak terbatas karena
tidak ada dalil yang membatasi. Bahkan ketidak terbatasan asma' dan sifat Allah
disabdakan oleh Rasulullah sendiri:
"Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh
asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam
kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih
dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya"
[Hadits shohih riwayat Ahmad dalam Musnad, Ibnu
Hibban dalam Mawaridu Dhom'an, Al-Hakim dalam Mustadrok. Dishohihkan oleh Ibnul
Qoyyim dalam Sifa'ul 'Alil, Ahmad Syakir, Al-Albani dalam Shohihah, dan
Al-Arnauth dalam takhrij Zadul Ma'ad]
Sesuatu yang masih berada dalam ilmu ghoib
tidak ada yang mengetahuinya kecuali hanya Allah, sehingga tidak mungkin bagi
seseorang untuk mengetahuinya, apalagi menghitungnya. Jelas sekali bahwa nama
Allah itu tidak terbatas.
Lalu bagaimana dengan hadits:
"Sesungguhnya bagi Allah sembilan puluh
sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya
akan masuk jannah."
[Riwayat Bukhori:6410, Muslim:2677]
Jawabnya: Hadits ini tidak menunjukkan
pembatasan nama Allah hanya semobilan puluh sembilan saja. Bila demikian maka
susunan kalimatnya adalah:
"Sesungguhnya nama-nama Allah ada sembilan
puluh sembilan, barang siapa menghitungnya/menghapalnya akan masuk
jannah"
Dengan demikian, maka makna hadits ini adalah
nama-nama Allah yang sembilan puluh sembilan yang siapa saja dapat menghapalnya
akan masuk jannah. Berarti masih ada nama-nama lain yang tidak diperintahkan
untuk menghapalnya. Selain itu kalimat "…barang siapa
menghitungnya/menghapalnya akan masuk jannah" bukan merupakan kalimat
tersendiritetapi kalimat pelengkap dari sebelumnya. Kalimat yang semisal
dengannya, seperti ucapan: "Saya mempunyai seratus ribu rupiah yang saya
persiapkan untuk shodaqoh". Berarti anda masih mempunyai uang yang lain
yang dipersiapkan untuk keperluan lainnya. [Al-Qowa'idul Mutsla Fi Sifatillahi
Wa Asma'ihi Al-Husna, Ibnu Utsaimin, hal.17. dan Al-Qowa'idul Muhimmat Fil
Asma'I was Sifat, Ibnul Qoyyim, hal.32]
Imam Nawawi berkata: "Ulama telah
bersepakat bahwa hadits ini bukan pembatasan nama-nama Allah. Namun bukan
berarti Allah tidak memiliki nama-nama yang lain. Tetapi maksud dari hadits ini
yaitu sembilan puluh sembilan nama ini, bagi yang menghapalnya akan masuk
jannah. Tujuannya sekedar informasi akan masuk jannah bagi yang mampu menghapal
99 nama tersebut, bukan pembatasan nama. Oleh karenanya tersebut dalam lafadz
lain: Aku memohon kepada-Mu dengan seluruh asma-Mu yang telah Engkau namakan
untuk Diri-Mu…atau masih dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri
mengetahuinya" [Syarah Muslim, 6/177]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata:
"Inilah pendapat jumhur ulama' "[lihat Dar'u Ta'arudhil 'Aqli Wa
Naqli, juz 3 hal.323]
Al Hafidz Ibnu Hajar berkata: "Tentang
penyebutan 99 nama ini para ulama berselisih, apakah nama Allah sebatas itu
atau lebih, namun disebutkannya sejumlah nama itu merupakan kekhususan sebab
bagi yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah. Jumhur ulama memilih
pendapat kedua (nama Allah lebih dari 99 nama). Dan An-Nawawi menukil adanya
kesepakatan ulama' tentang masalah ini (seperti yg disebutkan diatas).
Al-Khothobi berkata: "Dalam hadits ini terdapat penetapan sejumlah 99
nama, namun bukan merupakan halangan adanya tambahan nama yang lain.
Pengkhususan ini dikarenakan nama-nama ini sering muncul dan maknanya paling
jelas". Al-Qurthubi berpendapat sama dalam kitabnya Al Mufhim. Ibnu bathal
menukil pendapat Al-Qodhi Abu Bakar bin Thoyyib, katanya: "Dalam hadits
ini tidak ada bukti pembatasan nama Allah hanya 99. Namun makna hadits ini
adalah siapa yang menghapalnya/menghitungnya akan masuk jannah, dan yang
menunjukkan tiadanya pembatasan adalah kebanyakan dari nama-nama itu berupa
sifat, sedangkan sifat Allah tidak terbatas".[Fathul Bari, 12/521]
Kesimpulannya bahwa nama Allah tidak terbatas.
Demikian pula sifat-Nya. Karena setiap nama pasti mengandung sifat, berarti
sifat Allah juga tidak terbatas. Ibnul Qoyyim berkata: "Allah mempunyai
nama-nama dan sifat yang disimpan pada ilmu ghoib di sisi-Nya. Tidak ada yang
mengetahuinya, baik itu malaikat yang dekat dengan Allah atau nabi yang diutus,
seperti disebutkan dalam hadits shohih: Aku mohon kepada-Mu dengan seluruh
asma-Mu yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu atau Engkau turunkan dalam
kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari hamba-Mu, atau masih
dalam rahasia ghoib pada-Mu yang Engkau sendiri mengetahuinya".[Al
Qowa'idul Muhimmat fil Asma' Was Sifat, hal.32]
Wallahu ta'ala a'lam
Kaidah Emas Dalam Memahami Sifat Allah
Prof. Dr. Abdurrozzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]
TEKS ATSAR
Imam Malik berkata: “Istiwa’
itu diketahui maknanya[2], adapun bagaimananya tidak diketahui[3], beriman dengannya wajib, bertanya tentang bagaimananya
adalah bid’ah”.
TAKHRIJ ATSAR
SHOHIH. Atsar ini shahih
dan masyhur dari Imam Malik. Diriwayatkan dari sepuluh murid Imam Malik.
Diantaranya yang paling bagus adalah riwayat sebagai berikut:
1. Abdullah bin Wahb
sebagaimana dalam riwayat Imam al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa Shifat 2/304
dan dishahihkan oleh adz-Dzahabi dalam al-Uluw hlm. 141 dan
dihasankan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 13/406.
2. Yahya bin Yahya at-Tamimi
sebagaimana dalam riwayat al-Baihaqi dalam Al-Asma’ wa Shifat 2/305
dan al-I’tiqod hlm. 56. Dishahihkan adz-Dzahabi dalam Al-Uluw hlm.
141 dan Ibnu Abdil Hadi dalam Kitabul Istiwa’ hlm 4 (manuskrip).
Anehnya, pada zaman kita
sekarang ada seorang yang melemahkan atsar ini dengan alasan-alasan yang rapuh
yaitu Syaikh Hassan Abdul Mannan dalam Ta’liqnya terhadapMajmu’ah Rosail Syaikh
Muhammad Nasib Ar-Rifa’I hlm. 28-29, cet Maktab Islami, padahal tidak ada
seorangpun di kalangan ulama Ahli Sunnah yang mengingkarinya. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah mengatakan dalam Al-Iklil hlm. 5: “Para ulama telah
menerima atsar ini, dan tidak ada di kalangan Ahlu Sunnah seorangpun yang
mengingkarinya”. Beliau juga berkata dalamSyarh Hadits Nuzul hlm. 391:
“Para ahli ilmu menerima ucapan beliau ini dan memujinya”.
FIQIH ATSAR
Atsar ini merupakan kaidah
berharga dalam memahami masalah sifat-sifat Allah yang banyak diperbincangkan
oleh manusia tanpa ilmu sehingga menjerumuskan kebanyakan mereka dalam
kebingungan dan kesesatan. Syaikhul Islam berkata: “Jawaban Imam Malik dalam
istiwa’ sangatlah memuaskan dan mencakup seluruh sifat Allah seperti turun,
datang, tangan, wajah dan selainnya. Maka dikatakan dalam sifat turun misalnya:
Turun itu maknanya diketahui, adapun bagaimananya tidak diketahui, beriman
dengannya hukumnya wajib, bertanya tentangnya adalah bid’ah. Demikian pula
dalam semua sifat-sifat Allah lainnya”. (Majmu’ Fatawa 4/4)
Ucapan semisal juga dikatakan
oleh Imam Ibnul Qoyyim, lalu beliau mengatakan: “Maka jalan yang selamat dalam
masalah ini adalah dengan mensifati Allah dengan apa yang Dia sifatkan untuk
diriNya dan apa yang disifatkan oleh Rasulullah tanpatahrif (perubahan
makna) dan ta’thil (mengingkari) dan tanpatakyif (membagaimanakan)
dan tamtsil (menyerupakan dengan makhluk). Namun hendaknya kita
tetapkan nama dan sifat Allah tanpa menyerupakannya dengan makhluk”. (Madarij
Salikin 2/86)
Sebenarnya kaidah dalam
masalah sifat ini sangatlah mudah sekali. Bila kita menerapkannya dan berpegang
teguh dengannya sampai ajal menjemput kita maka kita akan selamat dari
penyimpangan yaitu:
Menetapkan semua nama dan
sifat yang ditetapkan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan Nabi Muhammad dalam
hadits-haditsnya yang shahih. (Lihat QS. As-Syuro: 11)
Tidak menyerupakannya dengan
makhluk. (Lihat QS. As-Syuro: 11)
Tidak membagaimanakan
sifatnya karena itu di luar jangkauan akal manusia. (Lihat. QS. Thoha: 110)
Semoga Allah meneguhkan kita
di atas aqidah salafus shalih yang selamat dari kesesatan dan penyimpangan.
Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi
[1] Dikutip oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari risalah
beliau “Al-Atsar Al-Masyhur ‘anil Imam Malik Fi Shifatil Istiwa’ Dirosah
Tahliliyyah”, cet Dar Ibnul Atsir, cet pertama 1423 H.
[2] Karena dalam bahasa Arab kata istawa bermakna tinggi
dan naik, sebagaimana dikatakan oleh para ulama ahli tafsir, hadits dan bahasa.
(Lihat Shahih Bukhori 13/403 dan Al-Uluw hlm. 160.
[3] Karena sifat itu cabang dari Dzat. Maka sebagaimana
kita tidak mengetahui bagaimana dzat Allah, demikian juga kita tidak mengetahui
bagaimana sifat Allah.
http://abiubaidah.com/kaidah-emas-dalam-memahami-sifat-allah.html/
http://abiubaidah.com/kaidah-emas-dalam-memahami-sifat-allah.html/
Kaidah Kaidah Penting Untuk
Memahami Asma dan Sifat Allah
Kaidah Umum terkait nama dan
sifat Allah – Kewajiban kita terhadap nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang
membahas tentang asma dan sifat Allah. Dalam memahami nash-nash Al …
Kaidah Umum terkait nama dan
sifat Allah
– Kewajiban kita terhadap
nash-nash Al Quran dan As Sunnah yang membahas tentang asma dan sifat Allah.
Dalam memahami nash-nash Al
Quran dan As Sunnah kita wajib untuk menetapkan maknanya apa adanya, berdasar
dzahir nash dan tidak memalingkannya ke makna lain. Karena Allah menurunkan Al
Quran dengan bahasa Arab, yang bahasa tersebut sudah jelas. Disamping itu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallamjuga berbicara dengan bahasa Arab,
sehingga wajib bagi kita menetapkan makna kalam Allah dan perkataan
Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam sesuai dengan apa yang ditunjukkan
secara makna bahasa tersebut. Merubahnya dari makna dzahir merupakan perbuatan
terlarang, karena ini termasuk berkata tentang Allah tanpa dasar ilmu. Allah
berfirman,
قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالإثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لا تَعْلَمُونَ (٣٣)
“Katakanlah: ‘Rabbku
mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak maupun tersembunyi,
perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, mempersekutukan
Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan
mengatakan tentang Allah apa yang tidak kamu ketahui” (Al A’raf: 33)
Sebagai contoh, firman
Allah ta’ala,
بَلْ يَدَاهُ مَبْسُوطَتَانِ يُنْفِقُ كَيْفَ يَشَاءُ
“(Tidak demikian), tetapi
kedua tangan Allah terbentang. Dia menafkahkan sebagaimana dia kehendaki” ( QS.
Al Ma’idah)
Secara dzahir, ayat ini
menunjukkan bahwa Allah mempunyai dua tangan yang hakiki. Maka wajib menetapkan
dua tangan Allah tersebut. Jika ada orang yang mengatakan kedua tangan tersebut
maksudnya kekuatan, maka kita katakan : ini termasuk memalingkan makna Al Quran
dari dzahirnya. Kita tidak boleh bekata demikian karena ini berati kita
berkomentar tentang Allah tanpa dasar ilmu.
Kaidah Dalam Asma Allah
– Asma Allah
seluruhnya husna (paling baik)
Dalam kebaikan Allahlah yang
paling tinggi karena nama Allah mengandung sifat yang sempurna, tidak ada
kekurangan di dalamnya dari segala sisi.
وَلِلَّهِ الأسْمَاءُ الْحُسْنَى
“Dan bagi Allah asmaul
husna” (Al A’raf: 180)
Contoh:
Ar Rahman adalah salah satu
dari nama-nama Allah, menunjukkan atas sifat yang agung yaitu memiliki rahmat
yang luas.
Berdasarkan penjelasan di
atas, kita tahu bahwa ad dahr (waktu) bukan termasuk salah satu dari nama Allah
karena tidak mengandung makna yang terpuji. Adapun sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam
“Janganlah kalian menela dahr
(masa) karena Allah adalah Dahr” (HR. Muslim)
Maka maknanya adalah Allah
lah yang menguasai masa. Kita palingkan ke makna tersebut dengan dalil hadis,
“Di tangan-Ku lah segala
urusan, Aku yang membolak-balikkan siang dan malam” (HR. Bukhari)
– Nama Allah tidak dibatasi
pada bilangan tertentu
Kaidah ini didasari doa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang masyhur,
“Ya Allah aku memohon
kepada-Mu dengan setiap nama-Mu yang Engkau gunakan untuk diri-Mu, yang Engkau
turunkan dalam kitab-Mu, atau Engkau ajarkan kepada salah seorang dari
makhluk-Mu, atau yang Engkau rahasiakan untuk diri-Mu dalam ilmu ghaib di
sisi-Mu” (HR. Ahmad, HR Ibnu Hibban)
Lalu bagaimana menggabungkan
dengan hadits berikut,
“Sesngguhnya ada 99 nama
milik Allah, barang siapa menjaganya akan masuk syurga”(HR. Bukhari)
Makna hadits ini
adalah: Diantara nama Allah ada 99 nama yang jika kita menjaganya kita
akan masuk syurga. Dan tidaklah dimaksudkan disini membatasi nama Allah hanya
99. Kita bisa melihat hal ini dengan contoh perkataan “saya mempunyai 100
dirham untuk disedekahkan”. Maka pernyataan ini tidak menafikan kalau saya
mempunyai dirham yang lain yang saya peruntukkan untuk selain sedekah.
– Nama Allah tidak dapat
ditetapkan berdasarkan akal tetapi harus dengan dalil syar’i
Nama Allah adalah
tauqifiyah, yaitu harus ditetapkan berdasarkan dalil syari’at, tidak boleh
menambahnya dan tidak boleh menguranginya karena akal tidak mungkin mencapai
semua yang menjadi hak Allah dari nama-nama-Nya. Maka dalam hal ini kita wajib
untuk mencukupkan diri dengan dalil syar’i. Hal ini karena menamai Allah dengan
nama yang tidak Allah namakan diri-Nya dengan nama tersebut atau mengingkari
nama yang Allah menamai diri-Nya dengan nama tersebut merupakan pelanggaran
terhadap hak Allah ta’ala. Kita wajib mempunyai adab yang baik kepada Allah
ta’ala.
– Seluruh nama dari
nama-nama Allah menunjukkan atas dzat Allah, sifat yang terkandung di dalam
nama tersebut, dan adanya pengaruh yang dihasilkan jika nama tersebut adalah
nama yang muta’adi (membutuhkan objek)
Dan tidak sempurna iman
seseorang terhadap asma dan sifat Allah kecuali dengan menetapkan semua hal
tersebut.
Contoh nama Allah yang
bukan muta’adi: Al ‘Adzim (Yang Maha Agung)
Tidak sempurna mengimani
nama ini sampai mengimani dengan menetapkan 2 hal:
a. Menetapkan Al
Adzim sebagai nama Allah yang menunjukkan pada Dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang
terkandung dalam nama tersebut, yaitu Al ‘Udzmah(keagungan)
Contoh nama Allah yang muta’adi: Ar
Rahman
Tidak sempurna mengimaninya
sampai mengimani dengan menetapkan 3 hal:
a. Menetapkan Ar Rahman
sebagai nama Allah yang menunjukkan pada dzat Allah
b. Menetapkan sifat yang
terkandung dalam nama tersebut, yaitu Ar Rahmah ,
c. Menetapkan adanya
pengaruh dari nama itu, yaitu merahmati siapa yang Allah kehendaki.
Kaidah dalam memahami sifat
Allah
– Sifat Allah seluruhnya
tinggi, sempurna, mengandung pujian, dan tidak ada kekurangan dari sisi mana
pun.
Seperti Al
Hayah (hidup), Al’ Ilmu (mengetahui), Al
Qudrah (kehendak), As Sama(mendengar), Al
Bashar (melihat), Al Hikmah, Ar Rahmah, Al
Uluw (tinggi), dll. Allah berfirman,
وَلِلَّهِ الْمَثَلُ الأعْلَى
“Dan Allah mempunyai sifat
yang maha tinggi” (Qs. An Nahl: 60)
Karena Allah adalah Rabb yang
maha sempurna maka sifatnya harus sempurna.
– Jika suatu sifat
menunjukkan kekurangan dan bukan kesempurnaan sama sekali maka mustahil sifat
itu dimiliki Allah, seperti Al Maut (mati), Al
Jahl (bodoh), Al Ajs(lemah), As Samam (tuli), Al ‘Ama
(buta), dll. Oleh karena itu Allah membantah orang yang mensifati diri-Nya
dengan kekurangan dan mensucikan diri-Nya dari kekurangan tersebut. Allah tidak
mungkin mempunyai kekurangan karena hal itu akan mengurangi keberadaan-Nya
sebagai Rab semesta alam.
– Jika sifat tersebut di
satu sisi menunjukkan kesempurnaan sedangkan di sisi lain menunjukkan
kekurangan maka sifat ini tidak dinisbatkan dan tidak dinafikan (ditolak) dari
Allah secara mutlak akan tetapi perlu dirinci. Kita menetapkan sifat tersebut
dalam keadaan yang menunjukkan kesempurnaan dan kita menolak sifat tersebut
dalam keadaan yang menunjukkan kekurangan.
Contohnya sifat Al
Makr, Al Kaid, Al Khida’ (makna ketiganya adalah tipu daya)
Sifat ini merupakan sifat
yang sempurna jika dalam rangka menghadapi semisalnya (membalas orang yang
berbuat tipu daya) Karena hal ini menunjukkan bahwa yang mempunyai sifat ini
(Allah) tidak lemah menghadapi tipu daya musuh-musuh-Nya.
Dan sifat ini menupakan
sifat yang kurang dalam keadaan selain diatas. Maka kita menetapkan sifat
tersebut untuk Allah dalam keadaan yang pertama, bukan yang kedua.
Allah ta’ala berfirman,
وَيَمْكُرُ اللَّهُ وَاللَّهُ خَيْرُ الْمَاكِرِينَ
“Mereka memikirkan tipu daya
dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu
daya.” (Qs. Al Anfal: 30)
إِنَّهُمْ يَكِيدُونَ كَيْدًا (١٥) وَأَكِيدُ كَيْدًا (١٦)
“Sesungguhnya orang kafir
itu merencanakan tipu daya yang jahat dengan sebenar-benarnya. Aku pun membuat
rencana (pula) dengan sebenar-benarnya.” (Qs. At Thariq: 15-16)
إِنَّ الْمُنَافِقِينَ يُخَادِعُونَ اللَّهَ وَهُوَ خَادِعُهُمْ
“Sesungguhnya orang-orang
munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka.” (Qs. An Nisa:
142)
Jika dikatakan Apakah Allah
disifati dengan Al Makr? Maka jangan menjawab “ya” dan jangan pula
menjawab “tidak”, akan tetapi kaakanlah “Allah berbuat makar terhadap orang
yang pantas mendapatkannya” wallahu a’lam.
– Sifat Allah terbagi
menjadi dua, yaitu tsubutiyah dan salbiyah
Tsubutiyah yaitu sifat
yang ditetapkan Allah untuk diri-Nya seperti Al Hayah, Al
Alim, Al Qudrah. Sifat ini wajib kita tetapkan pada Allah sesuai dengan
keagungan-Nya karena Allah sendiri menetapkan sifat tersebut untuk diri-Nya dan
Allah lebih mengetahui tentang sifat diri-Nya.
Salbiyah yaitu sifat
yang Allah nafikan (tiadakan) untuk diri-Nya seperti dzalim. Sifat ini wajib
kita nafikan pada Allah karena Allah telah menafikan sifat tersebut pada
diri-Nya. Dan kita wajib untuk menetapkan pada Allah sifat yang merupakan
lawannya yaitu sifat yang menunjukkan sifat kesempurnaan. Penafian tidak
sempurna tanpa menetapkan kebalikannya.
Contohnya, Firman Allah
ta’ala,
وَلا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَدًا (٤٩,)
“Dan Rabmu tidak menganiaya
seorang jua pun.” (Qs. Al Kahfi: 49)
Kita wajib menafikan sifat
dzalim dari Allah disertai dengan keyakinan menetapkan sifat adil bagi Allah
yang mana sifat adil tersebut dalam bentuk yang sempurna.
–
Sifat tsubutiyah terbagi menjadi dua, yaitu
sifat dzatiyah dan sifat fi’liyah
Sifat dzatiyah yaitu
sifat yang terus-menerus ada (selalu melekat) pada diri Allah seperti
sifat As Sama, Al Bashar
Sifat fi’liyah yaitu
sifat yang terikat dengan kehendak Allah. Jika Allah menghendaki maka Dia
melakukannya dan jika Allah tidak menghendaki maka Dia tidak melakukannya.
Contohnya sifat istiwa’ di atas arsy,
sifat maji’ (datang)
Dan ada beberapa sifat yang
termasuk sifat dzatiyah sekaligus fi’liyah jika dilihat
dari dua sisi. Contohnya sifat kalam (berbicara). Dilihat dari sisi
asalnya sifat tersebut merupakan sifat dzatiyah karena Allah
senantiasa berbicara. Tetapi jika dilihat dari sisi lain, kalam merupakan
sifat fi’liyah karena Allah berbicara tergantung pada kehendak-Nya.
Dia berbicara kapan dan bagaimana Dia kehendaki.
– Seluruh sifat Allah bisa
menerima tiga pertayaan
1. Apakah sifat itu hakiki,
mengapa?
2. Apakah boleh menanyakan
kaifiyahnya (bagaimananya) (takyif)? Dan mengapa?
3. Apakah boleh
menyerupakannya sengan makhluk (tamtsil)? Dan mengapa?
Jawaban dari pertanyaan tersebut
adalah,
1. Benar, sifat Allah hakiki
karena asal sebuah perkataan adalah mempunyai makna hakiki. Maka tidak boleh
memalingkannya kecuali dengan dalil yang shahih.
2. Tidak boleh menanyakan
kaifiyahnya karena firman Allah ta’ala,
وَلا يُحِيطُونَ بِهِ عِلْمًا (١١٠)
“Sedang ilmu mereka tidak
dapat meliputi ilmu-Nya” (Qs. Thaha: 110)
Dan karena akal tidak
mungkin mengetahui kaifiyah sifat Allah
3. Tidak boleh menyerupakan
dengan sifat makhluk karena firman Allah ta’ala
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ
“Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia” (Qs. As Syuura: 11)
Karena Allah sempurna, tidak
ada puncak sifat kebaikan yang lebih tingi dari-Nya sehingga tidak mungkin
diserupakan dengan makhluk karena makhluk itu penuh kekurangan.
Perbedaan
antara tamtsil dan takyif yaitu:
Tamtsil berarti
menyebutkan kaifiyah sifat Allah dengan mengaitkannya dengan sifat makhluk
sedangkan takyif adalah menyebutkan kaifiyah sifat Allah tanpa
mengaitkannya dengan makhluk.
Contoh tamtsil:
Perkataan “tangan Allah itu seperti tangan manusia”
Contoh takyif:
Membayangkan kaifiyah (bagaimana) tangan Allah dengan suatu gambaran tertentu
dengan tidak menyerupakannya dengan tangan makhluk. Maka hal ini tidak boleh.
– Bagaimana
membantah Mu’athilah
Mu’athilah adalah orang
yang mengingkari atau menolak sebagian asma Allah atau sifat Allah dan
memalingkan nash dari makna dzahirnya. Mereka jiga disebutmuawwilah.
Kaidah umum dalam membantah
mereka adalah kita katakan kepada mereka bahwa pendapat mereka menyelisihi dzahir
nash, menyelisihi jalan para salaf dalam memahami asma dan sifat Allah,
penyelisihan mereka tidak didasari dalil yang shahih dan pada beberapa sifat
bisa disertai bantahan-bantahan khusus yang ke empat, atau lebih.
