Friday, March 6, 2015

Ibnu Taimiyah Dikafirkan, Ibnu Hajar meradang

Saya kira inilah tulisan ulama masyhur terbaik yang dapat mematahkan fitnah dan Jarh dari orang-orang yang iri dengan ketenaran Ibnu Taimiyah.
Tulisan Ini Merupakan sebuah Taqridz (Pengantar) terhadap sebuah Buku yang disusun Oleh Ibnu Nashiruddin Ad Dimasqi, seorang Hafidz dan Fuqaha dari karangan Syafiiyah.
Kitab Tersebut Berjudul Raddul Waafir ala Man Zaama anna man Samma ibnu Taimiyah Syaikhul Islam kaafir 
(الرد الوافر على من زعم أن من سمى ابن تيمية شيخ الإسلام كافر)

InsyaAllah akan datang pembahasan tersendiri tentang Kitab ini.
Penyebab kitab ini dikarang sebagaimana yang tercantum dalam kitab tersebut adalah Fatwa yang menyebar di khalayak Umum saat itu tentang kafirnya orang yang memberi julukan ibnu Taimiyah sebagai Syaikhul Islam dan tidak sah sholat dibelakang orang tersebut.
Fatwa tersebut secara jelas bukan saja pengkafiran terhadap Ibnu Taimiyah, tapi juga pengkafiran terhadap pengikutnya.
demi mendengar itu, Ibnu Nasiruddin bahkan Memohon dan berdoa agar Allah menyegerakan pemberi Fatwanya dengan Azab yang sesuai dengan perkataannya yang lancang tersebut. Beliaupun mengarang Raddul Waafir yang mengumpulkan lebih dari 80 pendapat dan tulisan ulama yang mengakui dan menjuluki ibnu Taimiyah sebagai syaikhul Islam.

Silahkan download kitab Raddul Waafir dan makhtutatnya

Apa yang membuat pengantar kitab Ini begitu penting adalah Penulisnya yang merupakan Pentolan ulama hadits dari kalangan Syafiiyah secara Khusus dan merupakan salah satu ulama hadits terbesar sepanjang masa. Para Ulama Menggelarinya Amirul Mukminin fi ilmil Hadiits.
Dialah Al Hafidz Syihabuddin Ahmad Bin Hajar Al Atsqalani As Syafii.
perlu diketahui Bahwa para pembenci Ibnu Taimiyah banyak berasal dari kalangan Syafiiyah yang bermazhab Asy’ari dalam Aqidah.

Kebenaran kitab dan Taqridz Ini tidak bisa diragukan lagi karena secara meyakinkan dan Jelas dinukil secara lengkap oleh Murid Ibnu Hajar sendiri yaitu Al hafidz As Sakhawi ketika beliau mengarang biografi gurunya tersebut dalam Kitab yang ia beri judul Aljawaahir Waddurar fi Tarjamati syaikhul Islam Ibnu Hajar dan juga disalin ulang oleh Murid Ibnu Nashiruddin Ad Dimasqi yang bernama Muhammad bin Muhammad bin Abdullah Al ja’fari As Syafii
Silahkan mendownload Kitab tersebut

Berikut data gambar tentang Taqridz tersebut
Taqridz yang terdapat dalam manuskrip Raddul Waafir
Pic 123
                              
pic 124
                             
pic 125


Taqridz yang terdapat dalam Kitab Al Jawahir

                   hal cover juz 2                     hal 734
                            


                         hal 735                       hal 736                    
                      


Berikut Terjemahan dari Taqridz Tersebut.
Segala Puji Bagi Allah dan Salam atas hamba-hambanya yang telah Ia pilih.
Aku telah Melihat karangan yang bermanfaat ini. Tujuan-tujuan yang diinginkan dalam pengumpulan pendapat-pendapat ini sudah komprehensif
keluasan Ilmu pengarangnya sudah terjamin begitu juga pengaruhnya terhadap ilmu-ilmu yang bermanfaat yang diagungkan dan dimuliakan oleh Para Ulama.

Masyhurnya keimaman Syaikh Taqiyuddin lebih masyhur dari matahari. Julukannya sebagai Syaikhul Islam pada zamannya tetap berlaku sampai sekarang dilisan orang-orang yang mensucikan dan akan tetap berlanjut dimasa mendatang seperti berlaku kemarin. Hanya orang-orang yang rendah kapasitasnya yang mengingkari hal itu. Atau orang tersebut jauh dari sifat Insyaf. Alangkah bersalahnya orang yang melakukan hal itu dan banyak sekali debunya
Maka Allahlah yang ditanya untuk membersihkan kita dari kejahatan-kejahatan diri kita serta mengumpulkan lisan-lisan kita dengan anugerah dan kemurahannya.
Kalaulah tidak ada dalil atas keimaman laki-laki ini kecuali apa yang diberitakan oleh Al Hafidz Asysyahiir Ilmuddin Albarzali pada kitab Tarikh milik beliau : bahwasanya tidak ditemui di dalam Islam jumlah orang yang berkumpul untuk melayat Jenazah seperti berkumpulnya manusia Untuk melayat Jenazah As Syaikh Taqiyuddin., Dia membandingkan bahwasanya jenazah Imam Ahmad dikerumuni banyak sekali manusia, Jenazah Imam Ahmad disaksikan Oleh Ratusan ribu orang, tetapi Kalau kejadian di Damaskus tersebut sama dengan keadaan di Baghdad kala itu atau lebih rendah lagi, Niscaya tidak ada satupun orang yang akan ketinggalan untuk menyaksikan Jenazahnya. Begitu Pula, seluruh orang yang ada di Baghdad –kecuali sedikit– meyakini keimaman Imam Ahmad, dan Amir Baghdad dan Khalifah kala itu sangat mencintai dan Mengagungkan Imam Ahmad.
Berbeda dengan keadaan Ibnu Taimiyah yang Amir daerah tersebut sedang tidak berada ditempat ketika Beliau wafat dan kebanyakan ulama Negeri tersebut tidak berpihak Kepadanya hingga ia mati dalam keadaan terkurung dipenjara Qal’ah.
Meskipun demikian, hal itu tidak membuat mereka ketinggalan untuk menyaksikan, memuliakan, dan meratapi Jenazahnya kecuali 3 orang yang ketakutan terhadap massa.
Dengan kehadiran sejumlah besar Massa tersebut, Maka pastilah didorong oleh keimaman dan keberkahannya, bukan didorong oleh ikut hadirnya sulthon atau selainnya.
Telah Sohih dari Nabi Shollallahu Alaihi Wasallam bahwasanya Beliau bersabda: “ Kalian adalah Saksi-saksi Allah dibumi”.(diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, red)

Sekumpulan Ulama telah Membantah As Syaikh Taqiyuddin berkali-kali dan Beberapa persidangan juga telah digelar di Kairo dan Damaskus disebabkan oleh beberapa hal yang mereka Ingkari dalam masalah ushul dan furu. Sekalipun demikian, tidak pernah diriwayatkan fatwa kezindikan dan kehalalan darahnya oleh satupun dari para ulama tersebut. Meskipun penduduk negeri tersebut sangat tidak berpihak Kepadanya ketika itu hingga ia ditahan di Kairo kemudian di Alexandria.
Meskipun begitu juga, mereka mengakui keluasan Ilmu dan besarnya kewaraan dan kezuhudannya. Ia disifati sebagai pemurah, berani dan lain-lain karena tindakannya membela Islam dan berdakwah kepada Allah baik secara sembunyi maupun terang-terangan.

Maka bagaimana mungkin orang yang mengatakannya kafir tidak diingkari?! Bahkan bagaimana mungkin pengkafiran orang yang menyebutnya Syaikhul Islam tidak diingkari?! Penyebutan Syaikhul Islam kepada Beliau tidaklah berkonsekwensi kekafiran penyebutnya. Karena Sesungguhnya dia memang Syaikhul Islam tanpa Keraguan.
Adapun Hal-hal yang diingkari dari beliau sebenarnya adalah apa yang ia katakan dengan syahwatnya, dan orang yang mengatakan hal tersebut tidak selalu dianggap menyimpang setelah disampaikan dalil kepadanya. Padahal karangan-karangan beliau penuh dengan bantahan dan berlepas diri kepada siapapun yang meyakini tajsim.
Meskipun begitu, dia adalah manusia yang bisa salah dan benar. Pendapat-pendapatnya yang benar lebih banyak dan pendapat tersebut banyak diambil faidahnya dan beliau dimuliakan dengan sebab itu. Adapun yang salah, janganlah diikuti, tetapi itu termaafkan, Karena para Imam yang Sezaman dengan Beliau telah menyaksikan bahwa atribut-atribut mujtahid telah terpenuhi pada dirinya. Bahkan orang yang paling tidak berpihak kepada beliau dan yang melakukan hal-hal buruk kepadanya, Yaitu Syaikh Kamaluddin Al Zamlakani juga bersaksi atas hal itu., begitu Juga Sodruddin Ibnul Wakil yang kedapatan hanya pernah berdebat dengan beliau.

Yang Paling menakjubkan adalah lelaki Ini merupakan orang yang paling menentang Ahli bid’ah dari kalangan Rafidah, Hululiyah, dan Ittihadiyah. Karangan-karangan tentang penentangannya terhadap mereka Juga amat banyak dan Masyhur. Fatwa-Fatwanya bahkan tidak terhitung lagi.
Aduhai Betapa senangnya ketika mereka mendengar kekufurannya!
Aduhai betapa bahagianya ketika mereka melihat orang-orang yang mengkafirkannya adalah ahli Ilmu!

