Sunday, June 19, 2016

Ketika Syariat Islam Tidak Diberlakukan, Kemana Umat Islam Berhukum?

Hijrah ke Habasyah. (Islamstory)

Islam adalah agama yang syumul. Mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu Allah SWT mewajibkan kepada umatnya untuk senantiasa berhukum dengan hukum Allah dalam setiap perkara. Hal ini Allah wajibkan agar terciptanya keadilan. Dengan pelbagai cara Allah memerintahkan kepada hamba-Nya agar berhukum dengan hukum Allah. Kadang dengan menggunakan kata perintah, ancaman bagi yang meninggalkan, atau dengan memuji bahwa Allah adalah sebaik-baik Zat pembuat hukum. Sebagaimana firman Allah :

وَأَنِ احْكُم بَيْنَهُم بِمَا أَنزَلَ اللّهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَن يَفْتِنُوكَ عَن بَعْضِ مَا أَنزَلَ اللّهُ إِلَيْكَ فَإِن تَوَلَّوْاْ فَاعْلَمْ أَنَّمَا يُرِيدُ اللّهُ أَن يُصِيبَهُم بِبَعْضِ ذُنُوبِهِمْ وَإِنَّ كَثِيراً مِّنَ النَّاسِ لَفَاسِقُونَ (49) أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللّهِ حُكْماً لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ (50)

Artinya :”Dan hendaklah kamu berhukum dengan apa yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayaimu atas sebagian yang Allah turunkan kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang Allah turunkan) maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka karena dosa-dosa mereka. Dan sungguh kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik (49) APakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki? Dan siapakah yang lebih baik dari Allah (dalam menetapkan hukum)  bagi orang-orang yang yakin (50)”.  (QS Al Maidah 49-50)

Di dalam ayat di atas Allah memerintahkan berhukum dengan hukum Allah dan mengancam orang-orang yang meninggalkan hukum Allah. Di akhir ayat Allah menutup dengan kalimat tanya yang menyatakan bahwa Dia-lah sebaik-baik pembuat hukum.

Pada asalnya, berhukum kepada selain hukum Allah adalah terlarang, karena menyelisihi perintah Allah. Seringkali, berhukum dengan selain hukum Allah membuat pelakunya jatuh ke dalam kekafiran. Tentu saja, kaidah di atas akan berlaku apabila terpenuhi dhowabit (rambu-rambu) dan tidak adanya mawani’ (penghalang untuk dijatuhkan vonis takfir tersebut).

Kenyataannya umat Islam hari ini kesulitan untuk berhukum dengan hukum Allah. Baik umat Islam yang hidup di negara Barat seperti Amerika, Prancis, Jerman, Inggris dan lainnya. Maupun umat Islam yang hidup di negeri yang mayoritas dihuni kaum muslimin tetapi hukum yang berlaku bukanlah hukum Islam, seperti di negeri kita hari ini.

Kondisi ini membuat umat Islam seperti memakan buah simalakama. Ada keinginan berlepas diri dari hukum manusia, sementara di sisi lain mereka dizalimi dan dirampas hak-haknya. Padahal di antara cara yang tersedia untuk menghilangkan kezaliman adalah dengan “berhukum” dengan hukum buatan manusia yang jelas terlarang bahkan bisa membatalkan keislaman.

Berhukum dengan hukum selain Allah merupakan perkara yang besar di dalam agama ini. Meninggalkan hukum Allah bisa menyebabkan seseorang jatuh kepada kekufuran. Akan tetapi pada kondisi darurat para aktivis harus berhadapan dan bahkan harus “berhukum” dengan hukum selain Allah—padahal hal itu bisa mencacati akidahnya.

Mendudukkan hal ini Dr Hani’ As Siba’i (profil Dr Hani’ As Siba’i) salah seorang ulama jihad menulis sebuah risalah setebal 20 halaman yang berjudul “Hukmut Tahakum Ila Mahakim Tuthobbiq Al Qowanin Al Wad’iyyah; Risalah Ila ba’dhi syababi Ghuantanamo-“ (hukum berhukum kepada pengadilan yang menerapkan undang-undang positif; Risalah untuk para pemuda yang berada di Guantanamo).