Sumber: Syarah Lum’atul
I’tiqad, Syaikh Muhammad bin Shalih al Utsaimin (Pendahuluan Syaikh Utsaimin
sebelum men-syarah)
***
Diterjemahkan oleh
tim penerjemah muslimah.or.id
Murojaah: Ust.
Ammi Nur Baits
yang pertama, Sifat wajib
bagi Allah adalah sifat yang harus ada pada Zat Allah sebagai kesempurnaan
bagi_Nya.
Allah adalah Khaliq, Zat yang
memiliki sifat yang tidak mungkin sama dengan sifat-sifat yang dimiliki
makhluk_Nya.
apakah Allah menjelaskan
tentang sifat wajib tersebut, jika menjelaskan, tentu rasulullah sudah
menjelaskannya, demikian pula para sahabatnya, demikian pula imam yang empat,..
dan nyatanya mereka semua tidak menjelaskan tentang sifat wajib bagi Allah ini,
Jadi, dimanakah Penjelasan
tentang hal tersebut, jika itu perkataan Rasulullah, maka dimana bisa ditemukan
penjelasan tersebut, hadits riwayat siapa,
yang kedua, Allah sendiri
yang menetapkan bagi Allah sifat-sifat-Nya melalui Al Qur’an dan lisan
nabi-Nya.
kalau yang ini betul,. allah menetapkan
nama dan sifat, bisa kita lihat di alquran, juga hadits2 rasulullah,.
Yang menjadi masalah adalah
adanya sifat wajib, mustahil, … ini yang tidak ada keterangannya baik dari
alquran atau lisan nabinya,.
Janganlah kita mendahului
Allah dan rasulnya dalam menetapkan sifat-sifat Allah,.
Mengenai sifat wajib 20,
hasil ijtihad ulama untu’ mensucikan-Nya dari makhluk-Nya diambil dasarnya dari
Al Qur’an. Tujuannya hanya untuk mensucikan Allah dari makhluk-Nya. Sedangkan,
berapa hakekatnya jumlah sifat wajib Allah, hanya Allah yang mengetahuinya.
Berarti sifat 20 bukanlah
dari Allah, bukan pula dari Rasulullah,. tapi sekedar ijtihad menggunakan
logika si ulama yang berijtihad tersebut.
Dan ijtihad bisa diterima
bisa ditolak,.
namun perlu diketahui, nama
dan sifat Allah itu adalah hal ghaib,.
dan dalam hal ghaib, tidak
dibenarkan adanya ijtihad,
Jadi ulama yang berijtihad
tentang sifat-sifat Allah, maka hasil ijtihadnya adalah KELIRU, dan tidak bisa
dijadikan hujjah,.
Apalagi ijtihadnya sangat
keliru, jadi kesimpulannya, pembagian dan penamaan sifat wajib bagi Allah, ini
adalah sangat keliru, bahkan bisa fatal akibatnya,. Jadi, pembagian dan
penamaan seperti itu tidak dibenarkan dalam islam,. Alhamdulillah pencetus hal tersebut
di akhir hayatnya taubat dari pemikirannya, bisa dilihat
disini biografinya
Saya hanya ingin
menyampaikan,
Bahwa sifat wajib 20 bagi
Allah,,,,,, hanya untuk mensucikan Allah dari sifat-sifat mahkluk. Dan bukan
untuk membatasi asma dan sifat Allah,,,,,
Pertanyaan untuk anda :
1. Apa sih yang disebut sifat
Wajib bagi Allah?
2. Siapa yang menetapkan
sifat wajib bagi Allah?
Ini untuk membuka wawasan dan
cara berpikir anda,. silahkan dijawab, mudah2an banyak manfaat dari diskusi
ini,
kalau masih menyakini bahwa
sifat Allah ada 20 apakah bisa menyebabkan pelakunya keluar dari islam (
syahadatnya Batal )
Banyak orang yang meyakini
karena kebodohan, karena ketidak tahuan,cuma ikut-ikutan,.
Jika dia meyakini cuma 20,
berarti ada puluhan, ratusan, bahkan jumlah yang tak terhingga yang dia
dustakan, ini perkaranya lebih berat lagi,.
Mengingkari satu nama dan
sifat Allah saja bisa kufur, apalagi mengingkari dalam jumlah yang sangat
banyak,.
yg kedua “Sesungguhnya bagi
Allah sembilan puluh sembilan nama, barang siapa menghitungnya/menghapalnya
akan masuk jannah.” apa ini
berarti siapapu yg menghapalnya pasti masuk syurga dan tidak perlu mengamalkan
yg lain.
yg ketiga maksud dari ”
menghitungnya ”
mohon penjelasan dan
pencerahannya
Maksudnya bukan menghafal,
tapi mengamalkan kandungannya, meminta kepada Allah dengan nama-namanya, jadi
bukan sekedar menghafal atau malah dinyanyikan,. silahkan
lihat ulasannya disini
PERKATAAN ABU HASAN
AL-ASYA’ARI SEPUTAR SIFAT– SIFAT ALLAH
Berikut ini akan dikemukakan perkataan imam Abu Hasan Al-Asy’ari yang diambil dari kitab beliau yaitu Al Ibanah An Ushulid Diyanah dan Muqolatul Islamiyyin Wakhtilafil Mushollin. Dalam kitab Al Ibanah Bab Kejelasan Perkataan ahlul hak dan ahlussunah hal 17–19, beliau berkata;
“Apabila seseorang bertanya:
“kamu mengingkari perkataan Mu’tazilah, Qodariyyah, Jahmiyyah, Harruriyyah,
Rofidhoh dan Murji’ah, maka terangkan kepada kami pendapatmu dan keyakinanmu
yang mengaku beribadah kepada Allah dengannya!
Jawablah:
“Pendapat dan keyakinan kami
yang kami pegangi adalah perpegang teguh dengan kitab rabb kita azza wajalla,
sunnah Nabi kita dan apa yang diriwayatkan dari para sahabat, Tabi’in dan
para ahlul hadits. Kami berpegang teguh dengannya.
Dan berpendapat dengan apa
yang dikatakan oleh Abu Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal–semoga Allah
mencerahkan wajahnya, meninggikan derajatnya, dan memberi balasan yang
melimpah. Siapa yang menyelisihi perkataannya dia akan menyimpang, karena dia
adalah imam yang mulia, pemimpin yang sempurna yang dengan perantaranya Allah
menjelaskan kebenaran, menumpas kesesatan, membuat minhaj ini menjadi gamblang,
membarantas bid’ah–bid’ah rekayasa para ahli bid’ah, penyelewangan orang yang
menyimpang, dan kegamangan orang yang ragu–ragu. Semoga Allah merohmatinya’.
Ringkas perkataan kami adalah
kami beriman kepada Allah, Malaikat-Nya, Kitab– kitab-Nya, para Rasul-nya dan
apa yang dibawa oleh mereka dari sisi Allah dan apa yang diriwayatkan oleh para
ulama yang terpercaya dari Rasulullah, kami tidak akan menolak sedikitpun,
sesunguhnya Allah adalah Ilah yang Esa, tiada Ilah yang berhak diibadahi
kecuali Dia, Dia Esa dan tempat bergantung seluruh makluk, tidak membutuhkan
anak dan istri, dan Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya, Allah mengutusnya
dengan membawa petunjuk dan dien yang benar, Surga dan Neraka benar adanya.
Hari kiamat pasti datang, tidak ada kesamaran sedikitpun. Dan Allah akan
membangkitkan yang ada di kubur, dan Allah bersemayam di atas Arsy, seperti
firman-nya. الرَّحْمَانُ عَلىَ الْعَرْشِ اسْتَوَاى(Thoha ayat 5) Allah mempunyai dua tangan, tapi
tidak boleh di takyif, seperti firman-Nya: خَلَقْتُ بِيَدَيً (QS. Shod: 75) dan Firman-Nya: بَلْ يََدَاهُ مَبْسُوْطَتَانِ (QS. Al Maidah: 64) Allah mempunyai dua
mata tanpa ditakyif, seperti firmanya (QS. Al Qomar: 14), siapa yang menyangka
bahwa nama–nama Allah bukanlah Allah maka dia telah sesat, Allah mempunyai
ilmu, firmanya (QS. An Nisa 166) firmannya:وَمَاتَحْمِلُ مِنْ أُنْثَى وَلاَتَضْعُ إِلاَّ بِعِلْمِهِ tidak ada seorang perempuan –perempuan
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. (QS.
Al Fathir: 11)
Kita menetapkan bahwa Allah
mendengar dan melihat, kita tidak menafikanya seperti dilakukan oleh
Mu’tazilah, Jahmiyah dan Khowarij, kita juga menetapkan bahwa Allah mempunyai
Quwwah (kekuatan), seperti firman-Nya :أَوَلَمْ يَرَوْا أَنَّ اللهَ الَّذِي خَلَقَهُمْ هُوَ أَشَدّ مِنْهُمْ قُوَّةً (QS. Fushilat: 15), kita katakan bahwa
kalam Allah bukan makhluk, Allah tidak menciptakan sesuatupun kecuali akan
mengatakan jadilah! Seperti firmannya إِنَّمَا قَوْلُنَا لِشَىءٍ إِذَاأَرِدْنَاهُ أَنْ نَقُوْلَ لَهُ كُنْ فَيَكُوْنَ (QS. An Nahl: 40) Tidak ada satu kebaikan
atau kejelekan pun di bumi ini kecuali telah dikehendaki oleh Allah, sebab
sesuatu itu terjadi karena kehendak-Nya azza wajalla seseorang tidak mampu
berbuat suatu perbuatanpun sebelum Allah menentukannya dan dia pasti butuh
kepada Allah, tidak ada seorangpun yang mampu keluar dari ilmu Allah azza wa
jalla sesungguhnya tidak ada pencipta kecuali Allah, amal perbuatan hamba itu
diciptakan dan ditentukan oleh Allah, seperti firmannya: وَ اللهُ خَلَقَكُمْ وَمَاتَُعْمَلُوْنَ (Qs.Ash Shofat: 96) seorang hamba tidak
mampu menciptakan sesuatupun, bahwa mereka diciptakan, seperti
firman-Nya: هَلْ مِنْ خَالِقٍ غَيْرُ اللهِ (QS. Fathir: 3) لاَيَخْلُقُوْنَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُوْنَ (QS An Nahl: 20) أَفَمَنْ يَخْلُقُ كَمَنْ لاَيَخْلُقُ أَفَلاَ تَذَكَّرُوْنَ (Qs. An Nahl; 17) أَمْ خُلِقُوْا مِنْ غَيْرِ شَىءٍ أَمْ هُمُ الْخَالِقُوْنَ (QS At Thur: 35) dan masih banyak lagi
ayat yang lain dalam kitab Allah.”
Dalam maqolatul Islamiyyin
bab inilah hikayat Sekumpulan perkatan ahlul hadits dan ahlussunah, hal 290–297
beliau berkata seperti yang tercantum dalam Al Ibanah di muka. Kemudian pada
akhir Bab beliau berkata:
“Inilah sekumpulan perkataan
yang diperintahkan, dilaksanakan oleh mereka dan itulah pendapat mereka, kami
berkata dan berpendapat sama persis dengan siapa perkataan dan pendapat mereka.
Tidak ada yang memberi taufik kepada kami kecuali Allah saja. Dialah yang
mencukupi kami dan dialah sebaik–baik pemelihara. Kepada-Nya kami meminta
pertolongan, kepada-Nya kami bertawakal dan kepada-Nya akan kembali!”
Dari dua kitab tersebut dapat
ditarik kesimpulan bahwa beliau menetapkan:
1. Sifat–sifat
yang tetap bagi Allah yang termaktuf dalam kitab-nya dan dalam sunah nabi-Nya
secara hakiki sesuai kegungan Allah ta’ala, seperti sifat istiwa Allah di atas
Arsy, Allah mempunyai dua tangan, dua mata dan wajah secra hakiki, namun tidak
boleh ditanyakan bentuknya dan diserupakan dengan makhluk. Allah memiliki sifat
ilmu, pendengaran, penglihatan, kekuatan dan irodah (berkehendak) Allah
berbicara dan al Qur’an adalah kalam Allah, Allah turun ke langit dunia.
2. Allah
akan dilihat pada hari kiamat dengan jelas tanpa pengahalng.
3. Allah
akan datang (sifat mamji’) pada hari kiamat sedangkan malaikat berbaris )
Tidak hanya itu dalam kitab
lainnya Risalah Ila Ahli Tsaghr, beliau menetapkan adanya ijma’
(kesepakatan) salaf dalam masalah aqidah khususnya asma dan sifat yaitu;
1. Salaf
bersepakat menetapkan sifat mendengar, melihat, dua tangan, sifat qobdh (menggenggam)
dan dua tangan Allah adalah kanan.
2. Mereka
bersepakat menetapkan sifat nuzul (Allah turun ke langit dunia pada sepertiga
malam yang akhir), maji (kedatangan Allah pada hari kiamat untuk memutuskan),
uluw (ketinggian) dan Allah berada di atas arsy.
3. Mereka
bersepakat bahwa kaum mukmin akan melihat Allah pada hari kiamat dengan mata
mereka, (hal 210 – 225)
Kemudian beliau menyebutkan
beberap ijma’ lainnya, lalu menutup dengan ijma’ yang menyeluruh sebagai kaidah
terpenting bagi salaf, katanya:
“para salaf telah bersepakat
untuk menetapkan sifat–sifat bagi Allah sebagaimana Allah telah mensifati
diri-Nya dengan sifat tersebut dan pensifatan oleh Nabi-Nya tanpa pemalingan
dan tanpa ditakyif, iman kepada sifat–sifat tersebut adalah wajib, demikian
pula tidak bolehnya takhif juga wajib” (hal 224)
Semakin jelas kiranya bahwa
akidah imam Abu Hasan Al-Asy’ari dalam masalah asma’ dan sifat berdasarkan:
1. Kitab
Allah ta’ala yaitu al Qur’an dimana Allah menetapkan di dalamnya sifat–sifat
bagi diri-nya
2. Hadits
– hadits Rasululah yang shohih yang menetapkan sifat
3. Perkatan
salaf dan para imam hadits. Karena aqidah mereka adalah aqidah yang selamat dan
motode mereka adalah lurus, yang menetapkan sifat-sifat yang baik bagi Allah,
tanpa ditakyif, tanpa tamsil, tanpa tahrif, tanpa ta’thil, panutan dalam
masalah ini adalah imam Ahmad bin Hambal
Berbeda dengan apa yng
diyakini oleh sementara orang yang mengaku mengikuti beliau, dikenal dengan
nama Asya’iroh, ternyata yang mereka klaim itu tidak benar sama sekali,
sehingga terlihat nyata perbedaan antara imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan
Asy’iroh, dimana beliau menetapkan semua sifat bagi Allah yang tertera dalam al
Qur’an sedangkan Asya’iroh hanya menetapkan dua puluh sifat saja, uraian
ini sebenarnya sudah cukup membuktikan kesalahan mereka dan sebagai bantahan
kepada mereka, karena beliau telah ruju’ (berlepas diri) dari faham Mu’tazilah
dan faham Kullabiyah. Membuktikan bahwa faham tadi itu salah dan sesat, selain
itu mereka telah berbuat lancang dzolim kepada imam Abu Hasan Al-Asy’ari, jika
mereka mengaku ittiba’ kepada beliau seharusnya juga bertaubat dari keyakinan
mereka dan ruju’ kepada faham salaf, ahlussunnah wal jama’ah yang hakiki,
Allahu a’lam.
(Penyusun: Abu Syamiel
A)
Sumber:
https://aslibumiayu.wordpress.com/2013/09/27/mengenal-al-imam-abul-hasan-al-asyariy-dan-asyariyyah/
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?
Jawaban.
Jawaban seperti ini sepenuhnya batil. Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.”
Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana, adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama, bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta menurut fitrah.maka Allah berada diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit, bersemayam diatas Arsy.
[Majmu' Fatawaa wa Rasaail, juz 1 halaman 132-133]
[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar'iyyah Fil Masaail Al 'Ashriyyah min Fatawaa Ulamaa' Al Balaadil Haraami, Edisi Indonesia: Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci, Penyusun Khalid al Juraisy, Penerbit :Media Hidayah, Cet.1 September 2003]
http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2012/12/sesatnya-keyakinan-jahiliyyun-allah-ada.html
Bantahan Allah Ada Tanpa Tempat dan Arah
Muqaddimah
Dalam tujuh ayat Al-Quran,
yaitu Surat Al-A’raf: 54, Yunus: 3, Ar-Ra’d: 2, Al-Furqan: 59, As-Sajdah: 4 dan
Al-Hadid: 4, semuanya dengan lafazh yang sama
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
Artinya:
“Kemudian Dia berada di atas
‘Arsy (singgasana).”
Dan dalam Surat Thaha 5
dengan lafazh:
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Artinya:
“Yang Maha Penyayang di atas
‘Arsy (singgasana) berada.”
Hadits Abu Hurairah
rahiiallahu’anhu, ia berkata: Aku mendengar Rasulullah ﷺ
bersabda:
لَمَّا قَضَى اللَّهُ الْخَلْقَ كَتَبَ فِي
كِتَابِهِ -فَهُوَ عِنْدَهُ فَوْقَ الْعَرْشِ- إِنَّ رَحْمَتِي غَلَبَتْ غَضَبِي
“Ketika Allah menciptakan
makhluk (maksudnya menciptakan jenis makhluk), Dia menuliskan di kitab-Nya
(Al-Lauh Al-Mahfuzh) – dan kitab itu bersama-Nya di atas ‘Arsy (singgasana) :
“Sesungguhnya rahmat-Ku mengalahkan kemarahan-Ku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Hadits Abu Hurairah
radhiallahu’anhu bahwa Nabi ﷺ memegang tangannya (Abu
Hurairah) dan berkata:
يَا أَبَا هُرَيْرَةَ، إِنَّ اللهَ خَلَقَ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرَضِيْنَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ، ثُمَّ
اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Wahai Abu Hurairah,
sesungguhnya Allah menciptakan langit dan bumi serta apa-apa yang ada diantara
keduanya dalam enam hari, kemudian Dia berada di atas ‘Arsy (singgasana).” (HR.
An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra, dishahihkan Al-Albani dalam Mukhtasharul
‘Uluw)
Hadits Qatadah bin An-Nu’man
radiallahu’anhu bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullahﷺ
bersabda:
لَمَّا فَرَغَ اللهُ مِنْ خَلْقِهِ اسْتَوَى
عَلَى عَرْشِهِ.
“Ketika Allah selesai
mencipta, Dia berada di atas ‘Arsy singgasana-Nya.” (Diriwayatkan oleh
Al-Khallal dalam As-Sunnah, dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dan Adz-Dzahabi
berkata: Para perawinya tsiqah)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab
rahimahullah meriwayatkan hadits seperti ini :
وعن العباس بن عبد المطلب رضي الله عنه قال: قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم: (هل تدرون كم بين السماء والأرض؟) قلنا: الله
ورسوله أعلم قال: (بينهما مسيرة خمسمائة سنة، ومن كل سماء إلى سماء مسيرة خمسمائة
سنة وكثف كل سماء خمسمائة سنة، وبين السماء السابعة والعرش بحر بين أسفله وأعلاه
كما بين السماء والأرض، والله سبحانه وتعالى فوق ذلك، وليس يخفى عليه شيء من أعمال
بني آدم). أخرجه أبو داود وغيره.
Dari Al-’Abbas bin
’Abdil-Muthallib radliyallaahu ’anhu, ia berkata : Telah bersabda Rasulullahﷺ :
”Tahukah kamu sekalian berapa jarak antara langit dan bumi ?”. Kami menjawab :
”Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda : ”Antara langit dan
bumi jaraknya 500 tahun perjalanan, dan antara satu langit ke langit lainnya
jaraknya 500 tahun perjalanan, sedangkan ketebalan masing-masing langit adalah
500 tahun perjalanan. Antara langit yang ketujuh dengan ’Arsy ada samudera, dan
antara dasar samudera itu dengan permukaannya seperti jarak antara langit dan
bumi. Allah ta’ala di atas semua itu dan tidak tersembunyi bagi-Nya sesuatu
apapun dari perbuatan anak keturunan Adam”. Diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
lainnya. Lihat Kitaabut-Tauhiid Alladzii Huwa Haqqullaahi ’alal-’Abiid, hal.
149, tahqiq : ’Abdul-’Aziiz bin ’Abdirrahmaan As-Sa’iid dll.; Cet. Universitas
Al-Imam Muhammad bin Su’uud, Riyadh.
Aliran Sesat Jahmiyah
Jahmiyyah, mereka dalam
masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah termasuk menolak menetapkan
sifat istiwa’ nya Allah di atas ‘Arsy-Nya. Sedangkan madzhab mereka dalam
masalah takdir adalah menganut paham Jabriyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa
manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam
mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab
mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup
dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga
konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin
yang sempurna imannya.
Para ulama menyebutkan bahwa
Ja’d bin Dirham merupakan pencetus dan penebar pertama pemikiran Jahmiyah yang
kemudian digulirkan oleh Jahm bin Shafwan, sehingga pemikiran tersebut
dinisbatkan kepadanya. Menurut salah satu riwayat bahwa Ja’d mengambil
pemikiran dari Aban bin Sam’an, dan Aban mengambil dari Thalut anak saudara
perempuan Lubaid bin al-A’sham, seorang Yahudi yang pernah menyihir Nabi. Lihat
al-Milal wan Nihal, (173) karya as-Sahrastani, al-Farqu baina al-Firaq, hal.194
oleh al-Baghdadi dan Thabaqah al-Hanabilah (1/32) karya Ibnu Abu Ya’la, dan
Maqalaat Islamiyyah (1/312).
Jahm bin Shafwan bisa
dianggap penebar kesesatan, karena ia telah menghimpun tiga kebid’ahan yang
sangat buruk dan berbahaya disamping beberapa bid’ah yang lain :
Pertama : Bid’ah Ya’thil
yaitu peniadaan sifat-sifat Allah dan menyangka bahwa Allah tidak bisa disifati
dengan sifat apa pun, karena pemberian sifat bisa mengakibatkan penyerupaan
dengan makhluk-Nya (Ar-Radd ‘alaa Jahmiyyah, hal.17 karya Imam ad-Darimi, dan
Majmuu’ Fataawaa 5/20)
Kedua : Bid’ah Jabr yaitu
pernyataan bahwa menusia tidak mempunyai kemampuan dan daya upaya sama sekali
bahkan semua kehendaknya muncul dalam keadaan dipaksa oleh kehendak Allah, maka
ia menganggap perbuatan manusia dinisbatkan kepadanya hanya sekedar metafora.
Maqalaat Islamiyyin al-Asy’ari (1/312)
Ketiga: Bid’ah Irja’ bahwa
iman cukup hanya dengan ma’rifat, barang siapa yang inkar di lisan maka hal
tersebut tidak membuatnya kafir sebab ilmu dan ma’rifat tidak bisa lenyap
karena ingkar, dan keimanan tidak berkurang dan semua hamba setara dalam
keimanannya serta iman dan kufur hanya dalam hati tidak dalam perbuatan.
Maqalaat Islamiyyin (1/312)]
Asy-Syaikh ‘Abdul-Qadiir
Al-Jiilaaniy rahimahullah (wafat 561 H) berkata dalam menjelaskan tentang
Jahmiyah, dalam kitab Al-Ghun-yah li-Thaalibiy Thariiqil-Haqq (1/128; Daar
Ihyaa At-Turaats, Cet. 1/1416) :
Adapun Jahmiyyah, maka ia
dinisbatkan pada Jahm bin Shafwaan dimana ia berkata:
1. Iman adalah hanyalah
ma’rifah kepada Allah dan Rasul-Nya, serta seluruh apa yang datang di sisinya;
2. Al-Qur’an adalah makhluq;
3. Allah tidak pernah
berbicara kepada Musa (secara langsung);
4. Allah ta’ala tidak pernah
berfirman (= menafikkan sifat kalaam – );
5. Allah tidak bisa dilihat;
6. Allah tidak diketahui
mempunyai tempat tertentu;
7. Allah tidak mempunyai
‘Arsy dan Kursiy, dan Ia tidak berada di atas ‘Arsy;
8. Mengingkari adanya
mawaaziin (timbangan-timbangan) amal (di akhirat);
9. Mengingkari adzab qubur;
10. Surga dan neraka telah
diciptakan yang memiliki sifat fana (tidak kekal);
11. Allah ‘azza wa jalla
tidak akan berbicara kepada makhluk-Nya dan tidak akan melihat mereka di hari
kiamat;
12. Penduduk surga tidak akan
(bisa) melihat Allah ta’ala dan tidak pula melihatnya di surga;
13. Iman itu cukup dengan
ma’rifatul-qalb tanpa pengikraran dengan lisan; dan
14. Mengingkari seluruh
sifat-sifat Al-Haqq (Allah) ‘azza wa jallaa”
Pendapat Para Imam dan Ulama
Ahlusunnah Tentang Sesatnya Jahmiyyah Bahkan Sebagian Ada yang Mengkafirkannya
1. Abdullah bin Mubarak
mengatakan, “Saya menukil ucapan orang Yahudi dan Nasrani lebih aku senangi
daripada aku menukil ucapan Jahmiyah. Dan kebanyakan dalam firqah Islam, bahkan
Abdullah bin Mubarak menyatakan kekafiran Jahmiyah”.[ Lihat al-Milal wa Nihal
(1/134) karya as-Sahratani, dan Maqalaat Islamiyyin (1/198) karya al-Asy’ari.