Merupakan kewajiban siapapun yang memakai pakaian Ilmu dan memiliki akal untuk merenungkan perkataan laki-laki ini berdasarkan karangan-karangannya yang telah Masyhur, atau dari lisan para Ahli naql yang terpercaya, kemudian dipisahkan apa yang diingkari dari beliau, dan setelah itu diperingatkan dengan maksud nasehat, dan dipuji dengan keutamaannya pada apa yang merupakan kebenaran seperti perlakuan terhadap ulama-ulama lainnya.
Kalaulah As Syaikh Taqiyuddin tidak memiliki kebaikan selain memiliki murid yang masyhur seperti Syamsuddin Ibnul Qayyim Al Jauziyah, —pemilik karangan-karangan yang bermanfaat yang diambil manfaatnya oleh orang-orang yang menyepakati maupun yang menentangnya—Niscaya hal itu sudah merupakan petunjuk utama dari agungnya kedudukan beliau.
Bagaimana mungkin ia dikafirkan, sementara para Imam yang sezaman dengan beliau dari kalangan Syafiiyah Apalagi Hanabilah telah menjadi saksi atas keunggulan Ilmu dan keistimewaan beliau dalam memahami makna tersurat dan tersirat.
Siapapun yang memutlakkan pengkafiran kepada beliau atau kepada yang menjuluki beliau Syaikhul Islam padahal beliau telah disaksikan keunggulan ilmu dan keistimewaannya dalam hal memahami makna tersurat dan tersirat, maka janganlah dilirik, lagipula tidak diriwayatkan kedudukan tersebut kepadanya, Bahkan wajib membantah hal tersebut hingga rujuk kepada yang haq dan tunduk kepada kebenaran.
Sesungguhnya Allah mengatakan yang haq dan akan menunjukkan Jalannya, Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.
Dikatakan ditulis Oleh Ahmad Bin Ali bin Muhammad bin Hajar As Syafii, Afallaahu anhu pada hari Jum’at tanggal 9 Rabiul Awal Tahun 835 Hijriah seraya bertahmid kepada Allah dan Bershalawat kepada Rasul-Nya –Muhammad- dan keluarganya
Semoga Bermanfaat
photo credit by : dr3am3r @flickr.com


Pujian Para Ulama Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Keharuman nama beliau tidak hanya diakui oleh sahabat dan murid-murid beliau. Bahkan sebagian seteru beliau juga memberikan sanjungan tidak hanya berkaitan dengan keilmuan beliau tapi juga pribadinya.
Di antara mereka adalah Al-Qadhi Ibnu Makhluf yang juga lawan beliau, sebagaimana telah dinukil sebelumnya.
Ibnu Daqiqil ‘Ied t, seorang ulama yang ahli dalam dua mazhab; Maliki dan Syafi’i, menceritakan pengalamannya ketika berkumpul dengan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t: “Saya lihat dirinya, dalil itu seolah-olah ada di depan matanya. Dia ambil mana yang dia mau dan dia tinggalkan mana yang dikehendakinya.”
Ibnu Az-Zamlakani t, juga mengatakan: “Terkumpul pada dirinya (Ibnu Taimiyah) syarat-syarat seorang mujtahid secara sempurna. Dia mempunyai andil besar dalam karya-karya bermutu, ungkapannya yang bernas dan sistematis.”
Secara khusus, beliau memberi pujian terhadap karya Syaikhul Islam yang berjudul Raf’ul Malam ‘an A’immatil A’lam. Kata beliau: “(Ini) adalah karya tulis Asy-Syaikh Al-Imam, Al-‘Alim Al-‘Allamah, tidak ada tandingannya, hafizh mujtahid, tokoh zahid ahli ibadah, teladan, imam para imam, panutan umat, keagungan ulama, pewaris para Nabi, barakah Islam, hujjatul Islam, pemberantas bid’ah, menghidupkan sunnah. Bagian dari anugerah besar yang Allah k berikan kepada kita, yang dengannya tegaklah hujjah terhadap musuh-musuh-Nya.”
Lalu beliau menulis beberapa bait memuji Syaikhul Islam:
مَاذَا يَقُولُ الْوَاصِفُوْنَ لَهُ * وَصِفَاتُهُ جَلَّتْ عَنِ الْحَصْرِ
هُوَ حُجَّةٌ للهِ قَاهِرَةٌ *  هُوَ بَيْنَنَا أُعْجُوْبَةُ الدَّهْرِ
هُوَ آيَةٌ ِللْخَلْقِ ظَاهِرَةٌ * أَنْوَارُهَا أَرْبَتْ عَلَى الْفَجْرِ
Apa yang kan diuraikan mereka yang mensifatkannya
Sedangkan sifat-sifatnya melampaui batasan
Dia adalah hujjah Allah yang menaklukkan
Dia adalah keajaiban masa di tengah-tengah kita
Dia adalah satu ayat Allah yang nyata bagi makhluk-Nya
Cahayanya mengalahkan kemilau fajar
Ibnu Az-Zamlakani juga menyatakan: “Apabila dia ditanya tentang satu cabang ilmu, niscaya orang yang mendengar dan melihatnya pasti menyangka Ibnu Taimiyah tidak punya ilmu lain kecuali itu, dan memastikan bahwa tidak ada satupun yang memahami seperti dia. Ahli fikih dari berbagai mazhab, jika berdiskusi dengannya, niscaya mereka memetik faedah dari beliau hal-hal yang sebelumnya tidak pernah mereka ketahui. Tidak pula pernah terdengar bahwa beliau berdebat dengan seseorang lalu kalah. Jika dia membahas satu cabang ilmu –baik ilmu syariat atau lainnya–, niscaya beliau mengungguli orang-orang yang ahli di bidang tersebut. Beliau memiliki kelebihan dalam karya tulis, ungkapan yang berisi, runut, juga dalam pembagian dan pejelasan.”
As-Subki, setelah mendapat teguran dari syaikhnya, Al-Imam Adz-Dzahabi t, dia mengatakan: “Adapun ucapan sayyidi (tuanku) tentang syaikh (Ibnu Taimiyah), maka hamba menyaksikan besarnya kedudukan beliau, luasnya ilmu beliau dalam hal syariat maupun logika, juga kejeniusannya, ijtihadnya, yang semua itu beliau capai melampaui keadaan yang disifatkan orang. Hamba senantiasa mengatakan bahwa kedudukan beliau dalam diri hamba amatlah agung dan lebih mulia dari itu. Seiring dengan apa yang Allah l berikan kepada beliau, berupa sifat zuhud, wara’, diyanah (pengamalan terhadap agama), membela al-haq, berdiri di atas kebenaran tanpa tujuan lain, serta perjalanannya di atas cara hidup kaum salaf, serta capaiannya yang luar biasa, yang sangat jarang ditemukan seperti itu di zaman ini, bahkan di zaman kapanpun.”
Tajuddin As-Subki sendiri merasa bangga ketika Al-Mizzi menulis biografi ayahnya Taqiyuddin As-Subki dengan gelar Syaikhul Islam, dan tidak menuliskan gelar ini kecuali hanya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan ayahnya As-Subki. Seandainya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, seorang mubtadi’, zindiq apalagi kafir, tentulah dia tidak rela ayahnya disejajarkan dengan Ibnu Taimiyah.
Al-‘Allamah Al-Imam Qadhi Qudhah Mesir dan Syam, Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ash-Shafi ‘Utsman Ibnul Hariri Al-Anshari Al-Hanafi menegaskan: “Kalau Ibnu Taimiyah bukan Syaikhul Islam, siapa lagi?”
Al-Imam Al-Mizzi (penyusun Tahdzibul Kamal) menyatakan pujiannya: “Saya tidak pernah melihat tokoh seperti dia. Diapun tidak melihat ada yang seperti dirinya. Saya tidak pernah melihat tokoh yang paling tahu tentang Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah serta paling teguh mengikuti keduanya daripada beliau.”
Seorang syaikh yang shalih, ahli ibadah, Abu Thahir Muhammad Al-Ba’li Al-Hanbali t membawakan beberapa bait syair, memuji Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Di antara pujian beliau:
يَا ابْنَ تَيْمِيَّةَ ياَ أَنْصَحَ الْعُلَمَا * يَا مَنْ لِأَسْرَارِ دِيْنِ اللهِ قَدْ فَهِمَا
يَا آيَةً ظَهَرَتْ فِي اْلكَوْنِ بَاهَرَةً   * لاَ ِزلْتَ فِي سِلْكِ دِيْنِ اللهِ مُنْتَظِمًا
وَكُنْتَ وَاسِطَةً فِي عَقْدِهِ أَبَدَا  * تُزِيْلُ مِنْهُ اْلأذَىَ وَاْلفَحْشَ وَالسَّقَمَا
جَمَعْتَ مِنْهُ الَّذِي قَد كَانَ فَرَّقَهُ   * قَوْمٌ رَأَوْهُ هُدًى مِنْهُ وَكَانَ عَمَى
Hai Ibnu Taimiyah, hai ulama yang banyak memberi nasihat
Hai orang yang paham rahasia dien Allah
Hai ayat yang nampak cemerlang di alam semesta
Engkau senantiasa tersusun di dalam dien Allah ini
Engkau menjadi perantara dalam menguatkannya selamanya
