Sunday, May 17, 2015

Sejarah Syiah Dua Belas Imam di Iran dan Perkembangan di Indonesia

Antara Toleransi dan Keawaman

Potensi konflik pun tidaklah kecil dari berkembangnya ideologi Syiah yang radikal ini, terutama bila bercermin pada krisis Timur Tengah saat ini, seperti Suriah, Iraq, Bahrain dan terakhir Yaman
Oleh: Ady C. Effendy, MA
AKHIR-akhir ini, umat Islam di tanah air disibukkan dengan fenomena semarak kegiatan-kegiatan Syiah Imamiyah di tanah air.
Baru-baru ini kelompok Syiah Imamiyah ini mengadakan kegiatan peringatan syahidnya Imam Husain bin Ali di Karbala   yang berlokasi di ICC Pejaten Jakarta Selatan. Islamic cultural center (atau ICC) sendiri merupakan lembaga kebudayaan Iran yang didirkan sejak tahun 2003 untuk menyebarkan budaya dan aliran Syiah Imamiyah di Indonesia.
Pengalaman penulis sendiri ketika berkunjung ke lokasi ini sekitar tahun 2006, lembaga ini memiliki lingkungan yang cukup luas serta asri, nyaman, dan tenang sehingga sangat potensial sebagai pusat penyebaran agama Syiah Imamiyah.
Dalam tulisan ini, penulis tidak berusaha mengulang kembali poin-poin tentang Syiah Imamiyah yang sudah seringkali dijelaskan oleh para muballigh dan ustadz di berbagai kesempatan baik lisan maupun tulisan.
Tulisan ini justru hendak menyoroti upaya sebagian kecil pihak yang selalu bersandar pada slogan toleransi untuk menyambut suka cita penyebaran aliran ini.
Dalam tulisan ini, penulis merujuk pada sejarah Syiah Imamiyah sendiri di Iran dan perkembangan kontemporer ideologi Imamiyah di beberapa negeri mayoritas Muslim di Timur Tengah.
Sejarah negeri Persia (sekarang Iran) setelah penaklukan Islam dan sebelum kedatangan Syiah Imam Dua Belas sangatlah mengesankan. Tercatat banyak ulama-ulama besar umat Islam – rahmatullah ‘alaihim – yang terlahir dari rahim negeri Persia ini, diantaranya adalah Imam al-Bukhari (w870M), Imam Abu Dawood (w889m), Imam Al-Juwayni (w1085m), Imam Al-Bayhaqi (w1066M), Imam Al-Ghazali (w1111M), Imam Abu Abdullah al-Hakim Nishapuri (w1012M), Imam alSarakhsi (w1096M), Imam al Taftazani (w1390M), dan lainnya.Mereka adalah ulama mu’tabar yang menjadi rujukan dalam ilmu-ilmu keislaman dan telah menghasilkan kitab-kitab yang abadi hingga yaumil qiyamah.
Sebelum kedatangan Dinasti Safawi, mayoritas umat Islam Persia menganut Madzhab Syafi’i dan sebagian Hanafi, namun setelah kedatangan Pasukan Safawi dibawah pimpinan Syah(Raja) Ismail ke-I yang menyerbu dan berhasil menaklukkan Tibriz, Azerbaijan, dan Armenia dari tahun 1500-1502M.
Pasukan Safawi kemudian secara perlahan menyebar ke seluruh tanah Persia dan menaklukkan Khurasan dan Herat pada tahun 1510. Keturunan Safawi merupakan orang-orang Syiah berdarah Persia.
Dari dua latar belakang ini, Syah Ismail ke-I jauh lebih dipengaruhi oleh kesyiahannya dan kebenciannya kepada Ahlus Sunnah yang berhasil menghancurkan Dinasti Fatimiyah di Mesir pada tahun 1171M.
Oleh karena itulah, ketika Syah ini berhasil menaklukkan tanah Persia, hal pertama yang dilakukannya adalah mencabut akar Sunni dari penduduk dan memaksakan seluruh penduduk bumi Persia untuk menganut Syiah Imamiyah atau mati.
Selain sebagai upaya menggusur pengaruh musuh abadi mereka Dinasti Usmaniyah Sunni dan mencegah timbulnya pemberontakan dari dalam negeri Persia, pemaksaan Syiah ini juga berfungsi sebagai pembentuk identitas unik bagi Dinasti Safawi dan agar dapat membangun loyalitas penuh dari penduduk tanah Persia.
Kasus Sampang dan Yaman
Cara-cara radikal Syiah Imamiyah dalam menyebarkan ideologi menyimpangnya ini sudah bukan barang baru lagi. Tidaklah mengherankan bahwa kasus-kasus yang melibatkan Syiah Imamiyah belakangan ini cukup unik karena menunjukkan kelompok yang notabene minoritas berupaya memaksakan pandangannya kepada mayoritas Sunni.
Kasus minoritas Hutsi di Yaman, minoritas syiah di Sampang, Madura dan minoritas Syiah yang menyerang Majelis Adz-Zikra Pimpinan Ustad Arifin Ilham merupakan beberapa contoh. Syiah yang minoritas namun berani melakukan cara kekerasan.
Melihat radikalisme Syiah ini, alangkah mengherankan terdapat sebagian kalangan yang mewacanakan toleransi terhadap kelompok Syiah ini.
Kelompok Liberalis Indonesia, misalnya, tidak segan-segan membuka keran kerjasama kebudayaan dengan Iran seakan-akan amnesia dengan radikalisme dan militanisme negara pusat Syiah ini di beberapa negara di Timur tengah.
Langkah liberalis Indonesia yang bekerja sama dengan negeri mullah yang ademokratis ini jelas bertolak belakang dengan misi liberalisme yang diusung AS dan Uni Eropa yang justru mengembargo salah satu negeri ‘poros setan’ ini.
Tidaklah berlebihan apabila banyak yang mempertanyakan konsistensi kelompok liberal Indonesia yang di satu sisi mengkritisi, mencemooh dan memfitnah habis-habisan kelompok Islam Sunni sebagai fundamentalis dan radikal. Namun di lain sisi, bekerjasama dengan Iran dan kelompok syiah di tanah air yang justru dikenal sangat radikal dalam penyebaran ideologinya.
Salah seorang tokoh umat Islam juga sempat mempertanyakan kecenderungan bekerja sama dengan negeri Syiah Imamiyah sementara menurutnya radikalisme Syiah bahkan melebihi kelompok takfiri.
Hal ini karena Syiah tidak hanya mengkafirkan sesama muslim namun lebih dari itu mengkafirkan juga para Sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wassallam seperti Abu Bakar, Umar, Aisha, Hafsah, ra.
Upaya liberalis di tanah air ini yang biasanya selalu menolak mentah-mentah konservatisme umat Islam di tanah air namun berpeluk erat dengan radikalisme ideologi Syiah memang patut menjadi pertanyaan besar bagi umat.
Potensi konflik pun tidaklah kecil dari berkembangnya ideologi Syiah yang radikal ini, terutama bila bercermin pada krisis Timur Tengah saat ini, seperti Suriah, Iraq, Bahrain dan terakhir Yaman.
Di Indonesia sendiri kekerasan Syiah sudah tampak dalam kasus Sampang, Madura dan penyerangan terhadap Majelis Azzikra.
Yang tidak kalah disayangkan pula adalah sikap banyak umat Islam yang karena keawaman dan ketidaktahuan tentang Syiah Imamiyah ini maka mempersamakannya dengan Syiah Zaidiyah yang lebih dekat dengan Sunni.
Kelompok yang awam ini menyerukan toleransi terhadap kelompok Syiah Imam Dua Belas dari Iran ini, padahal kelompok terakhir ini dikenal radikal dan anti-sahabat Nabi terkemuka yang dihormati dalam ajaran Islam Sunni.
Kemiripan kaksus Persia di masa lalu dan Indonesia saat ini  harus menjadi ibrah (pelajaran) berharga bagi umat. Sebab keterlambatan mengantisipasi sebaran Syiah Imamiyah sangat merugikan bagi Muslim Sunni Persia masa lalu dimana mereka pada akhirnya justru dipaksa berpindah agama menjadi Syiah atau mati ditangan pasukan Safawiyah.
Pola ini tampaknya tidak akan berubah jika kita melihat aksi Syiah al Hautsi (Syiah al Houthi) di Yaman.
Oleh karenanya, umat Islam Sunni hendaklah selalu berhati-hati menyingkapi fenomena Syiah Imam Dua Belas ini agar kegemilangan tanah air dalam melahirkan ulama-ulama Nusantara tidaklah sampai berganti dengan kelahiran mullah-mullah yang anti-Sahabat Nabi.
Konservatisme politik umat juga bukanlah sesuatu yang memalukan sehingga harus ditanggalkan, mengingat realita bahwa negeri paling liberal pun memiliki jumlah kaum konservatis yang tidak kecil.
Pertanyaan besar justru berpulang kepada kaum liberal yang seakan ‘menjilat ludah’ sendiri dengan bergandengan dengan kelompok radikal Syiah. Wallahu a’lam.*/Doha, 16 Mei, 2015
Penulis alumni Magister Pemikiran Islam Universitas Hamad bin Khalifa, sedang melanjutkan program S3 di Qatar


