Friday, August 8, 2014

Kenapa Syiah Membenci Yazid bin Muawiyah? Padahal Husain Tidak Menolak Baiat Kepadanya, Bahkan Yazid Didoakan Ampunan Oleh Rasulullah

Apakah Husein bin Ali menolak Baiat Kepada Yazid?
Sebagaimana kita ketahui telah terjadi fitnah yang besar di masa Daulah Bani Umayyah yang menyebabkan terbunuhnya cucu Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu perselisihan ini ditanggapi berbeda-beda oleh orang-orang setelahnya, khususnya para pembaca sejarah.
Ada yang bersikap ghuluw dan tidak bijak dalam berpendapat dengan menggelari Bani Umayyah adalah dinasti pembunuh cucu Rasulullah.Lalu memukul rata tragedi di suatu zaman pemerintahan Bani Umayyah menjadi kesalahan  seluruh khalifah yang berafiliasi terhadap Bani Umayyah termasuk Umar bin Abdul Aziz atau bahkan yang mengherankan termasuk khalifah rasyid yang ke-3 Utsman bin Affan al-Umawi radhiallahu ‘anhupun disalahkan. Pendapat pertama ini adalah pendapat orang-orang yang terpengaruh provokasi-provokasi Syiah dan membaca karya-karya penulis sejarah di masa Abbasiyah yang kontra dengan Umayyah, lalu mereka menjatuhkan image Daulah Bani Umayyah.
Ada pula yang menyalahkan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu dengan mengatakan beliau wafat dalam keadaan jahiliyah karena menolak berbaiat kepada khalifah yang sah. Sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
من مات وليس في عنقه بيعة مات ميتة جاهلية
“Barang siapa yang mati dalam keadaan tidak membaiat (pemerintah), maka ia mati sebagaimana matinya orang jahiliyah.” (HR. Muslim, III/1478 no. 1851).
Menurut mereka berdasarkan hadits ini, maka Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu wafat dalam keadaan jahiliyah. Pendapat kedua ini disebabkan karena pembacaan sejarah yang tidak lengkap dan ketidaktahuan akan kedudukan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu.
Lalu bagaimana mendudukan permasalahan ini?
Sikap bijak dan pendapat yang menenangkan, jauh dari tendensi atau sentiment kepada kelompok tertentu akan kita dapatkan dengan memperhatikan bebera hal berikut ini:
Pertama, kita harus memahami posisi Yazid bin Muawiyah baik secara personal atau ketika telah menjadi khalifah.
Secara personal, Yazid bin Muawiyah adalah orang yang memiliki keutamaan yang besar,bahkan hal itu telah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau bersabda,
أوَّلُ جيشٍ من أمَّتي يغزونَ مدينةَ قيصرَ مغفورٌ لهم
”Pasukan pertama di kalangan umatku yang memerangi kotanya Kaisar (Konstatinopel), mereka diampuni.” (HR. Bukhari 2924)
Pasukan ini adalah pasukan yang dipimpin oleh Yazid bin Muawiyah dan sabda Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam ini adalah sebagai parameter dalam menimbang siapakah Yazid secara personal. Dia telah mendapat jaminan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai seorang yang mendapatkan ampunan dari Allah.
Kemudian sebagai seorang khalifah, Yazid adalah khalifah yang sah secara syariat yang dibaiat oleh para sahabat dan tabi’in secara umum, termasuk tokoh-tokoh sahabat seperti Abdullah bin Abbas dan Abbdullah bin Umar radhiallahu ‘anhum. Yang diperselisihkan oleh para sahabat bukanlah Yazid sebagai khalifah akan tetapi cara pengangkatan Yazid yang tidak dilakukan dengan bijak. Jadi harus dibedakan kedua hal ini.
Kedua, mengenai penolakan Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu. Husein bin Ali radhiallahu ‘anhumemiliki keutamaan yang sangat besar, beliau adalah ahlul bait Rasulullah, putra dari penghulu wanita di surga yakni putri Rasulullah, Fatimah binti Rasulullah radhiallahu ‘anha, dan Husein adalah penghulu pemuda penghuni surga. Sebuah keutamaan yang sangat besar dan kedudukan yang sangat mulia baik di dunia maupun di akhirat.
Mengenai baiat Husein, Imam adz-Dzahabi dalam Siyar Alamin Nubala mengatakan, “Abdullah bin Ziyad mengutus Umar bin Saad untuk menghadang Husein, lalu Husein mengatakan, ‘Wahai Umar, pilihkan untukku tiga hal:
(1) Engkau biarkan aku pulang,
(2) Engkau antar aku menuju Yazid, lalu kuletakkan tangannku pada tangannya (baiat),
(3) Engkau antar aku menuju daerah Turk sehingga aku bisa berjihad hingga ajal menjemputku.”
Di dalam Minhaju Sunnah Ibnu Taimiyah mengatakan, “Sesungguhnya Husein tidaklah berpisah dari jamaah (umat Islam) dan tidaklah ia dibunuh kecuali dalam keadaan meminta diizinkan kembali ke tempat asalnya (Mekah atau Madinah pen.), atau menuju daerah perbatasan (untuk berjihad), atau menuju Yazid kembali dalam persatuan umat Islam dan menghindari perpecahan.
Dengan demikian, di akhir hayatnya Husein bin Ali radhiallahu ‘anhu beliau merevisi pendapatnya dan mengutamakan persatuan dan keutuhan umat Islam.
Pendapat ini lebih menenangkan dan jauh dari tendesi manapun dan juga pendapat ini adalah pendapat yang menyatukan umat, tidak saling menggembosi dan saling menanamkan kebencian antara satu generasi dengan generasi lainnya. Semoga Allah menyatukan umat ini di atas Alquran dan sunnah Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan pemahaman yang benar.
Sumber: Islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel http://www.KisahMuslim.com
Terkait




Dialog Sunnah Syiah Syarafuddin As-Musawi

Isu-Isu Penting Ikhtilaf Sunnah-Syi'ah Sayyid Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi
ahmadfarisi.wordpress.com/2012/06/29/dialog-dengan-habib-syiah/+&cd=14&hl=id&ct=clnk&gl=id

wajahsyiah.wordpress.com/tag/dialog-sunnah-syiah/+&cd=17&hl=id&ct=clnk&gl=id
Mei 17, 2012wajahsyiah1 komentar

Buku Dialog Sunnah Syiah, terjemahan dari kitab al-Muraja’at karya Abdul-Husain Syarafuddin Al-Musawi.
