Halaqah
2: Jalaludin Rumi dan Mongol, Sifat Keji yang Diturunkan Kepada Turki Utsmani
Halaqah
1: Asal Usul Turki Utsmani dari Tatar Mughal
Asal
Usul Turki Utsmani: Jalaluddin Rumi Dan Sifat Keji Keturunan Tatar
Mongol
Di
pembahasan sebelumnya, telah disebutkan oleh banyak sejarawan dan cendekiawan
yang telah menyatakan bahwa asal-usul bangsa Turki Utsmani berasal dari suku
Mongol, secara umum, atau Tatar ditinjau secara khusus.
Berikut
bukti-bukti sejarah yang membuktikan lebih jelas bahwa asal-usul bangsa Turki
adalah benar-benar suku Mongol atau Tatar.
Dan
ini bukanlah tuduhan atau klaim. Meskipun ada yang beranggapan tidak ada
kaitannya asal-usul bangsa Turki dengan suku Mongol.
Sebagaimana
yang telah dibahas oleh Al-Amir Syaqib Arselan sebelumnya, bahwasanya bangsa
Turki bangga dengan asal-usul mereka yaitu Mongol.
Mereka
menyanyikan nasyid-nasyid yang memuji Jenkish Khan dan pengikutnya.
Orang-orang
Turki semenjak Daulah Utsmani, mereka sangat mengagungkan seseorang yang
bernama Jalaluddin Rumi, yang dijuluki sebagai Maulana.
Bahkan
sampai hari ini orang-orang Turki mengagungkan dan memuliakan tokoh yang
dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi.
Mereka
mengadakan perayaan di kuburannya, sampai hari ini. Mereka menyeka kuburnya dan
mencari berkah dari kuburan tersebut. Juga membuat perayaan peringatan
wafatnya.
Dalam
perayaan tersebut, mereka melakukan tarian Darawis, melakukannya gerakan
badan berputar-putar, mengenakan peci dan busana putih besar di bagian
bawahnya.
Mereka
berputar-putar dengan cara yang aneh seperti orang yang mabuk, berlangsung
dalam waktu yang cukup lama.
Sebagai
pengagungan terhadap tokohnya, Daulah Utsmani memberi hadiah kepada
orang-orang Maulawiyyah, yaitu pengikut Jalaluddin Rumi. Dia juga yang
menghias makam Jalaluddin Rumi.
Lalu
Sultan Bayazid II, merevonasi makam Jalaluddin Rumi, membuatkan hiasan-hiasan
dan memasangkan kain-kain tenunan.
Seorang
Sultan yang agung, Sulaiman Al-Qanun, menjadikan makamnya ruangan untuk menari
tarian Darawis.
Sultan
Muhammad Rosyad, seorang sultan pada akhir-akhir masa kesultanan Utsmani,
menghadiahkan seorang Masyayikh Thariqah Maulawiyyah, sebuah ikat pinggang
kehormatan sultan dengan sarung pedang ditengahnya saat pembaiatan.
Bahkan
seorang Ataturk Almani, menghadiahkan pecinya kepada seorang Syaikh Thariqat
Maulawiyyah Abdul halim Jalabi.
Siapakah
Jalaluddin Rumi ini? Apa kaitannya dengan tema asal-usul orang Turki adalah
suku Mongol?
Jalaluddin
Rumi ini, seorang agen yang bersekongkol dengan orang-orang Mongol ketika
perang dunia Islam.
Jalaluddin
Rumi marah kepada siapapun yang mencoba menyatakan perang terhadap bangsa
Mongol. Dia sangat menyudutkan orang-orang yang membicarakan kedzaliman bangsa
Mongol.
Jalaluddin
Rumi menyebut bahwa bangsa Mongol adalah bangsa yang benar, bangsa yang adil.
Sebagaimana yang disebutkan oleh Abdullah Al Qanawi dibukuya “Akhbar Jalaluddin
Rumi”
Qanawi
menjelaskan siasat Jalaluddin Rumi, seperti mengutus As Syams At Tabrizi
sebagai perantara antara Mongol dan Jalaluddin Rumi.
At
Tabrizi memasuki Anadolu melalui jalan yang sama, yang dimasuki orang
Mongol ketika menjajah 1 tahun setelahnya.
Jalaluddin
Rumi juga yang mengadakan pertemuan dengan pemimpin orang Mongol,
Bayju Noyan di Kunya pada tahun 654 H.
Jalaluddin
Rumi bahkan menjuluki pemimpin kafir Mongol, bahwa mereka adalah wali dari
wali-wali Allah.
Hal
ini dikatakan Al Qanawi dalam bukunya “Akhbar Jalaluddin Rumi.”
Begitulah
seorang Jalaluddin Rumi bersama orang-orang Turki yang bersekongkol membuat
pertemuan dan perayaan dengan seorang pemimpin kafir dari bangsa Mongol,
Bayju Noyan .
Padahal
orang-orang kafir inilah, yang memerintahkan pasukan Mongol membantai penduduk
Baghdad dan lainnya.
Jalaluddin
Rumi pun pernah berkhutbah di depan orang-orang pada hari Jum’at, hari di mana
Mongol menyerbu Kunya, Turki.
Ketika
itu Mongol sangat terbantu dengan bantuan yang diberikan Jalaluddin Rumi.
Saat
tentara Mongol menyita hasil seluruh penggilingan gandum, tetapi tidak
melakukannya kepada Jalaluddin Rumi dan orang-orang terdekatnya. Sebagai bentuk
balasan atas bantuannya terhadap Mongol.
Muhammad
Abdullah Al Qonawi menyebutkan di buku yang sama, ia mengatakan bahwa pengikut
Jalaluddin Rumi, dari kalangan Masyayikh Maulawiyyah, mereka semua turut
andil dalam urusan orang-orang Mongol, mengikuti mereka dengan penuh kesetiaan.
Mereka
menghasud untuk membunuh para pemimpin Saljuk di kota Anadolu, Turki.
Muhammad
Abdullah Al Qanawi mengatakan bahwa Jalaluddin Rumi berbicara tetang Mongol;
bahwa dahulu bangsa Mongol ketika datang ke negeri Turki, tanpa busana,
tunggangannya lembu dan senjata mereka dari batang kayu.
Namun
hari ini mereka mengalami kemajuan, mereka memiliki pasukan terbaik dari
kalangan suku Arab, mereka memiliki senjata-senjata terbaik.
Rumi
juga mengatakan, Allah telah menolong mereka. Allah telah menolong mereka di
saat keadaan mereka sedang lemah, di hari ketika hati mereka hacur, saat tubuh
mereka kurus kering,
Allah
telah menerima keluhan mereka, dan mereka sekarang telah maju dan pasukannya
menjadi kuat.
Allah
tidak memenangkan mereka, dan memudahkan urusan mereka bukan sebab kekuatan
yang ada pada diri mereka, melainkan karena pertolonganNya yang menjadikan
mereka lebih maju.
Dan
dengan pertolongan itu, mereka akan menguasai Dunia.
Tidak
cukup itu saja, Jalaluddin Rumi menujuluki tentara Mongol sebagai Tentara
Allah. Dia sangat bergembira tatkala Baghdad jatuh ke tangan Mongol,
sebagaiaman yang disebutkan Qonawi di bukunya.