Syaikh Hani’ memulai tulisan beliau dengan firman Allah SWT:

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ آمَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ …..(النساء 60)

Artinya : “Tidakkah engkau (Muhammad) memperhatikan orang-orang yang mengaku bahwa mereka beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan sebelummu, akan tetapi mereka masih ingin berhukum kepada Thaghut, padahal mereka telah diperintahkan untuk mengingkari thaghut itu….” (An Nisa’ 60)

Al-Allamah Thahir bin Asyur berkata, “Makna dari kata ‘yuriiduuna’ (menginginkan) adalah mereka menyukai hal tersebut dengan kecintaan yang mendorong untuk melakukan hal yang mereka sukai (berhukum dengan hukum selain Allah—Pent).” (At-Tahrir wa At-Tanwir 3/105)

Di dalam ayat ini Allah menyandarkan keharaman menggunakan hukum Allah dengan kemauan sendiri dan berlandaskan kecintaan sebagaimana yang dikatakan oleh Allamah Ibnu Asyur. Lain hal dengan sebagian kaum muslimin hari ini yang berada di penjara-penjara musuh Islam—khususnya Guantanamo.

Kami meyakini bahwa mereka memiliki keinginan untuk berhukum dengan hukum Allah dan syariat Islam. Akan tetapi, ke mana mereka harus pergi? Apakah ada peradilan syariat di dunia ini yang bisa mengentaskan kezaliman terhadap mereka? Apakah Amerika memberi pilihan kepada mereka untuk berhukum dengan hukum Allah, sementara setiap saat keimanan mereka terus diganggu oleh musuh-musuh Islam, mereka dizalimi dan dihinakan?

Inilah realita pahit kaum muslimin di dunia. Mereka mayoritas, tapi tidak punya sebuah peradilan yang berasaskan syariat untuk melawan kezaliman yang menimpa mereka.

Sementara jika mereka mencari keadilan lewat peradilan hukum positif, tak jarang mereka dituduh murtad oleh sebagian aktivis yang lain. Tuduhan ini dialamatkan kepada mereka karena mereka dianggap dengan sengaja dan sukarela berhukum dengan hukum selain Allah.

Untuk mendudukkan kondisi ini ada baiknya kita melihat dalil-dalil yang disampaikan oleh Dr Hani’ As Siba’i dalam risalah beliau.

Dalil pertama :

Firman Allah swt :

وَقَالَ لِلَّذِي ظَنَّ أَنَّهُ نَاجٍ مِّنْهُمَا اذْكُرْنِي عِندَ رَبِّكَ فَأَنسَاهُ الشَّيْطَانُ ذِكْرَ رَبِّهِ فَلَبِثَ فِي السِّجْنِ بِضْعَ سِنِينَ

Artinya : “Dan Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat diantara mereka berdua, ‘Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu.’ Namun setan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya. Sehingga tetaplah dia (Yusuf) dalam penjara beberapa tahun lamanya.” (QS : Yusuf 42)

Menerangkan ayat ini, Ibnu Jarir Ath Thobari berkata, “Yusuf berkata kepada orang yang diketahuinya akan selamat dari dua temannya yang meminta penafsiran mimpi kepadanya, ‘Udzkurni inda robbika.’ Maknanya, ‘Tolong beritahukan keadaanku kepada tuanmu dan ceritakan kepadanya kezaliman yang menimpaku. Aku dipenjarakan padahal aku tidak melakukan tindakan kriminal”. (Tafsir Jamiul Bayan Fi ta’wili ayatil Qr’an 7/257).

Imam Al-Qurtubi berkata dalam menafsirkan ayat di atas, “Ceritakan kepada tuanmu  (Raja) apa yang engkau saksikan dan bagaimana saya bisa menafsirkan mimpi raja. Sampaikan bahwa saya dipenjara padahal saya tidak melakukan kesalahan.” (Tafsir Al Jami’ li ahkamil qur’an 9/200)

Al-Allamah Jamaluddin Al Qosimi mengomentari ayat di atas, “Ayat di atas menunjukkan kebolehan meminta tolong dengan orang yang diduga kuat dapat menyelesaikan masalah (madzinnatu kasyfil ghummah) walaupun dia seorang musyrik.” (Mahasinut Ta’wil Al Qosimi 6/179).

Dr Hani’ As Sibai mengomentari ayat perkataan Al- Qosimi di atas, “Perhatikan detail ungkapan Allamah Al Qosimi yaitu “Madzinnatu kasyfil ghummah” (diduga kuat dapat menyelesaikan permasalahan). Mereka yang ada di penjara Guantanamo dan di penjara-penjara lainnya mereka dibelit permasalahan pelik—hanya Allah yang mengetahui seberapa besar ujian mereka. Apa yang dapat mereka harapkan untuk meringankan masalah yang ada pada mereka kecuali dengan cara mendatangi pengadilan yang berhukum dengan hukum positif? Semoga Allah menghilangkan masalah mereka.”