2. Imam Syafii berkata
terhadap Hafsh al Fard yang ketika mengatakan bahwa al Qur’an itu makhluk maka
Syafii berkata, “Engkau telah kafir terhadap Allah” sebagaimana nukilan Lalikai
dalam Syarh Ushul I’tiqad Ahli Sunnah? Demikian vonis kafir yang diberikan
kepada al Jahm bin Shafwan, Bisyr al Marisi, an Nazham dan Abu Hudzail al
‘Allaf sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Baththah dalam al Ibanah al
Shughra.
Beliau rahimahullah berkata :
‘Barangsiapa yang berkata lafadhku dengan Al-Qur’an atau Al-Qur’an dengan lafadhku
adalah makhluk, maka ia seorang Jahmiy (penganut paham Jahmiyyah)” [I’tiqaad
Asy-Syaafi’iy oleh Al-Hakkaariy, hal. 23, tahqiq : Al-Barraak].
4. Imam Ahmad bin Hanbal
dalam kitab “Ar-Radd ‘ala Jahmiyyah”
5. Adz Dzahabi dalam kitabnya
Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar membawakan berbagai perkataan ulama masa silam
yang jelas-jelas menyatakan bahayanya pemikiran Jahmiyah
6. Sufyan As-Tsauri
mengatakan, Al-Quran kalamullah, barang siapa mengatakan ia mahluk maka sungguh
kafir dan barang siapa ragu akan kekafirannya maka ia kafir(juga). Imam Ahmad
berkata, Barang siapa yang mengatakan Al-Quran mahluk maka ia menurut kami
kafir karena al-Quran bersumber dari Allah dan di dalamnya terdapat nama Allah
azza wa jalla.
7. Imam ad-Darimi menuliskan
dalam kitabnya ar-Rad aal Jahmiyah (Membantah Jahmiyah) satu bab husus yang
membahas kekafiran Jahmiyah. Beliau menerangkan, Bab Pengambilan dalil Untuk
Mengafirkan Jahmiyah, kemudian beliau berkata di bawahnya, Di Baghdad, seorang
laki-laki mendebatku dalam rangka membela golongan Jahmiyah. Ia bertanya, Ayat
apa yang Anda jadikan dasar untuk mengafirkan Jahmiyah, padahal kita dilarang
mengafirkan ahli kiblat(Orang yang masih shalat), apakah dengan kitab yang
dapat berbicara Anda mengafirkan mereka? Atau dengan dengan hadits? Atau dengan
ijma? Maka aku jawab, Jahmiyah menurut pendapat Kami bukanlah ahli kiblat, dan
kami tidaklah mengafirkan mereka kecuali dengan kitab yang tertulis, atsar yang
masyhur dan kekafiran mereka telah masyhur kemudian beliau merinci dalil-dalil
yang mengafirkan mereka
8. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah telah meriwatyatkan, sebagian besar ulama mengkafirkan Jahmiyah.
Beliau berkata, Dan yang terkenal dari madzhab Imam Ahmad dan mayoritas ulama
sunnah adalah mengafirkan Jahmiyah. Merekalah yang menolak sifat-sfat Allah dan
ucapan mereka sangat jelas menentang apa yang dibawa rasululah.
9. Ibnul Qayyim dalam syair
Nuniyahnya mengatakan :
Sungguh limapuluh dari
puluhan ulama telah mengafirkan mereka di berbagai negeri Al-Imam Al-Likai
meriwaytkan dari mereka bahkan sebelumnya sudah ada yang mendahuluinya,
at-Tahabrani.
10. Al-Baijuriy – seorang
pembesar madzhab Asy’ariyyah – dalam kitab Hasyiyyah Al-Baijuriy ‘alaa
Jauharit-Tauhiid dalam permasalahan yang sama. Ia berkata :
“Madzhab Ahlus-Sunnah
wal-Jama’ah menyatakan bahwa Al-Qur’an dengan makna al-kalaamun-nafsiy (yaitu :
yang berasal dari diri Allah ta’ala) bukanlah makhluk. Adapun Al-Qur’aan dengan
makna lafadh yang kita baca, maka ia adalah makhluk. Akan tetapi terlarang
untuk dikatakan : Al-Qur’an adalah makhluk – yang dimaksudkan dengannya adalah
lafadh yang kita baca, kecuali dalam konteks pengajaran. Karena, perkataan
tersebut bisa disalahartikan bahwa Al-Qur’an dengan makna kalam-Nya ta’ala
(al-kalaamun-nafsiy –)adalah makhluk. Dengan alasan itulah para imam melarang
terhadap perkataan Al-Qur’an adalah makhluk” [hal. 160].
Diantara sekte yang mengusung
faham jahmiyah adalah mu’tazilah, Asy-Ariyah, Qadariyah dan yang sependapat
dengan mereka.
Arti Istiwa’
Lafazh istawa ‘ala (اِسْتَوَى
عَلَى) dalam bahasa Arab – yang dengannya Allah menurunkan wahyu –
berarti (عَلاَ وَارْتَفَعَ), yaitu
berada di atas (tinggi/di ketinggian). Hal ini adalah kesepakatan salaf dan
ahli bahasa. Tidak ada yang memahaminya dengan arti lain di kalangan salaf dan
ahli bahasa.
Istiwa’ adalah hakikat dan
bukan majas. Kita bisa memahaminya dengan bahasa Arab yang dengannya wahyu
diturunkan. Yang tidak kita ketahui adalah kaifiyyah (cara/bentuk) istiwa’
Allah, karena Dia tidak menjelaskannya. Ketika ditanya tentang ayat 5 Surat Thaha
(الرحمن على العرش استوى),
Rabi’ah bin Abdurrahman dan Malik bin Anas mengatakan:
الاِسْتِوَاءُ مَعْلُوْمٌ، وَاْلكَيْفُ
مَجْهُوْلٌ، وَالإِيمَانُ بِهِ وَاجِبٌ.
“Istiwa’ itu diketahui,
kaifiyyahnya tidak diketahui, dan mengimaninya wajib.” (Al-Iqtishad fil
I’tiqad, Al-Ghazali)
Al-Arsy
Sesungguhnya madzhab salaf
(para sahabat, tabiin dan yang lainnya) berpendapat bahwa Allah Subhanahu wa
Ta’ala bersemayam diatas Al Arsy dengan tanpa takyif (membagaimanakannya),
tamtsil (menyerupainya dengan makhluk), Tahrif (menyelewengkan makna yang
sebenarnya) dan Ta’thil (menolaknya) karena Allah Subhanahu wa Ta’ala
bersemayam diatas ArsyNya dengan persemayaman yang sesuai dengan kebesaran dan
keagunganNya. Adapun hakikat bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak diketahui
oleh kita dan bertanya tentang hal itu satu kebidahan, karena Allah Subhanahu
wa Ta’ala tidak memperlihatkan kepada kita hakikat dzatNya, maka bagaimana kita
dapat mengetahui bagaimana bersemayamnya Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Dia yang
berfirman:
وَلاَ يُحِيطُونَ بِشَيْءٍ مِّنْ عِلْمِهِ إِلاَّ
بِمَا شَآءَ
Dan mereka tidak mengetahui
apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang
dikehendaki-Nya.
[Al-Baqarah/2:255]
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَىءٌ
“Dia (Allah) tidak menyerupai
sesuatupun dari makhluk-Nya, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya”.
(QS. as-Syura: 11)
Ciri, Karakteristik dan Kekhususan ‘Arsy
Adapun ‘Arsy, secara bahasa
artinya Singgasana kekuasaan.
27:23
‘
Sesungguhnya aku menjumpai
seorang wanita yang memerintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta
mempunyai singgasana yang besar..(Q.S An-Naml:23)
27:26
Allah, tiada Tuhan Yang
disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Arsy yang besar”..(Q.S An-Naml:26)
Dan masih banyak lagi
ayat-ayat di dalam Al-Quran yang mulia, Allah ‘azza wa jalla memberitahukan
bahwa Dia-lah pemilik Arsy (singgasana) yang agung…
Arsy adalah makhluk
tertinggi. Rasulullahﷺ bersabda:
فَإِذَا سَأَلْتُمُ اللَّهَ فَاسْأَلُوهُ
الْفِرْدَوْسَ فَإِنَّهُ أَوْسَطُ الْجَنَّةِ وَأَعْلَى الْجَنَّةِ وَفَوْقَهُ
عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ تَفَجَّرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
“Maka jika kalian meminta
kepada Allah, mintalah Al-Firdaus, karena sungguh ia adalah surga yang paling
tengah dan paling tinggi. Di atasnya singgasana Sang Maha Pengasih, dan darinya
sungai-sungai surga mengalir.” (Lihat Bukhari dalam shahihnya kitab Tauhid bab
wa kaana Arsyuhu Ala Alma’ )
Allah Subhanahu wa Ta’ala
telah mengkhususkan Al-Arsy dengan beberapa kekhususan yang membedakanya dari
sekalian makhluk yang lain karena Al-Arsy memiliki kedudukan yang tinggi disisi
Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut kata
Al-Arsy sebanyak dua puluh satu kali didalam Al Quran dan hal ini menunjukkan
ketinggian kedudukan dan martabat di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala oleh karena
itu Allah Subhanahu wa Ta’ala memuji dirinya dalam banyak ayat dengan
mengatakan dialah pemilik Al-Arsy yang agung dan besar lagi mulia, seperti
dalam firmanNya.
وَهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Dan Dia adalah Rabb yang
memiliki ‘Arsy yang agung”. [At-Taubah/9:129]
قُلْ مَن رَّبُّ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ وَرَبُّ
الْعَرْشِ الْعَظِيمِ
Katakanlah:”Siapakah Yang
Mempunyai langit yang tujuh dan Yang Mempunyai ‘Arsy yang besar?”
[Al-Mu’minuun/23:86]
ذُوالْعَرْشِ الْمَجِيدُ
Yang mempunyai singgasana,
lagi Maha Mulia [Al-Buruuj/85:15]
فَتَعَالَى اللهُ الْمَلِكُ الْحَقُّ لآإِلَهَ
إِلاَّهُوَ رَبُّ الْعَرْشِ الْكَرِيم
Maka Maha Tinggi Allah, Raja
Yang Sebenarnya;tidak ada ilah (yang berhak disembah) selain Dia, Rabb (Yang
mempunyai) ‘Arsy yang mulia. [Al-Mu’minuun/23:116]
Dalam banyak ayat-ayat diatas
Allah Subhanahu wa Ta’ala mensifatkan kepada kita bahwa Al-Arsy itu agung dan
mulia, agung karena dia adalah makhluk yang paling besar dan paling tinggi
sehingga Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikanya sebagai tempat bersemayamNya
dan mulia karena dia memiliki kedudukan yang berbeda dari makhluk-makhluk yang
lainnya dan dia memiliki sifat-sifat yang tinggi dan mulia, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa Ta’ala:
رَفِيعُ الدَّرَجَاتِ ذُو الْعَرْشِ يُلْقِي
الرُّوحَ مِنْ أَمْرِهِ عَلَى مَن يَشَآءُ مِنْ عِبَادِهِ لِيُنذِرَ يَوْمَ
التَّلاَقِ
(Dialah) Yang Maha Tinggi
derajat-Nya, Yang mempunyai ‘Arsy, Yang mengutus Jibril dengan (membawa)
perintah-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya di antara hamba-hamba-Nya,
supaya dia memperingatkan (manusia) tentang hari pertemuan (hari kiamat).
[Al-Mu’min/40:15]
Juga menunjukkan keagungan
Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ketinggian ArsyNya yang berada diatas seluruh
makhluqnya apalagi Allah l telah banyak menghubungkannya dengan namanya “Arrahman”
yang tentunya mengandung satu keistimewaan yang tidak dimiliki selainnya,
seperti firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Yang Maha Pemurah,
yang bersemayam di atas ‘Arsy. [Thaahaa/20:5]
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ
وَمَابَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
الرَّحْمَنُ فَسْئَلْ بِهِ خَبِيرًا
Yang Menciptakan langit dan
bumi dan apa yang ada antara keduanya dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam
di atas Arsy, (Dialah) Yang Maha Pemurah, maka tanyakanlah (tentang Allah)
kepada yang lebih mengetahui (Muhammad) tentang Dia. [Al-Furqaan/25:59]
Al-Arsy Adalah Makhluk Yang
Tertinggi Dan Menjadi Atapnya Para Makhluk Yang Lain.
Diantar kekhususan yang
diberikan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada Al Arsy adalah menjadikannya sebagai
makhluk paling dekat denganNya dan yang paling tinggi lebih tinggi dari langit,
bumi dan syurga dan dia merupakan atapnya, sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ.
إِذَا سَأَلْتُمُ الله فَاسْأَلُوْهُ اْلفِرْدَوْسَ
فَإِنَّهُ وَسَطُ اْلجَنَّةِ وَ أَعْلاهَا وَفَوْقَهُ عَرْشُ الرَّحْمَنِ وَمِنْهُ
تَفْجُرُ أَنْهَارُ الْجَنَّةِ
Jika kalian meminta, mintalah
Alfirdaus, karena dia adalah tengah-tengah syurga dan yang paling tinggi dan
diatasnya adalah Arsy Allah, dan darinya terpancar sungai-sungai syurga. Lihat
Bukhari dalam shahihnya kitab Tauhid bab wa kaana Arsyuhu Ala Alma’ lihat
fathul Bari 13/404.
Berkata Abu Abdillah Muhammad
bin Abdillah bin Abi Zamaniin dalam kitabnya Ushulussunnah: dan dari pendapat
Ahlussunnah adalah Allah telah menciptakan AlArsy dan mengkhususkannya dengan
berada diatas dan ketinggian diatas semua makhluqNya kemudian bersemayam
diatasnya. Lihat Bukhari dalam shahihnya kitab Tauhid bab wa kaana Arsyuhu Ala
Alma’ lihat fathul Bari 13/282.
Ketinggian Al Arsy sebagai
makhluk yang paling tinggi menunjukkan secara langsung bahwa dia adalah makhluk
yang paling dekat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan hal ini sebagaimana
dikatakan Ibnu Mas’ud Radhiyallahu ‘anhu.
بَيْنَ السَمَاء السَابِعَةِ و الكُرْسِي
خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَبَيْنَ الكُرْسِي والمَاء خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَالْعَرْشُ
فَوْقَ الْمَاءِ وَاللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
Antara langit ketujuh dan
kursi lima ratus tahun dan antara kursi dan air lima ratus tahun dan Al Arsy
diatas air dan Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas Al Arsy. Hadits dikeluarkan
oleh ibnu Khuzaimah dalam kitab Attauhid hal.105, Addaarimiy dalam Arrad ‘alal
Jahmiyah hal.26-27 dan Alalikaaiy dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah
3/396 dan dibawakan Ibnul Qayim dalam Ijtimaul Juyusy Al Islamiyah hal.100, dan
berkata diriwayatakan oleh Sunaid bin Daud dengan sanad yang shahih.
Dan berkata Ibnu Taimiyah
rahimahullah : Adapun Al Arsy maka dia berupa kubah sebagaimana diriwayatkan
dalam As Sunan karya Abu Daud dari jalan periwayatan Jubair bin Muth’im, dia
berkata : Telah datang menemui Rasulullah seorang A’rab dan berkata : Wahai
Rasulullah jiwa-jiwa telah susah dan keluarga telah kelaparan- dan beliau
menyebut hadits- sampai berkata Rasulullah `
إِنَّ الله عَلَى عَرْشِهِ وَ إِنَّ عَرْشَهُ
عَلَى سَمَوَاتِهِ وَ أَرْضِهِ كَهَكَذَا وَ قَالَ بِأَصَابِعِهِ مِثْلَ
اْلقُبَّةِ
Sesungguhnya Allah diatas
ArsyNya dan ArsyNya diatas langit-langit dan bumi, seperti begini dan
memberikan isyarat dengan jari-jemarinya seperti kubah. Lihat Hadits Shahih
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Ashim dalam Assunnah 1/252.
Dan jelaslah dengan
hadits-hadits ini bahwa Al Arsy adalah makhluq yang paling tinggi dan dia
seperti kubah..LihatAl Fatawa 5/151
Al Arsy Adalah Makhluk Yang
Terbesar Dan Teragung Serta Terberat
Al Arsy merupakan makhluk
Allah Subhanahu wa Ta’ala yang paling besar dan luas serta agung dan ini Allah
Subhanahu wa Ta’ala berikan agar sesuai dan pantas sebagai tempat bersemayamnya
Dia Subhanahu wa Ta’ala.
Rasulullah ﷺ
bersabda dalam hadits Jabir bin Abdillah : Aku diizinkan untuk membicarakan
seorang malaikat dari para malaikat Allah dari pemikul Al-Arsy, sungguh jarak
antara daun telinganya sampai bahunya sepanjang perjalanan 700 tahun. Hadits
dengan Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Abu Daud dalam sunannya 5/96 No.4727,
Alkhathib dalam tarikhnya 10/195 dan Albaihaqy dalam AlAsma wa Shifat hal. 397
dari hadits Ibnul Munkadir dari Jabir. Berkata Adz -Dzahabiy dalam kitabnya Al
Ulu : sanadnya shahih dan berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya 4/414 :Sanadnya baik
dan perawi-perawinya tsiqat semua.
Adapun syubhat yang
dilontarkan orang-orang Jahmiyah bahwa makna Al-Arsy dalam firman Allah :
الرَّحْمَنُ عَلَى اْلعَرْشِ اسْتَوَى
(Yaitu) Yang Maha Pemurah,
yang bersemayam di atas ‘Arsy. [Thaha/20:5]
Mengandung kemungkinan
beberapa makna, sehingga tidak diketahui makna apa yang ditunjukkan ayat ini
dari makna-makna tersebut.
Hal ini telah dijawab oleh
Ibnu Qayim dengan mengatakan : Ini merupakan perancuan terhadap orang-orang
yang bodoh dan merupakan kedustaan yang nyata, karena Arsy Allah yang Dia
bersemayam diatasnya tidak memiliki makna kecuali satu makna saja, walaupun
Arsy secara umum memiliki beberapa makna. Akan tetapi huruf lam disini adalah
untuk menunjukkan sesuatu yang telah diketahui sebelumnya (Al ‘Ahd), maka hal
itu membuat makna Arsy menjadi tertentu saja yaitu Arsy Arrabb yang bermakna
singgasana kerajaannya yang telah disepakati dan diakui para rasul dan para
umat kecuali orang yang menentang para Rasul…Lihat Mukhtashar Shawaiqul
Mursalah 1/17-18.
Pendapat para Shahabat
Rasulullah ﷺ, para Tabi’in, para
‘Aimmatul Arba’ (Imam 4) dan para Ulama Sesudahnya tentang Allah Berada Di atas
Langit dan Bersemayam Di atas Arsy-Nya
Abu Bakar ash Shidiq
radhiyallahu ‘anhu berkata, “Barang siapa yang menyembah Allah maka Allah
berada di langit, ia hidup dan tidak mati.” [Riwayat Imam ad Darimiy dalam Ar
Radd ‘Alal Jahmiyah].
Dari Zaid bin Aslam, dia
berkata,
مر ابن عمر براع فقال هل من جزرة فقال ليس هاهنا
ربها قال ابن عمر تقول له أكلها الذئب قال
فرفع رأسه إلى السماء وقال فأين الله فقال ابن عمر أنا والله أحق أن أقول أين الله
واشترى الراعي والغنم فأعتقه وأعطاه الغنم
“(Suatu saat) Ibnu ‘Umar
melewati seorang pengembala. Lalu beliau berkata, “Adakah hewan yang bisa disembelih?”
Pengembala tadi mengatakan, “Pemiliknya tidak ada di sini.” Ibnu Umar
mengatakan, “Katakan saja pada pemiliknya bahwa ada serigala yang telah
memakannya.” Kemudian pengembala tersebut menghadapkan kepalanya ke langit.
Lantas mengajukan pertanyaan pada Ibnu Umar, ”Lalu di manakah Allah?” Ibnu ‘Umar
malah mengatakan, “Demi Allah, seharusnya aku yang berhak menanyakan padamu ‘Di
mana Allah?’.”
Kemudian setelah Ibnu Umar
melihat keimanan pengembala ini, dia lantas membelinya, juga dengan hewan
gembalaannya (dari Tuannya). Kemudian Ibnu Umar membebaskan pengembala tadi dan
memberikan hewan gembalaan tadi pada pengembara tersebut. [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghaffar no. 311. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad riwayat ini
jayyid sebagaimana dalam Mukhtashar Al ‘Uluw no. 95, hal. 127].
Ibnu Mas’ud Radhiyallahu
‘anhu.
بَيْنَ السَمَاء السَابِعَةِ و الكُرْسِي
خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَبَيْنَ الكُرْسِي والمَاء خَمْسَمِائَةِ عَامٍ وَالْعَرْشُ
فَوْقَ الْمَاءِ وَاللهُ فَوْقَ الْعَرْشِ
Antara langit ketujuh dan
kursi lima ratus tahun dan antara kursi dan air lima ratus tahun dan Al Arsy
diatas air dan Allah Subhanahu wa Ta’ala diatas Al Arsy. Atsar yang shahih, dikeluarkan oleh
ibnu Khuzaimah dalam kitab Attauhid hal.105, Addaarimiy dalam Arrad ‘alal
Jahmiyah hal.26-27 dan Alalikaaiy dalam Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunnah
3/396 dan dibawakan Ibnul Qayim dalam Ijtimaul Juyusy Al Islamiyah hal.100, dan
berkata diriwayatakan oleh Sunaid bin Daud dengan sanad yang shahih.
01. Ibnu Abbas menemui ‘Aisyah. Ibnu Abbas
berkata padanya,
كنت أحب نساء رسول الله صلى الله عليه وسلم ولم
يكن يحب إلا طيبا وأنزل الله براءتك من فوق سبع سموات
“Engkau adalah wanita yang
paling dicintai oleh Rasulullah ﷺ.
Tidaklah engkau dicintai melainkan kebaikan (yang ada padamu). Allah pun
menurunkan perihal kesucianmu dari atas langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghaffar no. 335].
Dalam riwayat lainnya, Ibnu
‘Abbas mengatakan,
إذا نزل الوحي سمعت الملائكة صوتا كصوت الحديد
“Jika wahyu turun, aku
mendengar malaikat bersuara seperti suara besi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghaffar no. 295. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat hadits ini tsiqah
(terpercaya) sebagaimana dalam Mukhtashar Al ‘Uluw no. 93, hal. 126].
Jika dikatakan bahwa wahyu
itu turun dan wahyu itu dari Allah, ini menunjukkan bahwa Allah berada di atas
karena sesuatu yang turun pasti dari atas ke bawah.
02. Dari Ka’ab Al Ahbar [meninggal pada tahun 32
atau 33 H] berkata bahwa Allah ‘azza wa jalla dalam taurat berfirman,
أنا الله فوق عبادي وعرشي فوق جميع خلقي وأنا على
عرشي أدبر أمور عبادي ولا يخفى علي شيء في السماء ولا في الأرض
“Sesungguhnya Aku adalah
Allah. Aku berada di atas seluruh hamba-Ku. ‘Arsy-Ku berada di atas seluruh
makhluk-Ku. Aku berada di atas ‘Arsyku. Aku-lah pengatur seluruh urusan
hamba-Ku. Segala sesuatu di langit maupun di bumi tidaklah samar bagi-Ku. ”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 315. Adz Dzahabi mengatakan bahwa sanadnya shahih. Begitu pula Ibnul
Qayyim dalam Ijtima’ul Juyusy Al Islamiyah mengatakan bahwa riwayat ini
shahih].
03. Masruq rahimahullah [wafat tahun 63 H]
menceritakan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
حدثتني الصديقة بنت الصديق حبيبة حبيب الله،
المبرأة من فوق سبع سموات.
“’Aisyah -wanita yang shidiq
anak dari orang yang shidiq (Abu Bakar), kekasih di antara kekasih Allah, yang
disucikan oleh Allah yang berada di atas
langit yang tujuh.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 317. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim
dan sanadnya sampai pada Abu Shafwan itu shahih. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw,
hal. 128].
04. ‘Ubaid bin ‘Umair rahimahullah mengatakan,
ينزل الرب عزوجل شطر الليل إلى السماء الدنيا
فيقول من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر له حتى إذا كان الفجر صعد الرب عزوجل
أخرجه عبد الله بن الإمام أحمد في كتاب الرد على الجهمية تصنيفه
“Allah ‘azza wa jalla turun
ke langit dunia pada separuh malam. Lalu Allah berkata, “Siapa saja yang
memohon kepada-Ku, maka akan Kuberi. Siapa saja yang meminta ampun kepada-Ku,
maka akan Kuampuni.” Jika fajar telah terbit, Allah pun naik.”