Ilmuwan: Penyebaran dan Gerakan Syiah Berbahaya Bagi Indonesia

Iran melalui bantuan pendidikannya berencana melahirkan seribu doktor (PhD) di Indonesia
Aliran Syiah masuk ke berbagai belahan dunia dengan menggunakan beberapa strategi.  Strategi itu terfokus pada penguasaan tiga asas utama yang ada pada setiap negara, yaitu militer, ilmu pengetahuan (ulama dan intelektual), serta ekonomi (pemilik modal).
Demikian disampaikan Assoc. Prof. Dr. Kamaluddin Marjuni dalam dialog ilmiah tentang Syiah di kampus International Islamic University Malaysia (IIUM) hari Sabtu, 14 Maret 2015.
Acara yang digagas Islamic Studies Forum for Indonesia (ISFI) dengan mengangkat tema “Syiah: Apa, Siapa, Mengapa, dan Bagaimana?” itu juga menghadirkan Assoc. Prof. Dr. Syamsuddin Arif.
Menurut Dr. Kamaluddin Marjuni, selain itu, upaya pensyiahan dunia Islam juga dilakukan melalui penguatan hubungan diplomatik, politik, dan kebudayaan.
Sejak Revolusi Iran, pengaruh Syiah terus menyebar ke banyak negeri Muslim. Negeri-negeri berpenduduk mayoritas Sunni, termasuk di antaranya Malaysia, yang kebanyakan menolak penyebaran paham Syiah di negerinya.
Namun, menariknya, di Indonesia, paham apa pun masuk dan diterima, termasuk Syiah, padahal hal itu sangat tidak menguntungkan Indonesia ke depannya.
“Iran melalui bantuan pendidikannya berencana melahirkan seribu doktor (PhD) di Indonesia,” ujar Dr. Kamaluddin.
“Saudi Arabia pun berencana melahirkan seribu doktor di Indonesia. Masing-masing tentu akan menyebarkan paham Syiah dan Salafy ke Indonesia. Jadi bisa dibayangkan akan seperti apa pertarungan intelektual di Tanah Air ke depannya dengan semakin ramainya kedua kelompok yang sangat bermusuhan ini. Hal ini akan menjadi tantangan yang sangat besar bagi kalangan Asy’ari di Tanah Air,” ujarnya.
Jejak Persia
Sementara itu, Dr. Syamsuddin Arif mengamati adanya jejak-jejak Persia di dalam paham dan praktek keagamaan Syiah.
Ia menyebutkan adanya beberapa upaya menghidupkan kembali identitas Persia, sejak negeri itu dikuasai oleh Muslim, melalui gerakan-gerakan perlawanan terhadap pemerintah pusat, antara lain melalui gerakan Syiah.
Banyak hal yang mengundang pertanyaan tentang Syiah. Salah satu contoh mendasar adalah bagaimana “seluruh agama (Islam) disederhanakan menjadi semata-mata isu Ali-Fatimah-Hasan-Husain.”
Dr. Syamsuddin juga menyinggung tentang beberapa praktek keberagamaan Syiah yang ganjil. Ia memberi contoh penelitian Edith Szanto tentang penjualan beberapa barang terkait seks, seperti kondom, Viagra dan krim untuk alat vital, yang dijajakan secara bebas di tempat-tempat ziarah Syiah di Damaskus. Seolah-olah hal itu merupakan satu bentuk dukungan keagamaan bagi para peziarah yang datang.
Dalam dialog ilmiah ini kedua pembicara sama-sama menjelaskan tentang beragamnya kelompok Syiah yang ada, mulai dari yang ekstrim hingga moderat.
Karena itu penting bagi kalangan Ahlu Sunnah untuk tidak mengeneralisir penyikapan terhadap Syiah. Bagaimanapun, keduanya menekankan bahwa penyebaran paham dan gerakan Syiah merupakan hal yang berbahaya bagi Indonesia.*

Dr. M. Kholid Muslih: Syiah di Berbagai Negara Berpotensi Memberontak

Akhir dari gol pergerakan semua kelompok Syi’ah adalah ingin mendapatkan sebuah kekuasaan
Kasus pemberontakan kelompok Syi’ah al Hautsi (Barat menyebut al Houti) yang tengah menduduki Istana Kepresidenan Yaman dan Universitas al Iman, Yaman harus menjadi perhatian umat Islam di Indonesia, khususnya Ahlus Sunnah.
Syi’ah bukanlah semata-mata sebuah kelompok agama melainkan kelompok politik yang orientasinya ingin menguasai seluruh kekuasaan dimana pun Syi’ah berada, termasuk di Indonesia.
Yang perlu diketahui oleh seluruh umat Islam, Syi’ah di berbagai negara selalu ingin memberontak karena dalam rangka urusan politik mereka.
Demikian keterangan yang disampaikan oleh Dr. M. Kholid Muslih, M.A salah satu pakar Syi’ah dari Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor kepada hidayatullah.com, mengutip pendapat para ulama Mesir terkait pendudukan Syiah di Yaman.
“Orientasi utama Syi’ah adalah politik dan mereka menjadikan imamah sebagai salah satu rukun iman. Bahkan ulama-ulama di Mesir mengklarifikasikan Syi’ah sebagai sebuah kelompok politik bukan kelompok agama,” tegas alumni Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir kepada hidayatullah.com, Selasa (23/09/2014) pagi.
Menurut Kholid, Syi’ah yang saat ini ada di Indonesia dinilai memiliki potensi yang sama dengan Syi’ah al-Hautsi yang kini telah menduduki Istana Kepresidenan Yaman.
Bukan hanya Syi’ah al-Hautsi saja, tetapi juga beberapa kelompok Syi’ah yang berhasil menguasai Iraq dan sebagian wilayah di Libanon. Karena akhir dari gol pergerakan semua kelompok Syi’ah adalah ingin mendapatkan sebuah kekuasaan. Hal itu merupakan proses panjang menurut mereka.
“Pergerakan kelompok Syi’ah akan terus merambah kemana-mana. Sebab kelompok Syi’ah selalu berupaya untuk saling menguatkan dan terus bekerja sama guna mencapai orientasi politik mereka dan demi kepentingan kelompok masing-masing,” tegasnya.
Sebagaimana diketahui, Muslih menyelesaikan S1 hingga S3 nya di  Fakultas Ushûluddin Jurusan Aqidah di Universitas Al-Azhar, Kairo, Mesir.
Secara khusus, tesis dan disertasinya meneliti masalah gerakan politik Syiah. Tesisnya berjudul “Al-Ittijâh al-Syi’I al-Itsnâ Asyari (al-Qodim wa al-muâ’shir) wa al-In’ikâsâtuhu ‘alâ al-Mujtama’ al-Sunni bi Indûnisia” sedang disertasinya berjudul “Wilâyatu al-Faqîh wa al-tathbîqâtuhâ al-mu’âshirah; Qirâ’ah naqdiyyah lillidhâm al-siyâsi assî’I al-mu’âshir; muqâranan bi al-syûrâ wa al-dimûkrâthiyah.”*/Ahmad Fazeri

Beberapa Fakta Sejarah Serangan Syiah pada Ahlus Sunnah

Kasus penyerangan pembela Syiah terhadap jamaah Majelis Az-Zikra menurutnya bisa menjadi senjata ampuh pemerintah dan bangsa Indonesia menahan perkembangan paham Syiah
Pakar Syi’ah dari Universitas Darussalam (UNIDA) Gontor Dr. M. Kholid Muslih, M.A membantah pernyataan tokoh Syiah Indonesia yang mengatakan tak ada sejarah Syiah menyerang Sunni.
“Ungkapan tidak ada sejarah Syiah menyerang Ahlus Sunnah itu jelas jelas pernyataan a-historis dan a-argumentatif,” ujarnya.
Dalam sejarah, ujar Kholid, berdirinya kerajaan Shofawiyah 1501-1785 adalah perjalanan berdarah-darah, di mana Ismail as Shofawi setelah berhasil menundukkan beberapa daerah (Kailan, mayotitas daerah negara Persia dahulu, serta Iraq) dengan cara memaksakan paham  Syiah kepada penduduk dengan hanya 3 pilihan; mati, keluar dari daerah mereka atau menganut paham Syiah.
Setelah itu, ujarnya lagi,  Shafawiyah selalu menyerang Utsmaniyah.
Safawiyah (dalam bahasa Parsi Safawian) adalah dinasti Iran yang memerintah dari tahun 1501 hingga 1736. Ketika era inilah Syiah menjadi agama resmi Iran hingga hari ini.
Dalam sejarah lain, kelompok Syiah Qaramithah juga pernah menyerang Makkah dan mengambil Hajar Aswad dari tempatnya.
Penyerangan terhadap Makkah ini kemudian diulang kembali pada tahun 1987.
Menurut Kholid, banyak sejarah lain terkait serangan Syiah terhadap Sunni. Misalnya yang terjadi pada 22 Agustus 2014 kelompok Syiah kembali menyerang masjid Sunni (Mushab Bin Umair) di dekat Kota Ba’quba Iraq dan menewaskan 65 orang dan 16 luka luka.
Yang terakhir adalah pengambil-alihan kekuasaan oleh pemberontak Syiah Hutsi (al-Hautsi atau Haouthi) Yaman dengan jalan senjatatanpa proses demokrasi sebagai bukti paling kongkrit saat ini. [Baca: Dr. M. Kholid Muslih: Syiah di Berbagai Negara Berpotensi Memberontak]
Demikian pula bukti bukti pembinasaan warga Sunni oleh Nusyairiyah di Suriah saat ini.
Lebih jauh pria yang menyelesaikan S2 dan S3 terkait paham politik Syiah di  Fakultas Ushûluddin Jurusan Aqidah di Universitas Al-Azhar, Mesir ini  juga mengatakan pemerintah harusnya cepat tanggap dengan membentuk mensikapi kasus penyerangan pembela Syiah terhadap jamaah Majelis Az-Zikra.
“Kita tidak bisa sekedar mengumpat-ngumpat yang hanya akan melakukan hal-hal di luar hukum.”
“Kasus penyerangan pembela Syiah terhadap jamaah Majelis Az-Zikra menurutnya  bisa menjadi senjata ampuh pemerintah dan bangsa Indonesia menahan perkembangan paham Syiah,” ujarnya.*

