Sunday, June 19, 2016

AS Merugi, Hari Ini Taliban Kuasai Wilayah Lebih Luas Daripada Awal Perang. Mantan Pejabat AS: Jika Amerika Pergi, Kabul Akan Jatuh Ke Tangan Taliban Dalam 3 Hari

AS Merugi, Hari Ini Taliban Kuasai Wilayah Lebih Luas daripada Awal Perang

AS Merugi, Hari Ini Taliban Kuasai Wilayah Lebih Luas daripada Awal Perang

Hari ini Taliban dihitung telah menguasai wilayah yang lebih luas daripada saat perang Amerika terhadapnya dimulai. Setelah dibombardir AS, Taliban yang bernama pemerintahan Afghanistan sebelum invasi 2001 itu telah mendapatkan wilayahnya kembali. Perlahan tetapi pasti, tanah yang hilang kini kembali kepada mereka. Taliban kini menguasai wilayah lebih luas daripada waktu sejak perang dimulai.
Wilayah pemerintah Afghanistan bentukan AS telah mengalami erosi terus-menerus di selatan. Selain itu, Taliban mengalami keuntungan cepat di Provinsi Helmand dan sekitar kota Kunduz. Taliban hampir sendirian menguasai Kunduz, sebuah kota utara yang sebagian besar dikuasai pemberontak sebelum perang.
Data terkini tersebut dinyatakan oleh Letnan Jenderal John Nicholson Jr. komandan ke-17 AS di Afghanistan, seperti dilaporkan Antiwar. Nicholson telah terlibat hampir 15 tahun dalam pendudukan AS di Afghanistan. Ia menilai perang AS di Afghanistan adalah perang yang sangat di antara perang yang pernah terjadi. Karena itulah, ia mengusulkan agar aturan keterlibatan pasukan tempur AS ditinjau kembali.
Reporter: Salem

Mantan Pejabat AS: Jika Amerika Pergi, Kabul Akan Jatuh Ke 
Tangan Taliban dalam 3 Hari

Seorang mantan pejabat Pentagon mengatakan Amerika Serikat telah membuang miliaran dolar AS untuk pelatihan pasukan Afghanistan, menambahkan jika Washington meninggalkan Kabul, itu akan jatuh ke tangan Taliban dalam waktu tiga hari.

Michael Maloof, mantan analis senior kebijakan keamanan di Departemen Pertahanan AS, membuat komentar tersebut dalam sebuah wawancara dengan Press TV pada hari Sabtu (18/6/2016) saat mengomentari laporan baru oleh Pentagon yang mengungkapkan bahwa pemerintah Afghanistan merasa kurang aman pada waktu baru-baru ini dibandingkan sebelumnya.


Laporan Pentagon kepada Kongres AS tentang perkembangan perang di Afghanistan sejak Desember lalu, mengatakan (pemerintah) Afghanistan merasa tidak lebih terlindungi sekarang. Laporan itu mengatakan persepsi keamanan mendekati posisi terendah sepanjang masa.

"Persepsi orang Afghan sejauh tentang ketidakamanan di negara ini lebih besar sekarang sangat valid. Ketika Amerika Serikat menarik diri dan mundur kembali dari Kabul, daerah yang mereka telah kosongkan akan diisi oleh Taliban," kata Maloof.

"Beberapa dari orang Amerika yang berada di Afghanistan mengatakan kepada saya bahwa jika Amerika Serikat meninggalkan Kabul, itu akan diambil alih dalam waktu tiga hari. Dan itu pernyataan mengejutkan mengingat semua uang yang telah dihabiskan untuk melatih pasukan dan personel keamanan Afghanistan selama bertahun-tahun, dan mereka masih tidak siap dan tidak mampu menahan Taliban," katanya.

"Taliban juga telah menjadi jauh lebih keras sejak kematian memimpin mereka, Mullah Muhammad Umar ... mereka telah menjadi jauh lebih militan secara alamiah. Dan mereka sangat memilih untuk tidak berurusan (berdamai-Red) dengan pemerintah Afghanistan yang ada," kata sang analis.

Pekan lalu, Presiden AS Barack Obama memerintahkan militer Amerika untuk menghadapi Taliban secara lebih langsung dan mengizinkan bersama pasukan Afghanistan memerangi kelompok mujahidin tersebut, mengenjot konflik 15 tahun yang ia telah berjanji untuk akhiri.