Dikeluarkan oleh ‘Abdullah
bin Imam Ahmad dalam kitab karyanya yang berisi bantahan terhadap Jahmiyah.
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 320].
05. Imam Abu Hanifah Rahimahullah (tahun 80-150
H)
Sikap Keras Abu Hanifah
Terhadap Orang Yang Tidak Tahu Di Manakah Allah :
Imam Abu Hanifah mengatakan dalam
Fiqhul Akbar,
من انكر ان الله تعالى في السماء فقد كفر
“Barangsiapa yang mengingkari
keberadaan Allah di atas langit, maka ia kafir.”
Itsbatu Shifatul ‘Uluw, Ibnu
Qudamah Al Maqdisi, hal. 116-117, Darus Salafiyah, Kuwait, cetakan pertama,
1406 H..
Dari Abu Muthi’ Al Hakam bin
Abdillah Al Balkhiy -pemilik kitab Al Fiqhul Akbar–
7
(Imam Adz-Dzahaby dalam
kitabnya Mukhtashar Al ‘Uluw, Tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani,
hal. 136-137, Al Maktab Al Islamiy, yang memberikan pelajaran cukup berharga
dari beliau rahimahullah menandakan bahwa kitab Fiqhul Akbar bukanlah milik
Imam Abu Hanifah), beliau berkata,
سألت أبا حنيفة عمن يقول لا أعرف ربي في السماء
أو في الأرض فقال قد كفر لأن الله تعالى يقول الرحمن على العرش استوى وعرشه فوق
سمواته فقلت إنه يقول أقول على العرش
استوى ولكن قال لا يدري العرش في السماء أو في الأرض قال إذا أنكر أنه في السماء فقد كفر رواها صاحب
الفاروق بإسناد عن أبي بكر بن نصير بن يحيى عن الحكم
Aku bertanya pada Abu Hanifah
mengenai perkataan seseorang yang menyatakan, “Aku tidak mengetahui di manakah
Rabbku, di langit ataukah di bumi?” Imam Abu Hanifah lantas mengatakan, “Orang
tersebut telah kafir karena Allah Ta’ala sendiri berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy”. QS. Thaha: 5
Dan ‘Arsy-Nya berada di atas
langit.” Orang tersebut mengatakan lagi, “Aku berkata bahwa Allah memang
menetap di atas ‘Arsy.” Akan tetapi orang ini tidak mengetahui di manakah
‘Arsy, di langit ataukah di bumi. Abu Hanifah lantas mengatakan, “Jika orang
tersebut mengingkari Allah di atas langit, maka dia kafir.”Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghafar, Adz Dzahabi, hal. 135-136, Maktab Adhwaus Salaf, Riyadh,
cetakan pertama, 1995…Ini diriwayatkan oleh pemilik “Al-Faruq” dengan isnad
dari Abu Bakr bin Nushair bin Yahya dari Al-Hakam
Al Imam Adz-Dzahabi dalam
kitabnya “Al-’Uluw” mengatakan :
سمعت القاضي الإمام تاج الدين عبد الخالق بن
علوان قال سمعت الإمام أبا محمد عبد الله أحمد المقدسي مؤلف المقنع رحم الله ثراه
وجعل الجنة مثواه يقول بلغني عن أبي حنيفة رحمه الله أنه قال من أنكر أن الله
عزوجل في السماء فقد كفر.
(ص
135 – 136)
Dan saya mendengar Al-Qodhi
Al-Imam Tajuddin Abdullah bin ‘Ulwan berkata, saya mendengar Al-Imam Abu
Muhammad Abdullah bin Ahmad Al-Maqdisi penulis “Al-Mugni’” –semoga Alloh
mencurahkan rahmat pada kekayaan beliau dan menjadikan surga sebagai tempat
tinggal beliau- mengatakan, telah sampai pada saya dari Abu Hanifah –semoga
Alloh mencurahkan rahmat pada beliau- bahwa beliau berkata, ‘Barangsiapa yang
mengingkari bahwa Allah ‘Azza wa Jalla di langit maka sungguh dia telah kafir’.
(Halaman 135-136)
Menarik pembahasan tentang
Al-Hakam ibn Abdullah, Abu Muth’i Al-Balkhy, sang sahabat Imam Abu Hanifah
rahimahullah, ini dalam beberapa pendapat ulama-ulama hadits, beliau dihukumi
sebagai perawi yg dhaif bahkan diantara mereka menghukumi dengan dhaifun hadits
wa shahibun ra’yi..
Al Imam Adz-Dzahabi dalam
kitabnya “Al-Mizaanul I’tidal jilid 3 hal 121-122” mengatakan bahwa
abu-muth'i-1
Al-Hakam bin Abdullah, Abu
Muth’i Al-Balkhy adalah seorang yg buruk riwayatnya. Berkata Ibnu Ma’in, Dia
tidak diketahui dan dhaif. Berkata Imam Bukhari, Dia dhaif haditsnya. Berkata
An-Nasa’i, Dhaif haditsnya. Berkata Imam Ahmad, Tidak boleh meriwayatkan hadits
darinya. Dan berkata Abu Daud, Dia seorang jahmiyyah..
Al-Hafidz, Syaikhul Islam fiil
Hadits, Imam Ibn Abi Hatim Ar-Razi rahimahullah dalam kitabnya ” Al-Jarh wa
Ta’dil jilid 3 hal 121-122″ mengatakan bahwa,
abu-muth'i-2abu-muth'i-3
Al-Hakam ibn Abdullah, Abu
Muth’i Al-Balkhy, dia selalu meriwayatkan berdasarkan akal..Saya bertanya
kepada bapakku (Al-Hafidz, Imam Ahlul Hadits, Abu Hatim Ar-Razi rahimahullah)
tentang Abi Muth’i Al-Balkhy, Dia seorang Qadhi dan dia seorang Murji’ah..Dia
seorang yang dhaif haditsnya..
Demikian pendapat sebagian
para ulama ahli hadits tentang biografi seorang ulama yang bernama Al-Hakam ibn
Abdullah, Abu Muth’i Al-Balkhy, pemilik kitab ‘Al-FIQH AL-AKBAR / AL-FIQH
AL-ABSATH, yang dimana mereka menghukumi sebagai seorang yang cacat haditsnya
dan sebagian dari mereka menyebutnya sebagai murjiah dan jahmiyyah..
06. Imam Malik rahimahullah (tahun 93-179 h)
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Ahmad bin Hanbal dalam Ar-Radd ‘alal-Jahmiyyah : Telah menceritakan ayahku,
kemudian ia menyebutkan sanadnya dari ‘Abdullah bin Naafi’, ia berkata : Telah
berkata Malik bin Anas :
الله في السماء، وعلمه في كل مكان، لا يخلو منه
شيء.
“Allah berada di atas langit,
dan ilmu-Nya berada di setiap tempat. Tidak ada terlepas dari-Nya sesuatu”.
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah dalam As-Sunnah hal. 5, Abu Dawud dalam Al-Masaail
hal. 263, Al-Aajuriiy hal. 289, dan Al-Laalikaa’iy 1/92/2 dengan sanad shahih –
dinukil melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 140 no. 130.
Diriwayatkan dari Yahya bin
Yahya At Taimi, Ja’far bin ‘Abdillah, dan sekelompok ulama lainnya, mereka
berkata,
جاء رجل إلى مالك فقال يا أبا عبد الله الرحمن
على العرش استوى كيف استوى قال فما رأيت مالكا وجد من شيء كموجدته من مقالته وعلاه
الرحضاء يعني العرق وأطرق القوم فسري عن مالك وقال الكيف غير معقول والإستواء منه
غير مجهول والإيمان به واجب والسؤال عنه بدعة وإني أخاف أن تكون ضالا وأمر به
فأخرج
“Suatu saat ada yang
mendatangi Imam Malik, ia berkata: “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Malik), Allah
Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy” QS. Thaha: 5.
Lalu bagaimana Allah
beristiwa’ (menetap tinggi)?” Dikatakan, “Aku tidak pernah melihat Imam Malik
melakukan sesuatu (artinya beliau marah) sebagaimana yang ditemui pada orang
tersebut. Urat beliau pun naik dan orang tersebut pun terdiam.” Kecemasan
beliau pun pudar, lalu beliau berkata,
الكَيْفُ غَيْرُ مَعْقُوْلٍ وَالإِسْتِوَاءُ
مِنْهُ غَيْرُ مَجْهُوْلٍ وَالإِيْمَانُ بِهِ وَاجِبٌ وَالسُّؤَالُ عَنْهُ
بِدْعَةٌ وَإِنِّي أَخَافُ أَنْ تَكُوْنَ ضَالاًّ
“Hakekat dari istiwa’ tidak
mungkin digambarkan, namun istiwa’ Allah diketahui maknanya. Beriman terhadap
sifat istiwa’ adalah suatu kewajiban. Bertanya mengenai (hakekat) istiwa’
adalah bid’ah. Aku khawatir engkau termasuk orang sesat.” Kemudian orang
tersebut diperintah untuk keluar. Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar, hal. 378.
Inilah perkataan yang shahih
dari Imam Malik. Perkataan beliau sama dengan keyakinan para shahabat, para
ulama dan imam Ahlus Sunnah lainnya.
07. Imam Syafi’i rahimahullah (tahun 150-204 h)
Syaikhul Islam berkata bahwa
telah mengabarkan kepada kami Abu Ya’la Al Khalil bin Abdullah Al Hafizh,
beliau berkata bahwa telah memberitahukan kepada kami Abul Qasim bin ‘Alqamah
Al Abhariy, beliau berkata bahwa Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Raziyah telah
memberitahukan pada kami, dari Abu Syu’aib dan Abu Tsaur, dari Abu Abdillah
Muhammad bin Idris Asy Syafi’i (yang terkenal dengan Imam Syafi’i), beliau
berkata,
القول في السنة التي أنا عليها ورأيت اصحابنا
عليها اصحاب الحديث الذين رأيتهم فأخذت عنهم مثل سفيان ومالك وغيرهما الإقرار
بشهادة ان لااله الا الله وان محمدا رسول الله وذكر شيئا ثم قال وان الله على عرشه
في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء وان الله تعالى ينزل الى السماء الدنيا كيف شاء
وذكر سائر الاعتقاد
“Perkataan dalam As Sunnah
yang aku dan pengikutku serta pakar hadits meyakininya, juga hal ini diyakini
oleh Sufyan, Malik dan selainnya. “Kami mengakui bahwa tidak ada sesembahan
yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah. Kami pun mengakui bahwa
Muhammad adalah utusan Allah.” Lalu Imam Asy Syafi’i mengatakan, “Sesungguhnya
Allah berada di atas ‘Arsy-Nya yang berada di atas langit-Nya, namun walaupun
begitu Allah pun dekat dengan makhluk-Nya sesuai yang Dia kehendaki. Allah
Ta’ala turun ke langit dunia sesuai dengan kehendak-Nya.” Kemudian beliau
rahimahullah menyebutkan beberapa keyakinan (i’tiqad) lainnya. Lihat Itsbatu
Shifatul ‘Uluw, hal. 123-124. Dan disebutkan pula dalam Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghafar, hal.165
08. Imam Ahmad bin Hambal (tahun 164-241 h)
Adz Dzahabiy rahimahullah
mengatakan, “Pembahasan dari Imam Ahmad mengenai ketinggian Allah di atas
seluruh makhluk-Nya amatlah banyak. Karena beliaulah pembela sunnah, sabar
menghadapi cobaan, semoga beliau disaksikan sebagai ahli surga. Imam Ahmad
mengatakan kafirnya orang yang mengatakan Al Qur’an itu makhluk, sebagaimana
telah mutawatir dari beliau mengenai hal ini. Beliau pun menetapkan adanya
sifat ru’yah (Allah itu akan dilihat di akhirat kelak) dan sifat Al ‘Uluw
(ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya).” Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghafar,
hal. 176. Lihat pula Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 189.
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanya,
ما معنى قوله وهو معكم أينما كنتم و ما يكون من
نجوى ثلاثه الا هو رابعهم قال علمه عالم الغيب والشهاده علمه محيط بكل شيء شاهد
علام الغيوب يعلم الغيب ربنا على العرش بلا حد ولا صفه وسع كرسيه السموات والأرض
“Apa makna firman Allah,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dan Allah bersama kamu di
mana saja kamu berada.” (QS. Al Hadiid: 4)
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ
رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7)
Yang dimaksud dengan kebersamaan
tersebut adalah ilmu Allah. Allah mengetahui yang ghaib dan yang nampak. Ilmu
Allah meliputi segala sesuatu yang nampak dan yang tersembunyi. Namun Rabb kita
tetap menetap tinggi di atas ‘Arsy, tanpa dibatasi dengan ruang, tanpa dibatasi
dengan bentuk. Kursi-Nya meliputi langit dan bumi. Kursi-Nya pun meliputi
langit dan bumi.”
Diriwayatkan dari Yusuf bin
Musa Al Ghadadiy, beliau berkata,
قيل لأبي عبد الله احمد بن حنبل الله عز و جل فوق
السمآء السابعة على عرشه بائن من خلقه وقدرته وعلمه بكل مكان قال نعم على العرش و
لايخلو منه مكان
Imam Ahmad bin Hambal pernah
ditanyakan, “Apakah Allah ‘azza wa jalla berada di atas langit ketujuh, di atas
‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya, sedangkan kemampuan dan ilmu-Nya di
setiap tempat (di mana-mana)?” Imam Ahmad pun menjawab, “Betul sekali. Allah
berada di atas ‘Arsy-Nya, setiap tempat tidaklah lepas dari ilmu-Nya.”Lihat
Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 116
Abu Bakr Al Atsram mengatakan
bahwa Muhammad bin Ibrahim Al Qaisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad
bin Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa
mengetahui Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang
tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”
Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118
09. Imam Adh-Dhahhaak [wafat th. 102 H].
Ahmad (bin Hanbal)
meriwayatkan dengan sanadnya sampai Adh-Dhahhaak tentang ayat (yang artinya) :
‘Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang
keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang
keenamnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7); maka Adh-Dhahhaak berkata :
هو على العرش وعلمه معهم
“Allah berada di atas ‘Arsy,
dan ilmu-Nya bersama mereka”. [As-Sunnah
oleh ‘Abdullah bin Ahmad bin Hanbal hal. 80 – melalui perantaraan Al-Masaail
war-Rasaail Al-Marwiyyatu ‘anil-Imam Ahmad bin Hanbal fil-‘Aqiidah oleh
‘Abdullah bin Sulaimaan Al-Ahmadiy, 1/319; Daaruth-Thayyibah, Cet. 1/1412].
10. Qatadah rahimahullah [wafat tahun 118 H]
mengatakan bahwa Bani Israil berkata,
يا رب أنت في السماء ونحن في الأرض فكيف لنا أن
نعرف رضاك وغضبك قال إذا رضيت استعملت عنكم عليكم خياركم وإذا غضبت إستعلمت عليكم
شراركم هذا ثابت عن قتادة أحد الحفاظ الكبار
“Wahai Rabb, Engkau di atas
langit dan kami di bumi, bagaimana kami bisa tahu jika Engkau ridho dan Engkau
murka?” Allah Ta’ala berfirman, “Jika Aku ridho, maka Aku akan memberikan
kebaikan pada kalian. Dan jika Aku murka, maka Aku akan menimpakan kejelekan
pada kalian.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 336. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa sanad riwayat ini hasan. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 131].
11. Dari Malik bin Dinar [wafat pada tahun 130
H], beliau berkata,
خذوا فيقرأ ثم يقول : إسمعوا إلى قول الصادق من
فوق عرشه
“Ambillah (Al Qur’an) ini.
Lalu beliau membacanya, kemudian beliau mengatakan, ‘Hendaklah kalian mendengar
perkataan Ash Shadiq (Yang Maha Jujur yaitu Allah) dari atas ‘Arsy-Nya’.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 348. Adz Dzahabi mengatakan
diriwayatkan dalam Al Hilyah dengan sanad yang shahih. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa mengatakan riwayat ini hasan saja termasuk murah hati. Lihat
Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 131].
12. Harun bin Ma’ruf mengatakan, Dhamrah
mengatakan pada kami dari Shadaqah, dia berkata bahwa dia mendengar Sulaiman At
Taimiy berkata,
لو سئلت أين الله لقلت في السماء
“Seandainya aku ditanyakan di
manakah Allah, maka aku menjawab (Allah berada) di atas langit.” [Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 357. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa periwayat
riwayat ini tsiqah/terpercaya. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 133].
13. Ayyub As Sikhtiyani [wafat th. 131 H].
Hamad bin Zaid mengatakan
bahwa ia mendengar Ayyub As Sikhtiyani berbicara mengenai Mu’tazilah,
إنما مدار القوم على أن يقولوا ليس في السماء شيء
“Mu’tazilah adalah asal
muasal kaum yang mengatakan bahwa di atas langit tidak ada sesuatu apa pun.”
[Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 354].
14. Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman [Wafat tahun 136
H ].
Sufyan Ats Tsauriy mengatakan
bahwa ia pernah suatu saat berada di sisi Rabi’ah bin Abi ‘Abdirrahman kemudian
ada seseorang yang bertanya pada beliau,
الرحمن على العرش استوى كيف استوى
“Ar Rahman (yaitu Allah)
beristiwa’ (menetap tinggi) di atas ‘Arsy, lalu bagaimana Allah beristiwa’?”
Rabi’ah menjawab,
الإستواء غير مجهول والكيف غير معقول ومن الله
الرسالة وعلى الرسول البلاغ وعلينا التصديق
“Istiwa’ itu sudah jelas
maknanya. Sedangkan hakikat dari istiwa’ tidak bisa digambarkan. Risalah
(wahyu) dari Allah, tugas Rasul hanya menyampaikan, sedangkan kita wajib
membenarkan (wahyu tersebut).” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar no. 352.
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa riwayat ini shahih. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw
hal. 132].
15. Al Auza’i Abu ‘Amr ‘Abdurrahman bin ‘Amr
[hidup sebelum tahun 157 H], Seorang Alim di Negeri Syam di Masanya Berbicara
Mengenai Keyakinannya:
قال أبو عبد الله الحاكم أخبرني محمد بن علي
الجوهري ببغداد قال حدثنا إبراهيم بن الهيثم البلدي قال حدثنا محمد بن كثير
المصيصي قال سمعت الأوزاعي يقول كنا والتابعون متوافرون نقول إن الله عزوجل فوق
عرشه ونؤمن بما وردت به السنة من صفاته
Abu ‘Abdillah Al Hakim
mengatakan, Muhammad bin Ali Al Jauhari telah mengabarkan kepadaku di Bagdad.
Ia mengatakan, Ibrahim bin Al Haitsam Al Baladi telah menceritakan pada
kami. Ia mengatakan, Muhammd bin Katsir
Al Missisiy telah menceritakan pada kami. Ia berkata, aku mendengar Al Auza’i
mengatakan, “Kami dan pengikut kami mengatakan bahwa Allah ‘azza wa jalla
berada di atas ‘Arsy-Nya. Kami beriman terhadap sifat-Nya yang ditunjukkan oleh
As Sunnah.” [Dikeluarkan oleh Al Baihaqi dalam Kitab Al Asma’ wa Ash Shifat.
Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 136. Ibnu Taimiyah sebagaimana dalam Al
Aqidah Al Hamawiyah menyatakan bahwa sanadnya shahih, sebagaimana pula hal ini
diikuti oleh muridnya (Ibnul Qayyim) dalam Al Juyusy Al Islamiyah].
16. Dari Abu Ishaq Ats Tsa’labi –seorang pakar
tafsir, ia berkata, “Al Auza’i pernah ditanya mengenai firman Allah Ta’ala,
ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ
“Kemudian Allah menetap
tinggi di atas ‘Arsy-Nya”. Al Auza’iy mengatakan, “Allah berada di atas
‘Arsy-Nya sebagaimana yang Dia sifati bagi Diri-Nya.” [ Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghaffar, 137].
17. Muqaatil bin Hayyaan (semasa dengan Imam Al
Auza’i, beliau hidup sebelum tahun 150 H).
Diriwayatkan oleh ‘Abdullah
bin Ahmad, dari ayahnya, dari Nuuh bin Maimuun, dari Bukair bin Ma’ruuf, dari
Muqaatil bin Hayyaan tentang firman Allah ta’ala : ‘Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya’ (QS. Al-Mujaadalah : 7),
ia berkata :
هو على عرشه، وعلمه معهم.
“Allah berada di atas ‘Arsy,
dan ilmu-Nya bersama mereka”. [Diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam
As-Sunnah hal. 71, Abu Dawud dalam Al-Masaail hal. 263, dan yang lainnya dengan
sanad hasan melalui perantaraan
Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 138 no. 124].
18. Diriwayatkan dari Al Baihaqi dengan sanad
darinya, dari Muqaatil bin Hayyan. Ia berkata, “Allah-lah yang lebih memahami
firman-Nya:
هُوَ الْأَوَّلُ وَالْآَخِرُ
Huwal awwalu wal akhiru …
(Allah adalah Al Awwal dan Al Akhir …) (QS. Al Hadiid: 3). Makna Al Awwalu
adalah sebelum segala sesuatu. Al Akhir adalah setelah segala sesuatu. Azh
Zhahir adalah di atas segala sesuatu. Al Bathin adalah lebih dekat dari segala
sesuatu. Kedekatan Allah adalah dengan ilmu-Nya. Sedangkan Allah sendiri berada
di atas ‘Arsy-Nya.”
Adz Dzahabi mengatakan,
“Muqatil adalah ulama yang tsiqoh dan dia adalah imam besar yang semasa dengan
Al Auza’i.” [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 137. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa dalam sanad yang disebutkan oleh Al Baihaqi (hal. 430-431)
terdapat Ismail bin Qutaibah. Ibnu Abi Hatim tidak memberikan penilaian positif
(ta’dil) atau negatif (jarh) terhadapnya. Telah diriwayatkan pula oleh Abu
Muhammad Abdullah bin Muhammad bin Musa Al Ka’bi, rowi dari atsar ini darinya.
Beliau merupakan guru dari Al Hakim. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 138].
19. Sufyan Ats Tsauri [hidup pada tahun 97-161
H].
روى غير واحد عن معدان الذي يقول فيه ابن المبارك
هو أحد الأبدال قال سألت سفيان الثوري عن قوله عزوجل وهو معكم أينما كنتم قال علمه
Diriwayatkan lebih dari satu
orang dari Mi’dan, yang Ibnul Mubarak juga mengatakan hal ini. Ia mengatakan
bahwa ia bertanya pada Sufyan Ats Tsauri mengenai firman Allah ‘azza wa jalla,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
“Dia (Allah) bersama kalian
di mana saja kalian berada.” (QS. Al Hadid: 4). Sufyan Ats Tsauri menyatakan
bahwa yang dimaksudkan adalah ilmu Allah (yang berada bersama kalian, bukan
dzat Allah, pen). [ Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 137-138].
20. Abdullah bin Al Mubarak [Seorang Alim Besar
Negeri Khurasan tahun 118 – 181 H], Menyatakan Allah Berada di Atas Langit
Ketujuh,
صح عن علي بن الحسن بن شقيق قال قلت لعبد الله بن
المبارك كيف نعرف ربنا عزوجل قال في السماء السابعة على عرشه ولا نقول كما تقول
الجهمية إنه هاهنا في الأرض فقيل هذا
لأحمد بن حنبل فقال هكذا هو عندنا
Telah shahih dari ‘Ali bin Al
Hasan bin Syaqiq, dia berkata, “Aku berkata kepada Abdullah bin Al Mubarak,
bagaimana kita mengenal Rabb kita ‘azza wa jalla. Ibnul Mubarak menjawab, “Rabb
kita berada di atas langit ketujuh dan di atasnya adalah ‘Arsy. Tidak boleh
kita mengatakan sebagaimana yang diyakini oleh orang-orang Jahmiyah yang
mengatakan bahwa Allah berada di sini yaitu di muka bumi.” Kemudian ada yang
menanyakan tentang pendapat Imam Ahmad bin Hambal mengenai hal ini. Ibnul
Mubarak menjawab, “Begitulah Imam Ahmad sependapat dengan kami.” [Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 149. Riwayat ini dishahihkan oleh Ibnu Taimiyah
dalam Al Hamawiyah dan Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw,
hal. 152].
21. Abu Bakr Al Atsram mengatakan bahwa Muhammad
bin Ibrahim Al Qaisi mengabarkan padanya, ia berkata bahwa Imam Ahmad bin
Hambal menceritakan dari Ibnul Mubarak ketika ada yang bertanya padanya,
كيف نعرف ربنا
“Bagaimana kami bisa mengetahui
Rabb kami?” Ibnul Mubarak menjawab,
في السماء السابعة على عرشه
“Allah di atas langit yang
tujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” Imam Ahmad lantas mengatakan,
هكذا هو عندنا
“Begitu juga keyakinan kami.”
[ Lihat Itsbat Sifatil ‘Uluw, hal. 118].
22. Diriwayatkan dari Abdullah bin Ahmad ketika
membantah pendapat Jahmiyah dan beliau membawakan sanadnya dari Ibnul Mubarak.