Dan
ketika pasukan muslimin berhasil memenangkan pertempuran dalam perang Ain
Jalut, Rumi terpaku dan diam, tanpa berbicara satu kalimat pun. Dia membisu
melihat kemenangan muslimin atas Mongol ketika itu.
Perhatikan,
orang-orang Turki mengagungkan Jalaluddin Rumi dan menganggapnya sebagai wali
mereka.
Maka
tidak heran, mengapa orang-orang Turki membangga-banggakan bahwa mereka adalah
orang Mongol, pada saat mereka mengagungkan Rumi yang memujinya juga.
Dan
bukti bahwa etnis Turki berasal dari etnis Mongol (Tatar), mereka membantu
peyerangan terhadap negara mana saja yang di bawah kekuasaan mereka.
Dahulu
orang-orang Mongol melakukan pencurian dan perampasan ketika menjajah
negara-nega Islam. Mereka memusnahkan buku-buku atau dengan membakarnya.
Inilah
yang dilakukan orag-orang Turki di Damaskus pada saat menguasainya, pada masa
Sulaiman I pada tahun 922H.
Seperti
yang disebutkan Ibn Tholun dibukunya “Mufakahatul Khullan,” sekaligus sebagai
saksi mata yang mengalaminya.
Dia
menyaksikan, bagaimana tentara Turki Utsmani mengeluarkannya dari rumah,
membuang buku-bukunya.
Inilah
yang seperti dilakukan pasukan Mongol Tatar ketika memusnahkan buku-buku
di Baghdad bersama Hulagu Khan. Kemudian mereka melakukan hal yang sama
di Damaskus ketika berperang bersama Timur Lenk.
Sayyid
Muhammad Syilli, ia hidup pada masa kekuasaan Sultan Sulaiman I di Mesir pada
tahun 923 H, menulis dalam bukunya, “As Sana’ Al Bahir bi Takmiil An Nur
As Safir.”
Dia
mengatakan bahwa tentara Turki Utsmani ketika menguasai Kairo, merampas
barang-barang berharga, menumpahkan darah, menculik para wanita, merusak tempat
tinggal, hingga air mata mengalir dengan darah.
Kekejian
ini persis yang dilakukan bala tentara Mongol Tatar, mencontoh setiap
perlakuannya dengan detail.
Muhammad
bin Abu Surur al-Bakri Ashhidiqiy, seorang simpatisan dan pendukung kerajaan
Utsmani menulis dalam bukunya “An Nuzhah Az Zahiyyah,” saat Sultan Salim
menguasai Kairo, Mesir.
Dia
mengatakan, ketika Maulana Sultan Salim Khan keluar dari Mesir, dia membawa
1000 ekor unta yang mebawa emas dan perak, dirampas dari Mesir untuk kemudian
dibawa pergi ke Istanbul.”
Al
Bakri yang mengatakan, dibawa bersamanya barang-barang antik, senjata, barang
berharga, tembaga, kuda, keledai, unta, mencuri bebatuan pualam yang mewah dan
mengambil semua yang berharga.
Tentara-tentara
Turki Utsmani mencuri dan merampas dari Mesir sesuatu yang tidak bisa dihitung,
benar-benar seperti apa yang dilakukan pasukan Mongol dan Tatar.
Ibn
Bashr juga mengisahkan hal yang sama dalam bukunya “’Unwan Al Majd.” Kisah
perampokan tentara Turki saat melewati perbatasan Najd, saat perang di masa
terakhir runtuhnya kerajaan Utsmani.
Dia
mengatakan bahwa Ibrahim Pasha ketika pergi dari Dir’iyyah, dia telah mencuri
buku-buku dari perpustakaan Jawami’ Dir’iyyah, buku-buku yang ketika itu
sangat populer di kalangan penduduk Dir’iyyah.
Ibn
Bashr menyebutkan bahwa pemimpin Turki, Hussein Beik dan para tentara Turki,
mencuri perkiasan-perhiasan wanita, merampok semua peralatan masak penduduk
Najd.
Prilaku
tersebut benar-benar sangat mirip dengan yang dilakukan para penjajah Mongol
Tatar.
Nantikan
untuk peristiwa sejarah lainnya, ma’assalamah.
Menyoal
Keturunan Turki Utsmani dari Tatar Mughal
Mempelajari
sejarah dan perkembangannya, yaitu membahas seputar masa lalu dan memperhatikan
kejadian-kejadiannya, merupakan perkara yang penting.
Dr.
Sulthan Al-Ashqah mengatakan, itu semua bertujuan untuk menjadikan masa depan
lebih baik, sehingga pandangan dan paradigma kita terhadapnya memiliki wawasan.
Dia
menambahkan, dengan memahami sejarah, akan memberikan kesadaran dan pengetahuan
terhadap apa yang ingin kita putuskan dan terhindar dari berita-berita bohong
dan berbagai kekeliruan.
Ibnu
Khaldun menulis dalam Muqaddimah-nya yang terkenal, bahwa “masa lalu akan
menjadi masa depan.”
Seorang
sejarawan Ibn Atsir mengatakan dalam muqadimah buku sejarahnya “Al Kamal Fi
At-taarikh,” bahwa “Tidak akan terjadi suatu hal terkecuali ada yang
mengawalinya atau membuatnya.”
Dan
seorang Penyair Thorfa Ibn A’d dalam penggalan baitnya, mengatakan “Tidak akan
menjadi Pagi kecuali telah datang Malam.”
Dan
hari ini merupakan hasil atau sebab dari apa yang telah terjadi masa lalu, yang
dirasakan dimasa hidup sekarang ini.
Dan
apa yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, akan kita saksikan akibatnya tidak
lama lagi, seakan-akan memastikan apa yang terjadi sebelumnya. Sejarah akan
berulang-ulang dengan sendirinya.
Dari
hal ini kita akan temukan banyak sekali sejarawan terkemuka, mereka menganalisa
dan mengambil pelajaran dari membaca serta mempelajari suatu sejarah.
Kenapa?
Karena
kita butuh kebenaran dari kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi,
memanfaatkannya untuk Mengambil pelajaran dari keberhasilan-keberhasilan orang
terdahulu.
Maka
dari itu Al A’llamah Ad Dzahabi memberi nama bukusejarahnya “Al
I’br Fi Khabar Man Ghabar,” kemudian juga Ibnu Khaldun memberi nama buku
sejarahnya “Kitab Al I’br”
Afif
Al Yafi’ie memberi nama buku sejarahnya “Mir’atul Jinan wa I’bratul
Yaqidhan Fi Ma’rifati Ma Yu’tabaru Bihi Min Hawaditsi Zaman”
Maka
tidaklah aneh jika kemudian seorang penyair terkemuka, Ahmad Syauqi dalam bait
sajaknya yang terkenal, mengungkapkan “Bacalah sejarah didalamnya pelajaran
maka kalian akan mengetahui apa yang disampaikan”
Membaca
sejarah dan mempelajarinya, seperti dokter yang mencegah dari berbagai penyakit
terhadap aspek-akibat yang akan terjadi.
Dengan
itu bisa menyelamatkan manusia, sebagai peringatan agar tidak melakukan
kesalahan yang sama.
Daulah
Utsmani
Pembahasan pertama kita adalah “Daulah Utsmani” dan orang-orang Turki Daulah
Utsmaniyyah.
