Friday, June 12, 2020

Asal Usul Turki Utsmani: Jalaluddin Rumi Dan Sifat Keji Keturunan Tatar Mongol

Halaqah 2: Jalaludin Rumi dan Mongol, Sifat Keji yang Diturunkan Kepada Turki Utsmani

Halaqah 1: Asal Usul Turki Utsmani dari Tatar Mughal

Asal Usul Turki Utsmani: Jalaluddin Rumi Dan Sifat Keji Keturunan Tatar Mongol

Di pembahasan sebelumnya, telah disebutkan oleh banyak sejarawan dan cendekiawan yang telah menyatakan bahwa asal-usul bangsa Turki Utsmani berasal dari suku Mongol, secara umum, atau Tatar ditinjau secara khusus.
Berikut bukti-bukti sejarah yang membuktikan lebih jelas bahwa asal-usul bangsa Turki adalah benar-benar suku Mongol atau Tatar.
Dan ini bukanlah tuduhan atau klaim. Meskipun ada yang beranggapan tidak ada kaitannya asal-usul bangsa Turki dengan suku Mongol.
Sebagaimana yang telah dibahas oleh Al-Amir Syaqib Arselan sebelumnya, bahwasanya bangsa Turki bangga dengan asal-usul mereka yaitu Mongol.
Mereka menyanyikan nasyid-nasyid yang memuji Jenkish Khan dan pengikutnya.
Orang-orang Turki semenjak Daulah Utsmani, mereka sangat mengagungkan seseorang yang bernama Jalaluddin Rumi, yang dijuluki sebagai Maulana.
Bahkan sampai hari ini orang-orang Turki mengagungkan dan memuliakan tokoh yang dipanggil Maulana Jalaluddin Rumi.
Mereka mengadakan perayaan di kuburannya, sampai hari ini. Mereka menyeka kuburnya dan mencari berkah dari kuburan tersebut. Juga membuat perayaan peringatan wafatnya.
Dalam perayaan tersebut, mereka melakukan tarian Darawis, melakukannya gerakan badan berputar-putar, mengenakan peci dan busana putih besar di bagian bawahnya.
Mereka berputar-putar dengan cara yang aneh seperti orang yang mabuk, berlangsung dalam waktu yang cukup lama.
Sebagai pengagungan terhadap tokohnya, Daulah Utsmani memberi hadiah kepada orang-orang Maulawiyyah, yaitu pengikut Jalaluddin Rumi. Dia juga yang menghias makam Jalaluddin Rumi.
Lalu Sultan Bayazid II, merevonasi makam Jalaluddin Rumi, membuatkan hiasan-hiasan dan memasangkan kain-kain tenunan.
Seorang Sultan yang agung, Sulaiman Al-Qanun, menjadikan makamnya ruangan untuk menari tarian Darawis.
Sultan Muhammad Rosyad, seorang sultan pada akhir-akhir masa kesultanan  Utsmani, menghadiahkan seorang Masyayikh Thariqah Maulawiyyah, sebuah ikat pinggang kehormatan sultan dengan sarung pedang ditengahnya saat pembaiatan.
Bahkan seorang Ataturk Almani, menghadiahkan pecinya kepada seorang Syaikh Thariqat Maulawiyyah Abdul halim Jalabi.
Siapakah Jalaluddin Rumi ini? Apa kaitannya dengan tema asal-usul orang Turki adalah suku Mongol?
Jalaluddin Rumi ini, seorang agen yang bersekongkol dengan orang-orang Mongol ketika perang dunia Islam.
Jalaluddin Rumi marah kepada siapapun yang mencoba menyatakan perang terhadap bangsa Mongol. Dia sangat menyudutkan orang-orang yang membicarakan kedzaliman bangsa Mongol.
Jalaluddin Rumi menyebut bahwa bangsa Mongol adalah bangsa yang benar, bangsa yang adil. Sebagaimana yang disebutkan oleh Abdullah Al Qanawi dibukuya “Akhbar Jalaluddin Rumi”
Qanawi menjelaskan siasat Jalaluddin Rumi, seperti mengutus As Syams At Tabrizi sebagai perantara antara Mongol dan Jalaluddin Rumi.
At Tabrizi memasuki Anadolu melalui jalan yang sama, yang dimasuki orang Mongol ketika menjajah 1 tahun setelahnya.
Jalaluddin Rumi juga yang mengadakan pertemuan dengan pemimpin orang Mongol, Bayju Noyan di Kunya pada tahun 654 H.
Jalaluddin Rumi bahkan menjuluki pemimpin kafir Mongol, bahwa mereka adalah wali dari wali-wali Allah.
Hal ini dikatakan Al Qanawi dalam bukunya “Akhbar Jalaluddin Rumi.”
Begitulah seorang Jalaluddin Rumi bersama orang-orang Turki yang bersekongkol membuat pertemuan dan perayaan dengan seorang pemimpin kafir dari bangsa Mongol, Bayju Noyan .
Padahal orang-orang kafir inilah, yang memerintahkan pasukan Mongol membantai penduduk Baghdad dan lainnya.
Jalaluddin Rumi pun pernah berkhutbah di depan orang-orang pada hari Jum’at, hari di mana Mongol menyerbu Kunya, Turki.
Ketika itu Mongol sangat terbantu dengan bantuan yang diberikan Jalaluddin Rumi.
Saat tentara Mongol menyita hasil seluruh penggilingan gandum, tetapi tidak melakukannya kepada Jalaluddin Rumi dan orang-orang terdekatnya. Sebagai bentuk balasan atas bantuannya terhadap Mongol.
Muhammad Abdullah Al Qonawi menyebutkan di buku yang sama, ia mengatakan bahwa pengikut Jalaluddin Rumi, dari kalangan Masyayikh Maulawiyyah, mereka semua turut andil dalam urusan orang-orang Mongol, mengikuti mereka dengan penuh kesetiaan.