Ia ceritakan bahwa ada seseorang yang mengatakan pada Ibnul Mubarak, “Wahai Abu
‘Abdirrahman (Ibnul Mubarak), sungguh pengenalan tentang Allah menjadi samar
karena pemikiran-pemikiran yang diklaim oleh Jahmiyah.” Ibnul Mubarak lantas
menjawab, “Tidak usah khawatir. Mereka mengklaim bahwa Allah sebagai
sesembahanmu yang sebenarnya berada di atas langit sana, namun mereka katakan
Allah tidak di atas langit.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 150. Syaikh
Al Albani mengatakan dikeluarkan dalam As Sunnah (hal. 7) dari Ahmad bin Nashr,
dari Malik, telah mengabarkan kepadaku seseorang dari Ibnul Mubarak. Seluruh
periwayatnya tsiqah (terpercaya) kecuali yang tidak disebutkan namanya. Lihat
Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 152].
23. ‘Abbad bin Al ‘Awwam [ hidup sekitar tahun
185 H], Muhaddits (Pakar Hadits) dari Daerah Wasith.
قال عباد بن العوام كلمت بشرا المريسي وأصحابه
فرأيت آخر كلامهم ينتهي إلى أن يقولوا ليس في السماء شيء أرى أن لا يناكحوا ولا يوارثوا
‘Abbad bin Al ‘Awwam
mengatakan, “Aku pernah berkata Basyr Al Murasi dan pengikutnya, aku pun
melihat bahwa mereka mengatakan, “Di atas langit tidak ada sesuatu pun. Aku
menilai bahwa orang semacam ini tidak boleh dinikahi dan diwarisi.” [ Lihat Al
‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, 151].
24. ‘Abdurrahman bin Mahdi [hidup pada tahun
125-198 H], Seorang Imam Besar.
ابن مهدي قال إن الجهمية أرادوا أن ينفوا أن يكون
الله كلم موسى وأن يكون على العرش أرى أن يستتابوا فإن تابوا وإلا ضربت أعناقهم
‘Abdurrahman bin Mahdi
mengatakan bahwa Jahmiyah menginginkan agar dinafikannya pembicaraan Allah
dengan Musa, dinafikannya keberedaan Allah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Orang
seperti ini mesti dimintai taubat. Jika tidak, maka lehernya pantas
dipenggal. [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghaffar, hal. 159. Dikeluarkan pula oleh Abdullah (hal. 10-11) dari jalannya,
disebutkan secara ringkas. Ibnul Qayyim menshahihkan riwayat ini dalam Al
Juyusy. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw hal. 170].
25. Syaikhul Islam Yazid bin Harun [hidup sebelum
tahun 206 H],
قال الحافظ أبو عبد الرحمن بن الإمام أحمد في
كتاب الرد على الجهمية حدثني عباس العنبري أخبرنا شاذ بن يحيى سمعت يزيد بن هارون
وقيل له من الجهمية قال من زعم أن الرحمن على العرش استوى على خلاف ما يقر في قلوب
العامة فهو جهمي
Al Hafizh Abu ‘Abdirrahman
bin Al Imam Ahmad dalam kitab bantahan terhadap Jahmiyah, ia mengatakan, ‘Abbas
Al Ambari telah menceritakan padaku, ia mengatakan, Syadz bin Yahya telah
menceritakan pada kami bahwa ia mendengar Yazid bin Harun ditanya tentang
Jahmiyah. Yazid mengatakan, “Siapa yang mengklaim bahwa Allah Yang Maha
Pengasih menetap tinggi di atas ‘Arsy namun menyelisih apa yang diyakini oleh
hati mayoritas manusia, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghaffar, 157. Abdullah bin Ahmad mengeluarkan dalam As Sunnah (hal. 11-12) dari
jalannya. Namun Adz Dzahabi menyebutkan dari selain kitab itu yaitu dalam kitab
Ar Radd ‘alal Jahmiyah (bantahan terhadap Jahmiyah), Abdullah berkata, Abbas
bin Al ‘Azhim Al Ambari telah mengabarkan pada kamim Syadz bin Yahya telah
menceritakan pada kami. Juga riwayat ini dikeluarkan oleh Abu Daud dalam Masail
(hal. 268), ia berkata, Ahmad bin Sinan telah menceritakan pada kami, ia
berkata: Aku mendengar Syadz bin Yahya. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 168].
26. Sa’id bin ‘Amir Adh Dhuba’i [hidup pada tahun
122-208 H], Ulama Bashrah.
قال عبد الرحمن بن أبي حاتم حدثنا أبي قال حدثت
عن سعيد ابن عامر الضبعي أنه ذكر الجهمية فقال هم شر قولا من اليهود والنصارى قد إجتمع اليهود والنصارى وأهل الأديان مع
المسلمين على أن الله عزوجل على العرش وقالوا هم ليس على شيء
‘Abdurrahman bin Abi Hatim
berkata, ayahku menceritakan kepada kami, ia berkata aku diceritakan dari Sa’id
bin ‘Amir Adh Dhuba’I bahwa ia berbicara mengenai Jahmiyah. Beliau berkata,
“Jahmiyah lebih jelek dari Yahudi dan Nashrani. Telah diketahui bahwa Yahudi
dan Nashrani serta agama lainnya bersama kaum muslimin bersepakat bahwa Allah
‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy. Sedangkan Jahmiyah, mereka katakan
bahwa Allah tidak di atas sesuatu pun.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar,
hal. 157 dan Mukhtashar Al ‘Uluw hal. 168].
27. Wahb bin Jarir [meninggal tahun 206 H], Ulama
Besar Bashrah,
محمد بن حماد قال سمعت وهب بن جرير يقول إياكم
ورأي جهم فإنهم يحاولون أنه ليس شيء في السماء وما هو إلا من وحي إبليس ما هو إلا
الكفر
Muhammad bin Hammad
mengatakan bahwa ia mendengar Wahb bin Jarir berkata, “Waspadalah dengan
pemikiran Jahmiyam. Sesungguhnya mereka memalingkan makna bahwa di atas langit
sesuatu pun (berarti Allah tidak di atas langit, pen). Sesungguhnya pemikiran
semacam ini hanyalah wahyu dari Iblis. Perkataan semacam tidak lain hanyalah
perkataan kekufuran.” [Lihat Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 159. Atsar ini
dishahihkan oleh Ibnul Qayyim dalam Al Juyusy. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal.
170].
28. Al Qa’nabi [meninggal tahun 221 H], Ulama
Besar di Masanya,
قال بنان بن أحمد كنا عند القعنبي رحمه الله فسمع
رجلا من الجهمية يقول الرحمن على العرش استوى فقال القعنبي من لا يوقن أن الرحمن
على العرش استوى كما يقر في قلوب العامة فهو جهمي أخرجهما عبد العزيز القحيطي في
تصانيفه والمراد بالعامة عامة أهل العلم كما بيناه في ترجمة يزيد بن هارون إمام
أهل واسط ولقد كان القعنبي من أئمة الهدى حتى لقد تغالى فيه بعض الحفاظ وفضله على
مالك الإمام
Bunan bin Ahmad mengatakan,
“Aku pernah berada di sisi Al Qa’nabi, ia mendengar seorang yang berpahaman
Jahmiyah menyebutkan firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah)
menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thaha: 5], Al Qa’nabi lantas mengatakan,
“Siapa yang tidak meyakini Ar Rahman (yaitu Allah) menetap tinggi di atas ‘Arsy
sebagaimana diyakini oleh para ulama, maka ia adalah Jahmi.” [Lihat Al ‘Uluw
lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 166. Bunan bin Ahmad tidak mengapa, sejarah hidupnya
disebutkan di Tarikh Bagdad. Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 178].
29. Abdullah bin Az Zubair Al Qurasyi Al Asadi Al
Humaidi [meninggal tahun 219 H, Ulama Besar Makkah, Murid dari Sufyan bin
‘Uyainah, Guru dari Imam Al Bukhari], mengatakan:
أصول السنة عندنا فذكر أشياء ثم قال وما نطق به
القرآن والحديث مثل وقالت اليهود يد الله مغلولة غلت أيديهم ومثل قوله والسموات
مطويات بيمينه وما أشبه هذا من القرآن والحديث لا نزيد فيه ولا نفسره ونقف على ما
وقف عليه القرآن والسنة ونقول الرحمن على العرش استوى ومن زعم غير هذا فهو مبطل
جهم
Aqidah yang paling pokok yang
kami yakini (lalu beliau menyebutkan beberapa hal): Ayat atau hadits yang
menyebutkan (misalnya tangan Allah, pen),
وَقَالَتِ الْيَهُودُ يَدُ اللَّهِ مَغْلُولَةٌ
غُلَّتْ أَيْدِيهِمْ
“Orang-orang Yahudi berkata:
“Tangan Allah terbelenggu”, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu” [ QS.
Al Maidah: 64].
Semisal pula firman Allah,
وَالسَّماوَاتُ مَطْوِيَّاتٌ بِيَمِينِهِ
“Dan langit digulung dengan
tangan kanan-Nya” [ QS. Az Zumar: 67], dan juga ayat dan hadits yang semisal
itu, kami tidak akan menambah dan kami tidak akan menafsirkan (bagaimanakah
hakekat sifat tersebut). Kami cukup berdiam diri sebagaimana yang dituntunkan
Al Quran dan Hadits Nabawi (yang tidak menyebutkan hakekatnya). Kami pun
meyakini,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah)
menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thaha: 5]. Barangsiapa yang tidak meyakini
seperti ini, maka dialah Jahmiyah yang penuh kebatilan. [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghaffar, hal. 168. Ibnu Taimiyah telah menshahihkan atsar ini dari Al
Humaidi dalam Kitabnya “Mufashal Al I’tiqad”. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw hal.
180].
30. Al-Imam Al-Humaidiy rahimahullah juga berkata
:
وما أشبه هذا من القرآن والحديث، لا نزيد فيه ولا
نفسره. نقف على ما وقف عليه القرآن والسنة. ونقول : (الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ
اسْتَوَى)، ومن زعم غير هذا فهو معطل جهمي.
“Dan ayat-ayat serta
hadits-hadits yang serupa dengan ini (tentang Asma dan Shifat Allah), maka kami
tidak menambah-nambahi dan tidak pula menafsirkannya (menta’wilkannya). Kami
berhenti atas apa-apa yang Al-Qur’an dan As-Sunah berhenti padanya. Dan kami
berkata : ‘(Yaitu) Tuhan Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas ‘Arsy’ (QS.
Thaha : 5). Barangsiapa yang berpendapat selain itu, maka ia seorang Mu’aththil
Jahmiy” [Ushuulus-Sunnah oleh Al-Humaidiy, hal. 42, tahqiq : Misy’aal Muhammad
Al-Haddaadiy; Daar Ibn Al-Atsiir, Cet. 1/1418].
31. Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Razi [meninggal
tahun 221 H], Ulama Hanafiyah, murid dari Muhammad bin Al Hasan.
قال ابن أبي حاتم حدثنا علي بن الحسن بن يزيد
السلمي سمعت أبي يقول سمعت هشام بن عبيد الله الرازي وحبس رجلا في التجهم فجيء به
إليه ليمتحنه فقال له أتشهد أن الله على عرشه بائن من خلقه فقال لا أدري ما بائن
من خلقه فقال ردوه فإنه لم يتب بعد
Ibnu Abi Hatim mengatakan,
‘Ali bin Al Hasan bin Yazid As Sulami telah menceritakan kepada kami, ia berkata,
ayahku berkata, “Aku pernah mendengar Hisyam bin ‘Ubaidillah Ar Razi –ketika
itu beliau menahan seseorang yang berpemikiran Jahmiyah, orang itu didatangkan
pada beliau, lantas beliau pun mengujinya-. Hisyam bertanya padanya, “Apakah
engkau bersaksi bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari
makhluk-Nya.” Orang itu pun menjawab, “Aku tidak mengetahui apa itu terpisah
dari makhluk-Nya.” Hisyam kemudian berkata, “Kembalikanlah ia karena ia masih
belum bertaubat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 169. Riwayat ini juga
dikeluarkan oleh Al Haruwi dalam “Dzammul Kalam” (1/120). Lihat Mukhtashar Al
‘Uluw, hal. 181].
32. Basyr Al Haafi [hidup pada tahun 151-227 H],
Ulama yang Begitu Zuhud di Masanya
Disebutkan oleh Adz Dzahabi,
له عقيدة رواها ابن بطة في كتاب الإبانة وغيره
فمما فيها والإيمان بأن الله على عرشه استوى كما شاء وأنه عالم بكل مكان
Basyr Al Haafi memilki
pemahaman aqidah yang disebutkan oleh Ibnu Battah dalam Al Ibanah dan
selainnya, di antara perkataan beliau adalah: “Beriman bahwa Allah menetap
tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana yang Allah kehendaki. Namun
meski begitu, ilmu Allah di setiap tempat.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar,
hal. 172. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 185].
33. Ahmad bin Nashr Al Khuza’i [meninggal tahun
231 H].
قال إبراهيم الحربي فيما صح عنه قال أحمد بن نصر
وسئل عن علم الله فقال علم الله معنا وهو على عرشه
Ibrahim Al Harbi berkata
mengenai perkataan shahih darinya, yaitu Ahmad bin Nashr berkata ketika ditanya
mengenai ilmu Allah, “Ilmu Allah selalu bersama kita, sedangkan Dzat-Nya tetap
menetap tinggi di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 173.
Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 186-187].
34. Abu Ma’mar Al Qutai’iy [meninggal tahun 236 H, Guru dari Imam
Bukhari dan Imam Muslim].
نقل ابن أبي حاتم في تأليفه عن يحيى بن زكرياء عن
عيسى عن أبي شعيب صالح الهروي عن أبي معمر إسماعيل بن إبراهيم أنه قال آخر كلام
الجهمية أنه ليس في السماء إله
Dinukil dari Ibnu Abi Hatim
dalam karyanya, dari Yahya bin Zakariya, dari ‘Isa, dari Abu Syu’aib Shalih Al
Harawiy, dari Abu Ma’mar Isma’il bin Ibrahim, beliau berkata, “Akhir dari
perkataan Jahmiyah: Di atas langit (atau di ketinggian) tidak ada Allah yang
disembah.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 174-175. Lihat Mukhtashar Al
‘Uluw, hal. 188].
35. ‘Ali bin Al Madini [meninggal tahun 234 H,
Imam Para Pakar Hadits].
قال شيخ الإسلام أبو إسماعيل الهروي أنبأنا محمد
بن محمد بن عبد الله حدثنا أحمد بن عبد الله سمعت محمد بن إبراهيم بن نافع حدثنا
الحسن بن محمد بن الحارث قال سئل علي بن المديني وأنا أسمع ما قول أهل الجماعة قال
يؤمنون بالرؤية وبالكلام وأن الله عزوجل فوق السموات على عرشه استوى
Syaikhul Islam Abu Isma’il Al
Harawi mengatakan, Muhammad bin Muhammad bin ‘Abdillah menceritakan kepada
kami, Ahmad bin Abdillah menceritakan kepada kami, aku mendengar Muhammad bin
Ibrahim bin Naafi’ mengatakan, Al Hasan bin Muhammad bin Al Harits menceritakan
kepada kami, ia berkata, ‘Ali bin Al Madini ditanya dan aku pun mendengarnya,
“Apa perkataan dari Ahlul Jama’ah (Ahlus Sunnah)?” ‘Ali bin Al Madini
mengatakan, “Mereka (Ahlus Sunnah) beriman pada ru’yah (Allah akan dilihat),
mereka beriman bahwa Allah berbicara dan Allah berada di atas langit, menetap
tinggi (beristiwa’) di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal.
175. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 188-189].
36. Ishaq bin Rahuwyah [hidup antara tahun
166-238 H, Ulama Besar Khurasan.
قال أبو بكر الخلال أنبأنا المروذي حدثنا محمد بن
الصباح النيسابوري حدثنا أبو داود الخفاف سليمان بن داود قال قال إسحاق بن راهويه
قال الله تعالى الرحمن على العرش استوى إجماع أهل العلم أنه فوق العرش استوى ويعلم
كل شيء في أسفل الأرض السابعة
Abu Bakr Al Khallal
mengatakan, telah mengabarkan kepada kami Al Maruzi. Beliau katakan, telah
mengabarkan pada kami Muhammad bin Shabah An Naisaburi. Beliau katakan, telah
mengabarkan pada kami Abu Daud Al Khanaf Sulaiman bin Daud. Beliau katakan,
Ishaq bin Rahuwyah berkata, “Allah Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Allah menetap tinggi di atas
‘Arsy” [ QS. Thaha: 5]. Para ulama sepakat (berijma’) bahwa Allah berada di
atas ‘Arsy dan beristiwa’ (menetap tinggi) di atas-Nya. Namun Allah Maha
Mengetahui segala sesuatu yang terjadi di bawah-Nya, sampai di bawah lapis bumi
yang ketujuh. [Lihat Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghafar, hal. 179. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 194].
37. Ishaq bin Rahuwyah,
قال حرب بن إسماعيل الكرماني قلت لإسحاق بن
راهويه قوله تعالى ما يكون من نجوى ثلاثة إلا هو رابعهم كيف تقول فيه قال حيث ما
كنت فهو أقرب إليك من حبل الوريد وهو بائن من خلقه
ثم ذكر عن ابن المبارك قوله هو على عرشه بائن من
خلقه
ثم قال أعلى شيء في ذلك وأبينه قوله تعالى الرحمن
على العرش استوى رواها الخلال في السنة عن حرب
Harb bin Isma’il Al Karmani,
ia berkata bahwa ia berkata pada Ishaq bin Rahuwyah mengenai firman Allah,
مَا يَكُونُ مِنْ نَجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ
رَابِعُهُمْ
“Tiada pembicaraan rahasia
antara tiga orang, melainkan Dia-lah keempatnya.” (QS. Al Mujadilah: 7).
Bagaimanakah pendapatmu mengenai ayat tersebut?”
Ishaq bin Rahuwyah menjawab,
“Dia itu lebih dekat (dengan ilmu-Nya) dari urat lehermu. Namun Dzat-Nya
terpisah dari makhluk. Kemudian beliau menyebutkan perkataan Ibnul Mubarak,
“Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dari makhluk-Nya.”
Lalu Ishaq bin Rahuwyah
mengatakan, “Ayat yang paling gamblang dan paling jelas menjelaskan hal ini
adalah firman Allah Ta’ala,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah)
menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [ QS. Thaha: 5]
Al Khallal meriwayatkannya
dalam As Sunnah dari Harb. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar, hal. 177. Lihat
Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 191].
38. Qutaibah bin Sa’id [hidup tahun 150-240 H],
Ulama Besar Khurasan.
قال أبو أحمد الحاكم وأبو بكر النقاش المفسر
واللفظ له حدثنا أبو العباس السراج قال سمعت قتيبة بن سعيد يقول هذا قول الأئمة في
الإسلام والسنة والجماعة نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه كما قال جل جلاله
الرحمن على العرش استوى وكذا نقل موسى بن هارون عن قتيبة أنه قال نعرف ربنا في
السماء السابعة على عرشه
Abu Ahmad Al Hakim dan Abu
Bakr An Naqasy Al Mufassir (dan ini lafazh dari Abu Bakr), ia berkata, Abul
‘Abbas As Siraj telah menceritakan pada kami, ia berkata, aku mendengar
Qutaibah bin Sa’id berkata, “Ini adalah perkataan para ulama besar Islam, Ahlus
Sunnah wal Jama’ah: Kami meyakini bahwa
Rabb kami berada di atas langit ketujuh di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“Ar Rahman (yaitu Allah)
menetap tinggi di atas ‘Arsy.” [QS. Thaha: 5]. [ Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Ghaffar,
hal. 174. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 187].
38. Begitu pula dinukil dari Musa bin Harun dari
Qutaibah, ia berkata,
نعرف ربنا في السماء السابعة على عرشه
“Kami meyakini bahwa Rabb
kami berada di atas langit ketujuh, di atas ‘Arsy-Nya.” [Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil
Ghaffar, hal. 174. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 187].
39. Al Imam Al ‘Alam Abu Muhammad ‘Abdullah bin
Muslim bin Qutaibah Ad Dainuri [hidup pada tahun 213-276 H]–penulis kitab yang
terkenal yaitu Mukhtalaf Al Hadits- berkata,
قال وفي الإنجيل أن المسيح عليه السلام قال
للحواريين إن أنتم غفرتم للناس فإن أباكم الذي في السماء يغفر لكم ظلمكم أنظروا
إلى الطير فإنهن لا يزرعن ولا يحصدن وأبوكم الذي في السماء هو يرزقهن ومثل هذا في
الشواهد كثير قلت قوله أبوكم كانت هذه الكلمة مستعملة في عبارة عيسى والحواريين
وفي المائدة وقالت اليهود والنصارى نحن أبناء الله وأحباؤه
“Disebutkan dalam Injil bahwa
Al Masih (‘Isa bin Maryam) ‘alaihis salam berkata kepada (murid-muridnya yang
setia) Al Hawariyyun, “Jika kalian memaafkan orang lain, sungguh Rabb kalian
yang berada di atas langit akan mengampuni kezholiman kalian. Lihatlah pada
burung-burung, mereka tidak menanam makanan, Rabb mereka-lah yang berada di
langit yang memberi rizki pada mereka.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 196 dan
Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 216-217. Catatan: Istilah “abukum” (ayah kalian)
untuk menyebut Allah yang digunakan di masa Isa dan sudah tidak berlaku lagi
untuk umat Islam. Demikian dijelaskan oleh Adz Dzahabi].
40. Qutaibah berkata dalam kitabnya Takwiil
Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan keduan dari
Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab
maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka
dibiarkan di atas fitrah mereka dan tidak dipindahkan dari fitrah mereka
tersebut dengan pengajaran.” [Takwiil
Mukhtalafil Hadiits 395].
Adz Dzahabi setelah
membawakan perkataan Qutaibah, beliau mengatakan, “Inilah Qutaibah sudah
dikenal kebesarannya dalam ilmu dan kejujurannya, beliau menukil adanya ijma’
(kesepakatan ulama) mengenai keyakinan Allah di atas langit”. [Al ‘Uluw lil
‘Aliyyil Ghaffar, hal. 174. Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 187].
41. Muhammad bin Aslam Ath Thusi [meninggal dunia
tahun 242 H].
قال الحاكم في ترجمته حدثنا يحيى العنبري حدثنا
أحمد بن سلمة حدثنا محمد بن أسلم قال قال لي عبد الله بن طاهر بلغني أنك لا ترفع
رأسك إلى السماء فقلت ولم وهل أرجو الخير إلا ممن هو في السماء
Al Hakim dalam biografinya
mengatakan, Yahya Al ‘Anbari menceritakan pada kami, Ahmad bin Salamah
menceritakan kepada kami, Muhammad bin Aslam menceritakan kepada kami, beliau
berkata, “’Abdullah bin Thahir berkata padaku, “Telah sampai padaku berita
bahwa engkau enggan mengangkat kepalamu ke arah langit.” Muhammad bin Aslam
menjawab, “Tidak demikian. Bukankah aku selalu mengharap kebaikan dari Rabb
yang berada di atas langit?” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 191 dan Mukhtashar Al ‘Uluw,
hal. 208-209].
42. ‘Abdul Wahhab Al Warraq [meninggal dunia
tahun 250 H].
حدث عبد الوهاب بن عبد الحكيم الوراق بقول ابن
عباس ما بين السماء السابعة إلى كرسيه سبعة آلاف نور وهو فوق ذلك ثم قال عبد الوهاب من زعم أن الله ههنا فهو
جهمي خبيث إن الله عزوجل فوق العرش وعلمه محيط بالدنيا والآخرة
‘Abdul Wahhab bin ‘Abdil
Hakim Al Warraq menceritakan perkataan Ibnu ‘Abbas, “Di antara langit yang
tujuh dan kursi-Nya terdapat 7000 cahaya. Sedangkan Allah berada di atas itu
semua.” Kemudian ‘Abdul Wahhab berkata, “Barangsiapa yang mengklaim bahwa Allah
itu di sini (di muka bumi ini), maka Dialah Jahmiyah yang begitu jelek. Allah
‘azza wa jalla berada di atas ‘Arsy,
sedangkan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu di dunia dan akhirat.”
Adz Dzahabi menceritakan,
bahwa pernah ditanya pada Imam Ahmad bin Hambal, “Alim mana lagi yang jadi
tempat bertanya setelah engkau?” Lantas Imam Ahmad menjawab, “Bertanyalah pada
‘Abdul Wahhab bin Al Warraq”. Beliau pun banyak memujinya. [Lihat Al ‘Uluw,
hal. 193 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 212].
43. Abu Muhammad Ad Darimi, penulis kitab Sunan
Ad Darimi [hidup pada tahun 181-255 H].
Adz Dzahabi mengatakan,
وممن لا يتأول ويؤمن بالصفات وبالعلو في ذلك
الوقت الحافظ أبو محمد عبد الله بن عبد الرحمن السمرقندي الدارمي وكتابه ينبيء
بذلك
“Di antara ulama yang tidak
mentakwil (memalingkan makna) dan benar-benar beriman dengan sifat Allah al
‘Uluw (yaitu Allah berada di ketinggian) saat ini adalah Al Hafizh Abu Muhammad
‘Abdullah bin ‘Abdirrahman As Samarqindi Ad Darimi. Dalam kitab beliau
menjelaskan hal ini.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 195 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal.