Engkau lenyapkan kotoran darinya, juga kekejian dan kerusakan
Engkau kumpulkan dari dien ini apa yang dahulu diserakkan
Oleh kelompok yang menyangkanya hidayah padahal dia buta
Ibnu Hajar Al-‘Asqalani t juga mengatakan (Fathul Bari 6/289): “…tambahan ini tidak ada sedikitpun dalam buku-buku hadits. Hal ini telah diperingatkan oleh Al-‘Allamah Taqiyuddin Ibnu Taimiyah.”
Di dalam kitab lainnya (At-Talkhishul Habir 3/179), Ibnu Hajar memuji beliau sebagai Al-Hafizh.
Jalaluddin As-Suyuthi (pengarang Al-Itqan dan Tafsir Jalalain) mengatakan: “Demi Allah, belum pernah kedua mata saya melihat orang yang paling luas ilmunya dan paling kuat kecerdasannya daripada seseorang yang bernama Ibnu Taimiyah, disertai sikap zuhudnya dalam berpakaian, makanan, wanita dan senantiasa tegak bersama al-haq (kebenaran) dan berjihad dengan segenap kemampuannya.”
Kata beliau juga: “Ibnu Taimiyah adalah seorang syaikh, imam, Al-‘Allamah, hafizh, kritikus, ahli fiqih, mujtahid, pakar tafsir yang ulung, Syaikhul Islam. Simbol kezuhudan, salah seorang tokoh yang langka di zamannya. Beliau adalah lautan ilmu, jenius dan ahli zuhud yang sulit dicari tandingannya.”
Terakhir, perhatikanlah ucapan As-Subki (ayah Tajuddin As-Subki) tentang Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, ketika menegur orang yang mencerca Ibnu Taimiyah: “Demi Allah, hai Fulan. Tidaklah ada yang membenci Ibnu Taimiyah melainkan orang yang jahil atau pengikut hawa nafsu. Adapun orang jahil, dia tidak tahu apa yang dikatakannya. Sedangkan pengikut hawa nafsu, dia dihalangi oleh hawa nafsunya dari al-haq setelah dia mengetahuinya.”
Jadi, hanya ada dua kemungkinan pada diri orang-orang yang memusuhi Ibnu Taimiyah t; orang jahil yang tidak mengerti apa yang dia katakan, atau orang yang memperturutkan hawa nafsunya, sehingga ilmu dan kebenaran yang diketahuinya, tentang pribadi Syaikhul Islam atau pemikirannya, terkubur oleh dendam kesumat, kedengkian, dan kesesatan bid’ah yang diyakininya. Wallahul musta’an.
Wafat dalam Penjara
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah telah menghabiskan hidupnya dengan penuh kesabaran, rasa syukur dan perjuangan, baik dalam keadaan susah maupun senang. Tidak sekalipun beliau ber-mujamalah (menjilat) dalam amar ma’ruf nahi munkar, bahkan tidak pernah beliau mundur dari perkataan yang haq, selamanya. Sikap terus terang dan keberanian beliau dalam menyuarakan yang haq, berkali-kali menyeret beliau ke penjara. Mungkin itu pula salah satu sebab beliau tidak menikah.
Pada tahun 726 H, adalah akhir dari hukuman penjara yang beliau terima. Ini disebabkan pemalsuan yang dilakukan oleh musuh-musuhnya terhadap fatwa beliau tentang ziarah kubur. Sehingga seolah-olah Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur terlebih lagi makam Rasul n. Ditambah lagi, sikap beliau kepada Sultan Nashir Al-Qalawun yang beliau perlakukan sebagai murid. Beliau tidak segan-segan menegur dan membimbingnya, sehingga sering Baginda merasa berat. Apalagi setelah Syaikhul Islam menulis As-Siyasah Asy-Syar’iyah.
Akhirnya, musuh-musuh beliau berusaha mencari kesempatan melepaskan kekuasaan pemerintah (Sultan) dari pengaruh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah yang tidak pernah bersikap munafik, riya, atau menjilat demi mencari keselamatan pribadi.
Ibnu Taimiyah kembali dipenjarakan. Tapi yang terakhir ini lebih berat beliau rasakan. Perlakuan yang beliau terima lebih buruk dari sebelumnya. Beliau dijauhkan dari semua alat tulis dan dilarang melakukan penelitian (membaca). Hanya saja, penderitaan itu tidak berlangsung lama. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah akhirnya sakit keras beberapa hari. Hal itu mulai dirasakan sejak dikeluarkannya semua perlengkapan tulis menulis dan membaca dari sisi beliau selama di penjara.
Begitu mengetahui beliau sakit, Syamsuddin Al-Wazir meminta izin menjenguk beliau. Melihat keadaan beliau, dia meminta maaf atas semua kesalahannya selama ini. Oleh Syaikhul Islam, dia dimaafkan bahkan semua yang memusuhinya, termasuk Sultan Nashir Al-Qalawun yang memenjarakannya.
Kemudian, pada malam 22 Dzul Qa’dah 728 H, wafatlah Syaikhul Imam, Al-‘Allamah Al-Faqih Al-Hafizh Az-Zahid, Al-Mujahid Syaikhul Islam Taqiyuddin Abul ‘Abbas Ahmad bin Al-Imam Syihabuddin Abul Mahasin ‘Abdul Halim bin Syaikhul Islam Abul Barakat ‘Abdus Salam bin ‘Abdullah bin Abul Qasim Muhammad bin Al-Khidhir bin Muhammad bin Al-Khidhir bin ‘Ali bin ‘Abdullah bin Taimiyah Al-Harrani Ad-Dimasyqi, di dalam tembok penjara Damaskus.
Berita ini mulanya hanya diketahui orang-orang yang di dalam penjara. Kemudian, berita ini meluas hingga didengar oleh kaum muslimin. Mereka terenyak. Berita itu betul-betul menggemparkan.
Akhirnya, berduyun-duyun mereka menuju ke benteng tersebut untuk melihat jenazah beliau. Setelah itu mereka keluar, kemudian masuklah kaum wanita seperti itu juga.
Setelah selesai dimandikan oleh sebagian tokoh seperti Al-Mizzi, jenazah beliau dibawa ke luar penjara. Masyarakatpun berkumpul ikut menyaksikan prosesi jenazah beliau. Mereka rela menutup pintu toko dan menghentikan aktivitas mereka demi mengiringi jenazah beliau. Kaum wanita yang tidak ikut serta, berdiri di atas rumah-rumah mereka melepas jenazah sang imam. Sebagian mereka membagi-bagi daun bidara yang dipakai untuk memandikan beliau.
Ibnu Katsir t memperkirakan dalam Al-Bidayah, ada sekitar 15.000 orang wanita ikut mengantar jenazah beliau.1 Belum lagi yang ada di atas rumah-rumah mereka. Semua mendoakan rahmat dan menangisi beliau. Para tentarapun ikut sibuk mengamankan prosesi jenazah tersebut.
Air mata tumpah, langitpun menangis. Ratapan duka dan doa mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Seluruh rakyat di sekitar penjara benteng tersebut tumpah ke jalanan mengantarkan jenazah beliau. Pintu-pintu masjid Jami’ tak cukup menampung desakan rakyat banyak yang ingin mendekati jenazah beliau. Kejadian ini tak jauh beda dengan prosesi pemakaman jenazah Imam Ahli Sunnah wal Jamaah Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal t. Di mana ketika beliau wafat di Baghdad, ratusan ribu manusia mengantar jenazah beliau ke pemakaman. Al-Imam Ahmad pernah mengatakan kepada ahli bid’ah: “Katakan kepada ahli bid’ah: ‘Keputusan antara kami dan kamu (ahli bid’ah) adalah yaumul janaiz (hari kematian)’.”
Beliau dikebumikan setelah selesai shalat ‘ashar di pemakaman Shufiyah, di sebelah kuburan saudaranya Syarafuddin ‘Abdullah. Di situ pula dikebumikan salah seorang murid beliau yang terkemuka yaitu Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahumullah beberapa tahun kemudian.
Setelah dikebumikan, Asy-Syaikh Al-Imam Burhanuddin Al-Fazari dan sejumlah ulama besar Asy-Syafi’iyah selama tiga hari berulang-ulang mengunjungi kuburan Ibnu Taimiyah t.
Tidak ada yang tertinggal mengantar jenazah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ke pemakaman kecuali mereka yang lemah dan tidak dapat hadir, serta tiga orang yang sangat keras permusuhannya terhadap beliau, yaitu Ibnu Jumlah, Ash-Shadr, dan Al-Qafjari. Mereka yakin, seandainya mereka ikut keluar niscaya umat akan menyakiti bahkan membunuh mereka.
Semoga Allah l merahmati ulama salaf yang telah wafat dan memelihara mereka yang masih hidup.


