Akhir yang dramatis Daulah Utsmani memiliki
peran dalam memfasilitasi penjajahan asing di negara-negara Arab. Dan itu
adalah alasan utama terjadinya bentrokan antara orang Arab dan Turki dalam masa
tersebut.
Salafi Meruntuhkan Khilafah Islam ??? Mengenal
'Arab Revolt' Dan Perjanjian Sykes-Picot 1916.
100 Tahun Perjanjian Sykes-Picot Yang Pecah
Belah Bumi Syam Dan Turki Utsmani
Perjanjian Faisal Bin Husein (Putra Syarif
Mekkah Husein Bin Ali, Penganut Sufisme, Keluarga Hasyimiyah) -Weizmann, Pintu
Masuk Yahudi Eropa Miliki Tanah Di Palestina. 'Arab Revolt', Pemberontakan
Keluarga Sufi Melawan Turki Utsmani
Konspirasi Dan Kolaborasi Syiah
(Alawiyin),Kristen Dan Yahudi, “Biang Kerok” Terbentuknya Negeri Yahudi Israel
Dan Memporak Porandakan Negara-Negara Arab, manifestasi Pelampiasan Birahi Dendam
Majusi Terhadap 'Umar Bin Khattab RA Dan Abu Bakar Ash-Shiddiq RA. Berdirinya
Negara Tauhid KSA Membendung Ekpansi Tersebut.
Fakta Mengejutkan ! Pengkhiatan Syiah di balik
runtuhnya kekhilafahan Islam (Utsmaniyah)
Awal Mula Berdirinya Negara Yahudi di Palestina
Bagaimana Israel Berdiri di Bumi Palestina?
Dongeng "Sejarah Berdarah Sekte Salafy Wahabi,
Mereka Telah Membunuh Semuanya, Termasuk Para Ulama", Ternyata Berisi
Terlalu Banyak Kedustaan Dan Manipulasi (Membongkar Koleksi Dusta Idahram 10)
Erdogan (Ataturkish) Dan Penjualan Yerusalem
Palestina, Bertemu Dengan Tokoh Zionis Pembantai Sabra Dan Shatilla Di
Jesrusalem
KERANCUAN SEJARAH WAHHABI : Sebuah kritik atas
pertentangan memoar Hempher dalam Buku Catatan Harian Seorang Mata-Mata: Kisah
Penyusupan Mata-Mata Inggris untuk Menghancurkan Islam
Mengenal Hempher Dan Fitnahnya Terhadap Syaikh
Muhammad Bin Abdul Wahab
Membongkar Kebohongan & Penyesatan Buku
”Sejarah Berdarah Sekte Salafi Wahabi”
Sejarah Dan Penyebab Runtuhnya Khilafah Turki
Utsmani, banyak yang tidak mengetahui sejarah sebenarnya
Siapakah Yang Menjadi Agen Inggris? Siapakah
Yang Meruntuhkan Daulah Utsmaniyah?
Syubhat Syaikh Sulaiman Bin Abdul Wahhab
Menjawab Syubhat Seputar Al Mujaddid Asy Syaikh Muhammad Bin Abdul Wahhab
Studi Kritis Atas Buku “Sejarah Berdarah Sekte
Salafi Wahabi” [2]
Tentang Ahmad Zaini Dahlan Dan Sikap Ulama Ahlu
Sunnah Terhadapnya
Apakah Masuknya Utsmani Ke
Negara-Negara Arab 500 Tahun Yang Lalu Merupakan Invasi (Ghazwu) Atau
Penaklukan (Futuh)?
Pangeran Abdul Aziz bin Sa’ud (saat itu adalah
penguasa Riyadh dan Nejed, pemimpin politik
gerakan dakwah tauhid Nejed) menegaskan dirinya tidak memiliki keinginan
untuk menjadi khalifah.
Beginilah Cara Abdulaziz
Membagi Negara Islam Dengan Perjanjian Sykes-Picot
Judul yang sangat kuat dan
menarik. Apalagi didukung foto yang memberikan cerita realisme dan antusiasme.
Mari kita bongkar tipu daya
kelompok-kelompok yang menjadikan hoax ini menjadi alasan untuk terus
memburukkan citra Kerajaan Arab Saudi.
Pertama, Perjanjian
Sykes-Picot berhasil dilakukan pada tahun 1916 M. Dalam kesepakatan tersebut,
Inggris dan Prancis membagi Duwal al-Hilal al-Khashib (Irak, Suriah,
Yordania, Palestina, Libanon), yang sebagian besar berada di bawah kekuasaan
Turki Utsmani.