Buku ini termasuk buku yang dibanggakan oleh para syiah Indonesia. Tetapi ternyata pengarangnya termasuk orang yang ragu-ragu terhadap al-Qur’an, kitab suci umat Islam.

KOMENTAR MANIS TERHADAP tanggapan muhammad anis Pembelaan terhadap buku Gen Syiah

KOMENTAR MANIS
TERHADAP TANGGAPAN MUHAMMAD ANIS
Pembelaan terhadap buku Gen Syiah
ABU HAMZAH IBN QOMARI ABDUL GHANI
Mukaddimah
 Bismillahirrahmanirrahim. Alhamdulillah, selawat dan salam semoga tercurah untuk rasulillah, keluarganya; istri dan keturunannya, para sahabat dan pengikutnya hingga hari kiamat. Amma ba’d:
Salah satu nikmat Allah atas umat Islam Indonesia adalah terbitnya buku Gen Syiah sejarah konspirasi Yahudi dan Syiah, yang ditulis oleh Syaikh Mamduh al-Buhairi pada tahun 2001, setelah adanya Seminar Nasional di Istiqlal pada tahun 1997, dan kumpulan makalahnya diterbitkan pada tahun 1998, dengan 11 sambutan dan 7 makalah, melibatkan unsur: NU, DDI, Persis, MUI, Muhammadiyah, ICMI, Al-Khairat, al-Bayyinat, al-Haramain, Panji Masyarakat. Buku Gen Syiah terbilang sangat bagus, unik, berani dan tajam. Buku ini populer di kalangan umat Islam Indonesia. Meskipun penulisnya melayangkan tantangan, namun ternyata sampai sekarang tak terbantahkan. Ada beberapa orang yang mencoba menanggapi dan mengomentari melalui internet, bukan melalui buku yang sepadan, itupun isinya menurut saya sangat tidak memadai. Diantara yang mencoba menanggapi adalah bapak Muhammad Anis dari Bogor (tahun 2003) yang tulisannya dimuat di salah satu situs syiah dan disebarluaskan melalui email.
Komentar Manis ini sebenarnya tidak banyak dibutuhkan, sebab buku Gen Syiah masih tetap belum terbantahkan. Artinya buku Gen Syiah itu sendiri – untuk beberapa masalah- sudah cukup membantah tulisan-tulisan yang menanggapinya. Tanggapan-tanggapan mereka itu tidak lebih dari sekedar “mengulang-ulang kebatilan dan kedustaan”. Namun karena manusia itu memeliki kecendrungan kepada yang baru, maka kitapun perlu mengulang-ulang kebenaran dan kejujuran.
Semoga komentar manis ini bermanfaat dalam membela kebenaran dan meluruskan aqidah, sejarah dan pemahaman yang diacak-acak oleh orang-orang yang merusak dengan mengatasnamakan sebagai pecinta ahlul bait.
Semoga Shalawat dan salam senantiasa dicurahkan kepada Nabi –Shalalallahu alaihi wasalam-, keluarga, Istri dan keturunannya, serta sahabatnya yang setia terutama Khulafaur Rasyidun; Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali –Radiallahuanhum ajam’in-.
Malang, J. Ula 1430/ 22 Mei 2009
KATA PENGANTAR
Pada kata pengantar, penulis (bapak Muhammad Anis) mengutarakan banyak hal, yang perlu diketahui adalah sebagai berikut (warna merah dari kami):
·   Pada awalnya saya tidak begitu perhatian dengan buku tersebut, karena saya yakin isinya sama dengan buku-buku fitnah atas syi’ah lainnya.
·   Namun, ternyata buku itu mulai populer di antara mereka yang anti-syi’ah, dan secara tidak langsung dikatakan bahwa buku itu tak terbantahkan karena merujuk dari sumber-sumber syi’ah sendiri.
·   Ternyata banyak sekali referensi syi’ah yang dimanipulasi kalimatnya dan ditafsirkan secara sepihak.
·   Saya sama sekali tidak bermaksud memperlebar pertentangan, melainkan hanya berusahamemberikan argumentasi dalam wacana diskusi ilmiah, dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya
·   Bahasa yang digunakan ustadz Mamduh sangat kasar, hal ini bisa dilihat pada pengantar penerjemah buku tersebut, dimana beliau menyebut syi’ah sebagai “baqarun bila qurun” (sapi tanpa tanduk), yang maksudnya adalah mereka (syi’ah) berkepala manusia tetapi berotak sapi. Namun, dalam buku tanggapan ini, saya tidak akan menggunakan bahasa-bahasa seperti itu, karena hal tersebut bukanlah teladan Rasul -Shalallahu alaihi wasalam- dan Ahlul Bait beliau.
KOMENTAR MANIS
1. Bahasa Kasar ” sebagai contoh “baqarun bila qurun” (sapi tanpa tanduk)
Menurut saya, ungkapan tersebut memang kasar dan zhalim bila dilontarkan untuk orang yang baik-baik. Namun untuk orang yang lancang dan kurang ajar kepada ummul mukminin Aisyah as-Shiddiqah binti as-Shiddiq –Radiallahuanha- maka ucapan itu tidaklah kasar. Sebab Allah berfirman:
4 فَمَنِ اعْتَدَى عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَى عَلَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ (١٩٤)
“Oleh sebab itu Barangsiapa yang menyerang kamu, Maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu. bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah, bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah: 194)
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا
“Dan Balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa.” (QS. As-Sura: 40)
Tahukan anda wahai bapak Muhammad Anis, apa yang dilakukan oleh orang syiah? Menurut kesaksian para ulama Ahlu sunnah yang terpercaya seperti al-Imam al-Lughawi Abu Muhammad Ibn Qutaibah al-Dinawari (276 H) dalam Ta`wil Mukhtalafil Hadits (h. 67), Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah (728 H) dalam Minhaj as-Sunnah, jilid 3, Syaikh Muqbil Ibn Hadi al-Wadi’I dalam kitabnya Sha’qah al-Zilzal Li Nasf Ahl ar-Rafdh wal-I’tizal, syaikh Jibrin, syaikh Hamid al-Ali, syaikh al-Khumais dan lain-lain. bahwa orang syiah[1] menta`wil kata baqarah dalam surat al-Baqarah ayat 67 dengan “Sayyidah Aisyah Ummil Mukminin -Radiallahu anha-“. Jadi mereka menyebut isteri Nabi di dunia dan di surga itu sebagai baqarah (sapi betina). Kekasih Rasulullah dan ibunda kita disapi-sapi?!!!