Mereka menghasud untuk membunuh para pemimpin Saljuk di kota Anadolu, Turki.
Muhammad Abdullah Al Qanawi mengatakan bahwa Jalaluddin Rumi berbicara tetang Mongol; bahwa dahulu bangsa Mongol ketika datang ke negeri Turki, tanpa busana, tunggangannya lembu dan senjata mereka dari batang kayu.
Namun hari ini mereka mengalami kemajuan, mereka memiliki pasukan terbaik dari kalangan suku Arab, mereka memiliki senjata-senjata terbaik.
Rumi juga mengatakan, Allah telah menolong mereka. Allah telah menolong mereka di saat keadaan mereka sedang lemah, di hari ketika hati mereka hacur, saat tubuh mereka kurus kering,
Allah telah menerima keluhan mereka, dan mereka sekarang telah maju dan pasukannya menjadi kuat.
Allah tidak memenangkan mereka, dan memudahkan urusan mereka bukan sebab kekuatan yang ada pada diri mereka, melainkan karena pertolonganNya yang menjadikan mereka lebih maju.
Dan dengan pertolongan itu, mereka akan menguasai Dunia.
Tidak cukup itu saja, Jalaluddin Rumi menujuluki tentara Mongol sebagai Tentara Allah. Dia sangat bergembira tatkala Baghdad jatuh ke tangan Mongol, sebagaiaman yang disebutkan Qonawi di bukunya.
Dan ketika pasukan muslimin berhasil memenangkan pertempuran dalam perang Ain Jalut, Rumi terpaku dan diam, tanpa berbicara satu kalimat pun. Dia membisu melihat kemenangan muslimin atas Mongol ketika itu.
Perhatikan, orang-orang Turki mengagungkan Jalaluddin Rumi dan menganggapnya sebagai wali mereka.
Maka tidak heran, mengapa orang-orang Turki membangga-banggakan bahwa mereka adalah orang Mongol, pada saat mereka mengagungkan Rumi yang memujinya juga.
Dan bukti bahwa etnis Turki berasal dari etnis Mongol (Tatar), mereka membantu peyerangan terhadap negara mana saja yang di bawah kekuasaan mereka.
Dahulu orang-orang Mongol melakukan pencurian dan perampasan ketika menjajah negara-nega Islam. Mereka memusnahkan buku-buku atau dengan membakarnya.
Inilah yang dilakukan orag-orang Turki di Damaskus pada saat menguasainya, pada masa Sulaiman I pada tahun 922H.
Seperti yang disebutkan Ibn Tholun dibukunya “Mufakahatul Khullan,” sekaligus sebagai saksi mata yang mengalaminya.
Dia menyaksikan, bagaimana tentara Turki Utsmani mengeluarkannya dari rumah, membuang buku-bukunya.
Inilah yang seperti dilakukan pasukan Mongol Tatar ketika memusnahkan buku-buku di  Baghdad bersama Hulagu Khan. Kemudian mereka melakukan hal yang sama di Damaskus ketika berperang bersama Timur Lenk.
Sayyid Muhammad Syilli, ia hidup pada masa kekuasaan Sultan Sulaiman I di Mesir pada tahun 923 H, menulis dalam bukunya, “As Sana’ Al Bahir bi Takmiil An Nur As Safir.”
Dia mengatakan bahwa tentara Turki Utsmani ketika menguasai Kairo, merampas barang-barang berharga, menumpahkan darah, menculik para wanita, merusak tempat tinggal, hingga air mata mengalir dengan darah.
Kekejian ini persis yang dilakukan bala tentara Mongol Tatar, mencontoh setiap perlakuannya dengan detail.
Muhammad bin Abu Surur al-Bakri Ashhidiqiy, seorang simpatisan dan pendukung kerajaan Utsmani menulis dalam bukunya “An Nuzhah Az Zahiyyah,” saat Sultan Salim menguasai Kairo, Mesir.
Dia mengatakan, ketika Maulana Sultan Salim Khan keluar dari Mesir, dia membawa 1000 ekor unta yang mebawa emas dan perak, dirampas dari Mesir untuk kemudian dibawa pergi ke Istanbul.”
Al Bakri yang mengatakan, dibawa bersamanya barang-barang antik, senjata, barang berharga, tembaga, kuda, keledai, unta, mencuri bebatuan pualam yang mewah dan mengambil semua yang berharga.
Tentara-tentara Turki Utsmani mencuri dan merampas dari Mesir sesuatu yang tidak bisa dihitung, benar-benar seperti apa yang dilakukan pasukan Mongol dan Tatar.
Ibn Bashr juga mengisahkan hal yang sama dalam bukunya “’Unwan Al Majd.” Kisah perampokan tentara Turki saat melewati perbatasan Najd, saat perang di masa terakhir runtuhnya kerajaan Utsmani.
Dia mengatakan bahwa Ibrahim Pasha ketika pergi dari Dir’iyyah, dia telah mencuri buku-buku dari perpustakaan Jawami’ Dir’iyyah, buku-buku yang ketika itu sangat populer di kalangan penduduk Dir’iyyah.
Ibn Bashr menyebutkan bahwa pemimpin Turki, Hussein Beik dan para tentara Turki, mencuri perkiasan-perhiasan wanita, merampok semua peralatan masak penduduk Najd.
Prilaku tersebut benar-benar sangat mirip dengan yang dilakukan para penjajah Mongol Tatar.
Nantikan untuk peristiwa sejarah lainnya, ma’assalamah.