Abu Hurairah: Otaknya Menjadi Gudang perbendaharaan Pada Masa Wahyu

Tidak asing lagi dikalangan umat ini, tentang sahabat yang sangat erat dengan dunia periwayatan hadits dan beliau pula diantara para sahabat yang paling banyak meriwayakan hadits Rosulullah saw, dialah Abu Hurairah ra.
Asal Usul Gelar Abu Hurairah
Nama yang disandang beliau pada masa jahiliyah adalah Abdu Syamsi. Setelah beliau masuk Islam, Allah SWT memuliakan dirinya dengan bertemu Rosulullah saw. Kemudian Rosulullah saw mengganti namanya dengan Abdurrahman. Adapun gelar Abu Hurairah ra karena kegemarannya bermain dengan anak kucing. Diceritakan pada suatu masa ketika Abu Hurairah ra bertemu Rasullullah saw dia ditanyai tentang apa yang ada dalam lengan bajunya. Apabila dia menunjukkan anak kucing yang ada dalam lengan bajunya, lantas dia diberi gelar Abu Hurairah ra oleh Rasullullah saw. Semenjak itulah, dia lebih suka dikenali dengan gelaran Abu Hurairah ra.
Masuk Islamnya Abu Hurairah ra
Abu Hurairah ra memeluk Islam pada tahun ke-7 Hijriyah ketika Rasulullah saw berada di Khaibar, ia memeluk Islam dengan perantaraan tangan Thufail bin Amru Ad-Dausiy. Semenjak ia bertemu dengan Nabi saw, ia berbai’at kepadanya dan hampir-hampir tidak pernah berpisah darinya kecuali pada saat-saat tertentu seperti waktu tidur. Begitulah kehidupannya selama kurang lebih empat tahun dalam menemani Rosulullah saw. Dan karena itulah, beliau mempunyai perbendaharaan yang sangat menakjubkan dalam meriwayatkan hadits.
Kelebihannya dalam Hafalan dan Ingatan
Abu Hurairah ra termasuk salah seorang sahabat Nabi yang mempunyai bakat-bakat istimewa. Beliau ra mempunyai kemampuan dan kekuatan yang luar biasa dalam hal hafalan dan ingatan. Kelebihan yang dimilikinya bisa menangkap apa yang didengarnya sedang ingatannya sangat kuat untuk menghafal dan menyimpan. Didengarnya, ditampungnya lalu terpatri dalam ingatannya hingga dihafalnya, hampir tak pernah dia melupakan apa yang telah didengarnya, sekalipun usianya semakin bertambah. Itu terjadi setelah Allah mengabulkan do’a Rosulullah saw untuk Abu Hurairah ra supaya diberi kelebihan dalam menghafal.
Walaupun demikian, dulunya Abu Hurairah ra mempunyai ingatan yang lemah lalu beliau mengadu kepada Rasulullah. Kemudian Rasulullah saw mendoakan agar Abu Hurairah ra diberkati dengan daya ingatan yang kuat. Semenjak hari itulah Abu Hurairah dikaruniai dengan daya ingatan yang kuat yang membolehkan beliau meriwayatkan jumlah hadis terbanyak di kalangan para sahabat.
Mengapa Abu Hurairah ra termasuk Sahabat yang paling banyak meriwayatkan Hadits
Abu Hurairah ra berjaya meriwayatkan banyak hadits disebabkan beliau sentiasa berdampingan dengan Rasulullah selama tiga/empat tahun, selepas memeluk Islam. Ini sebagaimana yang di riwayatkan olehnya :
“… sesungguhnya saudara kami dari golongan Muhajirin sibuk dengan urusan mereka di pasar sedangkan  orang-orang Ansar sibuk bekerja di ladang mereka sementara aku seorang yang miskin sentiasa bersama Rasulullah saw ‘Ala Mil’i Batni. Aku hadir di majlis yang mereka tidak hadir dan aku hafal pada masa mereka lupa.” (Al-Bukhari)
Tuduhan yang ditujukan kepada Abu Hurairah ra
Sewaktu datang para pemalsu-pemalsu hadits yang dengan sengaja membuat hadits-hadits bohong, seolah-olah datang dari Rosulullah saw. Mereka memperalat dan menyalahgunakan nama Abu Hurairah dalam periwayatan hadits-hadits palsu itu. Dengan kelakuan mereka ini, hampir-hampir Abu Hurairah ra diragukan tentang kelebihannya dalam meriwayatkan hadits. Sampai-sampai Khalifah Umar bin Khattab ra pernah melarang Abu Hurairah ra untuk menyampaikan hadits dan hanya membolehkannya menyampaikan ayat Al-Quran. Hal itu disebabkan karena tersebarnya khabar angin tersebut. Larangan khalifah baru dibatalkan setelah Abu Hurairah ra mengutarakan hadits mengenai bahaya hadits palsu.
مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنْ النَّارِ
“Barangsiapa yang berdusa terhadap saya dengan sengaja, maka hendaklah dia mempersiapkan tempat duduknya di dalam api neraka.” (Al-Bukhari, Muslim, Ibnu Hibban, Abu Dawud, At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ad-Darimi, dan Ahmad)
Penolakan Kaum Orientalis dan Syi’ah terhadap Hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra
Diantara golongan yang mempertikaikan tentang kesahihan hadits-hadits yang disampaikan oleh Abu Hurairah ra adalah golongan orientalis barat yang telah membuat kritikan terhadap hadits dan para perawinya termasuk Abu Hurairah ra. Tuduhan mereka kepada beliau telah mempengaruhi beberapa penulis Islam seperti Ahmad Amin dan Mahmud Abu Rayyuh untuk mengkritik kedudukan Abu Hurairah sebagai perawi hadits. Tuduhan-tuduhan ini telah disanggah oleh Mustafa As Sibai dalam al Sunnah wa Makanatuha halaman 273-283.
Selain dari golongan ini, terdapat juga kritikan yang kuat daripada golongan syiah. Diantara sebab-sebab yang memungkinkan kaum syi’ah menolak hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah ra adalah:
  1. Abu Hurairah ra merupakan penyokong Ustman bin Affan ra.
  2. Beliau ra pernah menjadi pegawai dinasti Umayah.
  3. Beliau ra tidak meriwayatkan hadits yang menyatakan pujian atau pengistimewaan kepada Ali ra.
Jabatannya Sebagai Gubernur
Pada masa pemerintahan Umar bin Khathab ra, Abu Hurairah ra diangkat menjadi gubernur Bahrain. Sebagaimana diketahui bahwa Umar adalah orang yang sangat keras dan teliti. Apabila dia menangkat seseorang menjadi pegawainya sedang orang itu hanya mempunyai dua pasang pakaian, maka ketika orang yang diangkat melepaskan jabatannya, ia harus mempunyai dua pasang pakaian pula. Kalau ada kelebihan harta baginya maka ia akan menerima introgasi dari Umar walaupun dengan jalan yang halal.
Hal demikian juga dialami oleh Abu Hurairah ra, ia dipanggil ke Madinah untuk diintrogasi yang akhirnya Umar ra mencopot jabatannya karena tuduhan mengumpulkan harta negara. Akan tetapi, pada suatu saat Umar ra kembali memanggilnya dan menawarkan kepadanya jabatan yang baru. Namun Abu Hurarah ra tidak menerima tawarannya dan meminta maaf atas hal itu. Alasan Abu Hurairah ra adalah supaya kehormatannya tidak sampai tercela, hartanya tidak dirampas, dan pungungnya tidak dipukul. Dan juga karena ketakutannya kepada Allah ketika memutuskan sesuatu tanpa ilmu dan berbicara tanpa rasa kasihan.
Wafatnya Abu Hurairah ra
Di kota yang penuh cahaya (Al-Madinatul Munawwarah), dia mengembuskan nafas terakhirnya pada 58 atau 59 Hijriyah. Ketika itu usianya dalam 78 tahun. Beliau dimakamkan di pemakaman Baqi’.
Peninggalan Abu Hurairah ra
Jumlah hadits yang dikumpulkan Abu Hurairah ra sebanyak 5.374 hadits dan jumlah ini paling banyak diantara jumlah yang dikumpulkan sahabat-sahabat yang lain. Hadits Abu Hurairah r.a. yang disepakati Imam Bukhari dan Muslim berjumlah 325 hadits, oleh Bukhari sendiri sebanyak 93 hadits sedangkan oleh Muslim 189 hadits. Hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah ra juga terdapat dalam kitab-kitab hadits lainnya.