وَإِذْ قَالَ مُوسَى لِقَوْمِهِ إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُكُمْ أَنْ تَذْبَحُوا بَقَرَةً قَالُوا أَتَتَّخِذُنَا هُزُوًا قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ أَكُونَ مِنَ الْجَاهِلِينَ (٦٧)
“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menjadikan Kami buah ejekan?”Musa menjawab: “Aku berlindung kepada Allah agar tidak menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”. (QS. Al-Baqarah: 67)
Apa masuk akal Nabi Musa waktu itu memerintahkan Bani Israil untuk menyembelih Aisyah –Radiallahu anha-?!!! Andai saja mereka berfikir atau berakal tentu tidak akan melontarkan kekejian dan kebodohan seperti itu. Jika demikian siapa sebenarnya yang kasar? Siapa yang tidak berteladan dengan Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam dan ahlul bait? Saya yakin bapak Muhammad Anis sepakat dengan saya bahwa orang syiah lebih kasar berlipat-lipat, zhalim dan menyimpang dari keteladanan Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam dan ahlul bait.
Jadi yang dimaksud oleh syaikh Mamduh sebagai baqarun bila qurun adalah orang yang mengkafirkan Abu Bakar dan Umar –Radiallahuanhuma- serta melaknat Aisyah dan Hafshah –Radiallahuanhuma-; yaitu orang yang membuat doa Shanamay Quraisy (dua berhala Quraisy), yang mengikutinya dan yang membelanya. Do’a shanamay Quraisy ini mustahil dibuat dan diikuti oleh orang beriman, yang pantas ia dibuat oleh orang munafik atau orang zindiq keturunan Yahudi dan Majusi. Doa yang menyakitkan hati seluruh orang beriman dan yang menyakiti Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam- serta ahlulbait adalah seperti yang termaktub dalam kitab Mereka Miftahul Jinan [2]:
اللهم صل على محمد وآل محمد والعن صَنَمَيْ قُرَيْشٍ وَجِبْتَيْهَا وَطَاغُوْتَيْهَا وَابْنَتَيْهَا
Yang artinya: “Ya Allah beri shalawat kepada Muhammad dan keluarga Muhammad, serta laknatlah dua berhala Quraisy dan dua setannya, dua thaghutnya dan dua putrinya.”
Maksud mereka adalah Abu Bakar dan Umar serta kedua putri mereka yang sekaligus dua istri Rasulullah -Shalallahu alaihi wasalam, yaitu ibunda kaum mukminin Aisyah dan Hafshah –Radiallahuanha-.
Apakah orang yang berakal akan bisa berucap seperti itu?!!
Ayatullah Mujtaba Syirazi, salah seorang pemuka syi’ah dalam ceramahnya mengatakan:
((من جملة أفعال عائشة جريمات جنسية …………))
“Diantara kejahatan Aisyah adalah kejahatan-kejahatan seksual (zina)…..” Dia juga mengatakan:
((عائشة صحيح كافر صحيح ناصبية صحيح مجرمة ماتقول في حقها فهو صحيح ))
“Aisyah benar-benar kafir, benar-benar memusuhi ahlul bait, benar-benar penjahat. Apa saja yang kamu katakan tentangnya maka itu benar.”
((سبحان الله هذا بهتان عظيم))!!
Maha suci Allah. Ini sungguh kedustaan yang nyata!!
Lebih dari itu mereka melampiaskan kebencian dan mendidik anak-anak mereka untuk membenci para sahabat yang mulia dan para istri Nabi yang suci itu. Yaitu, pada hari Asyura mereka mendatangkan seekor anjing dengan diberi nama Umar lalu mereka beramai-rami memukulinya dengan tongkat dan melemparinya dengan batu hingga mati. Kemudian mereka menghadirkan seekor anak kambing (mereka beri warna merah, karena gelar Aisyah adalah Humaira`; yang kemerah-merahan pipinya[3]) dan mereka beri nama Aisyah, lalu beramai-ramai mereka mencabuti bulunya dan memukulinya dengan sepatu hingga mati.[4] Apakah ini perilaku manusia? Siapakah sebenarnya yang tidak memiliki etika, hati, akal dan iman?!! Siapakah sebenarnya yang tidak berteladan dengan Rasulullah dan ahlul bait?!!
Ahad 24 Mei 2009

[1] Banyak pihak yang menyebutkan bahwa diantara tokoh syiah yang mengatakan ini adalah Muhammad ibn Mas’ud al-Iyasyi (hidup pada abad 3 H, ada yang mengatakan meninggal tahun 320 H) dalam tafsirnya, juga al-Qummi dalam tafsirnya, namun sayang kita tidak bisa melihatnya sendiri karena tidak punya tersebut.
[2]ِAbbas al-Qummi, Miftahul Jinan, 114; Abdullah ibn Muhammad as-Salafi, Min Aqaid as-Syiah, 67-70 doa shanamai Quraisy di akhir kitab
[3] Abu Abdirrahman Ali ibn Shalih al-Gharbi, Munazharah baina Dr. Muhammad Taqiyyuddin al-Hilali al-Husaini li Rafidhiy syi’I, di foot note nomor 20, http://www.muslm.net/vb/showthread.php?t=288523
[4] Ibrahim al-Jabhan, Tabdid al-Zhalam wa Tanbih al-Niyam, 27.
KOMENTAR MANIS
bagian 2
Pada komentar manis pertama telah kita tanggapi penilaian bapak Muhammad Anis tentang kasarnya bahasa syaikh Mamduh. Maka kini kita lanjutkan dengan poin kedua:
Di kata Pengantar itu bapak Abdullah Anis berkata: “Saya sama sekali tidak bermaksud memperlebar pertentangan, melainkan hanya berusaha memberikan argumentasi dalam wacana diskusi ilmiah, dengan segala keterbatasan yang ada pada diri saya.”