Sementara negara Arab Saudi
bukan bagian dari negara-negara di atas dan sejak awal tidak berafiliasi dengan
Kekaisaran Ottoman, tetapi sepenuhnya independen.
Kedua, Mark Sykes meninggal
dunia pada tahun 1919 M karena wabah flu Spanyol, sementara foto yang banyak
beredar diambil saat Perjanjian al-Uqair pada tahun 1922 M.
Artinya, 3 tahun setelah
kematian Sykes. Jadi bagaimana orang mati ikut berpose dalam sebuah foto?!
Foto yang banyak viral ini
merupakan pertemuan Perjanjian al-Uqair untuk membahas perbatasan Najd dengan
Irak dan Kuwait.
Nama yang benar untuk ketiga
orang di foto tersebut adalah dari kanan ke kiri:
01.Sir Percy Cox, mediator
Inggris.
02.Raja Abdulaziz bin Abdul
Rahman, Arab Saudi.
03.Mayor John Moore, agen
politik Inggris di Kuwait.
Di sini Anda bisa menentukan
sikap sendiri, atas banyaknya kebohongan dan penipuan yang digunakan
musuh-musuh Islam untuk merusak citra Kerajaan Arab Saudi di mata umat Islam.
حفظ اللّه بلاد التوحيد وأدام عزّها
https://saudinesia.com/2020/10/09/beginilah-cara-abdulaziz-membagi-negara-islam-dengan-perjanjian-sykes-picot/
Beginilah
Cara Penjajah Salibis Barat Menelikung Revolusi Umat (Bag. 1)
Perjalanan
sejarah modern membuktikan bahwa setiap kali umat Islam dan bangsa-bangsa
muslim bangkit melakukan perlawanan untuk meraih kemerdekaan dari penjajah
salibis Barat, maka penjajah salibis Barat mendahului langkah mereka.
Hasilnya?
Penjajah salibis Barat sukses mengembalikan realita bangsa muslim, membuat
negara-negara kecil, menetapkan batas-batas geografinya, memaksakan rezim-rezim
baru, dan memilih raja-raja boneka. Pola ini senantiasa diulang oleh penjajah
salibis Barat setiap kali umat Islam bangkit melawan mereka. Demikian
ditegaskan oleh Dr. Hakim Al-Mathiri dalam artikelnya yang berjudul Adawat
al-Ihtilal al-Gharbi as-Shalibi li-Muwajahat Tsaurat al-Ummah.
Contoh
pertama dari hal itu adalah pertarungan antara Nasionalisme Turki VS
Nasionalisme Arab yang mengatas namakan Khilafah Islamiyah.
Dalam
Perang Dunia Pertama 1333 – 1337 H (1914-1918 M), penjajah salibis Inggris
sukses membenturkan bangsa Turki dengan bangsa Arab. Inggris menawarkan
“kerjasama” dengan pemimpin bangsa Arab, yaitu mengusung proyek pengembalian
Khilafah Islamiyah ke tanah Arab dan bangsa Arab.
Pada
saat itu, kebijakan Daulah Utsmaniyah disetir oleh Hizbul Ittihad wa At-Taraqqi
(Partai Persatuan dan Kemajuan) yang beraliran nasionalis – sekuler. Partai ini
menang telak dalam pemilu tahun 1330 H (1910 M). Hizbul Ittihad wa At-Taraqqi
menyetir Daulah Utsmaniyah kepada nasionalisme ke-Turki-an (Turanisme). Sultan
Muhammad Rasyad (Muhammad V) praktis menjadi boneka yang tidak memiliki
kekuasaan apapun.
Nasionalisme
Turki tersebut menimbulkan banyak kezaliman terhadap bangsa Arab. Saat Perang
Dunia I terjadi, Hizbul Ittihad wa At-Taraqqi mengarahkan Daulah Utsmaniyah
untuk berperang di Blok Jerman – Swiss. Hal itu menyebabkan Daulah Utsmaniyah
terlibat peperangan besar melawan blok Sekutu yaitu Inggris, Perancis, Rusia,
Italia, dan Amerika Serikat.
