Safar Berlik, istilah yang
masih diperbicangkan oleh sejarawan dan anak-cucu penduduk Madinah
al-Munawwarah sekitar 1 abad silam.
Sebagian berpendapat bahwa
istilah tersebut diartikan sebagai persiapan tentara untuk berperang. Pendapat
lain mengartikan deportasi warga dari tanah kelahirannya.
Keduanya merupakan perbedaan
yang saling melengkapi, bukan yang bertentangan.
Inilah salah satu
peristiwa Safar Berlik yang paling memilukan penduduk Madinah
al-Munawwarah di tahun 1915:
Seratus tahun yang lalu,
tepatnya pada tahun 1334 H (1915 M), sejumlah besar tentara Turki tiba di
Madinah, setelah perjalanan panjang dan melelahkan dari Istanbul.
Mereka dipersenjatai dengan
kekasaran dan perintah yang tegas.
Ketika itu adalah musim
dingin yang ekstrem di Madinah dan penduduknya hidup penuh kedamaian.
Para prajurit dengan terpal
merah dan senjata tergantung di tangan, menyebar ke gang-gang dan lingkungan
kota yang terkenal.
Perintah yang diberikan
kepada para prajurit dari Fakhri Pasha, komandan militer mereka, adalah
melakukan pemindahan paksa, tanpa terkecuali dan ampun, kepada setiap orang
ditemui, baik pria, wanita ataupun anak-anak.
Keputusan Astana di Istanbul
di atas merupakan upaya untuk mengantisipasi terjadinya perang di Hijaz dan
mungkin wilayah Arab lainnya yang berada di bawah pendudukan Turki selama
berabad-abad.
Madinah Al-Munawwarah sedang
dirubah menjadi barak militer Utsmani.
Ini adalah kisah “Safar
Berlik” yang mengerikan, bencana pengungsian massal dan pemindahan paksa yang
diterapkan Daulah Utsmaniyah.
Ribuan pria, wanita dan
anak-anak, meninggalkan Madinah selama lima tahun, dihuni oleh 2.000 tentara
Turki dan beberapa lusin wanita dan anak-anak yang selamat dari deportasi
massal tersebut.
Cerita dimulai dari
penunjukan Fakhri Pasha oleh Astana yang tergesa-gesa, sebagai pimpinan militer
di Madinah.
Hal ini dipengaruhi kondisi
cepat berubah pada saat itu, kekuatiran bahwa Madinah akan bergabung dengan
revolusi Arab berikutnya.
Kecurigaan terhadap penduduk
Madinah yang mulai bersimpati terhadap cita-cita revolusi, yang kemudian
terjadi pada tahun 1916 M.
Fakhri Pasha mempercepat
keputusan untuk membersihkan Madinah dari penduduknya, dan secara paksa
mendeportasi mereka ke daerah-daerah yang jauh di Syam, Turki, Irak, Yordania
dan Palestina.
Dia berusaha menjaga kota
Madinah sebisa mungkin dengan mempersenjatai kota, takut serangan suku-suku
Badui yang mengepungnya, yang ingin membebaskannya dari pendudukan Utsmani.
Fakhri Pasha mengambil
beberapa langkah diktator. Yang paling penting adalah memperpanjang rel kereta
api, dari Bab Al-Anbariyah, hingga ke dalam jantung kota, di dekat Bab
Al-Salam.
Akibatnya, jalan Al-‘Ain,
pasar, tembok, dan rumah-rumah yang dilalui jalur rel kereta api harus
dihancurkan.
Tujuannya adalah mengubah
tempat suci Nabi menjadi benteng militer dan gudang senjata tanpa memperhatikan
kesucian Tempat Suci.
Untuk itu, semua harta
warisan nabi yang tak ternilai harganya, diangkut ke Turki.
Proses perpindahan
besar-besaran melalui kereta Hijaz, menabrak tatanan sosial yang diwariskan
Madinah selama berabad-abad.
Akibatnya, krisis kelaparan
yang parah, terutama wanita dan anak-anak yang tersisa di Madinah.
Samapai-sampai mereka makan rumput dan binatang yang didapati.
Kejahatan lain yang terjadi
Madinah oleh tentara Fakhri Pasha adalah menyerbu rumah-rumah, mendobrak pintu
mereka dengan paksa, kemudian memisahkan keluarga.
Anak-anak dan wanita diculik
di jalanan tanpa ampun, kemudian diseret bersama atau dipisahkan di gerbong
kereta Hijaz untuk dibuang secara acak setelah perjalanan panjang ke Turki,
Yordania dan Suriah.