Maka saya katakan: Dengan tulus ikhlas karena Allah, saya nasihatkan kepada bapak Muhammad Anis, janganlah bapak menggunakan nikmat Allah yang telah dianugerahkan oleh Allah kepada bapak untuk membela orang-orang yang sudah jelas memusuhi Allah, menyakiti rasul-Nya, melaknat istri-istrinya yang suci, mengkhianati ahlul baitnya yang mulia, dan mengkafirkan para sahabatnya yang setia. Jika bapak tujuannya ingin masuk surga maka bapak telah salah arah dan salah lagkah. Kembalilah sebelum terlambat dan jauh tersesat jalan. Allah berfirman:
!إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا (١٠٥)
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang-orang yang khianat.” (An-Nisa`: 105)
وَلا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا (١٠٧)
“dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa,” (Al-Nisa`: 107)
هَا أَنْتُمْ هَؤُلاءِ جَادَلْتُمْ عَنْهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا فَمَنْ يُجَادِلُ اللَّهَ عَنْهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَمْ مَنْ يَكُونُ عَلَيْهِمْ وَكِيلا (١٠٩)
“Beginilah kamu, kamu sekalian adalah orang-orang yang berdebat untuk (membela) mereka dalam kehidupan dunia ini. Maka siapakah yang akan mendebat Allah untuk (membela) mereka pada hari kiamat? atau siapakah yang menjadi pelindung mereka (terhadap siksa Allah).” ? (Al-Nisa`: 109)
*****
1. SYIAH
Pada bab ini bapak Muhammad Anis menulis ingin mendudukkan istilah syiah, bahwa Syiah adalah sebutan khas untuk “syi’ah Ali bin Abi Tholib” atau “syi’ah Dua Belas Imam” selain itu tidak sah disebut syiah. Untuk itu dia kemudian mengemukakan beberapa bukti. Poin yang perlu saya tanggapi adalah ucapannya sebagai berikut (Pembagian kepada poin a, b, c dst adalah dari saya):
a. ((Kemudian saya mencoba untuk melihat referensi-referensi lain, maka saya temukan sebuah buku menarik dari Ayatullah Ibrahim Al-Musawi. Beliau mengatakan pada kitab beliau bahwa munculnya “syi’ah” yaitu pada “yaumul indzar”. Setelah turun ayat [Q.S. Asy-Syuro’ 214] : “Berikanlah peringatan kepada keluarga dekatmu”, maka Rasul saww mengajak keluarga dekat beliau ke rumah pamannya, Abu Tholib as. Setelah jamuan makan selesai, lalu Rasul -Shalallahu alaihi wasalam- berkata :
Adakah dari kalian yang mau mengokohkanku, maka ia akan menjadi saudaraku, pewarisku, wazirku, penerima wasiatku, dan kholifahku sepeninggalku“. Namun tidak ada yang menjawabnya kecuali Ali bin Abi Tholib. Lalu Rasul saw berkata pada mereka : “Inilah Ali saudaraku, pewarisku, penerima wasiatku, dan kholifahku sepeninggalku”. Hadits tersebut juga banyak diriwayatkan dalam kitab ahlusunnah, seperti :1. Tarikh Thabari, jilid 2, hal. 319; 2. Tarikh Ibnu Atsir, jilid 2, hal. 62; 3. Muttaqi Al-Hindi, dalam “Kanzul Ummal”, jilid 15, hal. 15; 4. Haikal, dalam “Hayat Muhammad”; dan lain-lain.))
KOMENTAR MANIS:
Pertama: Jika yang dimaksud oleh bapak Muhammad Anis dengan ucapannya “Kitab ahlus sunnah” dan “dan lain-lain” adalah kitab ulama ahli hadits dalam kitab-kitab yang menjadi hujjah seperti Bukhari, Muslim dan sejenisnya dan mereka mengatakan ini hadits shahih maka ini adalah dusta dan tidak pernah ada. Jika yang dimaksud adalah kitab yang dia sebut tadi kemudian kitab sebangsa al-Fadhail milik Abu Nuaim, juga kitab tulisan al-Maghazili, Khathib Khawarizm, atau kitab-kitab fadhail, atau kitab tarikh maka sekedar adanya riwayat itu di sana bukanlah hujjah menurut kesepakatan ahli ilmu., Ini dalam masalah furu’ lalu bagaimana kalau dalam masalah imamah seperti ini?
Kedua: Hadits ini maudhu’ alias dipalsukan oleh orang menurut kesepakatan ahli ilmu tentang hadits. Hal ini dikatakan oleh Ibn Hazam, Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at, Ibn Taimiyah (dalam Minhajus sunnah jilid 7/353), al-Albani dalam silsilah al-Dhaifah, dll. Lihat misalnya al-Fawaid al-Majmu’ah karya al-Syaukani hal 346; Tanzih al-Syari’ah 1/363.
Sesungguhnya hadits seperti itu dimuat dalam kitab-kitab yang menghimpun semua berita, yang telah diketahui oleh para ulama bahwa di dalamnya ada yang dusta seperti tafsir al-Tsa’labi, al-Wahidi dan sejenisnya. Juga kitab-kitab fadhail yang memuat riwayat yang baik dan yang buruk seperti kitab Khathib Khawarizm juga al-Maghazili.
Ketiga: Sesungguhnya riwayat-riwayat semacam itu (yang mengatakan “Ali ini saudaraku, mentriku, penerima wasiatku, khalifahku sesudahku”) kalau diteliti sanadnya mesti ada perawi syiah atau kadzdab (pendusta). Oleh karena itulah bapak Muhammad Anis tidak menyebutkan sanadnya kepada kita karena takut ketahuan kepalsuannya. Maka menurut saya ucapan bapak Muhammad Anis di depan yang mengatakan: “melainkan hanya berusaha memberikan argumentasi dalam wacana diskusi ilmiah” belum tercermin dalam tulisannya ini. Sepertinya bapak Anis tidak mengerti tentang hadits yang shahih dan yang palsu, sehingga seolah perhatiannya yang penting adalah ada rujukan atau info yang sesuai dengan selera. Ini jauh dari unsur ilmiah. Bahkan kalau boleh saya katakan, sikap ini mirip dengan sikap kafir Quraisy dulu,yang artinya : ” Tetapi orang-orang yang kafir membantah dengan yang batil agar dengan demikian mereka dapat melenyap kan yang hak.” (QS. Al-Kahfi, 56). Wallahul Muwaffiq.