Dr Hani As Sibai melanjutkan, “Nabi Yusuf AS meminta kepada orang yang menuangkan minuman untuk raja, yang kemudian dibebaskan untuk menceritakan kepada raja perkara Yusuf yang dipenjara secara zalim. Sudah diketahui bahwa raja Mesir saat itu belum masuk Islam—menurut pendapat yang mengatakan bahwa raja Mesir saat itu masuk Islam kemudian menyerahkan pemerintahan kepada Yusuf AS sehinga Nabi Yusuf bisa leluasa mengatur Mesir. Artinya, boleh bagi seorang muslim untuk mengadukan kezaliman yang menimpanya kepada orang kafir, jika diduga kuat bahwa penguasa itu tidak menzalimi siapapun dan dengan keyakinan bahwa kezaliman yang menimpanya akan hilang atau berkurang lewat penguasa yang kafir”.

Bahkan Nabi Yusuf bertekad untuk tidak keluar dari penjara kecuali setelah raja mendengar detail kasusnya (Yusuf) dan memutuskan bahwa dirinya tidak bersalah. Kemudian raja mengabulkan permohonan Nabi Yusuf dan mengadakan pengadilan ulang dan mendengar kesaksian para saksi, istri raja, para wanita (yang memotong jari mereka) baru kemudian raja memutuskan bahwa Yusuf tidak bersalah. Sebagaimana yang dikisahkan dalam surat Yusuf ayat 50 – 52.

وَقَالَ الْمَلِكُ ائْتُونِي بِهِ ۖ فَلَمَّا جَاءَهُ الرَّسُولُ قَالَ ارْجِعْ إِلَىٰ رَبِّكَ فَاسْأَلْهُ مَا بَالُ النِّسْوَةِ اللَّاتِي قَطَّعْنَ أَيْدِيَهُنَّ ۚ إِنَّ رَبِّي بِكَيْدِهِنَّ عَلِيمٌ (50) قَالَ مَا خَطْبُكُنَّ إِذْ رَاوَدتُّنَّ يُوسُفَ عَن نَّفْسِهِ ۚ قُلْنَ حَاشَ لِلَّهِ مَا عَلِمْنَا عَلَيْهِ مِن سُوءٍ ۚ قَالَتِ امْرَأَتُ الْعَزِيزِ الْآنَ حَصْحَصَ الْحَقُّ أَنَا رَاوَدتُّهُ عَن نَّفْسِهِ وَإِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (51) ذَٰلِكَ لِيَعْلَمَ أَنِّي لَمْ أَخُنْهُ بِالْغَيْبِ وَأَنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي كَيْدَ الْخَائِنِينَ (52)

Artinya : “Raja berkata: “Bawalah dia kepadaku”. Maka tatkala utusan itu datang kepada Yusuf, berkatalah Yusuf: “Kembalilah kepada tuanmu (Raja) dan tanyakanlah kepadanya bagaimana halnya wanita-wanita yang telah melukai tangannya. Sesungguhnya Tuhanku, Maha Mengetahui tipu daya mereka (50) Raja berkata (kepada wanita-wanita itu): “Bagaimana keadaanmu ketika kamu menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?” Mereka berkata: “Maha Sempurna Allah, kami tiada mengetahui sesuatu keburukan dari padanya”. Berkata isteri Al Aziz: “Sekarang jelaslah kebenaran itu, akulah yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar (51)  (Yusuf berkata): “Yang demikian itu agar dia (Al Aziz) mengetahui bahwa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di belakangnya, dan bahwasanya Allah tidak meridhai tipu daya orang-orang yang berkhianat (52)”. (QS Yusuf : 50 -52)

Kalau kita perhatikan dengan seksama, apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS adalah upaya hukum untuk meninjau kembali kasusnya. Karena menurut Nabi Yusuf telah terjadi kesalahan dan ketidakadilan atas putusan yang ia terima.

