Posted on 15 Desember 2011 by abunamirahasna
HARUSKAH
MEMBENCI IBNU TAIMIYYAH?? (Padahal Ibnu Hajar Al-Asqolaani dan para ulama
syafi’iyah terkmuka lainnya telah memuji Ibnu Taimiyyah dengan pujian setinggi
langit)
Terlalu banyak
tuduhan-tuduhan dusta ditujukan kepada Ibnu Taimiyyah untuk memudarkan cahaya
kebaikan beliau rahimahullah. Kedustaan-kedustaan ini sebagian besarnya telah
dibantah dalam sebuah disertasi untuk meraih gelar doktoral yang berjudul دَعَاوَى الْمُنَاوِئِيْنَ لِشَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ (Tuduhan-Tuduhan Musuh-Musuh Ibnu Taimiyyah) yang ditulis oleh
As-Syaikh Abdullah bin Sholeh bin Abdul Aziiz al-Gushn. (silahkan di download
di http://waqfeya.net/book.php?bid=1876).
Bahkan yang lebih sadis dari sekedar-sekedar tuduhan dusta, ternyata ada
sebagian orang yang menggabungkan antara tuduhan dusta dan sekaligus mengkafirkan
Ibnu Taimiyyah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu Salafy yang telah
menuduh Ibnu Taimiyyah dengan tuduhan palsu sekaligus menuduh Ibnu Taimiyyah
sebagai gembong kaum munafik (lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/117-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-3-qtuduhan-ustadz-abu-salafy-bahwasanya-ibnu-taimiyyah-mencela-ali-dan-umarq).
Disinyalir Abu Salafy dialah si Idahram yang juga tukang dusta. Ternyata
gaya-gaya Abu Salafy ini hanyalah mengikuti gurunya Habib Hasan Saqqoof yang
juga telah menuduh dengan tuduhan-tuduhan dusta serta mengkafirkan Ibnu
Taimiyyah. Hal ini telah ditegaskan oleh Habib Wahabi Alawi bin Abdil Qodir
As-Saqoof, beliau berkata : “Dahulu saya pernah membaca beberapa buku karya
Hassaan bin Ali As-Saqqoof, akan tetapi seingatku saya tidak pernah selesai
membaca satu bukupun dari buku-buku tersebut karena saya terasa muak dan
merinding tatkala melihat celaan, ejekan, hinaan, dan makiannya terhadap para
imam Ahlus Sunnah. Kemudian terakhir-terakhir ini tatkala saya mendengar suatu
tayangan di channel Mustaqillah dimana dia telah mengkafirkan Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah maka sayapun turut berpartisipasi untuk membantahnya…” (‘Abats
Ahil Ahwaa’ bi Turoots al-Ummah hal 5-6, silahkan download di http://waqfeya.net/book.php?bid=5414)
Ternyata isu tentang pencelaan Ibnu Taimiyyah sudah ada sejak dulu. Ada salah
seorang musuh Ibnu Taimiyyah yang berkata bahwasanya barangsiapa yang
mengatakan Ibnu Taimiyyah adalah Syaikhul Islam maka ia telah kafir. Bukan
hanya Ibnu Taimiyyah yang dikafirkan, bahkan semua yang mengatakan Ibnu
Taimiyyah sebagai Syaikhul islam maka telah kafir.
(Hal ini mengingatkan saya
pada Abu Salafy dan konco-konconya yang sering menuduh kaum wahabi sebagai
khawarij, ternyata justru mereka yang begitu mudah mengkafirkan kaum wahabi).
Untuk membantah perkataan ini maka tegaklah seorang ulama dari madzhab
As-Syafi’iah yang bernama Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (wafat 842 H) menulis
sebuah risalah yang sangat baik dengan judul الرَّدُّ الْوَافِرُ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ سَمَّى ابْنَ تَيْمِيَّةَ شَيْخَ الإِسْلاَمِ كَافِرٌ (Bantahan yang cukup terhadap orang yang menyangka barang siapa yang
menggelari Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul Islam maka telah kafir- bisa di download
di http://kotubcom.blogspot.com/2011/02/pdf_2275.html
(cetakan lama).