Keempat: Riwayat hadits tentang yaumul indzar yang shahih dan dipakai oleh Ahlu sunnah tidak ada tambahan (yang mengatakan “Ali ini mentriku, penerima wasiatku, khalifahku sesudahku”) seperti hadits Ibn Abbas yang ada pada hadits Imam Bukhari, dan Imam Muslim, hadits Abu Hurairah dalam Shahih Muslim, dan hadits-hadits lain dalam sunan Nasa`i. Turmudzi, Baihaqi dll. Lihat misalnya Misykatul Mashabih : 5372; 5373; Shahih Sirah an-Nabawiyyah, Al-Albani 1/135; Fiqh al-Sirah an-Nabawiyyah, Munir Ghadhban, 142. Untuk lengkapnya ada baiknya anda merujuk Minhaj al-Sunnah an-Nabawiyyah, 7/299-306 (M. Syamilah 1); juga kitab al-Imamah fi Dhau` al-Kitab was-Sunnah lisyaikhil Islam Ibn Taimiyah, yang dihimpun, dikomentari dan diberi prolog oleh Muhammad Malullah.
Untuk lebih jelasnya ahsan ana cantumkan langsung dari kitab al-Imamah fi Dhau` al-Kitab was-Sunnah sebagai berikut:
الثامن: أن الذي في الصحاح من نزول هذه الآية غير هذا. ففي الصحيحين عن ابن عمر وأبي هريرة – واللفظ له – عن النبي صلَّى الله عليه وسلَّم لما نزلت: { وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ } [الشعراء: 214] دعا رسول الله صلَّى الله عليه وسلَّم قريشاً، فاجتمعوا، فخص وعم فقال: “يا بني كعب بن لؤي أنقذوا أنفسكم من النار، يا بني مُرَّة بن كعب أنقذوا أنفسكم من النار، يا بني عبد شمس أنقذوا أنفسكم من النار، يا بني عبد مناف أنقذوا أنفسكم من النار، يا بني هاشم أنقذوا أنفسكم من النار، يا بني عبد المطلب أنقذوا أنفسكم من النار، يا فاطمة بنت محمد أنقذي نفسك من النار. فإني لا أملك لكم من الله شيئاً غير أن لكم رحماً سأبلها ببلالها”([1]).
وفي الصحيحين عن أبي هريرة رضي الله عنه أيضاً لَمَّا نزلت هذه الآية قال: “يا معشر قريش اشتروا أنفسكم من الله لا أغني عنكم من الله شيئاً، يا بني عبد المطلب لا أغني عنكم من الله شيئاً، يا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئاً. يا فاطمة بنت محمد لا أغني عنك من الله شيئاً. سلاني ما شئتما من مالي”([2]) وخرجه مسلم من حديث ابن المخارق وزهير بن عمرو([3])، ومن حديث عائشة وقال فيه: “قام على الصفا”([4]).
وقال في حديث قبيصة: “انطلق إلى رضمة من جبل، فعلا أعلاها حجراً، ثم نادى: يا بني عبد مناف إني لكم نذير، إنما مثلي ومثلكم كمثل رجل رأى العدو فانطلق بربأ أهله، فخشي أن يسبقوه، فجعل يهتف: يا صباحاه”([5]).
وفي الصحيحين من حديث ابن عباس قال: “لما نزلت هذه الآية خرج رسول الله صلَّى الله عليه وسلَّم حتى صعد الصفا، فهتف: ”يا صباحاه“فقالوا: من هذا الذي يهتف؟ قالوا: محمد، فاجتمعوا إليه، فجعل ينادي: ”يا بني فلان، يا بني عبد مناف، يا بني عبد المطلب“ وفي رواية: ”يا بني فهر، يا بني عدي، يا بني فلان“ لبطون قريش فجعل الرجل إذا لم يستطع أن يخرج أرسل رسولاً ينظر ما هو، فاجتمعوا فقال: ”أرأيتكم لو أخبرتكم أن خيلاً تخرج بسفح هذا الجبل، أكنتم مصدّقي“؟ قالوا: ما جربنا عليك كذباً. قال: ”فإني نذير لكم بين يدي عذاب شديد“قال: فقال أبو لهب: تبّاً لك أما جمعتنا إلا لهذا؟ فقام فنـزلت هذه السورة: { تَبَّتْ يَدَا أَبِي لَهَبٍ وَتَبَّ } [المسد: 1]([6]).
وفي رواية: “”أرأيتم لو أخبرتكم أن العدو يصبّحكم ويمسّيكم أكنتم تصدّقوني“؟ قالوا: بلى”([7]).
Malang, Selasa15. Jumada Tsaniyah 1430

([1]) الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه في: البخاري 6/111-112 (كتاب التفسير، سورة الشعراء)، مسلم 1/192 (كتاب الإيمان، باب في قوله تعالى: {وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ}، المسند (ط. الحلبي) 2/333، 360، 519 .
([2]) الحديث عن أبي هريرة رضي الله عنه في: البخاري 4/6-7 (كتاب الوصايا، باب هل يدخل النساء والولد في الأقارب)، 4/185 (كتاب المناقب، باب من انتسب إلى آبائه في الإسلام والجاهلية)، 6/112 (كتاب التفسير، سورة الشعراء)، مسلم 1/192-193 (كتاب الإيمان، باب في قوله تعالى: {وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ}. والحديث في سنن النسائي والدارمي والمسند.
([3]) الحديث في: مسلم في الموضع السابق 1/193 (رقم 353، 354).
([4]) الحديث في: مسلم 1/192 (الموضع السابق) حديث رقم 350 .
([5]) الحديث هو حديث ابن المخارق وزهير بن عمرو السابق، وابن المخارق هو قبيصة بن المخارق. والرضمة: حجارة مجتمعة ليست بثابتة في الأرض كأنها منثورة، وعبارة “فعلا أعلاها حجراً”: أي فرقي في أرفعها، وكلمة “يربأ” على وزن يقرأ: معناه: يحفظهم ويتطلع لهم، ويقال لفاعل ذلك؛ ربيئة. وكلمة “واصباحاه” هي كلمة يعتادونها عند وقوع أمر عظيم، فيقولونها ليجتمعوا ويتأهبوا له.
([6]) الحديث عن ابن عباس رضي الله عنهما – مع اختلاف في الألفاظ – في: البخاري 6/111 (كتاب التفسير، سورة الشعراء)، 6/122 (كتاب التفسير، سورة سبأ)، 6/179-180 (كتاب التفسير، سورة تبت يدا أبي لهب وتب)، مسلم 1/193-194 (كتاب الإيمان، باب في قوله تعالى:{وَأَنذِرْ عَشِيرَتَكَ الأَقْرَبِينَ}، سنن الترمذي 5/121 (كتاب التفسير، ومن سورة تبت)، المسند (ط. المعارف) 4/186، 286 .