Apa yang dilakukan oleh Nabi Yusuf AS mendapat pujian dari Nabi Muhammad SAW di dalam Shahih Bukhari. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda:

لَوْ لَبِثْتُ فِي السِّجْنِ مَا لَبِثَ يُوسُفُ ثُمَّ أَتَانِي الدَّاعِي لَأَجَبْتُهُ

“Kalau aku tinggal di penjara selama Yusuf dipenjara, lalu datang padaku seorang penyeru (untuk keluar penjara), aku pasti akan sambut seruannya.” (HR Bukhari, Kitab At Ta’bir, Bab Ru’ya Ahlus sujun wal fasad no 6992)

Di dalam hadits di atas Rasulullah SAW memuji nabi Yusuf AS karena kesabaran beliau. sampai-sampai Rasulullah saw mencontohkan jika seandainya dia berada pada posisi Yusuf, dia akan langsung keluar penjara saat ada yang menyuruh keluar. Akan tetapi nabi Yusuf AS bertahan dan meminta untuk membuktikan kalau dirinya tidak bersalah.
Dalil kedua

روى البيهقي بسنده عن الْحَارِثِ بْنِ هِشَامٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهَا قَالَتْ : لَمَّا ضَاقَتْ عَلَيْنَا مَكَّةُ وَأُوذِىَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَفُتِنُوا وَرَأَوْا مَا يُصِيبُهُمْ مِنَ الْبَلاَءِ وَالْفِتْنَةِ فِى دِينِهِمْ وَأَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- لاَ يَسْتَطِيعُ دَفْعَ ذَلِكَ عَنْهُمْ وَكَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مَنْعَةٍ مِنْ قَوْمِهِ وَعَمِّهِ لاَ يَصِلُ إِلَيْهِ شَىْءٌ مِمَّا يَكْرَهُ مَمَّا يَنَالُ أَصْحَابَهُ فَقَالَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- :« إِنَّ بِأَرْضِ الْحَبَشَةِ مَلِكًا لاَ يُظْلَمُ أَحَدٌ عِنْدَهُ فَالْحَقُوا بِبِلاَدِهِ حَتَّى يَجْعَلَ اللَّهُ لَكُمْ فَرَجًا وَمَخْرَجًا مِمَّا أَنْتُمْ فِيهِ ». فَخَرَجْنَا إِلَيْهَا أَرْسَالاً حَتَّى اجْتَمَعْنَا بِهَا فَنَزَلْنَا ِخَيْرِ دَارٍ إِلَى خَيْرِ جَارٍ أَمِنَّا عَلَى دِينِنَا وَلَمْ نَخْشَ مِنْهُ ظُلْمًا. وَذَكَرَ الْحَدِيثَ بِطُولِهِ. سنن البيهقي الحديث رقم 18190.

“Al Baihaqi meriwayatkan dari Harits bin Hisyam dari Ummu Salamah RA istri Nabi SAW, beliau berkata, “Saat kota Makkah terasa sempit bagi kami, dan para sahabat Rasulullah SAW mendapat gangguan, siksaan dan mereka melihat ujian dan siksaan yang menimpa agama mereka, sementara Rasulullah SAW tidak mampu menghindarkan mereka dari hal tersebut dan Rasulullah sendiri tidak mendapatkan apa yang tidak dia sukai (cobaan dan siksaan) sebagaimana yang diterima oleh sahabat beliau, karena beliau berada dalam perlindungan kaum dan pamannya. Rasulullah SAW berkata kepada mereka, “Sesungguhnya di sebuah negeri yang bernama Habasyah ada seorang raja. Orang yang berada di bawah kekuasaannya tidak dizalimi. Maka pergilah kalian ke negerinya hingga Allah memberikan kalian jalan keluar atas keadaan kalian.” Kemudian kami berangkat ke sana dengan berkelompok, hingga kami berkumpul di sana. Kami menempati sebaik-baik tempat dan memiliki sebaik tetangga. Kami merasa aman dengan agama kami dan kami tidak takut kezaliman menimpa kami.” Kemudian diceritakan hadits yang panjang (HR Al Baihaqi 18190)

Hadit di atas berisi anjuran dari Rasulullah SAW kepada para sahabatnya yang terzalimi untuk mencari perlindungan kepada raja yang tidak zalim, walaupun raja tersebut bukanlah seorang muslim menerapkan hukum agamanya.

Dalil ke-tiga

Peristiwa Hilful Fudhul. Hilful Fudhul adalah sebuah kesepakatan yang terjadi sebelum diutusnya Rasulullah SAW yaitu sebuah perjanjian di kalangan Arab Makkah untuk bersama-sama mengembalikan hak-hak orang yang terzalimi.