Dan dalam risalahnya ini
Ibnu Nashiruddin As-Syafi’i menyebutkan pujian sekitar 85 ulama besar dari berbagai
madzhab, madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi’i dan madzhab Hanbali.
Setelah itu Ibnu Nashiruddin berkata :
“Sungguh kami tidak
menyebutkan jumlah yang banyak dari kalangan para ulama yang menyatakan akan
keimaman Ibnu Taimiyyah dan juga sikap zuhud dan waro’ beliau” (Ar-Rod
al-Waafir hal 74, dan bagi para pembaca yang ingin melihat pujian-pujian para
ulama terhadap Ibnu Taimiyyah maka silahkan mendownload kitab الْجَامِعُ لِسِيْرَةِ شَيْخِ الْإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ bisa didownload di http://www.waqfeya.com/book.php?bid=1000)
Sebagaimana kitab Idahram
yang berisi kedustaan terang-terangan dan tuduhan dusta kepada wahabiyah diberi
pengantar oleh DR Said Aqiel Siradj maka risalah Ar-Rod Al-Waafir yang membela
Ibnu Taimiyyah (yang dianggap dedengkot wahabi oleh para pembenci wahabi) juga
diberi pengantar oleh Ibnu Hajar Al-‘Asqolaani rahimahullah. Risalah Ar-Rod
Al-Waafir selain mencantumkan sekitar 85 ulama yang menyatakan Ibnu Taimiyyah
sebagai imam, risalah ini juga diberi pengantar oleh para ulama besar,
diantaranya Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqolaaniy Asy-Syafii yang telah memuji
risalah ini, dan telah memuji kepada Ibnu Taimiyyah dengan pujian setinggi
langit. Berikut ini saya terjemahkan kata pengantar beliau :
((Segala puji bagi Allah, dan keselamatan bagi hamba-hambaNya yang telah Ia
pilih. Aku telah melihat tulisan yang bermanfaat ini, yang merupakan kumpulan
untuk maksud-maksud (tujuan-tujuan) yang telah dikumpulkan oleh pengumpulnya.
Maka jelas bagiku luasnya Imam yang telah menulis tulisan ini serta
kedalamannya terhadap ilmu-ilmu yang bermanfaat yang diagungkan dan dimuliakannya
di antara para ulama.
Dan tersohornya keimaman
As-Syaikh Taqiyyuddin (*Ibnu Taimiyyah) lebih tersohor daripada matahari.
Dan penggelaran beliau dengan Syaikul Islam tetap terjaga di lisan-lisan yang
suci sejak zaman beliau hingga saat ini , dan akan terus lestari hingga hari
esok sebagaimana hari yang lalu. Tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali
hanyalah orang jahil (dungu) atau orang yang menjauhi sikap adil. Maka sungguh
berat dan betapa besar keburukan orang yang melakukan hal tersebut (*menyatakan
kafirnya orang yang menggelari Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul Islam). Hanya
kepada Allahlah kita memohon –dengan anugerah dan karuniaNya- agar menjaga kita
dari keburukan diri-diri kita dan akibat-akibat buruk dari lisan-lisan kita.
Kalau seandainya tidak ada keutamaan yang dimiliki oleh Ibnu Taimiyyah kecuali
hanya apa yang diingatkan oleh Al-Haafiz yang tersohor yaitu ‘Alamuddiin
Al-Barzaaly dalam kitab “Taarikh” nya (*maka sudah cukup) yaitu bahwasanya tidak
pernah terjadi dalam sejarah Islam seseorang yang tatkala meninggal maka
berkumpulah manusia yang begitu banyak sebagaimana pada jenazah As-Syaikh
Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah). Dan beliau mengisyaratkan bahwasanya jenazah Imam
Ahmad tatkala itu dihadiri oleh sangat banyak orang (*di kota Baghdad),
dihadiri oleh ratusan ribu orang. Akan tetapi seandainya jika di kota Damaskus
(*tempat wafatnya Ibnu Taimiyyah) jumlah penduduknya seperti jumlah penduduk
kota Baghdad atau bahkan berlipat-lipat ganda dari jumlah penduduk kota Baghdad
maka tidak seorangpun dari penduduk yang tidak menghadiri janazah Ibnu
Taimiyyah. Selain itu seluruh penduduk Baghdad –kecuali hanya sedikit-, mereka
seluruhnya meyakini keimaman Imam Ahmad. Dan gubernur kota Baghdad dan juga
Khalifah/Raja pada waktu itu sangat mencintai dan mengagungkan Imam Ahmad.
Berbeda halnya dengan Ibnu Taimiyyah. Gubernur Damaskus sedang tidak ada di
tempat tatkala wafatnya Ibnu Taimiyyah, dan (juga) mayoritas ahli fikih di
Damaskus tatkala itu menentang Ibnu Taimiyyah hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah
meninggal dalam keadaan di penjara di Qol’ah. Meskipun demikian tidak
seorangpun dari para ahli fikih tersebut yang tidak menghadiri jenazah Ibnu
Taimiyyah dan mendoakan rahmat baginya dan turut berduka cita. Kecuali hanya
tiga orang yang tidak ikut serta karena mereka mengkhawatirkan diri mereka dari
(gangguan) masyarakat umum (*karena ketiga orang ini sangat dikenal oleh
masyarakat membenci dan menentang Ibnu Taimiyyah-pen). Dan meskipun telah
berkumpul jumlah manusia yang begitu banyak akan tetapi tidaklah ada yang
mendorong mereka untuk berkumpul kecuali karena keyakinan mereka terhadap
keimaman Ibnu Taimiyyah dan keberkahannya. Mereka berkumpul bukan karena
diperintahkan oleh penguasa, dan juga bukan karena sebab yang lain. Dan telah
shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :
أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي الأَرْضِ
“Kalian adalah
saksi-saksinya Allah di dunia”
Sungguh sekumpulan ulama
telah berulang kali menentang As-Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah disebabkan
beberapa perkara ushul maupun furu’ yang mereka ingkari dari Ibnu Taimiyyah.
Bahkan telah diadakan beberapa majelis (*untuk mendebat/menyidang) Ibnu
Taimiyyah dikarenakan hal tersebut di kota Qohiroh dan Damaskus, akan tetapi
tidak diketahui ada seorangpun dari mereka yang berfatwa bahwa ibnu Taimiyyah
zindiq atau menghalalkan darah Ibnu Taimiyyah, padahal tatkala sebagian
orang-orang kerajaan begitu keras menentang beliau, hingga akhirnya beliau
dipenjara di Qohiroh kemudian dipenjara di Damaskus. Meskipun demikian seluruh
mereka mengakui keluasan ilmu beliau, tingginya sikap zuhud dan waro’ beliau,
kedermawanan dan keberanian beliau, serta perkara-perkara yang lain yang
merupakan bentuk perjuangan beliau membela Islam dan berdakwah di jalan Allah
ta’aala baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.
Maka lantas bagaimana tidak ada pengingkaran terhadap orang yang menyatakan
bahwasanya beliau kafir??, bahkan terhadp orang yang mengkafirkan orang yang
menamakan Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul Islam??. Dan tidak ada dalam penamaan
beliau dengan Syaikhul Islam menkonsekuensikan pengkafiran. Karena sesungguhnya
beliau tanpa diragukan lagi adalah salah seorang Syaikh dari para syaikh-syaikh
Islam pada masanya. Dan permasalahan-permasalahan yang diingkari dari beliau
tidaklah beliau mengucapkannya dengan hawa nafsu, dan beliau tidaklah bersih
keras pendapat dengan permasalahan-permasalahan tersebut kecuali setelah tegaknya
dalil-dalil atas pendapat beliau tersebut.
Lihatlah tulisan-tulisan
karya beliau penuh dengan bantahan terhadap orang yang menyatakan tajsiimnya
Allah dan beliau berlepas diri dari orang tersebut. Meskipun demikian beliau
adalah manusia biasa, benar dan bersalah. Dan perkara-perkara yang beliau benar
lebih banyak, karenanya diambil faedah dari beliau dan dioakan rahmat Allah
bagi beliau. Adapun kesalahan-kesalahan beliau maka tidak boleh ditaqlidi, akan
tetapi beliau ma’dzuur (diberi udzur) karena para imam di masa beliau mengakui
bahwasanya telah terpenuhi pada beliau sarana-sarana untuk berijtihad. Bahkan
orang yang paling menentang beliau dan berusaha memberi kemudhorotan kepada
beliau –yaitu Syaikh Jamaaluddin Az-Zamlakaani- juga telah mengakui hal itu (bahwasanya
Ibnu Taimiyyah mujtahid). Demikian juga Syaikh Sodruddin bin Al-Wakiil yang
tidak ada yang kokoh dalam berdialog dengannya (juga mengakui Ibnu Taimiyyah
seorang mujtahid).
Dan yang paling menakjubkan bahwasanya Ibnu Taimiyyah adalah termasuk orang
yang paling gigih menentang Ahlul Bid’ah, Syi’ah Rofidhoh, Al-Hululiyah, dan
Al-Ittihaadiyah (paham wihdatul wujud). Tulisan-tulisan beliau tentang hal ini
banyak dan terkenal, serta fatwa-fatwa beliau tentang mereka tidak terhingga.
Maka sungguh akan menyenangkan mereka jika mereka mendengar akan kafirnya Ibnu
Taimiyyah, dan sungguh mereka akan bergembira jika mereka melihat ada ahli ilmu
yang mengkafirkan ibnu Taimiyyah. Maka wajib bagi orang yang memiliki ilmu dan
memiliki akal untuk mengamati perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah dari buku-buku
karya beliau yang tersohor. Atau dari Ahlus Sunnah yang tsiqoh (terpercaya)
dari kalangan ahli periwayatan/penukilan sehingga ia bisa benar-benar
memperoleh perkara-perkara yang ia ingkari dari Ibnu Taimiyyah, lalu hendaknya
ia memperingatkan umat dari kesalahan-kesalahan tersebut, dengan maksud untuk
memberi nasehat, serta memuji Ibnu Taimiyyah dengan menyebutkan
keutamaan-keutamaan beliau pada perkara-perkara yang Ibnu Taimiyyah berada di
atas kebenaran, sebagaimana kebiasaan (yang dilakukan pada) para ulama selain
Ibnu Taimiyyah (*yaitu kesalahan mereka diperingatkan dengan tetap memuji
mereka-pen).
Kalau saja Ibnu Taimiyyah
tidak punya keistimewaan yang terpuji kecuali hanya seorang muridnya yang
tersohor As-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah penulis buku-buku yang
bermanfaat dan menggembirakan yang telah memberi manfaat kepada kawan dan
lawan, maka hal ini sudah sangat cukup untuk menunjukkan agungnya kedudukan
Ibnu Taimiyyah.
Lantas bagaimana lagi jika para imam di zamannya dari kalangan madzhab syafiiah
dan yang lainnya –apalagi para ulama madzhab hanbali- telah mengakui
keterdepanan beliau dalam ilmu-ilmu dan keistimewaan beliau dalam manthuq dan
mafhuum. Setelah semua kelebihan ini maka tidaklah dipandang dan tidak
dijadikan pegangan orang yang menyatakan bahwa beliau kafir atau kafirnya orang
yang menamakan beliau syaikhul Islam. Bahkan wajib untuk mencegahnya dari
mengucapkan hal ini hingga ia kembali kepada al-hak dan tunduk kepada
kebenaran.
Dan Allah-lah yang berfirman
dengan kebenaran dan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, dan cukuplah
Allah sebagai penolong bagi kita dan Dialah sebaik-baik tempat bersandar.
Diucapkan dan ditulis oleh
Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajr AsSyafi’I –semoga Allah memaafkannya- pada
hari jum’at tanggal 9 Rabiul Awwal tahun 835 H sambil memuji Allah dan
bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah Muhammad dan keluarganya)). Demikian
kata pengantar yang ditulis oleh Ibnu Hajr Al-‘Asqolaani terhadap risalah
Ar-Rod Al-Waafir hal 77-79
Sungguh pujian setinggi
langit yang diberikan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah.
Kesimpulan dari pernyataan-peryataan beliau adalah :
Pertama : Ibnu Taimiyyah
berhak untuk digelari Syaikhul Islam, dan gelar ini akan terus lestari. Dan
hanya orang dungu saja atau orang yang tidak adil yang mengingkari gelar ini bagi
beliau
Kedua : Tidak pernah ada
jenazah yang dihadiri dengan jumlah yang begitu banyak sebagaimana janazah Ibnu
Taimiyyah. Disebutkan dalam Adz-Dzail ‘alaa tobaqoot Al-Hanaabilah (2/407)
bahwasanya yang menghadiri janazah Ibnu Taimiyyah tatkala itu sekitar 200 ribu
kaum lelaki dan sekitar 15 ribu kaum wanita
Ketiga : Cukuplah satu saja
murid beliau –yaitu Ibnul Qoyyim- menjadi bukti akan luas dan dalamnya ilmu
Ibnu Taimiyyah.
Keempat : Ibnu Taimiyyah
adalah termasuk orang yang paling gigih menentang dan membantah Ahlul Bid’ah
dan Syi’ah Roofidhoh
Kelima : Ibnu Taimiyyah
diakui oleh lawan-lawannya sebagai seorang mujtahid
Keenam : Lawan-lawan Ibnu
Taimiyyah mengakui keterdepanan ilmu beliau, zuhud, waro’, kedermawanan, serta
keberanian beliau.
Demikianlah diantara
keistimewaan-keistimewaan Ibnu Taimiyyah yang disebutkan oleh Ibnu Hajar.
Tentunya masih banyak keistimewaan beliau, jihad beliau, serta karomat-karomat
beliau sebagaimana termaktub dalam buku-buku yang menjelaskan tentang biografi
beliau.
Pujian Ulama Syafi’iyah
Selain Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah
Sebagian besar warga muslim
Indonesia bermadzhab As-Syafi’iyah, bahkan orang-orang yang memusuhi kaum
Wahabi di tanah air kebanyakannya juga mengaku pengikut madzhab Asy-Syafiiyah.
Tentunya Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh mereka
sebagai dedengkot wahabi.
Karenanya saya sangat
berharap agar mereka meninjau kembali permusuhan mereka. Lihatlah Ibnu Nashiruddin
Ad-Dimasyqi yang membela habis Ibnu Taimiyyah juga dari madzhab Syafiiyah.
Kemudian Ibnu Hajar salah seorang ulama terkemuka dari madzhab Syafii juga
memuji Ibnu Taimiyyah setinggi langit dan membantah orang yang mencela Ibnu
Taimiyyah. Dan masih banyak ulama-ulama syafiiyah yang lainnya yang memuji Ibnu
Taimiyyah. Berikut ini saya akan menyampaikan pujian-pujian setinggi langit
dari para ulama besar madzhab syafiiyah, agar mereka para pembenci kaum wahabi
bisa mencontohi ulama mereka.
Pertama : Al-Haafizh Abul
Fath Al-Ya’muri As-Syafii (penulis kitab عُيُوْنُ الأَثَرِ فِي فُنُوْنِ الْمَغَازِي وَالشَّمَائِلِ وّالسِّيَرِ, wafat pada tahun 734 H, lihat Ad-Duror Al-Kaaminah 4/330), beliau
berkata :
وَكَادَ يَسْتَوْعِبُ السُّنَنَ وَالآثَارَ حِفْظاً، إِنْ تَكَلَّمَ فِي التَّفْسِيْرِ فَهُوَ حَامِلُ رَايَتِهِ، أَوْ أَفْتَى فِي الْفِقْهِ فَهُوَ مُدْرِكُ غَايَتَهُ، أَوْ ذَاكِرٌ بِالْحَدِيث فهو صاحب علمه وذو روايته، أو حاضر بالنِّحل والملل لم يُر أوسع من نِحْلَتِه في ذلك ولا أرفع من درايته، برز في كل فنٍّ على أبناء جنسه، ولم ترَ عينُ مَن رآه مثلَه، ولا رأتْ عينُه مثلَ نفسِه
“Beliau (*Ibnu Taimiyyah)
menguasai hadits-hadits dan atsar-atsar dengan hafalan, jika beliau berbicara
tentang tafsir maka beliau adalah pembawa bendera ilmu tafsir, atau jika beliau
berfatwa dalam fikih maka beliau tahu puncak ilmu fikih, atau tatkala ia
menyebutkan hadits maka beliau adalah pemiliki ilmu hadits dan periwayatannya,
atau tatkala menyebutkan tentang ilmu aliran dan agama maka tidak dilihat ada
orang yang lebih luas ilmunya daripada beliau dan tidak ada yang lebih tinggi
pengetahuannya. Beliau unggul pada seluruh cabang ilmu di atas orang-orang yang
sebangsa beliau. Dan orang yang pernah melihatnya tidak pernah melihat orang
lain yang semisalnya, dan dia sendiri tidak pernah melihat orang yang seperti
dirinya” (Ajwibah Ibni Sayyid An-Naas Al-Ya’muri ‘an su’aalaat Ibni Abiik
Ad-Dimyathi 2/221 tahqiq DR Muhammad Ar-Rowandi, sebagaimana dinukil dalam
Al-Jaami’ li Siirh Syaikhil Islaam hal 188)
Kedua : Abul Hajjaaj Yusuf
bin Abdirrahman Al-Mizziy As-Syafi’i (salah satu Imam Al-Jarh wa at-Ta’diil,
penulis kitab Tahdziibul Kamaal, wafat 742 H)
Beliau berkata :
مَا رَأَيْتُ مِثْلَهُ وَلاَ رَأَى هُوَ مِثْلَ نَفْسِهِ، وَمَا رَأَيْتَ أَحَداً أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ وَلاَ أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ
“Aku tidak pernah melihat
yang seperti beliau, dan dia sendiri tidak pernah melihat orang yang
semisalnya, dan aku tidak pernah melihat seorangpun lebih berilmu tentang
al-Qur’an dan sunnah Rasulullah dan lebih menjalankan Al-Qur’an As-Sunnah
daripada dia” (Tobaqoot Ulamaa Al-Hadiits 4/283)
Ketiga : Kamaaluddin Abul
Ma’aali Muhammad bin Ali Az-Zamlakaani As-Syafi’i (wafat 728 H), beliu berkata
:
كَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ فَنٍّ مِنَ الْعِلْمِ ظَنَّ الرَّائِي وَالسَّامِعُ أَنَّهُ لاَ يَعِرْفُ غَيْرَ ذَلِكَ الْفَنِّ
“Jika Ibnu Taimiyyah ditanya
tentang salah satu cabang ilmu maka orang yang melihat dan mendengar
(jawabannya) menyangka bahwa Ibnu Taimiyyah tidak mengetahui cabang ilmu yang
lain” (Syadzaroot Adz-Dzahab 8/144), maksud beliau yaitu karena terlalu
hebatnya Ibnu Taimiyyah dalam bidang ilmu tersebut, sehingga seakan-akan Ibnu
Taimiyyah menghabiskan umurnya untuk mempelajari satu bidang ilmu saja dan
tidak mempelajari bidang ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi ternyata kehebatan
ini berlaku pada seluruh bidang ilmu.
Az-Zamlakaani memuji Ibnu
Taimiyyah dalam syairnya :
هُوَ حُجَّةٌ لله قَاهِرَة هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَة ُالدَّهْرِ
“Dia adalah hujjah milik
Allah yang menguasai…..dia diantara kita adalah keajaiban zaman”
Imam Ibnu Katsiir As-Syafii
menyebutkan bahwasanya Az-Zamlakaani memuji Ibnu Taimiyyah dengan syair ini
padahal tatkala itu umur Ibnu Taimiyyah sekitar 30 tahun (lihat Al-Bidaayah wa
an-Nihaayah 18/298)
Keempat : Abu Hayyaan
Al-Andalusi An-Nahwi As-Syafi’i, penulis kitab tafsir Al-Bahr Al-Muhiith,
dahulunya beliau bermadzhab Maliki kemudian berpindah ke madzhab As-Syafii dan
mengarang sebuah kitab yang berjudul الوَهَّاجُ فِي اخْتِصَارِ الْمِنْهَاجِ لِلنَّوَوِي (lihat muqoddimah tafsiir al-Bahr Al-Muhiith 1/57), wafat
tahun 745 H. Beliau pernah berkata ; “Kedua mataku tidak pernah melihat yang
semisal Ibnu Taimiyyah”, lalu beliau memuji Ibnu Taimiyyah dalam untaian
syairnya, diantaranya beliau berkata :
قام ابنُ تيمية في نصر شِرْعَتِنَا مَقامَ سَيِّدِ تَيْمٍ إذْ عَصَتْ مُضَرُ
فأظهرَ الحقَّ إذْ آثارُهُ دَرَستْ وأخمدَ الشَّرَّ إذ طارتْ له الشَّرَرُ
“Tegaklah Ibnu Taimiyyah
dalam memperjuangkan syari’at kita…
Sebagaimana Pemimpin Kabilah
Taimi (yaitu Abu Bakar As-Shiddiq) tatkala kabilah Mudhor membangkang (menjadi
murtad)
Maka Ibnu Taimiyyahpun
menampakan kebenaran tatkala atsar dari kebenaran telah lenyap…
Dan iapun memadamkan
keburukan seteleh keburukan merajalela”
Kelima : Adz-Dzhabi
As-Syaafii, beliau berkata ;
فَلَوْ حَلَفْتُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ، لَحَلَفْتُ: أَنِّي مَا رَأَيْتُ بِعَيْنَيَّ مِثْلَهُ، وَأَنَّهُ مَا رَأَى مِثْلَ نَفْسِهِ
“Kalau aku bersumpah
diantara hajar aswad dan maqom Ibrahim maka aku sungguh akan bersumpah : Aku
tidak pernah melihat dengan dua mataku ini yang semisal Ibnu Taimiyyah, dan
diapun tidak pernah melihat yang semisal dirinya” (Adz-Dzail ‘alaa Tobaqoot
Al-Hanaabilah karya Ibnu Rojab 2/390)
Keenam : Ibnu Daqiiq
Al-‘Ieed As-Syafii, beliau pernah ditanya tentang Ibnu Taimiyyah setelah
bertemu dengan Ibnu Taimiyyah, maka beliau berkata :
رَأَيْتُ رَجُلاً سَائِرُ الْعُلُوْمِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، يَأْخُذُ مَا شَاءَ مِنْهَا وَيَتْرُكُ مَا شَاءَ
“Aku telah melihat seorang
yang seluruh ilmu berada di hadapan kedua matanya, ia mengambil apa yang dia
sukai dari ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan apa yang ia sukai” (Syadzaroot
Adz-Dzahab 8/146)
Ketujuh : ‘Imaadudiin Ahmad
bin Ibrahim, Syaikh Al-Hazzamiyah Al-Washithy Asy-Syafi’i (wafat 711 H), beliau
berkata :
“Demi Allah kemudian demi
Allah kemudian demi Allah tidak pernah terlihat dibawah langit ini yang
seperti guru kalian Ibnu Taimiyyah dari sisi ilmu, amal, kondisi, akhlak,
itiibaa’, kedermawanan, kebijaksanaan, dan penegakan terhadap hak Allah ta’aala
tatkala dilanggar keharaman. Beliau adalah orang paling benar aqidahnya dan
yang paling benar ilmu dan tekadnya, dan yang paling semangat dan paling cepat
dalam membela kebenaran dan menegakkannya, dan orang yang tangannya paling
pemurah, dan yang paling sempurna ittiba’nya (keteladanannya) kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kami tidak pernah melihat di zaman kami ini
seseorang yang nampak kenabian muhammadiah serta sunnah-sunnahnya dari
perkataan dan perbuatannya kecuali orang ini (Ibnu Taimiyyah), dan hati yang
bersih mempersaksikan bahwasanya ini adalah ittibaa’ yang sesungguhnya”
(Syadzaroot Adz-Dzahab 8/144)
Kedelapan : Abdullah bin
Hamid As-Syafii, beliau pernah menulis kepada Abdullah bin Rusyaiq
(warrooq/penulis Ibnu Taimiyyah/semacam sekertaris), ia berkata :
“Dan sebelum saya menemukan
pembahasan-pembahasan Imam Dunia (*Ibnu Taimiyyah) rahimahullah, saya telah
menelaah kitab-kitab para penulis terdahulu, dan aku telah melihat perkataan
para mutaakhirin dari kalangan ahli filsafat, maka aku mendapatinya terdapat
kebatilan-kebatilan dan keraguan-keraguan yang tidak pantas untuk terbetik di
hati seorang muslim yang lemah apalagi seorang yang agamanya kuat. Sungguh
meletihkan dan menyedihkan hatiku tatkala aku melihat orang-orang besar bisa
terbawa ke pemikiran-pemikiran yang lemah dan rendah yang pemeluk umat ini
tidak akan meyakini kebenarannya. Akupun memeriksa sunnah yang murni di