([7]) هذه الرواية جزء من حديث عن ابن عباس رضي الله عنهما في: البخاري 6/122 (كتاب التفسير، سورة سبأ)، 6/180 (كتاب التفسير، سورة تبت يدا أبي لهب وتب).
KOMENTAR MANIS
(bag.3)
Pada komentar manis 2 sudah kita tanggapi hadits ( a) yaumul indzar yang dipakai oleh bapak Muhammad Anis sebagai hujjah. Kini kita lanjutkan dengan hadits berikutnya yang dijadikan hujjah oleh Bapak Muhammad Anis (mengutip dari Ayatullah Sayyid Ibrahim Al-Musawi, dalam “Aqoidul Imamiyah Itsna Asyariyyah”, jilid 3), yaitu;
(b). Abu Sa’id Al-Khudri berkata :
Abu Sa’id Al-Khudri berkata :
Rasul telah memerintahkan manusia lima hal, namun mereka hanya mengimani 4 hal dan meninggalkan 1 hal”. Ketika ia ditanya apa 4 hal tersebut, maka ia mengatakan 4 hal tersebut adalah Sholat, Zakat, Puasa Romadlon, dan Haji. Ketika ia ditanya 1 hal yang ditinggalkan mereka, maka ia menjawab : “Satu hal tersebut adalah wilayah Ali bin Abi Tholib”. Kemudian ia ditanya apakah 1 hal tersebut diwajibkan bersama 4 hal lainnya, maka ia menjawab : “Ya, satu hal tersebut diwajibkan bersama 4 hal lainnya”.
Perintah untuk mentaati Imam Ali as tersebut pada akhirnya telah dikhianati oleh kebanyakan sahabat sepeninggal Rasul -Shalallahu alaihi wa salam-. Sehingga mereka yang memegang amanat Rasul -Shalallahu alaihi wa salam- menjadi para pengikut setia Ali as. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai syi’ah Ali, hal itu hanya untuk membedakan antara para pelaksana amanat Rasul -Shalallahu alaihi wa salam- dengan pengkhianat amanat Rasul -Shalallahu alaihi wa salam-. Oleh karena itu, Abu Dzar Al-Ghifari sering disebut dengan syi’ah Ali.
KOMENTAR MANIS
Pertama: Ucapan Abu Said ra perlu dibuktikan keabsahannya, jika tidak, maka sekedar menyebutkan tidaklah menjadi hujjah sama sekali menurut kesepakan para ulama dan seluruh manusia. Apalagi dalam riwayat itu abu said al-Khudri membenarkan pengkafiran seluruh sahabat Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-. Ini adalah riwayat mereka seperti yang disebutkan oleh salah satu situs mereka:
عن أبي هارون العبدي، قال: كنت أرى [رأي] الخوارج لا رأي لي غيره حتَّى جلست إلى أبي سعيد الخدري رحمه الله فسمعته يقول:
أمر الناس بخمس، فعملوا بأربع وتركوا واحدة.
فقال له رجل: يا أبا سعيد ما هذه الأربع التي عملوا بها؟
قال: الصلاة والزكاة والحج وصوم شهر رمضان.
قال: فما الواحدة التي تركوها؟
قال: ولاية علي بن أبي طالب (عليهِ السَّلام).
قال الرجل: وإنَّها لمفترضة؟
قال أبو سعيد: نعم ورب الكعبة.
قال الرجل: فقد كفر الناس إذن؟
قال أبو سعيد: فما ذنبي.( أمالي الشيخ المفيد 90 مجلس 17 ح3)
Apalagi Syiah terbukti memalsukan atau menggunakan beberapa hadits palsu atas nama sahabat Abu said (salah satu situs mereka memuat makalah berisi 48 hadits palsu atas nama sahabat yang mulia ini), misal hadits untuk menafsiri ayat al-Maidah: 3, yaitu hadits:
فقال رسول الله صلّى الله عليه وسلّم: الله أكبر على إكمال الدين، وإتمام النعمة، ورضا الرب برسالتي، وبالولاية لعليٍّ من بعدي.
Hadits ini banyak mereka kutib di situs-situs mereka untuk menjelaskan peristiwa Ghadir Khum. Juga hadits:
عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : ( أعطيت في علي خمسا ، أما إحداها : فيواري عورتي ، والثانية : يقضي ديني ، والثالثة : إنه متكئ في طول المواقف ، والرابعة : فإنه عوني على حوضي ، والخامسة : فإني لا أخاف عليه أن يرجع كافرا بعد إيمان ، ولا زانيا بعد إحصان )
Hadits ini diriwayatkan dari jalur Muhammad ibn Abdir rahman al-Qusyairi, dia adalah pendusta. IbnHatim mengatakan: Ia matruk al-hadits, ia berdusta dalam hadits. Abul Fath al-Azdi berkata: Ia kadzdzab matruk al-Hadits sebagaimana biografinya dalam al-Mizan dan al-Tahdzib dan lainnya.
Ia juga memiliki penyakit lain, yaitu Tadlis oleh Athiyah al-Aufi. Ia melakukan tadlis yang sangat buruk. Ia mendatangi Muhammad ibn Saib al-Kalbi, yang dituduh dusta, lalu ia meriwayatkan hadits darinya dan menyebutkannya dengan kunyah abu said untuk mengesankan bahwa ia adalah abu said al-Khudri ra. (al-Hujaj al-Damighah linaqdh Kitab al-Muraja’at: 1/2; 2/603)
Jadi harus hati-hati menerima riwayat yang dikemukakan syiah.
Kedua: keutamaan Ali –Radiallahu anhu- khalifah ar-Rasyid keempat, sebagai menantu Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-, suami dari Fatimah az-Zahra` dan sebagai ahli syurga sangatlah banyak, namun orang syiah tidak rela kecuali harus membuat riwayat-riwayat palsu atas beliau. Berikut kesaksian para imam Ahlus sunnah:
Imam Ibnul Qayyim dalam al-Manar al-Munif (116) berkata:
(وأما ما وضعه الرافضة في فضائل علي فأكثر من أن يعد، قال الحافظ أبو يعلى الخليلي في كتاب (الإرشاد): وضعت الرافضة في فضائل علي رضي الله عنه وآل البيت نحو من ثلاث مئة ألف حديث).
