Friday, March 13, 2015

Yunahar Ilyas: Jangan Menganggap Enteng Masalah Syiah, Kalau Tidak Mau Menyesal


alBalaghMedia.com-- Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. H. Yunahar Ilyas mengatakan bahwa pemberontakan Syiah Hautsi yang terjadi di Yaman tak bisa dilepaskan dari Iran.

Menurutnya, pemberontakan Syiah Hautsi di Yaman harus menjadi pelajaran bagi umat Islam Indonesia agar tidak menganggap enteng masalah Syiah. (Baca juga:
 Terungkap, Syiah Berencana Melakukan Kudeta di Indonesia di Tahun 2020)

“Karena Iran sudah ikut campur, karena sudah dipengaruhi oleh Syiah Imamiyah Itsna Asy’ariyah dari Iran, mereka (Syiah Hautsi) akhirnya memberontak,” kata Yunahar di Jakarta, Selasa (03/03).

Tokoh yang juga menjabat sebagai Ketua Bidang Pengkajian dan Penelitian Majelis Ulama Indonesia Pusat (MUI) ini menambahkan awalnya kehidupan beragama di Yaman berlangsung tertib.

Namun pengaruh Syiah Iran yang memiliki paham Imamiyah sebagian acuan politiknya, merusak kedamaian di negara yang terletak di kawasan Teluk Arab itu.

“Itu satu pelajaran bagi kita jangan menganggap enteng masalah Syiah, kalau tidak mau menyesal nanti” tegasnya. (Baca Juga:
 Menteri Agama Minta Maaf Usai Dengar Nasehat Ulama)

“Syiah kalau sedikit mereka baik-baik, tapi kalau agak kuat sedikit mereka unjuk taring,” imbuhnya.

Kelompok pemberontak Syiah Hautsi melakukan kudeta di Yaman sejak September 2014 menduduki ibukota Sanaa. Pendudukan pemberontak Syiah Hautsi memaksa presiden Abd Rabbuh Mansour Hadi mengundurkan diri dan membubarkan pemerintahannya. [kiblat.net]


Hakikat Yang Terlupakan Dari Imam Asy-Syafi'i Dan Kesamaan Aqidah Imam Empat

Oleh
Syaikh Dr Muhammad bin Musa Al-Nashr
Imam Asy-Syafi’i adalah seorang ulama besar dan salah satu dari empat imam besar, yang ilmunya telah tersebar di penjuru dunia, serta jutaan kaum muslimin di negara-negara Islam, seperti Iraq, Hijaz, Negeri Syam, Mesir, Yaman dan Indonesia bermadzhab dengan madzhabnya.
Faktor yang menyebabkan saya memilih pembahasan ini, karena mayoritas kaum muslimin di negeri ini atau di negara ini berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan hanya sedikit dari mereka yang berada di atas madzhab Asy-Syafi’i dalam masalah ushul. Ironisnya ini menjadi fenomena.

Kita mendapati sejumlah orang mengaku bermadzhab Imam Malik dalam masalah furu’, namun tidak memahami dari madzhab beliau kecuali tidak bersedekap dalam shalat. Mereka menyelisihi aqidah Imam Malik yang Sunni dan Salafi.

Juga kita mendapati selain mereka mengaku berada di atas madzhab Imam Asy-Syafi’i dalam masalah furu’, dan tidak memahami dari madzhabnya kecuali masalah menyentuh wanita membatalkan wudhu. Dan, seandainya isterinya menyentuh walaupun tidak sengaja, maka ia sangat marah sembari berteriak : “Sungguh kamu telah membatalkan wudhu’ ku, wahai perempuan !”. Apabila ditanya, tentang siapakah Imam Asy-Syafi’i tersebut, siapa namanya dan nama bapaknya, niscaya sebagian mereka tidak dapat memberikan jawaban kepadamu, dan ia tidak mengenal tokoh tersebut ; dalam masalah aqidah, ia menyelisihi aqidah Imam Asy-Syafi’i, dan dalam masalah furu’ ia tidak mengerti dari madzhab beliau kecuali sangat sedikit.

Demikian juga, jika engkau mendatangi banyak dari pengikut madzhab Hanabilah kecuali yang tinggal di menetyap di Jazirah Arab dan sekitarnya dari orang yang terpengaruh oleh dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab, seorang mujaddid (pembaharu) abad ke -12 Hijriyah. Kita mendapati, kebanyakan dari pengikut madzhab Ahmad di negeri Syam dan yang lainnya, mereka tidak mengetahui Aqidah Ahmad bin Hambal, sehingga engkau mendapati mereka dalam aqidahnya berada di atas madzhab Asy’ariyah atau Mufawwidhah. Padahal Imam Ahmad bin Hambal adalah seorang Salafi dan imam Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Beliau menetapkan nama dan sifat bagi Allah tanpa takyif, tamtsil dn tasybih.

Demikian juga pengikut madzhab Hanafiyah yang tinggal di wilayah India, negara-negara a’jam, Turki, Asia Timur, dan negara-negara Kaukasus serta lainnya. Kita mendapati mereka berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah furu’, namun mereka tidak berada di atas madzhab Imam Abu Hanifah dalam masalah ushul. Mereka tidak beragama dengan aqidah imam besar ini dalam permasalahan tauhid, nama dan sifat Allah.

Empat Imam besar ini (aimmat al-arba’ah) tidak berbeda dalam masalah aqidah, tauhid dan ushul kecuali sedikit yang Abu Hanifah tergelincir padanya. Yaitu dalam masalah iman, tetapi kemudian beliau rujuk dan kembali kepada ajaran yang difahami para imam lainnya, seperti Asy-Syafi’i, Malik dan Ahmad bin Hanbal

[Diangkat dari ceramah Syaikh Muhammad bin Musa Al-Nashr, dalam pengantar pelajaran Aqidah Imam Syafi’i, yang disampaikan dalam “Daurah Syar’iyah Lil Masa’il Al-Aqdiyah wal Manhajiyah”, pada hari Kamis 7 Februari 2008M yang diadakan oleh Ma’had Aaliy Ali bin Abi Thalib bekerja sama dengan Markaz Al-Albani, Yordania]

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun XII/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Almat Jl. Solo – Purwodadi Km. 8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183. telp. 0271-5891016]

Aqidah Imam Empat

Oleh
Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
“Bagilah masjid-masjid antara kami dengan Hanafiyah [1] karena Si Fulan, salah seorang ahli fiqih mereka, menganggap kami sebagai ahli dzimmah! [2]” Usulan ini disampaikan oleh beberapa tokoh Syafi’iyyah[3] kepada mufti Syam pada akhir abad 13 Hijriyah.

Selain itu, banyak ahli fiqih Hanafiyah memfatwakan batalnya shalat seorang Hanafi di belakang imam seorang Syafi’i. Demikian juga sebaliknya, sebagian ahli fiqih Syafi’iyah memfatwakan batalnya shalat seorang Syafi’i di belakang imam seorang Hanafi.

Ini di antara contoh sekian banyak kasus fanatisme madzhab yang menyebabkan perselisihan dan perpecahan umat Islam [4]. Realita yang amat disayangkan, bahkan dilarang di dalam agama Islam. Allah Azza wa Jalla berfirman:

وَاعْتَصِمُوا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيعًا وَلاَ تَفَرَّقُوا وَاذْكُرُوا نِعْمَتَ اللهِ عَلَيْكُمْ إِذْ كُنتُمْ أَعْدَآءً فَأَلَّفَ بَيْنَ قُلُوبِكُمْ فَأَصْبَحْتُم بِنِعْمَتِهِ إِخْوَانًا

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang yang bersaudara. [Ali ‘Imran/3 : 103].

Mengapa orang-orang yang mengaku sebagi para pengikut Imam Empat itu saling bermusuhan? Apakah mereka memiliki aqidah yang berbeda? Bagaimana dengan aqidah Imam Empat?

Benar, ternyata banyak di antara para pengikut Imam Empat memiliki aqidah yang menyimpang dari aqidah imam mereka. Walaupun secara fiqih mereka mengaku mengikuti imam panutannya. Banyak di antara para pengikut itu memiliki aqidah Asy’ariyah atau Maturidiyah atau Shufiyah atau lainnya, aqidah-aqidah yang menyelisihi aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Padahal imam-imam mereka memiliki aqidah yang sama, yakni aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah, aqidah Ahli Hadits.

IMAM EMPAT
Istilah Imam Empat yang digunakan umat Islam pada zaman ini, mereka ialah:
1. Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit rahimahullah, dari Kufah, Irak (hidup th 80 H – 150 H).
2. Imam Malik bin Anas rahimahullah, dari Madinah (hidup th 93 H – 179 H)
3. Imam Syafi’i Muhammad bin Idris rahimahullah, lahir di Ghazza, ‘Asqalan, kemudian pindah ke Mekkah. Beliau bersafar ke Madinah, Yaman dan Irak, lalu menetap dan wafat di Mesir (hidup th 150 H – 204 H).
4. Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah dari Baghdad, ‘Irak (hidup th 164 H – 241 H).

Empat ulama ini sangat masyhur di kalangan umat Islam. Kepada empat imam inilah, empat madzhab fiqih dinisbatkan.

AQIDAH IMAM EMPAT
Siapapun yang meneliti aqidah para ulama Salafush Shalih, maka ia akan mendapatkan bahwa aqidah mereka adalah satu, jalan mereka juga satu. Para ulama Salafush Shalih tidak berpaling dari nash-nash Al Kitab dan Sunnah, dan tidak menentangnya dengan akal, perasaan, atau perkataan manusia.

Mereka mempunyai pandangan yang jernih, bahwa aqidah itu tidak diambil dari seorang ‘alim tertentu, bagaimanapun tinggi kedudukannya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Adapun i’tiqad (aqidah, keyakinan), maka tidaklah diambil dariku, atau dari orang yang dia lebih besar dariku. Tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, dan keyakinan yang disepakati oleh salaful ummah (umat Islam yang telah lalu, para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam). Maka apa yang ada di dalam Al Qur’an wajib diyakini. Demikian juga yang hadits-hadits yang shahih telah pasti, seperti Shahih Bukhari dan Shahih Muslim” [5]. Imam Al Ashfahani rahimahullah berkata: “Seandainya engkau meneliti seluruh kitab-kitab mereka (Ahlu Sunnah) yang telah ditulis, dari awal mereka sampai yang akhir mereka, yang dahulu dari mereka dan yang sekarang dari mereka, dengan perbedaan kota dan zaman mereka, dan jauhnya negeri-negeri mereka, masing-masing tinggal di suatu daerah dari daerah-daerah (Islam); engkau dapati mereka dalam menjelaskan aqidah di atas jalan yang satu, bentuk yang satu. Pendapat mereka dalam hal itu (aqidah) satu. Penukilan mereka satu. Engkau tidak melihat perselisihan dan perbedaan pada suatu masalah tertentu, walaupun sedikit. Bahkan seandainya engkau kumpulkan seluruh apa yang lewat pada lidah mereka dan apa yang mereka nukilkan dari Salaf (orang-orang dahulu) mereka, engkau mendapatinya seolah-olah itu datang dari satu hati dan melalui satu lidah”. [6]

Termasuk Imam Empat, mereka berada di atas satu aqidah. Para ulama terkenal dari berbagai madzhab telah menulis aqidah Imam Empat ini, dan mereka semua memiliki aqidah yang sama.