AS dan sekutunya menginvasi Afghanistan pada 7 Oktober 2001 sebagai bagian dari apa yang disebut Washington sebagai perang melawan teror (baca;mujahidin). Serangan itu menggulingkan Taliban dari pemerintahan mereka yang sah, tetapi setelah sekitar satu setengah dekade, pasukan asing masih belum mampu menundukkan perjuang bersenjata Taliban untuk merebut kembali kekuasaan dan membangun keamanan bagi pemerintahan boneka mereka di negara itu.

Setelah menjadi presiden pada tahun 2008, Obama berjanji untuk mengakhiri perang Afghanistan - salah satu konflik terlama dalam sejarah AS.

Pada Oktober tahun lalu, Obama mengumumkan rencana untuk menyimpan 9.800 tentara AS di Afghanistan sampai 2016 dan 5500 pada tahun 2017, mengingkari janjinya untuk mengakhiri perang di sana dan membawa pulang seluruh pasukan Amerika dari negara Asia tersebut sebelum ia meninggalkan kantor.

Menurut pejabat AS, Washington juga akan mempertahankan kemampuan kontra "terorisme" besar berupa pesawat teror drone dan pasukan Operasi Khusus untuk memerangi mujahidin di Afghanistan. (st/ptv)
http://www.voa-islam.id./read/world-news/2016/06/19/44765/mantan-pejabat-as-jika-amerika-pergi-kabul-akan-jatuh-ke-tangan-taliban-dalam-3-hari/#sthash.kuiaM5Cq.dpbs