214].
44. Harb Al Karmaniy [meninggal dunia pada tahun
270-an H],
قال عبد الرحمن بن محمد الحنظلي الحافظ أخبرني
حرب بن إسماعيل الكرماني فيما كتب إلي أن الجهمية أعداء الله وهم الذين يزعمون أن
القرآن مخلوق وأن الله لم يكلم موسى ولا يرى في الآخرة ولا يعرف لله مكان وليس على
عرش ولا كرسي وهم كفار فأحذرهم
‘Abdurrahman bin Muhammad Al
Hanzhali Al Hafizh berkata, Harb bin Isma’il Al Karmani menceritakan padaku
terhadap apa yang ia tulis padaku, “Sesungguhnya Jahmiyah benar-benar musuh
Allah. Mereka mengklaim bahwa Al Qur’an itu makhluk. Allah tidak berbicara
dengan Musa dan juga tidak dilihat di akhirat. Mereka sungguh tidak tahu tempat Allah di mana, bukan di atas
‘Arsy, bukan pula di atas kursi-Nya. Mereka sungguh orang kafir. Waspadalah
terhadap pemikiran sesat mereka.”
Adz Dzahabi mengatakan bahwa
Harb Al Karmani adalah seorang ulama besar di daerah Karman di zamannya. Ia
mengambil ilmu dari Ahmad dan Ishaq. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 194 dan Mukhtashar
Al ‘Uluw, hal. 213].
45. Al Muzanni [meninggal dunia pada tahun 264 H
dalam usia 80-an tahun].
أنبأنا ابن سلامة عن أبي جعفر الطرطوسي عن يحيى
بن منده حدثنا أحمد بن الفضل أنبأ الياطرقاني سمعت أبا عمر السلمي سمعت أبا حفص
الرفاعي سمعت عمرو بن تميم المكي قال سمعت محمد بن إسماعيل الترمذي سمعت المزني
يقول لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش بصفاته قلت مثل أي شيء قال سميع بصير عليم قدير أخرجها
ابن منده في تاريخه
Ibnu Salamah telah
menceritakan pada kami, dari Abu Ja’far Ath Thurthusi, dari Yahya bin Mandah,
Ahmad bin Al Fadhl telah menceritakan kepada kami, Al Yathuqarni telah menceritakan,
aku mendengar ‘Umar As Sulami, aku mendengar Abu Hafsh Ar Rifa’i, aku mendengar
‘Amr bin Tamim Al Makki, ia berkata, aku mendengar Muhammad bin Isma’il At
Tirmidzi, aku mendengar Al Muzanni berkata,
لا يصح لأحد توحيد حتى يعلم أن الله على العرش
بصفاته
“Ketauhidan seseorang
tidaklah sah sampai ia mengetahui bahwa Allah berada di atas ‘Arsy-nya dengan
sifat-sifat-Nya.” Aku pun berkata, “Sifat-sifat yang dimaksud semisal apa?” Ia
berkata, “Sifat mendengar, melihat, mengetahui dan berkuasa atas segala
sesuatu.” Ibnu Mandah mengeluarkan riwayat ini dalam kitab tarikhnya. [Syaikh
Al Albani mengatakan, “Dari jalur yang dibawakan oleh penulis (Adz Dzahabi)
dengan sanadnya terdapat perawi yang tidak aku kenal semisal ‘Amr bin Tamim Al
Makki.” (Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 201)].
46. Muhammad bin Yahya Adz Dzuhliy [meninggal
dunia pada tahun 258 H].
قال الحاكم قرأت بخط أبي عمرو المستملي سئل محمد
بن يحيى عن حديث عبد الله بن معاوية عن النبي ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
فقال يريد أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
Al Hakim berkata, “Aku
membacakan dengan tulisan pada Abu ‘Amr Al Mustahli, Muhammad bin Yahya ditanya
mengenai hadits ‘Abdullah bin Mu’awiyah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
ليعلم العبد أن الله معه حيث كان
“Supaya hamba mengetahui
bahwa Allah bersama dirinya di mana saja ia berada.”
Lantas Adz Dzuhliy
mengatakan,
أن الله علمه محيط بكل ما كان والله على العرش
“Ketahuilah ilmu Allah itu
meliputi segala sesuatu, namun Allah tetap di atas ‘Arsy-Nya.” [Syaikh Al
Albani mengatakan, “Riwayat ini dibawakan oleh penulis dari Muhammad bin
Nu’aim, aku sendiri tidak mengenalnya.”
(Lihat Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 202)].
47. Muhammad bin Isma’il Al Bukhari [hidup dari
tahun 194-256 H].
قال الإمام أبو عبد الله محمد بن إسماعيل في آخر
الجامع الصحيح في كتاب الرد على الجهمية باب قوله تعالى وكان عرشه على الماء قال
أبو العالية استوى إلى السماء إرتفع وقال
مجاهد في استوى علا على العرش وقالت زينب
أم المؤمنين رضي الله عنها زوجني الله من فوق سبع سموات
Imam Abu ‘Abdillah Muhammad
bin Isma’il Al Bukhari berkata dalam akhir Al Jaami’ Ash Shahih dalam kitab
bantahan kepada Jahmiyah, beliau membawakan Bab firman Allah Ta’ala,
وَكَانَ عَرْشُهُ عَلَى الْمَاءِ
“Dan adalah singgasana-Nya
(sebelum itu) di atas air.” (QS. Hud : 7).
Abul ‘Aliyah mengatakan bahwa
maksud dari ‘istiwa’ di atas langit’ adalah naik. Mujahid mengatakan bahwa
istiwa’ adalah menetap tinggi di atas ‘Arsy. Zainab Ummul Mukminin mengatakan,
“Allah yang berada di atas langit ketujuh yang telah menikahkanku.” [Lihat Al
‘Uluw, hal. 186 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 202].
48. Abu Zur’ah Ar Razi [meninggal tahun 264 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري مصنف ذم الكلام وأهله
أنبا أبو يعقوب القراب أنبأنا جدي سمعت أبا الفضل إسحاق حدثني محمد ابن إبراهيم
الأصبهاني سمعت أبا زرعة الرازي وسئل عن تفسير الرحمن على العرش استوى فغضب وقال
تفسيره كما تقرأ هو على عرشه وعلمه في كل
مكان من قال غير هذا فعليه لعنة الله
Abu Isma’il Al Anshari
–penulis Dzammul Kalam wa Ahlih-, Abu Ya’qub Al Qurab menceritakan, kakekku
menceritakan pada kami, aku mendengar Abul Fadhl Ishaq, Muhammad bin Ibrahim Al
Ash-bahani telah menceritakan padaku, aku mendengar Abu Zur’ah Ar Razi ditanya
mengenai tafsir firman Allah,
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Yaitu) Rabb Yang Maha
Pemurah yang menetap tinggi di atas ‘Arsy .” (QS. Thaha : 5). Beliau lantas
marah. Kemudian beliau pun berkata, “Tafsirnya sebagaimana yang engkau baca.
Allah di atas ‘Arsy-Nya sedangkan ilmu Allah yang berada di mana-mana. Siapa
yang mengatakan selain ini, maka dialah yang akan mendapat laknat Allah.”
[Lihat Al ‘Uluw, hal. 187-188 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 203].
49. Ahmad bin Abul Khair telah menceritakan
kepada kami, dari Yahya bin Yunus, Abu Thalib menceritakan pada kami, Abu Ishaq
Al Barmaki telah menceritakan pada kami, ‘Ali bin ‘Abdul ‘Aziz telah
menceritakan pada kami, ia berkata bahwa ‘Abdurrahman bin Abu Hatim telah
menceritakan pada kami, bahwa dia bertanya pada ayahnya dan Abu Zur’ah mengenai
aqidah Ahlus Sunnah dalam ushuluddin dan apa yang dipahami oleh keduanya
mengenai perkataan para ulama di berbagai negeri dan apa saja keyakinan mereka.
Abu Hatim dan Abu Zur’ah
berkata,
“Yang kami ketahui bahwa
ulama di seluruh negeri di Hijaz, ‘Iraq, Mesir, Syam, Yaman; mereka semua
meyakini bahwa Allah Tabaraka wa Ta’ala berada di atas ‘Arsy-nya, terpisah dari
makhluk-Nya sebagaimana yang Allah sifati pada diri-Nya sendiri dan tanpa kita
ketahui hakikatnya. Sedangkan ilmu Allah meliputi segala sesuatu.” [ Lihat Al
‘Uluw, hal. 188 dan Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 204].
50. Abu Hatim Ar Razi [meninggal dunia tahun 277
H].
قال الحافظ أبو القاسم الطبري وجدت في كتاب أبي
حاتم محمد بن إدريس بن المنذر الحنظلي مما سمع منه يقول مذهبنا وإختيارنا إتباع
رسول الله وأصحابه والتابعين من بعدهم والتمسك بمذاهب أهل الأثر مثل الشافعي وأحمد
وإسحاق وأبي عبيد رحمهم الله تعالى ولزوم الكتاب والسنة ونعتقد أن الله عزوجل على
عرشه بائن من خلقه ليس كمثله شيء وهو السميع البصير
Al Hafizh Abul Qasim Ath
Thabari mengatakan bahwa beliau mendapati dalam kitab Abu Hatim Muhammad bin
Idris bin Al Mundzir Al Hanzhali, perkataan yang didengar darinya, Abu Hatim
mengatakan,
“Pilihan kami adalah
mengikuti Rasulullah, para sahabat, para tabi’in dan yang setelahnya. Kami pun
berpegang dengan madzhab Ahlus Sunnah semacam Asy Syafi’i, Ahmad , Ishaq, Abu
‘Abdillah rahimahumullah. Kami pun konsekuen dengan Al Kitab dan As Sunnah.
Kami meyakini bahwa Allah ‘azza wa jalla menetap tinggi di atas ‘Arsy, terpisah
dari makhluk-Nya. Tidak ada yang semisal dengan-Nya, Dialah (Allah) yang Maha
Mendengar lagi Maha Melihat.”
Lantas Abu Hatim Ar Razi
menyebutkan perkataan,
وعلامة أهل البدع الوقيعة في أهل الأثر وعلامة
الجهمية أن يسموا أهل السنة مشبهة
“Di antara tanda ahlul bid’ah
adalah berbagai tuduhan keliru yang mereka sematkan pada Ahlus Sunnah. Tanda
Jahmiyah adalah mereka menyebut Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (orang yang menyerupakan
Allah dengan makhluk).” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 189-190 dan Mukhtashar Al ‘Uluw,
hal. 206-207].
51. Yahya bin Mu’adz Ar Razi [meninggal dunia
tahun 258 H].
قال أبو إسماعيل الأنصاري في الفاروق بإسناد إلى
محمد بن محمود سمعت يحيى بن معاذ يقول إن الله على العرش بائن من خلقه أحاط بكل
شيء علما لا يشذ عن هذه المقالة إلا جهمي يمزج الله بخلقه
Abu Isma’il Al Anshari
berkata dalam Al Faruq dengan sanad sampai ke Muhammad bin Mahmud, aku
mendengar Yahya bin Mu’adz berkata, “Sesungguhnya Allah di atas ‘Arsy, terpisah
dari makhluk-Nya. Namun ilmu Allah meliputi segala sesuatu. Tidak ada yang
memiliki perkataan nyleneh selain Jahmiyah. Jahmiyah meyakini bahwa Allah
bercampur dengan makhluk-Nya.” [Lihat Al ‘Uluw, hal. 190 dan Mukhtashar Al
‘Uluw, hal. 207-208].
52. Imam ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi [meninggal
tahun 280 H] berkata :
قد اتفقت الكلمة من المسلمين أن الله فوق عرشه
فوق سماواتة
“Sungguh kaum muslimin telah
bersepakat terhadap satu kalimat bahwasannya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya, di
atas langit-langit-Nya”. [Al-Arba’iin
fii Shifaati Rabbil-‘Aalamiin oleh Adz-Dzahabiy, tahqiq ‘Abdul-Qaadir Athaa,
hal. 43 no. 17; Maktabah Al-‘Uluum wal-Hikam, Cet. 1/1413].
53. Imam ‘Utsman bin Sa’id ad-Darimi
berkata: “Hadits ini (tentang hadits
nuzul) sangat pahit bagi kelompok Jahmiyah dan mematahkan faham mereka bahwa
Allah tidak di atas arsy tetapi di bumi sebagaimana Dia juga di langit. Lantas
bagaimanakah Allah turun ke bumi kalau memang Dia sendiri sudah di atas bumi?
Sungguh lafazh hadits ini membantah faham mereka dan mematahkan argumen
mereka”. [Naqdhu Utsman bin Sa’id ‘ala Al-Mirrisi Al-Jahmi Al-Anid hal. 285].
54. Imam ‘Utsman ad-Darimi berkata: “Dalam hadits
ini (tentang budak jariyah) terdapat dalil bahwa seorang apabila tidak
mengetahui kalau Allah itu di atas langit bukan di bumi maka dia bukan seorang
mukmin. Apakah anda tidak tahu bahwa Nabi menjadikan tanda keimanannya adalah
pengetahuannya bahwa Allah di atas langit?!! Dan dalam pertanyaan Nabi ‘Di mana
Allah?’ terdapat bantahan ucapan sebagian kalangan yang mengatakan bahwa Allah
berada di setiap tempat, tidak disifati dengan ‘di mana?’, sebab sesuatu yang
ada di mana-mana tidak mungkin disifati ‘dimana?’. Seandainya Allah ada
dimana-mana sebagaimana anggapan para penyimpang, tentu Nabi akan mengingkari
jawabannya.”. [Ar-Radd ala Jahmiyyah hal. 46-47].
55. Imam Utsman ad-Darimi berkata: “Dan telah sepakat perkataan kaum muslimin
dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan mereka telah
menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di atas langit
-pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya. Bahkan
anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang anak
kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua tangannya ke
Rabb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan tangannya ke arah
selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang Allah dan dimana Allah
daripada Jahmiyah.” [Rad Ad-Darimi Utsmaan bin Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid Hal 25].
56. Abu Ja’far Ibnu Abi Syaibah, Ulama Hadits di
Negeri Kufah [meninggal tahun 297 H].
Al Hafizh Abu Ja’far Muhammad
bin ‘Utsman bin Muhammad bin Abi Syaibah Al ‘Abasi, muhaddits Kufah di masanya,
di mana beliau telah menulis tentang masalah ‘Arsy dalam seribu kitab, beliau
berkata,
ذكروا أن الجهمية يقولون ليس بين الله وبين خلقه
حجاب وأنكروا العرش وأن يكون الله فوقه وقالوا إنه في كل مكان ففسرت العلماء
وهومعكم يعني علمه ثم تواترت الأخبار أن الله تعالى خلق العرش فاستوى عليه فهو فوق
العرش متخلصا من خلقه بائنا منهم
Jahmiyah berkata bahwa antara
Allah dan makhluk-Nya sama sekali tidak ada pembatas. Jahmiyah mengingkari
‘Arsy dan mengingkari keberadaan Allah di atas ‘Arsy. Jahmiyah katakan bahwa
Allah berada di setiap tempat. Padahal para ulama menafsirkan ayat (وهومعكم), Allah
bersama kalian, yang dimaksud adalah dengan ilmu Allah. Kemudian juga telah ada
berbagai berita mutawatir (yang melalui jalan yang amat banyak) bahwa Allah
menciptakan ‘Arsy, lalu beristiwa’ (menetap tinggi) di atasnya. Allah
benar-benar di atas ‘Arsy, namun Allah
terpisah atau tidak menyatu dengan makhluk-Nya. [Lihat Al ‘Uluw, hal. 220 dan
Mukhtashar Al ‘Uluw, hal. 220-221].
57. Zakariyaa As-Saaji (wafat tahun 307 H).
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل
الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah
yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul
Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit,
Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya.”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy
Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482).
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji
adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashrah dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil
ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li
Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qayyim hal
185).
58. Abu Bakr Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah
(223 H-311 H).
Beliau berkata dalam kitabnya
At-Tauhiid :
“Bab : Penyebutan penjelasan
bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan
kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan
sebagaimana hal ini dipahami pada fitrah kaum muslimin, dari kalangan para
ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan
budak-budak mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan
anak-anak kecil mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa
hanyalah mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada
Allah, ke arah atas dan bukan kearah bawah” [At-Tauhiid 1/254].
59. Berkata Muhammad bin Ishaq ibnu Khuzaimah:
“Barangsiapa yang tidak mengatakan bahwa Allah Azza wa Jalla di atas ‘Arsy-Nya,
tinggi di atas tujuh lapis langit, maka dia kafir kepada Rabb-nya; halal
darahnya, diminta taubat kalau mau bertaubat; kalau tidak mau bertaubat, maka
dipenggal lehernya, dibuang jasadnya ke tempat-tempat pembuangan sampah agar
tidak mengganggu kaum muslimin dan para mu’ahad dengan busuknya bau bangkai
mereka. Hartanya menjadi fa’i (rampasan perang untuk baitul maal). Tidak boleh
mewarisinya seorang pun dari kaum muslimin, karena seorang muslim tidak
mewarisi dari seorang kafir sebagaimana ucapan Nabi yang diriwayatkan dari
Usamah bin Zaid :
“Orang muslim tidak mewarisi
dari orang kafir dan orang kafir tidak mewarisi dari orang muslim”. (HR.
Bukhari Muslim). [Aqidatus Salaf Ashabul Hadits, tahqiq Abul Yamin al-Manshuri,
hal. 47].
60. Imam Abu Ja’far Ahmad bin Muhammad Ath
Thahawi rahimahullah [wafat tahun 321 H].
Beliau berkata: “Allah tidak membutuhkan ‘Arsy dan apa yang
ada dibawahnya. Allah menguasai segala sesuatu dan apa yang ada diatasnya. Dan
Dia tidak memberi kemampuan kepada makhluk-Nya untuk mengetahui segala sesuatu.”
Beliau menjelaskan bahwa Allah menciptakan ‘Arsy dan bersemayam di atasnya,
bukanlah karena Allah membutuhkan ‘Arsy tetapi Allah memiliki hikmah tersendiri
tentang hal itu. Bahkan sebaliknya, sekalian makhluk termasuk ‘Arsy bergantung
kepada Allah Jalla wa ‘Ala.” [Lihat Imam al-Qadhi ‘Ali bin ‘Ali bin Muhammad
bin ‘Abdil ‘Izz ad-Dimasyqi dalam Syarh ‘Aqidah at-Thahâwiyah, (hal. 372)].
61. Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari rahimahullah
[lahir tahun 260 H dan wafat pada tahun 324 H].
Beliau berkata dalam kitabnya
Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf)
berkonsensus (ijmak) bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya
bukan di bumi. Hal ini telah ditunjukan oleh firman Allah,
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ
بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir :
10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5).
Dan bukanlah istiwaa’nya di
atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh
qadariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala
sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang
tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi
bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu.
Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya,
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja
kamu berada (QS Al-Hadiid : 4).
Para ahlul ilmi menafsirkan
hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja
mereka berada” [Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234].
62. Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy malah bersaksi
bahwa ciri ahlussunnah adalah sebagai berikut:
“Berkata Ahlussunnah dan Ashhab al-Hadits: “Dia bukan jisim, tidak
menyerupai apapun, Dia ada di atas Arsy seperti yang Dia kabarkan (Thaha: 5).
Kita tidak melancangi Allah dalam ucapan, tetapi kita katakan: istawa tanpa
kaif. Dia adalah Nur (pemberi cahaya) sebagaimana firmann-Nya (an-Nur: 35), Dia
memiliki wajah sebagaimana firman-Nya (al-Rahman: 27), Dia memiliki Yadain (dua
tangan) sebagaimana firman-Nya (Shad: 75), dia memiliki dua ‘ain (mata)
sebagaimana firmanNya (al-Qamar: 14), Dia akan datang pada hari kiamat Dia dan
para malaikat-Nya sebagaiman firman-Nya (al-Fajr: 22), dia turun ke langit
terendah sebagaimana dalam hadits. Mereka tidak mengatakan apapun kecuali apa
yang mereka dapatkan dalam al-Qur`an atau yang datang keterangannya dari
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam.” [Al Maqalat: 136].
63. Al-Imam Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah
berkomentar tentang ‘aqidah Jahmiyyah yang satu ini dengan perkataannya :
وقد قال قائلون من المعتزلة والجهمية والحرورية :
إن معنى استوى إستولى وملك وقهر، وأنه تعالى في كل مكان، وجحدوا أن يكون على عرشه،
كما قال أهل الحق، وذهبوا في الإستواء إلى القدرة، فلو كان كما قالوا كان لا فرق
بين العرش وبين الأرض السابعة لأنه قادر على كل شيء، والأرض شيء، فالله قادر عليها
وعلى الحشوش.
وكذا لو كان مستويا على العرش بمعنى الإستيلاء،
لجاز أن يقال : هو مستو على الأشياء كلها ولم يجز عند أحد من المسلمين أن يقول :
إن الله مستو على الأخلية والحشوش، فبطل أن يكون الإستواء [على العرش] : الإستيلاء.
“Dan telah berkata
orang-orang dari kalangan Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah (Khawarij) :
‘Sesungguhnya makna istiwaa’ adalah menguasai (istilaa’), memiliki, dan
mengalahkan. Allah ta’ala berada di setiap tempat’. Mereka mengingkari
keberadaan Allah di atas ‘Arsy-Nya, sebagaimana yang dikatakan oleh Ahlul-Haq
(Ahlus-Sunnah). Mereka (Mu’tazillah, Jahmiyyah, dan Haruriyyah) memalingkan
(mena’wilkan) makna istiwaa’ kepada kekuasaan/kemampuan (al-qudrah). Jika saja
hal itu seperti yang mereka katakan, maka tidak akan ada bedanya antara ‘Arsy
dan bumi yang tujuh, karena Allah berkuasa atas segala sesuatu. Bumi adalah
sesuatu, dimana Allah berkuasa atasnya dan atas rerumputan.
Begitu juga apabila istiwaa’
di atas ‘Arsy itu bermakna menguasai (istilaa’), maka akan berkonsekuensi untuk
membolehkan perkataan : ‘Allah ber-istiwaa’ di atas segala sesuatu’. Namun
tidak ada seorang pun dari kaum muslimin yang membolehkan untuk berkata :
‘Sesungguhnya Allah ber-istiwaa’ di tanah-tanah kosong dan rerumputan’. Oleh
karena itu, terbuktilah kebathilan perkataan bahwa makna istiwaa’ (di atas
‘Arsy) adalah istilaa’ (menguasai)” [selengkapnya, silakan lihat Al-Ibaanah,
hal. 34-37 – melalui perantaraan Mukhtashar Al-‘Ulluw lidz-Dzahabiy oleh
Al-Albaaniy, hal. 239; Al-Maktab Al-Islamiy, Cet. 1/1401 H].
64. Al Imam Abul Hasan Al-Asy’ari berkata dalam
Al-Ibanah fi Ushul Diyanah hal. 69-76 : “Dan kita melihat seluruh kaum muslimin
apabila mereka berdoa, mereka mengangkat tangannya ke arah langit, karena
memang Allah tinggi di atas arsy dan arsy di atas langit. Seandainya Allah
tidak berada di atas arsy, tentu mereka tidak akan mengangkat tangannya ke arah
arsy.”
65. Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy (beliau
adalah seorang ulama madzhab Asy’ariyyah generasi awal yang terkemuka dan
banyak dipuji, wafat pada tahun 403 H di Baghdad).
Beliau berkata dalam kitabnya
Al-Ibaanah :
“Jika dikatakan : Apakah
kalian mengatakan bahwa Allah berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung
kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas
‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah
berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah
berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?”
Beliau berkata, “Kalau
seandainya Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di
mulutnya, …”
[Sebagaimana dinukil oleh
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtashar Al-’Uluw 258)].
66.
Al-Qaadhiy Abu Bakr Al-Baqillaniy berkata :
Bab : Apabila ada seseorang
yang bertanya : “Dimanakah Allah ?”. Dikatakan kepadanya : “Pertanyaan ‘dimana’
adalah pertanyaan yang menyangkut tempat, dan Dia tidak boleh dilingkupi oleh
satu tempat. Tidak pula satu tempat bisa meliputi-Nya. Namun, kita hanya boleh
mengatakan (atas pertanyaan itu) : ‘Dia berada di atas ‘Arsy-Nya’, dimana hal
itu tidak berkonsekuensi makna wujud badan (jism) yang bersentuhan dan
berbatasan/berdekatan. Maha Tinggi (Allah) dari atas semua itu dengan
setinggi-tinggi dan seagung-agung-Nya !” [At-Tamhiid, hal. 300-301].