1 Ibnu Katsir t menceritakan tentang kenyataan yang terjadi saat itu. Dan sebenarnya wanita dimakruhkan mengiringi jenazah. -ed


Tuduhan dan Kedustaan Terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Syaikhul Islam pernah mengungkapkan: “Di antara Sunnatullah yang ada, apabila Dia ingin menampakkan dien-Nya, maka Dia munculkan pula orang yang akan menentang ajaran dien-Nya. Lalu Dia membenarkan al-haq itu dengan firman-firman-Nya, dan Dia melontarkan yang haq kepada yang batil (lalu yang haq itu menghancurkannya), maka dengan serta merta yang batil itu lenyap.”
Seteru Syaikhul Islam t sangat banyak. Mulai dari yang sezaman dengan beliau hingga zaman kita ini. Umumnya mereka adalah musuh-musuh aqidah salafus shalih. Sebab itulah, kebanyakan mereka menyerang beliau dalam masalah aqidah, berlanjut kepada hal-hal yang terkait, seperti metode penerimaan ilmu (talaqqi) dan penggunaan dalil (istidlal).
Sehingga untuk memilah lawan-lawan beliau menjadi beberapa bagian cukup sulit. Sebagai contoh, mereka yang terang-terangan memusuhi Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari kalangan ahli fiqih justru memiliki keyakinan aqidah Asy’ariyah. Sementara itu banyak di kalangan tokoh Asy’ariyah berpahaman tarekat Sufiyah. Bahkan cukup banyak pula mereka yang berpegang pada ajaran filsafat.
Yang jelas, di manapun dan kapanpun, ahlul batil senantiasa bersatu padu mengarahkan serangannya kepada Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hingga saat ini.
Salah seorang murid beliau, Al-Imam Abu Hafsh Al-Bazzar t (wafat 749 H), dengan ungkapan yang sangat mengesankan berkata:
“Ahli bid’ah dan pengekor hawa nafsu senantiasa meraih dunia dengan (memanfaatkan) ajaran dien ini. Mereka saling dukung dan membantu satu sama lain di dalam memusuhi beliau. Bahkan selalu mencurahkan segenap daya upaya mereka untuk melenyapkan Syaikhul Islam. Tidak segan-segan mereka menyerang beliau dengan kedustaan yang nyata, menisbahkan kepada beliau hal-hal yang tidak pernah beliau nukil dan tidak pernah beliau ucapkan, bahkan tidak pula ditemukan dalam tulisan dan fatwa beliau, atau di majelis ilmu yang beliau adakan. Apakah kamu kira mereka tidak tahu bahwa mereka akan ditanya dan dihisab oleh Allah l tentang semua itu? Tidakkah mereka mendengar firman Allah l:
“Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, (yaitu) ketika dua orang malaikat mencatat amal perbuatannya, seorang duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. Tiada suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (Qaf: 16-18)
Tentu, demi Allah (demikianlah). Tetapi ambisi mereka yang lebih mementingkan dunia daripada akhirat, telah menguasai mereka. Sebab itulah mereka mendengki dan membencinya, karena beliau berbeda dan menyelisihi mereka.”
Berbagai upaya senantiasa mereka lakukan untuk melenyapkan pengaruh Ibnu Taimiyah di dalam hati umat, ketika mereka tidak mampu lagi membantah hujjah beliau dalam meruntuhkan sendi-sendi kesesatan mereka.
Di antara bentuk-bentuk permusuhan yang mereka lancarkan terhadap Syaikhul Islam ialah:1
1. Melemparkan tuduhan palsu kepada beliau, antara lain:
a. Syaikhul Islam berpemahaman tasybih (menyerupakan sifat Allah l dengan makhluk-Nya) tentang istiwa’ Allah l di atas ‘Arsy-Nya dan sifat turun bagi Allah l serta sifat lainnya.
b. Syaikhul Islam mengharamkan ziarah kubur secara mutlak, terutama kubur Rasulullah n.
c. Syaikhul Islam lancang menyalah-nyalahkan ‘Umar bin Al-Khaththab z dan ‘Ali bin Abi Thalib z.
2. Talbis (pemalsuan) dan Tadhlil (penyesatan)
a. Misalnya, ahli bid’ah menyampaikan sebagian masalah aqidah yang sesat, lalu menukil perkataan Syaikhul Islam untuk mendukung pendapat dan keyakinannya itu. Salah satu contohnya, mereka (Khawarij di zaman ini) menghasut kaum muslimin untuk mengkafirkan dan memberontak kepada pemerintah muslimin dengan dalil bahwa Syaikhul Islam mengkafirkan raja Tartar (yang sudah masuk Islam), memerintahkan kaum muslimin menyerang mereka karena mereka kafir.
b. Syaikhul Islam membolehkan tawassul dengan Rasulullah n.
c. Syaikhul Islam memuji kaum Asya’irah dan menganggap mereka para pembela ushuluddin.
d. Syaikhul Islam tidak menerima khabar ahad (hadits yang dari satu jalan sanad) dalam masalah aqidah.
3. Tahdzir (agar menjauh) dan tidak tertipu dari beliau, terang-terangan.
Ketika mereka tidak mampu menghadapi Ibnu Taimiyah secara ilmiah, mereka menggunakan cara lain. Akhirnya dengan memenjarakan beliau, mereka merasa telah menghinakannya. Ternyata tidak demikian hasilnya. Kaum muslimin semakin mencintai beliau. Lisan mereka senantiasa basah memanjatkan doa kepada Allah l untuk beliau. Akhirnya mereka men-tahdzir kaum muslimin untuk tidak sampai membaca buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Yang paling panjang menulis tahdzir terhadap Syaikhul Islam dan buku-bukunya dewasa ini adalah Yusuf An-Nabhani. Seolah-olah dia sedang memberi nasihat dan merasa kasihan kepada umat ini, lalu mengingatkan orang agar tidak tertipu dari perkataan setan dan pendapat Ibnu Taimiyah.
Tetapi al-haq justru semakin menjulang. Kebatilan dan kesesatan semakin tenggelam meskipun selang beberapa waktu. Allah l memuliakan Syaikhul Islam, mengabadikan namanya, menyebarkan ilmunya, menghinakan musuh-musuhnya dan membutakan mata (hati) mereka.
4. Menuduh Syaikhul Islam sebagai orang pertama dalam kebid’ahan dan kesesatan:
Di antaranya tentang larangan bertawassul dan sebagainya.
Bantahan terhadap Sebagian Syubhat dan Tuduhan
Sebagaimana kita uraikan tadi, bahwa semua yang dialamatkan kepada Syaikhul Islam adalah kepalsuan, tuduhan dusta, dan tanpa bukti. Pada bagian ini, akan kita paparkan sebagian bukti kepalsuan dan tuduhan-tuduhan dusta tersebut, dengan izin Allah l.
Semestinya, mereka yang melontarkan tuduhan dusta dan syubhat seputar pemikiran Syaikhul Islam, harus siap untuk mendatangkan bukti tuduhan tersebut. Namun mereka selalu menghindar dan mundur.
Seorang peneliti yang jujur dan adil, ketika melihat nukilan-nukilan dusta yang diklaim berasal dari Syaikhul Islam, tentu melihat kenyataan bahwa nukilan itu hanya sepotong-sepotong, tidak sempurna. Atau nukilan itu adalah dari pernyataan ahli bid’ah yang sedang dibantah oleh Syaikhul Islam, tapi dia –dengan sengaja atau tidak– meninggalkan bantahan yang ditulis oleh Syaikhul Islam, kemudian mengklaim bahwa itulah bid’ah yang dibuat-buat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Atau dia menukil sesuatu dari Syaikhul Islam tapi tidak memahami apa maksudnya.
Tuduhan mereka bahwa Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyelisihi aqidah salaf (Ahlus Sunnah wal Jamaah), maka dijawab: “Apa yang dimaksud dengan salaf? Kalau yang dimaksud salaf adalah golongan Asya’irah atau Tarekat Sufiyah, dan kebid’ahan lainnya, maka beliau memang tidak menisbahkan diri kepada salah satunya. Beliau tidak berpegang dengan pendapat mereka bahkan membantah mereka.”
Namun jika yang dimaksud salaf adalah para pendahulu umat ini serta para imamnya, dari kalangan sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan aimmatul huda (imam-imam petunjuk), lalu Ibnu Taimiyah menyelisihi keyakinan dan prinsip mereka, maka ini adalah sesuatu yang sangat mengherankan. Sebab, beliau yang selalu menjelaskan aqidah salaf, berhujjah dengannya dan membelanya serta membantah orang-orang yang menyelisihinya, bagaimana lantas dikatakan memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah salaf?
Para penulis biografi beliau selalu menukil pendapat-pendapat Syaikhul Islam dalam buku-buku mereka, baik dalam fiqih maupun i’tiqad (keyakinan/aqidah).
Bahkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sendiri memberi kesempatan selama tiga tahun kepada orang-orang yang menyelisihinya untuk meneliti tulisan-tulisannya dalam masalah aqidah agar mereka menunjukkan satu masalah yang di dalamnya beliau menyelisihi keyakinan ulama salaf. Sebab ketika itu, kalau beliau membantah dengan lisan lalu menjelaskannya, mungkin akan dicurigai bahwa uraian tersebut ada yang dikurangi atau ditambah.
Berbagai tuduhan yang ditujukan kepada beliau, dapat dijelaskan:
Pertama yang harus kita ketahui bahwa kebiasaan ahli bid’ah dan orang-orang yang memperturutkan hawa nafsunya adalah senantiasa memberi gelar-gelar yang buruk kepada para nabi serta pengikut-pengikut mereka.
Sejak zaman Rasul yang pertama diutus ke tengah-tengah umat manusia, Nabiullah Nuh q, mereka telah melakukannya. Allah l berfirman menceritakan ucapan mereka tentang pengikut Nabi Nuh q:
“Dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja.” (Hud: 27)
Begitu pula kepada Nabi yang diutus kepada mereka, sebagaimana Allah l berfirman:
“Demikianlah tidak seorang rasulpun yang datang kepada orang-orang yang sebelum mereka, melainkan mereka mengatakan: ‘Ia adalah seorang tukang sihir atau orang gila’.” (Adz-Dzariyat: 52)
Apalagi terhadap pengikut Rasulullah n, para pewaris nabi dan rasul.
Al-Imam Ash-Shabuni t (wafat 449 H) meriwayatkan dari Ibnu Abi Hatim, dari ayahnya, Abu Hatim Ar-Razi t, dia mengatakan:
• Tanda-tanda/ciri-ciri ahli bid’ah adalah penghinaannya terhadap ahli atsar.2
• Tanda-tanda kaum zanadiqah (orang-orang zindiq) ialah menggelari ahli atsar sebagai hasyawiyah3, karena hendak menggugurkan atsar.
• Tanda-tanda Qadariyah ialah menamakan Ahlus Sunnah sebagai Mujbirah (berpemahaman Jabriyah).4
• Tanda-tanda Jahmiyah adalah menamakan Ahlus Sunnah dengan musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah l dengan makhluk).
• Tanda-tanda Rafidhah (Syi’ah) adalah menjuluki ahli atsar sebagai Nabitah dan Nashibah.”5
Demikianlah keadaan ahli ahwa’ dan ahli bid’ah serta musuh-musuh Islam lainnya. Tidak ada satupun yang menisbahkan diri kepada kebid’ahan dan kesesatan apalagi kekafiran melainkan mereka sangat antipati dan memusuhi Ahlus Sunnah, baik pakar haditsnya, ahli fiqihnya, maupun ahli tafsir. Mereka melecehkan dan memandang rendah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Menganggap Ahlus Sunnah wal Jamaah hanya mengerti teks Al-Qur’an dan As-Sunnah, namun tidak memahami maksud di balik lafadz-lafadz tersebut. Wallahul musta’an.
Tetapi, semua julukan itu tidak mengena pada diri Ahlus Sunnah wal Jamaah, sebagaimana tuduhan para pendahulu mereka, dari kalangan musyrikin terhadap para Nabi dan pengikutnya, terlebih terhadap Nabi n. Allah l berfirman:
“Lihatlah bagaimana mereka membuat perumpamaan-perumpamaan terhadapmu; karena itu mereka menjadi sesat dan tidak dapat lagi menemukan jalan (yang benar).” (Al-Isra’: 48)
Itulah sebagian ciri dan tanda ahli bid’ah serta orang-orang yang menyimpang, dahulu dan sekarang.
Sebagaimana telah diterangkan, bahwa ciri-ciri Jahmiyah adalah menggelari Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai mujassimah atau musyabbihah.6
Al-Imam Ishaq bin Rahawaih7 mengingatkan bahwa kaum mu’aththilah8 (yang menolak sifat-sifat Allah l) itulah sejatinya yang pantas dikatakan musyabbihah karena mereka mula-mula melakukan tasybih (penyerupaan terhadap makhluk), kemudian ta’thil (penolakan sifat-sifat Allah l).
Karena salah memahami makna tauhid dan tanzih9, mereka terjerumus ke dalam perkara sesat yang lebih buruk dari apa yang mereka tinggalkan. Mereka ingin menyucikan Allah l dari keserupaan dengan makhluk-Nya kalau menyandarkan adanya sifat bagi Allah l, tapi akhirnya mereka terjerumus ke dalam penyembahan sesuatu yang ‘adam (tiada). Karena sesuatu yang tidak punya sifat adalah sesuatu yang hakikatnya tidak ada, karena sesuatu yang ada mesti mempunyai sifat.
Contoh, kalau Allah l dikatakan punya Tangan, maka -menurut mereka- tidak dikenal tangan melainkan yang ada pada manusia. Sehingga merekapun menafikan bahwa Allah l mempunyai tangan.
Sedangkan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah menetapkan sifat-sifat yang Allah l tetapkan dalam Kitab-Nya, dan ditetapkan oleh Rasul-Nya n dalam Sunnah beliau, tanpa menyelewengkan maknanya (tahrif), tanpa menolaknya (ta’thil), tanpa menyerupakannya dengan makhluk (tamtsil), dan tanpa mempertanyakan bagaimana hakikat sifat itu (takyif).
Termasuk kedustaan yang paling laris dilansir musuh-musuh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t adalah nukilan pengelana Ibnu Bathuthah yang mengatakan: “Ibnu Taimiyah menjelaskan hadits ‘Rabb kita turun pada sepertiga akhir malam,’ seperti turunku ini.” Saya menyaksikan dia turun satu tingkat dari mimbar tempatnya berkhutbah.”
Mari kita lihat kebohongan yang dia lakukan terhadap Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t.
Kapan Ibnu Bathuthah masuk ke Damaskus?
Ibnu Bathuthah sendiri menerangkan bahwa dia masuk negeri Damaskus tanggal 17 Ramadhan tahun 726 H, selang beberapa hari sesudah Syaikhul Islam masuk penjara yang terakhir kalinya, yaitu di awal Sya’ban tahun itu juga. Kemudian, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah wafat dalam keadaan tetap di penjara. Lantas, dari mana dia menyaksikan Syaikhul Islam berkhutbah di atas mimbar? Apalagi Syaikhul Islam bukan seorang khatib, sehingga kapan beliau berdiri di mimbar lalu turun, dan disaksikan oleh Ibnu Bathuthah?
Untuk menampakkan bukti kebohongan ini, periksalah buku-buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t baik ‘Aqidah Wasithiyah, At-Tadmuriyah, Al-Hamawiyah, dan lainnya. Semua menegaskan betapa jauhnya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dari pemahaman musyabbihah dan mujassimah. Apalagi mengatakan Allah l turun seperti turunnya Ibnu Taimiyah t? Maha Suci Allah, sungguh ini adalah kedustaan yang nyata.
Tuduhan bahwa Syaikhul Islam menganggap alam ini bersifat qidam (tidak berawalan), adalah dusta. Karena pernyataan beliau tentang masalah ini sangat jelas dalam semua tulisan beliau.
Tuduhan mereka, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengharamkan ziarah ke kuburan terutama kubur Nabi n, juga satu dari sekian kedustaan yang mereka timpakan kepada beliau.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa lafadz ziarah itu global, masuk ke dalamnya ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Adapun ziarah bid’ah adalah ziarah yang mengandung kesyirikan.
Beliau terangkan pula bahwa ulama salaf berbeda pendapat tentang disyariatkannya ziarah kubur. Sebagian mengatakan bahwa ziarah kubur haram secara mutlak dan bahwa larangan ziarah tidak mansukh (dihapus hukumnya). Di antara mereka ada yang tidak menganggapnya sunnah dan ada pula yang memakruhkannya secara mutlak, sebagaimana dinukil dari Al-Imam Asy-Sya’bi, An-Nakha’i, dan Ibnu Sirin.
Ibnu Baththal menukil dari Asy-Sya’bi, bahwa beliau mengatakan: “Kalaulah ziarah kubur tidak dilarang Rasulullah n, tentulah aku ziarahi kuburan anakku.”10
Tidak diperselisihkan oleh kaum muslimin bahwa Rasulullah n pernah melarang ziarah kubur. Ada yang mengatakan alasannya adalah karena menggiring ke arah kesyirikan. Tapi kemudian, mereka berselisih apakah pengharaman ini, apakah mansukh atau tidak? Sebagian mengatakan sudah mansukh, yang lain ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan mansukh, berbeda pula pendapatnya, apakah mansukh dari haram kepada sunnah, atau kepada mubah?
Maka, ziarah yang mengandung perkara yang diharamkan, baik kesyirikan, kedustaan, ratapan, dan sejenisnya, hukumnya haram. Sedangkan ziarah hanya karena berduka kepada si mayit, kerabat atau sahabatnya, ini boleh. Bahkan dibolehkan pula menziarahi orang kafir untuk memperbanyak mengingat kampung akhirat, bukan untuk mendoakan atau memintakan ampunan.
Telah shahih diriwayatkan bahwa Rasulullah n meminta izin menziarahi kuburan ibundanya, dan beliau diizinkan. Tetapi beliau tidak diizinkan memintakan ampunan untuk ibunda beliau, lalu beliaupun menangis dan para sahabat yang menyertai juga menangis.
Kemudian, ziarah ke kuburan kaum mukminin, untuk mendoakan dan mengucapkan salam kepada mereka, ini disunnahkan.
Beberapa ulama Baghdad juga bangkit membela pendapat Syaikhul Islam seputar masalah ziarah kubur terutama dalam masalah hadits Syaddu Rihal.
Asy-Syaikh Jamaluddin Yusuf bin ‘Abdil Mahmud Al-Hanbali mengatakan: “…Sesungguhnya jawaban beliau dalam masalah ini, tuntas memaparkan adanya perbedaan pendapat di antara ulama, bukan hakim pemutus. Tanpa memandang apakah yang dituju adalah orang shalih atau para nabi… Sehingga dosa apa orang yang menjawab bila dia menyebutkan dalam masalah ini beberapa pendapat ulama yang berbeda lalu dia memilih condong kepada salah satu pendapat tersebut? Persoalan ini, memang seperti inilah adanya sejak dahulu kala…
Tidaklah hal itu dibawa oleh yang mengritik melainkan karena hawa nafsu yang mendorong pemiliknya kepada penyimpangan….”
Jadi, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah membagi ziarah itu ada dua; ziarah yang syar’i dan ziarah yang bid’ah. Jelas pula bahwa beliau tidak mengharamkan ziarah secara mutlak. Sedangkan ziarah kubur Nabi n, tidaklah wajib menurut kesepakatan kaum muslimin. Tidak pula ada dalilnya dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah, perintah menziarahi kuburan beliau secara khusus. Yang ada hanyalah memanjatkan shalawat dan salam untuk beliau. Sebagaimana diamalkan oleh para ulama, dengan mengerjakan shalat di masjid beliau dan mengucapkan salam kepada beliau ketika masuk ke dalam masjid. Hal inilah yang disyariatkan. Wallahu a’lam.
Inilah sekelumit dari penggalan sejarah hidup Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t. Lembaran dan waktu yang tersedia, kiranya tak cukup menorehkan gambaran emas kehidupan beliau yang penuh perjuangan, dakwah dan bimbingan untuk umat Islam. Cukuplah karya-karya tulis dan buah pikiran beliau yang tergambar dalam corak berbagai pergerakan Islam yang ada di zaman ini, sebagai bukti harumnya nama besar beliau di hati umat Islam. Semoga Allah l membalasi beliau dengan kebaikan atas jasanya terhadap Islam dan kaum muslimin. Semoga Allah l memelihara warisan beliau dan memelihara para ulama yang terus menghidupkan peninggalan dan perjuangan beliau. Amin Ya Mujibas Sa’ilin.
Sumber Bacaan11:
1 Ar-Raddul Wafir, Ibnu Nashiruddin Ad-Dismasyqi
2. Al-A’lamul ‘Aliyyah fi Manaqib Ibni Taimiyah, ‘Umar bin ‘Ali Al-Bazzar
3. Syahadatuz Zakiyah, Mar’i Yusuf Al-Karmani
4. Fihris Al-Faharis, Al-Kattani
5. Ad-Durarul Kaminah, Ibnu Hajar Al-‘Asqalani
6. Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir
7. Al-‘Uqud Ad-Durriyah, Ibnu ‘Abdil Hadi
8. Adh-Dhau’ Al-Lami’, As-Sakhawi
9. Tarikhul Islam, Adz-Dzahabi
10. Al-‘Ibar fi Khabari man Ghabar, Adz-Dzahabi
11. Dzail Thabaqat Al-Hanabilah, Ibnu Rajab Al-Hanbali
12. Da’awi Al-Munawi’in li Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, ‘Abdullah bin Shalih bin ‘Abdul ‘Aziz Al-Ghashani.
13. Mauqif Ibni Taimiyah Minal Asya’irah, Dr. ‘Abdurrahman bin Shalih bin Shalih Al-Hamud (tesis doktoral).
14. Da’wah Syaikhil Islam Ibni Taimiyah, Shalahuddin Maqbul
15. Al-Ushul Al-Fikriyah Lil Manahij As-Salafiyah, Syaikh Khalid Al-‘Ik
16. Syarh Al-’Aqidah Ath-Thahawiyah, Ibnu Abil ‘Izzi Al-Hanafi.
1 Apa yang diuraikan di sini hanyalah sebagian contoh. Wallahu a’lam.
2 Ahli Atsar adalah golongan yang mengambil ajaran aqidah mereka melalui periwayatan dari Allah k dalam Kitab-Nya atau sunnah Rasul-Nya n serta yang shahih dari salafus shalih, baik dari kalangan sahabat dan tabi’in, bukan dari ahli bid’ah dan ahwa’.
3 Hasyawiyah, dari kata hasywu orang kebanyakan (keumuman manusia).
4 Jabriyah: meyakini bahwa manusia tidak punya kehendak dalam melakukan perbuatannya, bahkan itu semata-mata kehendak Allah l. Sehingga mereka menganggap manusia seperti sebuah pohon yang ditiup angin, mengikuti arah angin bertiup.
5 Nabitah, golongan ingusan, yang muda, baru tumbuh. Nashibah, yang menancapkan permusuhan terhadap ‘Ali bin Abi Thalib z dan ahli bait serta berlepas diri dari mereka. (lihat ‘Aqidah Salaf Ash-habil Hadits hal. 304-305)
6 Jahmiyah, pengikut Jahm bin Shafwan yang berkeyakinan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat Allah l. Mujassimah adalah golongan yang menyatakan bahwa Allah l memiliki jasmani seperti jasmani manusia. Musyabbihah yaitu golongan yang menyerupakan sifat Allah l dengan sifat manusia.
7 Lihat Khalqu Af’alil ‘Ibad karya Al-Imam Al-Bukhari t.
8 Golongan Mu’aththilah (yang menolak sifat Allah l) ini terbagi dua, yang kulli (menolak sifat secara keseluruhan) seperti Jahmiyah dan para pengikutnya. Yang kedua, juz’i (menolak sebagian sifat), dan penolakan ini baik dengan penentangan atau dengan melakukan tahrif. Wallahu a’lam.
9 Tanzih: Menyucikan Allah l dari sifat-sifat tercela dan kekurangan.
10 Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf (4/345), Kitab Al-Jana’iz
11 Sebagian besar dari Program Komputer Asy-Syamilah, kecuali 13, 14, 15 dan 16.