Secara terperinci, aqidah Imam Empat ini antara lain dapat dilihat di dalam kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari, dosen aqidah Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud Qashim dan kitab Mujmal I’tiqad Aimmatis Salaf, karya Dr. Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki, Rektor Universitas Imam Muhammad bin Sa’ud.

IMAM ABU HANIFAH
Imam Abu Hanifah rahimahullah berkata: “Aku berpegang kepada kitab Allah. Kemudian yang tidak aku dapatkan (di dalam kitab Allah, aku berpegang) kepada Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika aku tidak mendapatkannya di dalam kitab Allah dan Sunnah Rasulullah, aku berpegang kepada perkataan-perkataan para sahabat Beliau. Aku akan berpegang kepada perkataan orang yang aku kehendaki, dan aku tinggalkan perkataan orang yang aku kehendaki di antara mereka. Dan aku tidak akan meninggalkan perkataan mereka (dan) mengambil perkataan selain (dari) mereka”. [Riwayat Ibnu Ma’in di dalam Tarikh-nya, no. 4219. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36, karya ‘Amr Abdul Mun’im Salim].

Imam Abu Ja’far Ath Thahawi (wafat 321 H), salah seorang ulama Hanafiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, yang kemudian terkenal dengan nama “Aqidah Ath Thahawiyah”. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ini peringatan dan penjelasan aqidah Ahlis Sunnah wal Jama’ah di atas jalan ahli fiqih-ahli fiqih agama: Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit Al Kufi, Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al Anshari, Abu Abdillah Muhammad bin Al Hasan Asy Syaibani, dan yang mereka yakini, berupa ushuluddin (pokok-pokok agama), dan cara beragamanya mereka (dengannya) kepada Rabbul ‘Alamin”. [Kitab Aqidah Ath Thahawiyah]

As Subki rahimahullah memberikan komentar terhadap “Aqidah Ath Thahawiyah” dengan perkataan : “Madzhab yang empat ini –segala puji hanya bagi Allah- satu dalam aqidah, kecuali di antara mereka yang mengikuti orang-orang Mu’tazilah dan orang-orang yang menganggap Allah berjisim [7], Namun mayoritas (pengikut) madzhab empat ini, berada di atas al haq. Mereka mengakui aqidah Abu Ja’far Ath Thahawi yang telah diterima secara utuh oleh para ulama dahulu dan generasi berikutnya”. [Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 28, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari].

Penerimaan para ulama terhadap Aqidah Ath Thahawiyah adalah secara umum. Karena ada beberapa perkara yang perlu dikoreksi, sebagaimana hal itu telah dilakukan oleh pensyarah (pemberi penjelasan) Aqidah Ath Thahawiyah, (yaitu) Imam Ibnu Abil ‘Izzi Al Hanafi. Demikian juga oleh para ulama belakangan, seperti Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz dalam ta’liq (komentar) beliau, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani dalam syarah dan ta’liq beliau, dan Syaikh Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais di dalam Syarh Al ‘Aqidah Ath Thahawiyah Al Muyassar. Namun secara umum, para ulama menerima kebenaran aqidah tersebut.

IMAM MALIK BIN ANAS
Imam Malik bin Anas rahimahullah dikenal sebagai ulama yang tegas dalam menyikapi bid’ah. Di antara perkataan beliau yang masyhur ialah: “Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam (dan) ia menganggapnya sebagai kebaikan, maka ia telah menyangka bahwa (Nabi) Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah. Karena Allah Ta’ala berfirman:

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ اْلإِسْلاَمَ دِينًا

Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agamamu. [Al Maidah:3]

Maka apa-apa yang pada hari itu bukan agama, pada hari ini pun tidak menjadi agama”. [8]

Imam Ibnu Abi Zaid Al Qairawani rahimahullah, (wafat 386 H), salah seorang ulama Malikiyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah, dan berisi aqidah Ahlu Sunnah, sama dengan aqidah ulama lainnya.

IMAM ASY SYAFI’I
Imam Syafi’i rahimahullah  berkata: “Selama ada Al Kitab dan As Sunnah, maka (semua) alasan tertolak atas siapa saja yang telah mendengarnya, kecuali dengan mengikuti keduanya. Jika hal itu tidak ada, kita kembali kepada perkataan-perkataan para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam , atau salah satu dari mereka”. [Riwayat Baihaqi di dalam Al Madkhal Ilas Sunan Al Kubra, no. 35. Dinukil dari Manhaj As Salafi ‘Inda Syaikh Nashiruddin Al Albani, hlm. 36].

Dan telah masyhur perkataan Imam Syafi’i rahimahullah : “Aku beriman kepada Allah dan kepada apa yang datang dari Allah (yakni Al Qur’an, Pen), sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Aku beriman kepada utusan Allah dan kepada apa yang datang dari utusan Allah (yakni Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, -pen), sesuai dengan yang dikehendaki utusan Allah” [9]. Imam Abu Bakar Al Isma’ili Al Jurjani rahimahullah, (wafat 371 H), salah seorang ulama Syafi’iyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah. Beliau membukanya dengan perkataan: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepada kami dan kalian, bahwa jalan Ahli Hadits, Ahli Sunnah wal Jama’ah, ialah mengakui kepada Allah, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya, rasul-rasulNya, dan menerima apa yang dikatakan oleh kitab Allah Ta’ala, dan apa yang telah shahih riwayatnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam” [10].

IMAM AHMAD BIN HANBAL
Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Pokok-pokok Sunnah menurut kami ialah, berpegang kepada apa yang para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di atasnya, dan meneladani mereka … “ [Riwayat Al Lalikai]

Imam Abu Muhammad Al Hasan bin ‘Ali bin Khalaf Al Barbahari rahimahullah (wafat 329 H), salah seorang ulama Hanbaliyah, menulis sebuah risalah tentang aqidah; aqidah Ahli Sunnah wal Jama’ah, yang bernama Syarhus Sunnah. Di antara yang beliau katakan di awal kitab ini ialah: “Ketahuilah, semoga Allah memberikan rahmat kepadamu. Bahwa agama hanyalah yang datang dari Allah Tabaraka wa Ta’ala (Yang Banyak Memberi Berkah dan Maha Tinggi), tidak diletakkan pada akal-akal manusia dan fikiran-fikiran mereka. Dan ilmunya (agama) di sisi Allah dan di sisi RasulNya. Maka janganlah engkau mengikuti sesuatu dengan hawa-nafsumu, sehingga engkau akan lepas dari agama dan keluar dari Islam. Sesungguhnya tidak ada argumen bagimu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan Sunnah (ajaran agama/aqidah) kepada umatnya, telah menerangkannya kepada para sahabat Beliau, dan mereka adalah Al Jama’ah. Mereka adalah As Sawadul A’zham (golongan mayoritas). Dan As Sawadul A’zham (yang dimaksudkan) adalah al haq dan pengikutnya. Barangsiapa menyelisihi para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam sesuatu dari urusan agama, (maka) dia telah kafir”.[11]

KESALAHAN YANG WAJIB DILURUSKAN
Ada beberapa kesalahan yang harus dibenarkan seputar kesatuan aqidah para ulama. Di antaranya:

1. Anggapan bahwa beragamnya madzhab (pendapat yang diikuti) dalam masalah fiqih, berarti beragamnya aqidah para imam.

Anggapan ini batil, sebagaimana telah kami sampaikan tentang kesatuan aqidah para ulama Ahlu Sunnah. Nampaknya, anggapan ini sudah ada semenjak lama. Pada zaman Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, beliau menampakkan aqidah Salafiyah Ahli Sunnah wal Jama’ah, (tetapi) beliau dituduh menyebarkan aqidah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah. Kemudian beliau menjawab: “Ini adalah aqidah seluruh imam-imam dan Salaf (para pendahulu) umat ini, yang mereka mengambilnya dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ini adalah aqidah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam“. Lihat Munazharah Aqidah Al Wasithiyah.

2. Anggapan bahwa perbedaan Ahlu Sunnah dengan firqah Syi’ah dan semacamnya dari kalangan Ahli Bid’ah, seperti perbedaan di antara madzhab empat.

Bahkan saat sekarang ini, di negara Mesir muncul lembaga yang disebut Darut Taqrib, dengan semboyan mendekatkan antara Madzhab Enam. Yaitu madzhab Hanafiyah, madzhab Malikiyah, madzhab Syafi’iyah, madzhab Hanbaliyah, madzhab (Syi’ah) Zaidiyah, dan madzhab (Syi’ah) Al Itsna ‘Asyariyah. Lembaga ini menganggap, bahwa madzhab empat yang beraqidah Ahlu Sunnah, sama seperti Syi’ah yang sesat. Padahal telah kita ketahui, sebagaimana kami sampaikan di atas, bahwa aqidah seluruh imam itu satu, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah. Adapun Syi’ah, Rafidhah, maka para ulama telah sepakat bahwa mereka adalah ahli bid’ah.