Adapun riwayat yang dipalsukan oleh Rafidhah tentang keutamaan Ali maka lebih banyak dari pada dihitung. Al-Hafizh abu ya’la al-Khalili dalam kitab al-Irsyad berkata: Rafidhah memalsukan dalam keutamaan Ani –Radiallahu anhu- dan ahlul bait sekitar 300 ribu hadits.”
Imam Ibnul Jauzi dalam al-Maudhu’at (1/252) berkata:
(فضائله كثيرة –أي: علي رضي الله عنه- غير أن الرافضة لم تقتنع فوضعت له ما يضع ولا يرفع).
Ketamannya (maksudnya: Ali) adalah sangat banyak, hanya saja kaum syiah rafidhah tidak puas kecuali dengan membuat riwayat-riwayat palsu yang justru merendahkannya bukan mengangkatnya.:
Imam Ibnu Taimiyah berkata dalam fatawanya (13/31):
: (فأصل بدعتهم –أي: الرافضة- مبنية على الكذب على رسول الله صلى الله عليه وعلى آله وصحبه وسلم، وتكذيب الأحاديث الصحيحة، ولهذا لا يوجد في فرق الأمة أكثر كذباً منهم).
“Pangkal bid’ah mereka- maksudnya: Rafidhah- adalah dibangun di atas kebohongan atas nama Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- dan para sahabatnya, serta banyak mendustakan hadits-hadits yang shahih. Oleh karena itu tidak ada di dalam sekte-sekte umat yang lebih banyak berdusta dari pada merelka.
Jadi harus hati-hati
Ketiga: Ucapan bapak Muhammad Anis: “Perintah untuk mentaati Imam Ali as tersebut pada akhirnya telah dikhianati oleh kebanyakan sahabat sepeninggal Rasul -Shalallahu alaihi wa salam-” menegaskan bahwa pemimpin setelah Nabi adalah Ali berdasarkan perintah Nabi -Shalallahu alaihi wa salam-., lalu abu Bakar ra berkhianat dengan merampas hak Ali. Begitu pula Umar dan Utsman. Maka ucapan ini perlu kami uji kebenarannya:
1. Jika memang hak Ali dirampas lalu mengapa Ali diam tidak merebut dan memperjuangkan amanah wajib itu? Jika mereka menjawab: Karena Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- telah berwasiat kepadanya agar tidak menimbulkan fitnah sesudahnya dan tidak menghunus pedang. Maka kita katakan: Lalu kenapa Ia menghunus pedang memerangi pasukan jamal dan shiffin? Yang telah terbunuh di dalamnya ribuan kaum muislimin? Siapakah yang lebih berhak untuk diperangi? Apakah orang zhalim pertama, keempat atau kesepuluh dst?
2. Ali membaiat Abu Bakar –Radiallahu anhu- setelah 6 bulan, artinya ia terlambat berbaiat. Hal ini tidak lepas dari dua kemungkinan: adakalanya ia benar dalam keterlambatannya dan salah dalam baiatnya, atau ia benar dalam baiatnya salah dalam keterlambatannya?
3. Abu Bakar dan Umar menurut orang syiah – termasuk kata bapak Muhammad Anis- adalah mengkhianati amanah, merampas hak imamah dari Ali, maka kita katakan: Jika ucapan anda benar lalu mengapa Khalifah Umar memasukkan Ali kedalam majlis Syura bersama yang lain? Seandainya Umar mengeluarkannya dari padanya seperti ia mengeluarkan Said ibn Zaid, atau memilih orang selainnya niscaya tidak ada seorangpun yang menentangnya dalam hal itu meskipun hanya satu kata. Maka kita mengetahui dengan yakin bahwa bahwa para sahabat telah menempatkannya pada tempat yang semestinya, tidak berlebihan dan tidak kurang. Semoga Allah meridhai semua. Mereka mendahulukan yang paling berhak kemudian yang paling berhak berikutnya.
Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa ketika Ali memimpin setelah Usman, maka berbagai kelompok dari Muhajirin dan Anshar bersegera membaiat Ali, dan tidak satupun dari mereka yang meminta maaf karena telah salah berbaiat sebelumnya kepada Abu Bakar, Umar dan Usman. Atau bertaubat karena telah mengkhianati wilayahnya atau semacamnya.
4. Syiah mengklaim bahwa Ali paling berhak terehadap imamah karena memiliki keutamaan di atas sahabat, seperti termasuk pertama kali masuk Islam, jihad bersama Raslullah -Shalallahu alaihi wa salam-, luas ilmu dan zuhud. Seandainya kita mengalah itu untuk Ali, lalu apakah mereka mendapatkan keutamaan untuk Hasan dan Husen jika dibanding dengan Sa’ad ibn Abi Waqqash, Abdurrahman ibn Auf, Abdullah ibn Umar, dan kaum muhajirin serta Anshar lainnya? Ini tentu mustahil mereka dapatkan. Jadi tidak ada alasan kecuali hanya nash, artinya ia sudah ditunjuk oleh Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- untuk menjadi khalifah Rasul, dan ini adalah klaim dusta.
5. Orang syiah tidak akan mampu membuktikan bahwa Ali itu mukmin dan adil (shalih terpercaya), kecuali kalau orang syiah berubah menjadi ahli sunnah. Karena kalau orang khawarij dan lainnya yang mengkafirkan Ali berkata: Kami tidak menerima kalau Ali mukmin, justru ia kafir atau zhalim, sebagaimana ucapan syiah tentang Abu Bakar dan Umar. Mereka tidak memiliki dalil yang digunakan untuk membuktikan imannya Ali dan ‘adalahnya melainkan hal itu lebih jelas untuk menjadi dalil bagi iman dan ‘adalah Abu Bakar, Umar dan Usman.
Jika mereka berhujjah dengan kemutawatirtan islamnya ali, hijrah dan jihadnya, maka juga telah mutawatir hal itu dari mereka (Abu Bakar, Umar, dan Usman). Bahkan telah mutawatir Islam dan jihadnya Mu’awiyah serta para khalifah Bani Umayyah dan Bani Abbas.
Jika syiah mengklaim salah satu dari mereka sebagai munafik, maka sangat mungkin bagi khawarij untuk mengklaim hal itu pada diri Ali!
Jika mereka menyebut syubhat maka khawarij bisa menyebutkan syubhat yang lebih besar lagi!
