Pemerintah
kolonial Inggris melalui perwakilannya Sir Henry McManon, Kepala British High
Commisioner di Kairo pernah meminta Syarif (Gubernur) Makkah, Hussein bin Ali,
untuk melakukan pemberontakan melawan Kerajaan Turki Ottoman (Daulah
Utsmaniyah).
Inggris
menjanjikan Syarif Hussein “khalifah” baru pengganti Ottoman, yang akan
memerintah wilayah yg membentang dari Allepo sampai Yaman.
Ajakan
serupa sebenarnya pernah diajukan pada Abdul Aziz ibn Saud, penguasa Najd
perintis negara Arab Saudi modern.
Berbeda
dgn Syarif Hussein, tawaran itu ditolak Ibn Saud. “Aku tak akan memerangi
saudaraku seiman” begitu jawaban yang ditulisnya dalam balasan surat yang
dikirimnya pada Inggris.
Bagi
Ibn Saud, makar itu tidak saja keji, karena bagaimanapun Hijaz dan Makkah
adalah bagian dari wilayah Kesultanan Turki Ottoman, tetapi juga merupakan
ancaman serius bagi Najd, karena pembentukan negara baru di bawah komando Syarif
Hussein berarti menyerahkan Najd pada Inggris.
Sejak
pecah Perang Dunia I, Ibn Saud sebenarnya sudah mengajak Syarif Hussein dan
penguasa di kawasan Arabia untuk mengambil sikap netral menjauhi intrik dgn
bangsa-bangsa kolonial Eropa dan lebih fokus pada urusan intern masing-masing.
Ajakan
ini ditolak Syarif Hussein, yang kemudian melakukan pemberontakan pada Kerajaan
Turki Ottoman pada thn 1916.
Akhirnya,
terjadilah perang antara Syarif Hussein yang didukung Inggris melawan Turki
Ottoman yg didukung Jerman dan berlangsung selama 2 tahun, tanpa keterlibatan
Ibn Saud di sisi manapun.
Perang
2 tahun itu memberikan pengaruh besar pada peta geo-politik di Timur Tengah di
kemudian hari.
Salah
satu implikasi yang terpenting adalah kejatuhan Palestina dalam genggaman
Inggris dan kekalahan Turki Ottoman memberi jalan bagi Inggris mewujudkan
pembagian negara-negara boneka di Timur Tengah sesuai perjanjian Sykes-Picot
tahun 1916.
Perang
atau pemberontakan Syarif Hussein itu juga memperlebar perseteruannya dengan penguasa
Najd, Ibn Saud.
Setidaknya
dua kali keduanya terlibat dalam konflik terbuka. Yang pertama terkait konflik
perbatasan dan Oasis al-Khurma.
Perang
ini terjadi tahun 1918, dimana Pasukan al-Saud hampir saja menaklukkan Hijaz,
tetapi batal terwujud atas desakan Inggris yang meminta Ibn Saud menarik
pasukannya.
Puncak
perseteruan adalah ketika Syarif Hussein mengancam memboikot atau menutup akses
ibadah haji bagi Ibn Saud dan seluruh penduduk Najd.
That
was the final feud which sparked the battle between the Syarif Hussein of the
Hashemits and King Abdulaziz of alSaud in August 1924.
Pasukan
berkekuatan 3000 orang dari Najd, mayoritas dari klan Utaibah berhadapan dengan
pasukan Hijaz yang dikirim dari Thaif.
Pertempuran
seru terjadi di Al Hawiyyah, di mana pasukan Najd memukul barisan terdepan
pasukan dari Thaif.
Kondisi
ini menjatuhkan moral pasukan lapis kedua yang kurang berpengalaman, sehingga
mundur menarik diri dari Taif.
Pada
tanggal 13 Oktober 1924, pasukan Ibn Saud dari Najd memasuki kota Makkah dengan
sedikit perlawanan, sementara Syarif Hussain dan keluarga Hashemits melarikan
diri ke Aqabah setelah kali ini Inggris ingkar janji menolak membantunya.
Dari
Aqabah, Syarif Hussein kemudian mengasingkan diri ke Siprus di bawah
perlindungan sekutunya, Inggris. Ia meninggal di Amman dan dimakamkan di
Jerussalem thn 1931.
Dan
dalam konferensi Islam di Riyadh 28-29 Oktober 1924, Ibn-Saud mendapat
pengakuan dunia Islam sebagai pemangku sah kota Makkah.
Kejatuhan
Makkah ini membuat pasukan Hijaz kocar-kacir gagal mempertahankan Madinah, yang
jatuh 9 Desember 1924 dan disusul Yanbu 12 hari kemudian.
Raja
Abdul Aziz ibn Saud sendiri memasuki Makkah pertama kalinya dengan mengenakan
pakaian ihram dan penduduk Makkah memberikan baiat kepadanya pada 17 Desember 1924.
Jatuhnya
Makkah dan Madinah dalam penguasaan Ibn Saud dapat dikatakan menandai
dimulainya “proses pemurnian” dua kota suci itu, mengingat selama dalam
penguasaan Turki Ottoman atau Syarif Hussein, praktek-praktek bid’ah dan
khurafat marak berkembang di kota itu.
Disarikan
dari:
1.
‘The Middle East in the Twentieth Century’ by Martin Sicker.
2. ‘A Peace to End All Peace: The Fall of the Ottoman Empire and The Creation
of the Modern Middle East’ by David Fromkin
—Closing
remark!
Teori-teori yang mengatakan Arab Saudi pernah memberontak penguasa Turki
Ottoman adalah pendapat sesat rekayasa sejarah. Itu hanyalah mitos. Mitos yang
disuarakan kaum pergerakan, harakiyyun pembenci Arab Saudi semisal
Ikhwanul Muslimin atau Hizbut Tahrir lovers atau Erdogan fans. Catat!