Setelah kita mengetahui bahwa aqidah Imam Empat sama, yaitu aqidah Ahlu Sunnah wal Jama’ah, bukan aqidah Asy’ariyah, bukan pula aqidah Maturidiyah, maka sepantasnya orang-orang yang menyatakan mengikuti imam-imam tersebut dalam masalah fiqih, juga mengikuti imam mereka dalam masalah aqidah. Dengan begitu mereka akan bersatu di atas al haq. Wallahul Musta’an.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 03/Tahun X/1427H/2006M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondanrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Footnote
[1]. Hanafiyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Abu Hanifah rahimahullah
[2]. Ahli dzimmah, ialah orang kafir yang menjadi warga negara di bawah kekuasaan negara Islam
[3]. Syafi’iyyah, ialah orang-orang yang mengikuti madzhab Imam Syafi’i rahimahullah
[4]. Lihat Tarikh Fiqih Islami, hlm. 171-176, karya Dr. Umar Sulaiman Al Asyqar.
[5]. Lihat Majmu’ Fatawa (3/161).
[6]. Lihat Al Hujjah Fi Bayanil Mahajjah (2/224-225). Dinukil dari kitab Ushuluddin ‘Inda Aimmatil Arba’ah Wahidah, hlm. 73, karya Dr. Nashir bin ‘Abdillah Al Qifari.
[7]. Yakni menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhluk, Pen
[8]. Al I’tisham (1/64), karya Asy Syatibi.
[9]. Majmu’ Fatawa (4/2).
[10]. I’tiqad Aimmatil Hadits Lil Imam Abi Bakar Al Isma’ili , hlm. 49, karya, tahqiq: Dr. Muhammad bin Abdurrahman Al Khumais.
[11]. Syarhus Sunnah, hlm. 68, no. 5, karya Imam Al Barbahari, tahqiq Abu Yasir Khalid bin Qasim Ar Radadi.

Kesamaan Aqidah Imam Empat

Oleh
Syaikh Dr. Muhammad Abdurrahman Al-Khumais
Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam. Syaikhul Islam Imam Ibnu Taimiyyah menuturkan, “… Namun rahmat Allah kepada hamba-Nya menghendaki, bahwa para imam yang menjadi panutan umat, seperti imam madzhab empat dan lain-lain, mereka mengingkari para ahli kalam seperti kelompok Jahmiyyah dalam masalah Al-Qur’an, dan tentang beriman kepada sifat-sifat Allah.

Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.[1]

Imam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan, para imam yang masyhur itu juga menetapkan tentang adanya sifat-sifat Allah. Mereka mengatakan bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk. Dan bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat. Inilah madzhab para Sahabat dan Tabi’in, baik yang termasuk Ahlul Bait dan yang lain. Dan ini juga madzhab para imam yang banyak penganutnya, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Laits bin Sa’ad, Imam Al-Auza’i, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’i, dan Ahmad.[2]

Imam Ibnu Taimiyyah pernah ditanya tentang aqidah Imam Syafi’i. Jawab beliau, “Aqidah Imam Syafi’i dan aqidah para ulama Salaf seperti Imam Malik, Imam Ats-Tsauri, Imam Al-Auza’i, Imam Ibnu Al-Mubarak, Imam Ahmad bin Hambal, dan Imam Ishaq bin Rahawaih adalah seperti aqidah para imam panutan umat yang lain, seperti Imam Al-Fudhal bin ‘Iyadh, Imam Abu Sulaiman Ad-Darani, Sahl bin Abdullah At-Tusturi, dan lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat dalam Ushuluddin (masalah aqidah). Begitu pula Imam Abu Hanifah, aqidah tetap beliau dalam masalah tauhid, qadar dan sebagainya adalah sama dengan aqidah para imam tersebut di atas. Dan aqidah para imam itu adalah sama dengan aqidah para sahabat dan tabi’in, yaitu sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah. [3]

Aqidah inilah yang dipilih oleh Al-Allamah Shidiq Hasan Khan, dimana beliau berkata : “ Madzhab kami adalaha mazhab ulama Salaf, yaitu menetapkan adanya sifat-sifat Allah tanpa menyerupakan-Nya dengan sifat makhluk dan menjadikan Allah dari sifat-sifat kekurangan, tanpa ta’thil (meniadakannya makna dari ayat-ayat yang berkaitan dengan sifat-sifat Allah). Mazdhab tersebut adalah madzhab imam-imam dalam Islam, seperti Imam Malik bin Anas, Imam Syafi’i, Imam Ats-Tsauri, Imam Ibnu Al Mubarak, Imam Ahmad dan, lain-lain. Mereka tidak berbeda pendapat mengenai ushuludin. Begitu pula Imam Abu Hanifah, beliau sama aqidahnya dengan para imam diatas, yaitu aqidah yang sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan As-Sunnah.”[4]

[Disalin dari kitab I'tiqad Al-A'immah Al-Arba'ah edisi Indonesia Aqidah Imam Empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi'i, Ahmad) oleh Dr. Muhammad Abdurarahman Al-Khumais, Penerbit Kantor Atase Agama Kedutaan Besar Saudi Arabia Di Jakarta]
__________
Footnotes
[1]. Kitab Al-Iman, hal. 350-351, Dar ath-Thiba’ah al-Muhammadiyyah, Ta’liq Muhammad
[2]. Manhaj As-Sunah, II/106
[3]. Majmu’al-Fatawa, V/256
[4]. Qathf Ats-tsamar, hal. 47-48



WAJIBKAH BERPEGANG PADA SALAH SATU MADZHAB?

Dr Wahbah AzZuhaili dalam bukunya Ar Rukhas Asy Syar’iyyahmeletakkan satu judul: “Adakah beriltizam dengan mazhab tertentu perkara yang dituntut syarak?” Beliau menyebut tiga pendapat. Namun beliau telah mentarjihkan (memilih) pendapat yang menyatakan tidak wajib.
Kata beliau, “Kata jumhur ulama: Tidak wajib bertaklid kepada imam tertentu dalam semua masalah atau kejadian yang terjadi. Bahkan boleh untuk seseorang bertaklid kepada mujtahid manapun yang dia mau. Jika dia beriltizam (berkomitmen, berpegang teguh) dengan mazhab tertentu, seperti mazhab Abu Hanifah, atau Asy Syafi’i atau selainnya, maka tidak wajib dia memegangnya terus-menerus. Bahkan boleh untuk dia berpindah-pindah mazhab. Ini karena tiada yang wajib melainkan apa yang diwajibkan Allah dan Rasul-Nya. Allah dan Rasul-Nya tidak pula mewajibkan seseorang bermazhab dengan mazhab imam tertentu. Hanya yang Allah wajibkan ialah mengikut ulama, tanpa dibatasi hanya tokoh tertentu, dan bukan yang lain.
Firman Allah: “Maka bertanyalah kamu kepada Ahl al-Zikr jika kamu tidak mengetahui. “
Ini kerana mereka yang bertanya fatwa pada zaman sahabat dan tabi’in tidak terikat dengan mazhab tertentu. Bahkan mereka bertanya kepada siapa saja yang mampu tanpa terikat dengan hanya seorang saja. Maka ini adalah ijmak (kesepakatan) dari mereka baawa tidak wajib mengikut hanya seseorang imam, atau mengikut mazhab tertentu dalam semua masalah.
Katanya lagi: “Kemudian, pendapat yang mewajibkan beriltizam dengan mazhab tertentu membawa kepada kesusahan dan kesempitan, sedangkan mazhab adalah nikmat, kelebihan dan rahmat. Inilah pendapat yang paling kukuh di sisi ulama Ushul al Fiqh…Maka jelas dari pendapat ini, bahwa yang paling shahih dan rajih di sisi ulama Usul al-Fiqh adalah tidak wajib beriltizam dengan mazhab tertentu. Boleh menyelisihi imam mazhab yang dipegang dan mengambil pendapat imam yang lain. Ini karena beriltizam dengan mazhab bukan suatu kewajipan –seperti yang dijelaskan-. Berdasarkan ini, maka pada asasnya tidak menjadi halangan sama sekali pada zaman ini untuk memilih hukum-hakam yang telah ditetapkan oleh mazhab-mazhab yang berbeda tanpa terikat dengan keseluruhan mazhab atau pendetailannya”. (silakan merujuk: Al-Zuhaili, Dr Wahbah, al-Rukhas al-Syar’iyyah, halaman 17-19, Beirut: Dar al-Khair).

Sikap Panglima Shalāhuddin Al-Ayyubi Terhadap Syiah

                                                 

Syiah membenci panglima Islam pembebas AL Aqsha ini karena Shalahuddin dianggap melenyapkan Daulah Fathimiyah di Mesir  


Oleh: Mahmud Budi Setiawan, Lc

SEBAGIAN orang mengenal namanya Shalahuddin Al-Ayyubi. Bahasa Kurdish disebut Silhedine Eyubi. Bahasa Parsina Selahuddin Eyyubi. Lahir pada 1137 atau 1138 Hijrah di Kurdi (Iraq), Shalahuddil al Ayyubi dikenal seorang anak bangsawan di mana ayahnya, Najm ad-Din Ayyub adalah seorang gubernur atau penguasa di wilayah Baalbeak. Ia mendapat latihan kemiliteran dari pamannya Asad ad-din Shirkuh, seorang panglima perang kepada Nur al-Din
sebagai Pembebas al-Quds, Palestina, dari cengkraman Pasukan Salib. Padahal, masih banyak sisi menarik yang bisa diulas dari sosok kelahiran Kurdi tersebut.  [Baca: Shalahuddin: Sang Pembebas al-Quds (1)] dan [Shalahuddin: Sang Pembebas al-Quds (2)]

Salah satu contoh -tanpa mengurangi prestasi yang lain-, ia juga dikenal sebagai salah satu tokoh penting dalam pembebasan Mesir dari Daulah tirani Syiah Fathimiah (909–1171M).

Dalam sejarah (baca: Siyaru A`lām al-Nubalā`, karya Ad-Dzahabi, juz. 21, hal. 279) disebutkan bahwa ia bersama pamannya, Asad ad-Dīn Shīrkūh, diutus Nuruddin Mahmud Zanki untuk membersihkan Mesir dari hegemoni Syiah Fathimiyah. Melalui peristiwa tersebut, pada tulisan ini akan dipaparkan secara ringkas bagaimana sikap Shalahuddin Al-Ayyubi terhadap Syiah.

Sebagai pijakan pada masalah ini, terlebih dahulu diceritakan secara kronologis peristiwa pra-pembebasan Mesir. Sebelum menguasai Mesir, daulah Fathimiyah (Ubaidiyah) sudah berkuasa di daerah Maghrib (sekarang Maroko, Tunisia, Libya). Selama berkuasa, mereka melakukan tindakan-tindakan yang sangat meresahkan. Di antaranya: sikap ghuluw (berlebihan) para da`i terhadap Ubaidillah al-Mahdi (yang dianggap Nabi, bahkan Tuhan), berlaku dzalim terhadap orang Sunni, mengeksekusi setiap yang bersebrangan dengan pendapatnya, guru-guru Sunni dilarang mengajar, mencurigai dan melarang berbagai bentuk perkumpulan, melenyapkan karangan Ahlus Sunnah, membekukan beberapa syari`at, dan tindakan anarkis lainnya (baca: Shalāhuddīn al-Ayyūbi wa Juhūduhu fi al-Qadhā `alā al-Daulah al-Fāthimiyah wa Tahrīru Baiti al-Maqdis, karya Syeikh Muhammad Shallābi).