Di
tengah kecamuk perang besar tersebut, penjajah salibis Inggris membujuk
pemimpin bangsa Arab sekaligus penguasa kota Makkah, Syarif Husain, untuk
memimpin perlawanan bersenjata melawan Daulah Utsmaniyah. Jika Syarif Husain
bersedia memimpin pasukan Arab melawan pasukan Turki Utsmani, maka Inggris
menjanjikan kemerdekaan bangsa Arab dari “penjajahan” Turki Utsmani. Inggris
akan mengakui Syarif Husain sebagai khalifah kaum muslimin, dengan wilayah
kekuasaan yang meliputi Hijaz (Makkah, Madinah, Thaif), Jazirah Arab, Irak, dan
Syam.
Prosesnya
dimulai secara resmi oleh Inggris dengan menggelar Konferensi Kuwait pada akhir
1916 M dan awal 1917 M. Konferensi itu dihadiri oleh 200 kepala suku di wilayah
Jazirah Arab dan kawasan Teluk. Para peserta konferensi berdiskusi tentang
program pengembalian khilafah ke tangan bangsa Arab.
Pangeran Jabir Al-Mubarak menegaskan ia akan
mendukung orang yang dipilih oleh umat Islam sebagai khalifah. Pangeran Abdul
Aziz bin Sa’ud (saat itu adalah penguasa Riyadh dan Nejed, pemimpin
politik gerakan dakwah tauhid Nejed)
menegaskan dirinya tidak memiliki keinginan untuk menjadi khalifah. Akhirnya,
seluruh peserta konferensi secara bulat menyatakan dukungan mereka kepada
revolusi dan khilafah yang akan diperjuangkan oleh Syarif Husain.
Syarif
Husain memulai revolusi Arab pada musim panas tahun 1335 H dengan mengepung
kota Madinah dan merebutnya dari kekuasaan Daulah Utsmaniyah. Lalu putranya,
Faishal bin Syarif Husain memimpin peperangan pasukan Arab melawan pasukan
Turki Utsmani di perbatasan wilayah Palestina. Pasukan berkuda Arab dikenal
luas sebagai pasukan yang sangat berani, lincah, dan tangkas berperang. Mereka
berhasil mengobrak-abrik pertahanan pasukan Turki Utsmani.
Pasukan
Turki Utsmani sendiri pada saat itu dilanda kelaparan hebat dan kehabisan
amunisi. Sebab, sebelum itu delapan divisi mereka tiga kali berturut-turut
melakukan perjalanan darat dari Palestina, menyeberangi gurun pasir Sinai,
untuk merebut Terusan Suez dari tangan Inggris. Sebelum berperang melawan
pasukan Inggris di Terusan Suez, mereka berjalan kaki selama 15 hari di padang
pasir, menempuh jarak 225 kilometer (jalur Rafah – Qantarah) dan 325 kilometer (jalur Ma’an – Suez).
Serangan
pertama pasukan Turki Utsmani dilakukan pada musim dingin tahun 1333 H / 1914
M, namun menemui kegagalan. Pasukan Turki Utsmani melakukan serangan kedua dua
bulan setelahnya, juga menemui kegagalan. Serangan ketiga dilakukan pasukan
Turki Utsmani tiga bulan kemudian, dan kembali mereka mengalami kegagalan.
Setelah
tiga kali gagal, pasukan Turki Utsmani kehabisan amunisi, sehingga mereka
ditarik mundur ke wilayah Gaza dan Ma’an di Palestina. Pada saat itu pasukan
Turki Utsmani di wilayah Palestina, Yordania, Lebanon, dan Suriah terbagi
menjadi tiga divisi:
Divisi
IV berkedudukan di kota Balqa’, Yordania.
Divisi
VII berkedudukan di wilayah tengah, Palestina. Panglimanya adalah Musthafa
Kamal Pasha (agen Yahudi Donma yang di kemudian hari meruntuhkan Daulah
Utsmaniyah dan mendirikan negara nasionalis-sekuler Republik Turki)
Divisi
VIII berkedudukan di wilayah barat, menjaga wilayah pantai Palestina dan
Lebanon.
Pasukan
berkuda Arab dipimpin oleh Pangeran Faishal bin Syarif Husain dan agen
intelijen Inggris, Lawrence of Arabia, menyerbu pasukan Turki Utsmani di
wilayah Jabal Druz, Baklabak, dan Ma’an. Musthafa Kamal Pasha, Panglima Pasukan
Divisi VII Turki Utsmani, telah menjalin kesepakatan rahasia dengan Inggris.
Musthafa
Kamal Pasha menarik mundur pasukannya tanpa menembakkan sebutir peluru pun
terhadap pasukan musuh. Atas pengkhianatannya itu, Inggris menjanjikan Musthafa
Kamal Pasha sebagai calon penguasa Turki Utsmani.