Diancam AS, Begini 
Respon Taliban

Taliban

Mujahidin Imarah Islam (Taliban) baru-baru ini mengeluarkan pernyataan bahwa serangan drone AS yang telah menewaskan pemimpin Taliban, Mullah Akhtar Manshour, termasuk sejumlah  asasinasi oleh musuh dan penahanan terhadap para pemimpin jihad lainnya tidak akan melemahkan tekad dan semangat berjihad para pejuang Imarah Islam. Sebaliknya, merupakan kewajiban syar’i bagi Taliban untuk terus berperang meskipun sempat mengalami kerugian dengan gugurnya sejumlah figur pemimpin mereka. Lebih lanjut, Imarah Islam mengatakan bahwa Barat – AS dan Eropa – telah terjerumus di Afghanistan selama 15 tahun karena gagal memahami psikologi jihad gerakan Taliban.
Taliban merilis pernyataannya tersebut sebagai respon terhadap seruan & ancaman Presiden Obama dan Menteri Luar Negeri John Kerry kepada Taliban untuk melanjutkan perundingan dengan pemerintah Afghanistan bentukan AS supaya Washington tidak lagi menargetkan pemimpin-pemimpin jihadis mereka. Seperti dilaporkan, untuk pertama kalinya serangan drone Amerika telah menewaskan pemimpin gerakan, Mullah Manshour, pada tanggal 21 Mei lalu di salah satu wilayah basis Taliban di Baluchistan, Pakistan.
“Taliban menganggap perjuangan yang kini terus berlangsung untuk mengusir para agresor asing merupakan suatu kewajiban agama yang disebut jihad. Dan mereka siap menghadapi segala bentuk kesulitan dalam rangka memenuhi kewajiban tersebut,” bunyi pernyataan Taliban menyikapi ancaman pembunuhan AS terhadap para pemimpin jihad mereka. Bagi Taliban, segala bentuk kesulitan dalam berjihad, seperti: penyiksaan, luka-luka, dipenjara, atau bahkan mati sekalipun merupakan cara untuk meraih keridhoan Allah. Dan mati dalam perjuangan – jihad – adalah syahid.
Dalam rilisan tersebut, Imarah Islam juga mengutip sejumlah ayat al-Quran, “Di banyak tempat dalam al-Quran, Allah SWT menggambarkan mati syahid sebagai suatu berkah nan suci, sehingga Allah SWT menyatakan di satu bagian ayat bahwa ‘Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, mereka tidak mati, bahkan mereka hidup, tetapi kalian tidak tahu’.  Di ayat lain, Allah SWT menyatakan ‘Janganlah kamu mengira bahwa orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati, bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizki’.”
Selanjutnya, Taliban mengatakan bahwa Barat telah gagal memahami motivasi mengapa Taliban akan terus berperang, dan menyangkal bahwa tujuan mereka semata-mata untuk mengejar kekuasaan. Kegagalan ini hanya akan memperkuat tekad Taliban untuk terus berperang: “Kegagalan terbesar musuh kita adalah bahwa mereka telah gagal memahami psikologi Taliban. Sebagai contoh, beberapa kali Washington dan para pejabat di Kabul menawarkan akan memberi jatah peran bagi Taliban di pemerintahan Afghanistan. Faktanya bahwa Taliban tidak berperang demi meraih kursi kekuasaan. Jika memang tujuannya adalah kekuasaan, mengapa Taliban menolak syarat-syarat yang diajukan Amerika?”
Mereka (Taliban) bisa saja menerima tawaran Amerika itu, sehingga hari ini tidak akan ada lagi orang-orang Taliban yang di-blacklist, tidak ada lagi DPO,  bebas dari tuduhan terorisme, bebas dari siksaan di Guantanamo, di penjara Baghram, di Kandahar, termasuk tidak ada lagi serangan-serangan drone. Taliban melihat perjuangan mereka saat ini sebagai Jihad, dan mereka siap mengorbankan kehidupan dan nyawa mereka di atas jalan perjuangan dalam rangka meraih keridhoan Tuhannya. Dan apalagi yang mereka saling memberi ucapan selamat selain menghadapi berbagai kesulitan yang dihadapi dalam perjuangan.
Bukankah (bagi Amerika) ini adalah sesuatu yang “absurd” alias “gak nyambung” di mana satu pihak sangat terobsesi dengan mati-syahid, mereka berdoa lima kali sehari supaya dimatikan sebagai martir/syahid, lalu menganggap mati-syahid itu sebagai prestasi atau capaian tertinggi yang mungkin dicapai, dan bangga dengannya; sementara ada pihak lain yang menebar ancaman dengan ‘obsesi’ yang sama berupa kematian (syahid), dan menakut-nakuti dengan mengatakan “jika kalian tidak mengubah keinginan kalian maka akan kami penuhi ‘obsesi’ kalian.” Ancaman apa lagi yang lebih disukai Taliban selain kematian di jalan-Nya?
Sementara retorika semacam ini sering dianggap tidak lebih dari sekedar propaganda, realitanya bahwa Taliban betul-betul menganut prinsip itu. Banyak di antara pemimpin mereka yang terbunuh ataupun dipenjara sejak invasi AS tahun 2001 di Afghanistan. Operasi militer besar-besaran pimpinan AS yang dilancarkan dari tahun 2009 hingga 2012 juga telah menekan jajaran kepemimpinan dan barisan pejuang mereka. Ratusan pemimpin dan ribuan pejuang telah gugur saat pasukan AS mengusir Taliban dari wilayah pertahanan mereka di selatan.
Berbagai “kerugian” itu tidak lantas mampu memaksa Taliban mau bernegosiasi ke meja perundingan. Sebaliknya, Taliban memilih bermanuver untuk melakukan konsolidasi dan menunggu, kemudian pada saat yang tepat kembali melancarkan serangan dengan rencananya sendiri yang secara pelan namun pasti dapat memperoleh kembali satu per satu wilayah-wilayahnya. Taliban tetap pada determinasi awal bahwa mereka tidak akan bernegosiasi dengan musuh, sebaliknya akan terus berusaha hingga berhasil mengusir pasukan penjajah asing, menerapkan syariah (Hukum Islam), dan mengembalikan otoritas Imarah Islam Taliban di Afghanistan.
Imarah Islam (Taliban) juga memberikan respect yang sama terkait hubungannya dengan al-Qaidah. Meski di bawah tekanan AS dan kekuatan-kekuatan internasional pasca peristiwa 11/9, Taliban menolak menyerahkan Usamah Bin Ladin dan para kader pemimpin al-Qaidah lainnya, termasuk para agen dan pejuang organisasi jihadis itu yang berbasis di Afghanistan. Sebaliknya, Taliban secara tegas menyatakan bahwa mereka mempunyai kewajiban agama untuk melindungi saudara-saudara mereka. Lima belas tahun berlalu semenjak invasi AS ke Afghanistan, Taliban masih konsisten menolak putus dengan al-Qaidah, bahkan secara terbuka menerima sumpah setia pemimpin al-Qaidah, Dr. Aiman adz-Dzawahiri kepada pemimpin Taliban, Mullah Manshour.
Reporter : Yasin Muslim
http://www.kiblat.net/2016/06/19/diancam-begini-respon-taliban/