Khumus, Penipuan Dalam Sejarah Syiah


khumus syiahHari ini gerakan Syiah mulai berkembang dimana-mana, dan diperlukan usaha untuk memberikan penerangan kepada kaum muslimin agar mereka tidak tertipu oleh berbagai slogan Syiah atau tertipu dengan aneka macam propaganda mereka yang mempesona. Sebab banyak orang Islam yang karena prasangka mereka yang baik dan hati mereka yang tulus telah menjadi korban tipuan propagandis Syiah dan terbius oleh alunan irama langgam mereka.
Apa yang menjadi slogan Syiah adalah “Cinta dan membela Ahlu Bait” yaitu mengagungkan dan mensucikan mereka, mengangkat mereka ke derajat tinggi, memuji-muji mereka secara berlebihan, memaki para Sahabat dan isteri Nabi Muhammad saw serta berdusta atas nama Ahlu Bait dengan mengatakan sesuatu yang tidak pernah mereka katakan.
Dengan slogan dan doktrin itu, penghulu-penghulu Syiah membius pengikut-pengikut mereka dan yang mengorbit dalam lingkaran mereka, untuk tetap mengontrol dan menguasai pengikut-pengikut yang terlena itu, agar mengalir terus-menerus kepada penghulu-penghulu itu, harta-harta yang terkumpul dari peziarah-peziarah gua imam mereka yang ghaib serta masyhad-masyhad imam-imam mereka dan para muridnya; dan lebih dari itu upeti Khumus yang harus dibayar tanpa dikurangi sepeser pun kepada penghulu mereka oleh massa Syiah yang terbius dan tertipu itu.
Dalam artikel yang ringkas ini kita akan membahas tentang khumus menurut Syiah, Khumus telah menjadi urat nadi Syiah bahkan sekiranya bukan karena Khumus Syiah tidak akan ada seperti yang sekarang.
Asal Usul Khumus dalam Syiah
Dalil-dalil yang menyebutkan bahwa khumus adalah wajib merupakan sebuah kebohongan sejarah yang telah dibuat Syiah, lantaran sampai pada akhir abad ke lima hijriyah belum ada pembahasan khumus dalam kitab-kitab Syiah. Dan kitab-kitab fiqih sebelumnya juga tidak menulis bab atau pembahasan tentang kewajiban yang dibuat-buat ini.
Kitab Alkafi yang ditulis oleh Al-Kulaini yang dianggap sebagai kitab yang tertua, teragung, paling bagus dan paripurna tidak menyebutkan istilah khumus dengan berdiri sendiri tetapi tergabung dengan pembahasan yang lain dan pendiri hauzah ilmiah di Najf yang mereka panggil dengan Syaikhul Mazhab yaitu Muhammad bin Hasan Ath-Thusi juga tidak menyebutkan khumus dalam kitab-kitabnya, padahal sepeninggalnya, dia tidak meninggalkan sesuatu yang tidak diketahui manusia.
Masalah khumus baru muncul ketika masa pemerintahan bani Abbasiyah yang ketika itu ulama Syiah tidak mendapatkan tunjangan untuk menopang kehidupan mereka  karena pemerintah menganggap mereka bukan termasuk Islam disebabkan  keyakinan-keyakinan mereka yang menyeleweng seperti syirik, berlebih-lebihan dan menggatakan bahwa dalam Al-Quran terdapat perubahan (tahrif). Sehingga ahli fiqih Syiah dan para penuntut ilmu hidup dalam kemiskinan dan kepapaan yang tak terperikan. Oleh karena itu salah satu solusi yang mereka buat adalah dengan membuat tafsiran baru tentang ayat khumus.
Maksud tafsir ini adalah hendaknya manusia membayar seperlima dari harta rampasan perang atau bukan perang sesuai pembagian dalam ayat. Maka khumus itu wajib dari semua yang dihasilkan manusia berupa gaji, keuntungan perdagangan, emas tambang dan yang lainnya.
Aslinya oleh Syiah khumus itu diberikan untuk imam dan karena imam mereka tidak ada maka khumus dibayar kepada wakilnya yaitu Marja’. Setelah itu mereka membuat nash-nash yang mengancam orang-orang yang tidak mau membayar khumus dengan azab neraka dan bisa menjadi kafir kemudian muncul hukum-hukum aneh tentang tidak akan dishalatkan orang yang tidak mengeluarkan khumus atau tidak akan dijamui.
Yang perlu diperhatikan bahwa ketika ulama Syiah mendesak pengikut mereka untuk membayar khumus dari harta mereka, mereka juga membuka pintu yang lebar untuk memubahkan memakan harta Ahlus Sunnah yang mereka sebut dengan “Nashibi” dan dianggap amalan yang sunnah dan mereka menyebutkan nash-nash dari Nabi saw dan salaf shalih.
Berikut ini beberapa hadits dari Abu Jakfar yang dijadikan Syiah sebagai dalil atas kehalalan Khumus.
  1. Berkata As-Shadiq alaihis salam : “Sesunguhnya Allah yang tidak ada tuhan selain Dia ketika mengharamkan bagi kami sedekah telah menghalakan bagi kami khumus, sedekah itu haram bagi kami dank khumus itu wajib untuk kami”. (Man la yahdhuruhul Faqih, 2:41)
  2. Dari Abu Jakfar alaihis salam berkata : “Tidak halal bagi seseorang untuk membelanjakan sebagian dari khumus sehingga sampai kepada kami hak kami.” (Al-Hadhaiq An-Nadhirah karangan Al-Bahrani, 12: 428)
  3. Dari Abu Bashir dari Abu Jakfar alaihis salam berkata : “Barangsiapa yang berbelanja dengan sebagian dari harta khumus tidak akan diampuni oleh Allah, dia telah berbelanja dengan sesuatu yang tidak halal”. (Al-Hadhaiq An-Nadhirah karangan Al-Bahrani, 12: 428)
Sanggahan Argumentasi Syiah tentang Ayat Dzawil Qurba
Yang dimaksud ayat dzawi qurbâ oleh kaum Syiah adalah kerabat dan keluarga terdekat Rasulullah saw. Sebagaimana firman Allah swt : “Dan ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang, maka sungguh seperlimanya untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan ibnu sabil….” (Al-Anfal : 41).
Distribusi pembagian ghanimah menurut mereka adalah 1/5 bagi Allah dan Rasul, 1/5 untuk sanak kerabat Rasul, 1/5 untuk anak-anak yatim, 1/5 bagi fakir miskin, dan 1/5 lagi kepada ibnu sabil. Inilah yang mereka sebut khumus (seper- lima). Khumus ini memang hanya diambil dan harta rampasan di medan jihad, karena Allah Ta’alaberfirman “sesungguhnya apa saja yang kamu peroleh sebagai rampasan perang”, namun amatlah disayangkan harta rampasan jihad atau ghanimah yang seharusnya diambil dari harta orang-orang kafir justru mereka ambil dari umat Muslim.
Di sini ada dua hal yang menjadi letak kesalahan mereka. Pertama, terkait porsi jatah pembagian ghanimah, dan kedua, menyangkut asal harta yang dibagi-bagikan itu diambil.
Untuk yang pertama, semestinya 1/5 dari ghanimah itu memang dibagi rata ke pada Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, fakir miskin, dan ibnu sabil, sehingga 4/5 yang tersisa dan keseluruhannya adalah untuk para mujahidin.
Jika diilustrasikan, seandainya total keseluruhan ghanimah bernilai 10.000 (bisa dinar atau dirham), maka ghanimah tersebut dibagi menjadi lima bagian yang sama, yang masing-masing bernilai 2.000. Selanjutnya, empat bagiannya dibagikan kepada para mujahidin yang turut bertempur di medan peperangan, yakni sebanyak 8.000, sedangkan sisanya yang satu bagian itu, 2.000, dibagi menjadi lima bagian lagi: (1) 400 untuk Allah dan Rasul, (2) 400 untuk kerabat Rasul, (3) 400 untuk anak-anak yatim, (4) 400 untuk fakir miskin, dan (5) 400 untuk ibnu sabil. Demikianlah seharusnya pembagian yang benar menurut petunjuk Allah .
Lalu sekarang, apa yang dilakukan kaum Syiah? Seperti sudah disinggung tadi, bahwa mereka memberikan kerabat Rasul 1/5 bagian dari total keseluruhan harta. Bila memakai ilustrasi di atas, maka kerabat Rasul akan mendapatkan harta ghanimah senilai 2.000, bukan 400 seperti yang dituntunkan Allah Ta’ala.
Persoalan kedua, semestinya harta ghanimah yang dibagi hagikan berasal dari harta musuh kafir yang dirampas di medan pertempuran, bukan dari harta muslimin. Sementara yang dilakukan oleh kaum Syiah, mereka mengambilnya dari harta muslimin kemudian 1/5 diserahkan kepada kerabat Rasul. Jelas, apa yang mereka lakukan ini bertentangan dengan ajaran Islam, sehingga kita tidak bisa menerimanya.
Referensi:
Membantah Argumentasi Syi’ah oleh Utsman bin Ahmad al-Khumais
Kitab ‘Al-Khumsu Wa Sahmul Imam’ oleh Faishal Nur dari Maktabah Syamilah

Tanggapan Terhadap M. Quraish Shihab Tentang Masalah Riba


riba dalam al-quranM. Quraish Shihab adalah seorang ulama yang dikenal banyak oleh umat Islam di Indonesia, beliau juga salah seorang penulis buku yang produktif, selain buku dia juga menulis artikel seputar Al-Quran yang banyak tersebar di media cetak dan media online. Di antara tulisan beliau yang pernah saya temukan di media online adalah artikel dalam format pdf berjudulRiba Menurut Al-Quran.

Dalam artikel itu beliau termasuk orang yang berpendapat bahwa bunga yang dilarang hanyalah bunga yang berlipat ganda, adapun jika bunga yang wajar dan mendhalimi diperkenankan. Beliau berpendapat bahwa huruf “al” pada lafadz “wa harrama al-riba”menunjuk kepada sesuatu yang telah disebut terdahulu. Sementara kalam Allah di sini telah didahului dengan kalam yang lain tentang riba yang dijelaskan sebelumnya yaitu surat Ali Imron:130 “la ta’kulur-riba ad’afan muda’afah“ maka yang diharamkan adalah riba yang berlipat ganda, adapun jika tidak berlipat ganda maka tidak dilarang.

Untuk menjawab terhadap pendapat beliau, maka hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: kata “al” pada “al-bai’a” dan “ar-riba” memberi arti jenis, hal ini merupakan penggunaan kata aslinya. Allah tidak menyebut jual beli atau riba tertentu dalam firmanNya “wa ahalallahul-bai’a wa harramar-riba“ sehingga kata “al-bai’a“ dan “ar-riba“ merupakan lafad yang bersifat umum. Ia mengandung makna kebolehan setiap jenis jual beli dan mengharamkan semua jenis riba secara umum. Pengharaman jenis tertentu dari jual beli atau kebolehan jenis tertentu dari riba harus mendatangkan dalil lain.

Ayat tersebut berlaku secara umum di setiap jual beli dan riba. Dalil secara umum setiap jual beli adalah mubah, mencakup segala bentuk jual beli, sedangkan dalil secara umum tentang riba adalah haram, mencakup keseluruhan riba. Adapun dalil yang mengecualikan hukum jual beli tertentu, atau hukum riba tertentu dari hukum secara umum, hal tersebut merupakan dalil khusus. Berdasarkan hal ini pemahaman ayat tersebut adalah setiap jual beli itu mubah, tidak mengeluarkan jual beli dari kebolehannya kecuali ada dalil yang mengkhususkan, demikian pula setiap riba adalah haram kecuali dengan dalil khusus. Maka pembolehannya membutuhkan sebuah dalil. Sementara tidak ada dalil khusus yang mengeluarkan suatu jenis riba dari keharamannya.

Seandainya riba dalam “wa harramar-riba“ adalah riba yang pernah disebut, maka riba yang disebut tidak hanya riba yang ada dalam surat Ali Imron saja, namun segala riba yang telah disebut dalam nash-nash syara’ baik dari Al Qur’an dan Hadis sebelumnya. Ayat dan Hadis telah datang menghukumi riba, hukum ini mencakup riba fadl, nasi’ah dan tidak terbatas pada riba yang berlipat ganda saja.

Selain itu, Firman Allah terakhir tentang riba, QS. 2:279 “Wa intubtum falakum ru-usu amwalikum“ menjelaskan tentang cara bertaubat bagi orang yang ingin kembali dari bertransaksi riba yaitu dengan membolehkan mengambil hutang pokoknya saja. Pada ayat ini terkandung penolakan tegas terhadap pendapat yang menyatakan bahwa riba yang haram hanya riba yang berlipat ganda saja, karena Allah telah mensyaratkan taubat dari mengambil riba dengan keharusan mengembalikan pokok hutangnya tanpa ada pertambahan sedikitpun. Ayat ini merupakan ayat terakhir berkaitan dengan masalah riba. Demikianlah, Allah telah mengharamkan riba dengan nash Al Qur’an dari permulaan hingga ayat yang terakhir.