Kita bisa mulai dari asal-usul orang Turki Utsmani dan perjalanan hidup mereka. Seperti pembahasan tentang kebangsaan mereka, darimana mereka berasal dan etnis apa Turki Utsmani.
Disini ada hal penting yang perlu diingatkan!
Kita bisa mulai dari asal-usul orang Turki Utsmani dan perjalanan hidup mereka. Seperti pembahasan tentang kebangsaan mereka, darimana mereka berasal dan etnis apa Turki Utsmani.
Disini ada hal penting yang perlu diingatkan!
Kita
dilarang menjatuhkan suatu etnis atau bangsa manapun, kecuali mengungkap fakta
dalam penelitian ilmiah.
Kita
harus menganalisa sesuai dengan kebenaran dari setiap kejadian, itu merupakan
hal yang terpenting, tanpa menyakiti, dan tetap menghormati etnis dan bangsa
manapun.
Bukan
suatu pembahasan ilmiah jika dimaksudkan untuk menyakiti dan merendahkan
kondisi suatu kaum, sementara macamnya banyak dan berbeda-beda.
Ketika
kita berbicara tentang bangsa Turki (Utsmani), kita membicarakan seputar
sejarah mereka, atau apapun yang kita dapati tentang mereka di masa lalu, baik
itu rakyat atau penguasanya.
Dengan
tetap tidak bermaksud membicarakan keburukan kondisi atau keburukan asal-usul
mereka. Ini merupakan pembahasan dan analisa ilmiyah.
Apakah
Asal-usul bangsa Turki Utsmani? Apa kebangsaan asli mereka yang mereka berasal
darinya?
Beberapa
sejarawan bermaksud memuji bangsa Turki Utsmani serta perjalanan sejarah
mereka, dengan mengatakan bahwa mereka berasal dari Arab.
Padahal
ini berlebihan.
Jika
ditimbang menurut sejarah dan analisa ilmiyah, akan diketahui kesalahan
pendapat tersebut.
Sebagai
contoh, sejarawan Mesir Al Maqrizy, wafat pada tahun 1445 Masehi dalam
bukunya “Durrah Wal Uqul Al faridhah Fi Tarajim Al A’yan Al Mufidah.”
Dia
menganggap asal-usul Utsmani, berasal dari kota Hijaz, nenek moyang mereka
datang dari Madinah Nabawiyyah ke kota Kirman, lalu pergi ke Nuqiya. Nuqiya ini
letaknya di Negara Turki, hari ini.
Lalu
dikatakan oleh Al-Maqrizi, juga diungkapkan oleh Syamsuddin As Syarkhowi, dalam
bukunya “Ad Dhou’ Al Laami’ Li Ahl Qarni At Taasi’.”
Dan
juga dikatakan oleh Jahram Bin fahd dalam bukunya “Jawaarikh Hisan.” Ini juga
dikatakan oleh Mar’i Al kalimi Al Hambali dalam bukunya “Qalaid Ukyan Fi
Fadhail Al Utsman.”
Semua
perkataan tersebut terekam dalam literatur, tetapi bukan hasil dari pembahasan
ilmiyah.
Para
ahli sejarah telah menetapkan asal-usul bangsa Turki 3 abad sebelumnya,
bahkan sebelum lahirnya sejarawan di atas tadi.
Seperti
Mu’ad Bin hamad dalam bukunya “Kitab Al I’lam Bi A’lam Baitillahi Al
Haram,” atau sejarawan Al-Muhibbi dalam bukunya “Khulashotul Atsar Fi
A’yanil Qarni Al Hadi Al A’syr.”
Al
Muhibbi mengatakan dalam buku sejarahnya, “sudah diputuskan asal-usul rumah
mereka (Utsmani), bahwa mereka dari Turkuman yang pergi dan mengungsi dari
wilayah suku Tatar.”
Sejarawan
At Thulis Mahmud Maqdis menyebutkan dalam buku sejarahnya “Nazhatun Nadzar Fi
A’jaib At Tawaarikh Wal Akhbar”, bahwa asal bangsa Utsmani dari Suku Tatar
(Tatar Mughal).
Seorang
ahli pengetahuan biografi, Armstrong, dalam “Catatan Perang Inggris,”
memastikan bahwa bangsa Turki Utsmani dari etnis Mughal. Dia menjelaskabahwa
asal dan tempat tinggal mereka datang dari wilayah Asia Tengah .
Armstrong
dipercayai dalam bukunya “Ad Di’bul Aghbar” mengungkapkan, bahwa pada abad
ke 13 Masehi, dunia mengalami kekeringan dan tandus di sebagian besar
wilayahnya, disebabkan tidak pernah turun hujan atau hal lainnya.
Kondisi
ini menyebabkan kekeringan di banyak daerah yang dari Tembok Cina
hingga wilayah Asia tengah. Banyak suku terpaksa harus mengungsi dan
mencari tempat tinggal baru.
Dan
bangsa Turki Utsmani merupakan salah satu dari mereka. Pemimpin mereka ketika
itu adalah Kanshari Masyah, yang dijadikan sebagai maskot di bendera dengan
bentuk Di’bul Aghbar.
Lalu
Amstrong juga menambahkan, bahwa mereka adalah Jababirah, Kusaat. Cara hidupnya
sebagaimna fitrahnya orang-orang suku Jababir.
Mereka
memiliki paras wajah seperti orang-orang Mughal yang datar, dengan ukuran mata
yang sedang atau datar. Yang menjadikan mereka mirip “serigala hutan” yang
melintas di padang rumput luas.
Syaqib
Arselan, seorang penganggum dan pembela besar Utsmani, menyatakan dalam bukunya
“Haadhir Al A’lam Al Isamiy,“ bahwa orang-orang Utsmani mengakui bahwasanya
mereka dari etnis Mughal. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam juz pertama “Fi
ta’liiqat Al Haur Al Islamiy”.
Syaqib
juga mengungkap bahwa “bangsa Turki menganggap bahwa mereka merupakan kaum
tertua, yang mana mereka dan Suku Mughal adalah dari asal-usul yang sama”.
Syaqib
menambahkan bahwa orang-orang Turki bernyanyi-nyanyi dan memuji Gengish Khan,
mengagumi Mughal, tanpa mengingkari kesalahan dan penyimpangan orang-orang
Mughal.
Bahkan
mereka membuat nasyid untuk anak-anak kecil menjelaskan tentang sosok Gengish
khan. Sehingga menjadikan mereka mengagumi Mughal, agar mereka mencintai
pemimpin mereka.
Demikian
pula pendapat cendekiawan Muhammad Kard Ali, seorang sastrawan besar dari
Suriah, wafat pada tahun 1350 Masehi.
Ketika
ada seseorang yang menasabkan silsilah orang Turki kepada selain nasabnya yang
sesungguhnya. maka Kard Ali membatahnya.
Dalam
bukunya “Al Mudzakkirat” juz pertama, dia mengatakan “orang-orang Turki
merupakan bagian dari Tatar, asal-Usulnya sudah pasti, diketahui secara yakin
tanpa diperselisihkan.”