Tak hanya itu, Syiah kerap kali membuat onar, merusak akidah umat, bahkan memecah-belah mereka. Ternyata, ketika menjadi penguasa di Mesir, tindakan mereka tak berbeda jauh dari sebelumnya. Inilah beberapa faktor yang mendesak Nuruddin Mahmud Zanki membebaskan Mesir dari pengaruh Syiah.

Hal itu sangat logis karena kala itu Syiah ibarat ‘duri dalam daging’. Misi pembebasan Al-Quds, akan senantiasa terhalang jika sekte ini tidak dibersihkan terlebih dahulu. Momen yang ditunggu pun tiba. Shawar bin Mujīr al-Sa`adi -yang dimakzulkan secara paksa dari kursi kepemimpinan- lari ke Damaskus meminta bantuan Nuruddin Zanki. Ia berjanji -kalau kembali memimpin- akan menjadi wakilnya di Mesir. Tak tanggung-tanggung, ia siap memberikan sepertiga pendapatan Mesir pertahun kepadanya.

Untuk mengemban misi besar ini, diutuslah Asad ad-Dīn Shīrkūh, bersama Shalahuddin Al-Ayyubi. Singkat cerita, penguasa baru Mesir (Dhorghom bin Tsa`labah yang bekerjasama dengan Raja Amauri I) bisa dikalahkan. Setelah kembali berkuasa, ternyata watak asli Shawar tampak. Ia ingkar janji, memperlakukan tentara dengan tidak baik, bahkan mengusir Asad ad-Dīn dan Shalahuddin beserta rombongannya. Seperti inilah sikap Syiah di sepanjang sejarah. Ketika mereka dalam kondisi tertindas, lemah, mereka akan menjilat dan pura-pura bersahabat, namun ketika kuat, mereka akan bertindak semena-mena terhadap orang yang tak sependapat. Pada ekspedisi awal ini, Asad ad-Dīn gagal dalam membebaskan Mesir. Ia bersama Shalahuddin baru sukses menumbangkan Shawar pada ekspedisi militer ketiga (564H/1169M).

Dengan segera, diangkatlah Asad ad-Dīn menjadi pemimpin. Tak lama setelah itu (2 bulan 15 hari), ia pun meninggal dan digantikan oleh Shalahuddin al Ayyubi.

Selama menjadi pemimpin, Shalahuddin melakukan beberapa kebijakan. Di antaranya adalah sikapnya terhadap kelompok Syiah.

Shalahuddin tentulah seorang Sunni fanatik dan bermazhab Syafi’i. Tatkala berhasil merebut kekuasaan di Mesir, Shalahuddin berusaha keras untuk menyebarkan mazhab ini dan menjadikanya sebagai mazhab resmi menggantikan mazhab Syiah.

Ia juga berlaku tegas dengan tidak mempekerjakan prajurit Syiah di Mesir. Shalahuddin juga memerangi dan melawan ajaran-ajaran serta simbol-simbol mazhab Syiah, mengisolir ulama Syiah bahkan menghentikan ibadah-ibadah Syiah. Di antaranya adalah perayaan Asyura. Juga menghapus, ungkapan “Hayya ‘ala Khair al-‘Amal” yang merupakan salah satu syiar mazhab Syiah dihapus dari azan. Peristiwa yang terjadi pada tanggal 10 Dzulhijjah 565 ini dicatat juga dicatat kaum Syiah dalam kitab “Wadhiyyat-e Syi’ahyân Meshr dar ‘Ashr Shalâhuddin Ayyûbi”.

Untuk mengliminir Syiah, panglima yang dikenal sebagai Pembebas Baitul Maqdis atau Masjid al-Aqsha ini  menginstruksikan supaya nama-nama para khalifah rasyidun yang merupakan simbol Ahlus Sunnah disebutkan dalam setiap khutbah. Juga pergantian hakim-hakim yang berasal dari Syiah dan menempatkan hakim-hakim bermazhab Syafi’i sebagai mengganti hakim Syi’ah agar fikih Syafi’i dijalankan di tengah masyarakat Mesir.

Shalahuddin sangat menentang orang-orang Syiah Mesir dan dengan menghancurkan simbol-simbol dan syiar-syiar Syiah, ia berusaha memberangus Syiah hingga ke akar-akarnya. Karena itu ia berusaha keras menyebarkan fikih Syafi’i dan menyebarluaskan mazhab Syafi’I sebagai ganti mazhab Syiah Ismaliyyah.

Selama berkuasa, setidaknya ada lima sikap Shalahuddin Al Ayyubi menghadapi kaum Syiah.

Pertama, meskipun ia tidak setuju dengan ideologi Syiah, tapi tetap berupaya memberi penyadaran, bahkan ia masih menggunakan cara-cara penuh hikmah (baca: al-nawādir al-sulthāniyah wa al-mahāsin al-yusufiyah, karya: Ibnu Syaddād).

Kedua, ia tidak mengubah Daulah Fathimiyah secara langsung, namun bertahap.

Ketiga, mengubah dengan cara persuasif melalui dialog intensif berdasarkan hujjah yang kuat.

Keempat, mendirikan dan memperbanyak madrasah-madrasah Sunni, sebagai upaya konkrit strategis untuk mengubah pandangan yang rusak.

Kelima, ketika mereka melakukan kudeta (seperti yang dilancarkan Umārah bin Ali), maka Shalahuddin menindaknya dengan tegas.

Akibat sikap tegas Shalahuddin ini orang-orang Syiah sangat membenci panglima Islam yang ditakuti Barat sepenjang sejarah ini. Kaum Syiah bahkan tak pernah lupa bahwa Shalahuddin al-Ayyubi adalah yang dianggap melenyapkan Daulah Fathimiyah (kerajaan Syiah) di Mesir karena memberikan tempat bagi Ahlus Sunnah wal Jamaah. Tak heran, banyak usaha-usaha membunuh Shalahuddin Al Ayyubi.

Dari pengalaman sejarah Shalahuddin tersebut, ada banyak pelajaran yang berharga yang bisa dijadikan acuan dalam menyikapi Syiah.

Pertama, sebagai muslim kita harus tetap waspada terhadap Syiah. Di sepanjang sejarah, mereka kerap kali melakukan makar, kebohongan dan pemecahbelahan umat. Kedua, persatuan antara Sunni dan Syiah sangat sulit –kalau tidak boleh dikatakan mustahil- diwujudkan. Di samping karena ideologi berbeda, mereka juga punya prinsip kitmān (menyembunyikan identitas) dan taqiyah (secara lahir mendukung, sedangkan batin memusuhi) (lihat: Ushulul-Kāfi, karya al-Kulaini, hal. 282,485).

Ketiga, mengubah dengan cara-cara persuasif dan bertahap.

Keempat, membuat langkah konkrit dengan mendirikan lembaga keilmuan sebagai benteng dari pengaruh ajaran Syiah, serta memperkuat basis keislaman dari berbagai aspeknya.

Kelima, mengonsolidasikan persatuan umat Islam, serta kaderisasi ulama. Wallahu a`lam bi al-shawāb.* (hidayatullah.com)


Penulis adalah peserta PKU VIII UNIDA Gontor 2014


8 Kesesatan Aqidah Syiah Zaidiyah

By: Syiah Indonesia on 12.57 
http://www.syiahindonesia.com/2015/03/8-kesesatan-aqidah-syiah-zaidiyah.html
                                                

Aqidah Islam yang paling shahih adalah aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hal ini telah menjadi kesepakatan ulama di Timur dan di Barat, baik masa salaf maupun masa khalaf. Sehingga siapa saja yang memiliki aqidah yang bertentangan dengan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah pemilik aqidah sesat.


Demikian pula yang dikatakan sebagai aliran Syiah Zaidiyah. Aliran ini adalah aliran ahli bid’ah yang dalam aqidahnya banyak dipengaruhi oleh pemikiran sesat Mu’tazilah. Suatu pemikiran bid’ah yang manhaj aqidahnya didasarkan pada dalil akal daripada menggunakan dalil nash.

Penyebab utama Syiah Zaidiyah ini terpengaruh aliran Mu’tazilah adalah dikarenakan pemimpin aliran Zaidiyah, Zaid bin Ali Zainal Abidin bin Husain bin Ali, adalah seorang murid Washil bin Atha’, dedengkot Mu’tazilah.

Banyak pihak mengatakan bahwa Zaidiyah adalah aliran Syiah yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah, ini benar jika yang dimaksud adalah dalam pandangan fiqihnya, bukan pandangan aqidahnya yang sesat.

Dikutip dari forum Rayaheen, berikut ini 8 kesesatan aqidah Syiah Zaidiyah sebagai pegangan kaum Muslimin dalam menyikapi aliran yang hampir punah di muka bumi dikarena pemikiran-pemikiran Rafidhahnya pasca revolusi Syiah di Iran:

1. Manusia tidak dapat melihat Allah di akhirat

Kelompok Zaidiyah tidak meyakini bahwa orang-orang yang beriman dapat melihat Allah ta’ala di akhirat, seperti keyakinan kaum Mu’tazilah.

Sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah tegas meyakini hal ini. Orang mukmin di surga akan melihat Allah yang suci dari bentuk dan rupa serta konsekwensi keduanya, seperti arah, tempat dan lain-lain.

Dalilnya adalah Allah Ta’ala juga berfirman,

وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ

“Muka mereka (orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnya mereka melihat.” (QS. Al-Qiyamah: 24-25)

2. Allah tidak menciptakan kemaksiatan

Kaum Zaidiyah berkeyakinan bahwa Allah tidak menciptakan maksiat. Mereka juga beranggapan bahwa maksiat yang dilakukan manusia bukan bagian dari qadar Allah. Keyakinan ini sama seperti keyakinan kelompok Mu’tazilah.

Sementara Ahlus Sunnah beri’tiqad bahwa Allah adalah pencipta bagi setiap sesuatu. Tidak ada benda yang wujud, dan tidak ada kejadian yang terjadi kecuali diciptakan oleh Allah ta’ala. Perbuatan maksiatpun diciptakan Allah subhanahu wa ta’ala.