67. Ibnu Kullab [241 H] sendiri mengatakan: “Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam, yang
dia itu adalah orang pilihan Allah, dan yang terbaik, paling alim secara
keseluruhan membolehkan untuk bertanya dengan “Dimana Allah”, dan mengatakannya
serta membenarkan ucapan orang yang mengatakan: Di langit, dan pada saat itu
bersaksi bahwa orang itu mukmin. Sedangkan Jahm ibn Abi Shafwan dan pengikutnya
tidak membolehkan pertanyaan “Dimana“, mereka melarang mengucapkan itu.
seandainya salah tentu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak
untuk mengingkari. Seharusnya beliau mengatakan kepada jariyah itu: jangan
berkata begitu nanti kamu mengesankan bahwa Allah itu dibatasi, atau di satu
tempat tidak di tempat lain, tetapi ucapkanlah ada di setiap tempat, karena itu
yang benar, bukan yang tadi kamu katakan. Tidak, sekali kali tidak. Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam telah membolehkannya dengan segenap pengetahuan
beliau tentang kandungannya, dan dia adalah ucapan yang paling benar, sesuatu
yang wajib adanya iman bagi pengucapnya, karena itu rasulullah shalallahu
‘alaihi wasallam menyaksikan keimanannya saat ia mengucapkannya. Lalu bagaimana
kebenaran ada pada selainnya, sementara al-Qur`an mengatakan itu dan bersaksi
untuk itu.” [Dar` at-Ta’arud: 6/193-194; Mawqif ibn taimiah minal asyairah, Dr.
Abdurrahman al-Mahmud: 1/443].
68. Al-Imam Ibnu Baththah (304 H-387 H).
Beliau berkata dalam kitabnya
Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqah An-Naajiyah :
“باب
الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل
العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه
محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب
الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن
الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di
atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para
sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah
-tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana
‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah
menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu
adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka
sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah
Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136).
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu
Baththah termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut
sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284).
69. Imam Abu Umar At-Thalamanki Al Andalusi
(339-429H).
Beliau berkata di dalam
kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul,
” أجمع
المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من
القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش
استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan
Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama
kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg
semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya,
ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
70. Imam Abu Umar At-Thalamanki Al Andalusi juga
mengatakan, “Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah,
yang ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thaahaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya
Allah di atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz.” (Sebagaimana dinukil oleh
Ad-Dzahabi dalam Al-’Uluw 2/1315).
Imam Adz Dzahabi berkata,
“At-Thalamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurraa` di Andalusia”
(Al-’Uluw 2/1315).
71. Syaikhul Islam Abu Utsman Ash Shabuni (372 –
449H).
Beliau berkata, “Para Ahli
Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas
‘arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat
dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan
‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal
44).
Adz Dzahabi berkata,
“Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi
pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw
2/1317).
72. Imam Abu Nashr As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H).
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar
A’laam An-Nubalaa’ 17/656) : Berkata Abu Nashr As-Sijzi di kitab al-Ibaanah,
“Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik, Sufyan Ibnu Uyainah,
Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin Mubaarak, Fudhail Ibnu
‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al Handzali bersepakat (ijmak)
bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya
meliputi setiap ruang, dan Dia di atas
‘arsy kelak akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun
ke langit dunia, Dia murka dan ridha dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”.
Adz-Dzahabi juga menukil perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321.
73. Imam Abu Nu’aim -Pengarang Kitab al
Hilyah-(336-430 H).
Beliau berkata di kitabnya al
I’tiqad :
“Jalan kami adalah jalannya
para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara
hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang
qadiimah…
dan mereka menyatakan dan
menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan
istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil
(memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para
makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur
dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.”
(Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau Mukhtashar Al-’Uluw 261).
Adz Dzahabi berkata, “Beliau
(Imam Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala
puji hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di
zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat
dan ilmu dirayah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk
sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306).
74. Imam Ibnu Abdil Barr (meninggal tahun 463H).
Beliau berkata: “Dalam hadits ini (tentang hadits
nuzul) terdapat dalil bahwasanya Allah berada di atas langit, di atas arsy
sebagaimana dikatakan oleh para ulama. Hadits ini termasuk salah satu hujjah
Ahli Sunnah terhadap kelompok Mu’tazilah dan Jahmiyah yang berpendapat bahwa
Allah ada dimana-mana, bukan di atas arsy”. [At-Tamhid 3/338. Lihat pula Kitab
At-Tauhid hal. 126 oleh Imam Ibnu Khuzaimah, Dar’u Ta’arudzil Aqli wa Naqli 7/7
oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah].
Imam Ibnu Abdil Barr juga
berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap
masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika
mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan
tersebut.” [Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr
2/47].
75. Al-Imam Juwaini (ayahnya Imam Al-Haramain rahimahumallah,
penulis kitab Al-Jauharah, tahun 438 H) berkata:
استوى على عرشه فبان من خلفه لا يخفى عليه منهم
خافية علمه بهم محيط وبصره بهم نافذ وهو في ذاته وصفاته لا يشبهه شيء من مخلوقاته
ولا يمثل بشيء من جوارح مبتدعاته . هي صفات لائقة بجلاله وعظمته لا تتخيل كيفيتها
الظنون ولا ترها في الدنيا العيون . بل نؤمن بحقائقها وثبوتها واتصاف الرب تعالى
بها وننفي عنها تأويل المتأولين وتعطيل الجاحدين وتمثيل المشبهين تبارك الله أحسن
الخالقين فبهذا الرب نؤمن وإياه نعبد وله نصلي ونسجد . فمن قصد بعبادته إلى إله
ليست له هذه الصفات فإنما يعبد غير الله وليس معبوده ذلك بإله
“Dia (Allah) bersemayam di
atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya, tidak ada yang tersembunyi
dari-Nya, ilmu-Nya melingkupi mereka, dan penglihatan terhadap mereka terbukti.
Dalam Dzat dan sifat-Nya, Dia tidak menyerupai makhluk-Nya. Tidak juga
dimisalkan dengan sesuatu dari anggota-anggota badan makhluk-Nya. Ini adalah
sifat-sifat yang sesuai dengan keagungan dan keluhuran-Nya. Bagaimananya tidak
bisa dibayangkan, dan tidak ada mata yang dapat melihat-Nya di dunia. Tapi kita
harus meyakini kebenaran dan ketetapannya, serta menyifati Tuhan dengan
sifat-sifat tersebut. Kita (harus) menafikkan penakwilan dari orang-orang
muta’awwiliin, penolakan dari orang-orang yang ingkar, dan permisalan dari
orang-orang musyabbihiin. Maha Suci Allah dan Ia adalah sebaik-baik pencipta.
Kepada Tuhan ini kita beriman, menyembah, shalat, dan bersujud. Oleh karena
itu, orang yang sengaja beribadah kepada Tuhan yang tidak memiliki sifat-sifat
ini, maka sesungguhnya ia menyembah kepada selain Allah, karena yang
disembahnya itu bukanlah Tuhan.” [Mukhtashar Al-‘Ulluw, hal. 56-57].
76. Imam ‘Abdul Malik al Juwaini [Imam
Al-Haramain, tahun 478 H].
Pernah dikisahkan bahwa suatu
hari Imam ‘Abdul Malik al Juwaini mengatakan dalam majelisnya, “Allah tidak
dimana-mana, sekarang Ia berada di mana pun Dia berada.” Lantas bangkitlah
seorang yang bernama Abu Ja’far al Hamdhani seraya berkata, “Wahai ustadz!
Kabarkanlah kepada kami tentang ketinggian Allah yang sudah mengakar di hati
kami ini, bagaimana kami menghilangkannya?” Abdul Malik al Juwaini berteriak
dan menampar kepalanya seraya mengatakan, “Al Hamdhani telah membuat diriku
bingung, al Hamdhani telah membuat diriku bingung.” [Lihat Siyar A’lamin Nubala
18/475, al ‘Uluw hal. 276-277 oleh Adz Dzahabi].
Akhirnya Imam Juwaini pun
mendapat hidayah Allah dan kembali ke jalan yang benar. Semoga saudara-saudara
kita yang tersesat bisa mengikuti jejak beliau. Amiin.
77. Imam Isma’il bin Muhammad at Taimi berkata,
“Kaum muslimin bersepakat bahwa Allah tinggi sebagaimana ditegaskan dalam Al
Qur’an.” [Ijtima’ Juyusy Islamiyyah hal. 182].
78. Ahmad bin Abdul Halim Al Harani berkata:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ
: فِي الْقُرْآنِ ” أَلْفُ دَلِيلٍ ” أَوْ أَزْيَدُ : تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللَّهَ
تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ . وَقَالَ غَيْرُهُ :
فِيهِ ” ثَلَاثُمِائَةِ ” دَلِيلٍ تَدُلُّ عَلَى ذَلِكَ
“Sebagian ulama besar
Syafi’iyah mengatakan bahwa dalam Al Qur’an ada 1000 dalil atau lebih yang
menunjukkan Allah itu berada di ketinggian di atas seluruh makhluk-Nya. Dan
sebagian mereka lagi mengatakan ada 300 dalil yang menunjukkan hal ini.” [Lihat
Majmu’ Al Fatawa, Ahmad bin Abdul Halim Al Harani, 5/121, Darul Wafa’, cetakan
ketiga, tahun 1426 H. Lihat pula Bayanu Talbisil Jahmiyah, Ahmad bin Abdul
Halim Al Harani, 1/555, Mathba’atul Hukumah, cetakan pertama, tahun 1392 H].
79. Imam Al-Baihaqi (wafat 458 H).
Beliau berkata dalam kitabnya
Al-I’tiqaad wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rasyaad : “Dan maksud Allah adalah
Allah di atas langit, sebagaimana firman-Nya, “Dan sungguh aku akan menyalib
kalian di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman
“Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap
yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari
benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian
merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?” [Al-I’tiqaad wal Hidaayah
ilaa Sabiil Ar-Rasyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah, cetakan
pertama bab Al-Qaul fi Al-Istiwaaa’ (hal
116)].
80. Syaikh Abdul Qadir Jailani [470 H].
Beliau berkata: “Allah,
menggenggam, membuka tangan, mencintai, senang, tidak suka, membenci, ridha,
marah, dan murka. Dia memiliki dua tangan, dan kedua tangan itu kanan, dan
bahwa hati para hamba berada di antara dua jari dari jemari-Nya. Dia berada di
atas, beristiwa’ di atas Arsy, meliputi segala kerajaan-Nya. Nabi shalallahu
‘alaihi wasallam telah menyaksikan keIslâman budak wanita ketika beliau
bertanya kepadanya: “Di mana Allah?” Maka dia menunjuk ke atas. Dan bahwasanya
Arsy Allah itu di atas air. Allah beristiwa’ di atasnya, sebelumnya (di
bawahnya) adalah 70.000 hijab dari cahaya dan kegelapan. Dan bahwa arsy itu
memiliki batasan yang diketahui oleh Allah.”
Beliau juga berkata: “Seharusnya menyebutkan sifat istiwa’ tanpa
ta`wil. Bahwasanya ia adalah istiwa’nya Dzat di atas Arsy, bukan bermakna duduk
dan bersentuhan sebagaimana yang dikatakan oleh kelompok Mujassimah Karromiyah;
juga dalam arti ketinggian (kedudukan) seperti yang dikatakan oleh Asy’arîyyah,
juga bukan beristila’ (menguasai) sebagaimana ucapan Mu’tazilah.”
“Allah juga turun ke langit
terendah dengan cara yang Dia kehendaki, bukan bermakna turun rahmat-Nya atau
pahala-Nya sebagaimana yang dikatakan oleh Mu’tazilah dan Asya’irah.” [‘Abdul
Qadir al-Jailani, al-Ghunyah Li Thalibi `l-Haq, 56-57].
81. Al Imam Ibnu Qudamah [wafat pada tahun 629
H].
Beliau mengatakan, “Amma
ba’du: Sesungguhnya Allah mensifati diri-Nya bahwa Dia tinggi diatas langit,
demikian juga Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam –penutup para Nabi-
mensifati Allah dengan ketinggian juga, dan hal itu disepakati oleh seluruh
para ulama dari kalangan shahabat yang bertaqwa dan para imam yang mendalam
ilmunya, hadits-hadits tentangnya juga mutawatir sehingga mencapai derajat
yakin, demikian pula Allah menyatukan semua hati kaum muslimin dan
menjadikannya sebagai fithrah semua makhluk.” [Itsbat Shifatul Uluw hal. 12].
82. Al Imam Al Qurthubi [Abu ‘Abdillah, Muhammad
bin Ahmad bin Farh al-Anshariy al-Khazrajiy al-Andalusiy al-Qurthubiy. Wafat
tahun 671 H].
Beliau berkata dalam
tafsirnya, “Tiada satupun dari kalangan Salafush Shalih yang ingkar bahwa Allah
istiwa di atas ‘Arsy secara hakiki.” [Tafsir Qurthubi 7219].
83. Al Imam an-Nawawi rahimahullah [al-Imam
al-Hafizh, Syaikhul Islam, Muhyiddin Abu Zakaria Yahya bin Syaraf bin Mury bin
Hasan bin Husain bin Muhammad bin Jum’ah bin Hizam an-Nawawi ad-Dimasyqi
asy-Syafi’i . Lahir tahun 631 H, wafat tahun 676 H].
Beliau mengatakan dalam
kitabnya “Juz Fi Dzikri I’tiqad Salaf fil Huruf wal Ashwath” : “Kami mengimani bahwa Allah berada di atas
Arsy-Nya, sebagaimana telah diberitakan di dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami
tidak mengatakan bahwa Dia berada di setiap tempat. Akan tetapi Dia berada di
atas langit, sedangkan ilmu-Nya di setiap tempat. Tidak ada satu tempat pun
yang lutput dari ilmu-Nya. Sebagaimana firman Allah (yang artinya), ‘Apakah
kalian merasa aman dari hukuman Tuhan yang berada di atas langit?’ (Qs.
al-Mulk: 16)…” [ad-Dala’il al-Wafiyah fi Tahqiq ‘Aqidati an-Nawawi a Salafiyah
am Khalafiyah, transkrip ceramah Syaikh Masyhur Hasan Salman, hal. 42-43].
Imam Nawawi juga menegaskan
ketinggian Allah dalam kitabnya Thabaqat Fuqaha Syafi’iyyah 1/470 dan Raudhah
Thalibin 10/85, dan beliau juga menulis kitab Al-Ibanah karya Abul Hasan
al-Asya’ari sebagaimana dalam Majmu Fatawa 3/224 yang di dalamnya terdapat ketegasan
tentang ketinggian Allah.
84. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
[wafat tahun 728 H].
Beliau berkata: “Dan termasuk
dalam hal yang kami sebutkan dari iman kepada Allah,yaitu beriman kepada apa
yang Allah beritakan dalam kitabNya dan dengan apa yang telah diriwayatkan dari
RasulNya secara mutawatir serta disepakati oleh Salafus Shalih,bahwa Allah itu
berada diatas langit diatas Arsy-Nya. Allah Maha Tinggi diatas mahlukNya dan
Allah Subhanahu wa ta’ala bersama mereka dimana saja mereka berada dan Allah
mengetahui apa yang mereka kerjakan. “ [Syarh Aqidah Al Wasithiyyah].
85. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahu
juga berkata: “Masalah ini luas sekali, karena orang-orang yang menukil ijma’ Ahlis Sunnah atau ijma’ Shahabat dan
Tabi’in bahwa Allah di atas ‘Arsy, berpisah dari makhluk-Nya tidak bisa
dihitung jumlahnya kecuali hanya Allah saja yang mampu…” [Bayanu Talbis
Jahmiyyah 3/531].
86. Al Imam Adz Dzahabi rahimahullah [Abdillah
Muhammad bin Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah adz-Dzahabi al-Fariqi.
Tahun 673 H – 748 H].
Beliau berkata mengomentari
hadits budak jariyah,
“Demikianlah kita melihat
setiap orang yang ditanya: Dimana Allah? Niscaya dia akan menjawab dengan
fitrahnya: Allah diatas langit. Dalam hadits ini terdapat dua masalah:
Pertama, disyariatkannya
pertanyaan kepada seorang muslim: Dimana Allah?
Kedua, jawaban orang yang
ditanya pertanyaan tersebut: Di atas langit. Barangsiapa yang mengingkari dua
masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam.”
[Al ‘Uluw lil ‘Aliyyil Azhim, (Mukhtasar al ‘Uluw, Albani, hal. 81)].
87. Al Imam Ibnu Katsir rahimahullah [Imad
ad-Dien, Abu al-Fida`, Isma’il bin ‘Umar bin Katsir ad-Dimasyqiy asy-Syafi’iy,
seorang Imam, Hafizh dan juga sejarawan.Wafat tahun 774 H].
Beliau berkata dalam
menafsirkan surat Al Hadiid: 4,
“…Dia bersama kamu…” ialah
ilmu-Nya, pengawasan-Nya, penjagaan-Nya bersama kamu, sedang Dzat Allah di atas
arsy di langit.” [Lihat Tafsir Qur`anil Azhim: 4/317].
88. Al Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyyah [wafat 751
H].
Beliau juga berkata: “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertanya:
‘Di mana Allah?’ Lalu dijawab oleh yang ditanya bahwa Allah berada di
atas langit. Nabi pun kemudian ridha akan jawabannya dan mengetahui bahwa
itulah hakekat iman kepada Allah dan beliau juga tidak mengingkari pertanyaan
ini atasnya. Adapun kelompok Jahmiyyah, mereka menganggap bahwa pertanyaan
‘Dimana Allah?’ seperti halnya pertanyaan: Apa warnanya, apa rasanya, apa
jenisnya dan apa asalnya dan lain sebagainnya dari pertanyaan yang mustahil dan
batil!?”. [I’lamul Muwaqqi’in (3/521)].
89. Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi [wafat
tahun 792 H].
Beliau mengatakan: “Dalam
hadits Mi’raj ini terdapat dalil tentag ketinggian Allah ditinjau dari beberapa
segi bagi orang yang menceramatinya”. [Syarh Aqidah ath-Thahawiyyah 1/277].
90. Al-Hafizh Ibnu Abil Izzi al-Hanafi juga
mengatakan, “Dalil-dalil yang muhkam (yang begitu jelas) menunjukkan ketinggian
Allah di atas seluruh makhluk-Nya. Dalil-dalil ini hampir mendekati 20 macam
dalil”. [Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah, 2/437].
Ijmak para Ulama Salaf
tentang Keberadaan Allah di Atas Langit
Keberadaan Allah di atas
langit merupakan ijmak para ulama salaf maupun khalaf. Bahkan telah dinukilkan
ijmak mereka Dintara para ulama salaf lainnya, yaitu:
Pertama : Al-Imam Al-Auzaa’i
rahimahullah (wafat 157 H)
Al-Auzaa’i berkata : “Ketika
kami dahulu –dan para tabi’in masih banyak-kami berkata : Sesungguhnya Allah di
atas arsyNya, dan kita beriman dengan sifat-sifatNya yang datang dalam sunnah”
(Al-Asmaa’ was sifaat li Al-Baihaqi 2/304 no 865, Al-’Uluw li Al-’Aliy
Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/940 no 334, dan sanadnya dinyatakan Jayyid (baik)
oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam Fathul Baari 13/406-407)
Kedua : Qutaibah bin Sa’iid
(150-240 H)
Beliau berkata :
هذا قول الائمة في الإسلام والسنة والجماعة: نعرف
ربنا في السماء السابعة على عرشه ، كما قال جل جلاله:الرحمن على العرش استوى
“Ini perkataan para imam di
Islam, Sunnah, dan Jama’ah ; kami mengetahui Rabb kami di langit yang ketujuh
di atas ‘arsy-Nya, sebagaimana Allah Jalla Jalaaluhu berfirman : Ar-Rahmaan di
atas ‘arsy beristiwa” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1103 no
434)
Adz-Dzahabi berkata, “Dan
Qutaibah -yang merupakan seorang imam dan jujur- telah menukilkan ijmak tentang
permasalahan ini. Qutaibah telah bertemu dengan Malik, Al-Laits, Hammaad bin
Zaid, dan para ulama besar, dan Qutaibah dipanjangkan umurnya dan para hafidz
ramai di depan pintunya” (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li Adz-Dzahabi
2/1103)
Ketiga : Ibnu Qutaibah (213
H- 276 H)
Beliau berkata dalam kitabnya
Takwiil Mukhtalaf al-Hadiits (tahqiq Muhammad Muhyiiddin Al-Ashfar, cetakan
keduan dari Al-Maktab Al-Islaami) :
“Seluruh umat –baik arab
maupun non arab- mereka berkata bahwasanya Allah di langit selama mereka
dibiarkan di atas fitrah mereka dan tidak dipindahkan dari fitrah mereka
tersebut dengan pengajaran” (Takwiil
Mukhtalafil Hadiits 395)
Keempat : Utsmaan bin Sa’iid
Ad-Daarimi (wafat 280 H)
Beliau berkata dalam kitab
beliau Ar-Rad ‘alal Marriisi
“Dan telah sepakat perkataan
kaum muslimin dan orang-orang kafir bahwasanya Allah berada di langit, dan
mereka telah menjelaskan Allah dengan hal itu (yaitu bahwasanya Allah berada di
atas langit -pent) kecuali Bisyr Al-Marrisi yang sesat dan para sahabatnya.
Bahkan anak-anak yang belum dewasa merekapun mengetahui hal ini, jika seorang
anak kecil tersusahkan dengan sesuatu perkara maka ia mengangkat kedua
tangannya ke Rabb-Nya berdoa kepadaNya di langit, dan tidak mengarahkan
tangannya ke arah selain langit. Maka setiap orang lebih menetahui tentang
Allah dan dimana Allah daripada Jahmiyah” (Rad Ad-Darimi Utsmaan bin
Sa’iid alaa Bisyr Al-Mariisi Al-’Aniid
Hal 25)
Kelima : Zakariyaa As-Saaji
(wafat tahun 307 H)
Beliau berkata :
القول في السنة التي رأيت عليها أصحابنا أهل
الحديث الذين لقيناهم أن الله تعالى على عرشه في سمائه يقرب من خلقه كيف شاء”.
“Perkataan tentang sunnah
yang aku lihat merupakan perkataan para sahabat kami –dari kalangan Ahlul
Hadits yang kami jumpai- bahwasanya Allah ta’aala di atas ‘arsyNya di langit,
Ia dekat dengan makhluknya sesuai dengan yang dikehendakiNya”
(Al-’Uluw li Al-’Aliy
Al-’Adziim li Adz-Dzahabi 2/1203 no 482)
Adz-Dzahabi berkata : As-Saji
adalah syaikh dan hafizhnya kota Al-Bashrah dan Abul Hasan Al-Asy’ari mengambil
ilmu hadits dan aqidah Ahlus Sunnah darinya (Al-’Uluw li Al-’Aliy Al-’Adziim li
Adz-Dzahabi 2/1203 dan Ijtimaa’ Al-Juyuusy Al-Islaamiyah li Ibnil Qayyim hal
185)
Keenam : Abu Bakr Muhammad
bin Ishaq bin Khuzaimah (223 H-311 H)
Beliau berkata dalam kitabnya
At-Tauhiid 1/254
“Bab : Penyebutan penjelasan
bahwasanya Allah Azza wa Jalla di langit:
Sebagaimana Allah kabarkan
kepada kita dalam Al-Qur’an dan melalui lisan NabiNya –’alaihis salaam- dan
sebagaimana hal ini dipahami pada fitrah kaum muslimin, dari kalangan para
ulama mereka dan orang-orang jahilnya mereka, orang-orang merdeka dan budak-budak
mereka, para lelaki dan para wanita, orang-orang dewasa dan anak-anak kecil
mereka. Seluruh orang yang berdoa kepada Allah jalla wa ‘alaa hanyalah
mengangkat kepalanya ke langit dan menjulurkan kedua tangannya kepada Allah, ke
arah atas dan bukan kearah bawah”
Ketujuh : Al-Imam Ibnu
Baththah (304 H-387 H)
Beliau berkata dalam kitabnya
Al-Ibaanah ‘an Syarii’at Al-Firqah An-Naajiyah :
“باب
الإيمان بأن الله على عرشه بائن من خلقه وعلمه محيط بخلقه”
أجمع المسلمون من الصحابة والتابعين وجميع أهل
العلم من المؤمنين أن الله تبارك وتعالى على عرشه فوق سمواته بائن من خلقه وعلمه
محيط بجميع خلقه
ولا يأبى ذلك ولا ينكره إلا من انتحل مذاهب
الحلولية وهم قوم زاغت قلوبهم واستهوتهم الشياطين فمرقوا من الدين وقالوا : إن
الله ذاته لا يخلو منه مكان”. انتهى
“Bab Beriman Bahwa Allah di
atas ‘Arsy, ‘Arsy adalah makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi Makhluk-Nya”
Kaum muslimin dari para
sahabat, tabiin dan seluruh ulama kaum mukminin telah bersepakat bahwa Allah
-tabaraka wa ta’ala- di atas ‘arsy-Nya di atas langit-langit-Nya yang mana
‘arsy merupakan Makhluk-Nya, dan Ilmu-Nya meliputi seluruh makhluknya. Tidaklah
menolak dan mengingkari hal ini kecuali penganut aliran hululiyah, mereka itu
adalah kaum yang hatinya telah melenceng dan setan telah menarik mereka
sehingga mereka keluar dari agama, mereka mengatakan, “Sesungguhnya Dzat Allah
Berada dimana-mana.” (al-Ibaanah 3/136)
Adz Dzahabi berkata, “Ibnu
Baththah termasuk Pembesarnya Para Imam, Seorang yang Zuhud, Faqih, pengikut
sunnah.” (Al-’uluw li Adz-Dzahabi 2/1284)
Kedelapan: Imam Abu Umar
At-Thalamanki Al Andalusi (339-429H)
Beliau berkata di dalam
kitabnya: Al Wushul ila Ma’rifatil Ushul
” أجمع
المسلمون من أهل السنة على أن معنى قوله : “وهو معكم أينما كنتم” . ونحو ذلك من
القرآن : أنه علمه ، وأن الله تعالى فوق السموات بذاتـه مستو على عرشه كيف شاء”
وقال: قال أهل السنة في قوله :الرحمن على العرش
استوى:إن الاستواء من الله على عرشه على الحقيقة لا على المجاز.”.
