Thursday, April 9, 2015

Ada Apa Dengan Hizbut Tahrir ? Khilafah Model Siapa Yang Akan Diusungnya ?

[ situs hizbut tahrir/al khilafah banyak menyebar fitnah dan kedengkian pada Negeri Tauhid Saudi Arabia ]
Kelompok Hizbut Tahrir dan Khilafah, Sorotan Ilmiah Tentang Selubung Sesat Suatu Geraka
Bagi orang yang tidak mengenal secara mendalam tentang kelompok Hizbut Tahrir, tentu akan menganggap tujuan mereka yang ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah sebagai cita-cita mulia. Namun bila mengkaji lebih jauh siapa mereka, siapa pendirinya, bagaimana asas perjuangannya dan sebagainya, kita akan tahu bahwa klaim mereka ingin mendirikan Khilafah Islamiyyah ternyata tidak dilakukan dengan cara-cara yang Islami.
Apa Itu Hizbut Tahrir? 
Hizbut Tahrir (untuk selanjutnya disebut HT) telah memproklamirkan diri sebagai kelompok politik (parpol), bukan kelompok yang berdasarkan kerohanian semata, bukan lembaga ilmiah, bukan lembaga pendidikan (akademis) dan bukan pula lembaga sosial (Mengenal HT, hal. 1).
Atas dasar itulah, maka seluruh aktivitas yang dilakukan HT bersifat politik, baik dalam mendidik dan membina umat, dalam aspek pergolakan pemikiran dan dalam perjuangan politik. (Mengenal HT, hal. 16)
Adapun aktivitas dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia, sangatlah mereka abaikan. Bahkan dengan terang-terangan mereka nyatakan:
“Demikian pula, dakwah kepada akhlak mulia tidak dapat menghasilkan kebangkitan…, dakwah kepada akhlak mulia bukan dakwah (yang dapat) menyelesaikan problematika utama kaum muslimin, yaitu menegakkan sistem khilafah.”(Strategi Dakwah HT, hal. 40-41).
Padahal dakwah kepada tauhid dan akhlak mulia merupakan misi utama para nabi dan rasul.
Allah menegaskan:
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan): ‘Beribadahlah hanya kepada Allah dan jauhilah segala sesembahan selain-Nya’.” (An-Nahl: 36)
Rasulullah juga menegaskan:
“Aku diutus (oleh Allah) untuk menyempurnakan akhlak yang bagus.” (HR. Al-Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad, Ahmad, dan Al-Hakim. Dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 45)
Tujuan dan Latar Belakang 
Mewujudkan kembali Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi, merupakan tujuan utama yang melatarbelakangi berdirinya HT dan segala aktivitasnya. Yang dimaksud khilafah adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang dibai’at oleh umat. (Lihat Mengenal HT, hal. 2, 54 )
Para pembaca, tahukah anda apa yang melandasi HT untuk mewujudkan Daulah Khilafah Islamiyyah di muka bumi?
Landasannya adalah bahwa semua negeri kaum muslimin dewasa ini –tanpa kecuali– termasuk kategori Darul Kufur (negeri kafir), sekalipun penduduknya kaum muslimin. Karena dalam kamus HT, yang dimaksud Darul Islam adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan termasuk dalam urusan pemerintahan, dan keamanannya berada di tangan kaum muslimin, sekalipun mayoritas penduduknya bukan muslim.
Sedangkan Darul Kufur adalah daerah yang di dalamnya diterapkan sistem hukum kufur dalam seluruh aspek kehidupan, atau keamanannya bukan di tangan kaum muslimin, sekalipun seluruh penduduknya adalah muslim. (Lihat Mengenal HT, hal. 79)
Padahal tolok ukur suatu negeri adalah keadaan penduduknya, bukan sistem hukum yang diterapkan dan bukan pula sistem keamanan yang mendominasi. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Keberadaan suatu bumi (negeri) sebagai Darul Kufur, Darul Iman, atau Darul Fasiqin, bukanlah sifat yang kontinu (terus-menerus/langgeng) bagi negeri tersebut, namun hal itu sesuai dengan keadaan penduduknya. Setiap negeri yang penduduknya adalah orang-orang mukmin lagi bertakwa maka ketika itu ia sebagai negeri wali-wali Allah.
Setiap negeri yang penduduknya orang-orang kafir maka ketika itu ia sebagai Darul Kufur, dan setiap negeri yang penduduknya orang-orang fasiq maka ketika itu ia sebagai Darul Fusuq. Jika penduduknya tidak seperti yang kami sebutkan dan berganti dengan selain mereka, maka ia disesuaikan dengan keadaan penduduknya tersebut.” (Majmu’ Fatawa, 18/282)
Para pembaca, mengapa –menurut HT– harus satu khilafah? Jawabannya adalah, karena seluruh sistem pemerintahan yang ada dewasa ini tidak sah dan bukan sistem Islam. Baik itu sistem kerajaan, republik presidentil (dipimpin presiden) ataupun republik parlementer (dipimpin perdana menteri). Sehingga merupakan suatu kewajiban menjadikan Daulah Islam hanya satu negara (khilafah), bukan negara serikat yang terdiri dari banyak negara bagian. (Lihat Mengenal HT, hal. 49-55)
Ahlus Sunnah Wal Jamaah berkeyakinan bahwa pada asalnya Daulah Islam hanya satu negara (khilafah) dan satu khalifah. Namun, jika tidak memungkinkan maka tidak mengapa berbilangnya kekuasaan dan pimpinan.
Al-’Allamah Ibnul Azraq Al-Maliki, Qadhi Al-Quds (di masanya) berkata: “Sesungguhnya persyaratan bahwa kaum muslimin (di dunia ini) harus dipimpin oleh seorang pemimpin semata, bukanlah suatu keharusan bila memang tidak memungkinkan.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 37)
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berkata: “Para imam dari setiap madzhab bersepakat bahwa seseorang yang berhasil menguasai sebuah negeri atau beberapa negeri maka posisinya seperti imam (khalifah) dalam segala hal. Kalaulah tidak demikian maka (urusan) dunia ini tidak akan tegak, karena kaum muslimin sejak kurun waktu yang lama sebelum Al-Imam Ahmad sampai hari ini, tidak berada di bawah kepemimpinan seorang pemimpin semata.” (Mu’amalatul Hukkam, hal. 34)
Al-Imam Asy-Syaukani berkata: “Adapun setelah tersebarnya Islam dan semakin luas wilayahnya serta perbatasan-perbatasannya berjauhan, maka dimaklumilah bahwa kekuasaan di masing-masing daerah itu di bawah seorang imam atau penguasa yang menguasainya, demikian pula halnya daerah yang lain. Perintah dan larangan sebagian penguasapun tidak berlaku pada daerah kekuasaan penguasa yang lainnya. Oleh karenanya (dalam kondisi seperti itu -pen) tidak mengapa berbilangnya pimpinan dan penguasa bagi kaum muslimin (di daerah kekuasaan masing-masing -pen). Dan wajib bagi penduduk negeri yang terlaksana padanya perintah dan larangan (aturan -pen) pimpinan tersebut untuk menaatinya.” (As-Sailul Jarrar, 4/512)
Demikian pula yang dijelaskan Al-Imam Ash-Shan’ani, sebagaimana dalam Subulus Salam (3/347), cet. Darul Hadits.
Kapan HT Didirikan? 
Kelompok sempalan ini didirikan di kota Al-Quds (Yerusalem) pada tahun 1372 H (1953 M) oleh seorang alumnus Universitas Al-Azhar Kairo (Mesir) yang berakidah Maturidiyyah1 dalam masalah asma` dan sifat Allah, dan berpandangan Mu’tazilah dalam sekian permasalahanagama.Dia adalah Taqiyuddin An-Nabhani, warga Palestina yang dilahirkan di Ijzim Qadha Haifa pada tahun 1909. Markas tertua mereka berada di Yordania, Syiria dan Lebanon (Lihat Mengenal HT, hal. 22, Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 135, dan Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 2, Asy-Syaikh Abdurrahman Ad-Dimasyqi).
Bila demikian akidah dan pandangan keagamaan pendirinya, lalu bagaimana keadaan HT itu sendiri?!
Wallahul musta’an.
Landasan Berpikir Hizbut Tahrir 
Landasan berpikir HT adalah Al Qur‘an dan As Sunnah, namun dengan pemahaman kelompok sesat Mu’tazilah bukan dengan pemahaman Rasulullah dan para shahabatnya. Mengedepankan akal dalam memahami agama dan menolak hadits ahad dalam masalah akidah merupakan ciri khas keagamaan mereka.
Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila ahli hadits zaman ini, Asy-Syaikh Al-Albani, menjuluki mereka dengan Al-Mu’tazilah Al-Judud (Mu’tazilah Gaya Baru).
Padahal jauh-jauh hari, shahabat ‘Ali bin Abi Thalib telah berkata: “Kalaulah agama ini tolok ukurnya adalah akal, niscaya bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya.”2 (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 162, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani)
Demikian pula menolak hadits ahad dalam masalah akidah, berarti telah menolak sekian banyak akidah Islam yang telah ditetapkan oleh ulama kaum muslimin.
Di antaranya adalah: Keistimewaan Nabi Muhammad atas para nabi, syafaat Rasulullah untuk umat manusia dan untuk para pelaku dosa besar dari umatnya di hari kiamat, adanya siksa kubur, adanya jembatan (ash-shirath), telaga dan timbangan amal di hari kiamat, munculnya Dajjal, munculnya Al-Imam Mahdi, turunnya Nabi ‘Isa u di akhir zaman, dan lain sebagainya.
Adapun dalam masalah fiqih, akal dan rasiolah yang menjadi landasan. Maka dari itu HT mempunyai sekian banyak fatwa nyeleneh. Di antaranya adalah: boleh mencium wanita non muslim, boleh melihat gambar porno, boleh berjabat tangan dengan wanita yang bukan mahram, boleh bagi wanita menjadi anggota dewan syura mereka, boleh mengeluarkan jizyah (upeti) untuk negeri kafir, dan lain sebagainya. (Al-Mausu’ah Al-Muyassarah, hal. 139-140)
Langkah Operasional untuk Meraih Khilafah 
Bagi HT, khilafah adalah segala-galanya. Untuk meraih khilafah tersebut, HT menetapkan tiga langkah operasional berikut ini:
1. Mendirikan Partai Politik
Dengan merujuk Surat Ali ‘Imran ayat 104, HT berkeyakinan wajibnya mendirikan partai politik. Untuk mendirikannya maka harus ditempuh tahapan pembinaan dan pengkaderan (Marhalah At-Tatsqif) (Lihat Mengenal HT hal. 3).
Pada tahapan ini perhatian HT tidaklah dipusatkan kepada pembinaan tauhid dan akhlak mulia. Akan tetapi mereka memusatkannya kepada pembinaan kerangka Hizb (partai), memperbanyak pendukung dan pengikut, serta membina para pengikutnya dalam halaqah-halaqah dengan tsaqafah (materi pembinaan) Hizb secara intensif, hingga akhirnya berhasil membentuk partai. (Lihat Mengenal HT hal. 22, 23)
Adapun pendalilan mereka dengan Surat Ali ‘Imran ayat 104 tentang wajibnya mendirikan partai politik, maka merupakan pendalilan yang jauh dari kebenaran. Adakah di antara para shahabat Rasulullah, para tabi’in, para tabi’ut tabi’in dan para imam setelah mereka yang berpendapat demikian?!
Kalaulah itu benar, pasti mereka telah mengatakannya dan saling berlomba untuk mendirikan parpol! Namun kenyataannya mereka tidak seperti itu. Apakah HT lebih mengerti tentang ayat tersebut dari mereka?!
Cukup menunjukkan batilnya pendalilan ini adalah bahwa parpol terbangun di atas asas demokrasi, yang amat bertolak belakang dengan Islam. Bagaimana ayat ini dipakai untuk melegitimasi sesuatu yang bertolak belakang dengan makna yang dikandung ayat? Wallahu a’lam.
2. Berinteraksi dengan Umat (Masyarakat)
Berinteraksi dengan umat (Tafa’ul Ma’al Ummah) merupakan tahapan yang harus ditempuh setelah berdirinya partai politik dan berhasil dalam tahapan pembinaan dan pengkaderan. Pada tahapan ini, sasaran interaksinya ada empat:
– Pertama: Pengikut Hizb, dengan mengadakan pembinaan intensif agar mampu mengemban dakwah, mengarungi medan kehidupan dengan pergolakan pemikiran dan perjuangan politik (Lihat Mengenal HT, hal. 24). Pembinaan intensif di sini tidak lain adalah doktrin ‘ashabiyyah (fanatisme) dan loyalitas terhadap
HT.