Menyoal Keturunan Turki Utsmani dari Tatar Mughal

Mempelajari sejarah dan perkembangannya, yaitu membahas seputar masa lalu dan memperhatikan kejadian-kejadiannya, merupakan perkara yang penting.
Dr. Sulthan Al-Ashqah mengatakan, itu semua bertujuan untuk menjadikan masa depan lebih baik, sehingga pandangan dan paradigma kita terhadapnya memiliki wawasan.
Dia menambahkan, dengan memahami sejarah, akan memberikan kesadaran dan pengetahuan terhadap apa yang ingin kita putuskan dan terhindar dari berita-berita bohong dan berbagai kekeliruan.
Ibnu Khaldun menulis dalam Muqaddimah-nya yang terkenal, bahwa “masa lalu akan menjadi masa depan.”
Seorang sejarawan Ibn Atsir mengatakan dalam muqadimah buku sejarahnya “Al Kamal Fi At-taarikh,” bahwa “Tidak akan terjadi suatu hal terkecuali ada yang mengawalinya atau membuatnya.”
Dan seorang Penyair Thorfa Ibn A’d dalam penggalan baitnya, mengatakan “Tidak akan menjadi Pagi kecuali telah datang Malam.”
Dan hari ini merupakan hasil atau sebab dari apa yang telah terjadi masa lalu, yang dirasakan dimasa hidup sekarang ini.
Dan apa yang terjadi di tahun-tahun sebelumnya, akan kita saksikan akibatnya tidak lama lagi, seakan-akan memastikan apa yang terjadi sebelumnya. Sejarah akan berulang-ulang dengan sendirinya.
Dari hal ini kita akan temukan banyak sekali sejarawan terkemuka, mereka menganalisa dan mengambil pelajaran dari membaca serta mempelajari suatu sejarah.
Kenapa?
Karena kita butuh kebenaran dari kesalahan-kesalahan yang sudah terjadi, memanfaatkannya untuk Mengambil pelajaran dari keberhasilan-keberhasilan orang terdahulu.
Maka dari itu Al A’llamah Ad Dzahabi memberi nama bukusejarahnya “Al I’br Fi Khabar Man Ghabar,” kemudian juga  Ibnu Khaldun memberi nama buku sejarahnya “Kitab Al I’br”
Afif Al Yafi’ie memberi nama buku sejarahnya  “Mir’atul Jinan wa I’bratul Yaqidhan Fi Ma’rifati Ma Yu’tabaru Bihi Min Hawaditsi Zaman”
Maka tidaklah aneh jika kemudian seorang penyair terkemuka, Ahmad Syauqi dalam bait sajaknya yang terkenal, mengungkapkan “Bacalah sejarah didalamnya pelajaran maka kalian akan mengetahui apa yang disampaikan”
Membaca sejarah dan mempelajarinya, seperti dokter yang mencegah dari berbagai penyakit terhadap aspek-akibat yang akan terjadi.
Dengan itu bisa menyelamatkan manusia, sebagai peringatan agar tidak melakukan kesalahan yang sama.
Daulah Utsmani
Pembahasan pertama kita adalah “Daulah Utsmani” dan orang-orang Turki Daulah Utsmaniyyah.
Kita bisa mulai dari asal-usul orang Turki Utsmani dan perjalanan hidup mereka. Seperti pembahasan tentang kebangsaan mereka, darimana mereka berasal dan etnis apa Turki Utsmani.
Disini ada hal penting yang perlu diingatkan!
Kita dilarang menjatuhkan suatu etnis atau bangsa manapun, kecuali mengungkap fakta dalam penelitian ilmiah.
Kita harus menganalisa sesuai dengan kebenaran dari setiap kejadian, itu merupakan hal yang terpenting, tanpa menyakiti, dan tetap menghormati etnis dan bangsa manapun.
Bukan suatu pembahasan ilmiah jika dimaksudkan untuk menyakiti dan merendahkan kondisi suatu kaum, sementara macamnya banyak dan berbeda-beda.
Ketika kita berbicara tentang bangsa Turki (Utsmani), kita membicarakan seputar sejarah mereka, atau apapun yang kita dapati tentang mereka di masa lalu, baik itu rakyat atau penguasanya.
Dengan tetap tidak bermaksud membicarakan keburukan kondisi atau keburukan asal-usul mereka. Ini merupakan pembahasan dan analisa ilmiyah.
Apakah Asal-usul bangsa Turki Utsmani? Apa kebangsaan asli mereka yang mereka berasal darinya?
Beberapa sejarawan bermaksud memuji bangsa Turki Utsmani serta perjalanan sejarah mereka, dengan mengatakan bahwa mereka berasal dari Arab.
Padahal ini berlebihan.
Jika ditimbang menurut sejarah dan analisa ilmiyah, akan diketahui kesalahan pendapat tersebut.
Sebagai contoh, sejarawan Mesir Al Maqrizy, wafat pada tahun 1445 Masehi  dalam bukunya “Durrah Wal Uqul Al faridhah Fi Tarajim Al A’yan Al Mufidah.”
Dia menganggap asal-usul Utsmani, berasal dari kota Hijaz, nenek moyang mereka datang dari Madinah Nabawiyyah ke kota Kirman, lalu pergi ke Nuqiya. Nuqiya ini letaknya di Negara Turki, hari ini.
Lalu dikatakan oleh Al-Maqrizi, juga diungkapkan oleh Syamsuddin As Syarkhowi, dalam bukunya “Ad Dhou’ Al Laami’ Li Ahl Qarni At Taasi’.”
Dan juga dikatakan oleh Jahram Bin fahd dalam bukunya “Jawaarikh Hisan.” Ini juga dikatakan oleh Mar’i Al kalimi Al Hambali dalam bukunya “Qalaid Ukyan Fi Fadhail Al Utsman.”
Semua perkataan tersebut terekam dalam literatur, tetapi bukan hasil dari pembahasan ilmiyah.
Para ahli sejarah telah menetapkan asal-usul bangsa Turki 3 abad sebelumnya, bahkan sebelum lahirnya sejarawan di atas tadi.
Seperti Mu’ad Bin hamad dalam bukunya “Kitab Al I’lam Bi A’lam Baitillahi Al Haram,” atau sejarawan Al-Muhibbi dalam bukunya “Khulashotul Atsar Fi A’yanil Qarni Al Hadi Al A’syr.”
Al Muhibbi mengatakan dalam buku sejarahnya, “sudah diputuskan asal-usul rumah mereka (Utsmani), bahwa mereka dari Turkuman yang pergi dan mengungsi dari wilayah suku Tatar.”
Sejarawan At Thulis Mahmud Maqdis menyebutkan dalam buku sejarahnya “Nazhatun Nadzar Fi A’jaib At Tawaarikh Wal Akhbar”, bahwa asal bangsa Utsmani dari Suku Tatar (Tatar Mughal).
Seorang ahli pengetahuan biografi, Armstrong, dalam “Catatan Perang Inggris,” memastikan bahwa bangsa Turki Utsmani dari etnis Mughal. Dia menjelaskabahwa asal dan tempat tinggal mereka datang dari wilayah Asia Tengah .
Armstrong dipercayai dalam bukunya “Ad Di’bul Aghbar” mengungkapkan, bahwa pada abad ke 13 Masehi, dunia mengalami kekeringan dan tandus di sebagian besar wilayahnya, disebabkan tidak pernah turun hujan atau hal lainnya.
Kondisi ini menyebabkan kekeringan di banyak daerah yang dari Tembok Cina hingga wilayah Asia tengah. Banyak suku terpaksa harus mengungsi dan mencari tempat tinggal baru.
Dan bangsa Turki Utsmani merupakan salah satu dari mereka. Pemimpin mereka ketika itu adalah Kanshari Masyah, yang dijadikan sebagai maskot di bendera dengan bentuk Di’bul Aghbar.
Lalu Amstrong juga menambahkan, bahwa mereka adalah Jababirah, Kusaat. Cara hidupnya sebagaimna fitrahnya orang-orang suku Jababir.
Mereka memiliki paras wajah seperti orang-orang Mughal yang datar, dengan ukuran mata yang sedang atau datar. Yang menjadikan mereka mirip “serigala hutan” yang melintas di padang rumput luas.
Syaqib Arselan, seorang penganggum dan pembela besar Utsmani, menyatakan dalam bukunya “Haadhir Al A’lam Al Isamiy,“ bahwa orang-orang Utsmani mengakui bahwasanya mereka dari etnis Mughal. Hal ini sebagaimana dikatakan dalam juz pertama “Fi ta’liiqat Al Haur Al Islamiy”.
Syaqib juga mengungkap bahwa “bangsa Turki menganggap bahwa mereka merupakan kaum tertua, yang mana mereka dan Suku Mughal adalah dari asal-usul yang sama”.
Syaqib menambahkan bahwa orang-orang Turki bernyanyi-nyanyi dan memuji Gengish Khan, mengagumi Mughal, tanpa mengingkari kesalahan dan penyimpangan orang-orang Mughal.
Bahkan mereka membuat nasyid untuk anak-anak kecil menjelaskan tentang sosok Gengish khan. Sehingga menjadikan mereka mengagumi Mughal, agar mereka mencintai pemimpin mereka.
Demikian pula pendapat cendekiawan Muhammad Kard Ali, seorang sastrawan besar dari Suriah, wafat pada tahun 1350 Masehi.
Ketika ada seseorang yang menasabkan silsilah orang Turki kepada selain nasabnya yang sesungguhnya. maka Kard Ali membatahnya.
Dalam bukunya “Al Mudzakkirat” juz pertama, dia mengatakan “orang-orang Turki merupakan bagian dari Tatar, asal-Usulnya sudah pasti, diketahui secara yakin tanpa diperselisihkan.”
Seorang Professor Utsmani, Dr. Abdul Aziz As Syinawi, menyebutkan pada bukunya “Ad Daulah Al Utsmaniyyah Daulatun islamiyyatun Muftara A’laiha” pada juz pertama, bahwabangsa Turki Utsmani memasuki Asia Kecil (Turki saat ini), memasuki sebuah perkampungan sebagai suku badui, mengungsi dari Asia tengah.
Lalu As-Syinawi mengembalikan asal-usul orang-orang turki dan tempat asal mereka dari wilayah Mughal dan Tatar.
Perlu dicatat, bahwa As-Syinawi adalah seorang simpatisan dan pendukukung Utsmani .
Kesimpulan