Ibnu Hisyam berkata, “Adapun peristiwa Hilful Fudhul, bercerita kepadaku Ziyad bin Abdullah Al Buka’i, dari Muhammad bin Ishaq berkata, “Kabilah-kabilah Quraisy saling menyeru untuk mengadakan sebuah perjanjian. Kemudian mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jad’an bin Amru bin Ka’ab bin Sa’ad bin Taim bin Murroh bin Ka’ab bin Luay. Mereka berkumpul di sana karena kemuliaan dan umurnya. Dan yang yang bersekutu saat itu adalah Bani Hasyim, Bani Muththalib, Asad bin Abdul Uzza, Zuhroh bin Kilab dan Taim bin Murroh.

Mereka membuat perjanjian dan sumpah bahwa tidak ada di kota Makkah seorang yang terzalimi, baik itu dari penduduk Makkah ataupun orang lain yang memasuki Makkah kecuali mereka akan berdiri membelanya dan mereka akan senantiasa melawan orang yang menzalimi hingga orang yang menzalimi mengembalikan hak-hak rang yang terzalimi.

Kemudian Quraisy menamakan perjanjian itu dengan nama Hilful Fudhul. Ibnu Ishaq berkata, “Bercerita kepadaku Muhammad bin Zain bin Al Muhajir bin Qanfadz At Taimi bahwa dia mendengar Thalhah bin Abdullah bin Auf Az Zuhri berkata, Rasulullah SAW bersabda, “Saya menyaksikan sebuah perjanjian (diadakan) di rumah Abdullah bin Jad’an. Saya lebih menyukai hal tersebut ketimbang diberikan kepada saya unta merah. Dan jika setelah datangnya Islam saya diajak untuk melakukan perjanjian (seperti hilful fudhul) maka saya akan memenuhi ajakan tersebut.” (Sirah Nabawiyah Ibnu Hisyam 169-170)

Perjanjian serupa juga pernah terjadi di zaman Jahiliyah. Yaitu Hilful Muthayyabin. Dinamakan Hilful Muthayyabin karena Bani Abdi Manaf meletakkan bejana yang dipenuhi Thiib (parfum) kemudian orang-orang yang membuat perjanjian memasukkan tangan mereka dan mereka saling berjanji untuk saling tolong menolong dan tidak mengkhianati satu sama lain. Kemudian mereka mengusap tangan mereka ke dinding Ka’bah.

Mengomentari hal tersebut Rasulullah SAW bersabda:

شَهِدْتُ مَعَ عُمُومَتِي حِلْفَ الْمُطَيَّبِينَ ، فَمَا أُحِبُّ أَنْ أَنْكُثُهُ وَ أَنَّ لِي حُمْرَ النَّعَمِ

Artinya, “Pada usia anak-anak, saya bersama paman-paman saya mengikuti hilful muthayyabin. Saya tidak mau membatalkannya secara sepihak meski untuk itu saya diberi unta merah.” (HR. Ahmad, Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad dan Imam Ahmad di Al Musnad 1677)

Kedua komentar Rasulullah SAW di atas merupakan pujian yang beliau berikan kepada dua perjanjian di atas. Padahal kedua perjanjian tersebut digagas oleh para pembesar Quraisy dan orang-orang musyrik dalam rangka menolong orang-orang yang terzalimi dan mengambil haknya dari orang yang menzalimi.

Menurut syaikh Hani As Sibai, hilful fudhul maupun hilful muthayyabin mirip dengan pengadilan hari ini. Yaitu orang yang terzalimi berhak mengadukan aduannya dan aduannya didengar, kemudian pihak tertuduh dipanggil untuk didengar pula penjelasannya. Setelah mendengar penjelasan kedua belah pihak (baik yang terzalimi maupun yang menzalimi) barulah kemudian diputuskan, yaitu dengan mengembalikan hak orang yang terzalimi. Rasulullah memuji perjanjian tersebut bahkan beliau tidak mau mengingkarinya walaupun diberi unta merah. Mengapa?