Di sisi lain, menurut Mukhtar Yahya, surat Ali Imran: 130 tersebut tidak dapat diambilmafhum mukhalafahnya, yaitu Allah telah mengharamkan riba yang berlipat ganda, maka pemahaman yang sebaliknya adalah bahwa untuk riba yang selain berlipat ganda adalah halal. Hujjah tersebut tidak sah, karena ayat tersebut tidak memenuhi salah satu syarat sahnya untuk diambil mafhum mukhalafahnya. Salah satu syarat tersebut yaitu: dalalah manthuq ayat bukan untuk menerangkan suatu kejadian khusus. Pada ayat ini, ketika Allah menyebukan “muda’afah ad’afan” hanyalah sekedar menerangkan kejadian khusus bagi orang Jahiliyah. Orang Jahiliyah yang menghutangkan bila telah sampai waktu pembayaran berkata kepada yang berutang: “Bayarlah hutangmu itu atau kalau belum ada pembayarannya, maka hutangmu menjadi bertambah”, demikian seterusnya sampai hutang itu menjadi berlipat ganda. Berikutnya, turunlah ayat tersebut di atas.

Ibn Jarir Thobari, dalam Kitab Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, yang dikutip Muh. Zuhri dalam buku Riba Dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif, ketika menanggapi ayat dalam Surat Ali Imron yang melarang bunga yang berlipat ganda, mengatakan bahwa:
Dari Mujahid, katanya tentang riba yang dilarang oleh Allah, bahwa di kalangan orang Jahiliyah, orang yang berpiutang berkata kepada yang berhutang: “Ambillah ini, bayarlah nanti; tetapi ingat tambahan”. Yang berhutangpun mengambilnya dan membayar pada masa mendatang sesuai dengan permintaan tadi.
Dari Qatadah, bahwa riba Jahiliyah adalah bila seseorang berhutang, karena tidak sanggup membayar pada masa yang disepakati, ia dikenakan tambahan atas hutang pokok untuk pelunasan berikutnya.

Riba pada masa jahiliyah dan bunga bank berbentuk sama, dimana harta terus bertambah seiring bertambahnya waktu. Jika orang berhutang 100.000 rupiah, dengan bunga sekitar 10 % dari hutang, maka dengan perhitungan yang sederhana bagi orang yang berhutang harus membayar 10.000 dalam setiap tahun dan hutang pokok tetap, artinya hutang menjadi berlipat dari aslinya setiap 10 tahun. Terlebih pada bunga majemuk, yang memungkinkan suatu saat jumlah seluruh kewajiban yang harus dibayar menjadi berlipat-lipat.

Dengan demikian, pelarangan mengambil riba secara berlipat ganda memberikan pemahaman bahwa ia merupakan larangan dari segala bentuk riba, baik yang pernah dilakukan orang Arab atau orang-orang sekarang. Pengharaman Allah terhadap riba adalah mencakup segala jenis riba baik nasi’ahfadl, maupun riba yang berlipat ganda.

Oleh karena itu penting sekali memahami kembali surat Ali Imran 130 secara cermat, mengaitkannya dengan spirit ayat-ayat riba lainnya secara komprehensif, demikian juga fase-fase pelarangan riba secara menyeluruh.

Memahami secara mendalam makna mafhum mukhalafah dalam pemahaman teks-teks Quran dan Sunnah, jenis-jenisnya, serta syarat-syarat pengambilan hukum dariapdanya.

Di akhir tulisan ini dapat kita tambahkan bahwa M. Quraih Syihab mempunyai pendekatan yang berbeda dengan ulama Ahli Fiqih, dalam merumuskan sebab pelarangan riba. Pendekatan ulama Ahli Fiqih lebih condong kepada makna tekstual ayat atau hadits, dimana setiap bentuk berlebihan dari jumlah hutang adalah riba yang diharamkan.

Sementara pendekatan M. Quraish Syihab lebih menekankan pada pemahaman makna substansial dari ayat atau hadits, sehingga tidak setiap kelebihan dari jumlah hutang dinamakan riba. Tetapi kelebihan yang terdapat unsur  penganiayaan dan penindasan (dhulum)

Dan ternyata, pendekatan dari Quraish Syihab inilah yang sampai hari ini menjadi mainstream umat Islam di Indonesia.

Referensi:
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Fiqih Islami, Al-Ma’arif, Bandung, 1993
Muh. Zuhri, Riba Dalam Al-Quran dan Masalah Perbankan Sebuah Tilikan Antisipatif, Raja Grafindo Persada, 1996
Artikel ‘Mengenal lebih jauh tentang Riba’ dari sofware sharee.