Dapat disimpulkan bahwa asal-usul bangsa Turki adalah suku Mughal yang merupakan pendatang dari Asi Tengah.
Asia Tengah adalah tempat dan kebangsaan suku Mughal, mereka datang dari wilayah tersebut dan menetap di negara yang sekarang disebut Turki.
Mereka menetap seperti suku badui yang mengungsi, sebagai tentara bayaran.
Bahwa mereka penyembah berhala seperti Urtughal dan Utsman yang kemudian mereka menjadikannya nama (Utsmani), kemudian mereka memeluk islam setelah itu.
Untuk kisah sejarah yang lainnya, nantikan ulasan berikutnya, ma’as Salamah.
Tonton videonya:

Tahukah Anda, tak Satu Pun Penguasa Ottoman Berhaji, Mengapa?

IHRAM.CO.ID,  Kesultanan Ottoman berhasil mencatat prestasi gemilang dalam sejarah Islam. Berkuasa selama kurang lebih tujuh abad lamanya (1299-1922), kekuasaan kesultanan yang ketika itu berpusat di Turki tersebut mencapai Hongaria di bagian utara, Somalia di bagian selatan, Aljazair di sebelah barat, dan Irak di sebelah Timur.
Sejarah juga mencatat patriotisme, kegigihan, dan komitmen para sultan Ottoman terhadap tegak dan majunya peradaban Islam. Namun, di tengah-tengah kebesaran Ottoman, ada satu fakta menarik yang belakangan menjadi bahan cibiran orientalis.
Para orientalis menganggap jika para sultan tersebut memiliki komitmen besar terhadap Islam, mengapa tak satupun dari mereka yang menunaikan haji ke Tanah Suci? Nah lho.
Anggapan bahwa tak seorang pun Sultan Ottoman berhaji memang benar adanya. Para sultan Ottoman ternyata belum ada yang menyandang gelar haji. Dan belum ada satu referensi kuat yang membuktikan mereka sudah berhaji.  
Pembahasan ini pun menggerakkan sejumlah sejarawan Turki meneliti kembali apa faktor di balik belum berhajinya para sultan Ottoman?   
Di antaranya adalah Prof Muhammad Maqsud Ouglu. Dalam artikel yang diterbitkan situs beyaztarikh.com, dia mengatakan alasan belum hajinya satu pun pemimpin Ottoman karena murni faktor istitha’ah atau kemampuan. Kewajiban berhaji terletak pada faktor ini. 
Soal biaya dan kemampuan bisik, tak perlu dipertanyakan. Namun, faktornya adalah waktu dan faktor keamanan. Jangan bayangkan pergi berhaji pada masa itu seperti sekarang. Butuh waktu berbulan-bulan dan kondisinya tak cukup aman. 
Negara-negara yang menjadi rute perjalanan haji pada 1517 tengah berkecamuk perang. Portugal dan Spanyol menjadi ancaman yang mengintai negara-negara itu. 
Dua negara kuat tersebut ketika itu mencari kesempatan kapapun Istanbul ditinggalkan oleh pemimpinnya. Jika tetap ditinggalkan untuk berhaji tentu ini akan sangat berbahaya bagi stabilitas dan keamanan negara.
Ancaman bahaya itu bukan tanpa alasan. Pada tahun yang sama, sejumlah data menyebutkan Portugal telah mengirim pasukan untuk menguasai laut merah, Syam, dan Makkah. Namun, rencana itu berhasil digagalkan gubernur Makkah pada waktu itu, yakni Naumay.
Kendati demikian, persoalan ini tetap manjadi perhatian serius para sultan. Mereka mengirimkan wakil-wakil untuk menjadi badal haji. Ini dengan rujukan fatwa para ulama Ottoman yang membolehkan badal haji bagi orang hidup karena satu dan lain hal


Sudah banyak ulama dan peneliti yang menulis tentang tasawuf serta korelasi erat antara paham Sufisme[1] dan Syi’ah[2]. berikut penjelasan tentang kesamaan ideologi dan manhaj antara keduanya. Misalnya ideology wilayah dalam ajaran Sufi sangat mirip dengan ideology imamah dalam ajaran Syi’ah. Ideologi imam ma’shum versi Syi’ah sama dengan ideology wali mahfuzh versi Sufi. Ta’wil bathiny interpretasi internal dalam pandangan Syi’ah sama dengan Sufi yang biasa mereka sebut dengan rumuz/kode dan isyarah/sinyal. Jika aliran Sufisme mengklasifikasikan agama kepada syariat dan hakikat, maka Syi’ah juga membaginya menjadi tanzil dan ta’wil. Sebagian ulama telah membahas topik-topik ini secara spesifik[3].
Topik bahasan kali ini terfokus pada kesamaan ideologi antara aliran Sufisme dan Syi’ah. Sejauh ini belum ada studi spesifik yang membahas bahaya aliran tersembunyi Rafidhah yang menyamar, berpenetrasi, menunggangi, lantas merusak aliran Sufisme. Karenanya sebagian cendikiawan muslim menyatakan bahwa saat ini tidak ada lagi aliran Sufisme moderat, melainkan semua aliran Sufisme yang ada sekarang adalah ghulat/esktremes[4]. Karena ideologi esktremes Syi’ah sudah sangat mengakar dalam aliran Tasawuf, merekalah yang dari dulu dan sampai saat ini menuntun Sufisme kepada radikalisme dan esktremisme.


Korelasi dan kemiripan ideologi antara Sufisme dan Syi’ah muncul dari sel-sel rahasia yang berpenetrasi dan menyebar dalam Tarekat-tarekat Sufi. Mereka senantiasa memakai topeng Tasawuf, sehingga ada dari sebagian kaum Sufi mempelajari Tasawuf Sunni yang terbebas dari cengkraman radikalisme dan ekstremisme Syi’ah Rafidhah sufistis.

Perlu disadariakan bahaya besar agenda Syi’ah Bathiniah yang menyebar dalam Tarekat Sufi yang penuh dengan khurafat, di mana Sufisme menjadi kuda tunggangan bagi Syi’ah untuk memuluskan berbagai agenda rahasianya.

Yang menarik perhatian adalah bahwa kedua sekte ini, selalu menjadi senjata musuh-musuh Islam untuk menghancurkan Islam dari dalam. Buktinya, tokoh-tokoh Orientalis sangat tertarik untuk mempelajari kedua sekte ini. Bahkan Donaldson, seorang Orientalis Barat pernah tinggal di Iran selama enam belas tahun untuk mempelajari Syi’ah, sehingga berhasil menulis buku yang berjudul Aqidah ASy-Syi’ah.

Orientalis asal Perancis, Massignon, telah menghabiskan seluruh hidupnya untuk mempelajari Tasawuf. Ia sangat menggandrungi tokoh ekstremes Sufisme seperti al-Hallaj, hingga ia dijuluki ‘Asyiq al-Hallaj/penyanjung al-Hallaj.