Pembelaan Al-Hafizh Ibnu Hajar terhadap Ibnu Taimiyyah dari Tuduhan Keji Abu Salafy

Betapa kotornya mulut tokoh besar kaum Syi’ah[1] ini dalam melecehkan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah. Diantara celaan mereka yang membabi buta adalah ucapan mereka:

Dan tidaklah berlebihan ketika ulama Ahlusunnah menvonis Ibnu Taimiyah Syeikhul Islam-nya kaum Salafi Wahabi[2] sebagai Dedengkot kaum munafik karena sikap kebencian dan kedengkiannya serta mulut busuknya..

Para pengekor tokoh Syi’ah ini pun tidak kalah dalam melecehkan Ibnu Taimiyyah rahimahullah,

“Kenapa kamu merujuk Ibnu Hajar, sementara Ibnu Hajar sendiri telah menukil pendapat ulama dan ia memenarkannya bahwa para ulama telah menganggap Ibnu Taimiyyah itu sesat/munafik ..

“Saya taqlid ke ibnu hajar mengenai masalah Ibnu taymiyah. Ibnu Taymiyah adalah imamnya para Munafiq! Laknat Allah buatnya..”

Hanya kepada Allah kita mengadu...Jika celaan dan umpatan terhadap Ibnu Taimiyyah berasal dari diri mereka pribadi, mungkin perkaranya lebih ringan. Namun, mereka membawa nama besar Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalanirahimahullah untuk memvonis Ibnu Taimiyyah sebagai dedengkot kaum munafik yang bermulut busuk. Allahulmusta’aan.

Sejak kapan ulama Ahlussunnah memberikan vonis “munafik” kepada Ibnu Taimiyyah??

Berikut penilaian yang sebenarnya dari ulama besar Ahlussunnah, terutama dari kalangan Syafi’iyyah:

1. Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
وشهرة إمامة الشيخ تقي الدين أشهر من الشمس ، وتلقيبه بـ " شيخ الإسلام " في عصره باق إلى الآن على الألسنة الزكية ، ويستمر غداً كما كان بالأمس ، ولا ينكر ذلك إلا من جهل مقداره ، أو تجنب الإنصاف 
“Masyhurnya keimaman Asy-Syaikh Taqiyyuddin lebih terang dari matahari (di siang bolong –pen-). Para ulama yang mulia di zamannya telah memberikan gelar “Syaikhul Islam” pada beliau hingga kini. Bahkan gelar “Syaikhul Islam” akan terus melekat pada diri beliau hingga hari esok seperti hari kemarin. Tidak ada yang mengingkari hal tersebut kecuali orang yang tidak tahu kedudukan beliau atau orang yang jauh dari sikap adil (inshaf).
ولو لم يكن من الدليل على إمامة هذا الرجل إلا ما نبَّه عليه الحافظ الشهير علم الدين البرزالي في " تاريخه " : أنه لم يوجد في الإسلام من اجتمع في جنازته لما مات ما اجتمع في جنازة الشيخ تقي الدين ، وأشار إلى أن جنازة الإمام أحمد كانت حافلة جدّاً شهدها مئات ألوف
“Seandainya tidak ada bukti tentang keimaman beliau kecuali apa yang disebutkan oleh Al-Hafidz Asy-Syahiir Alimudiin Al-Barzali dalam kitab Tarikhbeliau, maka itu telah mencukupi. Al-Hafidz Al-Barzali bercerita: “Tidak pernah ada dalam sejarah Islam, kerumunan manusia yang lebih besar di hari kematian seseorang melebihi para pelayat yang menghadiri jenazah Asy-Syaikh Taqiyyuddin pada hari wafatnya. Lalu Al-Barzali mengisyaratkan bahwa keadaan manusia yang berkumpul menyaksikan jenazah beliau mirip seperti jenazah Imam Ahmad yang dihadiri oleh ribuan para pelayat dan tidak terhitung jumlahnya”
فلم يكن لذلك باعث إلا اعتقاد إمامته وبركته ، لا بجمع سلطان ، ولا غيره ، وقد صح عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (أنتم شهداء الله في الأرض ) - رواه البخاري ومسلم -
“Tidak ada yang mendorong para pelayat melakukan perbuatan tersebut melainkan karena keyakinan mereka tentang keimaman dan barakah beliau. Buktinya, peristiwa tersebut tidak terjadi ketika ada penguasa saat itu yang wafat, tidak pula terjadi pada selain beliau. Telah shahih dalam hadits bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kalian adalah saksi-saksi Allah di muka bumi”. Hadits ini diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim”
ولا يحفظ عن أحد منهم أنه أفتى بزندقته ، ولا حكم بسفك دمه مع شدة المتعصبين عليه حينئذ من أهل الدولة ، حتى حبس بالقاهرة ، ثم بالإسكندرية ، ومع ذلك فكلهم معترف بسعة علمه ، وكثرة ورعه ، وزهده ، ووصفه بالسخاء ، والشجاعة ، وغير ذلك من قيامه في نصر الإسلام ، والدعوة إلى الله تعالى في السر والعلانية
Tidak ternukil dari salah seorang ulama pun bahwa mereka memberikan fatwa tentang kemunafikan Ibnu Taimiyyah. Tidak pula ada dari para ulama yang menghalalkan darah beliau. Padahal di negeri beliau, banyak diantara mereka yang terjangkit penyakit ta’ashub ketika itu, hingga beliau pernah dipenjarakan di Kairo lalu dipindahkan ke Iskandariyah. Namun demikian, seluruh ulama (baik yang sepaham maupun yang berseberangan –pen-) mengakui keluasan ilmu, sifat wara’, zuhud, kedermawanan, keberanian, perjuangan beliau dalam membela Islam dan dakwah beliau di jalan Allah baik secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
فإنه شيخ في الإسلام بلا ريب
“Beliau adalah Syaikhul Islam tanpa ada keraguan”
وهذه تصانيفه طافحة بالرد على من يقول بالتجسيم ، والتبري منه ، ومع ذلك فهو بشر يخطئ ويصيب ، فالذي أصاب فيه - وهو الأكثر - يستفاد منه ، ويترحم عليه بسببه ، والذي أخطأ فيه لا يقلد فيه ، بل هو معذور ؛ لأن أئمة عصره شهدوا له بأن أدوات الاجتهاد اجتمعت فيه

“Ini adalah karya-karya tulis beliau yang dipenuhi bantahan terhadap kaum yang meyakini aqidah tajsim[3]. Beliau telah berlepas diri dari mereka. Meskipun demikian, beliau adalah manusia yang terkadang keliru dan terkadang benar. Kebenaran yang berasal dari beliau –dan kebanyakan pendapat beliau mencocoki kebenaran- maka kita ambil dan kita doakan beliau dengan rahmat. Ketika beliau keliru, maka tidak boleh diikuti pendapatnya. Bahkan beliau mendapatkan udzur, karena para ulama di zamannya telah bersaksi bahwa syarat-syarat untuk berijtihad telah terkumpul dalam diri Ibnu Taimiyyah.”
ومن أعجب العجب أن هذا الرجل كان أعظم الناس قياماً على أهل البدع من الروافض ، والحلولية ، والاتحادية ، وتصانيفه في ذلك كثيرة شهيرة
“Diantara hal yang paling mengagumkan dalam diri Ibnu Taimiyyah, beliau adalah orang yang paling keras terhadap Ahlul-Bid’ah dari kalangan Rafidhah, Al-Hululiyyah[4] dan Al-Ittihadiyah. Karya tulis beliau dalam permasalahan ini sangat banyak dan masyhur.”
ولو لم يكن للشيخ تقي الدين من المناقب إلا تلميذه الشهير الشيخ شمس الدين بن قيم الجوزية صاحب التصانيف النافعة السائرة التي انتفع بها الموافق والمخالف : لكان غاية في الدلالة على عظم منزلته ، فكيف وقد شهد له بالتقدم في العلوم ، والتميز في المنطوق والمفهوم أئمة عصره من الشافعية وغيرهم ، فضلاً عن الحنابلة ، فالذي يطلق عليه مع هذه الأشياء الكفر ، أو على من سمَّاه " شيخ الإسلام " : لا يلتفت إليه ، ولا يعوَّل في هذا المقام عليه ، بل يجب ردعه عن ذلك إلى أن يراجع الحق ، ويذعن للصواب ، والله يقول الحق ، وهو يهدي السبيل ، وحسبنا الله ، ونعم الوكيل
“Seandainya Asy-Syaikh Taqiyyuddin tidak memiliki keutamaan lain selain murid beliau yang masyhur Asy-Syaikh Syamsuddin Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, penulis kitab-kitab yang bermanfaat. Tulisan-tulisan tersebut telah memberikan manfaat bagi para ulama yang sepaham maupun yang berseberangan dengannya. Cukuplah ini sebagai bukti akan tingginya kedudukan Ibnu Taimiyyah. Kedalaman ilmu beliau terkhusus dalam bab Al-Manthuuq dan Al-Mafhuum[5] telah diakui oleh para imam Syafi’iyyah dan Hanabilah di zamannya. Oleh karena itu, kita tidak menoleh pada ocehan sebagian orang yang mengkafirkan beliau atau mencela orang yang memberikan gelar “Syaikhul Islam” pada beliau. Tidak sepantasnya mereka diberi kepercayaan dalam permasalahan ini. Bahkan wajib baginya untuk menarik kembali perkataan kotor yang telah diucapkannya dan wajib pula baginya untuk kembali pada kebenaran, lalu mengumumkan kekeliruannya demi kebenaran. Allah lah yang selalu benar dalam perkataannya dan Dia lah yang memberikan hidayah pada jalan yang lurus. Hasbunallah wani’mal wakiil.”