Karena apa yang dilakukan oleh orang-orang musyrik dengan membuat perjanjian dan menolong orang yang terzalimi tidak bertentangan dengan maqoshid syari’ah (tujuan dasar syariat) yaitu dalam berlaku adil terhadap orang yang terzalimi dan menghindarkannya dari bahaya. Oleh karena itu, barang siapa yang terpaksa mendatangi pengadilan hukum positif—yang berhukum dengan hukum selain Allah—untuk mengembalikan haknya dan mengangkat kezaliman dari dirinya, bukanlah termasuk ingin memutuskan (tahakum) kepada hukum thaghut, walaupun secara zahir sama dengan orang yang tahakum dengan hukum thaghut. Demikian Syaikh Hani As-Sibai menegaskan.

Dalil ke-empat

Di antara pendukung dari dalil-dalil di atas adalah beberapa fatwa dari para ulama kontemporer.

Fatwa Lajnah Daimah lil Buhuts Al-Ilmiyah wal Ifta.’
Soal no 13 : Apa hukum memutuskan peradilan Amerika terkait perselisihan yang terjadi antara kaum muslimin dalam masalah talak, perdagangan dan persoalan lainnya?

Jawaban : Tidak boleh bagi seorang muslim berhukum kepada peradilan yang memberlakukan hukum positif kecuali pada kondisi terpaksa. Yaitu apabila tidak ada peradilan syariat. Dan apabila diputuskan baginya apa-apa yang sebenarnya bukan haknya, maka tidak boleh baginya untuk mengambilnya. (Fatwa ini ditandatangani oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, Syaikh Sholih bin Fauzan Al Fauzan, Syaikh Abdul Azis bin Abdullah alu syaikh dan Syaikh Abdul Azis bin Baz. Juz 23, halaman 503)

Fatwa Syaikh Abdurrahman bin Nashir Al Barrak
Soal : “Apabila terjadi persengketaan muslim di negeri-negeri kafir atau yang sejenis, apakah boleh baginya untuk mengangkat perkara itu ke peradilan yang berhukum dengan hukum positif?”

Jawaban : “Segala puji hanya milik Allah semata. Sholawat dan salam kepada Nabi terakhir. Amma ba’du. Apabila seorang menjadi objek pidana baik itu terhadap jiwanya, hartanya atau kehormatannya, maka diperbolehkan baginya untuk mengadukan permasalahannya kepada pihak yang mampu menghilangkan kezaliman tersebut, atau mampu mencegah kezaliman tersebut pada dirinya. Diperbolehkan kepada orang yang terzalimi untuk meminta bantuan kepada orang yang mampu membantunya tanpa melakukan tindakan yang melampaui batas kepada orang yang menzaliminya.

Apabila dia mengetahui bahwa pihak yang dimintai pertolongan untuk menyelesaikan persengketaan (pengadilan) akan membebani orang yang menzaliminya (terdakwa) dengan denda lebih, maka tidak boleh baginya mengambil kecuali hanya sebatas yang menjadi haknya, walaupun pengadilan memutuskan hal tersebut. Yang demikian ini bukanlah termasuk berhukum (tahakum) kepada thaghut. Sesungguhnya seseorang dikatakan berhukum kepada thaghut apabila dia lebih memilih hukum thaghut dibandingkan hukum Allah, dia ridho dan menerima secara sukarela hukum thaghut tersebut, meskipun ia mengetahui bahwa hukum tersebut menyelisihi syariat Allah. Dan segala bentuk undang-undang positif yang diterapkan oleh orang-orang kafir seperti Yahudi dan Nasrani  maupun orang-orang yang menisbahkan diri kepada Islam disebut menyelisihi syariat Allah.

Sebagai contoh, tidak boleh bagi seorang perempuan mengadukan suaminya (karena tidak memberi nafkah) jika ia mengetahui bahwa pengadilan akan mendenda suaminya melebihi dari apa yang telah ditentukan syariat. Sebagaimana tidak boleh baginya untuk menuntut hak warisnya, sementara dia mengetahui bahwa pengadilan menyamaratakan bagian waris laki-laki dan perempuan. Maka tidak boleh baginya mengambil kecuali bagian yang telah Allah wajibkan baginya di dalam Al-Quran. Allah berfirman :

Artinya : “Untuk seorang laki-laki dua kali bagian perempuan”. (QS An Nisa’ :11)

Ayat di atas berlaku bagi anak-anak (laki dan perempuan), saudara kandung maupun sebapak (laki dan perempuan).