Pengkhianatan
Musthafa Kamal Pasha membuat pasukan Turki Utsmani yang kelaparan dan kehabisan
amunisi di kota Gaza dan Ma’an kewalahan menghadapi serbuan pasukan Arab.
Pasukan Turki Utsmani terpaksa ditarik mundur, sehingga kota Gaza dan Ma’an
jatuh ke tangan pasukan Arab.
Kemenangan
pasukan Arab itu merupakan sebuah kesuksesan besar bagi pasukan Inggris dan
Sekutu. Sebab, Palestina jatuh ke tangan pasukan Inggris dan Sekutu tanpa
tewasnya seorang pun tentara mereka dalam perang melawan pasukan Turki Utsmani.
Dengan
mudah dan tanpa perjuangan apapun, Jendral Allenby membawa pasukan Inggris
memasuki kota Al-Quds pada tanggal 11 Desember 1917 M (1336 H). Dengan congkak,
ia mengeluarkan pernyataannya yang tercatat dalam sejarah “Sekarang telah
berakhir perang Salib!”.
Kekalahan
demi kekalahan yang dialami pasukan Turki Utsmani di negeri Syam dan Irak
akhirnya memaksa Daulah Utsmaniyah untuk menyerah kepada pasukan Inggris dan
Sekutu.
Di
luar sepengetahuan Syarif Husain dan bangsa Arab, pada bulan Maret 1916 M
penjajah Inggris, Perancis, dan Rusia mengadakan pertemuan rahasia untuk
membagi-bagi bekas wilayah Turki Utsmani dan mendukung pendirian negara Yahudi
di Palestina.
Pada
tanggal 16 Mei 1916 Inggris dan Perancis menanda tangani Perjanjian
Sykes-Picot. Perancis diwakili oleh diplomatnya, Francois George Picot, dan
Inggris diwakili oleh diplomatnya, Sir Mark Sykes. Pada bulan Oktober 1917,
Rusia menarik diri dari perjanjian itu karena harus menghadapi Revolusi
Bolshevik.
Berdasarkan
perjanjian tersebut, wilayah kekuasaan Daulah Utsmaniyah pasca berakhirnya
Perang Dunia Pertama akan dibagi-bagi di antara negara sekutu:
1.Irak
dan Yordania akan menjadi wilayah jajahan Inggris.
2.Suriah
dan Lebanon akan menjadi wilayah jajahan Perancis.
3.Palestina
akan berada di bawah mandat Inggris sebagai persiapan pembentukan negara
Yahudi.
Pada
tanggal 2 November 1917 M, Menteri Luar Negeri Inggris, Lord Balfour, atas nama
Kerajaan Inggris menjanjikan usaha sekuat-kuatnya Kerajaan Inggris untuk
membangunkan tanah air Yahudi (Jewish National Home) bagi bangsa Yahudi.
Kerajaan Inggris lantas mengangkat Sir Herbert Samuel (tokoh Yahudi Inggris)
sebagai Komisaris Tinggi Inggris yang pertama di Palestina.
Dukungan
resmi Inggris bagi pendirian negara Yahudi di Palestina itu disetujui oleh
Perancis dan Italia pada bulan Februari 1918 M, dan oleh Amerika Serikat pada
bulan Oktober 1918 M. Sejak saat itu gelombang imigrasi besar-besaran penduduk
Yahudi dari seluruh dunia mengalir ke Palestina.
Syarif
Husain dan bangsa Arab yang telah terbuai oleh mimpi penegakan Khilafah
Islamiyah di Makkah akhirnya harus gigit jari. Mereka baru mengetahui bahwa
selama ini mereka telah diperalat oleh Inggris, untuk kepentingan Inggris dan
Yahudi. Syarif Husain dan bangsa Arab baru mengetahui hal itu setelah isi
Perjanjian Sykes-Picot dibocorkan dan dipublikasikan oleh pejuang revolusi
komunis Bolshevick, Oktober 1917.
Menteri
Penjajahan Inggris, Churchil, pada tahun 1921 M menggelar Konferensi Kairo.
Melalui konferensi tersebut, Inggris mendirikan sejumlah negara dan menentukan
raja-rajanya:
●Khilafah Islamiyah atau
Khilafah Arab berkedudukan di Makkah, dengan khalifahnya Syarif Husain.
●Kerajaan Mesir, dengan
rajanya Fuad.