Seorang
Professor Utsmani, Dr. Abdul Aziz As Syinawi, menyebutkan pada bukunya “Ad
Daulah Al Utsmaniyyah Daulatun islamiyyatun Muftara A’laiha” pada juz pertama,
bahwabangsa Turki Utsmani memasuki Asia Kecil (Turki saat ini), memasuki sebuah
perkampungan sebagai suku badui, mengungsi dari Asia tengah.
Lalu
As-Syinawi mengembalikan asal-usul orang-orang turki dan tempat asal mereka
dari wilayah Mughal dan Tatar.
Perlu
dicatat, bahwa As-Syinawi adalah seorang simpatisan dan pendukukung Utsmani .
Kesimpulan
Dapat disimpulkan bahwa asal-usul bangsa Turki adalah suku Mughal yang
merupakan pendatang dari Asi Tengah.
Asia
Tengah adalah tempat dan kebangsaan suku Mughal, mereka datang dari wilayah
tersebut dan menetap di negara yang sekarang disebut Turki.
Mereka
menetap seperti suku badui yang mengungsi, sebagai tentara bayaran.
Bahwa
mereka penyembah berhala seperti Urtughal dan Utsman yang kemudian mereka
menjadikannya nama (Utsmani), kemudian mereka memeluk islam setelah itu.
Untuk
kisah sejarah yang lainnya, nantikan ulasan berikutnya, ma’as Salamah.
Tonton
videonya:
Tahukah
Anda, tak Satu Pun Penguasa Ottoman Berhaji, Mengapa?
IHRAM.CO.ID,
Kesultanan Ottoman berhasil mencatat prestasi gemilang dalam sejarah
Islam. Berkuasa selama kurang lebih tujuh abad lamanya (1299-1922), kekuasaan
kesultanan yang ketika itu berpusat di Turki tersebut mencapai Hongaria di
bagian utara, Somalia di bagian selatan, Aljazair di sebelah barat, dan Irak di
sebelah Timur.
Sejarah
juga mencatat patriotisme, kegigihan, dan komitmen para sultan Ottoman terhadap
tegak dan majunya peradaban Islam. Namun, di tengah-tengah kebesaran Ottoman,
ada satu fakta menarik yang belakangan menjadi bahan cibiran orientalis.
Para
orientalis menganggap jika para sultan tersebut memiliki komitmen besar
terhadap Islam, mengapa tak satupun dari mereka yang menunaikan haji ke Tanah
Suci? Nah lho.
Anggapan
bahwa tak seorang pun Sultan Ottoman berhaji memang benar adanya. Para sultan
Ottoman ternyata belum ada yang menyandang gelar haji. Dan belum ada satu
referensi kuat yang membuktikan mereka sudah berhaji.
Pembahasan
ini pun menggerakkan sejumlah sejarawan Turki meneliti kembali apa faktor di
balik belum berhajinya para sultan Ottoman?
Di
antaranya adalah Prof Muhammad Maqsud Ouglu. Dalam artikel yang diterbitkan
situs beyaztarikh.com, dia mengatakan alasan belum hajinya satu pun
pemimpin Ottoman karena murni faktor istitha’ah atau kemampuan. Kewajiban
berhaji terletak pada faktor ini.
Soal
biaya dan kemampuan bisik, tak perlu dipertanyakan. Namun, faktornya adalah
waktu dan faktor keamanan. Jangan bayangkan pergi berhaji pada masa itu seperti
sekarang. Butuh waktu berbulan-bulan dan kondisinya tak cukup aman.
Negara-negara
yang menjadi rute perjalanan haji pada 1517 tengah berkecamuk perang. Portugal
dan Spanyol menjadi ancaman yang mengintai negara-negara itu.
Dua
negara kuat tersebut ketika itu mencari kesempatan kapapun Istanbul
ditinggalkan oleh pemimpinnya. Jika tetap ditinggalkan untuk berhaji tentu ini
akan sangat berbahaya bagi stabilitas dan keamanan negara.
Ancaman
bahaya itu bukan tanpa alasan. Pada tahun yang sama, sejumlah data menyebutkan
Portugal telah mengirim pasukan untuk menguasai laut merah, Syam, dan Makkah.
Namun, rencana itu berhasil digagalkan gubernur Makkah pada waktu itu, yakni
Naumay.
Kendati
demikian, persoalan ini tetap manjadi perhatian serius para sultan. Mereka
mengirimkan wakil-wakil untuk menjadi badal haji. Ini dengan rujukan fatwa para
ulama Ottoman yang membolehkan badal haji bagi orang hidup karena satu dan lain
hal
Sudah
banyak ulama dan peneliti yang menulis tentang tasawuf serta korelasi erat
antara paham Sufisme[1] dan Syi’ah[2]. berikut penjelasan tentang kesamaan
ideologi dan manhaj antara keduanya. Misalnya ideology wilayah dalam ajaran
Sufi sangat mirip dengan ideology imamah dalam ajaran Syi’ah. Ideologi imam ma’shum
versi Syi’ah sama dengan ideology wali mahfuzh versi Sufi. Ta’wil bathiny
interpretasi internal dalam pandangan Syi’ah sama dengan Sufi yang biasa mereka
sebut dengan rumuz/kode dan isyarah/sinyal. Jika aliran Sufisme
mengklasifikasikan agama kepada syariat dan hakikat, maka Syi’ah juga
membaginya menjadi tanzil dan ta’wil. Sebagian ulama telah membahas topik-topik
ini secara spesifik[3].
Topik
bahasan kali ini terfokus pada kesamaan ideologi antara aliran Sufisme dan
Syi’ah. Sejauh ini belum ada studi spesifik yang membahas bahaya aliran
tersembunyi Rafidhah yang menyamar, berpenetrasi, menunggangi, lantas merusak
aliran Sufisme. Karenanya sebagian cendikiawan muslim menyatakan bahwa saat ini
tidak ada lagi aliran Sufisme moderat, melainkan semua aliran Sufisme yang ada
sekarang adalah ghulat/esktremes[4]. Karena ideologi esktremes Syi’ah sudah
sangat mengakar dalam aliran Tasawuf, merekalah yang dari dulu dan sampai saat
ini menuntun Sufisme kepada radikalisme dan esktremisme.
Korelasi dan kemiripan ideologi antara Sufisme dan Syi’ah muncul dari sel-sel
rahasia yang berpenetrasi dan menyebar dalam Tarekat-tarekat Sufi. Mereka
senantiasa memakai topeng Tasawuf, sehingga ada dari sebagian kaum Sufi
mempelajari Tasawuf Sunni yang terbebas dari cengkraman radikalisme dan
ekstremisme Syi’ah Rafidhah sufistis.
Perlu disadariakan bahaya besar agenda Syi’ah Bathiniah yang menyebar dalam
Tarekat Sufi yang penuh dengan khurafat, di mana Sufisme menjadi kuda
tunggangan bagi Syi’ah untuk memuluskan berbagai agenda rahasianya.
Yang menarik perhatian adalah bahwa kedua sekte ini, selalu menjadi senjata
musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Buktinya, tokoh-tokoh
Orientalis sangat tertarik untuk mempelajari kedua sekte ini. Bahkan Donaldson,
seorang Orientalis Barat pernah tinggal di Iran selama enam belas tahun untuk
mempelajari Syi’ah, sehingga berhasil menulis buku yang berjudul Aqidah
ASy-Syi’ah.