3. Pelaku dosa besar kekal di neraka

Syiah Zaidiyah menyakini bahwa orang yang terjatuh dalam perbuatan dosa besar disebut sebagai orang yang fasiq, dan saat dia mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia disiksa di neraka selama-lamanya.

Menurut Ahlussunnah, orang yang seperti itu masih berada dalam kehendak Allah. Jika Allah mengendaki, Allah akan mengampuninya, membebaskan semua kesalahannya dan memasukkannya ke surge tanpa harus mendekam di neraka. Sebaliknya, jika Allah menghendaki, ia akan disiksa di neraka, tetapi tidak kekal, selama ia masih beriman dan bertauhid kepada Allah ta’ala.

Dalam Shahih Bukhari, dengan sanad sampai Ubadah, diriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa bersaksi tiada Tuhan selain Allah, Tuhan Yang Maha Esa tiada sekutu bagi-Nya, bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, dan bahwa Isa (yang terjadi dengan) kalimat-Nya, yang disampaikan-Nya kepada Maryam dan (dengan tiupan) ruh dari-Nya, dan bahwa surga adalah haq (benar) dan neraka haq, niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga dengan amalan apa pun yang telah ia perbuat.”

4. Al Quran adalah makhluk

Firqah Zaidiyah dalam maslah kalamullah berpendangan sama dengan kaum mu’tazilah. Mereka mengatakan bahwa kalam adalah makhluk, bukan bagian dari sifat-sifat Allah.

Sedangkan Ahlus Sunnah berpendapat bahwa kalam adalah sifat Allah seperti sifat-sifat Allah yang lain. Kalam adalah sifat dzat yang suci dan qadim (tidak ada permulaannya).

Dalilnya, Allah berfirman,

ومن أصْدَق من الله حديثا

“Siapakah orang yang lebih benar perkataannya dari pada Allah.” (An-Nisaa’ : 87)

5. Tidak ada syafa’at Rasulllah

Zaidiyah mengingkari adanya syafaah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bagi umat beliau yang menjadi ahli maksiat. Kelompok ini berpendapat bahwa syafaat Rasulullah hanya khusus bagi mukminin sebagai tambahan nikmat saja. Oleh sebab itu, menurut mereka para pelaku maksiat dan ahli dosa besar tidak akan diberi syafaat. Mereka akan kekal di neraka seperti orang-orang kafir dan kaum munafiqin.

Imam Ahlus Sunnah, Ash-Shabuni rahimahullah berkata: “Ahli agama dan Ahlus Sunnah mengimani syafaat Rasulullah n bagi pelaku dosa dari kalangan orang-orang yang bertauhid dan pelaku dosa besar (lainnya), sebagaimana telah diberitakan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dalam hadits yang shahih.”

6. Amal adalah syarat keshahihan iman

Zaidiyah berpendapat bahwa amal adalah syarat bagi keshahihan iman. Barang siapa mengikrarkan dua syahadat, tetapi tidak mau melakukan amal shaleh, atau menerjang maksiat meski seperti melakukan ifthar di siang ramadlan atau mengkonsumsi khamr, maka ia tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Jika ia mati dalam keadaan tidak bertaubat, maka ia kekal di neraka. Ini adalah seperti pendapat Murji’ah.

Ahlus Sunnah berpendapat bahwa iman itu adalah perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Amal termasuk bagian dari iman, dan ia (amal) adalah iman itu sendiri. Amal bukan sebagai syarat dari syarat-syarat keshahihan iman atau syarat kesempurnaan iman atau perkataan lainnya yang banyak menyebar dewasa ini. Iman itu adalah perkataan dengan lisan, keyakinan dengan hati, dan amal dengan anggota badan. Bisa bertambah (dengan ketaatan) dan berkurang dengan kemaksiatan.

7. Imamah lebih berhak diambil dari keturunan Ali bin Abi Thalib

Dalam masalah Imamah, kaum Zaidiyah beri’tikad bahwa orang yang lebih berhak setelah kepemimpinan Rasulullah adalah Ali. Beliau dianggap sebagai pemegang wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Setelah Ali, imamah dilanjutkan oleh putra-putra Fatimah, seperti Al-Hasan dan Al-Husein, sesuai dengan pedoman mereka dalam hal ini.

Dengan dasar ini, kelompok Zaidiyah menganggap apa yang dilakukan oleh para sahabat ketika mengangkat Abu Bakar As-Shidiq dan khalifah sesudahnya adalah sebuah kesalahan. Namun demikian, kelompok Zaidiyah tidak sampai mengkafirkan para sahabat akibat “kesalahan” ini. Dalam masalah ini Zaidiyah terbagi dalam dua kelompok. Kelompok pertama ridha dengan kepemimpinan Abu Bakar dan Umar, sementara kelompok yang lain memilih diam tanpa ada pernyataan ridho dan tanpa ada penghujatan.

Sementara Ahlus Sunnah wal Jamaah berpendapat bahwa imamah tidak berdasarkan warisan akan tetapi syura dan kesepakatan ahlul hali wal aqdi.

8. Wajibnya memberontak pada pemerintah Muslim yang zhalim

Syiah Zaidiyah memperbolehkan dan membernarkan pemberontakan kepada pemerintahan Muslim yang zalim. Bahkan wajib.

Sementara Ahlus Sunnah mengharamkan pemberontakan atau keluar dari taat pemerintah Muslim yang sah, meskipun bersikap fasik dan bertindak zalim. Namun tetap membolehkan menggantinya jika memungkinkan. (firmadani.com)



Penyelewengan Buku ‘Salafiyah Wahabiyah’, ‘Fitnah Terhadap Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah’


Beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah buku dalam bahasa Melayu yang baru diterbitkan dengan judul “Salafiyah Wahabiyah: Suatu Penilaian” karya Zamihan bin Mat Zin Al Ghari.
Amat mengejutkan saya, jika buku ini penuh dengan penyelewengan fakta dan fitnah terhadap Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah dan para ulama yang lain. Maka saya merasa terpanggil untuk membuat sedikit ulasan ringkas mengenai buku yang sarat dengan penipuan fakta itu.
Tujuan saya di sini, bukan untuk mempertahankan Salafi atau Wahabi, karena itu bukanlah suatu topik utama. Setiap aliran boleh dikritik ataupun dipuji, namun mestilah berdasarkan batas-batas amanah ilmu dan adil dalam hukuman, seperti yang dituntut oleh Al Quran.
Al Imam Ibnu Taimiyah bukanlah seorang yang maksum seperti seorang rasul, sehingga tiada sebarang kekhilafan fakta. Dia seperti imam-imam lain juga, ada pendapatnya yang kuat dan ada yang lemah. Namun penulis buku tersebut telah menjadikan cacian, penghinaan, fitnah, dan kebohongan fakta sebagai metodologi penulisannya. Ini adalah sesuatu menyalahi ajaran Islam yang suci dan bersih.

Pendahuluan 'Fitnah terhadap syaikh al islam ibnu taimiyah'
بسم الله الرحمن الرحيم
Seruan Penulis
الحمد لله نحمده ونستعينه ونستهديه ونستغفره، ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا، من يهده الله فلا مضل له، ومن يضلل فلا هادي له، وأشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن محمدا عبده ورسوله، أرسله بالهدى ودين الحق ليظهره على الدين كله، وكفى بالله شهيدا، صلى الله عليه وعلى آله وسلم تسليما
Adalah sesuatu yang sangat malang, jika lahir di kalangan umat ini golongan yang sanggup untuk melakukan berbagai penipuan dan kebohongan semata-mata karena membela keta’ashuban dan kebencian yang tidak berdasar. Jika tuduhan dan cercaan menjadi mainan golongan yang menggelarkan diri mereka golongan agama, akhirnya yang menjadi mangsa adalah umat awam yang kebingungan. Umat kita sepatutnya dididik bagaimana untuk berterimakasih kepada generasi lalu yang telah memberikan sumbangan serta memohon ampunan kepada Allah untuk mereka di atas segala kekhilafan mereka sebagai insan. Sebagaimana kita diajarkan agar mendoakan kepada para Shahabat. Firman Allah dalam surah Al Hasyr ayat ke-10 :
وَالَّذِينَ جَاءُوا مِنْ بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Dan orang-orang (Islam) yang datang kemudian setelah mereka (berdoa dengan) berkata: “Wahai Tuhan Kami! Ampunkanlah dosa kami dan dosa saudara-saudara kami yang mendahului kami dalam iman, dan janganlah Engkau jadikan dalam hati kami perasaan hasad dengki dan dendam terhadap orang-orang yang beriman. Wahai Tuhan kami! Sesungguhnya Engkau Maha Pengasih dan RahmatMu.”
Inilah akhlak yang baik, yang diajar oleh Al Quran. Jika akhlak ini hilang, maka lahirlah buku yang seperti Salafiyah Wahabiyah yang dipenuhi dengan fitnah dan cercaan terhadap ulama. Lebih malang lagi, jika inti kandungannya adalah kebohongan dan kepalsuan. Saya tidak dapat membayangkan, bagaimana seorang insan sanggup membohongi orang banyak demi untuk memfitnah para ulama yang berjasa. Ragu bersusah payah mengeluarkan buku untuk keinginan itu. Apakah yang akan dia jawab di hadapan Allah di mahsyar kelak jika dia berdiri untuk dibicarakan terhadap fitnahnya yang dinyatakan kepada golongan ulama yang shalih seperti Al Imam Ibnu Taimiyah Rahimahullah.
Dengan kedhaifan yang ada, saya coba untuk menjawab sedikit dari kebohongan yang banyak itu sebagai peringatan kepada orang awam dan tanggungjawab terhadap hak para ulama masa silam.
Akhirnya marilah kita berusaha umat menyatukan umat bukan memecahkannya, mengambil kebaikan daripada semua golongan Muslimin yang berjasa dan bersatu menghadapi musuh-musuh Allah dan RasulNya.
Sekian,
Mohd Asri bin Zainul Abidin
moasriza@yahoo.com

Pengkhianatan
Fitnah Terhadap Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah

Lebih dahsyat dari itu, kebohongan Penulis Salafiyah Wahabiyah dalam halaman 127 terhadap Al Imam Hajar Al `Asqalani, sehingga menggambarkan seolah-seolah Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani الحافظ ابن حجر العسقلاني (meninggal 852H) dalam Al Durar Al Kaminah الدرر الكامنة mempermasalahkan `aqidah Ibnu Taimiyah. Penulis Salafiyah Wahabiyah tersebut menyelewengkan terjemahan seperti berikut: “Para ulama telah menggelarkan Ibnu Taimiyah dengan tajsim berdasarkan apa yang telah beliau tulis, Ibnu Hajar menambah lagi: “Dia dihukum dengan munafiq karena perkataannya terhadap Sayidina `Ali.”
Saya tidak pasti, apakah beliau tidak dapat memahami bahasa `Arab, atau sengaja melakukan pengkhianatan. Sebenarnya, terjemahannya sepatut begini: “Orang banyak telah berbeda pendapat mengenainya kepada beberapa golongan, di kalangan mereka, ada yang mengaitkannya dengan tajsim…di kalangan ada yang mengaitkannya dengan nifaq ومنهم من ينسبه إلى النفاق.”.”
Kemudian Ibnu Hajar meneruskan ceritakan mengenaikan fitnah yang dikenakan kepada Ibnu Taimiyah itu, sehingga beliau menyebut: ”Ibnu Taimiyah terus dipenjara hingga kembali ke rahmat Allah. Kepada Allah juga kembali segala urusan. Dia memerhatikan mereka yang khianat dan apa yang disembunyikan di dalam dada. Hari kematian Ibnu Taimiyah itu menjadi bukti, manusia memenuhi jalan menyambut jenazahnya, orang Islam datang dari serata pelosok. Mereka mengambil keberkatan dengan menghadiri jenazahnya, pada hari yang ditegakkan bukti, mereka semua ingin memegang kerandanya sehingga patah kayunya.”[1]
Lihatlah niat buruk penulis untuk mengkhianati ulama dan menipu para pembaca yang tidak mengetahui bahasa Arab. Lain yang maksudkan oleh Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani, yang pula yang digambarkannya. Orang yang berbohong seperti ini, tidak diterima penyaksiannya.
Penulis Salafiyah Wahabiyah, juga coba membohongi pembaca dengan menggambarkan seolah-olah Al Imam Azd Dzahabi (meninggal 848 hijrah), yang juga salah seorang murid utama Ibnu Taimiyah, mempermasalahkan Ibnu Taimiyah, demikian juga Al Imam As Subki yang hidup di zaman itu, yang menjadi murid dari Adz Dzahabi. Beliau menyembunyikan apa yang Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani sebut dalam kitabnya di atas, Al Durar Al Kaminah. Sebenarnya Al Hafizh Ibnu Hajar Al `Asqalani, selepas mencerita sejarah kewafatan Ibnu Taimiyah, memetik ucapan Al Imam Adz Dzahabi yang memuji-muji gurunya Ibnu Taimiyah, sehingga kata Ibnu Hajar: “Adz Dzahabi telah menulis surat kepada As Subki, lantas memarahinya di atas perkataannya terhadap Ibnu Taimiyah.
As Subki menjawabnya, antara jawabannya: “Adapun apa yang Tuan katakan mengenai Asy Syaikh Taqiyuddin (Ibn Taimiyah), maka hamba ini (saya) telah pun pasti ketinggian kemampuannya, limpahan dan keluasan lautan ilmunya dalam naql (Al Quran dan As Sunnah) dan akal, kehebatan kebijaksanaan dan ijtihadnya, juga dia mencapai kesemuanya itu lebih dari yang disifatkan. Hamba ini (saya) sentiasa akan mengakuinya. Nilainya (Ibnu Taimiyah) pada diri ini, lebih besar dan mulia dari segalanya. Dengan apa yang telah Allah himpunkan padanya dari sifat zuhud, wara’, kuat beragama, membela dan menegakkan agama kebenaran semata-mata karena Allah. Dia melalui perjalanan ulama salaf dengan sepenuhnya, sangat asing orang sepertinya pada zaman ini bahkan di zaman apa pun.”
Hingga Ibnu Hajar menyebut: “Ibnu Taimiyah imam dari semua para imam, keberkatan umat, yang sangat alim di kalangan ulama, pewaris para anbiya..” hingga beliau menggelarinya sebagai “Syaikh Al Islam”.[2]
Bahkan Adz Dzahabi menyebutkan gurunya itu di dalam kitabnyaTadzkirah Al Huffazhh تذكرة الحفاظ yang dikhususkan untuk para hafizh dalam hadits. Beliau memuji Ibnu Taimiyah dengan pujian yang sangat hebat juga menggelarnya dengan gelaran Syaikh Al Islam, antara katanya: “Ibnu Taimiyah: seorang Syaikh, Imam, Al `Allamah (sangat alim), Al Hafizh (dalam hadits), seorang yang kritis, mujtahid, penafsir (Al Quran) yang mahir, beliau adalah Syaikh Al Islam….dari lautan ilmu, dari para cendikiawan yang terbilang, dari golongan zuhud yang sukar dicari, dari tokoh-tokoh yang berani dan pemurah lagi mulia, dipuji oleh penyokong dan penentang.”[3]
Demikian cara kebohongan dan penyembunyian fakta dalam bukuSalafiyah Wahabiyah tersebut. Bahkan penulisnya meniru lagak gurunya, meremehkan siapa yang menamakan Ibnu Taimiyah dengan Syaikh Al Islam. Kemudian mengkhianati fakta dengan memutar belitkan tulisan-tulisan tokoh ulama. Perbuatan ini bukan sekadar memfitnah Ibnu Taimiyah, tetapi memfitnah sekalian ulama yang lain. Inilah suatu sikap yang diwarisi dari Syi`ah dan hal ini sangat buruk.
Lihat lagi dalam halaman 132 dan ke atas, buku penulis buku ini coba menggambarkan seolah-seolah, Asy Syaikh Muhammad Abu Zahrah Rahimahullah juga tidak menyukai Ibnu Taimiyah berdasarkan kitabnya Tarikh Al Mazahib Al Islamiyah تاريخ المذاهب الإسلامية. Sebenarnya siapa yang membaca buku tersebut akan melihat bagaimana Muhammad Abu Zahrah memuji dan membela Ibnu Taimiyah. Bahkan Muhammad Abu Zahrah menulis buku khas dengan judul “Al Imam Ibnu Taimiyah”, membela dan memuji sejarah perjuangannya. Maka jelas, ini adalah satu kebohongan terhadap Asy Syaikh Abu Zahrah, yang merupakan tokoh besar di zaman kita ini.
Lihatlah petikan sebenarnya dari kitab Tarikh Al Mazahib Al Islamiyah, kata Syaikh Muhammad Abu Zahrah ketika selesai menceritakan sejarah Ibnu Taimiyah:”Demikian itu kita lihat pendirian Ibnu Taimiyah terhadap An Nasir (pemerintah di zamannya) sama seperti pendirian (Al Imam) Izzu Al Din `Abd As Salam dan Muhyi Al Din An Nawawi (Al Imam Nawawi). Maka berlanjutlah rangkaian para ulama yang membela Islam. Bahkan Ibnu Taimiyah melebihi mereka berdua karena dia menghunuskan pedang di medan jihad. Dia telah diberi ujian dengan sebab pandangan-pandangannya dalam agama. Dia meninggal dalam keadaan Allah meridhainya, dalam penjara yang sempit, semoga Allah meridhai dan memuliakan tempat tinggalnya (surga) dan mengarunianya sebaik-baik balasan di atas sumbangannya kepada ilmu dan Islam.”[4]
Adapun Zahid Al Kautsari (meninggal 1371H), yang lahir di Istanbul, memang tidak menyukai Ibnu Taimiyah. Tetapi itu semua bukan satu hujah yang diterima sebagai bukti Ibnu Taimiyah tertolak. Apa lagi Zahid Al Kautsari terkenal sebagai seorang yang sangat ta’ashub kepada mazhab Hanafi, juga tidak amanah terhadap petikan-petikan ilmiah. Beliau pernah mempermasalahkan nasab Al Imam Asy Syafi`I, menuduh Al Imam Ahmad sebagai seorang yang tidak faqih, memfitnah Ibnu Hajar Al `Asqalani sebagai “kaki perempuan” dan berbagai tuduhan liar terhadap para ulama yang lain. Ahmad bin Muhammad As Siddiq Al Ghumari الصديق الغماري menghimpunkan penyelewengan-penyelewengan fakta dan cerca-cercaan ini di dalam kitabnya Radd Al Kautsari `ala Al Kautsari رد الكوثري على الكوثري. Maka tidaklah heran jika orang seperti ini menghina dan memfitnah Ibnu Taimiyah.
Asy Syaikh `Abd Al Fattah Abu Ghuddah Rahimahullah pernah menjadi murid Al Kautsari, beliau juga menolak cercaan Kautsari terhadap Ibnu Taimiyah, katanya.: “Bukti yang kuat (bahwa aku tidak membenci Ibnu Taimiyah dan Ibnu Al Qayim) adalah aku telah penuhi kitab-kitabku dan ulasan-ulasanku dengan pendapat-pendapat Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnu Qayim-semoga Allah merahmati keduanya-. Aku telah berkhidmat untuk kitab-kitab Al Imam Ibnu Al Qayim dengan menyebar dan mentahqiqkannya, -seperti yang telah disebutkan-. Aku juga telah menyokong dan membela mereka berdua. Aku menyebut mereka dengan penuh sanjungan dan hormat pada berpuluh-puluh tempat di dalam kitab-kitabku. Sebagaimana yang jelas sebelum ini tanpa sembarang keraguan lagi. Adapun Asy Syaikh Al Khautsari Rahimahullah, semoga Allah mengampuni kita dan juga dia, tidak menyukai kedua Imam ini. Itu adalah pandangan dan ijtihadnya. Sekiranya aku ini berpegang dengan setiap yang dia kata, tentu aku juga akan tidak menyukai kedua mereka (Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan Al Imam Ibnu Al Qayim) lalu mengikuti sikapnya terhadap mereka berdua –Allah rahmati keduanya-.Namun apa yang terjadi membuktikan sebaliknya….” Hingga katanya .”.Segala puji bagi Allah yang telah mengurniakanku dapat membedakan antara yang pendapat yang boleh diterima dan ditolak. Aku akan mengakui apa yang aku lihat benar berdasarkan pemahamanku, sekalipun ia datang dari seorang yang rendah kedudukannya. Aku akan tinggalkan apa yang aku dapati menjauhi kebenaran, sekalipun ianya datang dari tokoh yang lebih besar dari Al Kautsari, yang terdiri daripada para ulama yang masyhur. Sekalipun aku seorang pengikut, segala puji bagi Allah di atas karunianya, namun tiada seorang pun yang mengikut segala-galanya, melainkan dia seorang yang ta`ashub ataupun seorang yang bodoh.”[5]