Padahal semua orang tahu bahwa para orientalis tersebut bekerja sebagai penasehat bagi lembaga intelijen dan Kemenlu di negaranya masing-masing. Negaranya menjadikan kajian dan penelitian mereka sebagai dasar mengatur strategi perang dan manuver politik.

Syekh Muhammad al-Ghazali bercerita, bahwa ia pernah membaca laporan rahasia seorang orientalis yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk menghadang penyebaran Islam adalah dengan memelihara dan mendukung sekte dan aliran-aliran sesat yang ada.

Bahaya besar Syi’ah Shafawi tidak terbatas pada misi akidahnya, tetapi juga misi keamanan, politik, dan sosialnya. Majusi Persia yang menjadikan “Syi’ah” sebagai sarana untuk merealisasikan berbagai agendanya termasuk mendirikan Imperium Persia Raya, telah berhasil berpenetrasi ke dalam aliran Sufisme secara khusus, dan masyarakat Islam scara umum. Sufisme dan berbagai aliran lain yang terbius telah menjadi alat penyebaran misi-misi mereka.

Banyaknya varietas tarekat-tarekat Sufi yang tersebar luas di seluruh dunia, juga tingginya posisi sebagian Syekh Sufi di mata beberapa petinggi politik menjadi faktor utama keberhasilan Syi’ah berpenetrasi ke dalam barisan Sufisme. Sebagai bukti, Anda dapat melihat bagaimana Iran berhasil mempengaruhi untuk selanjutnya menyetir beberapa sekte Syi’ah Zaidiah seperti al-Jarudiah[8], dan menjadikannya sebagai boneka untuk menjalankan agenda-agenda politiknya di negara Yaman dan sekitarnya[9]. Lihat pula keberhasilan mereka menguasai politik Libanon melalui milisi Syi’ah “Hizbullah”.

Lebih jauh lagi kita saksikan usaha keras Syi’ah Iran merangkul Syi’ah Nushairiah Suria. Padahal dalam referensi validnya, Syi’ah Imamiah Iran jelas-jelas mengkafirkan Syi’ah Nushairiah[10]. Sebaliknya, Nushairiah juga sangat antipati terhadap Syi’ah Iran disebabkan aliran kebatinan yang mereka anut. Akan tetapi, Iran menjadikan isu Syi’ah sebagai jalan untuk menyebarkan agamanya di kalangan masyarakat Suria, hingga sesuai Khitthah Khamsiniah/Misi 50 tahunnya, Iran berhasil merangkul Nushairiah.

Ini ditandai dengan ‘saling cumbu’ antara para ayatullah Kota Qum dengan pemuka agama Nushairiah. Ambil contoh Hasan al-Syairazi, pasca kunjungannya ke Suria ia langsung menulis buku al-‘Alawiyun Syi’atu Ahli al-Bait/Alawiah adalah pendukung Ahlul Bait[11].Hubungan tersebut meningkat hingga sampai pada sesi berbahaya, yakni pengerahan tentara untuk membela rezim Nushairiah Alawiah di Suria yang dilakukan oleh para Malaali Rafidhah di Qum. Milisi-milisi yang mereka kerahkan meliputi Hizbullah dari Libanon, Brigade Abul Fadhl al-Abbas dari Irak, dan Garda Revolusi dari Iran[12].

Saat ini, Syi’ah Iran sedang melancarkan mega proyek merangkul kaum Sufi dengan merusaknya, lalu mengerahkannya untuk merealisasikan berbagai misi Rafidhah, sama persis dengan Yahudi yang memperalat Kristen demi mencapai ambisinya.

Mayoritas peneliti selalu mengupas isu kesamaan ideologi dan prinsip antara Syi’ah dan Sufisme. Namun mereka alpa dari eksistensi gerakan rahasia Rafidhah yang berpenetrasi di tubuh Sufi. Sama halnya dengan kaum Sufi sendiri yang tidak menyadari esensi gerakan rahasia yang bertopeng Sufisme tersebut. Mereka lalai terhadap kekuatan yang menggerakkan dari belakang, dan tidak menyadari konspirasi besar yang memperalatnya. Kecendrungan Sufisme menjadi Syi’ah saat ini adalah bukti kelicikan missionaris Syi’ah dan kelihaian mereka menerobos pusat-pusat kekuatan dalam tubuh umat Islam.

Tapi ternyata Ahlus Sunnah pun tak luput dari sasaran penyusupan Syi’ah[13].Yang lebih mengejutkan lagi, bahwa di antara mereka yang menjadi korban adalah kalangan Ahlul Hadits dari Ahlus Sunnah, padahal mereka sangat terkenal dengan ketelitian dan kehati-hatiannya.

Syekh Abdullah al-Suwaidi menceritakan cara Syi’ah mengelabui ulama hadits. Beliau berceritera:

Beberapa tokoh Syi’ah turut berkecimpung dalam ilmu hadits dengan mendengar hadits dari ulama Ahlus Sunnah yang tsiqah/terpercaya dan menghapal hadits-hadits tersebut berikut sanadnya. Mereka berusaha menghiasi diri dengan ketakwaaan dan sikap wara’, sehingga dapat dianggap sebagai ulama hadits Ahlus Sunnah. Mereka meriwayatkan hadits shahih dan hasan, kemudian menyusupkan hadits maudhu’/palsu yang mendukung mazhab Syi’ah. Dengan demikian beberapa ulama hadits Ahlus Sunnah dan banyak dari kaum awamnya tertipu dengan ulah mereka. Akan tetapi Allah telah memilih ulama hadits dari umat ini yang mampu menyingkap konspirasi tersebut, mengeluarkan hadits-hadits palsu buatan Syi’ah dan menjelaskannya kepada umat, walhamdulillah[14].

Cara lain yang diperaktekkan oleh tokoh Syi’ah adalah dengan menyamar menjadi ulama Ahlus Sunnah, menciptakan pemikiran yang mirip dengan pemikiran Syi’ah, kemudian menyebarkannya di kalangan Ahlus Sunnah. Syekh Muhammad Abu Zuhrah menganggap Najmuddin al-Thufi (wafat tahun 716 H) adalah salah satu tokoh Syi’ah yang telah mempraktikkan cara ini untuk menyebarkan ajarannya. Pemikiran yang dipromosikan adalah bahwa maslahat harus didahulukan atas nas. Ini murni pemikiran Syi’ah. Sebab Syi’ah mengklaim pasca wafatnya Rasulullah, para imam mereka berhak untuk mengotak-atik nas Al-Qur’an maupun hadits dengan membatasi cakupan atau menghapus nas dan hukumnya. Al-Thufi menjiplak pemikiran ini dengan mengganti kata imam menjadi maslahat, agar pemikirannya laris di kalangan Ahlus Sunnah. Menurut Abu Zuhrah, dengan cara ini al-Thufi bermaksud mengurangi pengkultusan terhadap nas-nas syariat yang selama ini diyakini oleh umat Islam[15].

Kita tidak perlu heran, sebab sekte Syi’ah memang menjadikan Taqiyyah/kemunafikan bagian dari agamanya. Lantaran itu, Khomaini mendorong pengikutnya agar berpenetrasi ke dalam pemerintahan negara-negara Islam demi membela pergerakan rahasia Syi’ah, dan mereka menyebutnya al-Dukhul alSyakli/partisipasi formalitas dalam birokrasi negara[16].

Muhammad Jawad Mughniah, Hakim Ketua di Mahkamah al-Ja’fariah, Beirut justru mewajibkan Machiavellianisme, yang berarti menghalalkan semua cara untuk mencapai tujuan, ia menegaskan bahwa inilah makna taqiyyah dalam agama mereka[17].

Bila Anda masih meragukan besarnya bahaya dari skandal Syi’ah dengan Sufisme, maka perhatikanlah komunikasi tak henti dan kunjungan yang silih berganti antara petinggi-petinggi dua sekte ini. Tingginya kooperasi antara keduanya, bantuan politis tokoh Sufi untuk Syi’ah, dan pengkultusan tokoh Syi’ah yang berhasil berpenetrasi ke tubuh Sufisme, mungkin dapat dijadikan bukti tambahan.

Saat ini kita melihat fenomena baru, di mana Syi’ah memperalat aliran Sufi untuk menghujat dan menyerang Ahlus Sunnah. Terkadang mereka mengambil argumen dari referensi Sufi yang mendukung Rafidhah, lalu mengklaim bahwa itulah manhaj Ahlus Sunnah sebenarnya.

Sebagai contoh, Muhammad Husein al-Zein, salah seorang penulis Syi’ah, dalam bukunya al-Syi’ah fi al-Tarikh, berargumen dengan interpretasi Sulaiman alHanafi al-Naqsyabandi terhadap salah satu hadits Rasulullah:”Sesungguhnya perkara ini tidak akan selesai hingga berlalu dua belas Khalifah di antara mereka, semuanya dari suku Quraisy”[18]. Menurut al-Naqsyabandi mereka adalah imam 12 Syi’ah[19]. Dengan demikian al-Zein mengklaim bahwa mazhabnya telah didukung oleh ulama Ahlus Sunnah[20].

Padahal sebagaimana ditegaskan oleh Dr. Mustafa al-Syaibi: “Tidak ada korelasi sedikit pun antara referensi di atas dengan Ahlus Sunnah, pemikiran yang dianut oleh al-Naqsyabandi adalah pemikiran Sufi yang condong kepada Syi’ah”[21]. Inilah bukti nyata pemikiran ‘Syi’ah Sufistis’ yang berpenetrasi ke aliran Sufisme. Sejak dulu, Ibnu Taimiah telah mengingatkan bahaya besar dari fenomena ini, beliau menulis: “Di antara mereka yang berafiliasi ke salah satu mazhab yang empat, ada orang yang sebenarnya berpaham Rafidhah esktremes”[22].

Mayoritas kaum muslim mengira bahwa kesamaan ideologi antara Syi’ah dan Sufi hanyalah suatu kebetulan dan tidak mengindikasikan adanya hubungan rahasia atau terang-terangan antara pemimpin kedua sekte tersebut. Sebagian lain menganggap kedekatan ideologi ini lumrah adanya, sebagai akibat dari perang pemikiran yang dilancarkan Syi’ah atas Sufisme. Pemahaman ini tentu sangat keliru, walaupun hampir semua orang meyakini demikian. Aliran Sufisme benar-benar telah disusupi bahkan digerakkan oleh tokoh-tokoh Syi’ah yang sejak sekian lama telah bersemayam di dalamnya dan masih terus merongrong dengan berbagai kamuflase dan tipuan, sampai kaum Sufi tunduk sepenuhnya pada ideologi Syi’ah esktremes.

Beberapa Surat Kabar Mesir pernah mempublikasikan laporan Majma’ Buhuts Islamiah tentang proyek penyebaran ideologi Syi’ah kepada para pengikut Sufi di Mesir. Proyek ini dijalankan oleh berbagai lembaga Syi’ah yang menjual isu persamaan Syi’ah dengan Sufisme. Dana proyek tersebut terus mengalir, terlebih lagi setelah Hassan Shinawi, pemimpin tertinggi kaum Sufi Mesir menyatakan tidak ada perbedaan antara Syi’ah dengan Sufi. Selanjutnya Majma’ Buhuts mewanti-wanti dari kemungkinan meningkatnya penganut syi’ah di Mesir, terlebih lagi setelah semakin meningkatnya pengungsi Syi’ah yang migrasi dari Irak[23].

Syi’ah Sufistis telah berusaha mengampanyekan berbagai ideologinya di kalangan Sufisme sejak sekian lama, dengan istilah yang berbeda, namun arti dan hakikatnya sama. Di lain pihak, kita hampir tak pernah mendengar suara moderat dari ahli tasawuf, yang pada hakikatnya tasawuf adalah zuhud terhadap dunia dan konsentrasi penuh dalam ibadah kepada Allah. Ibnu Taimiah menulis: “Sebenarnya ahli tasawuf adalah orang-orang yang bersungguh-sungguh dalam ketaatan, sebagaimana kesungguhan mereka yang senantiasa taat kepada Allah”[24].


Sesuai dengan strategi terencana, Syi’ah sengaja menanamkan ideology alwilayah di kalangan penganut Sufi yang diadopsi dari ideologi imamah, AlHifzh/penjagaan Allah atas wali dijadikan pengganti al-Ishmah/imam ma’sum. Syi’ah Sufistis juga membagi agama kepada syariat dan hakikat, sebagaimana Syi’ah Imamiah membaginya kepada tanzild an ta’wil. Syi’ah Sufistis mengklaim bahwa Rasulullah datang membawa syariat dan wali datang membawa hakikat. Sedangkan Syi’ah Imamiah mengkalim bahwa Rasulullah datang membawa tanzil, dan Ali bin Abi Thalib datang membawa ta’wil.

Selain itu Syi’ah Sufistis atau Rafidhah Sufisme juga sengaja menanamkan ritual syirik dan zindiq (kekufuran) di kalangan kaum Sufi. Di Mesir contohnya, kini terdapat lebih dari 6000 mausoleum (bangunan makam yg luas dan megah; monumen makam) yang dikelola oleh Majelis Tinggi Sufi. Menteri Agama Mesir menyampaikan bahwa pada periode 10/07/2005 -30/06/2006, uang sebanyak 52.670.579 Pound Mesir (EGP) telah berhasil dikumpulkan dari ‘sumbangan/nazar’ para pengunjung monumen makam tersebut, padahal jutaan rakyat Mesir hidup di bawah garis kemiskinan.

Situs resmi Sufi merilis berita bahwa mausoleum yang dikunjungi orang setiap harinya untuk Distrik Tihamah (Yaman) saja sudah mencapai 178 monumen. Di tempat ini para pengunjung mempersembahkan kurban, sesajen, dan sumbangan sembari memohon hajat, meminta pertolongan dan keselamatan. Para ilmuan muslim telah membuktikan bahwa Syi’ah Bathiniah adalah oknum pertama yang menciptakan wisata kuburan dan ibadah kubur di tengah umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam[25].