Koreksi Pandangan Prof. Dr. M. Quraish Shihab dalam bukunya Membumikan Al-Quran

                                                                   
Buku Membumikan Al-Qur’an, Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat adalah sebuah buku populer yang pernah mendapatkan predikat best seller. Ia berasal dari enam puluh lebih makalah dan ceramah yang pernah disampaikan oleh penulisnya pada rentang waktu 1975 hingga 1992 yang kemudian dikumpulkan oleh Ihsan Ali Fauzi sekaligus editor.
Buku ini terbagi menjadi dua bagian; yang pertama adalah gagasan al-Qur’an yang merupakan penjelasan pokok-pokok memahami al-Qur’an dan yang kedua adalah amalan al-Qur’an yang menggambarkan tentang solusi problem-problem masyarakat  dengan berpijak pada pemahaman al-Qur’an.
Hanya saja, terdapat syubhat-syubhat  dalam buku ini yang bisa mempengaruhi kebersihan aqidah dan pemahaman seorang muslim, karena beberapa pendapat dalam buku tersebut merupakan pendapat yang ‘aneh’ dan ‘ganjil’ di lingkungan ulama Islam.
Dan adanya kritik atau koreksi sangat diperlukan, sebab membiarkan kesalahan adalah sama dengan menjerumuskan seseorang dan orang banyak dalam kesalahan tersebut, sebagaimana pepatah Arab yang menyebutkan “Zillatul ‘Alim Zillatul A’alam” yang artinya ketergelinciran orang berilmu sama dengan tergelincirnya seluruh alam.
Sebelum kami, Ust. Abu Ahmad As-Salafi –hafizhahulloh– telah menulis kritik terlebih dahulu, sehingga saya akan mengkomparasikan tulisan saya dengan tulisan Ust Ahmad As-Salafi, tulisan saya terutama membahas dari sisi ilmu tafsir dan beberapa tambahan yang lainnya.
Berikut ini kami kutip kritik dari Ust. Abu Ahmad As-Salafi  terhadap  Quraish Syihab dalam bukunya “Membumikan AL-Quran”, yang diteruskan dengan beberapa koreksi dari kami. Selanjutnya Quraish Shihab disingkat ”QS”, Ust. Abu Ahmad As-Salafi disingkat”AAS” dan Ahmad Ibnu Hanbal disingkat “AIH”.
1. Kitab-Kitab Aqidah Tidak Relevan Dengan Kondisi Masa Kini?!
QS:  Secara umum, para ahli keislaman mengakui bahwa materi-materi yang ditemukan di dalam berbagai kitab aqidah (teologi) tidak sepenuhnya lagi relevan dengan kondisi masakini. Materi-materi tersebut diambil oleh generasi demi generasi. Sedangkan penulisannya pertama kali dipengaruhi oleh situasi sosial politik ketika itu.
Kemudian penulis menyebutkan rujukannya dalam masalah ini kepada tokoh-tokoh rasionalis: Abdul Halim Mahmud dalam kitabnya al-Islam wal ‘Aql, Mahmud Syaltut dalam kitabnya al-Islam Aqidah wa Syari’ah, dan Muhammad al-Ghazali dalam Aqidah al-Muslim. (hal 289)
AAS: Perkataan penulis di atas senada dengan perkataan Muhammad Surur (Manhajul Anbiya’ Fid Da’wah IlAllah 118):
“Aku melihat kitab-kitab aqidah, ternyata kitab¬kitab itu ditulis bukan pada zaman kita. Kitab-kitab itu adalah solusi bagi permasalahan-permasalahan yang terjadi di saat kitab-kitab itu ditulis, sedangkan zaman kita sekarang ini membutuhkan solusi-solusi yang baru. Gaya bahasa kitab-kitab aqidah banyak yang kering karena hanya terdiri dari nash-nash dan hukum-hukum….”
Syaikh Sholih bin Fauzan al-Fauzan telah membantah syubhat di atas. Beliau mengatakan(Ajwibah Mufidah ‘An As’ilatil Manahijil Jadidah him. 55-56):
“Orang ini -Muhammad Surur- hendak menyesatkan para pemuda Islam dengan perkataannya ini, memalingkan mereka dari kitab-kitab aqidah yang shohihah dan dari kitab-kitab salaf. Dia mengarahkan para pemuda Islam kepada pemikiran-pemikiran baru dan kitab-kitab baru yang mengandung syubhat-syubhat. Kitab-kitab aqidah, kelemahannya menurut Muhammad Surur adalah karena terdiri atas nash-nash dan hukum-hukum, di dalamnya terdapat perkataan Allah dan perkataan Rosululloh , sedangkan dia menginginkan pemikiran fulan dan fulan, dan tidak ingin nash-nash dan hukum-hukum. Oleh sebab itu, wajib atas kalian-kaum muslimin mewaspadai selundupan-selundupan pemikiran yang batil ini yang bertujuan memalingkan para pemuda kita dari kitab-kitab salaf kita yang sholih.
Alhamdulillah, kita telah merasa cukup dengan peninggalan-peninggalan salafush sholih seperti kitab-kitab aqidah dan kitab-kitab dakwah, bukan dengan gaya bahasa yang kering -seperti yang disangka Muhammad Surur- melainkan dengan gaya bahasa yang ilmiah dari Kitabulloh dan sunnah Rosul-Nya seperti Shohih al-Bukhori, Shohih Muslim, dan kitab-kitab hadits yang lainnya, kemudian kitab-kitab Sunnah, seperti kitab as-Sunnah oleh lbnu Abi Ashim, asy-Syari’ah oleh al-Ajuri, as-Sunnah oleh Abdulloh bin Imam Ahmad, kitab-kitab Syaikhul Islam lbnu Taimiyyah dan muridnya, Ibnul Qayyim, dan kitab-kitab Syaikhul Islam al-Mujaddid Muhammad bin Abdul Wahhab. Wajib atas kalian mengambil dari kitab-kitab ini. Maka aqidah tidak boleh diambil kecuali dari nash-nash Kitab dan Sunnah, bukan dari pemikiran fulan dan allan.”
2. Penganut Trinitas Tidak Kafir?
QS: Tentang hukuman kafir bagi penganut ajaran Trinitas dan hukuman Karam bagi wanita muslim yang kawin dengan wanita kafir, merupakan hal¬hal yang perlu disajikan kepada anak didik. Hanya saja, penyajian tersebut hendaknya dikaitkan dengan penjelasan bahwa penganut ajaran Trinitas tidak disebut “kafir” oleh AI-Qur’an melainkan disebut “Ahli AI-Kitab” … (hal 290)
AAS: Bagaimana dikatakan bahwa penganut ajaran Trinitas tidak disebut “kafir” oleh al-Qur’an padahal Allah telah berfirman dalam Kitab-Nya:
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata: “Sesungguhnya Allah ialah al-Masih putra Maryam”, padahal al-Masih (sendiri) berkata: “Hai Bani Israil, ibadahilah Allah Tuhanku dan Tuhanmu.” Sesungguhnya orang yang menlpersekutukan (Sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan kepadanya surga, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zalim itu seorang penolong pun. Sesungguhnya kafirlah orang-orang yang mengatakan: “Bahwasanya Allah salah seorang dari yang tiga”, padahal sekali-kali tidak ada Tuhan selain dari Tuhan Yang Esa. jika mereka tidak berhenti dari apa yang mereka katakan itu, pasti  orang-orang yang kafir diantara mereka akan ditimpa siksaan yang pedih. (QS. al-Ma’idah [5]: 72-73)
Imam Ibnu Katsir –rahimahulloh- berkata:
‘Allah Ta’ala berfirman menghikayatkan tentang pengkafiran kelompok-ke-lompok dari Nasrani: Malakiyyah, Ya’qubiyyah, dan Nusthuriyyah, dari mereka yang mengatakan bahwa al .Masih adalah Allah Ta’ala.” (Tafsir Ibnu Katsir: 2/151)
3. Perempuan Boleh Berpolitik Praktis?
QS: Tentunya masih banyak lagi yang dapat dikemukakan menyangkut hak-hak kaum perempuan dalam berbagai bidang. Namun kesimpulan akhir yang dapat ditarik bahwa mereka sebagaimana sabda Rasul adalah Syaqaiq Ar-Rijal (saudara-saudara sekandung kaum lelaki) sehingga kedudukannya serta hak-haknya hampir dikatakan sama.
Di antara contoh hak-hak perempuan yang dikatakan sama oleh penulis dengan hak laki-laki adalah hak berpolitik praktis sebagaimana dia katakan dalam hlm. 426:
Di sisi lain, Al-Qur’an juga mengajak umatnya (lelaki dan perempuan) untuk bermusyawarah, melalui pujian Tuhan kepada mereka yang selafu melakukannya:“Urusan mereka (selalu) diputus¬kan dengan musyawarah” (QS 42: 38).
Ayat ini dijadikan pula dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak di antara kaum wanita yang terlibat di dalam soal-soal politik praktis. (hal 435)
AAS: Hadits wanita adalah syaqo’iq ar-rijal (saudara¬saudara sekandung kaum lelaki) adalah hadits yang shohih diriwayatkan oleh Abu Dawud di dalam Sunan-nya: 237 dan dishohihkan Syaikh al-Albani dalam Shohih Sunan Abu Dawud: 1/72.
Maksud hadits tersebut, bahwa wanita itu sama hukumnya dengan laki-laki baik dalam masalah perintah dan larangan, pahala dan dosa, serta yang lainnya. Namun, yang harus disadari, bahwa Allah dan Rosul-Nya telah membedakan antara keduanya dalam beberapa masalah karena Bagaimana pun juga wanita itu bukan laki-laki, sebagaimana dalam firman Allah :
..dan laki-laki tidaklah seperti perempuan…. (QS. Ali Im ron [3]: 36)
Syaikh Musthofa al-’Adawi –rahimahulloh- berkata:
“Hadits di atas berlaku secara umum bagi setiap masalah yang tidak terdapat nash yang membedakan antara laki-laki dengan wanita. Adapun kalau didapatkan sebuah nash yang membedakan antara laki-laki dan wanita maka wajib tunduk pada nash tersebut dan memberikan hukum tersendiri bagi wanita dan begitu pula hukum tersendiri bagi laki-laki. Suatu misal,  jangan ada seorang pun yang berkata bahwa persaksian seorang wanita sama dengan persaksian laki-laki berdasarkan hadits di atas, ini adalah pendapat yang sangat mungkar dan kedustaan. Jangan sampai ada yang mengatakan bahwa seorang wanita memiliki hak kepemimpinan sebagaimana seorang laki-laki, ini adalah pendapat yang dusta dan batil. Sungguh Allah telah berfirman:
Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita…. (QS. an-Nisa` [4]: 34)
Juga, jangan ada seorang pun yang berpendapat bahwa warisan wanita sama dengan warisan laki-laki. Ini adalah sebuah kesalahan yang nyata.” (Jami’ Ahkamin Nisa’ : 1/12)
Islam telah memuliakan wanita, menjaga hak-haknya, dan mengarahkannya kepada perkara-perkara yang mengantarkan mereka kepada kebahagiaan dunia dan akhiratnya. Islam memerintah wanita agar berhijab dari laki-laki yang bukan mahrom dan menjauh dari ikhtilath (campur baur) dengan laki-laki. Wanita dilarang melakukan safar (perjalanan jauh) kecuali bersama mahromnya dan dilarang berkholwat (berduaan) dengan laki-laki yang bukan mahrom sebagaimana dalam hadits-hadits yang shohih dari Rosu]ulloh . Allah berfirman tentang wajibnya para wanita berhijab dari laki-laki yang bukan mahrom:
…. Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka…. (QS. al-Ahzab [33]: 53)
Dan Allah berfirman:
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jiibabnya ke seluruh tubuh mereka” …. (QS. al-Ahzab [33]: 59)
Ayat di atas menunjukkan bahwa hukum hijab berlaku umum bagi Ummahatul Mukminindan para wanita mukminat.
Adapun tentang masalah ikhtilath (campur baur) antara laki-laki dan wanita, Allah berfirman ketika mengisahkan Nabi-Nya, Musa:
“Dan tatkala ia (Musa) sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang menrinumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: “Apakah rnaksudmu (dengan berbuat begitu)? ” Kedua wanita itu menjawab: “Kami tidak dapat meminunkan (ternak karni) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang bapak kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.” Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya…. (QS. al-Qoshosh [28]: 23-24)
Imam Ibnul Qoyyim –rahimahulloh- : berkata:
“Tidak syak lagi bahwa memberikan kesempatan bagi para wanita untuk bercampur baur dengan para lelaki adalah sumber semua bencana dan kejelekan. la adalah sebab terbesar dari turunnya adzab yang merata sebagaimana ia adalah sebab kerusakan perkara-perkara umum dan khusus. Bercampurbaurnya laki-laki dan wanita adalah sebab banyaknya perbuatan-perbuatan keji dan perzinaan.” (Thuruq Hukmiyyah him. 281)
Membolehkan wanita berpolitik praktis akan merenggut wanita dari sebab-sebab kemuliaan dan mencarnpakkannya ke dalam jurang-jurang kehinaan karena dia diberi kebebasan sebebas-bebasnya, bepergian ke mana pun yang dia mau tanpa disertai mahrom, bercampur baur dengan laki-laki mana pun yang dia mau dan berbuat sekehendaknya tanpa ada yang menjaga dan mengawasinva!
4. Selamat Natal Menurut al-Qur’an
QS: Penulis membawakan Surat Maryam ayat 23-30 kemudian mengatakan:
Itu cuplikan kisah Natal dari Al-Qur’an. Dengan demikian, AI-Qur’an mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama dari dan untuk Nabi mulia itu, Isa Alaihi Salam. (hal 579-580)
QS: Tidak kelirulah, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan (ucapan ” Selamat Natal ‘) itu, bila ia ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan ternodai akidahnya. Tidak juga salah mereka yang membolehkannya, selama pengucapnya bersikap arif bijaksana dan tetap terpelihara aqidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut merupakan tuntutan keharmonisan hubungan. (hal 583)
QS: Di akhir bahasan, penulis mengamalkan apa yang dia serukan untuk mengucapkan selamat Natal:
Salam sejahtera semoga tercurah kepada beliau,pada hari Natalnya, hari wafat, dan hari kebangkitannya nanti. (hal 584)
AAS: Di antara pokok-pokok aqidah Islam adalah wajibnya memberikan wala’ (loyalitas) kepada setiap muslirn dan baro’ (membenci dan memusuhi) orang-orang kafir, wajib memberikan wala’ kepada orang-orang yang bertauhid dan baro’ terhadap prang-orang musyrik. Inilah agama Ibrahim yang kita semua diperintah Allah agar mengikutinya. Allah berfirman:
“Sesungguhnya telah ada suri teladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian boat se-lama-lamanya sampai kaunu beriman kepada Allah saja”.. (QS. al-Mumtahanah [60]: 4)
Allah mengharamkan wala’ kepada orang-orang kafir semuanya sebagaimana dalam firman-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuhKu dan musuhmu menjadi teman-tenaan setia…. (QS. al-Mumtahanah [60]: 1)
Di antara hentuk-bentuk wala’ kepada orang-orang kafir yang diharamkan adalah ikut serta dalam peringatan-peringatan hari raya orang-orang kafir atau membantu pelaksanaannya atau menyampaikan ucapan selamat hari raya kepada mereka atau menghadirinya. (Lihat al-Wala’ wal Baro’ kar. Syaikh Sholih al-Fauzan him. 3-13)
MUI di dalam fatwanya tertanggal 1 jumadil Awal 1401 H/7 Maret 1981 memutuskan bahwa mengikuti upacara Natal bersama bagi umat Islam hukumnya haram. (Sumber: situs resmi Majelis Ulama Indonesia www.mui.or.id)
Lajnah Da`imah Saudi Arabia di dalam fatwanya (no. 11168) menyatakan:
“Tidak boleh seorang muslim memberi ucapan selamat kepada orang Nasrani pada hari raya mereka karena hal itu berarti tolung-me¬nolong di dalam dosa. Sungguh Allah telah melarang kita dari hal itu
..dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelunggaran…. (QS. al-Ma`idah [5]: 2)
Sebagaimana di dalam ucapan selamat itu terdapat kasih sayang kepada mereka, menuntut kecintaan serta menampakkan keridhoan kepada mereka, padahal mereka selalu menentang Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, menjadikan bagi-Nya istri dan anak, Allah berfirman (yang artinya):
Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman kepada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rosul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Meraka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang daripada-Nya. (QS. al-Mu jadilah [58]: 22).”
AIH: Penggunaan surat Maryam ayat 33 sebagai dalil dibolehkannya mengucapkan selamat natal adalah sangat tidak tepat, karena tidak pernah ada Ulama salaf yang menggunakannya sebagai dalil untuk membolehkan mengucapkan selamat natal.
5. Tafsir Nabi terhadap ayat Al-Quran
