Perspektif
Historis Daulah Utsmani
di Jazirah Arab
Akhir yang dramatis Daulah Utsmani memiliki
peran dalam memfasilitasi penjajahan asing di negara-negara Arab. Dan itu
adalah alasan utama terjadinya bentrokan antara orang Arab dan Turki dalam masa
tersebut.
Apakah masuknya Utsmani ke negara-negara Arab
500 tahun yang lalu merupakan invasi (ghazwu) atau penaklukan (futuh)?
Apakah era di mana sebagian besar negara-negara
Arab di bawah pemerintahan Ottoman selama empat abad merupakan pendudukan asing
atau persatuan di bawah panji kekhalifahan?
Apakah Utsmani menyebabkan orang-orang Arab
tertinggal atau apakah mereka berkontribusi untuk kebangkitan dan pembangunan
kota-kota Arab?
Ini
merupakan pertanyaan dan masih ada yang lainnya, tentang era Utsmani di
negara-negara Arab bukanlah hal yang baru.
Utsmani,
berasal dari suku-suku pastoral Turki yang tidak memiliki peradaban dan tinggal
di barat laut Cina. Keadaannya sebagaimana suku-suku nomaden, yang berpindah
dari satu tempat ke tempat lain, melakukan peperangan dengan banyak kelompok
peradaban, hingga akhirnya established di pertengahan abad ke-12 M.
Dr. Assem El-Desouky, profesor sejarah modern dan kontemporer di
Universitas Helwan, Mesir, memaparkan fakta-fakta kemunculan Daulah Utsmaniyah
(Ottoman).
Dia
mengatakan: “Utsman Ghazi saat berkuasa, nama yang kemudian dinisbatkan dengan
nama Daulah Utsmaniyah, di dekat perbatasan negara Byzantium yang menjalani
fase kemunduran, saat terjadi konflik.
Salah
satu kaisar Bizantium, memanfaatkan Utsman dan pasukannya, yang membuka jalan
bagi Ottoman untuk menduduki Balkan di pertengahan abad ketiga belas.
Pada
pertengahan abad ke-15, khususnya pada tahun 1453, dia berhasil memasuki
Konstantinopel dan menggulingkan negara Bizantium. Kemudian kota tersebut
dinamai “Islam Baul” dan menjadikannya sebagai ibukotanya.
Ottoman
tidak mampu ekspansi lebih banyak ke Eropa, mereka dikalahkan oleh Austria dan
Rusia.
Maka
pada awal abad keenam belas, mereka menuju ke negara-negara Arab dan berada di
bawah kendali mereka selama empat abad.
Pada
saat itu, negara-negara Arab memiliki peradaban tersendiri, sehingga Ottoman
membiarkan bangsa Arab sebagaimana adat tradisinya dan mencukupkan dengan
kesetiaan.
Selama
penunjukkan gubernur Ottoman di wilayah Arab, mereka ditunjuk untuk jangka
tidak lama, yaitu tiga tahun saja. Karena ada kekhawatiran bangsa Arab akan
merdeka dari pusat, yang mengarah pada upaya pemberontakan terhadapnya.
Meski
bangsa Arab hidup di bawah kekuasaan Utsmani, mereka tetap dengan peradaban
sebelumnya, yaitu terpecah-pecah dalam banyak suku, baik secara agama ataupun
jumlah.
Daulah
Utsmaniyah kemudian mengangkat “Srouji,” yang tugasnya hanya mengumpulkan uang
dan pajak di wilayah yang dikuasainya, di beberapa daerah.
Dengan
menunjuk gubernur dalam waktu terbatas, muncul kesenjangan di antara para
sesepuh kabilah, antara bangsa Arab dan Daulah Utsmani.
Dengan
latarbelakang inilah, sejarawan El-Desouky meringkas fakta sejarah hubungan
Daulah Utsmaniyah dengan negara-negara Arab, hanya dalam tiga kata “uang,
kedaulatan, dan kontrol.”