[Perkataan di atas selesai ditulis oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalanirahimahullah pada hari Jum’at, 9 Rabi’ul Awwal 835 H dengan dinukil oleh murid senior beliau Al-Hafidz As-Sakhawi[6] rahimahullah dalam kitab Al-Jawahir wad-Durar, 2/734-736]

Jika rekan-rekan Syi’ah ingin membaca pujian Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani yang lebih menyakitkan hati para pendengki beliau, silahkan baca yang ini,

Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullah juga berkata:
شيخنا وسيدنا وإمامنا فيما بيننا وبين الله تعالى ، شيخ التحقيق ، السالك بمن اتبعه أحسن طريق ، ذي الفضائل المتكاثرة ، والحجج القاهرة ، التي أقرت الأمم كافة أن هممها عن حصرها قاصرة ، ومتعنا الله بعلومه الفاخرة ونفعنا به في الدنيا والآخرة ، وهو الشيخ الإمام العالم الرباني والحبر البحر القطب النوراني ، إمام الأئمة ، بركة الأمة ، علامة العلماء ، وارث الأنبياء ، آخر المجتهدين ، أوحد علماء الدين ، شيخ الإسلام ، حجة الأعلام ، قدوة الأنام ، برهان المتعلمين ، قامع المبتدعين ، سيف المناظرين ، بحر العلوم ، كنز المستفيدين ، ترجمان القرآن ، أعجوبة الزمان ، فريد العصر والأوان ، تقي الدين ، إمام المسلمين ، حجة الله على العالمين ، اللاحق بالصالحين ، والمشبه بالماضين ، مفتي الفرق ، ناصر الحق ، علامة الهدى ، عمدة الحفاظ ، فارس المعاني والألفاظ ، ركن الشريعة ، ذو الفنون البديعة ، أبو العباس ابن تيمية
“Beliau adalah syaikh, sayyid dan imam kami yang menjadi (hujjah –pen-) antara kami dan Allah ta’ala. Seorang syaikh muhaqqiq, orang-orang yang mengikuti beliau berada di atas jalan yang terbaik. Beliau memiliki keutamaan yang sangat banyak dan berhujjah dengan dalil-dalil yang sangat kuat. Umat Islam seluruhnya telah bersepakat tentang keilmuan beliau yang sangat luas dan tidak bertepi. Allah telah melimpahkan karunia-Nya pada kami melalui ilmu beliau yang luas lagi bermanfaat di dunia dan akhirat.

Beliau adalah Asy-Syaikh Al-Imam Al-Alim Ar-Rabbani Al-Habr Al-Bahr Al-Quthb An-Nuuraani, imam para ulama dan sumber kebaikan bagi umat ini. Beliau adalah ulama yang sangat dalam ilmunya, pewaris para nabi, akhir para mujtahid, termasuk ulama yang langka, Syaikhul Islam, hujjah bagi para ulama, suri teladan bagi manusia, petunjuk bagi penuntut ilmu, pedang yang terhunus bagi mubtadi’ah dan para pendebat, lautan ilmu, perbendaharaan ilmu bagi para mustafiidiin, penafsir Al-Qur’an, keajaiban zaman, tidak ada yang semisal di zamannya, Taqiyyuddin, imam kaum muslimin, pembela kebenaran, pemberi petunjuk, pemimpin para huffadz, menguasai makna dan lafadz-lafadz (dalam syariat –pen-), rukun syariat, menguasai cabang-cabang ilmu secara mendalam, Abu Al-Abbas Ibnu Taimiyyah.” [Ad-Durar Al-Kaminah[7] hal. 186-187]

2. Al-Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata:
هو شيخنا ، وشيخ الإسلام ، وفريد العصر ، علماً ، ومعرفة ، وشجاعة ، وذكاء ، وتنويراً إلهيّاً ً، وكرماً ، ونصحاً للأمَّة ، وأمراً بالمعروف ، ونهياً عن المنكر ، سمع الحديث ، وأكثر بنفسه من طلبه وكتابته ، وخرج ، ونظر في الرجال ، والطبقات ، وحصَّل ما لم يحصله غيره . 

برَع في تفسير القرآن ، وغاص في دقيق معانيه
“Beliau adalah syaikh kami, Syaikhul Islam, termasuk ulama yang langka di zamannya dalam ilmu, ma’rifah, keberanian, kecerdasan, cahaya ilahi, kemuliaan, semangat beliau dalam memberikan nasehat pada umat dan dalam hal amar ma’ruf nahi munkar. Beliau lebih banyak mendengar daripada mencari dan menulis hadits, meneliti para perawi hadits dan thabaqat-nya. Beliau mendapatkan ilmu yang tidak didapatkan oleh orang-orang selain beliau. Beliau juga menguasai ilmu Tafsir Al-Qur’an dan mendalami makna-makna yang terkandung di dalamnya secara detail.”
وبرع في الحديث ، وحفِظه ، فقلَّ من يحفظ ما يحفظه من الحديث ، معزوّاً إلى أصوله وصحابته ، مع شدة استحضاره له وقت إقامة الدليل ، وفاق الناس في معرفة الفقه ، واختلاف المذاهب ، وفتاوى الصحابة والتابعين ، بحيث إنه إذا أفتى لم يلتزم بمذهب ، بل يقوم بما دليله عنده ، وأتقن العربيَّة أصولاً وفروعاً ، وتعليلاً واختلافاً ، ونظر في العقليات ، وعرف أقوال المتكلمين ، وَرَدَّ عليهم ، وَنبَّه على خطئهم ، وحذَّر منهم ، ونصر السنَّة بأوضح حجج وأبهر براهين ، وأُوذي في ذات اللّه من المخالفين ، وأُخيف في نصر السنَّة المحضة ، حتى أعلى الله مناره ، وجمع قلوب أهل التقوى على محبته والدعاء له ، وَكَبَتَ أعداءه ، وهدى به رجالاً من أهل الملل والنحل
“Beliau juga menguasai bidang hadits dan menghafalnya. Sedikit orang-orang yang bisa menghafal seperti hafalan hadits beliau yaitu dengan menyandarkannya langsung dalam kitab ushul serta para sahabat yang meriwayatkan. Beliau dapat menyampaikan apa yang beliau hafal kapan pun beliau mau, terutama ketika beliau sedang mengemukakan dalil. Beliau mengalahkan para ulama yang lain dalam pengetahuannya  tentang fiqih, perbedaan madzhab, fatwa-fatwa para sahabat dan tabi’in. Ketika berfatwa, beliau tidak terikat dengan salah satu madzhab, namun cenderung mengikuti dalil yang dipandang lebih kuat. Beliau juga menguasai bahasa Arab baik dalam ushul maupun furu’-nya, ta’lil dan ikhtilaf.

Beliau meneliti dalil-dalil aqliyyah, mengetahui perkataan para ahlul-kalam, membantah dan memperingatkan kekeliruan mereka. Beliau membela sunah dengan hujjah sangat jelas dan bukti-bukti yang kuat. Beliau sering disakiti dan diancam di jalan Allah oleh musuh-musuh dakwahnya disebabkan pembelaan beliau terhadap sunah yang murni. Oleh sebab itu, Allah meninggikan kedudukan beliau dan mengumpulkan hati orang-orang yang bertakwa untuk senantiasa mencintai dan mendoakan kebaikan bagi beliau[8], hingga jatuhlah musuh-musuh dakwah beliau. Bahkan sebagian pemeluk agama lain dan pengikut kelompok sesat mendapatkan hidayah melalui beliau.” [Dzail Thabaqaat Al-Hanabilah, 4/390]