QS: “Harus digarisbawahi pula bahwa penjelasan-penjelasan Nabi tentang arti ayat ayat Al-Quran tidak banyak yang kita ketahui dewasa ini, bukan saja karena riwayat-riwayat yang diterima oleh generasi setelah beliau tidak banyak dan sebagiannya tidak dapat dipertanggungjawabkan otensitasnya, tetapi juga “karena Nabi saw sendiri tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran.” Sehingga tidak ada jalan lain kecuali berusaha untuk memahami ayat-ayat AL-Quran berdasarkan kaedah-kaedah disiplin ilmu tafsir, serta berdasarkan kemampuan, setelah masing-masing memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu”.
AIH: Para ulama berselisih pendapat tentang kadar tafsir Nabi saw yang terbagi menjadi dua pendapat:
Pertama; Rasulullah saw telah menjelaskan pada sahabatnya semua makna Al-Quran, sebagaimana ia menjelaskan lafadz Al-Quran pada mereka, pendapat ini dipegang oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan mengambil dalil dari ayat Al-Quran: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.” (QS. An-Nahl: 44) dan hadits yang diriwayatkan Ibnu Umar bahwa ia menghafalkan surat Al-Baqarah selama beberapa tahun, Imam Malik mengatakan selama delapan tahun.
Kedua, Rasulullah saw tidak menjelaskan kepada sahabatnya kecuali sedikit saja, mereka mendasarkan pendapat mereka pada riwayat Aisyah yang menyebutkan bahwa Nabi saw tidak menafsirkan kecuali sedikit saja dari Al-Quran.
Nabi saw memang tidak menafsirkan semua ayat Al-Quran karena Al-Quran turun di tengah-tengah kaum yang memiliki peradaban bahasa yang tinggi, bahasa mereka paling fasih, dan mereka mengusai perangkat ilmu-ilmu bahasa seperti Ilmu Bayan, Ma’ani dan Balaghah. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas ra bahwa dalam Al-Quran, terdapat ayat yang bisa difahami dengan mengetahui bahasa Arab, ada yang bisa difahami dengan cepat sekalipun orang yang bodoh terhadap bahasa Arab, ada ayat yang hanya diketahui oleh Allah swt dan ada juga ayat yang tidak terlalu banyak faidah untuk mengetahuinya selain mengetahui maknanya dan ada ayat yang hanya difahami oleh ulama seperti tentang khash, ‘aam, taqyid atau mutlaqnya ayat. (Lihat Buhuts fi Ushulut Tafsir, Fahd bin Abdurrahman Ar-Ruumi hal.17)
6. Wanita boleh berwisata?
QS: “Jangan diduga bahwa perjalanan yang dianjurkan itu hanya terbatas pada kaum pria. Al-Qur`an menjadikan pula salah satu ciri wanita yang baik, bahkan yang wajar menjadi pandamping Nabi saw adalah mereka yang melakukan perjalanan wisata. Kalau dalam surat At-Tawbah Al-Qur`an menyebutkan wisatawan pria (al-saihun), maka secara khusus dalam ayat 5 surat Al-Tahrim dipergunakan istilah saihat, yakni wisatawan wanita.” (hal 352)
AIH: Prof. Dr. Quraish Syihab membolehkan wanita untuk berwisata berdasarkan firman Allah QS At-Tahrim: 5 yang berbunyi: “Jika nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan isteri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, saaihat,  yang janda dan yang perawan”.
Menurut DR Quraish Shihab, saihat pada ayat di atas adalah wisata ziarah. Beliau menyamakan maknanya dengan firman Allah lpada surat At-Taubah : 112 yang berbunyi : “Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, As-Saaihuun, yang ruku’, yang sujud, yang menyuruh berbuat ma’ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu”.
Memang dalam menafsirkan ayat ini ada perbedaan pendapat dikalangan para ahli tafsir, beberapa pendapat itu adalah:
  1. Maknanya adalah orang yang berpuasa. Ini adalah yang dikatakan oleh Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnu Abbas g. Adapun dari kalangan tabi’in yaitu Ikrimah, Mujahid, Said bin Jubair, Atha’, Muhammad bin Ka’ab Al-Qurhazi, Abu Abdirrahman As-Sulami, Abu Malik, Ibrahim An-Nakha’i, Al-Hasan, Qatadah, Adh-Dhahak, Ar-Rabi’ bin Anas, As-Sudi dan yang lainnya.
  2. Maknanya adalah orang yang berhijrah. Ini adalah yang dikatakan oleh Zaid bin Aslam dan Ibnu Zaid.[1]
  3.  As-siyahah bermakna jihad. Hal ini adalah berdasarkan sabda Nabi Muhammad n yang berbunyi :
إن سياحة أمتي الجهاد في سبيل الله
            “Sesungguhnya Siyahah (perjalanan) ummatku adalah jihad di jalan Allah” [2]
Pendapat yang kuat adalah yang dikatakan oleh Jumhur Ulama bahwa yang dimaksud as-siyahah adalah orang yang berpuasa. Sebagian ahli bahasa arab berkata: “Kami berpendapat bahwa orang yang berpuasa disebut dengan as-saaih (orang yang berjalan) adalah dikarenakan orang yang dalam perjalanan itu (biasanya) tidak membawa bekal, dia akan makan apabila ia menemukan makanan. Maka seolah-olah penyebutannya diambil dari situ”.[3]
Maka dapatlah kita simpulkan bahwa ayat ini tidak menunjukkan adanya perintah bagi para wanita untuk melakukan perjalanan dan bepergian.
7. Dimana Allah swt?
QS: “Teks keagamaan yang berkaitan dengan akidah sangat jelas, dan tidak juga rinci. Itu semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan Al-Qur`an tidak menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalah pahami. Kata “Allah” misalnya, tidak digunakan oleh Al-Qur`an ketika pengertian semantiknya yang dipahami masyarakat jahiliyah belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, Hai Muhammad). Demikian terlihat pada wahyu pertama hingga surah Al-Ikhlas. Nabi  SAW sering menguji pemahaman ummat tentang Tuhan. Beliau tidak sekalipun bertanya, “Di mana Tuhan?”. Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi itu karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan pada satu tempat, hal yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan oleh Nabi saw. Dengan alasan serupa, para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata ‘ada’ bagi Tuhan, tetapi ‘wujud Tuhan’.” (hal 372)
 AIH: Pada pernyataan itu jelas dapat kita ketahui bagaimana pandangan beliau tentang di mana keberadaan Allah. Bahkan beliau sendiri menganggap bahwa hadits yang menggunakan lafadz  “di mana Allah” adalah tertolak, karena menurut beliau hal itu akan menimbulkan keberadaan Allah swt pada suatu tempat.
Dan kita ketahui bersama bahwa termasuk Iman kepada Allah swt adalah iman kepada apa yang diturunkan Allah swt dalam Al-Qur`an yang telah diriwayatkan secara mutawatir dari Rasulullah serta yang telah disepakati oleh generasi pertama dari ummat ini (para sahabat) bahwa Allah berada di atas semua langit, bersemayam di atas ‘Arsy, Maha tinggi di atas segala makhluk-Nya, Allah swt tetap bersama mereka di mana saja mereka berada, yaitu Allah swt mengetahui apa yang mereka kerjakan.
Para Ulama Salafush Shalih telah sepakat tentang bersemayamnya Allah di ‘Arsy. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah : “Salaful Ummah telah sepakat bahwa Allahl berada di atas langit, yaitu di atas ‘Arsy dan maha tinggi atas makhlukNya.”[4]
Dalil dari Al-Quran yang menyebutkan bahwa Allah swt bersemayam di Arsy terdapat tujuh ayat yaitu: surat Al-A’raaf : 54, Yunus : 3, Ar-Ra’d : 2, Thaahaa : 5, Al-Furqaan : 59, As-Sajadah : 4, dan Al-Hadid : 4.
Sedangkan dalil dari hadits Nabi saw, di antaranya; hadits yang diriwayatkan oleh Abu Abdurrahman As-Sullami ia berkata: Aku berkata : ” Ya Rasulullah, aku mempunyai seorang budak perempuan, aku memukulnya dengan satu pukulan. Maka Rasulullah merasa keberatan dengan hal itu. Kemudian aku berkata kepada beliau : “Apakah aku harus memerdekakannya?”. Beliau berkata : “bawa dia kepadaku”. Maka aku mendatangkannya kepada beliau. Lantas beliau bertanya kepadanya : “Di mana Allah?”. Ia menjawab: “Di langit”. Kemudian beliau berkata lagi : “ٍٍSiapa saya?”. Ia menjawab : “Engkau adalah Rasulullah”. Maka beliau berkata: “Merdekakan dia karena ia adalah seorang muslimah”.[5]
Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani ketika menta’liq dan mentakhrij kitab Al-Uluw lil Aliyyil Ghaffar karya Imam Adz-Dzahabi yang membahas tentang sifat Allah yang Maha Tinggi dan berada di ‘Arsy dan ketika disebutkan hadits di atas beliau berkata:
“Maka, jika engkau mengajukan pertanyaan ini kepada seseorang baik secara khusus maupun secara umum, engkau akan mendapati mereka membelalakkan mata dalam rangka mengingkari hal itu, baik karena kebodohan atau dikarenakan mereka pura-pura tidak tahu bahwa Nabi Muhammad n telah mensyari’atkan hal itu. Kemudian engkau akan melihat mereka (orang-orang yang bodoh dan berpura-pura bodoh) memperhatikan dengan seksama akan hal itu. Mereka tidak tahu dengan apa mereka menjawab pertanyaan itu (pertanyaan di mana Allah), seolah-olah syari’at Islam tidak pernah menerangkan dan menjelaskan akan hal itu secara mutlak baik dalam Al-Kitab (Al-Qur`an) maupun dalam As-Sunnah. Padahal dalil yang menjelaskan hal ini adalah telah mutawatirbahwa Allah berada di langit. Oleh karenanya ketika budak perempuan itu menjawab pertanyaan Rasulullah n dengan mengatakan :’Di langit’ maka Nabi saw menyaksikan bahwa dia adalah seorang mu`minah. Hal itu dikarenakan ia menjawab sesuai dengan jawaban yang telah dikenal di dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah. Maka celakalah orang yang tidak menyaksikan bahwa Rasulullah n telah menyaksikannya dengan iman, dan celakalah orang yang menolak bahkan mengingakari apa yang telah dijadikan dalil oleh Rasulullah n atas keimanan seseorang. Demi Allah, hal ini merupakan musibah yang paling besar yang menimpa kaum muslimin dari penyimpangan aqidah mereka yaitu bahwa salah satu diantara mereka tidak mengetahui bahwa tuhan mereka dan yang mereka bersujud kepadanya apakah ia di atas makhluk-Nya atau di bawah mereka…..”.[6]
8. Distorsi terhadap Metode Tafsir Tahlil
QS: Ketika berbicara tentang Metode Tahlili, Quraish Syihab menukil pendapat ulama Syiah, Baqir Al-Shadr bahwa metode tersebut telah menghasilkan pandangan-pandangan parsial serta kontradiktif dalam kehidupan umat Islam. Lalu beliau menambahkan bahwa penafsir yang menggunakan metode itu tidak jarang hanya berusaha menemukan dalil atau lebih tepat dalih pembenaran pendapatnya dengan ayat-ayat Al-Quran. Selain itu, terasa sekali bahwa metode ini tidak mampu memberi jawaban tuntas terhadap persoalan-persoalan yang dihadapi sekaligus tidak banyak memberi pagar-pagar metodologis yang dapat mengurangi subjektifitas mufasirnya. (hal 86-87)
AIH: Hari ini seperti terdapat jurang pemisah antara tafsir klasik dan tafsir kontemporer, tafsir klasik dianggap tidak mampu memberikan solusi terhadap problematika  kontemporer, meski demikian tafsir kontemporer juga banyak melakukan penyimpangan interpretasi terhada ayat Al-Quran dengan dalih pembaharuan. Seperti penafsiran al-Qur’an yang dilakukan oleh beberapa mufassir yang basic keilmuannya sains.
Oleh karena itu perlu kiranya dibuat tafsir yang memadukan antara keorsinilan tafsir klasik dan keindahan tafsir kontemporer, dengan jalan mengemas tafsir klasik dalam gaya bahasa kontemporer dan metode yang konsisten sesuai dengan ilmu pengetahuan modern tanda ada penyimpangan interpretasi.
Kitab tafsir modern yang telah sesuai dengan kriteria di atas adalah tafsir kontemporer karangan Dr. Wahbah Zuhaili, ulama terkenal dari Syria, kitabnya berjudul -Tafsir al-Munir fi al-Aqidah wa al-Syari’at wa al-Manhaj. Saya pernah menulis review dari buku tafsir ini.
Maksud dari koreksi di atas, agar pembaca tidak alergi dan apriori dengan metode tafsir ulama klasik yang membuat mereka enggan untuk menelaah kitab-kitab mereka, padahal metode ulama terdahulu dianggap sebagai Ahsan Thuruq Tafsir (cara terbaik menafsirkan Al-Quran), yang meliputi; menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, menafsirkan Al-Quran dengan hadits, menafsirkan Al-Quran dengan perkataan Sahabat dan menafsirkan Al-Quran dengan perkataan Tabi’in dan Tabi’ut Tabi’in, sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Taimiyah dalam Muqaddimah Tafsir-nya.
9. Mendukung pendapat minoritas tentang Asbabun Nuzul
QS: Dalam kaitannya dengan asbab al-nuzul, mayoritas ulama mengemukakan kaidahal-‘ibrah bi ‘umum al-lafzh la bi khushush al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah redaksinya yang bersifat umum, bukan khusus terhadap (pelaku) kasus yang menjadi sebab turunnya); sedangkan sebagian kecil dari mereka mengemukakan kaidah sebaliknya, al-‘ibrah bi khushush al-lafzh la bi ‘umum al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum).
Di sini perlu kiranya dipertanyakan: “Bukankah akan lebih mendukung pengembangan tafsir, jika pandangan minoritas di atas yang ditekankan?” Tentunya, jika demikian, maka perlu diberikan beberapa catatan penjelasan sebagai berikut: seperti diketahui asbabnun nuzul pasti mencakup: (a) peristiwa (b) pelaku, dan (c) waktu. Tidak mungkin benak akan mampu menggambarkan adanya suatu peristiwa yang tidak terjadi dalam kurun waktu tertentu dan tanpa pelaku. (hal 89)
AIH: Prof. Dr. Quraisy Syihab mendukung pendapat minoritas  yang menyatakan bahwa kaidah dalam memahami sebab turunnya ayat adalah al-‘ibrah bi khushush al-lafzh la bi ‘umum al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum). Padahal semua ulama dan mujtahid islam telah berkonsesus (ijma’) bahwa kaidah yang benar dalam memahami asbabun nuzul adalah al-‘ibrah bi khushush al-lafzh la bi ‘umum al-sabab (patokan dalam memahami ayat adalah kasus yang menjadi sebab turunnya, bukan redaksinya yang bersifat umum). (lihat Mabahits fi Ulum Al-Quran oleh Manna’ Al-Qatthan, hal. 84)
Syaikh Abdul Azim Az-Zarqani dalam bukunya Manahilul Irfan jilid pertama hal 130-134telah membantah syubhat dari kalangan yang mendukung pendapat minoritas tersebut, silahkan dirujuk pada buku ini.
Dukungan Quraisy Syihab atas kaidah al-‘ibrah bi khushush al-lafzh la bi ‘umum al-sababproblematik, karena lebih jauh dari itu bisa membuka pintu kalangan orientalis dan sekuler untuk menghujat Al-Quran seperti yang dilakukan Asymawi dengan mengatakan bahwa kaidah al-‘ibrah bi khushush al-lafzh la bi ‘umum al-sabab muncul pada masa  peradaban yang gelap dan daya pikir yang lemah. Atau pemikir asal Perancis, Raja’ Jarudi yang mengatakan bahwa Al-Quran hanya turun untuk kaum tertentu dan masa tertentu. (lihat buku Asbabun Nuzul bainal Fikri Islami wal Ilmani oleh Dr. Muhammad Salim Muhammad, Kairo, cet I, 1996)
Sungguh amat disayangkan, ternyata Qurais Syihab mengikuti pendapat dari para ulama yang notabenenya hanya pemikir yang kurang otoritatif, sehingga cenderung berpendapat nyleneh dan menyeleweng dari kebenaran.
Dan perlu kita ketahui bahwa tidak semua perbedaan pendapat itu bisa ditampung dan diakomodir dengan alasan bahwa Negara Indonesia adalah Negara Demokrasi, sehingga pendapat-pendapat nyleneh yang bertentangan dengan Al-Quran, Sunnah dan Ijma’ sekalipun harus diterima sebagai perbedaan pendapat.
Dan terakhir, Tulisan ini adalah usaha untuk membudayakan tradisi ilmiah oleh penulisnya yang dhaif,  sambil mengemukakan apa yang diyakini sebagai butir-butir kebenaran, meski tidak membiarkan satu pun kesalahan yang disengaja, tidak mengklaim dirinya sangat akurat, sehingga koreksi, pembetulan data atau bandingan kesan sungguh diperlukan. In uridu illal islaaha mastatha’thu, wa maa taufiqii illa billah, alaihi tawakklatu wa ilahi uniib (QS Huud:88)