●Kerajaan Irak, dengan rajanya
Faishal bin Syarif Husain.
Inggris
tidak membiarkan Syarif Husain menikmati sedikit kue empuk hasil kerja
kerasnya. Inggris secara diam-diam juga menjalin kesepakatan dengan penguasa
Riyadh dan pemimpin politik gerakan dakwah tauhid Nejed, Pangeran Abdul Aziz
bin Abdurrahman Al-Saud.
Pada
tahun 1337 H, pasukan Syarif Husain mengalami kekalahan telak dalam pertempuran
di wilayah Turbah melawan pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Dengan
dukungan Inggris, pasukan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud mengalahkan
pasukan Syarif Husain pada perang tahun 1343 H. Syarif Husain akhirnya lengser
dan menyerahkan tahta kerajaannya kepada putranya, Syarif Ali bin Syarif
Husain.
Namun,
kekalahan perang telah mengakibatkan kota Makkah jatuh ke tangan Abdul Aziz bin
Abdurrahman Al-Saud. Hal itu berarti Khilafah Arabiyah Makkah tumbang. Syarif
Ali bin Syarif Husain mundur ke kota Jeddah. Namun pasukan Abdul Aziz
mengejarnya dan mengepung kota Jeddah selama satu tahun penuh. Selain itu,
pasukan pemimpin Nejed itu juga menyerang dan mengepung kota Madinah.
Madinah
menyerah sepenuhnya ke tangan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud setelah
dikepung selama 10 bulan. Begitupula dengan Jeddah, takluk setelah tercapai
pengepungan setahun penuh. Berdasar kesepakatan kedua belah pihak, Jeddah
menjadi wilayah kekuasaan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, sementara Syarif
Ali dan keluarganya diberi jaminan untuk bergabung dengan saudaranya, Syarif
Faishal bin Syarif Husain di Irak.
Syarif
Husain sendiri dibuang ke Cyprus sebagai tahanan politik dan meninggal di
pembuangan pada tahun 1350 H. Makkah, Madinah, Jeddah, dan Riyadh disatukan
oleh Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud, lalu ia mendirikan Kerajaan Alu Sa’ud.
Revolusi
Arab yang dipimpin Syarif Husain pada akhirnya berperan menjatuhkan Palestina
ke tangan Inggris dan Yahudi. Syarif Husain sendiri terlibat perebutan wilayah
dan pengaruh dengan Abdul Aziz bin Abdurrahman Al-Saud. Wallahu a’lam
bish-shawab.
Penulis: Fauzan
Referensi:
Dr. Jamil Abdullah Muhammad Al-Mishri, Hadhiru
Al-Alam Al-Islami wa Qadhayahu Al-Mu’ashirah, Makkah: Universitas Ummul Qura,
t.t.
Dr. Ali Juraisyah, Hadhiru Al-Alam Al-Islami,
Jeddah: Darul Mujtama’, cet. 4, 1410 H.
Mahmud Syakir, At-Tarikh Al-Islami VIII:
Al-‘Ahdu Al-Utsmani, Beirut: Al-Maktab Al-Islami, cet. 4, 1421 H.
Kolaborasi Arab Saudi dengan Inggris dan
Prancis sudah berjalan bahkan sebelum negara saudi lahir.
Perjanjian Sykes-Picot tahun 1916 yang bertujuan
memecah negara islam dan membagi bagi kepada penjajah diikuti dan disetujui
oleh pendiri negara Saudi abdul aziz al saud.
Kesepakatan Saudi yang saat itu masih menjadi
wilayah bagian dari dinasti utsmani(Nejd)untuk keluar dan merdeka dari ottoman
juga bagian dari poin poin kesepakatan rahasia antara diplomat Inggris Mark
Sikes dan diplomat Prancis Francois Picot dengan pendiri Saudi Abdul Aziz al
Saud.
Jangan heran kenapa saudi sekarang lebih
memusuhi muslim sendiri. Karena mereka lahir dari kesepakatan gelap penjajah
inggris dan prancis yang diatas semuanya adalah restu zionis.
Kesepakatan Sykes-Picot dilanjutkan dengan
perjanjian Balfour setahun setelahnya(1917) yang memberikan legitimasi israel
mendirikan negara mereka di tanah palestina.
Rencana pemecahan negara islam dan pembubaran
khilafah utsmani sudah dirancang lama dan rapi oleh musuh islam yang didukung
oleh para pengkhianat dari dalam islam itu sendiri.
Tengku Zulkifli Usman.