3. Imam As-Suyuthi Asy-Syafi’i rahimahullah berkata:
ابن تيمية ، الشيخ ، الإمام ، العلامة ، الحافظ ، الناقد ، الفقيه ، المجتهد ، المفسر البارع ، شيخ الإسلام ، علَم الزهاد ، نادرة العصر ، تقي الدين أبو العباس أحمد المفتي شهاب الدين عبد الحليم بن الإمام المجتهد شيخ الإسلام مجد الدين عبد السلام بن عبد الله بن أبي القاسم الحراني 
“Ibnu Taimiyyah, Asy-Syaikh Al-Imam Al-Allamah Al-Hafidz An-Naqidh Al-Faqih Al-Mujtahid Al-Mufassir Al-Bari’, Syaikhul Islam, seorang alim yang zuhud, termasuk ulama yang langka di zamannya, Taqiyyuddin Abu Al-Abbas Ahmad Al-Mufti Syihabuddin Abdul Halim bin Al-Imam Al-Mujtahid Syaikhul Islam Majduddin Abdussalam bin Abdillah bin Abi Al-Qashim Al-Harrani.”
أحد الأعلام ، ولد في ربيع الأول سنة إحدى وستين وستمائة ، وسمع ابن أبي اليسر ، وابن عبد الدائم ، وعدّة . وعني بالحديث ، وخرَّج ، وانتقى ، وبرع في الرجال ، وعلل الحديث ، وفقهه ، وفي علوم الإسلام ، وعلم الكلام ، وغير ذلك .وكان من بحور العلم ، ومن الأذكياء المعدودين ، والزهاد ، والأفراد ، ألَّف ثلاثمائة مجلدة ، وامتحن وأوذي مراراً  .مات في العشرين من ذي القعدة سنة ثمان وعشرين وسبعمائة .
“Salah seorang ulama terkemuka yang dilahirkan pada bulan Rabi’ul Awwal tahun 661 H. Beliau mendengar (hadits –pen-) dari Ibnu Abill Yusr, Ibnu Abdi Ad-Daim dan para ulama yang lain. Beliau memberikan perhatian khusus dalam bidang hadits, meriwayatkan dan menyeleksinya. Beliau juga menghafal para perawi hadits, illat-illat-nya, kandungan fiqhnya, menguasai cabang-cabang ilmu Islam dan ilmu kalam. Beliau termasuk lautan ilmu, sangat cerdik, zuhud dan termasuk ulama yang langka. Beliau telah menulis 300 jilid kitab. Selain itu, beliau berkali-kali disakiti, diuji (dengan berbagai musibah yang menimpa –pen-) dan akhirnya beliau wafat pada tanggal 20 Dzulqa’dah 728 H.” [Thabaqaat Al-Huffadz hal. 516-517]

Selain mengkafirkan dan memvonis “munafik” Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyan, tokoh Syi’ah ini tidak berhenti berdusta. Ia juga menuduh Ibnu Taimiyyah membeci Nabi dan Ali bin Abi Thalib. Perhatikan ucapannya,

Tetapi yang mengenal siapa sebenarnya Ibnu Taimiyah dan bagaiamana kebusukan jiwanya terhadap Nabi dan keluarga beliau, khususnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak akan heran terhadapnya!”

Seorang muslim yang memiliki akal dan pikiran jernih lagi jauh dari sikapta’ashub, tentu tidak akan membenarkan ucapan tersebut walau sepatah kata pun.

Siapakah sebenarnya yang sangat membenci nabi dan keluarga beliau, terkhusus istri-istri nabi yang mulia. Bukankah Sy’iah??

Kenapa mereka malah berbalik menuduh Syaikhul Islam dengan tuduhan tersebut. Benar-benar tuduhan membabi buta yang tidak masuk akal. Sangat mudah menampilkan perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang berisi kecintaan dan penghormatan beliau kepada Nabi, keluarganya dan Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu secara khusus. Namun, penulis tidak ingin memperpanjang pembahasan ini.

Mudah-mudahan sedikit memberikan pencerahan pada para pembaca sekalian…wabillahittaufiiq Ditulis oleh Abul-Harits di Madinah, 15 Jumadil Ula 1434 H.


[1] Tokoh Syi’ah penyesat umat tersebut menamakan dirinya Abu Salafy.
Berikut beberapa bukti dan indikasi kuat bahwa ia beraqidah Syi’ah:
- Abu Salafy membela seorang ulama Syi’ah dalam perkataannya:
Tetapi yang mengenal siapa sebenarnya Ibnu Taimiyah dan bagaiamana kebusukan jiwanya terhadap Nabi dan keluarga beliau, khususnya Sayyidina Ali bin Abi Thalib tidak akan heran terhadapnya!
Sekali lagi kedengkian itu ia munculkan dalam bantahannya kepada seorang alim Syi’ah bernama al Hilli yang mengatakan bahwa perjuangan Ali sangat besar jasanya atas Islam.”
- Abu Salafy mencela habis-habisan kitab Minhajus Sunah karya Ibnu Taimiyyah, padahal kitab tersebut ditulis untuk membantah kesesatan kaum Syi’ah. Berikut nukilan ucapannya,
Karena itu, kita harus tegas mengatakan bahwa kitab Minhâj as Sunnah tidak mewakili jawaban Ahlusunnah atas Syi’ah. Ia hanya mewakili Ibnu Taimiyah dan kaum Nashibi lainnya!”
- Tidak hanya sampai di situ. Ia pun lancang mencela para sahabat yang lari dalam perang Uhud. Padahal Allah telah mengampuni para sahabat dan menerima taubat mereka. Masih saja ia mengungkit-ungkit kesalahan para sahabat. Diantara tuduhannya yang paling keji dan sekaligus menunjukkan jati dirinya bahwa ia adalah seorang Syi’ah adalah ucapannya,
Apakah Anda akan menuduh Allah SWT sebagai Syi’ah Rafidhah karena menyebutkan larinya para sahabat di parang Uhud itu?!”
Ahlussunnah manakah yang rela jika harga diri para sahabat nabi diinjak-injak?? Sadarlah wahai kaum muslimin janganlah kita tertipu oleh nukilan-nukilannya yang penuh kedustaan.
Lalu kedustaan berikutnya lebih parah dari sebelumnya.  Adakah seorang muslim yang rela jika Allah Yang Maha Agung  diserupakan dengan Syi’ah Rafidhah??? Allahulmusta’aan
[Sumber: http://abusalafy.wordpress.com/2013/01/14/ibnu-taimiyah-syaikhyul-islam-atau-syaikhun-nifaq-7/]
[2] Bahkan Ibnu Taimiyyah adalah “Syaikhul Islam”-nya Al-Hafidz Ibnu Hajar, Imam Adz-Dzahabi dan  Imam As-Suyuthi, meskipun Abu Salafy dan pengekornya merasa muak dengan gelar tersebut.
[3] Aqidah Tajsim adalah keyakinan sesat yang menyatakan bahwa Allah memiliki bentuk tubuh seperti makhluk. Ternyata Al-Hafidz Ibnu Hajar membela Ibnu Taimiyyah dari tuduhan aqidah tajsim, sebagaimana tuduhan yang sering digembar-gemborkan oleh Abu Salafy
[4] Hululiyyah adalah keyakinan sesat yang menyatakan bahwa Allah menyatu dengan hamba-Nya
[5] Al-Manthuuq dan Al-Mafhuum termasuk dalam pembahasan ilmu Ushul Fiqh, artinya kedalaman ilmu Ibnu Taimiyyah dalam ilmu ushul tidak diragukan lagi.
[6] Diantara tulisan Al-Hafidz As-Sakhawi rahimahullah yang masyhur dalam bidang ulumul hadits adalah kitab Fathul Mughits Syarh Alfiyyatil Hadits
[7] Yang aneh dan cenderung terlalu dipaksakan, Abu Salafy  menukilkan perkataan Al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitab yang sama untuk melecehkan Ibnu Taimiyyah.
Abu Salafy berkata:
“Ibnu Hajar berkata dalam kitab ad Durar al Kâminah,1/153 dan seterusnya:
ومنهم من ينسبه إلى النفاق ، لقوله في علي ما تقدّم ـ أي قضيّة أنّه أخطأ في سبعة عشر شيئاً ـ
ولقوله : إنّه ـ أي علي ـ كان مخذولاً حيثما توجّه ، وأنّه حاول الخلافة مراراً فلم ينلها ، وإنّما قاتل للرئاسة لا للديانة ،
ولقوله : إنّه كان يحبّ الرئاسة ، ولقوله : أسلم أبوبكر شيخاً يدري ما يقول ، وعلي أسلم صبيّاً ، والصبي لا يصحّ إسلامه ، وبكلامه في قصّة خطبة بنت أبي جهل ، وأنّ عليّاً مات وما نسيها . فإنّه شنّع في ذلك ، فألزموه بالنفاق ، لقوله صلّى الله عليه وسلّم : ولا يبغضك إلاّ منافق.
“Di antara ada yang menggolongkannya sebagai orang munafik, sebab ucapannya tentang Ali seperti telah lewat (di antaranya yaitu bahwa Ali, ia salah dalam tujuh belas kasus, di mana Ali menentang nash al Qur’an, dan dikarenakan ucapannya bahwa Ali selalu terhina (tidak ditolong Allah) ke mana pun ia menuju. Dan beliau berulang kali berusaha merebut kekhalifahan namun ia tidak berhasil. Ali berperang hanya karena ingin berkuasa bukan demi agama!, dan dikarenakan ucapannya bahwa Ali gila kekuasaan, dan dikarenakan ucapannya bahwa Abu Bakar memeluk Islam di usia tua mengerti apa yang ia ucapkan semantara Ali memeluk Islam di usia kanak-kanak, dan anak kecil tidak sah islamnya,
dan dikarenakan ucapannya bahwa tentang kisah (niatan perkawinan Ali denga putrid Abu Jahl, dan sesungguhnya Ali tidak mampu melupakannya hingga ia mati, ia mengolok-oloknya dalam masalah itu.
Maka para ulama menvonisnya sebagai munafiq berdasarkan sabda Nabi saw. (kepada Ali), ‘Tidak membencimu melainkan orang munafiq.’”.

Mana celaan Al-Hafidz Ibnu Hajar kepada Ibnu Taimiyyah?? Tidak ada sepatah kata pun dari perkataan Ibnu Hajar yang secara tegas menunjukkan bahwa ia sedang mengkritik Ibnu Taimiyyah, apalagi mengkafirkan dan memvonis munafik !! 


Apakah mungkin di satu tempat dalam kitab Ad-Durarul Kaminah, Al-Hafidz Ibnu Hajar memberikan pujian yang sangat istimewa sementara di tempat yang lain dalam kitab yang sama, beliau mengkafirkan Ibnu Taimiyyah. Jadi, siapa sebenarnya yang plin-plan dalam menukil, Al-Hafidz Ibnu Hajar atau Abu Salafy Ar-Rafidhi??


[8] Kira-kira menurut Imam Adz-Dzahabi, oknum yang suka mengkafirkan dan melaknat Ibnu Taimiyyah termasuk orang-orang yang bertakwa bukan ya??
 Abul-Harits