Referensi:
Membumikan Al-Quran, Prof. Dr. Quraish Syihab, cet XXIX, Januari, 2006
Sarh Aqidah Wasathiyah li Syaikhil Islam Ibnu Taimiyah, Muhammad bin Shakih Al-Utsaimin, cet IV, 1427 H
Mabahits fi Ulum Al-Quran oleh Manna’ Al-Qatthan, Pustaka Hidayah, 1973
Majalah Al-Furqon edisi 07 Tahun ke- 8 1430 H – Rubrik : Kitab 

[1] Tafsir Ath-Thabari, Juz 10 hal 8107-8108.
[2] Dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitabul JihadBab Fiin Nahyi ‘Anis Siyahah, hal 282, no 2486; hadits ini adalah hadits Hasan.
[3] Tafsir Ath-Thabari, Juz 10 hal 8108.
[4]  Syarh Al-Aqidah Al-Wasithiyah, Ibnu Abil ‘Izz, hal 455.
[5]  Sunan Abu Dawud, Kitabul Aiman Wan-Nudzurbab firraqabatil mu`minah, hal 369, no 3282, dengan sanad Shahih; dikeluarakan juga oleh Muslim, Al-Minhaj Syarh Shahih MuslimKitabul Masajid wa mawadi’ish-shalahBab Tahrimul Kalam Fisy-Syi’ah Wanaskhu Maa Kaana Min Ibahatihi, hal 409, no 537.
[6] Mukhtashar Al-Uluw, Imam Adz-Dzahabi, diringkas, ditahqiq dan ditakhrij oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Cetakan ke-2, 1412 H, hal 53.