Apa yang dinyatakan itu terbukti dalam banyak tempat di dalam penulisan Asy Syaikh `Abd Al Fattah Abu Ghuddah ini, antaranya, ketika mentahqiq (mengulas) kitab Qawa`id fi `Ulum Al Hadits قواعد في علوم الحديث oleh Zafar Ahmad Al Uthmani Ath Thahanawi التهانوي Jika beliau mendapati ada perkataan yang kurang tepat kepada Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah, Asy Syaikh Abu Ghuddah menulis surat kepada Ath Thahanawi, dan menegurnya. Ath Thahanawi menjawab surat itu dengan katanya: “Aku pernah menyuruh seorang sahabatku untuk menghapus ungkapan tersebut yang berkait dengan Al Imam Ibnu Tamiyah Rahimahullah, tetapi dia terlupa, dan syaitan melupakan aku untuk mengingatkannya. Kamu semua hapuskanlah ungkapan itu dan tulis pada nota kakinya: “Sesungguhnya penulis telah menarik balik ungkapan tersebut, itu adalah dari kegelinciran penanya, dia telah beristighfar dan bertaubat kepada Allah mengenai adab yang buruk terhadap para imam Islam, antaranya Al Imam Ibnu Taimiyah Al Harrani, Syaikh Al Islam, semoga Allah merahmatinya serta memasukkannya dan kita juga ke dalam Dar As Salam (surga).”[6]
Memang benar, adanya para ulama silam yang mempermasalahkan Ibnu Taimiyah di atas salah paham mereka. Namun bagi siapa yang mempelajari ilmu Al Jarh wa Al Ta’dil الجرح والتعديل (mempermasalahkan atau mengangkat kedudukan seseorang rawi) perkara seperti ini adalah fenomena biasa. Al Imam Al Bukhari Rahimahullah sendiri pada hayatnya dipermasalahkan akidahnya oleh gurunya sendiri, iaitu Muhammad bin Yahya Az Zuhli yang merupakan juga tokoh hadits dan ulama Naisabur sehingga Al Imam Al Bukhari terpaksa meninggalkan negeri Naisabur. Al Imam Al Bukhari dituduh bahwa beliau menyatakan Al Quran makhluk. Kita yakin bahwa tuduhan yang dikenakan kepada Al Imam Al Bukhari tidak benar dan itu hanyalah salah paham. Kisah ini disebut dengan banyak dalam kitab-kitab ilmu hadits. Untuk kemudahan, pembaca boleh merujuk kitab At Ta’rif bi Kutub As Sittah, oleh Muhammad bin Muhammad Abu Syahbah.
Al Imam Al Bukhari pula dalam hayatnya mempermasalahkan kedudukan Abu Hanifah Rahimahullah, imam mazhab Hanafi. Al Imam An Nasai juga menghukum Abu Hanifah sebagai dhaif. Tokoh ilmu rawi iaitu Al Yahya bin Ma`in pula mempermasalahkan kepribadian Al Imam Asy Syafi`i. Ini semua terjadi karena salah paham dan maklumat yang tidak tepat. Adapun kita ini, yakin kepada ketsiqahan (dipercayai) semua imam-imam tersebut. Kita tidak dapat menerima semua pertikaian itu, karena ini akan meyebabkan banyaknya para imam tertolak. Kalau kita hanya melihat kepada satu pandangan saja tanpa kajian, sekalipun pandangan itu datang dari tokoh yang besar seperti Al Bukhari dan Yahya bin Ma`in, tentu kita akan terkhilaf hukuman terhadap para imam yang lain. Para ulama hadits telah membincangkan persoalan seperti ini pada berbagai tempat di dalam kitab mereka. Antaranya, apa yang dibahaskan oleh Al Imam Anwar Shah Al Kasymiri dalam kitabnyaFaidh Al Bari `ala Shahih Al Bukhari فيض الباري على صحيح البخاري dalam jilid pertama di dalam bab Al `Ilm Qabl Al Qaul wa Al `Amal (cetakan Deoband, India). As Subki menyebut dalam Thabaqat Asy Syafi`iyah: “Tiada seorang imam pun melainkan ada yang mencercanya.” Dengan itu maka para ulama hadits mensyaratkan tajrih (mempermasalahkan rawi) mestilah mufassar iaitu dinyatakan bukti kesalahan yang diterima.
Hal yang sama telah menimpa Ibnu Taimiyah, perkara ini bertambah buruk jika musuh-musuhnya dari kalangan Syi`ah dan golongan tarikat sufi yang ekstrem menabur fitnah yang begitu dahsyat. Dengan harapan, jatuhnya Ibnu Taimiyah, dapatlah bermaharajanya kesesatan. Maulana Abu Al Hasan `Ali An Nadwi, dalam bukunya tadi telah menceritakan bagaimana golongan yang sesat berusaha menyebabkan Ibnu Taimiyah dipenjarakan. Jika beliau dipenjarakan, maka mereka kembali berani untuk menyebarkan kesesatan mereka. Maka, para ulama pada zaman itu mulai sadar betapa besar dan pentingnya peranan Ibnu Taimiyah. Mereka mulai menulis surat, merayu dan membelanya di hadapan pemerintah, sehingga An Nadwi menyebut: “Ahli bid`ah dan hawa nafsu yang dahulu coba untuk menonjolkan diri sebagai bermazhab Ahlus Sunnah, untuk menipu para pemerintah dan hakim (agar menangkap Ibnu Taimiyah). Sebaik saja berhasil penipuan mereka, maka nampaklah kejahatan mereka pada orang banyak dan mulailah mereka menonjol dan tidak bersembunyi lagi.” (halaman 93-94).
Nampaknya sejarah tersebut, coba untuk ditimbulkan semula oleh golongan yang bertopengkan Ahlus Sunnah pada belakangan ini.
Jika kita perhatikan tokoh-tokoh umat pada zaman lalu dan kini, mereka banyak mengambil manfaat daripada khazanah Ibnu Taimiyah. Lihat An Nadwi yang saya sebutkan di atas. Demikian juga Asy Syaikh Yusuf Al Qaradawi pernah menyebut dalam bukunyaKaifa Nata`amul Ma`a As Sunnah: “Al Imam Ibnu Taimiyah adalah dari kalangan ulama umat yang aku sayangi, bahkan barangkali dadalah yang paling hatiku sayangi di kalangan mereka dan paling dekat kepada pemikiranku.” (halaman 170, cetakan: Dar Al Wafa, Mesir)
Sebenarnya, golongan yang ingin supaya orang banyak menghukum Ibnu Taimiyah sesat, kufur dan seumpamanya itu sadar, bahwa jika langkah ini berhasil maka sebahagian besar tokoh-tokoh umat dapat dileburkan, dan khazanah umat dapat dihancurkan. Antara murid terbesar Ibnu Taimiyah adalah Al Imam Ibnu Katsir, yang terkenal dengan Tafsir Al Quran Al ‘Azhim atau dikenali dengan Tafsir Ibnu Katsir. Bacalah buku At Tafsir wa Al Mufassirun, karangan Asy Syaikh Husain Adz Dzahabi, dalamnya diceritakan bagimana Ibnu Katsir begitu mencintai gurunya, Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah dan banyak berpegang dengan fatwanya. Kemunculan Al  Imam Ibnu Katsir, Al Imam Adz Dzahabi, Al Imam Ibnu Al Qayim dan lain-lain adalah antara sumbangan besar Ibnu Taimiyah dalam bidang kesarjanaan Islam. Musuh-musuh Ahlus Sunnah mengetahui hal ini, mereka berusaha merobohkan khazanah ini.
Para pembaca sebuah buku atau tulisan hendaklah mengambil sikap berhati-hati, apatah lagi jika dia bukan seorang pengkaji yang dapat menyemak apa yang ditulis. Berpeganglah kepada ajaran Allah dalam surah Al Hujurat ayat 6:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika datang seseorang fasik membawa berita, maka selidikilah, agar kamu tidak menimpakan (hukuman) kepada sesuatu kaum dengan secara jahil, lalu kamu akan menyesal.”
Saya tertarik dengan apa yang dipetik oleh Al Imam Ibnu Ash Shalah ( meninggal 643H) dalam kitabnya `Ulum Al Hadits: “Entah berapa banyak di kalangan ulama yang telah melangkah kaki mereka di dalam surga sejak seratus atau dua ratus tahun yang lalu, sedangkan kamu menyebut dan mengumpat mereka.” (halaman 390, cetakan: Dar Al Fikr, Beirut)
Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah telah pergi menemui Allah sejak tujuh ratus tahun lalu. Hidupnya dahulu dibaluti dengan perjuangan yang penuh ikhlas. Para ulama hadits dan mereka yang mengenalinya memuji dan menghormatinya, seperti yang telah saya nyatakan dalam tulisan ini, bahkan lebih dari itu. Siapa yang menghina dan mencerca Ibnu Taimiyah di zaman ini, akan berdiri bertanggungjawab di hadapan mahkamah Allah Yang Maha Adil di akhirat. Mereka mesti bertanggungjawab di atas segala perkataaan yang dilempar kepada tokoh ulama yang mulia itu, yang menyampaikan ilmu, menulis, berjihad dengan pedang menentang tentara kuffar Monggol dan berbagai jasanya yang tidak mampu dihitung. Semoga Allah memelihara kita semua dari kegelinciran dan disesatkan oleh golongan yang jahat.