Orientalis asal Perancis, Massignon, telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk
mempelajari Tasawuf. Ia sangat menggandrungi tokoh ekstremes Sufisme seperti
al-Hallaj, hingga ia dijuluki ‘Asyiq al-Hallaj/penyanjung al-Hallaj.
Padahal semua orang tahu bahwa para orientalis tersebut bekerja sebagai
penasehat bagi lembaga intelijen dan Kemenlu di negaranya masing-masing.
Negaranya menjadikan kajian dan penelitian mereka sebagai dasar mengatur
strategi perang dan manuver politik.
Syekh Muhammad al-Ghazali bercerita, bahwa ia pernah membaca laporan rahasia
seorang orientalis yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk menghadang
penyebaran Islam adalah dengan memelihara dan mendukung sekte dan aliran-aliran
sesat yang ada.
Bahaya besar Syi’ah Shafawi tidak terbatas pada misi akidahnya, tetapi juga
misi keamanan, politik, dan sosialnya. Majusi Persia yang menjadikan “Syi’ah”
sebagai sarana untuk merealisasikan berbagai agendanya termasuk mendirikan
Imperium Persia Raya, telah berhasil berpenetrasi ke dalam aliran Sufisme
secara khusus, dan masyarakat Islam scara umum. Sufisme dan berbagai aliran
lain yang terbius telah menjadi alat penyebaran misi-misi mereka.
Banyaknya varietas tarekat-tarekat Sufi yang tersebar luas di seluruh dunia,
juga tingginya posisi sebagian Syekh Sufi di mata beberapa petinggi politik
menjadi faktor utama keberhasilan Syi’ah berpenetrasi ke dalam barisan Sufisme.
Sebagai bukti, Anda dapat melihat bagaimana Iran berhasil mempengaruhi untuk
selanjutnya menyetir beberapa sekte Syi’ah Zaidiah seperti al-Jarudiah[8], dan
menjadikannya sebagai boneka untuk menjalankan agenda-agenda politiknya di negara
Yaman dan sekitarnya[9]. Lihat pula keberhasilan mereka menguasai politik
Libanon melalui milisi Syi’ah “Hizbullah”.
Lebih jauh lagi kita saksikan usaha keras Syi’ah Iran merangkul Syi’ah
Nushairiah Suria. Padahal dalam referensi validnya, Syi’ah Imamiah Iran
jelas-jelas mengkafirkan Syi’ah Nushairiah[10]. Sebaliknya, Nushairiah juga
sangat antipati terhadap Syi’ah Iran disebabkan aliran kebatinan yang mereka
anut. Akan tetapi, Iran menjadikan isu Syi’ah sebagai jalan untuk menyebarkan
agamanya di kalangan masyarakat Suria, hingga sesuai Khitthah Khamsiniah/Misi
50 tahunnya, Iran berhasil merangkul Nushairiah.
Ini ditandai dengan ‘saling cumbu’ antara para ayatullah Kota Qum dengan pemuka
agama Nushairiah. Ambil contoh Hasan al-Syairazi, pasca kunjungannya ke Suria
ia langsung menulis buku al-‘Alawiyun Syi’atu Ahli al-Bait/Alawiah adalah
pendukung Ahlul Bait[11].Hubungan tersebut meningkat hingga sampai pada sesi
berbahaya, yakni pengerahan tentara untuk membela rezim Nushairiah Alawiah di
Suria yang dilakukan oleh para Malaali Rafidhah di Qum. Milisi-milisi yang
mereka kerahkan meliputi Hizbullah dari Libanon, Brigade Abul Fadhl al-Abbas
dari Irak, dan Garda Revolusi dari Iran[12].
Saat ini, Syi’ah Iran sedang melancarkan mega proyek merangkul kaum Sufi dengan
merusaknya, lalu mengerahkannya untuk merealisasikan berbagai misi Rafidhah,
sama persis dengan Yahudi yang memperalat Kristen demi mencapai ambisinya.
Mayoritas peneliti selalu mengupas isu kesamaan ideologi dan prinsip antara
Syi’ah dan Sufisme. Namun mereka alpa dari eksistensi gerakan rahasia Rafidhah
yang berpenetrasi di tubuh Sufi. Sama halnya dengan kaum Sufi sendiri yang
tidak menyadari esensi gerakan rahasia yang bertopeng Sufisme tersebut. Mereka
lalai terhadap kekuatan yang menggerakkan dari belakang, dan tidak menyadari
konspirasi besar yang memperalatnya. Kecendrungan Sufisme menjadi Syi’ah saat
ini adalah bukti kelicikan missionaris Syi’ah dan kelihaian mereka menerobos
pusat-pusat kekuatan dalam tubuh umat Islam.
Tapi ternyata Ahlus Sunnah pun tak luput dari sasaran penyusupan
Syi’ah[13].Yang lebih mengejutkan lagi, bahwa di antara mereka yang menjadi
korban adalah kalangan Ahlul Hadits dari Ahlus Sunnah, padahal mereka sangat
terkenal dengan ketelitian dan kehati-hatiannya.
Syekh Abdullah al-Suwaidi menceritakan cara Syi’ah mengelabui ulama hadits.
Beliau berceritera:
Beberapa tokoh Syi’ah turut berkecimpung dalam ilmu hadits dengan mendengar
hadits dari ulama Ahlus Sunnah yang tsiqah/terpercaya dan menghapal
hadits-hadits tersebut berikut sanadnya. Mereka berusaha menghiasi diri dengan
ketakwaaan dan sikap wara’, sehingga dapat dianggap sebagai ulama hadits Ahlus
Sunnah. Mereka meriwayatkan hadits shahih dan hasan, kemudian menyusupkan
hadits maudhu’/palsu yang mendukung mazhab Syi’ah. Dengan demikian beberapa
ulama hadits Ahlus Sunnah dan banyak dari kaum awamnya tertipu dengan ulah
mereka. Akan tetapi Allah telah memilih ulama hadits dari umat ini yang mampu
menyingkap konspirasi tersebut, mengeluarkan hadits-hadits palsu buatan Syi’ah
dan menjelaskannya kepada umat, walhamdulillah[14].
Cara lain yang diperaktekkan oleh tokoh Syi’ah adalah dengan menyamar menjadi
ulama Ahlus Sunnah, menciptakan pemikiran yang mirip dengan pemikiran Syi’ah,
kemudian menyebarkannya di kalangan Ahlus Sunnah. Syekh Muhammad Abu Zuhrah
menganggap Najmuddin al-Thufi (wafat tahun 716 H) adalah salah satu tokoh
Syi’ah yang telah mempraktikkan cara ini untuk menyebarkan ajarannya. Pemikiran
yang dipromosikan adalah bahwa maslahat harus didahulukan atas nas. Ini murni
pemikiran Syi’ah. Sebab Syi’ah mengklaim pasca wafatnya Rasulullah, para imam
mereka berhak untuk mengotak-atik nas Al-Qur’an maupun hadits dengan membatasi
cakupan atau menghapus nas dan hukumnya. Al-Thufi menjiplak pemikiran ini
dengan mengganti kata imam menjadi maslahat, agar pemikirannya laris di
kalangan Ahlus Sunnah. Menurut Abu Zuhrah, dengan cara ini al-Thufi bermaksud
mengurangi pengkultusan terhadap nas-nas syariat yang selama ini diyakini oleh
umat Islam[15].
Kita tidak perlu heran, sebab sekte Syi’ah memang menjadikan
Taqiyyah/kemunafikan bagian dari agamanya. Lantaran itu, Khomaini mendorong
pengikutnya agar berpenetrasi ke dalam pemerintahan negara-negara Islam demi
membela pergerakan rahasia Syi’ah, dan mereka menyebutnya al-Dukhul
alSyakli/partisipasi formalitas dalam birokrasi negara[16].
Muhammad Jawad Mughniah, Hakim Ketua di Mahkamah al-Ja’fariah, Beirut justru
mewajibkan Machiavellianisme, yang berarti menghalalkan semua cara untuk
mencapai tujuan, ia menegaskan bahwa inilah makna taqiyyah dalam agama
mereka[17].
Bila Anda masih meragukan besarnya bahaya dari skandal Syi’ah dengan Sufisme,
maka perhatikanlah komunikasi tak henti dan kunjungan yang silih berganti
antara petinggi-petinggi dua sekte ini. Tingginya kooperasi antara keduanya,
bantuan politis tokoh Sufi untuk Syi’ah, dan pengkultusan tokoh Syi’ah yang
berhasil berpenetrasi ke tubuh Sufisme, mungkin dapat dijadikan bukti tambahan.
Saat ini kita melihat fenomena baru, di mana Syi’ah memperalat aliran Sufi
untuk menghujat dan menyerang Ahlus Sunnah. Terkadang mereka mengambil argumen
dari referensi Sufi yang mendukung Rafidhah, lalu mengklaim bahwa itulah manhaj
Ahlus Sunnah sebenarnya.
Sebagai contoh, Muhammad Husein al-Zein, salah seorang penulis Syi’ah, dalam bukunya
al-Syi’ah fi al-Tarikh, berargumen dengan interpretasi Sulaiman alHanafi
al-Naqsyabandi terhadap salah satu hadits Rasulullah:”Sesungguhnya perkara ini
tidak akan selesai hingga berlalu dua belas Khalifah di antara mereka, semuanya
dari suku Quraisy”[18]. Menurut al-Naqsyabandi mereka adalah imam 12
Syi’ah[19]. Dengan demikian al-Zein mengklaim bahwa mazhabnya telah didukung
oleh ulama Ahlus Sunnah[20].
Padahal sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Mustafa al-Syaibi: “Tidak ada korelasi
sedikit pun antara referensi di atas dengan Ahlus Sunnah, pemikiran yang dianut
oleh al-Naqsyabandi adalah pemikiran Sufi yang condong kepada Syi’ah”[21].
Inilah bukti nyata pemikiran ‘Syi’ah Sufistis’ yang berpenetrasi ke aliran
Sufisme. Sejak dulu, Ibnu Taimiah telah mengingatkan bahaya besar dari fenomena
ini, beliau menulis: “Di antara mereka yang berafiliasi ke salah satu mazhab
yang empat, ada orang yang sebenarnya berpaham Rafidhah esktremes”[22].
Mayoritas kaum muslim mengira bahwa kesamaan ideologi antara Syi’ah dan Sufi
hanyalah suatu kebetulan dan tidak mengindikasikan adanya hubungan rahasia atau
terang-terangan antara pemimpin kedua sekte tersebut. Sebagian lain menganggap
kedekatan ideologi ini lumrah adanya, sebagai akibat dari perang pemikiran yang
dilancarkan Syi’ah atas Sufisme. Pemahaman ini tentu sangat keliru, walaupun
hampir semua orang meyakini demikian. Aliran Sufisme benar-benar telah disusupi
bahkan digerakkan oleh tokoh-tokoh Syi’ah yang sejak sekian lama telah
bersemayam di dalamnya dan masih terus merongrong dengan berbagai kamuflase dan
tipuan, sampai kaum Sufi tunduk sepenuhnya pada ideologi Syi’ah esktremes.
Beberapa Surat Kabar Mesir pernah mempublikasikan laporan Majma’ Buhuts
Islamiah tentang proyek penyebaran ideologi Syi’ah kepada para pengikut Sufi di
Mesir. Proyek ini dijalankan oleh berbagai lembaga Syi’ah yang menjual isu
persamaan Syi’ah dengan Sufisme. Dana proyek tersebut terus mengalir, terlebih
lagi setelah Hassan Shinawi, pemimpin tertinggi kaum Sufi Mesir menyatakan
tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sufi. Selanjutnya Majma’ Buhuts
mewanti-wanti dari kemungkinan meningkatnya penganut syi’ah di Mesir, terlebih
lagi setelah semakin meningkatnya pengungsi Syi’ah yang migrasi dari Irak[23].
Syi’ah
Sufistis telah berusaha mengampanyekan berbagai ideologinya di kalangan Sufisme
sejak sekian lama, dengan istilah yang berbeda, namun arti dan hakikatnya sama.
Di lain pihak, kita hampir tak pernah mendengar suara moderat dari ahli
tasawuf, yang pada hakikatnya tasawuf adalah zuhud terhadap dunia dan
konsentrasi penuh dalam ibadah kepada Allah. Ibnu Taimiah menulis: “Sebenarnya
ahli tasawuf adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan,
sebagaimana kesungguhan mereka yang senantiasa taat kepada Allah”[24].
Sesuai dengan strategi terencana, Syi’ah sengaja menanamkan ideology alwilayah
di kalangan penganut Sufi yang diadopsi dari ideologi imamah, AlHifzh/penjagaan
Allah atas wali dijadikan pengganti al-Ishmah/imam ma’sum. Syi’ah Sufistis juga
membagi agama kepada syariat dan hakikat, sebagaimana Syi’ah Imamiah membaginya
kepada tanzild an ta’wil. Syi’ah Sufistis mengklaim bahwa Rasulullah datang
membawa syariat dan wali datang membawa hakikat. Sedangkan Syi’ah Imamiah
mengkalim bahwa Rasulullah datang membawa tanzil, dan Ali bin Abi Thalib datang
membawa ta’wil.
Selain itu Syi’ah Sufistis atau Rafidhah Sufisme juga sengaja menanamkan ritual
syirik dan zindiq (kekufuran) di kalangan kaum Sufi. Di Mesir contohnya, kini
terdapat lebih dari 6000 mausoleum (bangunan makam yg luas dan megah; monumen
makam) yang dikelola oleh Majelis Tinggi Sufi. Menteri Agama Mesir menyampaikan
bahwa pada periode 10/07/2005 -30/06/2006, uang sebanyak 52.670.579 Pound Mesir
(EGP) telah berhasil dikumpulkan dari ‘sumbangan/nazar’ para pengunjung monumen
makam tersebut, padahal jutaan rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan.
Situs resmi Sufi merilis berita bahwa mausoleum yang dikunjungi orang setiap
harinya untuk Distrik Tihamah (Yaman) saja sudah mencapai 178 monumen. Di
tempat ini para pengunjung mempersembahkan kurban, sesajen, dan sumbangan
sembari memohon hajat, meminta pertolongan dan keselamatan. Para ilmuan muslim
telah membuktikan bahwa Syi’ah Bathiniah adalah oknum pertama yang menciptakan
wisata kuburan dan ibadah kubur di tengah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam[25].
Penetrasi Syi’ah ke internal Sufi, peningkatan jumlah, pengaruh praktis, tipu
muslihat dan kelicikan, serta bahaya kesyirikan dan zindiq (kekufuran) yang
mereka bawa, semuanya menjadi faktor utama kegelapan yang selama ini menimpa
kaum Sufi. Sehingga mereka saat ini telah disulap menjadi alat Syi’ah untuk
merealisasikan agenda-agenda imperialismenya tanpa mereka sadari.
Kerusakan yang dilakukan oleh sel rahasia gerakan Syi’ah Rafidhah, dampaknya
sangat jelas terlihat pada aliran Sufisme zaman ini. Mayoritas tarekat Sufi
kini hanya terikat dengan figur Ali ibn Abi Thalib dan Salman al-Farisi
radhiyallahu anhuma. Semuanya mengklaim menyimpan ilmu batin tertulis warisan
Ali radhiyallahu anhu. Bahkan, asal muasal beberapa tarikat Sufi seperti
Naqsyabandiah 100% berasal dari Persia.
Biasanya, setelah sel rahasia Syi’ah berhasil mengkonversi sebuah tarekat Sufi
menjadi Syi’ah tulen, maka mereka akan menyingkap tabir taqiyyahnya kepada
publik. Inilah yang terjadi pada Tarekat Alkhatmiah. Tarekat Sufi Al-Khatmiah
telah mendeklarasikan diri sebagai Tarekat Syi’ah dalam semua aspeknya. Maka
tidak mengherankan jika tokoh-tokoh kontemporer tarekat ini selalu
berargumentasi dengan hujjah Syi’ah dan mencaci sahabat sama seperti Rafidhah.
Begitu pula yang terjadi dengan Tarekat Bektashi, sehingga al-Kautsari
menyatakan bahwa Bektashi adalah salah satu julukan dari Syi’ah Imamiah[26].
Hal yang sama terjadi pada Tarekat AlAzmiah[27]. Kemudian orang-orang yang
tidak mengetahui esensi gerakan Bathiniah ini mengklaim bahwa persamaan antara
kedua sekte tersebut hanyalah sebuah kebetulan.
Manuver lain yang biasa mereka praktekkan adalah klaim berpindah agama dari
Ahlus Sunnah kepada Syi’ah, lantas menulis buku yang menceritakan alasanalasan mengapa
ia konversi ideologi. Tipuan ini dipercayai begitu saja oleh sebagian orang,
padahal esensinya dia adalah oknum Rafidhah Bathiniah yang selama ini
bersembunyi di balik jubah tasawuf[28].
Sedikit sekali orang yang bisa membedakan antara Syi’ah Sufistis dan Syi’ah
Sufisme dengan Sufisme tulen yang pada dasarnya beraliran Sunni. Topik yang
dibahas di sini adalah Syi’ah Sufistis. Adapun Syi’ah Sufisme, maka para
pemukanya dengan terang-terangan menampakkan prinsip-prinsip ‘tasawuf
menyimpang’ dan ‘Syi’ah ekstremes’. Boleh jadi ini adalah bagian dari rencana
strategis untuk mengakomodasi semua jenis tarekat Sufi, sama dengan strategi
akomodasi berbagai sekte Syi’ah yang pernah ada dan memadukannya dengan
ideologi Syi’ah Imamiah[29].
Khomaini, pendiri Negara Shafawiah Modern misalnya, adalah anggota dari barisan
Sufi ekstremes yang meyakini ideology hulul dan ittihad/menyatunya Tuhan dengan
hamba-Nya. Khomaini adalah penganut Syi’ah Sufisme, ini dibuktikan dengan
pemikiran esktremes Sufi yang ia tuangkan dalam karyanya Mishbah al-Hidayah[30]
dan Sirr al-Shalat[31]. Ia juga mengadopsi pemikiran tokoh esktremis Sufi
seperti Ibnu Arabi, yang ia gelari dengan al-Syaikh al-Kabir[32], juga
al-Qanawi yang ia beri gelar Khalifah al-Syaikh al-Kabir Muhyiddin[33], dan
keduanya adalah penganut Syi’ah Sufisme esktrem. Khomaini juga mengadopsi
pemikiran Sufisme esktremes yang menyatakan bahwa kenabian adalah hasil usaha
manusia sendiri[34], dan masih banyak lagi prinsip-prinsip dasar Syi’ah yang
sama dengan pemikiran Sufisme esktremes[35].
[1] Tasawuf atau Sufi adalah tingkatan kedua atau ketiga dalam aliran Sufisme.
Pada masa awalnya esensi Sufismeadalah zuhud terhadap dunia dan konsentrasi
penuh hanya untuk beribadah kepada Allah, serta bersungguh-sungguh dalam ketaatan.
Selanjutnya Sufisme berubah menjadirahbaniah/monastik/biarawan yang penuh
dengan bid’ah dan khurafat. Kemudian berubah menjadi penyimpangan akidah dan
ritual yang mendalam hingga sampai pada ideologihululdanittihad/menyatu dengan
Tuhan. (Lihat,Majmu al-Fatawa, juz XI, h. 18, dst.)
[2] Tasyayyu’ atau Syi’ah yang dimaksudkan disini adalah Syi’ah Imamiah atau 12
imam. Sebab saat ini jika Syi’ah disebut maka merekalah yang dimaksud. Selain
golongan ini ada juga Isma’iliah dan Zaidiah.Esensinya aliran Imamiah bukanlah
Syi’ah, melainkan Sabaiah Bathiniyah Rafidhah. (Lihat,Ushul Mazhab al-Syi’ah,
cet IV, juz I, h. 61-65)
[3] Di antaranya: – Al-Syaibi, Dr. Mustafa Kamil (Penganut Syi’ah dari Irak),
al-Shilah Baina al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu’danal-Fikr al-Syi’i wa al-Niza’at
al-Shufiyah Hatta Mathla’ al-Qarn al-Tsani Asyr. – Mundakar, Falah ibn Isma’il,
al-Alaqah Baina al-Tasyayyu’ wa al-Tashawwuf. – Al-Hamam, Ziyad ibn Abdullah,
al-Alaqah Baina al-Shufiyah wa al-Imamiyah.
[4] Seperti Syekh Ihsan Ilahi Zhahir. Beliau pernah berkata:”Dulunya aku
mengira bahwa sebagian tokoh ekstremeslah yang merusak Sufisme, dan bahwa sikap
esktrem dan radikal yang telah menjerumuskan mereka kepada celaan sehingga
menyerupai Syi’ah. Akan tetapi, setelah mengkaji secara mendalam, berafiliasi
ke dalam sekte-sekte mereka, membaca karya tulis, meneliti biografi dan sejarah
mereka, aku simpulkan bahwa tidak ada kemoderatan dalam aliran Sufisme, persis
sama dengan Syi’ah. Bagi mereka kemoderatan adalah perkara tabu.”(Al-Tashawwuf,
al-Mansya’ wa alMashdar, h. 6)
[5] Di antara hasil karya penulis, Mas’alat al-Taqrib Baina al-Sunnah wa
al-Syi’ah, Ushul Mazhab alSyi’ah al-Imamiah al-Itsna Asyariah, Brutukulat Ayat
Qum,al-Bid’ah al-Maliah Inda al-Syi’ah alImamiah, Haqiqat Ma Yusamma Bi Zabur
Aal Muhammad, al-Bara’ah Min al-Musyrikin Inda alSyi’ah al-Imamiah, al-Syi’ah
wa al-Tasyayyu'(Buku ini disusun bersama Dr. Salman al-Audah, kajian atas buku
karya Ahmad al-Kasrawi, professor di Tahran University dan ketua MK Iran).
[6] Seperti buku al-Mujaz Fi al-Adyan wa al-Firaq wa al-Mazahib, yang disusun
bersama Prof. Dr. Nashir al-Aql, juga bukual-Aqidah wa al-Adyan wa al-Ittijahat
al-Mu’ashirah, yang dijadikan kurikulum kelas III SMA.
[7] Mata pelajaran Tasawuf, mata pelajaran yang terbaru di Qassim University,
dan baru pertama kali diterapkan di Saudi Arabia.
[8] Houtsiyah yang berkembang di Yaman pada dasarnya beraliran al-Jarodiah.
Namun kini mereka telah bermetamorfosa menjadi Syi’ah Itsna Asyariyah. Artinya
mereka adalah kolaborasi dari ideologi Jarodiah Rafidhah dengan Itsna Asyariah
kontemporer.
[9] Lihat Aljazeera Center For Studies, Sana,al-Houtsiyah Fi al-Yaman. Lihat
juga, al-Hajari, Abu Saleh ibn Abdullah, Tahawwulat al-Zaidiah wa Awamil Zhuhur
al-Houtsiah.
[10] Lihat Bihar al-Anwar, juz XXV, h. 285.
[11] Lihat Mas’alat al-Taqrib, juz I, h. 383, Ushul Mazhab al-Syi’ah, juz III,
h. 20.
[12] Dana yang digunakan untuk membiayai tentara bayaran ini diambil dari
minyak milik rakyat Irak.
[13] Untuk mengetahui konspirasi mereka lebih detail, silahkan baca Muhktashar
al-Tuhfah al-Istna alAsyariah, h. 25-47, Mas’alat al-Taqrib, juz I, h. 61-83.
[14] Naqdh Aqa’id al-Syi’ah, h. 25-26.
[15] Lihat Ibn Hanbal, h. 361. Dalam kitab ini Abu Zuhrah menyebutkan biografi
al-Thufi (h, 361362). Biografi al-Thufi juga tercantum di, Ibn Rajab,Dzail
Thabaqat al-Hanabilah, juz IV, h. 409-421.
[16] Al-Hukumah al-Islamiah, h. 142.
[17] Al-Syi’ah Fi al-Mizan, h. 49.
[18] HR. Muslim, Kitab al-Imarah, Bab an-Nas Taba’un Liquraiys wa al-Khalifatu
Min Quraisy, no. 1821.
[19] Interpretasi tersebut jelas keliru. Sebab dari 12 imam versi Syi’ah hanya
Ali dan Hasan radhiyallahu anhumayang pernah menjadi khalifah.Tidak seorang pun
dari mereka mengklaim haknya menjadi khalifah, bahkan Hasan menyerahkan
khilafah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Sedangkan imam
ke-12 yang mereka klaim adalah sosok fiktif yang tak pernah ada, lalu bagaimana
ia diangkat menjadi imam atau khalifah?
[20] Liha tAl-Syi’ah Fi al-Tarikh, h. 118.
[21] Al-Shilah Baina al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu’, h. 110.
[22] Minhaj al-Sunnah, juz IV, h. 133.
[23] Situs Islam
Memo,http//:www.islammemo.cc/akhbar/arab/2007/11/01/53752.html.
[24] Majmu’ al-Fatawa, juz XI, h. 18.
[25] Lihat Ibn Taimiah,al-Radd Ala al-Akhna’i, h. 47.
[26] Lihat MuqaddimahKasyf Asrar al-Bathiniah.
[27] Buktinya dapat dilihat pada bukuSyubhat Haula al-Syi’ah, terbitan Lembaga
Riset Tarekat Alazamiah. Dalam buku ini mereka membela dan ikut mempromosikan
beberapa ideologi Syi’ah, seperti Imamah (juz I, h. 110-112), Abdullah ibn
Saba’ hanya legenda dan sosok fikif (juz II, h. 17, 94), legalisasi taqiyyah
(juz III, h. 13), kritik atas kejujuran sahabat (juz III, h. 70), klaim
kemaksuman para imam (juz IV, h. 45, 99), legalisasi nikah Mut’ah (juz V, h.
89-90), ideologial-Bada'(juz VI, h. 5152),al-Intizhar/penantian imam ghaib (juz
VI, h. 84,al-Raj’ah/kembalilnya imam ghaib (juz VI, h. 116).
[28] Di antara penganut Sufsime esktremes adalah Muhmammad al-Tijani, ia telah
menulis beberapa buku yang mendukung pemikirannya, namun dalam berbagai dialog
interaktif di beberapa stasiun TV seperti AlMustakillah TV, ia malah tidak
berkutik sama sekali. Sosok lain adalah Muhammad Mare alAntaki, ia pernah
mengklaim diri sebagai Qadhi al-Qudhat/hakim tertinggi Ahlus Sunnah di Aleppo,
Suria, padahal tak seorangpun dari ulama Aleppo yang mengenalnya. Syekh Abdul
Fattah Abu Ghuddah pernah berkata kepadaku (penulis):”Orang ini anonim sama
sekali tidak dikenal baik di Aleppo, apalagi di Suria, ia bodoh dan tak mampu
berargumen.” Menurut penulis orang ini termasuk dalam dalam barisan rahasia
aliran Bathiniah, atau memang tokoh fiktif.
[29] Lihat Ushul Mazhab al-Syi’ah, juz III, h. 19-dst.
[30] Lihat Mishbah al-Hidayah, h. 134, 142, 145.
[31] Lihat Sirr al-Shalat, h. 178.
[32] Idem, h. 84, 94, 112.
[33] Idem, h. 110.
[34] Idem, h. 148-149.
[35] Lihat Ushul Mazhab al-Syi’ah, juz III, h. 213-216.
Tiga Kejahatan Besar Penguasa Turki Utsmani,
Fakhri Basya Di Tanah Haram
Sejarah Dan Penyebab Runtuhnya Khilafah Turki
Utsmani, banyak yang tidak mengetahui sejarah sebenarnya
Fitnah Mubtadi’, Shufiyah (Thoriqoh), Syi’ah
Terkait Berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (Fakta Ilmiyah)
Jangan Terpedaya "Gema Islam"
Erdogan. Fakta, Dia (Bangsa Turki) Bersama Bangsa Majusi Iran (Syi’ah) Dan
Bangsa Rusia (Komunis, Ortodoks) Berkonspirasi Membunuhi Ahlus Sunnah Syams
(Arab). Apa Haknya Mereka (Bertiga) Mendefinisikan “Para Mujahidin Ahlus Sunnah
Bangsa Arab Syam” Yang Harus Dibinasakan (License To Kill) ? Silahkan Bantah
Fakta-Fakta Dibawah.
Paham Sesat Sufi Salah Satu Sebab Runtuhnya
Turki Ustmani