Penetrasi Syi’ah ke internal Sufi, peningkatan jumlah, pengaruh praktis, tipu muslihat dan kelicikan, serta bahaya kesyirikan dan zindiq (kekufuran) yang mereka bawa, semuanya menjadi faktor utama kegelapan yang selama ini menimpa kaum Sufi. Sehingga mereka saat ini telah disulap menjadi alat Syi’ah untuk merealisasikan agenda-agenda imperialismenya tanpa mereka sadari.

Kerusakan yang dilakukan oleh sel rahasia gerakan Syi’ah Rafidhah, dampaknya sangat jelas terlihat pada aliran Sufisme zaman ini. Mayoritas tarekat Sufi kini hanya terikat dengan figur Ali ibn Abi Thalib dan Salman al-Farisi radhiyallahu anhuma. Semuanya mengklaim menyimpan ilmu batin tertulis warisan Ali radhiyallahu anhu. Bahkan, asal muasal beberapa tarikat Sufi seperti Naqsyabandiah 100% berasal dari Persia.

Biasanya, setelah sel rahasia Syi’ah berhasil mengkonversi sebuah tarekat Sufi menjadi Syi’ah tulen, maka mereka akan menyingkap tabir taqiyyahnya kepada publik. Inilah yang terjadi pada Tarekat Alkhatmiah. Tarekat Sufi Al-Khatmiah telah mendeklarasikan diri sebagai Tarekat Syi’ah dalam semua aspeknya. Maka tidak mengherankan jika tokoh-tokoh kontemporer tarekat ini selalu berargumentasi dengan hujjah Syi’ah dan mencaci sahabat sama seperti Rafidhah. Begitu pula yang terjadi dengan Tarekat Bektashi, sehingga al-Kautsari menyatakan bahwa Bektashi adalah salah satu julukan dari Syi’ah Imamiah[26]. Hal yang sama terjadi pada Tarekat AlAzmiah[27]. Kemudian orang-orang yang tidak mengetahui esensi gerakan Bathiniah ini mengklaim bahwa persamaan antara kedua sekte tersebut hanyalah sebuah kebetulan.

Manuver lain yang biasa mereka praktekkan adalah klaim berpindah agama dari Ahlus Sunnah kepada Syi’ah, lantas menulis buku yang menceritakan alasanalasan mengapa ia konversi ideologi. Tipuan ini dipercayai begitu saja oleh sebagian orang, padahal esensinya dia adalah oknum Rafidhah Bathiniah yang selama ini bersembunyi di balik jubah tasawuf[28].

Sedikit sekali orang yang bisa membedakan antara Syi’ah Sufistis dan Syi’ah Sufisme dengan Sufisme tulen yang pada dasarnya beraliran Sunni. Topik yang dibahas di sini adalah Syi’ah Sufistis. Adapun Syi’ah Sufisme, maka para pemukanya dengan terang-terangan menampakkan prinsip-prinsip ‘tasawuf menyimpang’ dan ‘Syi’ah ekstremes’. Boleh jadi ini adalah bagian dari rencana strategis untuk mengakomodasi semua jenis tarekat Sufi, sama dengan strategi akomodasi berbagai sekte Syi’ah yang pernah ada dan memadukannya dengan ideologi Syi’ah Imamiah[29].

Khomaini, pendiri Negara Shafawiah Modern misalnya, adalah anggota dari barisan Sufi ekstremes yang meyakini ideology hulul dan ittihad/menyatunya Tuhan dengan hamba-Nya. Khomaini adalah penganut Syi’ah Sufisme, ini dibuktikan dengan pemikiran esktremes Sufi yang ia tuangkan dalam karyanya Mishbah al-Hidayah[30]
dan Sirr al-Shalat[31]. Ia juga mengadopsi pemikiran tokoh esktremis Sufi seperti Ibnu Arabi, yang ia gelari dengan al-Syaikh al-Kabir[32], juga al-Qanawi yang ia beri gelar Khalifah al-Syaikh al-Kabir Muhyiddin[33], dan keduanya adalah penganut Syi’ah Sufisme esktrem. Khomaini juga mengadopsi pemikiran Sufisme esktremes yang menyatakan bahwa kenabian adalah hasil usaha manusia sendiri[34], dan masih banyak lagi prinsip-prinsip dasar Syi’ah yang sama dengan pemikiran Sufisme esktremes[35].