[1] Ibn Hajar Al `Asqalani, Al Durar Al Kaminah, jilid1, halaman155, cetakan: Dar Al Turats Al `Arabi, Beirut
[2] ibid, jilid 1, halaman 158-159
[3] Al Imam Adz Dzahabi, Tazkirah Al Huffazh, jilid 4, halaman 1496, cetakan Haidar Abad, India.
[4] Abu Zahrah, Tarikh Al Mazahib Al Islamiyah, halaman 648, cetakan Dar Al Fikr Al `Arabi, Mesir
[5] Imdad Al Fattah, bi Asanid wa Marwiyat Asy Syaikh `Abd Al Fattah, halaman 657, cetakan: Maktabah Al Imam Asy Syafi’i, Riyadh
[6] Ath Thahanawi, Qawaid fi `Ulum Al Hadits, halaman 442, cetakan Dar As Salam, Kaherah.


Pada halaman 70-76, beliau menyebutkan daftar pertentangan pendapat para imam-imam Ahlus Sunnah dengan Ibnu Taimiyah. Lalu beliau memetik nash-nash para imam berkenaan yang bukan ditujukan kepada Ibnu Taimiyah. Di antaranya, Al Imam An Nawawi الإمام النووي yang meninggal pada tahun 676 hijrah, sedangkan Ibnu Taimiyah lahir pada tahun 661 hijrah. Beliau tidak mengenali Ibnu Taimiyah. Begitu Al Imam Ibnu Al Jauzi الإمام ابن الجوزي yang meninggal pada tahun 598 hijrah.
Beliau juga meletakkan judul “Pertentangan Pendapat Ibnu Taimiyah dengan Imam Al Hafizh As Sayuthi”.[1] Sedangkan Ibnu Taimiyah telah meninggal 121 tahun sebelum kelahiran As Suyuthi السيوطي pada tahun 849H. Kemudian beliau memetik nash As Suyuthi yang tiada kena mengena dengan Ibnu Taimiyah. Dengan cara ini, pembaca akan menyangka Al Imam Suyuthi (meninggal 911 hijrah) dalam hayatnya tidak menyukai Ibnu Taimiyah. Sedang Al Imam Suyuthi memasukkan Ibnu Taimiyah dalam senarai Huffazhh hadits (para hafizh hadits), dalam kitabnya Thabaqat Al Huffazhh طبقات الحفاظ, Al Imam Suyuthi yang bermazhab Syafi’i itu memperkenalkan Ibnu Taimiyah seperti berikut: “Ibnu Taimiyah, seorang Syaikh, Imam, Al `Allamah (sangat Alim) Hafizh, seorang yang kritis, Faqih, Mujtahid, seorang penafsir Al Quran yang mahir, Syaikh Al Islam, lambang golongan zuhud, sangat sedikit sepertinya di zaman ini,..salah seorang tokoh terbilang..memberi perhatian dalam bidang hadits, memetik dan menyeleksinya, pakar dalam ilmu rijal (para perawi), `illal hadits (kecacatan tersembunyi hadits) juga fiqh hadits, ilmu-ilmu Islam, ilmu kalam dan lain-lain. Dia daripada lautan ilmu, daripada cendikiawan yang terbilang, golongan zuhud dan tokoh-tokoh yang tiada tandingan..”[2]
Demikian juga penulis Salafiyah Wahabiyah, meletakkan judul “Pertentangan Pendapat Ibnu Taimiyah dengan Imam Az Zarqani”[3]. Beliau memetik ungkapan Az Zarqani yang tiada kena mengena dengan Ibnu Taimiyah daripada kitab Manahil Al `Urfanمناهل العرفان . Beliau coba menggambarkan pertentangan yang sebenarnya tidak ada sama sekali. Sebaliknya dalam kitab itu sendiri, penulis Muhammad `Abdul `Azhim Az Zarqani, banyak memetik pendapat Ibnu Taimiyah dengan hormatnya. Pada penelitian saya, sebanyak lima kali Az Zarqani memetik pendapat Ibnu Taimiyah di dalam kitabnya tersebut. Pada cetakan yang pada tangan saya adalah pada jilid pertama halaman 78 dan 90, pada jilid kedua pada halaman 162, 192, 202.[4] Bahkan halaman 202 beliau menamakan Ibnu Taimiyah sebagai Syaikh Al Islam, katanya: “Kata Syaikh Al Islam Ibnu Taimiyah: “Khilaf di dalam tafsir itu ada dua jenis….” . Lihatlah betapa penulis Salafiyah Wahabiyah ini ternyata melakukan kebohongan terhadap para ulama dan pengkhianatan terhadap ilmu.


[1] halaman 75
[2] Al Imam As Suyuthi, Thabaqat Al Huffazh, halaman 516, cetakan Maktabah Wahbah, Mesir.
[3] halaman 76
[4] Az Zarqani, Manahil Al `Urfan, jilid 1, halaman 109, cetakan: Dar Al Fikr, Beirut


Penulis buku ini mengaku beliau adalah pengikut Hasan bin `Ali As Saqqaf (السقاف) dari Jordan. Perkataan As Saqqaf pada namanya berarti beliau berasal dari keluarga tersebut. Di Malaysia keluarga ini di sebut sebagai Assagoff (di Indonesia disebut Assegaf). Hasan As Saqqaf yang menjadi guru penulis berkenan, di kalangan yang mengenalinya menyatakan dia seorang agak pro-Syiah. Dia mengkafirkan para Shahabat yang terlibat dalam peperangan dengan ‘Ali. Sebagaimana ada di kalangan rumpun tersebut di Malaysia dan Nusantara, yang berpegang kepada Syi`ah. Beliau coba menonjolkan diri bahwa beliau seorang Ahlus Sunnah dan bermazhab Al Imam Asy Syafi`i. Dalam masa yang sama, beliau selalu menghantam secara lisan para Shahabat yang terlibat dalam peperangan menentang Sayidina `Ali. Sementara dalam bukunya,Shahih Sifat Salat An Nabi beliau menyebut: “Maka jelas bahwa hadits (kamu tidak akan sesat selagi kamu berpegang dengan) “kitab Allah dan kaum keluargaku (Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam)” itulah yang shahih lagi tsabit di dalam Shahih Muslim, adapun lafaz (berpegang) dengan kitab Allah dan sunnahku” adalah batil dari segi sanad dan tidak shahih. Maka hendaklah para khatib, penceramah dan imam meninggalkan lafaz ini..”[1]
Dalam buku Salafiyah Wahabiyah, penulisnya mencatatkan nasihat gurunya itu, dengan katanya: “Aku berpesan kepada engkau agar beriltizam dengan jalan ahli Al Haq dan Ahli Bait (kaum keluarga)”[2]. Hasan As Saqqaf juga memarahi Ibnu Taimiyah karena menyatakan para ulama sepakat bahwa Sayidina Abu Bakar dan `Umar lebih afdhal daripada Sayidina `Ali. Muridnya yang menulis buku ini turut membuat bantahan yang sama dalam buku tersebut.[3] Walaupun begitu coba menyembunyikan racun Syiahnya, tetapi ianya tetap dapat dicium oleh orang lain.
Oleh karena di dalam Ahlus Sunnah, Ibnu Taimiyah adalah tokoh yang paling hebat mempertahankan aqidah Ahlus Sunnah dan menyerang hujah-hujah Syi`ah, maka cara terbaik untuk mempertahankan Syi`ah adalah dengan menghantam habis-habisan Ibnu Taimiyah. Hantaman itu pula akan dilihat lebih mantap dengan menggunakan nama Ahlus Sunnah itu sendiri. Ini dengan cara diselewengkan fakta-fakta ulama, membuat pengkhianatan ilmiah dan membohongi pembaca yang tidak mampu membuat penyelidikan. Tokoh pendakwah Islam yang terkenal di kurun ini, Maulana Abu Al Hasan `Ali An Nadwi berkata dalam bukunya yang ditulis khusus mengenai sejarah perjuangan Ibnu Taimiyah sebagai tokoh pemikir dan dakwah yang hafizh, berjudul “Al Hafizh Ahmad bin Taimiyah (الحافظ أحمد بن تيمية): ”Sesungguhnya Al Imam Ibnu Taimiyah telah bangkit menjawab Syi`ah dalam banyak tempat dalam buku-bukunya. Dia telah benar-benar menunaikan tanggungjawab dengan kuatnya mempertahankan sunnah, aqidah Ahlus Sunnah, Al Khulafa Al Rasyidin dan para Shahabat yang mulia Radhiyallahu ‘Anhum. Di samping itu, dia mengkhususkan menjawab Syi`ah dalam sebuah kitab khusus, dinamakan “Minhaj As Sunnah An Nabawiyah fi Naqd Kalam Asy Syi`ah wa Al Qadariyah” (Artinya: Jalan Sunnah Nabi dalam menolak pendapat Syi`ah dan Qadariyah).[4]
Maka, kita akan dapati Hasan As Saqqaf begitu marah kepada buku“Minhaj As Sunnah An Nabawiyah fi Naqd Kalam Asy Syi`ah wa Al Qadariyah منهاج السنة النبوية في نقد كلام الشيعة والقدرية., karya agung Ibnu Taimiyah tersebut. Namun beliau mempermasalahkannya dengan caranya yang seolah-olah membela Ahlus Sunnah. Dalam buku“Salafiyah Wahabiyah”, penulisnya juga menghantam kitab Ibnu Taimiyah tersebut berkali-kali sebagai mengikut jejak langkah gurunya itu dengan tuduhan sesat dan yang seumpamanya.
Kata Maulana Abu Al Hasan An Nadwi lagi: “Siapa yang ingin melihat lautan ilmu Ibnu Taimiyah, keluasan pandangannya, penguasaannya, kekuatan hafalannya, ingatannya terhadap masalah-masalah (yang di bahaskan), kematangannya, ketelitiannya, kebijaksaannya dan kegemilauannya, maka bacalah kitab tersebut.”[5]
Cobalah lihat perbedaan dan bandingkan antara dua sikap, Maulana Abu Al Hasan `Ali An Nadwi Rahimahullah seorang tokoh umat dan pendakwah yang dikagumi. Sementara yang seorang lagi seorang yang mengaku Ahlus Sunnah, namun menyembunyikan racun Syi`ahnya. Ini diikuti oleh murid Melayu-nya yang menulis bukuSalafiyah Wahabiyah. Saya meyakini, penulis buku tersebut tidak membuat sembarang kajian melainkan menciduk sepenuhnya dari gurunya itu dan menterjemahkannya ke dalam bahasa Melayu. Siapa yang membaca tulisan Hasan As Saqqaf, akan mengetahui bahwa beliau menjadikan kebohongan fakta sebagai mainan tulisannya. Ini diikuti oleh murid Melayu tersebut. Maka pengkhianatan ilmu jelas pun pribadi. Pengkhianatan yang diwarisi dari sikap para penulis yang ikut-ikutan dengan rentak orientalis dan tokoh-tokoh Syi`ah. Saya akan perlihatkan contoh-contohnya untuk para pembaca secara ringkas.

[1] Hasan As Saqqaf, Shahih Sifat Salat An Nabi, halaman 294, cetakan: Dar Al Imam An Nawawi, Jordan
[2] halaman ijazah am
[3] lihat halaman 111.
[4] Abu Hasan `Ali An Nadwi, Al Hafizh Ahmad bin Taimiyah, halaman 213 cetakan Dar Al Qalam, Kuwait.
[5] Ibid, halaman 215.