Hakim Madinah, Ibrahim bin
Abdul Qadir bin Al-Afandi Omar Al-Bari Al-Hashimi Al-Madani, yang lahir di
Madinah pada 1281 H dan meninggal pada tahun 1354 H, yang menjadi rujukan fatwa
di Madinah, mengungkapkan sebagian dari penderitaannnya.
Dia bersama keluarganya
dideportasi paksa dari rumah mereka, demi sebuah proyek; Turkifikasi.
Pada awal 1334 H, Fakhri
Pasha, Gubernur Madinah, meminta Syaikh Abdul Qadir Al-Bari (ayah dari Syaikh
Ibrahim) untuk meninggalkan Madinah bersama keluarganya.
Dia bersama dengan dua
putranya, Syaikh Ibrahim, istri, anak dan cucunya, serta Syaikh Abdul Aziz
Al-Bari yang belum menikah.
Perjalanan itu sangat
menegangkan, mereka tidak tahu akhirnya atau memastikan tujuannya. Hingga
Perang Dunia Pertama mengguncang Madinah, meletus dan mencabik-cabik
penduduknya.
Kejahatan besar Daulah
Utsmaniyah di tangan Fakhri Pasha terhadap salah satu bagian bumi yang paling
murni berakhir di awal tahun 1338 H (1919 M).
Ini terjadi, setelah
perselisihan yang mengakibatkan salah satu pimpinan pasukan Fakhri Pasha
terbunuh.
Tonton video “Safar Berlik”
yang juga terjadi di Syam dan Irak:
*) Sumber: Buku “Safar
Berlik, Qarnun ala al-Jarimah al-Utsmaniyah fi al-Madinah al-Munawwarah“,
penerbit Daar Madarik, karya Muhammad As-Said.
Keadaan Al-Haramain Pada Masa
Turki Utsmani
dan Arab Saudi
Tidak sedikit tersebar
tulisan fitnah dan dusta terkait sejarah Makkah dan Madinah di awal berdirinya
Kerajaan Arab Saudi.
Dalam halaqah sejarah
kali ini, Dr. Sultan Al-Ashqah membawakan bukti sejarah dari sumber saksi hidup
yang mengalami pada masa tersebut.
Di antaranya, sejarawan
Kuwait, Muhyiddin Ridha, yang bercerita bagaimana kondisi Al-Haramaian di bawah
kekuasaan Turki Utsmani.
Kesaksiannya tertuang dalam
buku “Rihlatii Ila Hijaz.” Dia menceritakan bahwa kondisi Hijaz kacau balau,
banyak kerusuhan, penindasan dan perampasan di musim haji.
Siapa saja yang ingin
menunaikan ibadah haji, merasa yakin tidak akan kembali lagi ke rumahnya, menggambarkan
bahwa zaman tersebut tidak aman.
Perjalanan ibadah haji
menjadi seperti menuju medan perang. Di masa Turki Utsmani, jasad manusia
didapati di jalanan menuju Makkah.
Hal serupa di atas juga
dikisahkan oleh Al-Amir Syakib Arselan dalam buknya “Al-Irtisaamat
Al-Lutthaf.”
Arselan saat itu langsung
diberitahu oleh putra-putra pangeran Makkah, bahwa desa di Taif, dekat Makkah,
masyarakatnya tidak sudi membuka gerbangnya untuk memberikan jalan kepada
siapapun.
Mereka takut dengan penjahat
di jalanan, begal, sampai tidak berani keluar rumah kecuali dengan membawa
senjata.
Kondisi hilangnya keamanan
tersebut, berlangsung cukup lama selama Turki Utsmani menguasai Hijaz.
Sejarawan dan tokoh terkemuka
Makkah kala itu, Husain Basalamah, mengisahkan hal yang sama dalam majalah “al-Kuwait
al-Iraqi”
Husein mengatakan bahwa
antara Makkah dan Jeddah terdapat 30 pos pemeriksaan tentara Turki. Demikan
pula antara Makkah dan Madinah, terdapat 11 pos pasukan Turki.
Setiap jemaah haji melewati
antar pos tersebut, diserang oleh begal; dirampas hartanya sebagi upeti agar
bisa melintas jalan tersebut. Jika ada yang melawan, akan disakiti hingga
dibunuh.
Dalam kondisi demikian,
pemerintah Turki Utsmani yang berkuasa kala itu, tidak melakukan apa-apa, telah
hilang amanah.
Bagaimana dengan kondisi
setelah Hijaz diambil alih oleh Raja Abul Aziz? Pertanyaan inilah yang diajukan
oleh politisi senior, Prof. Muhammad Husein Haikal, asal Mesir.
Simak jawaban Yang Mulia Raja
Abdul Aziz bin Abdirrahman Al faishal, rahimahullah dalam video ini: