Wednesday, March 4, 2015

Haruskah Membenci Ibnu Taimiyyah?? (Padahal Ibnu Hajar Al-Asqolaani dan para ulama syafi'iyah terkmuka lainnya telah memuji Ibnu Taimiyyah dengan pujian setinggi langit [ Edited Version ]

Terlalu banyak tuduhan-tuduhan dusta ditujukan kepada Ibnu Taimiyyah untuk memudarkan cahaya kebaikan beliau rahimahullah. Kedustaan-kedustaan ini sebagian besarnya telah dibantah dalam sebuah disertasi untuk meraih gelar doktoral yang berjudul دَعَاوَى الْمُنَاوِئِيْنَ لِشَيْخِ الإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ (Tuduhan-Tuduhan Musuh-Musuh Ibnu Taimiyyah) yang ditulis oleh As-Syaikh Abdullah bin Sholeh bin Abdul Aziiz al-Gushn. (silahkan di download di http://waqfeya.net/book.php?bid=1876). Bahkan yang lebih sadis dari sekedar-sekedar tuduhan dusta, ternyata ada sebagian orang yang menggabungkan antara tuduhan dusta dan sekaligus mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Abu Salafy yang telah menuduh Ibnu Taimiyyah dengan tuduhan palsu sekaligus menuduh Ibnu Taimiyyah sebagai gembong kaum munafik (lihat kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/117-tipu-muslihat-abu-salafy-cs-3-qtuduhan-ustadz-abu-salafy-bahwasanya-ibnu-taimiyyah-mencela-ali-dan-umarq). Disinyalir Abu Salafy dialah si Idahram yang juga tukang dusta. Ternyata gaya-gaya Abu Salafy ini hanyalah mengikuti gurunya Habib Hasan Saqqoof yang juga telah menuduh dengan tuduhan-tuduhan dusta serta mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Hal ini telah ditegaskan oleh Habib Wahabi Alawi bin Abdil Qodir As-Saqoof, beliau berkata : "Dahulu saya pernah membaca beberapa buku karya Hassaan bin Ali As-Saqqoof, akan tetapi seingatku saya tidak pernah selesai membaca satu bukupun dari buku-buku tersebut karena saya terasa muak dan merinding tatkala melihat celaan, ejekan, hinaan, dan makiannya terhadap para imam Ahlus Sunnah. Kemudian terakhir-terakhir ini tatkala saya mendengar suatu tayangan di channel Mustaqillah dimana dia telah mengkafirkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah maka sayapun turut berpartisipasi untuk membantahnya…" ('Abats Ahil Ahwaa' bi Turoots al-Ummah hal 5-6, silahkan download di http://waqfeya.net/book.php?bid=5414)


Ternyata isu tentang pencelaan Ibnu Taimiyyah sudah ada sejak dulu. Ada salah seorang musuh Ibnu Taimiyyah yang berkata bahwasanya barangsiapa yang mengatakan Ibnu Taimiyyah adalah Syaikhul Islam maka ia telah kafir. Bukan hanya Ibnu Taimiyyah yang dikafirkan, bahkan semua yang mengatakan Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul islam maka telah kafir.


(Hal ini mengingatkan saya pada Abu Salafy dan konco-konconya yang sering menuduh kaum wahabi sebagai khawarij, ternyata justru mereka yang begitu mudah mengkafirkan kaum wahabi). Untuk membantah perkataan ini maka tegaklah seorang ulama dari madzhab As-Syafi'iah yang bernama Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi (wafat 842 H) menulis sebuah risalah yang sangat baik dengan judul الرَّدُّ الْوَافِرُ عَلَى مَنْ زَعَمَ أَنَّ مَنْ سَمَّى ابْنَ تَيْمِيَّةَ شَيْخَ الإِسْلاَمِ كَافِرٌ (Bantahan yang cukup terhadap orang yang menyangka barang siapa yang menggelari Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul Islam maka telah kafir- bisa di download di http://kotubcom.blogspot.com/2011/02/pdf_2275.html (cetakan lama).

Dan dalam risalahnya ini Ibnu Nashiruddin As-Syafi'i menyebutkan pujian sekitar 85 ulama besar dari berbagai madzhab, madzhab Hanafi, madzhab Maliki, madzhab Syafi'i dan madzhab Hanbali. Setelah itu Ibnu Nashiruddin berkata :

"Sungguh kami tidak menyebutkan jumlah yang banyak dari kalangan para ulama yang menyatakan akan keimaman Ibnu Taimiyyah dan juga sikap zuhud dan waro' beliau" (Ar-Rod al-Waafir hal 74, dan bagi para pembaca yang ingin melihat pujian-pujian para ulama terhadap Ibnu Taimiyyah maka silahkan mendownload kitab الْجَامِعُ لِسِيْرَةِ شَيْخِ الْإِسْلاَمِ ابْنِ تَيْمِيَّةَ bisa didownload dihttp://www.waqfeya.com/book.php?bid=1000)

Sebagaimana kitab Idahram yang berisi kedustaan terang-terangan dan tuduhan dusta kepada wahabiyah diberi pengantar oleh DR Said Aqiel Siradj maka risalah Ar-Rod Al-Waafir yang membela Ibnu Taimiyyah (yang dianggap dedengkot wahabi oleh para pembenci wahabi) juga diberi pengantar oleh Ibnu Hajar Al-'Asqolaani rahimahullah. Risalah Ar-Rod Al-Waafir selain mencantumkan sekitar 85 ulama yang menyatakan Ibnu Taimiyyah sebagai imam, risalah ini juga diberi pengantar oleh para ulama besar, diantaranya Al-Haafizh Ibnu Hajar Al-'Asqolaaniy Asy-Syafii yang telah memuji risalah ini, dan telah memuji kepada Ibnu Taimiyyah dengan pujian setinggi langit. Berikut ini saya terjemahkan kata pengantar beliau :

((Segala puji bagi Allah, dan keselamatan bagi hamba-hambaNya yang telah Ia pilih. Aku telah melihat tulisan yang bermanfaat ini, yang merupakan kumpulan untuk maksud-maksud (tujuan-tujuan) yang telah dikumpulkan oleh pengumpulnya. Maka jelas bagiku luasnya Imam yang telah menulis tulisan ini serta kedalamannya terhadap ilmu-ilmu yang bermanfaat yang diagungkan dan dimuliakannya di antara para ulama.

Dan tersohornya keimaman As-Syaikh Taqiyyuddin (*Ibnu Taimiyyah) lebih tersohor daripada  matahari. Dan penggelaran beliau dengan Syaikul Islam tetap terjaga di lisan-lisan yang suci sejak zaman beliau hingga saat ini , dan akan terus lestari hingga hari esok sebagaimana hari yang lalu. Tidak ada yang mengingkari hal ini kecuali hanyalah orang jahil (dungu) atau orang yang menjauhi sikap adil. Maka sungguh berat dan betapa besar keburukan orang yang melakukan hal tersebut (*menyatakan kafirnya orang yang menggelari Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul Islam). Hanya kepada Allahlah kita memohon –dengan anugerah dan karuniaNya- agar menjaga kita dari keburukan diri-diri kita dan akibat-akibat buruk dari lisan-lisan kita.

Kalau seandainya tidak ada keutamaan yang dimiliki oleh Ibnu Taimiyyah kecuali hanya apa yang diingatkan oleh Al-Haafiz yang tersohor yaitu 'Alamuddiin Al-Barzaaly dalam kitab "Taarikh" nya (*maka sudah cukup) yaitu bahwasanya tidak pernah terjadi dalam sejarah Islam seseorang yang tatkala meninggal maka berkumpulah manusia yang begitu banyak sebagaimana pada jenazah As-Syaikh Taqiyyuddin (Ibnu Taimiyyah). Dan beliau mengisyaratkan bahwasanya jenazah Imam Ahmad tatkala itu dihadiri oleh sangat banyak orang (*di kota Baghdad), dihadiri oleh ratusan ribu orang. Akan tetapi seandainya jika di kota Damaskus (*tempat wafatnya Ibnu Taimiyyah) jumlah penduduknya seperti jumlah penduduk kota Baghdad atau bahkan berlipat-lipat ganda dari jumlah penduduk kota Baghdad maka tidak seorangpun dari penduduk yang tidak menghadiri janazah Ibnu Taimiyyah. Selain itu seluruh penduduk Baghdad –kecuali hanya sedikit-, mereka seluruhnya meyakini keimaman Imam Ahmad. Dan gubernur kota Baghdad dan juga Khalifah/Raja pada waktu itu sangat mencintai dan mengagungkan Imam Ahmad.

Berbeda halnya dengan Ibnu Taimiyyah. Gubernur Damaskus sedang tidak ada di tempat tatkala wafatnya Ibnu Taimiyyah, dan (juga) mayoritas ahli fikih di Damaskus tatkala itu menentang Ibnu Taimiyyah hingga akhirnya Ibnu Taimiyyah meninggal dalam keadaan di penjara di Qol'ah. Meskipun demikian tidak seorangpun dari para ahli fikih tersebut yang tidak menghadiri jenazah Ibnu Taimiyyah dan mendoakan rahmat baginya dan turut berduka cita. Kecuali hanya tiga orang yang tidak ikut serta karena mereka mengkhawatirkan diri mereka dari (gangguan) masyarakat umum (*karena ketiga orang ini sangat dikenal oleh masyarakat membenci dan menentang Ibnu Taimiyyah-pen). Dan meskipun telah berkumpul jumlah manusia yang begitu banyak  akan tetapi tidaklah ada yang mendorong mereka untuk berkumpul kecuali karena keyakinan mereka terhadap keimaman Ibnu Taimiyyah dan keberkahannya. Mereka berkumpul bukan karena diperintahkan oleh penguasa, dan juga bukan karena sebab yang lain. Dan telah shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bahwasanya beliau bersabda :

أَنْتُمْ شُهَدَاءُ اللهِ فِي الأَرْضِ

"Kalian adalah saksi-saksinya Allah di dunia"

Sungguh sekumpulan ulama telah berulang kali menentang As-Syaikh Taqiyyuddin Ibnu Taimiyyah disebabkan beberapa perkara ushul maupun furu' yang mereka ingkari dari Ibnu Taimiyyah. Bahkan telah diadakan beberapa majelis (*untuk mendebat/menyidang) Ibnu Taimiyyah dikarenakan hal tersebut di kota Qohiroh dan Damaskus, akan tetapi tidak diketahui ada seorangpun dari mereka yang berfatwa bahwa ibnu Taimiyyah zindiq atau menghalalkan darah Ibnu Taimiyyah, padahal tatkala sebagian orang-orang kerajaan begitu keras menentang beliau, hingga akhirnya beliau dipenjara di Qohiroh kemudian dipenjara di Damaskus. Meskipun demikian seluruh mereka mengakui keluasan ilmu beliau, tingginya sikap zuhud dan waro' beliau, kedermawanan dan keberanian beliau, serta perkara-perkara yang lain yang merupakan bentuk perjuangan beliau membela Islam dan berdakwah di jalan Allah ta'aala baik secara terang-terangan maupun secara diam-diam.

Maka lantas bagaimana tidak ada pengingkaran terhadap orang yang menyatakan bahwasanya beliau kafir??, bahkan terhadp orang yang mengkafirkan orang yang menamakan Ibnu Taimiyyah sebagai Syaikhul Islam??. Dan tidak ada dalam penamaan beliau dengan Syaikhul Islam menkonsekuensikan pengkafiran. Karena sesungguhnya beliau tanpa diragukan lagi adalah salah seorang Syaikh dari para syaikh-syaikh Islam pada masanya. Dan permasalahan-permasalahan yang diingkari dari beliau tidaklah beliau mengucapkannya dengan hawa nafsu, dan beliau tidaklah bersih keras pendapat dengan permasalahan-permasalahan tersebut kecuali setelah tegaknya dalil-dalil atas pendapat beliau tersebut.

Lihatlah tulisan-tulisan karya beliau penuh dengan bantahan terhadap orang yang menyatakan tajsiimnya Allah dan beliau berlepas diri dari orang tersebut. Meskipun demikian beliau adalah manusia biasa, benar dan bersalah. Dan perkara-perkara yang beliau benar lebih banyak, karenanya diambil faedah dari beliau dan dioakan rahmat Allah bagi beliau. Adapun kesalahan-kesalahan beliau maka tidak boleh ditaqlidi, akan tetapi beliau ma'dzuur (diberi udzur) karena para imam di masa beliau mengakui bahwasanya telah terpenuhi pada beliau sarana-sarana untuk berijtihad. Bahkan orang yang paling menentang beliau dan berusaha memberi kemudhorotan kepada beliau –yaitu Syaikh Jamaaluddin Az-Zamlakaani- juga telah mengakui hal itu (bahwasanya Ibnu Taimiyyah mujtahid). Demikian juga Syaikh Sodruddin bin Al-Wakiil yang tidak ada yang kokoh dalam berdialog dengannya (juga mengakui Ibnu Taimiyyah seorang mujtahid).

Dan yang paling menakjubkan bahwasanya Ibnu Taimiyyah adalah termasuk orang yang paling gigih menentang Ahlul Bid'ah, Syi'ah Rofidhoh, Al-Hululiyah, dan Al-Ittihaadiyah (paham wihdatul wujud). Tulisan-tulisan beliau tentang hal ini banyak dan terkenal, serta fatwa-fatwa beliau tentang mereka tidak terhingga. Maka sungguh akan menyenangkan mereka jika mereka mendengar akan kafirnya Ibnu Taimiyyah, dan sungguh mereka akan bergembira jika mereka melihat ada ahli ilmu yang mengkafirkan ibnu Taimiyyah. Maka wajib bagi orang yang memiliki ilmu dan memiliki akal untuk mengamati perkataan-perkataan Ibnu Taimiyyah dari buku-buku karya beliau yang tersohor. Atau dari Ahlus Sunnah yang tsiqoh (terpercaya) dari kalangan ahli periwayatan/penukilan sehingga ia bisa benar-benar memperoleh perkara-perkara yang ia ingkari dari Ibnu Taimiyyah, lalu hendaknya ia memperingatkan umat dari kesalahan-kesalahan tersebut, dengan maksud untuk memberi nasehat, serta memuji Ibnu Taimiyyah dengan menyebutkan keutamaan-keutamaan beliau pada perkara-perkara yang Ibnu Taimiyyah berada di atas kebenaran, sebagaimana kebiasaan (yang dilakukan pada) para ulama selain Ibnu Taimiyyah (*yaitu kesalahan mereka diperingatkan dengan tetap memuji mereka-pen).

Kalau saja Ibnu Taimiyyah tidak punya keistimewaan yang terpuji kecuali hanya seorang muridnya yang tersohor As-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah penulis buku-buku yang bermanfaat dan menggembirakan yang telah memberi manfaat kepada kawan dan lawan, maka hal ini sudah sangat cukup untuk menunjukkan agungnya kedudukan Ibnu Taimiyyah.

Lantas bagaimana lagi jika para imam di zamannya dari kalangan madzhab syafiiah dan yang lainnya –apalagi para ulama madzhab hanbali- telah mengakui keterdepanan beliau dalam ilmu-ilmu dan keistimewaan beliau dalam manthuq dan mafhuum. Setelah semua kelebihan ini maka tidaklah dipandang dan tidak dijadikan pegangan orang yang menyatakan bahwa beliau kafir atau kafirnya orang yang menamakan beliau syaikhul Islam. Bahkan wajib untuk mencegahnya dari mengucapkan hal ini hingga ia kembali kepada al-hak dan tunduk kepada kebenaran.

Dan Allah-lah yang berfirman dengan kebenaran dan memberi petunjuk kepada jalan yang lurus, dan cukuplah Allah sebagai penolong bagi kita dan Dialah sebaik-baik tempat bersandar.

Diucapkan dan ditulis oleh Ahmad bin Ali bin Muhammad bin Hajr AsSyafi'I –semoga Allah memaafkannya- pada hari jum'at tanggal 9 Rabiul Awwal tahun 835 H sambil memuji Allah dan bersholawat dan bersalam kepada Rasulullah Muhammad dan keluarganya)). Demikian kata pengantar yang ditulis oleh Ibnu Hajr Al-'Asqolaani terhadap risalah Ar-Rod Al-Waafir hal 77-79

Sungguh pujian setinggi langit yang diberikan oleh Al-Haafiz Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah. Kesimpulan dari pernyataan-peryataan beliau adalah :

Pertama : Ibnu Taimiyyah berhak untuk digelari Syaikhul Islam, dan gelar ini akan terus lestari. Dan hanya orang dungu saja atau orang yang tidak adil yang mengingkari gelar ini bagi beliau

Kedua : Tidak pernah ada jenazah yang dihadiri dengan jumlah yang begitu banyak sebagaimana janazah Ibnu Taimiyyah. Disebutkan dalam Adz-Dzail 'alaa tobaqoot Al-Hanaabilah (2/407) bahwasanya yang menghadiri janazah Ibnu Taimiyyah tatkala itu sekitar 200 ribu kaum lelaki dan sekitar 15 ribu kaum wanita

Ketiga : Cukuplah satu saja murid beliau –yaitu Ibnul Qoyyim- menjadi bukti akan luas dan dalamnya ilmu Ibnu Taimiyyah.

Keempat : Ibnu Taimiyyah adalah termasuk orang yang paling gigih menentang dan membantah Ahlul Bid'ah dan Syi'ah Roofidhoh

Kelima : Ibnu Taimiyyah diakui oleh lawan-lawannya sebagai seorang mujtahid

Keenam : Lawan-lawan Ibnu Taimiyyah mengakui keterdepanan ilmu beliau, zuhud, waro', kedermawanan, serta keberanian beliau.

Demikianlah diantara keistimewaan-keistimewaan Ibnu Taimiyyah yang disebutkan oleh Ibnu Hajar. Tentunya masih banyak keistimewaan beliau, jihad beliau, serta karomat-karomat beliau sebagaimana termaktub dalam buku-buku yang menjelaskan tentang biografi beliau.

Pujian Ulama Syafi'iyah Selain Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah

Sebagian besar warga muslim Indonesia bermadzhab As-Syafi'iyah, bahkan orang-orang yang memusuhi kaum Wahabi di tanah air kebanyakannya juga mengaku pengikut madzhab Asy-Syafiiyah. Tentunya Ibnu Taimiyyah adalah salah seorang ulama yang dituduh oleh mereka sebagai dedengkot wahabi.

Karenanya saya sangat berharap agar mereka meninjau kembali permusuhan mereka. Lihatlah Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi yang membela habis Ibnu Taimiyyah juga dari madzhab Syafiiyah. Kemudian Ibnu Hajar salah seorang ulama terkemuka dari madzhab Syafii juga memuji Ibnu Taimiyyah setinggi langit dan membantah orang yang mencela Ibnu Taimiyyah. Dan masih banyak ulama-ulama syafiiyah yang lainnya yang memuji Ibnu Taimiyyah. Berikut ini saya akan menyampaikan pujian-pujian setinggi langit dari para ulama besar madzhab syafiiyah, agar mereka para pembenci kaum wahabi bisa mencontohi ulama mereka.

Pertama : Al-Haafizh Abul Fath Al-Ya'muri As-Syafii (penulis kitab عُيُوْنُ الأَثَرِ فِي فُنُوْنِ الْمَغَازِي وَالشَّمَائِلِ وّالسِّيَرِ, wafat pada tahun 734 H, lihat Ad-Duror Al-Kaaminah 4/330), beliau berkata :

وَكَادَ يَسْتَوْعِبُ السُّنَنَ وَالآثَارَ حِفْظاً، إِنْ تَكَلَّمَ فِي التَّفْسِيْرِ فَهُوَ حَامِلُ رَايَتِهِ، أَوْ أَفْتَى فِي الْفِقْهِ فَهُوَ مُدْرِكُ غَايَتَهُ، أَوْ ذَاكِرٌ بِالْحَدِيث فهو صاحب علمه وذو روايته، أو حاضر بالنِّحل والملل لم يُر أوسع من نِحْلَتِه في ذلك ولا أرفع من درايته، برز في كل فنٍّ على أبناء جنسه، ولم ترَ عينُ مَن رآه مثلَه، ولا رأتْ عينُه مثلَ نفسِه

"Beliau (*Ibnu Taimiyyah) menguasai hadits-hadits dan atsar-atsar dengan hafalan, jika beliau berbicara tentang tafsir maka beliau adalah pembawa bendera ilmu tafsir, atau jika beliau berfatwa dalam fikih maka beliau tahu puncak ilmu fikih, atau tatkala ia menyebutkan hadits maka beliau adalah pemiliki ilmu hadits dan periwayatannya, atau tatkala menyebutkan tentang ilmu aliran dan agama maka tidak dilihat ada orang yang lebih luas ilmunya daripada beliau dan tidak ada yang lebih tinggi pengetahuannya. Beliau unggul pada seluruh cabang ilmu di atas orang-orang yang sebangsa beliau. Dan orang yang pernah melihatnya tidak pernah melihat orang lain yang semisalnya, dan dia sendiri tidak pernah melihat orang yang seperti dirinya" (Ajwibah Ibni Sayyid An-Naas Al-Ya'muri 'an su'aalaat Ibni Abiik Ad-Dimyathi 2/221 tahqiq DR Muhammad Ar-Rowandi, sebagaimana dinukil dalam Al-Jaami' li Siirh Syaikhil Islaam hal 188)

Kedua : Abul Hajjaaj Yusuf bin Abdirrahman Al-Mizziy As-Syafi'i (salah satu Imam Al-Jarh wa at-Ta'diil, penulis kitab Tahdziibul Kamaal, wafat 742 H)

Beliau berkata :

مَا رَأَيْتُ مِثْلَهُ وَلاَ رَأَى هُوَ مِثْلَ نَفْسِهِ، وَمَا رَأَيْتَ أَحَداً أَعْلَمَ بِكِتَابِ اللهِ وَسُنَّةِ رَسُوْلِهِ وَلاَ أَتْبَعَ لَهُمَا مِنْهُ

"Aku tidak pernah melihat yang seperti beliau, dan dia sendiri tidak pernah melihat orang yang semisalnya, dan aku tidak pernah melihat seorangpun lebih berilmu tentang al-Qur'an dan sunnah Rasulullah dan lebih menjalankan Al-Qur'an As-Sunnah daripada dia" (Tobaqoot Ulamaa Al-Hadiits 4/283)

Ketiga : Kamaaluddin Abul Ma'aali Muhammad bin Ali Az-Zamlakaani As-Syafi'i (wafat 728 H), beliu berkata :

كَانَ إِذَا سُئِلَ عَنْ فَنٍّ مِنَ الْعِلْمِ ظَنَّ الرَّائِي وَالسَّامِعُ أَنَّهُ لاَ يَعِرْفُ غَيْرَ ذَلِكَ الْفَنِّ

"Jika Ibnu Taimiyyah ditanya tentang salah satu cabang ilmu maka orang yang melihat dan mendengar (jawabannya) menyangka bahwa Ibnu Taimiyyah tidak mengetahui cabang ilmu yang lain" (Syadzaroot Adz-Dzahab 8/144), maksud beliau yaitu karena terlalu hebatnya Ibnu Taimiyyah dalam bidang ilmu tersebut, sehingga seakan-akan Ibnu Taimiyyah menghabiskan umurnya untuk mempelajari satu bidang ilmu saja dan tidak mempelajari bidang ilmu-ilmu yang lain. Akan tetapi ternyata kehebatan ini berlaku pada seluruh bidang ilmu.

Az-Zamlakaani memuji Ibnu Taimiyyah dalam syairnya :

هُوَ حُجَّةٌ لله قَاهِرَة    هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَة ُالدَّهْرِ

"Dia adalah hujjah milik Allah yang menguasai…..dia diantara kita adalah keajaiban zaman"

Imam Ibnu Katsiir As-Syafii menyebutkan bahwasanya Az-Zamlakaani memuji Ibnu Taimiyyah dengan syair ini padahal tatkala itu umur Ibnu Taimiyyah sekitar 30 tahun (lihat Al-Bidaayah wa an-Nihaayah 18/298)

Keempat : Abu Hayyaan Al-Andalusi An-Nahwi As-Syafi'i, penulis kitab tafsir Al-Bahr Al-Muhiith, dahulunya beliau bermadzhab Maliki kemudian berpindah ke madzhab As-Syafii dan mengarang sebuah kitab yang berjudul  الوَهَّاجُ فِي اخْتِصَارِ الْمِنْهَاجِ لِلنَّوَوِي (lihat muqoddimah tafsiir al-Bahr Al-Muhiith 1/57),   wafat tahun 745 H. Beliau pernah berkata ; "Kedua mataku tidak pernah melihat yang semisal Ibnu Taimiyyah", lalu beliau memuji Ibnu Taimiyyah dalam untaian syairnya, diantaranya beliau berkata :

قام ابنُ تيمية في نصر شِرْعَتِنَا     مَقامَ سَيِّدِ تَيْمٍ إذْ عَصَتْ مُضَرُ

فأظهرَ الحقَّ إذْ آثارُهُ دَرَستْ     وأخمدَ الشَّرَّ إذ طارتْ له الشَّرَرُ

"Tegaklah Ibnu Taimiyyah dalam memperjuangkan syari'at kita…

Sebagaimana Pemimpin Kabilah Taimi (yaitu Abu Bakar As-Shiddiq) tatkala kabilah Mudhor membangkang (menjadi murtad)

Maka Ibnu Taimiyyahpun menampakan kebenaran tatkala atsar dari kebenaran telah lenyap…

Dan iapun memadamkan keburukan seteleh keburukan merajalela"

Kelima : Adz-Dzhabi As-Syaafii, beliau berkata ;

فَلَوْ حَلَفْتُ بَيْنَ الرُّكْنِ وَالْمَقَامِ، لَحَلَفْتُ: أَنِّي مَا رَأَيْتُ بِعَيْنَيَّ مِثْلَهُ، وَأَنَّهُ مَا رَأَى مِثْلَ نَفْسِهِ

"Kalau aku bersumpah diantara hajar aswad dan maqom Ibrahim maka aku sungguh akan bersumpah : Aku tidak pernah melihat dengan dua mataku ini yang semisal Ibnu Taimiyyah, dan diapun tidak pernah melihat yang semisal dirinya" (Adz-Dzail 'alaa Tobaqoot Al-Hanaabilah karya Ibnu Rojab 2/390)

Keenam : Ibnu Daqiiq Al-'Ieed As-Syafii, beliau pernah ditanya tentang Ibnu Taimiyyah setelah bertemu dengan Ibnu Taimiyyah, maka beliau berkata :

رَأَيْتُ رَجُلاً سَائِرُ الْعُلُوْمِ بَيْنَ عَيْنَيْهِ، يَأْخُذُ مَا شَاءَ مِنْهَا وَيَتْرُكُ مَا شَاءَ

"Aku telah melihat seorang yang seluruh ilmu berada di hadapan kedua matanya, ia mengambil apa yang dia sukai dari ilmu-ilmu tersebut dan meninggalkan apa yang ia sukai" (Syadzaroot Adz-Dzahab 8/146)

Ketujuh : 'Imaadudiin Ahmad bin Ibrahim, Syaikh Al-Hazzamiyah Al-Washithy Asy-Syafi'i (wafat 711 H), beliau berkata :

"Demi Allah kemudian demi Allah  kemudian demi Allah tidak pernah terlihat dibawah langit ini yang seperti guru kalian Ibnu Taimiyyah dari sisi ilmu, amal, kondisi, akhlak, itiibaa', kedermawanan, kebijaksanaan, dan penegakan terhadap hak Allah ta'aala tatkala dilanggar keharaman. Beliau adalah orang paling benar aqidahnya dan yang paling benar ilmu dan tekadnya, dan yang paling semangat dan paling cepat dalam membela kebenaran dan menegakkannya, dan orang yang tangannya paling pemurah, dan yang paling sempurna ittiba'nya (keteladanannya) kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Kami tidak pernah melihat di zaman kami ini seseorang yang nampak kenabian muhammadiah serta sunnah-sunnahnya dari perkataan dan perbuatannya kecuali orang ini (Ibnu Taimiyyah), dan hati yang bersih mempersaksikan bahwasanya ini adalah ittibaa' yang sesungguhnya" (Syadzaroot Adz-Dzahab 8/144)

Kedelapan : Abdullah bin Hamid As-Syafii, beliau pernah menulis kepada Abdullah bin Rusyaiq (warrooq/penulis Ibnu Taimiyyah/semacam sekertaris), ia berkata :

"Dan sebelum saya menemukan pembahasan-pembahasan Imam Dunia (*Ibnu Taimiyyah) rahimahullah, saya telah menelaah kitab-kitab para penulis terdahulu, dan aku telah melihat perkataan para mutaakhirin dari kalangan ahli filsafat, maka aku mendapatinya terdapat kebatilan-kebatilan dan keraguan-keraguan yang tidak pantas untuk terbetik di hati seorang muslim yang lemah apalagi seorang yang agamanya kuat. Sungguh meletihkan dan menyedihkan hatiku tatkala aku melihat orang-orang besar bisa terbawa ke pemikiran-pemikiran yang lemah dan rendah yang pemeluk umat ini tidak akan meyakini kebenarannya. Akupun memeriksa sunnah yang murni di buku-buku para ahli filsafat pengikut madzhab Imam Ahmad secara khusus karena mereka tersohor dengan keteguhan mereka memegang perkataan-perkataan Imam mereka (Imam Ahmad) dalam masalah pokok-pokok aqidah, akan tetapi aku tidak mendapatkan dari mereka apa yang mencukupi. Aku melihat mereka kontradikisi tatkala mereka menetapkan landasan-landasan yang ternyata bertentangan dengan apa yang mereka yakini. Atau mereka meyakini perkara yang bertentangan dengan konsekuensi dari dalil-dalil mereka. Jika aku mengumpulkan antara pendapat-pendapat Mu'tzilah, Asya'iroh, dan Hanabilah Baghdad, serta Karomiyahnya Khurosaan maka aku melihat bahwasanya ijmaak (consensus) para ahli filsafat dalam satu permasalahan bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh dalil akal dan naql (Al-Qur'an dan As-Sunnah), maka hal ini membuat aku tidak suka dan menjadikanku bersedih dengan kesedihan yang tidak mengetahui hakekat kesedihanku kecuali Allah. Hingga akupun menderita tatkala menghadapi perkara ini dengan penderitaan yang sangat berat, yang aku tidak mampu untuk menjelaskan sedikit penderitaanku itu.

Akupun bersandar kepada Allah ta'aala dan aku merendah kepadaNya, lalu aku berlari ke lahiriahnya nas-nas dan aku menemukan pemikiran-pemikiran yang berbeda-beda dan demikian pula takwilan-takwilan yang dibuat-buat, maka fitroh ini tidak mau menerimanya. Lalu fitrohku bergantung kepada kebenaran yang jelas dalam pokok-pokok permasalahan, akan tetapi aku tidak berani terang-terangan untuk berpendapat dan menancapkan aqidahku diatasnya karena aku tidak menemukan adanya atsar dari para imam dan para salaf terdahulu. Hingga akhirnya Allah mentaqdirkan aku untuk menemukan kitab-kitab karya Imam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelang wafatnya beliau. Maka aku mendapatkan di dalamnya sesuatu yang menakjubkanku dimana fitrohku sepakat dengan apa yang terdapat di dalamnya, serta penyandaran kebenaran kepada para imam sunnah dan para salaf, disertai dengan keserasian antara akal dan dalil. Maka akupun terpaku karena sangat senang dengan kebenaran, dan gembira dengan ditemukannya apa yang aku cari-cari yang jika hilang maka tidak ada gantinya. Maka jadilah kecintaan terhadap Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjadi sesuatu yang harus, yang aku tidak mampu untuk mengungkapkan kecintaanku kepadanya meskipun hanya sedikit, walaupun aku sudah berusaha dengan sebaik-baiknya" (Risaalah min Abdillah bin Haamid ilaa Abdillah bin Rusyaiq, dan risalah ini terlampirkan dalam kitab al-'Uquud ad-Durriyah hal 307) 

Kesembilan : Ibnu Katsiir (penulis kitab Tafsiir Al-Qur'aan al-'Adziim). Beliau berkata :"Telah ditulis banyak buku tentang biografi beliau, dan sejumlah dari kalangan orang-orang yang mulia dan selain mereka juga menulis biografi beliau. Dan kami akan menuliskan biografi singkat tentang manaqib beliau, keutamaan-keutamaan beliau, keberanian, kedermawanan, nasehat beliau, zuhudnya beliau, ibadah beliau, ilmu beliau yang banyak…" (Al-Bidaayah wa An-Nihaayah 18/302)


Kota Nabi -shallallahu 'alaihi wa sallam-, 19-01-1433 H / 14 Desember 2011 M
Abu Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.firanda.com


Mencukupi bagi kita pujian Al Hafidz Ibnu Hajar Kepada Ibnu Taimiyah dengan Berhujjahnya Beliau dengan perkataan-perkataan Ibnu Taimiyah. Dan Beliau Mensifatinya dengan “Al-Allaamah”, dan “Al-Hafidz”. Sungguh Beliau telah mengambil hukum yang ditetapkan Ibnu Taimiyah tentang Tambahan hadits “Kaanallaahu wa laa makaan” sebagai hadits yang tidak ada memiliki asal.
Ibnu Hajar berkata dalam Alfath 6/289.
تنبيه: وقع في بعد الكتاب في هذا الحديث (كان الله ولا مكان) (وهوالان على ما عليه كان) وهي زيادة ليست في شيئ من كتب الحديث. نبّه على ذلك العلاّمة تقي الدين إبن تيميه، وهو مسلّم في قوله (وهوالان) إلى أخره
Peringatan: terdapat pada sebagian kitab hadits ini (Wahuwal an ala ma aalihi kaana) Hadits tersebut merupakan tambahan yang tidak terdapat dalam kitab manapun sebagaimana telah diperingatkan oleh Al Allaamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.
Beliau juga Menguatkan kelayakan Ibnu Taimiyah untuk berderajat Al-Hafidz dan Beliau berhujjah dengan penghukuman Ibnu Taimiyah terhadap derajat Hadits-Hadits. Seperti yang Ia lakukan pada kitab Talkhisul Habir 3/109
وهذا الحديث سئل عنه الحافظ إبن تيمية فقال : إنه كذب لا يعرف في شيئ من كتب المسلمين المرويّة
Hadits ini telah ditanyakan kepada Alhafidz Ibnu Taimiyah, beliau berkata : hadits tersebutmerupakan kedustaan, tidak dikenal sama sekali di kitab-kitab kaum muslimin yang diriwayatkan.
Didalam Fathul Bari dan kitab-kitab lain miliknya, AlHafidz Juga kerap memanggil Ibnu Taimiyah dengan sebutan Taqiyuddin
Berikut textnya dalam Kitab Ar riqaq 11/408
ووقع في رواية سعيد بن منصور عند مسلم: “ولا يرقون” بدل “ولا يكتوون” وقد أنكر
الشيخ تقي الدين بن تيمية هذه الرواية وزعم أنها غلط من راويه
Terdapat dalam riwayat Said bin Mansur dalam ktab Muslim,
ولا يرقون” بدل “ولا يكتوون
Dan sungguh riwayat ini telah diingkari oleh Taqiyuddin ibnu Taimiyah dan dia menyangka ada kesalahn diperawinya.
Dan Pujian paling Penting dari Alhafidzh adalah beliau ikut memberikan kata pengantar terhadap Kitab yang dikarang oleh Alhafidz Nashiruddin Ad Dimasqi yang membela Ibnu Taimiyah dan Orang-orang yang melaqabkan Ibnu Taimiyah Dengan Syaikhul Islam. Kitab tersebut dikarang terkait pengkafiran terhadap ulama-ulama yang memberi laqab Syaikhul Islam terhadap ibnu Taimiyah.

Dalam kata pengantar tersebut, Alhafidz Ibnu Hajar secara Tegas mengatakan bahwa Ibnu Taimiyah layak mendapat gelar Syaikhul Islam.

Jika anda seorang penuntut ilmu, carilah dimaktabah Syamilah dengan keyword ”Taimiyah” di kitab-kitab karangan ibnu Hajar atau lainnya, niscaya anda akan dapatkan Ibnu hajar kerap menukil perkataan Ibnu Taimiyah dan tidak Segan-segan melaqabkan Syaikhul Islam, Al allaamah, Al Hafidz, dan yang paling sering adalah Taqiyuddin
photo credit: Tirau_dan @flickr.com



Al Imam Ad Dzahabi telah menulis sebuah surat teguran kepada (Taqiyuddin) As subki karena ia mencela Ibnu Taimiyah. Kemudian Ia menjawab surat tersebut dengan puji-pujian kepada Ibnu Taimiyah.
Kejadian ini terekam dalam kitab Durarul Kaminah karya Ibnu Hajar ketika membahas Biografi Ibnu Taimiyah ,Raddul Waafir ketika Membahas tentang Pujian Assubki dan juga dalam Dzail Alat thbaqatul Hanabilah Oleh Ibnu Rajab Al Hambali dengan riwayat yang mirip.

Ibnu Hajar menuturkan:
Ad Dzahabi telah menulis sebuah surat kepada As Subki dan mencelanya karena ia membicarakan (mencela, red) ibnu Taimiyah., Maka As Subki Menjawab surat tersebut. Sebagian isi surat tersebut adalah:
Adapun perkataan (engkau, red) tuanku terkait Ibnu Taimiyah, maka Hamba memastikan ketinggian derajatnya, melimpah bak lautan, keluasannya dalam Ilmu-ilmu Naqli dan Aqli, kecerdasanya dan kesungguhannya yang ekstrim, dan pencapaiannya yang telah melewati sesuatul yang bisa digambarkan . Hamba selalu mengatakan demikian. Kedudukannya disisiku bahkan lebih besar dan lebih tinggi dari itu. Karena Allah telah mengumpulkan zuhud, wara, dan kerelijiusan baginya.
Membela kebenaran bukan untuk tujuan selain Allah, Bertindak sesuai sunnah salaf, dan mengambil sunnah mereka dengan bagian yang memadai. Sangat Sedikit yang mirip dengannya pada Zaman Ini bahkan sepanjang masa”.

                     
Bahkan dalam kitab Raddul Wafir disebutkan pernyataan yang amat menyentuh dari Taqiyuddin As Subki kepada Ibnu Taimiyah.
Beliau menuturkan:
ما يبغض ابن تيمية إلا جاهل أو صاحب هوى فالجاهل لا يدري ما يقول وصاحب الهوى يصده هواه عن الحق بعد معرفته به
“Tidaklah membenci Ibnu Taimiyah kecuali seorang yang bodoh atau pengekor hawa nafsu, orang yang bodoh tidak mengetahui apa yang dia katakan, adapun pengekor hawa nafsu maka hawa nafsunya telah menghalanginya dari kebenaran setelah dia mengetahuinya”.

Adapun anak beliau Yang bernama Tajuddin Assubki memiliki cerita lain terkait pendapat-pendapatnya tentang Ibnu Taimiyah.
Salah Satu riwayat yang mengesankan kebaikan terkait Ibnu Taimiyah yang bisa diambil darinya adalah Pengakuannya bahwa Al Mizzi pengarang Tahdzibul kamal hanya memberikan gelar Syaikhul Islam Kepada Ibnu Taimiyah dan Ayahnya Taqiyuddin As Subki.
Adapun komentar-komentar pedas bernada celaan, penyesatan, dan bahkan Pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, telah banyak tersebar melalui riwayat-riwayat pengikutnya yang amat membenci ibnu Taimiyah.
Tak Pelak, celaannya terhadap Ibnu Taimiyah menuai pembalasan pedas dari para Ulama yang tidak sepaham dengannya.
As Sakhawi berkata dalam kitabnya I’lanut taubih bahwa dia adalah orang yang Taasshub, bahkan Ia mengutip Al Kinani yang mengatakan bahwa Tajuddin Assubki adalah orang yang Kurang Adab, tidak Insyaf, dan bodoh dengan ahli Sunnah serta kedudukan mereka.
Berikut kutipan dari I’lanut Taubih

                              



Benarkah Imam Bukhari Mengambil Riwayat Dari Kaum Syiah?

Pertanyaan:

“Assalamualaikum ustadz,ana mau nanya,syubhat mereka yang dilontarkan adalah mengapa imam bukhari meriwayatkan hadist dari ulama syiah,padahal syiah menurut imam bukhari kafir. Mohon jawaban dan nasihatnya ustad”.

Jawaban:

Perlu diketahui bahwasanya syiah banyak tingkatannya. Ada diantara mereka yang hanya mendahulukan Ali bin Abi Thalib dari pada Utsman radhiyallahu anhuma tanpa mencela Abu Bakr dan Umar. Dan diantara
mereka ada yang mendahulukan Ali bin Abi Thalib dari pada Abu Bakr dan Umar radhiyallahu anhum. Bahkan diantara mereka ada yang mencela para sahabat radiyallahu anhum dan mengkafirkan mereka. 

Maka perlu diketahui,Imam Bukhari mustahil untuk mengambil riwayat orang-orang syiah rafidhah yang mengkafirkan Abu Bakr dan Umar dan para sahabat lainnya. Karena Imam Bukharipun mengkafirkan mereka. Beliau berkata:

مَا أُبَالِي صَلَّيْتُ خَلْفَ الْجَهْمِيِّ والرَّافِضِيِّ أَمْ صَلَّيْتُ خَلْفَ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى، وَلَا يُسَلَّمُ عَلَيْهِمْ، وَلَا يُعَادُونَ، وَلَا يُنَاكَحُونَ، وَلَا يَشْهَدُونَ، وَلَا تُؤْكَلُ ذَبَائِحُهُمْ

Aku tidak berpikir akan shalat dibelakang seorang jahmiyyah dan syiah rafidhah, atau aku shalat dibelakang yahudi dan nashrani. Sesungguhnya mereka tidak ucapkan salam kepadanya, tidak dijenguk ketika sakit, dan mereka tidak dinikahi dengan kaum muslimin, dan mereka tidak boleh memberi kesaksian, dan sesembelihan mereka tidak dimakan”. (Kholqu Af’al Al Ibad hal.33)

Akan tetapi perlu diketahui juga, bahwasanya Imam Bukhari memang benar mengambil riwayat dari syiah. Namun syiah yang hanya mendahulukan Ali bin Abi Thalib dari pada Utsman bin Affan tanpa mencela atau mengkafirkan Abu Bakr dan Umar dan mereka tidak berlepas diri dari keduanya, mereka menghormati Abu Bakr dan Umar serta para sahabat lainnya.

Sehingga tasyayyu’ (syiah) yang dikenal pada zaman para ulama mutaqaddimin dan diambil riwayatnya adalah bukan macam syiah yang seperti ini, tidak sampai mengkafirkan Abu Bakr dan Umar bahkan mereka menghormati keduanya dan para sahabat lainnya.

Imam Ibnu Hajr Al Asqalani rahimahullah berkata menjawab permasalahan ini:

فالتشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان, وأن عليا كان مصيبا في حروبه وأن مخالفه مخطئ مع تقديم الشيخين وتفضيلهما, وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله -صلى الله عليهآله وسلم-, وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا, لا سيما إن كان غير داعية, وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة

“Maka tasyayyu’ (syiah) yang dikenal di kalangan para ulama mutaqaddimin adalah keyakinan untuk mendahulukan Ali dari pada Utsman. Dan bahwasanya Ali lah yang benar dalam peperangan dan orang yang menyelisihi Ali adalah orang yang salah akan tetapi mereka tetap mendahulukan Abu Bakr dan Umar dan tetap memuliakan keduanya. Dan bisa jadi sebagian mereka berkeyakinan bahwasanya Ali adalah makhluk yang paling mulia setelah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Dan jika keyakinan ini ada pada dirinya dengan menjaga sikap wara’ dan agamanya dan dia melakukannya karena kejujuran dan berijtihad maka riwayatnya tidaklah tertolak karena hal tersebut, terlebih rawi tersebut bukanlah orang yang selalu menyeru kepada keyakinannya. Dan adapun syiah yang dikenal pada zaman ulama muta’akhhirin maka dia adalah rafidhah murni maka tidak diterima riwayat seorang syiah rafidhah yang over dan tidak ada kemuliaan untuk mereka” (Tahdziib At Tahdziib 1/94)

Imam Adz Dzahabi rahimahullah juga berkata:

البدعة على ضربين: فبدعة صغرى كغلو التشيع، أو كالتشيع بلا غلو ولا تحرف، فهذا كثير في التابعين وتابعيهم مع الدين والورع والصدق فلو رد حديث هؤلاء لذهب جملة من الآثار النبوية، وهذه مفسدة بينة ثم بدعة كبرى، كالرفض الكامل والغلو فيه، والحط على أبي بكر وعمر رضي الله عنهما، والدعاء إلى ذلك، فهذا النوع لا يحتج بهم ولا كرامة. وأيضاً فما أستحضر الآن في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مأمونا، بل الكذب شعارهم، والتقية والنفاق دثارهم، فكيف يقبل نقل من هذا حاله! حاشا وكلا. فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا رضي الله عنه، وتعرض لسبهم. والغالي في زماننا وعرفنا هو الذي يكفر هؤلاء السادة، ويتبرأ من الشيخين أيضاً، فهذا ضال معثر
                                                                                  
“Bid’ah ada 2 macam: Ada bid’ah kecil seperti bid’ahnya  sikap berlebihannya  syiah atau seperti syiah yang tidak berlebihan dan tidak merubah-rubah syariat. Maka ini banyak terjadi dari kalangan tabiin maupun tabiut tabi’in akan tetapi mereka tetap menjaga agama mereka dan kewara’an dan keikhlasan (kejujuran) mereka, seandainya hadits mereka ditolak maka beberapa jumlah atsar (hadits) nabi akan hilang. Dan ini adalah mafsadah yang jelas. Kemudian ada bid’ah yang besar, seperti rafidhah yang sempurna dan over didalamnya. Dan merendahkan Abu Bakr dan Umar radiyallahu anhuma dan menyeru kepada hal tersebut. Maka macam bid’ah seperti ini tidak perlu dijadikan hujjah dan tidak ada kemuliaan untuknya. Dan aku juga tidak bisa menghadirkan contoh seseorang yang jujur dan amanah dalam permasalahan ini, karena dusta ada lah syi’ar mereka, dan taqiyyah dan kemunafikan adalah baju khas mereka, maka bagaimana akan diterima penukilah dari orang yang seperti ini keadaannya! Sekali-kali tidak. Maka syiah yang over di zaman orang-orang terdahulu adalah orang yang membicarakan Utsman, Zubair, Thalhah, Mu’awiyah, dan sebuah kelompok yang memerangi Ali rahiyallahu anhu, dan bisa jadi mereka juga mencela. Adapun syiah yang over di zaman kita dan apa yang kita kenal dia adalah yang mencela mereka selaku para pemimpin (Abu Bakr dkk) dan berlepas diri dari Abu Bakr dan Umar, maka ini adalah kesesatan yang sangat buruk”. (Mizan Al I’tidal hal. 5-6)

Sehingga perlu diketahui, kesyiahan orang yang membuat syubhat sangat berbeda dengan kesyiahan para perawi di zaman para salaf yang diterima riwayatnya. Sehingga batillah syubhat mereka dan sudah terbantahkan. Jadi, syiah bukanlah satu tingkatan dan syiah yang diterima riwayatnya adalah syiah yang hanya mendahulukan Ali dari pada Utsman namun mereka tetap menghormati Abu Bakr dan Umar dan para sahabat lainnya bahkan mereka tetap menghormati mereka.


untuk pemahaman lebih jelas dan lengkap, silahkan klik artikel dibawah ini [ tanggapan terhadap tuduhan adanya perawi syi'ah dalam hadits Bukhari, dan comments2nya yang bermanfaat serta ilmiyyah ] :
http://basweidan.com/riwayat-syiah-dlm-shahihain/
[Riwayat Syi’ah dlm Shahihain 4 (updated !!)]

Bantahan ( 1 ) Untuk Habib Rizieq "Benarkah Ibnu Taimiyyah Mencela Fatimah Dan Ahlul Bait?"

http://www.alamiry.net/2015/03/bantahan-untuk-habib-rizieq-benarkah-ibnu-taimiyyah-mencela-fatimah-dan-ahlul-bait.html?m=1
Fitnahan terus berlanjut dan berlanjut untuk syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Begitulah musuh dakwah sunnah dan tauhid selalu mencela, hal tersebut terjadi karena kejahilan mereka atau karena mereka adalah pengikut hawa nafsu. Salah satu contohnya mereka menyebarkan fitnahan yang keji kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. 

Salah satu tulisan yang sedikit menggelitik adalah tulisan Habib Rizieq yang memfitnah Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Dalam situs pribadinya, Habib Rizieq memfitnah Ibnu Taimiyyah tanpa burhan dan bukti. Dalam artikel barunya, dia menulis panjang lebar mengenai syi’ah dan wahhabi. Saya tidak tertarik membahas syi’ah dalam artikel yang ditulisnya, akan tetapi saya jauh lebih tertarik untuk membahas fitnahan yang dia tuduhkan kepada syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah.

Habib Rizieq berkata:

Fanatisme Awam Wahabi tersebut bukan tanpa sebab, justru lahir dan menguat akibat aneka kitab Wahabi dan berbagai pernyataan Ulama panutan mereka sendiri yang menghina Ahli Bait Nabi SAW sekaliber Sayyiduna Ali RA dan isterinya Sayyidah Fathimah RA serta kedua putranya Sayyiduna Al-Hasan RA dan Sayyiduna Al-Husein RA.

Salah satunya, lihat saja kitab "Minhaajus Sunnah" karya Syeikh Ibnu Taimiyyah sang panutan dan rujukan kalangan Wahabi, yang isinya dipenuhi dengan penghinaan terhadap Ahli Bait Nabi SAW.

Dalam kitab tersebut, Ibnu Taimiyyah menyatakan bahwa imannya Sayyidah Khadijah RA tidak manfaat buat umat Islam. Dan bahwa Sayyidah Fathimah RA tercela seperti orang munafiq. Serta Sayyidina Ali RA seorang yang sial dan selalu gagal, serta berperang hanya untuk dunia dan jabatan bukan untuk agama, dan juga perannya untuk Islam tidak seberapa”.

Jawab:

1- Ibnu Taimiyyah mencela Fathimah dan ahlul bait radhiyallahu anhum?? Sangat disayangkan dan beribu amat disayangkan, Habib Rizieq hanya memfitnah dan memfitnah tanpa menulis teks asli atau sumber dan refrensi yang pasti. Maka saya minta teks lafadz Ibnu Taimiyyah atau sumber yang pasti dalam kitab Minhaj As-Sunnah bahwa Ibnu Taimiyyah menghina Fathimah. Justru Ibnu Taimiyyah menghormati ahlul bait dan memerintahkan kaum muslimin untuk menghormati ahlul bait. Maka dari itu, sangat menggelitikkan perkataan Habib Rizieq ini. Tanpa bukti dan tanpa hujjah sang habib sangat mudah untuk memfitnah orang. Pada halaman berapa Ibnu Taimiyyah mencela Fathimah dalam kitabnya Minhaj As-Sunnah??

2- Sepertinya fitnahan Habib Rizieq hanya keluar dari gagal paham semata mengenai perkataan Ibnu Taimiyyah dalam kitabnya “Minhaj As-Sunnah”, dahulu ulama besar syi'ah "Kamal Haidari" juga pernah gagal paham dalam memahami perkataan Ibnu Taimiyyah. Kamal Haidari memfitnah Ibnu Taimiyyah bahwa beliau menghina Fathimah dan ahlul bait.

Ketika Kamal Haidari salah fatal memahami perkataan Ibnu Taimiyyah lantas dia dicibir dan dikomentari oleh banyak orang, bahkan orang-orang syi’ah pun menyalahkan ulamanya sendiri “Kamal Haidari” karena telah gagal paham.

Kamal haidari memotong perkataan ibnu Taimiyyah dan menafsirkannya sendiri dengan pemahaman yang sangat fatal. Kamal haidari menukil perkataan Ibnu Taimiyyah:

وَنَحْنُ نَعْلَمُ أَنَّ مَا يُحْكَى عَنْ فَاطِمَةَ وَغَيْرِهَا مِنَ الصَّحَابَةِ مِنَ الْقَوَادِحِ كَثِيرٌ مِنْهَا كَذِبٌ وَبَعْضُهَا كَانُوا فِيهِ مُتَأَوِّلِينَ

Dan kami mengetahui bahwasanya apa yang diriwayatkan mengenai fathimah dan selainnya dari para sahabat mengenai keburukan-keburukan, banyak diantaranya adalah riwayat dusta dan sebagian mereka menta’wil” (Minhaj As-Sunnah 2/244)

Kamal Haidari memahami perkataan Ibnu Taimiyyah diatas sangat fatal. Kamal Haidari mewaqafkan bacaan sampai “katsiir” kemudian distop, dan dilanjutkan “minha kadzibun”. Sehingga menimbulkan pemahaman yang sangat fatal. Seharusnya Kamal Haidari mewafqafkan bacaan sampai “Al Qawadih” kemudian distop dan melanjutkan kembali “katsiirun minhaa kadzibun”.

Kalau perkataan Ibnu Taimiyyah diterjemahkan menurut pemahaman Kamal Haidari jadinya akan seperti ini:

Dan kami mengetahui apa yang diriwayatkan mengenai fathimah dan selainnya dari para sahabat, banyak keburukan-keburukan pada diri mereka. Diantaranya adalah mereka berdusta dan sebagian mereka menta’wil” .

Padahal makna yang benar adalah:

Dan kami mengetahui bahwasanya apa yang diriwayatkan mengenai fathimah dan selainnya dari para sahabat mengenai keburukan-keburukan, banyak diantaranya adalah riwayat dusta dan sebagian mereka menta’wil

Seandainya Kamal Haidari ingin melanjutkan perkataan Ibnu Taimiyyah sedikit saja, maka permalasahannya akan selesai. Justru setelahnya, Ibnu taimiyyah memuji Fathimah dan Ahlul Bait. Beliau berkata:

وَإِذَا كَانَ بَعْضُهَا ذَنْبًا فَلَيْسَ الْقَوْمُ مَعْصُومِينَ بَلْ هُمْ مَعَ كَوْنِهِمْ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ وَمِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ لَهُمْ ذُنُوبٌ يَغْفِرُهَا اللَّهُ لَهُمْ.

Dan jika sebagian riwayat tersebut tentang dosa kesalahan mereka maka ketahuilah bahwasanya mereka memang tidak ma’shum. Ketika mereka adalah wali-wali Allah dan mereka adalah penduduk surga walaupun mereka memiliki kesalahan maka Allah mengampuninya untuk mereka” (Minhaj As-Sunnah 2/244)

Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa: Ibnu Taimiyyah sama sekali tidak mencela Fathimah dan sahabat lainnya, dan bahkan Ibnu Taimiyyah mengatakan riwayat-riwayat tersebut adalah dusta atau ta’wilan saja. Dan bahkan Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa mereka adalah wali Allah dan penduduk surga.

Jadi, dimana Ibnu Taimiyyah menghina Fathimah dan Ahlul bait?? Dan bahkan dalam kitab ini Ibnu Taimiyyah membela para sahabat.

Dan dalam sebuah video sudah ada yang mendokumentasikan kegagal pahaman Kamal Haidari dalam memahami perkataan Ibnu Taimiyyah dan bisa lihat disini.

             
                                                                      https://www.youtube.com/watch?v=mtwy7_i1wTU

Sehingga, hanya ada tuntutan mengenai Ibnu Taimiyyah mencela Fathimah dan para sahabat “Silahkan sebutkan teks asli Ibnu Taimiyyah dan sumbernya yang pasti dalam kitab Minhaj As-Sunnah bahwa beliau mencela fathimah, jangan hanya pintar memfitnah saja. Sangat disayangkan jika tuduhan dan fitnahan keluar dari lisan seorang habib besar.”
Sayyid Kamal Haidari seorang ulama syi'ah menuduh ibnu Taimiyah rahimahullah telah mengatakan Fatimah radhiallaahu anha seorang pendusta. Dengan ta'wil/penafsiran batilnya terhadap perkataan ibnu Taimiyah akhirnya Kamal Haidari harus menuai banyak pertanyaan dari pemirsa syi'ah sendiri, karena setelah di-cek dan diartikan secara lengkap mudah dimengerti bahwa perkataan ibnu Taimiyah rahimahullah tersebut justru berbicara sebaliknya yakni pembelaannya kepada Fatimah radhiallaahu anha. Sungguh aneh cara berpikir mereka, sesuatu yang baik justru dipahami lain sampai-sampai perkataan yang baik berubah menjadi perkataan yang buruk, Na'udzubillaahi min dzalik... Siapa Ayatullah Sayyid Kamal Haidari? berikut biografinya supaya kita paham bagaimana kedudukannya di mata pengikut syi'ah hari ini: http://shiatranslation.org/index.php?option=com_content&view=article&id=22%3Abrief-biography-ayatollah&catid=19%3Abiography&Itemid=21&lang=en

Habib Rizieq juga berkata:

“Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap "Takfiir", sebagaimana diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi rhm dalam kitab "Siyar A'laamin Nubalaa" juz 11 Nomor 2.898 pada pembahasan tentang Imam Abul Hasan Al-Asy'ari rhm”.

Jawab:

Syaikhul islam bertaubat dalam permasalahan takfir hanyalah keluar dari kantong habib Rizieq saja. Ibnu Taimiyyah tidak pernah ruju’ dari perkataannya dalam masalah takfir. Adapun yang diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi, maka imam Adz-Dzahabi tidak pernah mengatakan Ibnu taimiyyah ruju’, itu hanya gagal paham dari habib Rizieq saja. Disebutkan dalam Siyar A’lam Nubala:

وكذا كان شيخنا ابن تيمية في أواخر أيامه يقول: أنا لا أكفر أحدا من الأمة، ويقول: قال النبي -صلى الله عليه وسلم: "لا يحافظ عى الوضوء إلا مؤمن" 1 فمن لازم الصلوات بوضوء فهو مسلم.

Dan begitulah syaikh kami Ibnu Taimiyyah di akhir hayatnya, dia berkata: “Saya tidak mengkafirkan seseorang dari ummat ini. Dan Ibnu Taimiyyah berkata: Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Tidak ada seseorang yang menjaga wudhunya kecuali dia adalah seorang mu’min. Maka barangsiapa yang konsisten shalat dengan wudhu maka dia adalah muslim” (Siyar A’lam Nubala 11/393)

Dimana pernyataan ruju’ Ibnu Taimiyyah yang diceritakan oleh Imam Adz-Dzahabi? Sama sekali tidak ada. Coba para pembaca teliti kembali: Imam Adz-Dzahabi tidak pernah bercerita“Namun, akhirnya Syeikh Ibnu Taimiyyah rhm bertaubat di akhir umurnya dari sikap berlebihan, khususnya sikap "Takfiir",”. Ibnu Taimiyyah tidak pernah berketa seperti itu, pekataan itu hanya keluar dari kantong Habib Rizieq saja.

Dalam masalah takfir, Ibnu Taimiyyah sangatlah berhati-hati dan tidak mudah mengkafirkan individu seseorang tanpa hujjah dari dulu hingga wafatnya. Dan bahwasanya malasah takfir mu’ayyan (secara individu) sangatlah berat bagi Ibnu Taimiyyah. Dan bukan sebagaimana yang dipahami oleh Habib Rizieq bahwa Ibnu Taimiyyah dulunya mudah mengkafirkan orang lain secara ta’yiin. Jadi maklum saja Ibnu Taimiyyah tidak mengkafirkan seseorang dari ummat islam, bukan berarti ini adalah ruju’. Tapi karena memang itu adalah madzhab beliau dalam masalah takfir dari dulu hingga wafatnya.

Saya ambil contoh mudah:

“Nabi di akhir hayatnya tidak lupa dengan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan untuk beliau”.

Apakah mungkin seseorang akan mengambil kesimpulan dari perkataan diatas: Nabi sudah bertaubat dan dahulu nabi adalah orang lalai dari kewajiban-kewajiban karena nabi di akhir hayatnya tidak pernah lupa dengan kewajiban-kewajiban yang Allah wajibkan. Maka hanya orang jahil yang mengambil kesimpulan seperti itu, seperti habib Rizieq yang mengambi kesmipulan secara serampangan.

Jadi maksud cerita Imam Adz-Dzahabi, bahwa Ibnu Taimiyyah dari dulu hingga akhir hayatnya adalah orang yang tidak mudah mengkafirkan individu seorang muslim secara ta’yiin. Hal tersebut dapat kita lihat dalam tulisan-tulisan beliau bahwa madzhab Ibnu Taimiyyah di akhir hayatnya sama dengan madzhabnya yang lalu dan tidaklah berubah, bahwasanya Ibnu Taimiyyah memang dari dulu tidak mudah mengkafirkan seseorang secara individu. Ibnu Taimiyyah berkata yang satu makna dengan cerita Adz-Dzahabi (tidak mudah untuk mengkafirkan secara ta’yiin), dan beliau berkata jauh-jauh hari dari sebelum beliau meninggal:

مَنْ دَاوَمَ عَلَى الصَّلَوَاتِ فَإِنَّهُ لَا يُصَلِّي إلَّا لِلَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِخِلَافِ مَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهَا فَإِنَّمَا يُصَلِّي حَيَاءً أَوْ رِيَاءً أَوْ لِعِلَّةِ دُنْيَوِيَّةٍ؛ وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ: {إذَا رَأَيْتُمْ الرَّجُلَ يَعْتَادُ الْمَسْجِدَ فَاشْهَدُوا لَهُ بِالْإِيمَانِ؛ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى يَقُولُ: {إنَّمَا يَعْمُرُ مَسَاجِدَ اللَّهِ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَلَمْ يَخْشَ إلَّا اللَّهَ} الْآيَةَ} . وَمَنْ لَمْ يُصَلِّ إلَّا بِوُضُوءِ وَاغْتِسَالٍ فَإِنَّهُ لَا يَفْعَلُ ذَلِكَ إلَّا لِلَّهِ وَلِهَذَا قَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيمَا رَوَاهُ أَحْمَد. وَابْنُ مَاجَه مِنْ حَدِيثِ ثوبان عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: {اسْتَقِيمُوا وَلَنْ تَحْصُوا وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمْ الصَّلَاةُ وَلَا يُحَافِظُ عَلَى الْوُضُوءِ إلَّا مُؤْمِنٌ فَإِنَّ الْوُضُوءَ
سِرٌّ بَيْنَ الْعَبْدِ وَبَيْنَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ} وَقَدْ يَنْتَقِضُ وُضُوءُهُ وَلَا يَدْرِي بِهِ أَحَدٌ فَإِذَا حَافَظَ عَلَيْهِ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِ إلَّا لِلَّهِ سُبْحَانَهُ وَمَنْ كَانَ كَذَلِكَ لَا يَكُونُ إلَّا مُؤْمِنًا

Barang siapa yang selalu konsisten untuk shalat, maka tidaklah dia shalat kecuali untuk Allah. Berbeda dengan yang tidak menjaga shalatnya, sesungguhnya dia shalat karena rasa malu, atau riya’ atau tujuan duniawi saja. Maka dari itu Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi (Jika kamu melihat seseorang yang membiasakan untuk ke masjid maka saksikanlah keimanan untuk dirinya. Sesungguhnya Allah berfirman: (Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan orang yang menegakkan shalat dan orang yang menunaikan zakat dan dia tidak takut kecuali kepada Allah) [QS. At-Taubah:18] Dan barang siapa yang tidak shalat kecuali dengan wudhu dan mandi maka sesungguhnya dia tidak melakukannya kecuali karena Allah maka dari itu Nabi bersabda sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ibnu Majah dari hadits Tsauban bahwasanya Nabi bersabda: (Istiqamahlah dan kalian tidak akan bisa menghitungnya. Dan ketahuilah bahwasanya sebaik-baik amalan kalian adalah shalat. Dan tidak ada yang menjaga wudhunya kecuali orang mu’min. Sesungguhnya wudhu adalah rahasia antara hamba dan Rabbnya. Terkadang wudhu seseorang bisa batal, maka jika dia selalu menjaga wudhunya maka tidaklah dia berwudhu kecuali karena Allah. Maka barang siapa yang keadaannya seperti itu maka dia adalah seorang mu’min” (Majmu’ fatawa 18/261)

Cobalah lihat teks yang kami tebalkan dengan warna merah, sangat jelas bahwasanya dari dulu Ibnu Taimiyyah menyatakan orang yang menjaga shalatnya dan wudhunya adalah seorang mukmin, sehingga tidak mudah untuk mengkafirkan. Perkataan ini sama persis dengan apa yang diceritakan oleh Adz-Dzahabi diatas (baca kembali cerita Adz-Dzhabi diatas yang telah kami nukil).

Dalam perkataan beliau lain, beliau tidaklah mudah untuk mengkafirkan orang sembarangan. Beliau berkata:

أَنِّي مِنْ أَعْظَمِ النَّاسِ نَهْيًا عَنْ أَنْ يُنْسَبَ مُعَيَّنٌ إلَى تَكْفِيرٍ وَتَفْسِيقٍ وَمَعْصِيَةٍ، إلَّا إذَا عُلِمَ أَنَّهُ قَدْ قَامَتْ عَلَيْهِ الْحُجَّةُ الرسالية الَّتِي مَنْ خَالَفَهَا كَانَ كَافِرًا تَارَةً وَفَاسِقًا أُخْرَى وَعَاصِيًا أُخْرَى وَإِنِّي أُقَرِّرُ أَنَّ اللَّهَ قَدْ غَفَرَ لِهَذِهِ الْأُمَّةِ خَطَأَهَا: وَذَلِكَ يَعُمُّ الْخَطَأَ فِي الْمَسَائِلِ الْخَبَرِيَّةِ الْقَوْلِيَّةِ وَالْمَسَائِلِ الْعَمَلِيَّةِ

Sesungguhnya aku adalah orang yang paling melarang jika seseorang secara individu dinisbatkan kepada kekufuran dan kefasikan dan kemaksiatan, kecuali jika telah diketahui bahwasanya hujjah telah tegak yang mana siapa saja orang yang menyilisihinya maka dia kafir atau fasiq atau pemaksiat. Dan aku menetapkan bahwasanya Allah telah mengampuni kesalahan ummat ini. Dan itu mencakup kesalahan yang berkaiatan dengan masail khobariyyah qouliyyah dan masail amalaiyyah” (Majmu’ fatawa 3/229)

Perkataan beliau satu makna dengan cerita Adz-Dzahabi, bahwasanya Ibnu Taimiyyah tidak mudah mengkafirkan seseorang secara ta’yiin.

Maka ini adalah hadiah untuk para pemfitnah tanpa hujjah dan burhan. Semoga Allah mengampuni kesalahan habib Rizieq dan menerima taubatnya.

Semoga bermanfaat wa shallallahu alaa nabiyyinaa Muhammad.

Penulis: Muhammad Abdurrahman Al Amiry
Diposkan oleh Muhammad Abdurrahman Al Amiry di 3/05/2015 01:15:00 AM