“Kaum Muslimin dari kalangan
Ahlus Sunnah telah bersepakat (ijmak) bahwa makna firman-Nya: “Dan Dia bersama
kalian di manapun kalian berada” (QS. Al Hadid 4) dan ayat-ayat Al Qur’an yg
semisal itu adalah Ilmu-Nya. Allah ta’ala di atas langit dengan Dzat-Nya,
ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya sesuai kehendak-Nya”
Beliau juga mengatakan,
“Ahlussunah berkata tentang firman Allah, “Tuhan yang Maha Pemurah, yang
ber-istiwa di atas ‘Arsy” (QS Thaahaa : 5), bahwasanya ber-istiwa-nya Allah di
atas Arsy adalah benar adanya bukan majaz” (Sebagaimana dinukil oleh Ad-Dzahabi
dalam Al-’Uluw 2/1315)
Imam Adz Dzahabi berkata,
“At-Thalamanki termasuk pembesar para Huffazh dan para imam dari para qurraa` di Andalusia”
(Al-’Uluw 2/1315)
Kesembilan: Syaikhul Islam
Abu Utsman Ash Shabuni (372 – 449H)
Beliau berkata, “Para Ahli
Hadits berkeyakinan dan bersaksi bahwa Allah di atas langit yang tujuh di atas ‘arsy-Nya
sebagaimana tertuang dalam Al Kitab(Al Qur’an)….
Para ulama dan pemuka umat
dari generasi salaf tidak berselisih bahwasanya Allah di atas ‘arsy-Nya dan
‘arsy-Nya berada di atas langit-Nya.” (Aqidatus Salaf wa Ashaabil hadiits hal
44)
Adz Dzahabi berkata,
“Syaikhul Islam Ash Shabuni adalah seorang yang faqih, ahli hadits, dan sufi
pemberi wejangan. Beliau adalah Syaikhnya kota Naisaburi di zamannya” (Al-’Uluw
2/1317)
Kesepuluh : Imam Abu Nashr
As-Sijzi (meninggal pada tahun 444 H)
Berkata Adz-Dzahabi (Siyar
A’laam An-Nubalaa’ 17/656) :
Berkata Abu Nashr As-Sijzi di
kitab al-Ibaanah, “Adapun para imam kita seperti Sufyan Ats Tsauri, Malik,
Sufyan Ibnu Uyainah, Hammaad bin Salamah, Hammaad bin Zaid, Abdullah bin
Mubaarak, Fudhail Ibnu ‘Iyyaadh, Ahmad bin Hambal dan Ishaq bin Ibrahim al
Handzali bersepakat (ijmak) bahwa Allah -Yang Maha Suci- dengan Dzat-Nya berada
di atas ‘Arsy dan ilmu-Nya meliputi setiap ruang, dan Dia di atas ‘arsy kelak
akan dilihat pada hari kiamat oleh pandangan, Dia akan turun ke langit dunia,
Dia murka dan ridha dan berbicara sesuai dengan kehendak-Nya”
Adz-Dzahabi juga menukil
perkataan ini dalam Al-’Uluw 2/1321
Kesebelas : Imam Abu Nu’aim
-Pengarang Kitab al Hilyah-(336-430 H)
Beliau berkata di kitabnya al
I’tiqad,
“Jalan kami adalah jalannya
para salaf yaitu pengikut al Kitab dan As Sunnah serta ijmak ummat. Di antara
hal-hal yang menjadi keyakinan mereka adalah Allah senantiasa Maha Sempurna dengan seluruh sifat-Nya yang
qadiimah…
dan mereka menyatakan dan
menetapkan hadits-hadits yang telah valid (yang menyebutkan) tentang ‘arsy dan
istiwa`nya Allah diatasnya tanpa melakukan takyif (membagaimanakan) dan tamtsil
(memisalkan Allah dengan makhluk), Allah terpisah dengan makhluk-Nya dan para
makhluk terpisah dari-Nya, Allah tidak menempati mereka serta tidak bercampur
dengan mereka dan Dia ber-istiwa di atas ‘arsy-Nya di langit bukan di bumi.”
(Al-’Uluw karya Adz-Dzahabi 2/1305 atau Mukhtashar Al-’Uluw 261)
Adz Dzahabi berkata, “Beliau (Imam
Abu Nu’aim) telah menukil adanya ijmak tentang perkataan ini -dan segala puji
hanya bagi Allah-, beliau adalah hafizhnya orang-orang ‘ajam (non Arab) di
zamannya tanpa ada perselisihan. Beliau telah mengumpulkan antara ilmu riwayat
dan ilmu diroyah. Ibnu Asaakir al Haafizh menyebutkan bahwa dia termasuk
sahabat dari Abu Hasan al Asy’ari.” (Al-’Uluw 2/1306)
Kedua belas: Imam Abu Zur’ah
Ar Raazi (meninggal tahun 264H) dan Imam Abu Hatim (meninggal tahun 277H)
Berkata Ibnu Abi Hatim :
“Aku bertanya pada bapakku
(Abu Hatim-pent) dan Abu Zur’ah tentang madzhab-madzhab ahlussunnah pada
perkara ushuluddin dan ulama di seluruh penjuru negeri yang beliau jumpai serta
apa yang beliau berdua yakini tentang hal tersebut? Beliau berdua mengatakan,
“Kami dapati seluruh ulama di penjuru negeri baik di hijaz, irak, syam maupun
yaman berkeyakinan bahwa:
Iman itu berupa perkataan dan
amalan, bertambah dan berkurang…
Allah ‘azza wa jalla di atas
‘arsy-Nya terpisah dari makhluk-Nya sebagaimana
Dia telah mensifati diri-Nya di dalam kitab-Nya dan melalui lisan
Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menanyakan bagaimananya, Ilmu-Nya
meliputi segala sesuatu, “Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan
Dia-lah yang Maha mendengar dan melihat”(Syarh Ushuul I’tiqaad Ahlis Sunnah wal
Jamaa’ah karya Al-Laalikaai 1/198)
Ibnu Abi Haatim juga berkata
berkata,
“Aku mendengar bapakku
berkata, ciri ahli bid’ah adalah memfitnah ahli atsar, dan ciri orang zindiq
adalah mereka menggelari ahlussunnah dengan hasyawiyah dengan maksud untuk
membatalkan atsar, ciri jahmiyah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan
musyabbihah, dan ciri rafidhah adalah mereka menamai ahlussunnah dengan
naasibah.” (selesai)
Syarh Ushul I’tiqad
Ahlissunnah wal jama’ah lil imam al Laalikai 1/200-201
Ketiga belas : Imam Ibnu
Abdil Bar (meninggal tahun 463H)
Beliau berkata dikitabnya at
Tamhiid setelah menyebutkan hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia,
pent),
“Pada hadits tersebut
terdapat dalil bahwa Allah berada di atas yaitu di atas ‘arsy-Nya, di atas
langit yang tujuh, hal ini sebagaimana dikatakan oleh para jama’ah. Hal ini
merupakan hujjah bagi mereka terhadap mu’tazilah dan jahmiyah yang mengatakan
bahwa Allah ‘azza wa jalla berada dimana-mana bukan di atas ‘arsy” (Fathul Barr
fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr 2/8)
Kemudian beliau menyebutkan
dalil-dalil terhadap hal ini, di antaranya, beliau berkata :
“Diantara dalil bahwa Allah
di atas langit yang tujuh adalah bahwasanya para ahli tauhid seluruhnya baik
orang arab maupun selain arab jika mereka ditimpa kesusahan atau kesempitan
mereka mendongakkan wajah mereka ke atas, mereka meminta pertolongan Rabb
mereka tabaaraka wa ta’ala…”” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid
li Ibni Abdil Barr 2/12)
Beliau juga berkata :
“Dan kaum muslimin di setiap
masa masih senantiasa mengangkat wajah mereka dan tangan mereka ke langit jika
mereka ditimpa kesempitan, berharap agar Allah menghilangkan kesempitan
tersebut” (Fathul Barr fi at Tartiib al Fiqhi li at Tamhiid li Ibni Abdil Barr
2/47)
Oleh karenanya tidak ada
seorang ulama salafpun –apalagi para sahabat- yang perkataannya menunjukan
bahwasanya Allah tidak berada di atas.
Perkataan para Ulama
Asy‘ariyyah yang Mengakui Allah di Atas Langit
Ternyata kita dapati
bahwasanya sebagian pembesar madzhab Asy’ariyyah juga mengakui keberadaan Allah
di atas langit. Sebagaimana hal ini telah ditegaskan oleh Imam Al-Baihaqi dalam
kitabnya Al-Asmaa’ wa As-Sifaat (2/308)
Beliau berkata, “Dan atsar
dari salaf seperti hal ini (yaitu bahwasanya Allah berisitwa di atas ‘arsy
-pent) banyak. Dan madzhab As-Syafii radhiallahu ‘anhu menunjukan di atas jalan
ini, dan ini madzhab Ahmad bin Hanbal…Dan Abu Hasan Ali bin Ismaa’iil
Al-’Asy’ari berpendapat bahwasanya Allah melakukan suatu fi’il (perbuatan) di
‘arsy yang Allah namakan istiwaa’… Dan Abul Hasan Ali bin Muhammad bin Mahdi
At-Thabari dan juga para ahli nadzar bahwasanya Allah ta’aalaa di langit di
atas segala sesuatu, ber-istiwa di atas ‘arsynya, yaitu maknanya Allah di atas
‘arsy. Dan makna istiwaa’ adalah tinggi di atas sebagaimana jika dikatakan “aku
beristiwa’ di atas hewan”, “aku beristiwa di atas atap”, maknanya yaitu aku
tinggi di atasnya, “Matahari beristiwa di atas kepalaku”
Dari penjelasan Al-Imam
Al-Baihaqi di atas nampak ;
– Banyaknya atsar dari salaf tentang Allah di
atas.
– Ini merupakan madzhab As-Syafi’i dan madzhab
Imam Ahmad bin Hanbal
– Ini merupakan madzhab sebagian pembesar
Asy’ariyyah seperti Abul Hasan Al-Asy’ari dan Abul Hasan At-Thabari.
Pertama : Imam Abul Hasan Al-Asy’ariy
rahimahullah
Merupakan perkara yang mengherankan bahwasanya diantara para ulama
yang menyebutkan konsensus salaf tersebut adalah Imam besar kaum Asy’ariyyah
yaitu Imam Abul Hasan Al-’Asy’ari yang hidup di abad ke empat Hijriah. Dialah
nenek moyang mereka, guru pertama mereka, sehingga merekapun berintisab
(berafiliasi) kepada nama beliau menjadi firqah Asyaa’irah.
Berkata Imam Abul Hasan
Al-’Asy’ari rahimahullah dalam kitabnya Risaalah ila Ahli Ats-Tsagr:
Ijmak kesembilan :
Dan mereka (para salaf) ijmak
… bahwasanya Allah ta’aala di atas langit, diatas arsyNya bukan di bumi. Hal
ini telah ditunjukan oleh firman Allah
أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ
بِكُمُ الأرْضَ
Apakah kamu merasa aman
terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama
kamu (QS Al-Mulk : 16).
Dan Allah berfirman
إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ
وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ
kepada-Nyalah naik
perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya (QS Faathir :
10).
Dan Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan bukanlah istiwaa’nya di
atas arsy maknanya istiilaa’ (menguasai) sebagaimana yang dikatakan oleh
qadariah (Mu’tazilah-pent), karena Allah Azza wa Jalla selalu menguasai segala
sesuatu. Dan Allah mengetahui yang tersembunyi dan yang lebih samar dari yang
tersembunyi, tidak ada sesuatupun di langit maupun di bumi yang tersembunyi
bagi Allah, hingga seakan-akan Allah senantiasa hadir bersama segala sesuatu.
Hal ini telah ditunjukan oleh Allah Azza wa Jalla dengan firmanNya
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ
Dia bersama kamu dimana saja
kamu berada (QS Al-Hadiid : 4)
Para ahlul ilmi menafsirkan
hal ini dengan ta’wil yaitu bahwasanya ilmu Allah meliputi mereka di mana saja
mereka berada” (Risaalah ilaa Ahli Ats-Tsagr 231-234)
Ini merupakan hikayat
kumpulan perkataan Ahlul Hadits dan Ahlus Sunnah
….
Dan bahwasanya Allah
–subhaanahu- diatas arsyNya, sebagaimana Allah berfirman
الرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوى
“(Yaitu) Tuhan Yang Maha
Pemurah, Yang ber-istiwa di atas Arasy.” (QS. Thâhâ;5)
Dan Allah memiliki dua tangan
tanpa ditanyakan bagaimananya… dan Allah memiliki wajah… (Maqaalaatul
Islaamiyiin 1/345)
Kedua : Abu Bakr Al-Baaqillaani
(wafat 403 H)
Beliau berkata dalam kitabnya
Al-Ibaanah
“Jika dikatakan : Apakah
kalian mengatakan bahwa Alla berada dimana-mana?, dikatakan : Kita berlindung
kepada Allah (dari perkataan ini-pent). Akan tetapi Allah beristiwa di atas
‘arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam kitabNya “ArRahman di atas ‘arsy beristiwaa”, dan Allah
berfirman “Kepada-Nyalah naik perkatan-perkataan yang baik”, dan Allah
berfirman “Apakah kalian merasa aman dari Allah yang berada di atas?”
Beliau berkata, “Kalau seandainya
Allah di mana-mana maka Allah akan berada di perut manusia, di mulutnya, …
(Sebagaimana dinukil oleh
Imam Adz-Dzahabi dalam kitabnya Al-’Uluw 2/1298 (Mukhtasar Al-’Uluw 258))
Ketiga : Imam Al-Baihaqi
(wafat 458 H)
Beliau berkata dalam kitabnyaAl-I’tiqaad
wal Hidaayah ilaa Sabiil Ar-Rasyaad, tahqiq : Abul ‘Ainain, Daar Al-Fadhiilah,
cetakan pertama bab Al-Qaul fi
Al-Istiwaaa’ (hal 116)
“Dan maksud Allah adalah
Allah di atas langit, sebagaimana firmanNya, “Dan sungguh aku akan menyalib kalian
di pangkal korma”, yaitu di atas pangkal korma. Dan Allah berfirman
“Berjalanlah kalian di bumi”, maksudnya adalah di atas muka bumi. Dan setiap
yang di atas maka dia adalah samaa’. Dan ‘Arsy adalah yang tertinggi dari
benda-benda yang di atas. Maka makna ayat –wallahu a’lam- adalah “Apakah kalian
merasa aman dari Dzat yang berada di atas ‘arsy?”
Demikian telah jelas dan
terang benderang seluruh atsar-atsar
para ulama ahlussunnah manhaj salaf sepakat bahwa Allah ‘Azza wa Jalla
bersemayam di atas Arsy tanpa mengetahui kaifiyat istiwa’-Nya..Berbeda dengan
pendapat sesat kaum Jahmiyyah, Mu’tazilah, Haruriyah dan semisalnya mereka
mengingkari masalah ini..
Jika mereka mengingkari
istiwa’-Nya Allah diatas Arsy, maka mereka telah mengingkari firman Allah yang
mulia dengan sejumlah ayat-ayat diatas, mereka telah mengingkari hadits-hadits
yang shahih yang telah diperiksa rawi dan matan nya yang datang dari Rasulullah
Shallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mereka telah mengingkari pula kesepakatan para
shahabat, para tabiin dan tabiut tabiin….Allahu Akbar..Semoga kita selalu di
jauhi dari akidah yang sesat-menyesatkan ini dan di bimbing oleh Allah ‘Azza Wa
Jalla untuk diberi ketetapan hati mengikuti sunnah Nabi yang mulia Shallahu
‘Alaihi wa sallam dan shahabatnya…….
Sumber : https://binawwan.wordpress.com/2014/06/08/bantahan-syubhat-allah-ada-tanpa-tempat-dan-tanpa-arah/
http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2016/09/bantahan-allah-ada-tanpa-tempat-dan-arah.html
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya, maka sang ayah menjawab: “Allah itu ada dimana-mana.” Bagaimana pandangan hukum agama terhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?
Jawaban.
Jawaban ini batil, merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang diikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah, yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya. Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:
“Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A'raf:54]
Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat. Yang dimaksud dengan ‘bersemayam” menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:
“Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimani hal ini adalah wajib, tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”
Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan cara Allah bersemayam diatas Arsy (cara detailnya seperti apa, pen). Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya. Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:
“Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Surat Faathir:10]
“Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al Baqarah:255]
“Artinya : Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku” [Surat Al Mulk:16-17]
Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.Perkataan ini merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :
Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’
“Artinya : Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.” [Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.
[Majallatuud Dakwah no.1288]
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya : Dalam sebuah siaran radio ditampilakan kisah dengan menggunakan kata-kata:”Seorang anak bertanya tentang Allah kepada ayahnya, maka sang ayah menjawab: “Allah itu ada dimana-mana.” Bagaimana pandangan hukum agama terhadap jawaban yang menggunakan kalimat semacam ini?
Jawaban.
Jawaban ini batil, merupakan perkataan golongan bid’ah dari aliran Jahmiyah dan Mu’tazilah serta aliran lain yang sejalan dengan mereka. Jawaban yang benar adalah yang diikuti oleh Ahli Sunnah wal Jama’ah, yaitu Allah itu ada di langit diatas Arsy, diatas semua mahlukNya. Akan tetapi ilmuNya ada dimana-mana (meliputi segala sesuatu).Hal ini sebagaimana disebutkan didalam beberapa ayat Al Qur’an,hadits-hadits Nabi Shalallahu alaihi wa sallam ,ijma’ dari pendahulu umat ini.Sebgaimana contoh adalah firman Allah:
“Artinya : Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas Arasy [Surat Al A'raf:54]
Didalam Al Qur’an ayat ini tersebut pada 6 tempat. Yang dimaksud dengan ‘bersemayam” menurut Ahli Sunnah ialah pada ketinggian atau berada diatas Arsy sesuai dengan keagungan Allah.Tidak ada yang dapat mengetahui BAGAIMANA bersemayamnya itu,seperti dikatakan oleh Imam Malik ketika beliau ditanya orang tentang hal ini.Beliau menjawab:
“Kata bersemayam itu telah kita pahami.Akan tetapi ,bagaimana caranya tidak kita ketahui.Mengimani hal ini adalah wajib, tetapi mempersoalkannya adalah bid’ah.”
Yang beliau maksudkan dengan mempersoalkannya adalah bid’ah yakni mempersoalkan cara Allah bersemayam diatas Arsy (cara detailnya seperti apa, pen). Pengertian ini beliau peroleh dari gurunya ,Syaikh Rabi’ah bin Abdurrahman yang bersumber dari riawayat Ummu Salamah radhiallahu anha .Hal ini merupakan pendapat semua Ahli Sunnah yang bersumber dari shahabat Nabi Shalallahu alaihi wa sallam dan para tokoh Islam sesudahnya. Allah telah menerangkan pada beberapa ayat lainnya bahwa Dia dilangit dan Dia berada diatas, seperti dalam firmanNya:
“Artinya : Kepada-Nya lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya” [Surat Faathir:10]
“Artinya : Dan Allah tidak merasa berat memelihara keduanya, dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar” [Al Baqarah:255]
“Artinya : Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu berguncang?, Atau apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan mengirimkan badai yang berbatu. Maka kelak kamu akan mengetahui bagaimana (akibat mendustakan) peringatan-Ku” [Surat Al Mulk:16-17]
Banyak ayat-ayat Al Qur’an yang dengan jelas memuat penegasan bahwa Allah itu ada di langit, Dia berada diatas. Hal ini sejalan dengan apa yang dimaksud oleh ayat-ayat yang menggunakan kata-kata bersamayam. Dengan demikian dapatlah diketahui perkataan ahlu bid’ah :”Allah itu berada dimana-mana,” merupakan hal yang sangat batil.Perkataan ini merupakan pernyataan firqoh yang beranggapan bahwa alam ini penjelmaan Allah,suatu aliran bid’ah lagi sesat,bahkan aliran kafir lagi sesat serta mendustakan Allah dan RasulNya Muhammad Shalallahu alaihi wa sallam .Dikatakan demikian karena dalam riwayat yang sah dari beliau Shalallahu alaihi wa sallam dinyatakan bahwa Allah ada dilangit, sebagaimana sabda beliau Shalallahu alaihi wa sallam :
Alaa ta’manuniy wa anaa amiinu man fis samaa’
“Artinya : Tidakkah kalian mau percaya kepadaku padahal aku adalah kepercayaan dari Tuhan yang ada di langit.” [Bukhari no.4351 kitabul Maghazi ;Muslim no.1064 Kitabuz Zakat]
Hal ini juga disebutkan pada hadits-hadits (tentang) Isra’ Mi’raj, dan lain-lain.
[Majallatuud Dakwah no.1288]
——————————————————
MENGATAKAN ALLAH ADA DI MANA-MANAOleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin ditanya : Bagaimana pandangan hukum terhadap jawaban sebagian orang:”Allah berada dimana-mana,” bila ditanya :”Dimana Allah?” Apakah jawaban seperti ini sepenuhnya benar?
Jawaban.
Jawaban seperti ini sepenuhnya batil. Apabila seseorang ditanya :”Allah dimana?” hendaklah ia menjawab:”Di langit,” seperti dikemukakan oleh seorang (budak) perempuan yang ditanya oleh Nabi Shalallahu alaihi wa sallam :”Dimana Allah?” jawabnya:”Di langit.”
Adapun orang yang menjawab dengan kata-kata:” Allah itu ada,” maka jawaban ini sangat samar dan menyesatkan.Orang yang mengatakan bahwa Allah itu ada dimana-mana dengan pengertian dzat Allah ada dimana-mana, adalah kafir karena ia telah mendustakan keterangan-keterangan agama, bahwa dalil-dalil wahyu dan akal serta menurut fitrah.maka Allah berada diatas segala mahluk. Dia berada diatas semua langit, bersemayam diatas Arsy.
[Majmu' Fatawaa wa Rasaail, juz 1 halaman 132-133]
[Disalin dari kitab Al Fatawaa Asy Syar'iyyah Fil Masaail Al 'Ashriyyah min Fatawaa Ulamaa' Al Balaadil Haraami, Edisi Indonesia: Fatwa Kontenporer Ulama Besar Tanah Suci, Penyusun Khalid al Juraisy, Penerbit :Media Hidayah, Cet.1 September 2003]
http://aminbenahmed.blogspot.co.id/2012/12/sesatnya-keyakinan-jahiliyyun-allah-ada.html
Artikel terkait dan perlu dibaca :
( Bagian 1 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Bingung
Tentang ( Keberadaan ) Rabbnya ?
( Bagian 2 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu tentang
tajsim dan mujasimah
( Bagian 3 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : Isu Tentang
Tasybih dan Musyabihah
( Bagian 4 ) Mengimani Sifat-sifat Allah : 'Aqidah Ulama
Besar Ahlus Sunnah, 'Aqidah Jahmiyah dan 'Aqidah "oknum" Aswaja
101
Perkataan Ulama Salaf Tentang Keberadaan Allah Di Atas Arsy
[Oleh Abu Fahd Negara Tauhid, dengan menukil dari berbagai
macam sumber.
Jika Masih Ada yang Bertanya-tanya “Di manakah Allah”
Jawaban Ahlussunnah Terhadap
Argumentasi Para Pengingkar Sifat ‘Uluw Bagi Allah
http://dzikra.com/jawaban-ahlussunnah-terhadap-argumentasi-para-pengingkar-sifat-uluw-bagi-allah/
http://dzikra.com/jawaban-ahlussunnah-terhadap-argumentasi-para-pengingkar-sifat-uluw-bagi-allah/
Dimanakah Allah?
http://muslim.or.id/aqidah/dimanakah-alloh.html
http://muslim.or.id/aqidah/dimanakah-alloh.html
TAHUKAH KAMU, DI MANAKAH ALLAH?
( ada 66 comments )
Dalil yang menunjukkan Allah di
atas semua makhluknya
Bolehkah Mengatakan Allah Ada
di Mana-mana?
http://www.konsultasisyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/
http://www.konsultasisyariah.com/allah-ada-di-mana-mana/
Ketinggian Allah ta’ala di Atas
Semua Makhluk-Nya
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/ketinggian-allah-taala-di-semua-makhluk.html
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2011/10/ketinggian-allah-taala-di-semua-makhluk.html
Dalil Tentang Allah ada Diatas
Makhluk-Nya dan Dia subhahanahu wata’ala di atas langit
http://islamqa.com/id/992
http://islamqa.com/id/992
Sifat Istiwa’ Allah di Atas
‘Arsy
http://muslim.or.id/aqidah/sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html
http://muslim.or.id/aqidah/sifat-istiwa-allah-di-atas-arsy.html