Perampokan dan Penjajahan
El-Desouky
menyatakan, “Utsmani tidak lebih sebagai perampok dan penjajah yang menduduki
negara-negara Arab selama empat abad, mereka sama seperti kolonialisme Prancis
dan Inggris, mereka hanya menghabiskan kekayaan bangsa Arab dan mewarisi
kelemahan serta keterbelakangan mereka.”
Dalam
pandangannya, tidak bisa dikatakan bahwa masuknya bangsa muslim ke tanah muslim
lainnya, sebagai penaklukan. El-Desouky memastikan bahwa ini bertentangan
dengan kaidah ilmu dan sejarah.
Dia
menganggap bahwa peristiwa penaklukan Utsmani dan kebesarannya didasarkan pada
emosi dan antusiasme agama, “dengan dalih bahwa Daulah Utsmani mampu melindungi
dunia Arab dari penetrasi Syiah, dengan menghadapi negara Safawi di Iran.”
Menurut
El-Desouki, Sultan Utsmani adalah seorang kaisar kolonial dan negara-negara
Arab menderita dengan ketergantungannya atas penjajahan mereka. Tidak ada tanda
kebangkitan atau peradaban, tetapi mereka datang untuk menguasai, yang Arab
dilarang untuk itu oleh Utsmani.
Akhir yang dramatis Daulah
Utsmani memiliki peran dalam memfasilitasi penjajahan asing di negara-negara
Arab. Dan itu adalah alasan utama terjadinya bentrokan antara orang Arab dan
Turki dalam masa tersebut.
Banyak orang Arab mengingat
pembantaian Utsmani terhadap warga Armenia, walaupun telah terjadi dalam
beberapa tahun lamanya.
Tetapi tidak banyak dari
mereka yang ingat pembantaian Utsmani terhadap orang-orang Arab sendiri, yang
berlangsung selama 400 tahun, dalam tahun-tahun yang suram, berat, dan biadab
dari pendudukan Turki.
Dan korban pembantaian, yang
merenggut nyawa banyak orang, tidak terhitung banyaknya. Di antaranya
pembunuhan dengan senjata atau kelaparan dan membiarkan wabah tho’un yang
menimpa, seperti yang terjadi di Mesir dan Syam, sebagai contoh.
Begitu
pula pembersihan, dengan mengosongkan kota-kota bersejarah, mencuri harta
pusaka, kemudian menyelundupkannya ke Turki. Seperti yang terjadi di Mesir dan
Semenanjung Arab.
Termasuk
mengungsikan secara paksa warga yang memiliki keterampilan ke Astana, untuk
membangun masjid-masjid mewah dan istana-istana keluarga Utsmaniyah.
Daulah
Utsmani juga melakukan genosida kota-kota dari penduduk aslinya, seperti
menggusur dengan pengusiran dan kelaparan, untuk meninggalkan kota tempat
tinggalnya. Ini seperti yang terjadi di Madinah.
Portal
berita “Al-Ain” memberikan permisalan atas pembantaian tersebut dengan
ungkapan: “Ini bukan sekedar titik di lautan yang diperkenankan atas luasnya.”
Dengan
menyaksikan bagaimana bangsa Turki membersihkan bangsa Arab dengan segala cara,
mirip dengan tujuan keserakahan bangsa Turki kuno dalam menduduki sebuah
wilayah.
Yaitu,
sejak suku-suku penyerbu Turki datang dari celah pegunungan Asia Tengah sebagai
tentara bayaran terhadap tentara Islam. Ini adalah kisah keserakahan yang panjang,
apa pun “baju” yang dikenakan oleh Turki Utsmani.
Dan
saat ini, Ataturkiyya atau Ikhwaniyan Erdogan, mereka berusaha
menghidupkannya kembali. Menyebarkan kembali gagasan mitos kekhalifahan
Utsmani, dan menantang konsep tanah air.
Akan
tetapi ada harapan bahwa orang-orang Arab akan aktif dalam menuntut Turki agar
bertanggung jawab atas kejahatannya terhadap mereka.
Seperti
mengembalikan warisan dan barang-barang kuno dari peninggalan yang dicuri dari
Mesir dan negara-negara lainnya, seperti yang disimpan di Museum Topkapi atau
lainnya di Turki.