buku-buku para ahli filsafat pengikut madzhab Imam Ahmad secara khusus karena
mereka tersohor dengan keteguhan mereka memegang perkataan-perkataan Imam
mereka (Imam Ahmad) dalam masalah pokok-pokok aqidah, akan tetapi aku tidak
mendapatkan dari mereka apa yang mencukupi. Aku melihat mereka kontradikisi
tatkala mereka menetapkan landasan-landasan yang ternyata bertentangan dengan
apa yang mereka yakini. Atau mereka meyakini perkara yang bertentangan dengan
konsekuensi dari dalil-dalil mereka. Jika aku mengumpulkan antara
pendapat-pendapat Mu’tzilah, Asya’iroh, dan Hanabilah Baghdad, serta
Karomiyahnya Khurosaan maka aku melihat bahwasanya ijmaak (consensus) para ahli
filsafat dalam satu permasalahan bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh
dalil akal dan naql (Al-Qur’an dan As-Sunnah), maka hal ini membuat aku tidak
suka dan menjadikanku bersedih dengan kesedihan yang tidak mengetahui hakekat
kesedihanku kecuali Allah. Hingga akupun menderita tatkala menghadapi perkara
ini dengan penderitaan yang sangat berat, yang aku tidak mampu untuk
menjelaskan sedikit penderitaanku itu.
Akupun bersandar kepada
Allah ta’aala dan aku merendah kepadaNya, lalu aku berlari ke lahiriahnya
nas-nas dan aku menemukan pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda dan demikian
pula takwilan-takwilan yang dibuat-buat, maka fitroh ini tidak mau menerimanya.
Lalu fitrohku bergantung kepada kebenaran yang jelas dalam pokok-pokok
permasalahan, akan tetapi aku tidak berani terang-terangan untuk berpendapat
dan menancapkan aqidahku diatasnya karena aku tidak menemukan adanya atsar dari
para imam dan para salaf terdahulu. Hingga akhirnya Allah mentaqdirkan aku
untuk menemukan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelang
wafatnya beliau. Maka aku mendapatkan di dalamnya sesuatu yang menakjubkanku
dimana fitrohku sepakat dengan apa yang terdapat di dalamnya, serta penyandaran
kebenaran kepada para imam sunnah dan para salaf, disertai dengan keserasian
antara akal dan dalil. Maka akupun terpaku karena sangat senang dengan
kebenaran, dan gembira dengan ditemukannya apa yang aku cari-cari yang jika
hilang maka tidak ada gantinya. Maka jadilah kecintaan terhadap Ibnu Taimiyyah
rahimahullah menjadi sesuatu yang harus, yang aku tidak mampu untuk
mengungkapkan kecintaanku kepadanya meskipun hanya sedikit, walaupun aku sudah
berusaha dengan sebaik-baiknya” (Risaalah min Abdillah bin Haamid ilaa Abdillah
bin Rusyaiq, dan risalah ini terlampirkan dalam kitab al-‘Uquud ad-Durriyah hal
307)
Kesembilan : Ibnu Katsiir
(penulis kitab Tafsiir Al-Qur’aan al-‘Adziim). Beliau berkata :”Telah ditulis
banyak buku tentang biografi beliau, dan sejumlah dari kalangan orang-orang
yang mulia dan selain mereka juga menulis biografi beliau. Dan kami akan
menuliskan biografi singkat tentang manaqib beliau, keutamaan-keutamaan beliau,
keberanian, kedermawanan, nasehat beliau, zuhudnya beliau, ibadah beliau, ilmu
beliau yang banyak…” (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/302)
Abu Abdilmuhsin Firanda
Andirja
Sumber : http://www.firanda.com