[1] Tasawuf atau Sufi adalah tingkatan kedua atau ketiga dalam aliran Sufisme. Pada masa awalnya esensi Sufismeadalah zuhud terhadap dunia dan konsentrasi penuh hanya untuk beribadah kepada Allah, serta bersungguh-sungguh dalam ketaatan. Selanjutnya Sufisme berubah menjadirahbaniah/monastik/biarawan yang penuh dengan bid’ah dan khurafat. Kemudian berubah menjadi penyimpangan akidah dan ritual yang mendalam hingga sampai pada ideologihululdanittihad/menyatu dengan Tuhan. (Lihat,Majmu al-Fatawa, juz XI, h. 18, dst.)
[2] Tasyayyu’ atau Syi’ah yang dimaksudkan disini adalah Syi’ah Imamiah atau 12 imam. Sebab saat ini jika Syi’ah disebut maka merekalah yang dimaksud. Selain golongan ini ada juga Isma’iliah dan Zaidiah.Esensinya aliran Imamiah bukanlah Syi’ah, melainkan Sabaiah Bathiniyah Rafidhah. (Lihat,Ushul Mazhab al-Syi’ah, cet IV, juz I, h. 61-65)
[3] Di antaranya: – Al-Syaibi, Dr. Mustafa Kamil (Penganut Syi’ah dari Irak), al-Shilah Baina al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu’danal-Fikr al-Syi’i wa al-Niza’at al-Shufiyah Hatta Mathla’ al-Qarn al-Tsani Asyr. – Mundakar, Falah ibn Isma’il, al-Alaqah Baina al-Tasyayyu’ wa al-Tashawwuf. – Al-Hamam, Ziyad ibn Abdullah, al-Alaqah Baina al-Shufiyah wa al-Imamiyah.
[4] Seperti Syekh Ihsan Ilahi Zhahir. Beliau pernah berkata:”Dulunya aku mengira bahwa sebagian tokoh ekstremeslah yang merusak Sufisme, dan bahwa sikap esktrem dan radikal yang telah menjerumuskan mereka kepada celaan sehingga menyerupai Syi’ah. Akan tetapi, setelah mengkaji secara mendalam, berafiliasi ke dalam sekte-sekte mereka, membaca karya tulis, meneliti biografi dan sejarah mereka, aku simpulkan bahwa tidak ada kemoderatan dalam aliran Sufisme, persis sama dengan Syi’ah. Bagi mereka kemoderatan adalah perkara tabu.”(Al-Tashawwuf, al-Mansya’ wa alMashdar, h. 6)
[5] Di antara hasil karya penulis, Mas’alat al-Taqrib Baina al-Sunnah wa al-Syi’ah, Ushul Mazhab alSyi’ah al-Imamiah al-Itsna Asyariah, Brutukulat Ayat Qum,al-Bid’ah al-Maliah Inda al-Syi’ah alImamiah, Haqiqat Ma Yusamma Bi Zabur Aal Muhammad, al-Bara’ah Min al-Musyrikin Inda alSyi’ah al-Imamiah, al-Syi’ah wa al-Tasyayyu'(Buku ini disusun bersama Dr. Salman al-Audah, kajian atas buku karya Ahmad al-Kasrawi, professor di Tahran University dan ketua MK Iran).
[6] Seperti buku al-Mujaz Fi al-Adyan wa al-Firaq wa al-Mazahib, yang disusun bersama Prof. Dr. Nashir al-Aql, juga bukual-Aqidah wa al-Adyan wa al-Ittijahat al-Mu’ashirah, yang dijadikan kurikulum kelas III SMA.
[7] Mata pelajaran Tasawuf, mata pelajaran yang terbaru di Qassim University, dan baru pertama kali diterapkan di Saudi Arabia.
[8] Houtsiyah yang berkembang di Yaman pada dasarnya beraliran al-Jarodiah. Namun kini mereka telah bermetamorfosa menjadi Syi’ah Itsna Asyariyah. Artinya mereka adalah kolaborasi dari ideologi Jarodiah Rafidhah dengan Itsna Asyariah kontemporer.
[9] Lihat Aljazeera Center For Studies, Sana,al-Houtsiyah Fi al-Yaman. Lihat juga, al-Hajari, Abu Saleh ibn Abdullah, Tahawwulat al-Zaidiah wa Awamil Zhuhur al-Houtsiah.
[10] Lihat Bihar al-Anwar, juz XXV, h. 285.
[11] Lihat Mas’alat al-Taqrib, juz I, h. 383, Ushul Mazhab al-Syi’ah, juz III, h. 20.
[12] Dana yang digunakan untuk membiayai tentara bayaran ini diambil dari minyak milik rakyat Irak.
[13] Untuk mengetahui konspirasi mereka lebih detail, silahkan baca Muhktashar al-Tuhfah al-Istna alAsyariah, h. 25-47, Mas’alat al-Taqrib, juz I, h. 61-83.
[14] Naqdh Aqa’id al-Syi’ah, h. 25-26.
[15] Lihat Ibn Hanbal, h. 361. Dalam kitab ini Abu Zuhrah menyebutkan biografi al-Thufi (h, 361362). Biografi al-Thufi juga tercantum di, Ibn Rajab,Dzail Thabaqat al-Hanabilah, juz IV, h. 409-421.
[16] Al-Hukumah al-Islamiah, h. 142.
[17] Al-Syi’ah Fi al-Mizan, h. 49.
[18] HR. Muslim, Kitab al-Imarah, Bab an-Nas Taba’un Liquraiys wa al-Khalifatu Min Quraisy, no. 1821.
[19] Interpretasi tersebut jelas keliru. Sebab dari 12 imam versi Syi’ah hanya Ali dan Hasan radhiyallahu anhumayang pernah menjadi khalifah.Tidak seorang pun dari mereka mengklaim haknya menjadi khalifah, bahkan Hasan menyerahkan khilafah kepada Muawiyah ibn Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhuma. Sedangkan imam ke-12 yang mereka klaim adalah sosok fiktif yang tak pernah ada, lalu bagaimana ia diangkat menjadi imam atau khalifah?
[20] Liha tAl-Syi’ah Fi al-Tarikh, h. 118.
[21] Al-Shilah Baina al-Tashawwuf wa al-Tasyayyu’, h. 110.
[22] Minhaj al-Sunnah, juz IV, h. 133.
[23] Situs Islam Memo,http//:www.islammemo.cc/akhbar/arab/2007/11/01/53752.html.
[24] Majmu’ al-Fatawa, juz XI, h. 18.
[25] Lihat Ibn Taimiah,al-Radd Ala al-Akhna’i, h. 47.
[26] Lihat MuqaddimahKasyf Asrar al-Bathiniah.
[27] Buktinya dapat dilihat pada bukuSyubhat Haula al-Syi’ah, terbitan Lembaga Riset Tarekat Alazamiah. Dalam buku ini mereka membela dan ikut mempromosikan beberapa ideologi Syi’ah, seperti Imamah (juz I, h. 110-112), Abdullah ibn Saba’ hanya legenda dan sosok fikif (juz II, h. 17, 94), legalisasi taqiyyah (juz III, h. 13), kritik atas kejujuran sahabat (juz III, h. 70), klaim kemaksuman para imam (juz IV, h. 45, 99), legalisasi nikah Mut’ah (juz V, h. 89-90), ideologial-Bada'(juz VI, h. 5152),al-Intizhar/penantian imam ghaib (juz VI, h. 84,al-Raj’ah/kembalilnya imam ghaib (juz VI, h. 116).
[28] Di antara penganut Sufsime esktremes adalah Muhmammad al-Tijani, ia telah menulis beberapa buku yang mendukung pemikirannya, namun dalam berbagai dialog interaktif di beberapa stasiun TV seperti AlMustakillah TV, ia malah tidak berkutik sama sekali. Sosok lain adalah Muhammad Mare alAntaki, ia pernah mengklaim diri sebagai Qadhi al-Qudhat/hakim tertinggi Ahlus Sunnah di Aleppo, Suria, padahal tak seorangpun dari ulama Aleppo yang mengenalnya. Syekh Abdul Fattah Abu Ghuddah pernah berkata kepadaku (penulis):”Orang ini anonim sama sekali tidak dikenal baik di Aleppo, apalagi di Suria, ia bodoh dan tak mampu berargumen.” Menurut penulis orang ini termasuk dalam dalam barisan rahasia aliran Bathiniah, atau memang tokoh fiktif.
[29] Lihat Ushul Mazhab al-Syi’ah, juz III, h. 19-dst.
[30] Lihat Mishbah al-Hidayah, h. 134, 142, 145.
[31] Lihat Sirr al-Shalat, h. 178.
[32] Idem, h. 84, 94, 112.
[33] Idem, h. 110.
[34] Idem, h. 148-149.
[35] Lihat Ushul Mazhab al-Syi’ah, juz III, h. 213-216.


Tiga Kejahatan Besar Penguasa Turki Utsmani, Fakhri Basya Di Tanah Haram
Sejarah Dan Penyebab Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani, banyak yang tidak mengetahui sejarah sebenarnya
Fitnah Mubtadi’, Shufiyah (Thoriqoh), Syi’ah Terkait Berdirinya Kerajaan Saudi Arabia (Fakta Ilmiyah)
Jangan Terpedaya "Gema Islam" Erdogan. Fakta, Dia (Bangsa Turki) Bersama Bangsa Majusi Iran (Syi’ah) Dan Bangsa Rusia (Komunis, Ortodoks) Berkonspirasi Membunuhi Ahlus Sunnah Syams (Arab). Apa Haknya Mereka (Bertiga) Mendefinisikan “Para Mujahidin Ahlus Sunnah Bangsa Arab Syam” Yang Harus Dibinasakan (License To Kill) ? Silahkan Bantah Fakta-Fakta Dibawah.
Paham Sesat Sufi Salah Satu Sebab Runtuhnya Turki Ustmani