-Kedua: Masyarakat, dengan mengadakan pembinaan kolektif/umum yang disampaikan kepada umat Islam secara umum, berupa ide-ide dan hukum-hukum Islam yang diadopsi oleh Hizb. Dan menyerang sekuat-kuatnya seluruh bentuk interaksi antar anggota masyarakat, tak luput pula interaksi antara masyarakat dengan penguasanya.

Taqiyuddin An-Nabhani berkata: “Oleh karena itu, menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antar sesama anggota masyarakat dalam rangka mempengaruhi masyarakat tidaklah cukup, kecuali dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian.” (Lihat Mengenal HT, hal. 24, Terjun ke Masyarakat, hal. 7)
Betapa ironisnya, Rasulullah memerintahkan kita agar menjadi masyarakat yang bersaudara dan taat kepada penguasa, sementara HT justru sebaliknya. Mereka memecah belah umat dan memporakporandakan kekuatannya. Lebih parah lagi, bila hal itu dijadikan tolok ukur keberhasilan suatu gerakan sebagaimana yang dinyatakan pendiri mereka:
“Keberhasilan gerakan diukur dengan kemampuannya untuk membangkitkan rasa ketidakpuasan (kemarahan) rakyat, dan kemampuannya untuk mendorong mereka menampakkan kemarahannya itu setiap kali mereka melihat penguasa atau rezim yang ada menyinggung ideologi, atau mempermainkan ideologi itu sesuai dengan kepentingan dan hawa nafsu penguasa.” (Pembentukan Partai Politik Islam, hal. 35-36)
– Ketiga: Negara-negara kafir imperialis yang menguasai dan mendominasi negeri-negeri Islam, dengan berjuang menghadapi segala bentuk makar mereka (Lihat Mengenal HT, hal. 25).

Demikianlah yang mereka munculkan. Namun kenyataannya, di dalam upaya penggulingan para penguasa kaum muslimin, tak segan-segan mereka meminta bantuan kepada orang-orang kafir dan meminta perlindungan dari negara-negara kafir. (Lihat Membongkar Selubung Hizbut Tahrir (1) hal. 5)

– Keempat: Para penguasa di negeri-negeri Arab dan negeri-negeri Islam lainnya, dengan menyerang seluruh bentuk interaksi yang berlangsung antara penguasa dengan rakyatnya dan harus digoyang dengan kekuatan penuh, dengan cara diserang sekuat-kuatnya dengan penuh keberanian. Menentang mereka, mengungkapkan pengkhianatan, dan persekongkolan mereka terhadap umat, melancarkan kritik, kontrol, dan koreksi terhadap mereka serta berusaha menggantinya apabila hak-hak umat dilanggar atau tidak menjalankan kewajibannya terhadap umat, yaitu bila melalaikan salah satu urusan umat, atau mereka menyalahi hukum-hukum islam. (Terjun Ke Masyarakat, hal. 7, Mengenal HT, hal. 16,17).
Para pembaca, inilah hakikat manhaj Khawarij yang diperingatkan Rasulullah. Tidakkah diketahui bahwa Rasulullah menjuluki mereka dengan “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka”!
Semakin parah lagi di saat mereka tambah berkomentar: “Bahkan inilah bagian terpenting dalam aktivitas amar ma’ruf nahi munkar.” (Mengenal HT, hal. 3)
Tidakkah mereka merenungkan sabda Rasulullah : “Akan ada sepeninggalku para penguasa yang mereka itu tidak berpegang dengan petunjukku dan tidak mengikuti cara/jalanku. Dan akan ada di antara para penguasa tersebut orang-orang yang berhati setan dalam bentuk manusia.”
Hudzaifah berkata: “Apa yang kuperbuat bila aku mendapatinya?”
Rasulullah bersabda (artinya): “Hendaknya engkau mendengar dan menaati penguasa tersebut! Walaupun dicambuk punggungmu dan dirampas hartamu maka (tetap) dengarkanlah (perintahnya) dan taatilah (dia).” (HR. Muslim dari shahabat Hudzaifah bin Al-Yaman z, 3/1476, no. 1847)?!
Demikian pula, tidakkah mereka renungkan sabda Rasulullah :
“Barangsiapa ingin menasehati penguasa tentang suatu perkara, maka janganlah secara terang-terangan. Sampaikanlah kepadanya secara pribadi, jika ia menerima nasehat tersebut maka itulah yang diharapkan. Namun jika tidak menerimanya maka berarti ia telah menunaikan kewajibannya (nasehatnya).” (HR. Ahmad dan Ibnu Abi ‘Ashim, dari shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin , dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Zhilalul Jannah, hadits no. 1096)?!
Namun sangat disayangkan, HT tetap menunjukkan sikap kepala batunya, sebagaimana yang mereka nyatakan:
“Sikap HT dalam menentang para penguasa adalah menyampaikan pendapatnya secara terang-terangan, menyerang dan menentang. Tidak dengan cara nifaq (berpura-pura), menjilat, bermanis muka dengan mereka, simpang siur ataupun berbelok-belok, dan tidak pula dengan cara mengutamakan jalan yang lebih selamat. Hizb juga berjuang secara politik tanpa melihat lagi hasil yang akan dicapai dan tidak terpengaruh oleh kondisi yang ada.” (Mengenal HT, hal. 26-27)
Mereka gembar-gemborkan slogan “Jihad yang paling utama adalah mengucapkan kata-kata haq di hadapan penguasa yang zalim.” Namun sayang sekali mereka tidak bisa memahaminya dengan baik.
Buktinya, mereka mencerca para penguasa di mimbar-mimbar dan tulisan-tulisan. Padahal kandungan kata-kata tersebut adalah menyampaikan nasehat “di hadapan” sang penguasa, bukan di mimbar-mimbar dan lain sebagainya.
Tidakkah mereka mengamalkan wasiat Rasulullah yang diriwayatkan shahabat ‘Iyadh bin Ghunmin di atas?!
Dan jangan terkecoh dengan ucapan mereka, “Meskipun demikian, Hizb telah membatasi aktivitasnya dalam aspek politik tanpa menempuh cara-cara kekerasan (perjuangan bersenjata) dalam menentang para penguasa maupun orang-orang yang menghalangi dakwahnya.” (Mengenal HT, hal. 28). Karena mereka pun akan menempuh cara tersebut pada tahapannya (tahapan akhir).
3. Pengambilalihan Kekuasaan (Istilaamul Hukmi)
Tahapan ini merupakan puncak dan tujuan akhir dari segala aktivitas HT. Dengan tegasnya Taqiyuddin An-Nabhani menyatakan:
“Hanya saja setiap orang maupun syabab (pemuda) Hizb harus mengetahui, bahwasanya Hizb bertujuan untuk mengambil alih kekuasaan secara praktis dari tangan seluruh kelompok yang berkuasa, bukan dari tangan para penguasa yang ada sekarang saja. Hizb bertujuan untuk mengambil kekuasaan yang ada dalam negara dengan menyerang seluruh bentuk interaksi penguasa dengan umat, kemudian dijadikannya kekuasaan tadi sebagai Daulah Islamiyyah.” (Terjun ke Masyarakat, hal. 22-23)
Dalam tahapan ini, ada dua cara yang harus ditempuh:
1) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Islam, di mana sistem hukum Islam ditegakkan, tetapi penguasanya menerapkan hukum-hukum kufur, maka caranya adalah melawan penguasa tersebut dengan mengangkat senjata.
2) Apabila negara itu termasuk kategori Darul Kufur, di mana sistem hukum Islam tidak diterapkan, maka caranya adalah dengan Thalabun Nushrah (meminta bantuan) kepada mereka yang memiliki kemampuan (kekuatan). (Lihat Strategi Dakwah HT, hal. 38, 39, 72)
Subhanallah! Lagi-lagi prinsip Khawarij si “Sejahat-jahat makhluk” dan “Anjing-anjing penduduk neraka” yang mereka tempuh.
Wahai HT, ambillah pelajaran dari perkataan Al-Imam Ibnul Qayyim berikut ini: “Bahwasanya Nabi mensyariatkan kepada umatnya kewajiban mengingkari kemungkaran agar terwujud melalui pengingkaran tersebut suatu kebaikan (ma’ruf) yang dicintai Allah I dan Rasul-Nya.
Jika ingkarul mungkar mengakibatkan terjadinya kemungkaran yang lebih besar darinya dan lebih dibenci oleh Allah dan Rasul-Nya, maka tidak boleh dilakukan walaupun Allah membenci kemungkaran tersebut dan pelakunya.
Hal ini seperti pengingkaran terhadap para raja dan penguasa dengan cara memberontak, sungguh yang demikian itu adalah sumber segala kejahatan dan fitnah hingga akhir masa…
Dan barangsiapa merenungkan apa yang terjadi pada (umat) Islam dalam berbagai fitnah yang besar maupun yang kecil, niscaya akan melihat bahwa penyebabnya adalah mengabaikan prinsip ini dan tidak sabar atas kemungkaran, sehingga berusaha untuk menghilangkannya namun akhirnya justru muncul kemungkaran yang lebih besar darinya.” (I’lamul Muwaqqi’in, 3/6)
Mungkin HT berdalih bahwa semua penguasa itu kafir, karena menerapkan hukum selain hukum Allah. Kita katakan bahwa tidaklah semua yang berhukum dengan selain hukum Allah itu kafir. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz t: “Barangsiapa berhukum dengan selain hukum Allah, maka tidak keluar dari empat keadaan:
Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia lebih utama dari syariat Islam”, maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini, karena ia sama/sederajat dengan syariat Islam, sehingga boleh berhukum dengannya dan boleh juga berhukum dengan syariat Islam,” maka dia kafir dengan kekafiran yang besar.
Seseorang yang mengatakan: “Aku berhukum dengan hukum ini dan berhukum dengan syariat Islam lebih utama, akan tetapi boleh-boleh saja untuk berhukum dengan selain hukum Allah,” maka ia kafir dengan kekafiran yang besar.
Seseorang yang mengatakan: “ Aku berhukum dengan hukum ini,” namun dia dalam keadaan yakin bahwa berhukum dengan selain hukum Allah tidak diperbolehkan. Dia juga mengatakan bahwasanya berhukum dengan syariat Islam lebih utama dan tidak boleh berhukum dengan selainnya, tetapi dia seorang yang bermudah-mudahan (dalam masalah ini), atau dia kerjakan karena perintah dari atasannya, maka dia kafir dengan kekafiran yang kecil, yang tidak mengeluarkannya dari keislaman, dan teranggap sebagai dosa besar. (At-Tahdzir Minattasarru’ Fittakfir, Muhammad Al-’Uraini hal. 21-22)
Demikian pula, kalaulah sang penguasa itu terbukti melakukan kekufuran, maka yang harus ditempuh terlebih dahulu adalah penegakan hujjah dan nasehat kepadanya, bukan pemberontakan.
Adapun dalih mereka dengan hadits Auf bin Malik :
Lalu dikatakan kepada Rasulullah: “Wahai Rasulullah! Bolehkah kami memerangi mereka dengan pedang (membe-rontak)?”
Beliau bersabda: “Jangan, selama mereka masih mendirikan shalat di tengah-tengah kalian!” (HR. Muslim, 3/1481, no. 1855)
bahwa “mendirikan shalat di tengah-tengah kalian” adalah kinayah dari menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, sehingga –menurut HT– walaupun seorang penguasa mendirikan shalat namun dinilai belum menegakkan hukum-hukum Islam secara keseluruhan, maka dianggap kafir dan boleh untuk digulingkan!
Ini adalah pemahaman sesat dan menyesatkan.
Para pembaca, tahukah anda dari mana ta‘wil semacam itu? Masih ingatkah dengan landasan berpikir mereka? Ya, ta`wil itu tidak lain dari akal mereka semata… Bukan dari bimbingan para ulama. Wallahul musta’an.
Akhir kata, demikianlah gambaran ringkas tentang HT dan selubung sesatnya tentang khilafah. Semoga menjadi titian jalan untuk meraih petunjuk Ilahi. Amin…
(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi Lc.)
========================================
1 Menolak sifat-sifat Allah  dengan ta`wil, kecuali beberapa sifat saja. (ed)
2 Lanjutan riwayat tersebut: “Dan sungguh aku telah melihat Nabi n mengusap pungggung khufnya.” (ed)
Barokallohufiikum !

Related articles

Mau Tahu Hubungan Hizbut Tahrir Dengan Syiah?
Mengapa Hizbut Tahrir Membenci Arab Saudi…?!
Begini Jawaban ( Jahil wa Asmaq ) Jubir HTI terkait Syiah dan Kontroversi Buletin Al-Islam
Ada Apa Dengan Saudi? Kok Ada Sebagian ORMAS ISLAM Yang Membencinya ?? Saudi Dimata Liberal,Syiah,kelompok Al-Qaeda,kaum Tradisional,
Politik Luar Negeri Saudi ‘ Menaklukkan ’ Amerika ! [Amerika Antek Saudi !]
Bagi Yang Membenci SAUDI, Bacalah Surat Cinta Ini,.
Mengapa Serang Yaman, bukan Israel ? ! Untuk Orang Dungu ( Ahmaq ) dan Bodoh ( Jaahil ) Baca Artikel Ini !
Hukum Qisash di Saudi tidak sah karena bukan khilafah??
Imam Syafii Menyamakan HUKUM MUSIK Dengan Hukum KHAMR, Tapi HIZBUT TAHRIR INDONESIA Malah Ngeband Pas Acara Muktamar KHILAFAH..
Akibat Pemikiran Khawarij, Mengajak Melakukan Kudeta, Sebagaimana Ajakan Hizbut Tahrir
TAUHID DULU, ATAUKAH KHILAFAH?
Apa itu Gerakan Hizbut Tahrir? Banyak sekali yang tertipu dengan dalih pendirian khilafahnya.. padahal…
Contoh-Contoh Hadits Ahad. Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir ‘Abdat
Bagaimana Menasehati Penguasa?
Khalifah Sedunia Harus Satu?
Hizbut Tahrir, Jama'ah Pemimpi Yang Mencela Realitas
http://lamurkha.blogspot.co.id/2016/07/hizbut-tahrir-jamaah-pemimpi-yang.html

Sesatkah Aqidah Bahwa Orangtua Nabi Muhammad Adalah Kafir?! [ Pencarian Kebenaran ]

Muqaddimah
Termasuk aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah yang jelas adalah tidak boleh memvonis seseorang dengan neraka atau surga kecuali berdasarkan dalil yang konkret dari al-Qur’an dan hadits yang shahih, karena perkara ini termasuk masalah ghaib yang di luar pengetahuan seorang hamba. Namun, apabila sudah ada dalil shahih yang menegaskan status seseorang bahwasanya dia di surga atau neraka maka kewajiban bagi seorang muslim adalah mengimaninya dan menerimanya dengan sepenuh hati.
Nah, di antara status keberadaan yang ditegaskan dalam hadits yang shahih adalah keberadaan orangtua Nabi di neraka. Hanya, masalah ini masih menjadi kebingungan bagi sebagian orang dan ketergelinciran bagi sebagian pena para penulis, apalagi setelah terkumpulnya syubhat-syubhat dalam masalah ini yang digoreskan oleh as-Suyuthi dalam berbagai kitabnya yang banyak sekali seperti Masaliku Hunafa fii Walidai al-Musthafa, ad-Duruj al-Munifah fil Abâi asy-Syarifah, al-Maqamat as-Sundusiyyah fin Nisbah al-Musthafawiyyah, at-Ta’zhim wal Minnah fii Anna Abawai Rasulillah fil Jannah, Nasyru Alamain al-Munifain fii Ihya’ al-Abawain asy-Syarifain. as-Subul al-Jaliyyah fil Abâi al-Aliyyah.
Gayung pun bersambut, syubhat-syubhat tersebut dicuatkan oleh sebagian orang untuk menolak hadits shahih, ditambah dengan alasan cinta kepada Nabi, padahal mereka tahu bahwa surga dan neraka bukanlah diukur dengan nasab dan kehormatan, namun dengan iman dan amal shalih.
Berikut ini kajian singkat tentang hadits pembahasan berikut bantahan terhadap syubhat-syubhat seputar masalah ini. Semoga Allah memberikan kekuatan kepada kita semua untuk menjadi pembela-pembela hadits Nabi.
Teks Hadits dan Takhrijnya
Ada dua hadits yang merupakan landasan dasar masalah ini:
Dalil pertama:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ رَجُلًا قَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ أَبِيْ؟ قَالَ: فِي النَّارِ. فَلَمَّا قَفَّى دَعَاهُ فَقَالَ: إِنَّ أَبِي وَأَبَاكَ فِي النَّارِ
Dari Anas, bahwasanya ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, di manakah tempat ayahku (yang telah meninggal) sekarang berada?” Beliau menjawab, “Di neraka.” Ketika orang tersebut menyingkir, maka beliau memanggilnya lalu berkata, “Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di neraka.”
a.      Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya (203), Abu Awanah dalam Musnad-nya (289), Ahmad dalamMusnad-nya (3/268), Abu Dawud dalam Sunan-nya (4718), Ibnu Hibban dalam Shahîh-nya (578), Abu Ya’la dalam Musnad-nya (3516), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (7/190 no. 13856) danDalâil Nubuwwah (1/191), al-Jauraqani dalam al-Abâthil wal Manâkir wash Shihah wal Masyâhir (1/132–233), dan Ibnu Mandah dalam kitab al-Îmân (926).
Seluruhya lewat dari dua jalur:
ñ    Jalur pertama: Affan bin Muslim – Hammad bin Salamah – Tsabit al-Bunani – Anas bin Malik.
ñ    Jalur kedua: Musa bin Isma’il – Hammad bin Salamah – Tsabit al-Bunani – Anas bin Malik.
b.      Hukum Hadits
Tidak ragu lagi bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah akan keshahihannya bahwa Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya yang masyhur itu. Syaikh al-Albani berkata dalam Muqaddimah Bidâyatus Sûl(hlm. 16–17), “Hadits riwayat Muslim dan selainnya. Hadits ini shahih meskipun as-Suyuthi memaksakan diri untuk melemahkan hadits ini dalam beberapa kitabnya.”
Dalil Kedua:
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ a قَالَ: زَارَ النَّبِيُّ n قَبْرَ أُمِّهِ فَبَكَى وَأَبْكَى مَنْ حَوْلَهُ فَقَالَ: اسْتَأْذَنْتُ رَبِّي فِيْ أَنْ أَسْتَغْفِرَ لَهَا فَلَمْ يُؤْذَنْ لِيْ وَاسْتَأْذَنْتُهُ فِيْ أَنْ أَزُوْرَ قَبْرَهَا فَأُذِنَ لِيْ فَزُوْرُوْا الْقُبُوْرَ فَإِنَّهَا تُذَكِّرُ الْمَوْتَ
Dari Abu Hurairah berkata, “Nabi pernah menziarahi kubur ibunya, lalu beliau menangis dan membuat orang yang berada di sampingnya juga turut menangis kemudian beliau bersabda, ‘Saya tadi meminta izin kepada Rabbku untuk memohon ampun baginya (ibunya) tetapi saya tidak diberi izin, dan saya meminta izin kepada-Nya untuk menziarahi kuburnya (ibunya) kemudian Allah memberiku izin. Berziarahlah karena (ziarah kubur) dapat mengingatkan kematian.’”
a.      Takhrij Hadits
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahîh-nya (976–977), Abu Dawud (3235), Nasai (4/90), Ibnu Majah (1572), Ahmad dalam Musnad-nya (2/441), ath-Thahawi dalam Musykil Atsar (3/89), al-Baihaqi dalam Sunan Kubra (4/76), (7/190) danDalâil Nubuawwah (1/190), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah(5/463 no. 1554) dan Ma’alim Tanzil (3/115), Abu Ya’la dalamMusnad-nya (6193), al-Jauraqani dalam Abâthil wal Manâkir(1/230) dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (1429).
Seluruhnya dari tiga jalur:
Jalur pertama: Marwan bin Mu’awiyah – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah.
Jalur kedua: Muhammad bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah.
Jalur ketiga: Ya’la bin Ubaid – Yazid bin Kaisan – Abu Hazim – Abu Hurairah (Riwayat al-Hakim saja)
b.      Hukum Hadits
Tidaklah diragukan bahwa hadits ini adalah shahih. Cukuplah sebagai hujjah bahwa Imam Muslim memasukkan hadits ini dalam kitab Shahîh-nya. Imam Baghawi berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Hadits shahih menurut syarat Muslim tetapi keduanya (Bukhari-Muslim) tidak mengeluarkannya.” Dan disetujui Imam Dzahabi!!
Kami berkata: Imam Hakim benar dalam menghukumi hadits ini shahih menurut syarat Muslim, tetapi beliau salah ketika mengatakan bahwa Imam Muslim tidak mengeluarkannya, karena hadits ini diriwayatkan Imam Muslim dalam Shahîh-nya—sebagaimana Anda lihat di atas.
Bersama al-Hafizh as-Suyuthi
Al-Hafizh as-Suyuthi melemahkan hadits pertama dalam kitabnya Masaliku Hunafa fi Walidai Musthafa 2/432–435 dengan alasan bahwa Hammad bin Salamah telah diselisihi oleh Ma’mar bin Rasyid, di mana beliau tidak menyebutkan lafazh ini, tetapi dengan lafazh “Apabila engkau melewati kuburan seorang kafir maka beritakanlah dia dengan neraka”.Hadits dengan lafazh ini lebih kuat, karena Ma’mar lebih kuat hafalannya daripada Hammad, sebab Hammad ada pembicaraan dalam hafalannya, berbeda halnya dengan Ma’mar.
Jawaban: Alasan ini adalah alasan yang sangat lemah sekali, sebab sebagaimana tidak samar lagi bagi para ahli hadits—termasuk as-Suyuthi sendiri—bahwa perawi yang paling kuat riwayatnya dari Tsabit al-Bunani adalah Hammad bin Salamah, sehingga apabila bertentangan dengan rawi lainnya maka yang dimenangkan adalah Hammad bin Salamah.
Abu Hatim ar-Razi berkata—sebagaimana dalam al-’Ilal(2185), ”Hammad bin Salamah adalah orang yang paling terpercaya apabila meriwayatkan dari Tsabit dan Ali bin Zaid.”
Ahmad bin Hambal berkata, “Hammad bin Salamah lebih kuat daripada Ma’mar jika dia meriwayatkan dari Tsabit.”
Yahya bin Ma’in berkata, “Barang siapa menyelisihi Hammad bin Salamah maka yang dimenangkan adalah Hammad.” Dikatakan kepada beliau, “Bagaimana dengan Sulaiman bin Mughirah dari Tsabit?” Beliau berkata, “Sulaiman bin Mughirah memang terpercaya, tetapi Hammad adalah orang yang paling tahu tentang Tsabit.”
 Al-’Uqaili berkata dalam adh-Dhu’afa’ (2/291), “Manusia yang paling terpercaya tentang Tsabit adalah Hammad bin Salamah.”
Imam Muslim dalam Shahîh-nya seringkali meriwayatkan riwayat dari jalur Hammad bin Salamah dari Tsabit. Berbeda halnya dengan Ma’mar bin Rasyid, sekalipun beliau terpercaya, para ahli hadits melemahkan riwayatnya dari Tsabit. Ibnu Ma’in berkata, “Ma’mar dari Tsabit lemah riwayatnya.” Al-’Uqaili berkata, “Riwayat yang paling mungkar dari Tsabit adalah riwayat Ma’mar bin Rasyid.”
Setelah penjelasan ini, lantas apa artinya perbandingan yang dilakukan oleh al-Hafizh as-Suyuthi antara dua orang tersebut?! Jadi, pendapat yang benar adalah riwayat Hammad bin Salamah, sedangkan riwayat Ma’mar bin Rasyid adalah mungkar.[1]
Adapun hadits kedua, as-Suyuthi tidak memberikan banyak alasan untuk melemahkannya kecuali ucapan yang global saja!!
Fiqih Hadits
Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albani berkata mengomentari hadits ini:
“Ketahuilah wahai saudaraku seislam bahwa sebagian manusia sekarang dan sebelumnya juga, mereka tidak siap menerima hadits shahih ini dan tidak mengimani kandungannya yang menegaskan kufurnya kedua orangtua Nabi. Bahkan sebagian kalangan yang dianggap sebagai tokoh Islam mengingkari hadits ini berikut kandungannya yang sangat jelas.
Menurut saya, pengingkaran seperti ini pada hakikatnya juga tertuju kepada Rasulullah yang telah mengabarkan demikian, atau minimal kepada para imam yang meriwayatkan hadits tersebut dan menshahihkannya. Dan ini merupakan pintu kefasikan dan kekufuran yang nyata karena berkonsekuensi meragukan kaum muslimin terhadap agama mereka, sebab tidak ada jalan untuk mengenal dan memahami agama ini kecuali dari jalur Nabi sebagaimana tidak samar bagi setiap muslim.
Jika mereka sudah tidak mempercayainya hanya karena tidak sesuai dengan perasaan dan hawa nafsu mereka maka ini merupakan pintu yang lebar untuk menolak hadits-hadits shahih dari Nabi. Sebagaimana hal ini terbukti nyata pada kebanyakan penulis yang buku-buku mereka tersebar di tengah kaum muslimin seperti al-Ghazali, al-Huwaidi, Bulaiq, Ibnu Abdil Mannan, dan sejenisnya yang tidak memiliki pedoman dalam menshahihkan dan melemahkan hadits kecuali hawa nafsu mereka semata.
Dan ketahuilah wahai saudaraku muslim yang sayang terhadap agamanya bahwa hadits-hadits ini yang mengabarkan tentang keimanan dan kekufuran seseorang adalah termasuk perkara ghoib yang wajib untuk diimani dan diterima dengan bulat. Allah berfirman:
الٓمٓ ﴿١﴾ ذَ‌ٰلِكَ ٱلْكِتَـٰبُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًۭى لِّلْمُتَّقِينَ ﴿٢﴾ ٱلَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِٱلْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ ٱلصَّلَوٰةَ وَمِمَّا رَزَقْنَـٰهُمْ يُنفِقُونَ ﴿٣﴾
Alif lâm mîm. Kitab (al-Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebagian rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka. (QS. al-Baqarah [2]: 1–3)
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍۢ وَلَا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى ٱللَّهُ وَرَسُولُهُۥٓ أَمْرًا أَن يَكُونَ لَهُمُ ٱلْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ ۗ وَمَن يَعْصِ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥ فَقَدْ ضَلَّ ضَلَـٰلًۭا مُّبِينًۭا ﴿٣٦﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al-Ahzâb [33]: 36)
Maka berpaling darinya dan tidak mengimaninya berkonsekuensi dua hal yang sama-sama pahit rasanya.Pertama: Mendustakan Nabi. Kedua: Mendustakan para perawi hadits yang terpercaya.
Dan tatkala menulis ini, saya tahu betul bahwa sebagian orang yang mengingkari hadits ini atau memalingkan maknanya dengan maka yang batil seperti as-Suyuthi—semoga Allah mengampuninya—adalah karena terbawa oleh sikap berlebih-lebihan dalam mengagungkan dan mencintai Nabi, sehingga mereka tidak terima bila kedua orangtua Nabi seperti yang dikabarkan oleh Nabi, seakan-akan mereka lebih sayang kepada orangtua Nabi daripada Nabi sendiri!!!”[2]
Sebenarnya ucapan para ulama salaf tentang aqidah ini banyak sekali. Namun, cukuplah kami nukil di sini ucapan al-Allamah Ali bin Sulthan Ali al-Qari, “Telah bersepakat para ulama salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in, imam empat, dan seluruh ahli ijtihaj akan hal itu (kedua orangtua Nabi di neraka) tanpa ada perselisihan orang setelah mereka. Adapun perselisihan orang setelah mereka tidaklah mengubah kesepakatan ulama salaf.”[3]
Syubhat dan Jawabannya
Di antara syubhat melemahkan hadits shahih, di sana ada beberapa syubhat lainnya yang perlu kita kupas sekalipun secara singkat:
Syubhat pertama: Kedua orangtua Nabi hidup di masa fathrah
Mereka berdalil dengan firman Allah:
وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّىٰ نَبْعَثَ رَسُولًۭا ﴿١٥﴾
Dan Kami tidak akan mengadzab sebelum Kami mengutus seorang rasul. (QS. al-Isrâ’ [17]: 15)
Syaikh Abu Zahrah (al-Azhar, Mesir) berkata, “Ayah dan ibu Nabi hidup pada masa fathrah (kekosongan Nabi), maka bagaimana mungkin keduanya akan diadzab? … Terus terang, saya (Abu Zahrah) tak dapat menahan telinga dan pikiranku tatkala saya membayangkan bahwa Abdullah dan Aminah berada di neraka!”
Jawaban: Syaikh al-Albani menjawab syubhat ini, “Ketahuilah bahwa hadits ini walaupun sudah jelas keshahihan sanadnya, banyaknya syawahid (penguat)nya serta kesepakatan para ulama pakar menerimanya, namun Syaikh Abu Zahrah menolaknya mentah-mentah dengan penuh kelancangan dan kejahilan yang mendalam tatkala dia berkata … (kemudian beliau menyebutkan perkataan Abu Zahrah di atas). Saya (al-Albani, Red.) katakan: Subhanallah! seperti inikah sikap hamba yang beriman kepada Rasulullah kemudian kepada para ulamamukhlishin (ikhlas) yang telah meriwayatkan hadits-hadits Nabi sekaligus menyaringnya antara shahih dan dha’if serta bersepakat tentang keshahihan hadits ini?! Bukankah sikap Abu Zahrah ini adalah manhaj (metode) para pengekor hawa nafsu seperti Mu’tazilah dkk. yang menimbang suatu kebaikan dan kejelekan berdasarkan akal? Lucunya, Syaikh Abu Zahrah mengaku bahwa dirinya termasuk Ahli Sunnah, lantas mengapa dia menyelisihi mereka (Ahli Sunnah) dan meniti jalan Mu’tazilah, pendewa akal dan pengingkar hadits-hadits shahih berdasarkan hawa nafsu belaka …”[4]
Syubhat kedua: Hadits-hadits tentang hidupnya kedua orangtua Nabi  setelah mati lalu beriman.
Mereka berdalil dengan hadits-hadits yang menyatakan bahwa kedua orangtua Nabi hidup kembali dan beriman kepada Nabi. Bahkan sebagian mereka mengatakan bahwa hadits-hadits tentangnya telah mencapai derajat mutawatir.
Jawaban: Hadits-hadits tentang imannya kedua orangtua Nabi seluruhnya maudhu’ dan mungkar sebagaimana ditegaskan oleh pakar (ahli) hadits.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits itu tidak shahih menurut ahli hadits, bahkan mereka bersepakat bahwa hadits itu adalah dusta dan diada-adakan sekalipun diriwayatkan dengan sanad para perawi yang majahil (tidak dikenal). Sebenarnya tidak ada pertentangan di kalangan Ahlus Sunnah bahwa hadits itu palsu yang sangat nyata kedustaannya sebagaimana ditegaskan oleh ahli ilmu. Seandainya kejadian seperti ini benar-benar terjadi, niscaya akan banyak dinukil karena masalah seperti ini sangat luar biasa ditinjau dari dua segi:
segi menghidupkan orang yang telah mati
segi keimanan setelah mati
Hadits ini di samping palsu, juga bertentangan dengan al-Qur’an, hadits shahih, dan ijma’.”[5]
Syubhat ketiga: Celaan Kepada Nabi?
Mereka mengatakan bahwa keyakinan/aqidah bahwa kedua orangtua Nabi di neraka termasuk kurang adab terhadap Rasulullah.
Jawaban: Beradab terhadap Rasulullah yang sebenarnya adalah mengikuti perintahnya dan membenarkan haditsnya, sedang kurang adab terhadap Rasulullah adalah apabila menyelisihi petunjuknya dan menentang haditsnya. Allah berfirman:
يَـٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تُقَدِّمُوا۟ بَيْنَ يَدَىِ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ ۖ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌۭ ﴿١﴾
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. al-Hujurât: 1)
Alangkah bagusnya perkataan Syaikh Abdurrahman al-Yamani tatkala mengomentari hadits ini, “Seringkali kecintaan seseorang tak dapat dikendalikan sehingga dia menerjang hujjah serta memeranginya. Padahal orang yang diberi taufik mengetahui bahwa hal itu berlawanan dengan mahabbah(cinta) yang disyari’atkan. Wallahul Musta’an.”
Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini berkata, “Termasuk kegilaan, bila orang yang berpegang teguh dengan hadits-hadits shahih disifati dengan kurang adab. Demi Allah, seandainya hadits tentang islamnya kedua orangtua Nabi shahih, maka kami adalah orang yang paling berbahagia dengannya. Bagaimana tidak, sedangkan mereka adalah orang yang paling dekat dengan Nabi yang lebih saya cintai daripada diriku ini. Allah menjadi saksi atas apa yang saya ucapkan. Tetapi kita tidaklah membangun suatu ucapan yang tidak ada dalilnya yang shahih. Sayangnya, banyak manusia yang melangkahi dalil shahih dan menerjang hujjah. Wallahul Musta’an.”[6]
Demikianlah pembahasan ini secara singkat. Barang siapa yang ingin memperluas pembahasan ini maka kami persilakan untuk membaca kitab Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul karya Syaikh Mula al-Qari, tahqiq Syaikh Masyhur bin Hasan Salman dan Naqdhu Masalik as-Suyuthi fi Walidai al-Musthafa oleh Dr. Ahmad bin Shalih az-Zahrani.



[1]   Dinukil dari jawaban Syaikh Abu Ishaq al-Huwaini dalam Majalah at-Tauhid, edisi 3/Th. 9. Dan lihat bantahannya lebih lengkap dalam tulisan beliau tersebut.
[2]   Silsilah al-Ahâdits ash-Shahîhah no. 2592
[3]   Adillah Mu’taqad Abi Hanifah fi Abawai Rasul hlm. 84
[4]   Shahîh Sîrah Nabawiyyah hlm. 24–27
[5]   Majmû’ Fatâwâ 4/324
[6]   Lihat Majalah at-Tauhîd, Mesir, edisi 3/Rabi’ul Awal 1421 hlm. 37
http://abiubaidah.com/sesatkah-aqidah-bahwa-orangtua-nabi-muhammad-adalah-kafir.html/

kafirkah Kedua Orang Tua Rasulullah??

Oleh: Taufiq Oki Darmawan
(Mahasiswa Islamic Center Al-Islam)


Pendahuluan
 
1.    Para ulama’ yang menyatakan kedua orang tua Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam di neraka
 
Imam al-Qaari menukil ijma’ salaf dan khalaf tentang kedua orang tua Rasul yang masuk neraka. Beliau berkata : ”Ulama’ salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam yang empat serta para mujtahid telah sepakat akan hal ini tanpa ada khilaf / perselisihan sedikitpun. Adapun khilaf yang muncul belakangan setelah adanya ijma’ tidak diakui.
Sungguh sangat mengherankan bagaimana bisa Imam Suyuthi yang mengerti akan atsar-atsar / hadits-hadits yang banyak ini berpaling darinya, dan tidak mengikuti para imam. Justru dia mengikuti ulama’-ulama’ yang belakangan dan menukil dalil-dalil yang lemah sekali.”
2.    Dalil-dalil yang sering dipakai beserta bantahannya :
1.    Dalil pertama : bahwa kedua orang tua Rasul termasuk ahli fatrah.
 
Definisi ahli fatrah :
a.    Menurut bahasa : Ibnu Manzhur berkata: al-fatrah adalah kelemahan dan penurunan.
b.    Menurut istilah : selang / jarak waktu antara dua Nabi.
Ahli fatrah adalah mereka yang hidup pada selang waktu antara dua orang rasul, mereka tidak menemui rasul yang pertama dan tidak pula menjumpai rasul yang kedua, seperti selang waktu antara Nuh dan Idris Alaihi Salam dan antara Isa Alaihi Salam dan Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
 
Oleh karena itu jika kita perhatikan Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :   
“Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan (syari'at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) Rasul-rasul agar kamu tidak mengatakan: "tidak ada datang kepada Kami baik seorang pembawa berita gembira maupun seorang pemberi peringatan". Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(QS. Al-Maidah : 19)
 
Ayat ini menguatkan apa yang telah kami sebutkan, bahwa maksud dari kata ahli fatrah itu umum tidak dikhususkan pada kaum atau zaman tertentu.
Selang waktu dari seorang Nabi yang paling mencolok adalah selang waktu antara Nabi Isa Alaihi Salam dan Nabi Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam.
Para ulama’ berselisih pendapat tentang selang waktu antara keduanya. Pendapat yang paling kuat yang mengatakan selang waktu antara keduanya adalah 600 tahun. Inilah pendapat Muqaatil dan Ibnu Abbas.
Macam-macam ahli fatrah dan pendapat yang kuat tentang kewajiban mengikuti ajaran Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sebelum mereka.
Ahli fatrah dibagi menjadi dua macam :
1.    Yang telah sampai kepadanya ajaran seorang Nabi.
2.    Yang telah sampai kepadanya dakwah dan dia dalam keadaan lalai.
Adapun golongan yang pertama terbagi menjadi dua lagi :
a.    Yang sampai kepadanya dakwah dan dia bertauhid serta tidak berbuat syirik.
b.    Yang sampai kepadanya dakwah akan tetapi dia merubah ajaran dan berbuat syirik.
-    Orang yang bertauhid dan tidak berbuat syirik kapada Allah seperti Qus bin Saa’idah, Zaid bin Amr bin Nifail, Waraqah bin Naufal, dan yang lainnya. Golongan ini tidak diperselisihkan karena adanya dalil-dalil yang menunjukkan bahwa mereka itu mati dalam keadaan bertauhid.
-    Adapun yang telah sampai kedanya dakwah tapi dia masih berbuaat syirik seperti Amru bin Luhay, Abudullah bin Jad’an, shahibul mihjan (pemilik kayu bercabang yang mencuri pada saat haji), kedua orang tua rasul dan paman serta kakek beliau, maka (golongan ini) selayaknya tidak diperselisihkan bahwa mereka dimasukkan di dalam neraka, karena dakwah telah sampai kepada mereka.
-    Adapun golongan kedua maka golongan yang satu ini masih diperselisihkan oleh para ulama’, tapi yang benar mereka itu diuji dengan diperintahkan masuk ke dalam api pada hari kiamat kelak.
 
2.    Dalil kedua : hadits-hadits yang berkenaan dengan dihidupkannya kembali kedua orang tua Nabi Shalallahu Alihi wa Sallam (ke dunia) lalu mereka beriman kepada beliau.
1.    Hadist Aisyah yang disebutkan oleh pengarang.
2.    Hadist Ibnu Umar yang juga disebutkan oleh pengarang.
3.    Hadist Ali bin Abi Thalib dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam beliau bersabda : Jibril turun kepadaku dan berkata : Allah mengucapkan salam kepadamu dan Dia berfirman : “Sesungguhnya Aku haramkan neraka bagi tulang rusuk yang telah mengeluarkanmu, perut yang pernah melahirkanmu, pangkuan yang telah merawatmu, yaitu Abdullah, Aminah dan Abdul Muthalib.”
 
4.    Hadist Adbullah bin Abbas, dia berkata : Aku mendengar Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam berkata : “Aku memberi syafa’at kepada ayahku, pamanku, saudara sepersusuan, sehingga mereka menjadi debu setelah hari kebangkitan.”

KAFIRKAH KEDUA ORANG TUA RASULULLAH

I.    Dalil-dalil dari Al-Qur’an :

    Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 
 
“Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.”(QS. al-Baqarah : 119)
 
Waqi’, Sufyan bin Uyainah, Abdurrazaq, Abdun bin Hunaid, Ibnu Jarir, Ibnu Mundzir telah meriwayatkan dari Muhammad bin Ka’ab al-Qurzhi, beliau berkata,” Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam : “Sangat disayangkan! apa yang dikerjakan orang tuaku?” maka turun ayat : “Sesungguhnya Kami telah mengutusmu (Muhammad) dengan kebenaran; sebagai pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, dan kamu tidak akan diminta (pertanggungan jawab) tentang penghuni-penghuni neraka.”(QS. al-Baqarah : 119). Senantiasa Rasulullah mengingat keduanya hingga Allah mewafatkannya.”
 
Di dalam nash tadi terdapat bantahan bagi mereka yang menyangka bahwa kedua orang tua Rasulullah berada di surga. Sekaligus di dalamnya ada kabar bahwa hukum ini tidak dihapus dengan dihidupkannya kedua  orang tua beliau.
 
Ibnu Jarir meriwayatkan dari Dawud bin Abi Ashim, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam pernah bersabda pada suatu hari : “Dimanakah kedua orang tuaku berada? Maka turunlah ayat tadi.” 
 
II.    Dalil-dalil dari Sunnah
 
Imam Muslim meriwayatkan dari Anas Radhiyallahu Anhu : (Bahwa ada seeseorang yang bertanya :”Wahai Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam! Dimanakah ayahku?” maka Rasulullah menjawab : “Ayahmu di neraka.” Lalu orang itu pergi, kemudian Nabi memanggilnya dan bersabda : ”Sesungguhnya ayahmu dan ayahku di neraka.”
 
Demikian pula yang diriwayatkan oleh al-Bazzar bahwa Nabi sesungguhnya ingin memintakan mapun untuk ibunya, mka Jibril menepukkan tanganya ke dada Rasulullah seraya berkata : “Apakah engkau meminta ampun untuk orang yang mati dalam kesyirikan.”
Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim, Hakim, Ibnu Mardawih, Baihaqi dalam ”dalail” dari Ibnu Mas’ud Radhiyallahu Anhu beliau berkata : Rasulullah Shalallahu Alaihi wa Sallam keluar pada suatu hari ke pemakaman lalu kami pun mengikuti beliau. Setelah masuk pemakaman beliau duduk di sebuah kuburan sambil berkata sesuatu lalu beliau menangis, kami pun ikut menangis. Setelah itu beliau berdiri dan Umar berdiri pula, lalu Nabi memanggil kami semua sambil bertanya :”Apa yang membuat kalian menangis?” kami berkata : “Kami menangis karena melihat anda menangis.” Rasulullah bersabda : “Sesungguhnya ini adalah kuburan Aminah (ibuku) dan saya memohon izin kepada Rabb-ku untuk berziarah ke kuburnya dan saya diizinkan untuk ziarah. Dan sya memohon izin untuk meminta aampun bagi ibuku tapi saya tidak diizinkan. Lalu turunlah ayat : (Tidak sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang beriman untuk memintakan ampun bagi orang-orang musyrik walaupun kerabat dekat mereka), maka saya bersedih sebagaimana seorang anak, itulah yang menyebabkan saya menangis.” Hal ini disebutkan pula oleh al-Waqidi dalam asbabun nuzul dengan isnadnya. Thabrani meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu.
 
III.    Dalil Ijma’
 
Adapun dalil ijma’ maka para salaf dan khalaf dari kalangan sahabat, tabi’in dan imam yang empat serta para mujtahid telah sepakat akan hal ini. Tidak ada khilaf sedikit pun dari meraka, kalau memang ada khilaf setelah adanya ijma’ maka hal tersebut tidak mengurangi ijma’ yang telah disepakati.
 
IV.    Bantahan Terhadap Suyuthi
 
Yang aneh dari Syaikh Jalaluddin Suyuthi – padahal beliau mengerti tentang riwayat-riwayat yang bisa dikatakan mutawatir – Suyuthi tidak mengikutinya dan tidak sama dengan para imam-imam lain, tapi Suyuthi justru cenderung untuk mengikuti kelompok ulama’ belakangan. Dan Suyuthi mendatangkan dalil-dalil yang lemah menurut para pakar ilmu (hadist).
 
Di antara dalil-dalil Suyuthi adalah : sesungguhnya Allah menghidupkan kembali kedua orang tua Nabi hingga mereka beriman kepadanya. Suyuthi dalam hal ini bersandar kepada riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Syahin dalam “nasikh wal manshuk”, serta khatib al-Baghdadi dalam “as-sabiq wal lahiq”, Daruquthni dan Ibnu Asakir keduanya dalam “gharaib malik”, dengan sanad yang lemah dari Aisyah Rahdhiyallahu Anha berkata, Rasulullah  Shalallahu Alaihi wa Sallam berhaji bersama kami paada waktu haji wada’ / perpisahan. Rasul melewati tempat yang bernama Hajun dalam keadaan menangis dan sedih, lalu Rasul turun dan menjauh lama dariku kemudian kembali kepadaku dalam keadaan gembira dan tersenyum, maka aku pun bertanya tentang sebabnya? Beliau bersabda : “Saya tadi pergi ke kuburan ibuku dan saya memohon kepada Allah untuk menghidupkannya kembali hingga ibuku beriman kepadaku maka Allah pun mengembalikan ibuku ke dunia ini lagi.”
 
Hadist ini lemah menurut kesepakatan ahli hadist seperti yang telah diakui seendiri oleh Suyuthi. Ibnu Katsir berkata, “Hadist ini mungkar sekali, perawi-perawinya tidak dikenal.”
Perkataan Syaikh Ibnu Hajar al-Makki dalam “Syarah al-Hamziyah”, ”Hadist itu shahih dan dishahihkan oleh banyak ulama’. ”Perkataan ini tidak bisa diterima, bahkan ini hanyalah kedustaan semata serta aib buruk yang bisa menggugurkan keadilan dan membatalkan riwayat.
 
Al-Hafidz Ibnu Dihyah berkata -seperti yang dinukil oleh Ibnu Katsir-, “Sesungguhnya hadist ini palsu, telah disanggah oleh al-Qur’an dan ijma’. Allah berfirman yang artinya, “Dan tidak pula diterima taubat orang-orang yang mati sedang mereka dalam keadaan kafir.”(QS. an-Nisa’ : 18)
 
Kesimpulan : tidak benar riwayat dihidupkannya kembali serta berimanya kedua orang tua Nabi. Dalilnya adalah tidak ada satu orang sahabat Nabi yang menyaksikan hal ini terjadi pada waktu haji wada’, dan manusia pada waktu itu berkumpul untuk menolong beliau tanpa ada sedikit perselisihan. Ditambah lagi dengan adanya kaidah syariat yang menyatakan tidak diterimanya keimanan pada waktu sakaratul maut menurut kesepakatan ulama’.
 
Diantaranya lagi adalah perkataan Suyuthi : keduanya meninggal sebelum diutusnya Nabi dan keduanya tergolong ahlu fatrah.
 
Ini jelas menyelisihi al-Qur’an dan Hadist, serta berlawanan dengan apa yang telah dijelaskan, bahwa mereka mati dalam keadaan syirik. Apa yang dipaparkan panjang lebar oleh Suyuthi dengan alasan-alasanya tidaklah bermanfaat sama sekali dalam hal ini. Bersamaan dengan itu ada pertentangan dalam ucapanya yaitu seandainya keduanya termasuk ahli fatrah, maka tidak perlu untuk mengatakan dihidupkannya kembali kedua orang tua tersebut karena mereka adalah orang-orang yang selamat karena mereka ahli fatrah.
 
Diantaranya juga perkataan Suyuthi, ”Sesungguhnya telah datang hadist-hadist tentang ahli fatrah, bahwa mereka akan diuji pada hari kiamat dengan ditampakkannya api lalu mereka diperintah untuk memasukinya. Maka orang-orang yang telah ditetapkan kebahagiannya dalam ilmu Allah seandainya mereka diberi kesempatan beramal mereka akan memasuki api tersebut. Dan orang-orang yang telah ditetapkan kesengsarannya dalam ilmu Allah jika mereka diberi kesempatan untuk beramal, mereka enggan untuk memasukinya lalu Allah berfirman, yang artinya : “Kamu telah memaksiati Aku maka bagaimana dengan rasul-rasul-Ku.”
 
Jika hadist tersebut shahih maka telah membantah orang yang menyelisihinya. Sesungguhnya hadist tersebut bagi mereka yang mati pada zaman fatrah dan tidak diketahui akan kesyirikan mereka dan ketauhidan mereka. Adapun mereka yang sudah diketahui kekufurannya dangan al-Qur’an dan Sunnah serta kesepakatan para imam, maka tidak ada alasan lagi untuk memasukkan mereka ke dalam golongan orang-orang yang diuji pada hari kiamat dengan ketaatan seperti Waraqah bin Naufal, Qus bin Sa’idah dan selain dari keduanya dari mereka yang telah jelas ketauhidanya. Bukan semisal pemilik kayu bercabang dan selainnya dari orang-orang yang telah jelas kesyirikannya.
 
Perkataan Suyuthi, “Bahwa Ibnu Jarir menyebutkan dalam tafsirnya  dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma tentang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : “Dan kelak Tuhanmu pasti memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu hati kamu menjadi puas.”(QS. ad-Dhuha : 5). Beliau berkata : Di antara hal yang menjadikan hati beliau puas adalah tidak ada seorang pun dari keluarga beliau yang masuk neraka.”
 
Ini adalah pendapat Suyuthi saja, seandainya riwayat ini benar maka yang dimaksud dengan keluarga Nabi dalam ucapan Suyuthi tadi bukan keluarga Nabi yang kafir.
 
Ucapan Suyuthi : (Tidak ada bukti yang menunjukkan kesyirikan kedua orang tua Rasul, bahkan keduanya di atas agama tauhid –agama nenek moyang mereka yaitu Ibrahim Alaihi Salam).
 
Hal ini bertentangan dengan yang tercantum dalam shahih Muslim dari Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sebagaimana yang telah berlalu.
 
Metode  seperti ini juga diikuti oleh sebagian orang seperti Fakhruddin ar-Razi yang mengatakan dalam kitabnya “Asraaruttanzil” : Dikatakan bahwa Azar bukan ayah Ibrahim Alaihi Salam tapi dia adalah paman beliau. Alasan mereka adalah : Sesungguhnya orang tua para Nabi itu bukan kafir, dalilnya sebagai berikut : firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang artinya : “Dialah yang melihat kamu ketika kamu berdiri (untuk sembahyang), dan melihat pula perubahan gerak badanmu diantara orang-orang yang sujud.” (QS. asy-Syu’ara’ : 218-219), maknanya adalah bahwa Muhammad memindahkan cahayanya dari orang yang sujud kepada yang lainnya, dari sini maka ayat tersebut menunjukkan dengan pasti bahwa ayah Ibrahim Alaihi Salam bukan termasuk orang-orang kafir, tapi yang disebut dengan Azar adalah paman beliau.
 
Adapun ucapan seorang sejarawan yahudi atau nashrani seperti yang diungkapkan dengan konteks : dikatakan bahwa Azar bukanlah ayah Nabi Ibrahim Alaihi Salam tapi dia adalah pamanya. Bagaimana dia bisa berpaling dari ayat yang jelas menerangkan bahwa Azar adalah ayah Ibrahim, diantarannya firman Allah Ta’ala yang artinya : “Ingatlah ketika Ibraqhim berkata kepad ayahnya Azar.”(QS. al-An’am : 74). Kata “Azar” dalam ayat di atas adalah athof bayan atau badal bina’ yang bermakna julukan atau sifat (menurut zaman itu) atau lainnya.
 
Sebagai tambahan terhadap semua yang telah disebutkan di atas, bahwa Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah penjelas bagi apa yang ada di dalam al-Qur’an, Rasulullah adalah pembuka pintu kebenaran. Seandainya yang dimaksud dengan ayah Nabi Ibrahim adalah pamanya maka sungguh Rasulullah akan menjelaskannya.
 
V.    Bantahan Terhadap Ibnu Hajar Al-Makki
 
Adapun ucapan Ibnu Hajar al-Makki, ”Anda boleh membantah ucapan Abi Hayan, karena orang seperti dia hanya bisa dijadikan rujukan dalam maslah nahwu dan yang berkaitan denganya saja”, ini adalah suatu perkataan batil. Karena telah disepakati dalam ijma’ akan kebolehan menerima persaksian pakar bahasa dan riwayat para ahli hadist jika tidak ada kelemahan dalam agamanya. Bagaimana tidak, sedangkan Abi Hayan memilki tiga kitab tafsir, Abi Hayan juga memiliki karangan tentang sirah.
 
Dan saya (penulis) katakan, begitu pula yang bisa dikatakan kepada Ibnu Hajar al-Makki, “Anda adalah ahli fiqh saja, anda tidak mengerti melainkan masalah-masalah yang berkaitan dengan fiqh khususnya yang berkaitan dengan perselisihan.”
 
Dari sini jelasbagi kita kebatilan ucapan Ibnu Hajar, adapun orang yang mengambil darinya seperti Baidhawi dan selainnya, maka dia tidak cermat dan teliti.
 
Bagaimana benar perkataan perawi, bahwa semua nenek moyang Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dahulunya adalah orang-orang bermain sedangkan ini bertentangan dengan hadist yang diriwaytakan oleh Imam Muslim serta berlawanan dengan ijma’ kaum muslimin? Kemudian yang lebih aneh lagi dari ucapanya adalah, “Oleh karena itu wajib untuk memastikan bahwa orang tua Ibrahim Alaihi Salam bukan termasuk orang kafir.
 
Adapun pernyataan bahwa nenek moyang Muhammad Shalallahu Alaihi wa Sallam bukan tergolong orang-orang musyrik dengan dalil sabda beliau : “aku terlahir dari tulang rusuk orang-orang yang suci dan rahim perempuan yang suci...” maka ini tidak bisa diterima dengan sebab yang telah kami sebutkan, dan karena maksud dari haidst itu adalah seperti yang telah diterangkan oleh riwayat-riwayat yang lain.
 
Lebih jauh lagi kesalahan Suyuthi ketika mentakwilkan hadist Muslim ”Sesungguhnya ayahku dan ayahmu di  neraka” dia berkata, “Maksud beliau adalah untuk menenangkan hati orang yang bertanya, serta beliau khawatir orang tersebut murtad jika mendengar pertama kali, bahwa ayahnya masuk neraka.”
 
Mustahil Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam menceritakan sesuatu yang berlainan dengan kenyataan yang ada dan menghukumi ayahnya kafir hanya untuk menarik hati seseorang yang kemungkinan beriman dan kemungkinan juga tidak beriman. Ini adalah suatu kesalahan besar dan kurang beradab (terhadap Nabi), semoga Allah menjaga kita dari kejelekan seperti ini.
 
VI.    Jawaban Terhadap Bantahan Suyuthi
 
Pernyataan Suyuthi akan keimanan semua nenek moyang Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam dengan dalih seperti yang disebutkan oleh Abdurrazzaq dalam ”Mushannaf” dari Ma’mar dari Ibnu Juraij dia berkata ; berkata Ibnu Musayyib ; berkata Ali bin Abi Thalib, “Senantiasa ada tujuh orang muslim atau lebih di setiap zaman di atas bumi ini, seandainya tidak ada maka hancurlah bumi beserta isinya.”
 
Isnad hadist ini shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim, hal seperti ini tidak mungkin dikatakan dengan akal semata, hadist ini marfu’.
 
Demikian pula dalil Suyuthi dengan riwayat yang dikeluarkan oleh Ibnu Abi Hatim dengan  dengan sanad yang lemah dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwasanya ayah Ibrahim bukan bernama Azar, tapi namanya Tarikh.
 
Di dalam riwayat ini tidak ada dalil bagi beliau, karena kita katakan : Seandainya kita terima nama ayahnya Tarikh dan julukannya Azar, ini tidak menunjukkan dia itu buka orang musyrik.
 
Adapun Suyuthi berdalil dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala : “Dan dia (Ibrahim) menjadikannya suatu ucapan yang abadi pada keturunannya.”(QS. az-Zukruf : 28) beliau berkata : (Abduh bin Humaid meriwayatkan dalam tafsirnya dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhuma, Beliau berkata : (Laa Ilaha Illallahu adalah ucapan yang kekal pada keturunan Ibrahim Alaihi Salam).
 
Saya katakan : Yaitu pada keturunannya, hal ini tidak mengharuskan semua keturunan beliau,  tapi hanya sebagian saja. Karena menurut kesepakatan (kaum muslimin), bahwa semua keturunan Nabi Ibrahim baik dari Ismail maupun Ishaq tidak semuanya mukmin. Oleh karena itu Qatadah Radhiyallahu Anhu berkata : Selalu ada di antara keturunan beliau (Nabi Ibrahim) yang mengatakan (Laa Ilaha Illallah) setelah beliau.
 
Dalil Suyuthi dengan firman Allah yang artinya : ”Ingatlah ketika Ibrahim berkata : Wahai Rabbku jadikanlah negeri ini (Mekkah) negeri yang aman dan jauhkanlah diriku dan keturunanku dari menyembah berhala.” (QS. Ibrahim : 35).
 
Beliau berkata : Ibnu Jarir meriwayatkan dalam tafsirnya dari Mujahid tentang ayat di atas, dia berkata : Allah mengabulkan do’a Ibrahim tentang anaknya, tidak ada seorang pun dari anak-anak beliau menyembah berhala. Dan Allah juga mengabulkan do’a beliau untuk menjadikan negeri itu (Mekkah) aman sentosa dan agar Allah menurunkan rezeki berupa buah-buahan bagi penduduknya serta menjadikannya dan keturunannya sebagai imam / pemimpin dan orang-orang yang mendirikan sholat. 
 
Padahal sudah jelas bahwa tidak benar kalau dipahami bahwa yang dimaksud dengan anak-anak beliau adalah semua keturunan beliau, karena telah disepakati bahwa di antara keturunan Ismail ada yang kafir dan musyrik dari kalangan arab, yahudi dan nashara. Maka wajib untuk dipahami bahwa maksudnya adalah anak-anak kandung Ibrahim sendiri sebagaimana hal ini nampak pada dzahir firman-Nya : “Dan anak-anakku”.
 
Di antara dalil Suyuthi yang lain adalah firman Allah Ta’ala : “Wahai Rabbku jadikanlah aku dan keturunanku sebagai orang-orang yang menegakkan sholat.”(QS. Ibrahim : 40). Ibnu Mundzir meriwayatkan dari Ibnu Juraij bahwa dia pernah berkata : (Selalu ada di antara keturunan Ibrahim Alaihi Salam orang-orang yang berada di atas fitrah, mereka menyembah Allah).
 
Saya katakan : Ini adalah ucapan yang benar, ucapan beliau ini dengan jelas mengatakan bahwa sebagian saja di antara keturunan Ibrahim (yang menyembah Allah bukan semuanya).
 
VII.    Bantahan Terhadap Orang-orang yang Mengatakan Bahwa Ayah Ibrahim Alaihi Salam Bukan Kafir
 
Ketahuilah bahwa pendapat Fakhrurrazi dan Suyuthi tentang ketidakkafiran ayah Ibrahim Alaihi Salam adalah pendapat yang salah dalam agama serta membuat keraguan dalam aqidah, meskipun keduanya mengaku termasuk pembaharu. Tapi sebetulnya mereka layak dikatakan sebagai pengada-ada dalam agama karena Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam bersabda : ”Barang siapa yang mnegada-adakan suatu ajaran agama yang bukan darinya maka tertolak.”
 
Kemudian lihatlah kepada ucapan Suyuthi yang berdalih dengan bahasa bahwa orang Arab mengistilahkan kata Abi / Ayah untuk paman. Di dalam al-Qur’an yang artinya : “Adakah kamu hadir ketika Ya'qub kedatangan (tanda-tanda) maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: "Apa yang kamu sembah sepeninggalku?" mereka menjawab: "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, (yaitu) Tuhan yang Maha Esa dan Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya". (QS. al-Baqarah : 133).
 
Di dalam ayat tadi Ismail disebut dengan kata Ab / Ayah padahal dia adalah paman Ya’qub Alaihi Salam sebagaimana Ibrahim juga disebut dengan kata al-Abu padahal beliau adalah kakek Ya’qub.
 
Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas Radhiyallahu Anhu bahwa beliau pernah berkata : (al-jaddu / kakek disebut juga Ayah / al-Abu) lalu beliau membaca ayat tadi : "Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyang kamu”.
 
Saya katakan , “Ini hanyalah ucapan kosong orang-orang Mudhoriyah yang tidak banyak manfaatnya, sebab ayat tadi menunjukkan bahwa tidak benar dimutlakkan / ditujukan kata al-Aaba’ / nenek moyang kepada satu orang anak. Tapi maksud al-Aaba’ itu adalah para pendahulu seperti yang dikatakan oleh para Imam madzhab Hanafiyah, atau dikatakan, “bahwa kata al-Aaba’ bisa digunakan sebagai majaz sekaligus bisa untuk hakikat sebenarnya seperti yang dikatakan oleh madzhab Syafi’i.”
 
VIII. Bantahan Terhadap Tulisan Ibnu Kamal Baasya Tentang Kedua Orang Tua Rasul Shalallahu Alaihi wa Sallam
 
Aku melihat dari tulisan Ibnu Kamal Baasya tentang masalah ini, beberapa hal yang tidak benar yaitu :
1.    Ucapannya bahwa para salaf berselisih dalam hal ini. Hal ini tidaklah  benar karena perselisihan terjadi setelh zaman khalaf / terakhir.
2.    Nukilan Ibnu  Kamal dari al-Hafidz Ibnu Dihyah, bahwa Ibnu Kamal berkata :  Barang siapa mati dalam kekafiran, tidaklah bermanfaat keimanannya setelah dikembalikan. Bahkan seandainya dia beriman pada waktu sakaratul maut tidakkah hal itu bermanfaat apalagi pada waktu dia dikembalikan hidup?

IX.  Hukum Orang yang Mencela Nasab Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam
Ibnu Kamal berkata : Sudah jelas bahwa menetapkan kesyirikan pada kedua orang tua Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam adalah suatu kesesatan yang nyata, sebab beliau berasal dari keturunan yang suci.
 
Saya katakan, ”Perkataan kita (tentang kedua orang tua Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam di neraka) tidak merusak nasab beliau, tapi ini hanyalah menetapkan apa yang telah ditetapkan oleh Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam sendiri.”
 
Sebagaimana sabda beliau : “Jangan kalian menyakiti orang yang hidup dengan sebab orang-orang yang mati”. Oleh karena itu tidak boleh melaknat kedua orang tua Nabi dan orang tua para sahabat dan orang tua kaum muslimin semuanya, karena tidak ada manfaatnya melaknat.
 
X. Hikmah Meninggalnya Kedua Orang Tua Nabi Shalallahu Alaihi wa Sallam Dalam Kekafiran
 
Semuanya ini menjelaskan akan kesempurnaan Allah dalam penciptaan dan perintah-Nya, serta menjelaskan akan rahasia taqdir Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sekaligus hal ini sebagai bantahan terhadap filosof yang menyatakan bahwa kenabian itu bisa diperoleh dengan mengadakan ritual-ritual tertentu dan bukan dari bukan wahyu Allah.
 
Inilah yang diisyaratkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam firman-Nya yang artinya : “Dialah yang mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati dari yang hidup” (QS. Yunus : 31). Maksudnya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengeluarkan seorang mukmin dari (ayah) kafir dan sebaliknya, seperti anak Nabi Nuh Alaihi Salam. Anak beliau kafir menurut kesepakatan para ulama’, demikian juga dengan Qabil pembunuh Habil dari keturunan Adam Alaihi Salam, sesungguhnya Qabil kafir menurut ijma’ ulama’.
 
Di dalam hal ini terdapat penjelasan bahwa iman adalah nikmat yang paling agung, tidak ada yang bisa mencapainya melainkan seorang Nabi atau wali yang mulia dari orang-orang yang telah ditulis kebahagiannya di tempat yang mulia.

Diringkas dari buku "Kafirkah Kedua Orang Tua Rasulullah?", Ali bin Sulthan Muhammad Al-Qari, Pustaka As-Shunnah, Cetakan Pertama.