Mengadu ke pengadilan hukum positif dalam kondisi seperti itu termasuk hal yang darurat. Karena kalau diharuskan kepada muslim yang tinggal di daerah tersebut (daerah yang tidak berhukum dengan hukum Allah) untuk tidak mengadukan kasusnya, maka akan timbul bahaya yang besar dan orang zalim/mujrimun (pendosa) akan dengan mudah menguasai (menzalimi) umat Islam, jika mereka mengetahui bahwa umat Islam tidak akan melawan (melalui pengadilan hukum positif).

Atas dasar ini dapat diketahui bahwa berhukum (mengadukan kasus) kepada pengadilan seperti ini termasuk perkara darurat dan tidak menafikan “Al-Kufru bit Thaghut” (mengkufuri thaghut), yaitu setiap hukum yang bertentangan dengan syariat Allah yang Allah turunkan lewat Kitan-Nya atau melalui Sunnah Rasul-Nya SAW. (Fatwa Tanggal 6-10-1426 H).

Kesimpulan Syaikh Hani As Siba’i

Pada dasarnya berhukum itu tidak diperbolehkan, kecuali hanya kepada hukum Allah. Melihat Umumul Balwa (kondisi yang tidak bisa dihindari) yang menimpa kaum Muslimin di seluruh dunia dengan hilangnya negara Islam (dalam pengertian yang sebenarnya) yang menjadi tempat bernaung kaum muslimin dan mereka berhukum dengan perundang-undangan Islam yang diambil dari syariat Islam sebagai sumber tunggal pensyariatan.

Hampir bisa dikatakan seorang Muslim tidak bisa mendapati sebuah negara Islam di dunia ini yang berhukum dengan syariat Islam sebagaimana para salaf melakukannya.

Oleh karena itu Muslim yang hidup di negeri yang tidak menerapkan undang-undang Islam seperti Amerika, Eropa, Rusia, China dan negara Islam yang tidak berhukum dengan hukum Islam, kemudian muslim tadi menjadi korban kriminal baik berupa pembunuhan, pencurian, penjara, atau berbagai macam bentuk tindakan melampaui batas terhadap jiwa, anggota badan, kemudian dia tidak bisa mengambil haknya, maka berdasarkan :

firman Allah : “Bertakwalah kalian semampu kalian..”. (QS At Taghobun : 16)
Kondisi darurat. Sebagaimana sudah diketahui oleh ulama usul fikih bahwa adh dhoruriyat merupakan maslahat yang merupakan dasar pensyariatan. Kondisi Darurat yang berbentuk dar’ul mafasid (menolak bahaya) terwujud dalam menolak bahaya dari 6 hal, Agama, jiwa, akal, nasab, harga diri dan harta.
Kaidah fikih Adh-dhororu yuzal (Hal yang mudharat harus dihilangkan)
Dan dalil-dalil lainnya yang bertujuan untuk mengangkat kesulitan dan kepayahan dari umat Islam. Berkata Abul Ma’ali Imam Haramain Al Juwaini, “Sudah merupakan konsekuensi dari akal kami bahwa syariat tidak datang dengan hal yang menyebabkan kehancuran penduduk bumi.” Beliau melanjutkan, “Apabila hal yang haram memenuhi penduduk suatu zaman dan tidak ada cara mendapatkan yang halal, maka diperbolekan bagi mereka untuk mengambil yang haram sesuai kebutuhan.” (Ghiyatsul Umam fi Tayyatsi Zholam 478).
Atas dasar hal tersebut saya (Hani As Siba’i) katakan, “Diperbolehkan bagi seorang muslim untuk mengadukan kasus (tahakum) kepada pengadilan hukum positif dengan tujuan untuk mengembalikan hak-haknya dan menghilangkan kezaliman atas dirinya. Namun pada saat yang sama tidak boleh baginya untuk mengambil sesuatu yang bukan haknya atau melebihi dari hak yang dia miliki.

Barangsiapa yang mengatakan haramnya bertahakum kepada pengadilan hukum positif, padahal syarat-syarat yang saya sampaikan di atas telah terpenuhi maka, dia telah membuat kesulitan yang besar terhadap kaum muslimin. Bahkan dia menjadikan darah, harga diri, harta dan seluruh hak-hak kaum muslimin dilanggar dan dilecehkan oleh orang-orang yang berlaku zalim kepada mereka. Tentunya hal seperti ini tidak diinginkan oleh syariat Islam beserta maqoshidnya yang besar dengan menjaga din, jiwa, harta, harga diri dan mengangkat kezaliman dari kaum muslimin.” Wallahu a’lam
Penulis : Miftahul Ihsan Lc