Jika mereka mengatakan bahwa Abu Bakar dan Umar adalah munafik secara batin, memusuhi Nabi -Shalallahu alaihi wa salam- dan merusak agamanya sebisa mungkin. Maka seorang khawarij juga bisa mengatakan hal itu pada diri Ali dengan mengatakan: Ia hasad terhadap putra pamannya, dan memusuhi keluarganya, ia ingin rusaknya agamanya, ia tidak mampu melaksanakan misinya itu pada masa khalifah yang tiga hingga ia berusaha membunuh khalifah ketiga dan mengobarkan fitnah hingga mampu membunuh para sahabat Muhammad dan umatnya karena kebencian dan permusuhannya terhadapnya. Dia Menyembunyikan kecintaannya kepada kaum junafikin yang mengklaim rububiuyyah dan nubuwwah pada dirinya. Dia menampakkan apa yang berbeda dengan isi hatinya, sebab agamanya adalah taqiyyah, oleh karena itu kaum bathiniyyah menjadi para pengikutnya, dan mereka yang memegang rahasianya dan yang menyebar agama batinyya.
Jika mereka ingin membuktikan iman Ali dan adalahnya dengan nash al-Qur`an atasnya maka dijawab: al-Qur`an umum, cakupan al-Qur`an tentangnya tidak lebih agung dari cakupannya terhadap yang lainnya. Tidak ada ayat yang mereka klaim sebagai khusus untuknya melainkan sangat mungkin klaim pengkhususan ayat yang semisal atau yang lebih besar untuk Abu Bakar dan Umar. Maka klaim tanpa hujjah sangat mungkin, namun untuk keutamaan Abu Bakar dan Umar lebih mungkin dari pada yang lainnya.
Jika mereka mengatakan hal itu berdasarkan naql dan riwayat maka naql dan riwayat untuk mereka (Abu Bakar, Umar) lebih terkenal lagi dan lebih banyak. Jika mereka mengklaim mutaatir, maka mutawatir untk Abu Bakar Umar lebih shahih. Jika mereka mengandalkan kesaksian sahabat maka kesaksiaan sahabat untuk Abu Bakar dan Umar lebih banyak!
Yang benar: khalifaj yang hak setelah Rasulullah -Shalallahu alaihi wa salam- adalah Abu Bakar as-shiddiq –Radiallahu anhu-. Buktinya: a). kesepakatan dan ijma’ para sahabat untuk mentaatinya, patuh kepada perintah-perintahnya dan larangannya serta tidak adanya pengingkaran terhadapnya. Seandainya dia bukan khalifah yang sah tentu mereka tidak akan membiarkannya, tidak akan mentaatinya, karena mereka adalah generasi yang zuhud, wara’ dan taqwa, tidak takut kecuali kepada Allah. b). Ali –Radiallahu anhu- tidak pernah menyalahinya dan memeranginya. Hal ini tidak lepas dari kemungkinan:
((ia membiarkannya karena takut fitnah dan keburukan atau karena tidak mampu atau karena mengetahui bahwa kebenaran ada pada Abu Bakar dan tidak pernah ada wasiat itu))
Tidak mungkin ia menmbiarkannya karena takut fitnah, karena buktinya ia memerangi Muawiyyah dan terbunuh dalam peperangan itu ribuan muslim. Ia memerangi Thalhah dan Zuibair –Radiallahu anhuma- dan memerangi Aisyah –Radiallahu anha- ketika ia mengetahui bahwa kebenaran ada padanya. Ia tidak meninggalkan itu karena takut fitnah!
Juga tidak mungkin membiarkannya karena ketidakmampuan, karena yang menolongnya saat memerangi muawiyyah mereka waktu itu adalah mukmin, yaitu pada hari peristiwa saqifah, pada hari penunjukan Umar sebagai khalifah, dan pada hari syura, kalau mereka mengetahui bahwa kebenaran apa di pihak Ali tentu mereka menolongnya di hadapan Abu Bakar karena abu Bakar lebih berhak untuk diperangi dari pada Muawiyyah.
Karena hal itu tidak terjadi maka nyatalah bahwa Ali mengetahui bahwa Abu Bakar benar dan tidak pernah ada wasiat Nabi untuk dirinya, sehingga ia berbaiat kepada Abu Bakar –Radiallahu anhu-, kemudian kepada Umar kemudian kepada Utsman. Jadi mereka bertiga tidak berkhianat dan Ali juga tidak berkhianat dan tidak merestui orang-orang yang berkhianat, tapi justru syiahlah yang berkhianat, mengkhianati Nabi, para shabat dan para ahlul bait.
BAPAK MUHAMMAD ANIS BERKATA:

1. ABDULLAH BIN SABA’

Berikut saya tuliskan tentang Abdullah bin Saba’ yang sebenarnya adalah tokoh fiktif, yang sumbernya baik dari ahlusunnah maupun syi’ah. Seorang ulama syi’ah, yaitu Ayatullah Murtadla ‘Askari mencoba untuk meneliti tentang keberadaan Abdullah bin Saba’. Dan hasilnya, beliau menyatakan bahwa berdasarkan penelitian sejarah dan periwayatan hadits, maka sebenarnya Abdullah bin Saba’ adalah tokoh fiktif. Dan hasil penelusuran dan penelitian tersebut beliau tuangkan dalam buku beliau yang berjudul :
1. Abdullah bin Saba’ wa Asatir Ukhra.
2. Khomsun wa Mi’atun Shahabi Mukhtalaq.
Cerita tentang riwayat-riwayat oleh Abdullah bin Saba’ hanya bersumber dari satu orang (sumber tunggal), yaitu Saif bin Umar At-Tamimi. Mengenai sosok Saif bin Umar At-Tamimi, para ulama ahli jarh wa ta’dil telah memberikan nilai merah/buruk kepadanya. Berikut komentar mereka tentang Saif At-Tamimi tersebut :
1. Yahya bin Mun’im, mengatakan : “Riwayat-riwayatnya lemah dan tidak berguna”.
2. An-Nasa’i dalam Sunan-nya, mengatakan : “Riwayat-riwayatnya lemah dan harus diabaikan, karena ia adalah orang yang tidak dapat diandalkan dan tidak patut dipercaya”.
3. Abu Dawud, mengatakan : “Tidak ada harganya, ia seorang pembohong”.
4. Ibn Abi Hatim, mengatakan : “Mereka telah meninggalkan riwayat-riwayatnya”.
5. Ibn Al-Sakan, mengatakan : “Riwayatnya lemah (dlo’if)”.
6. Ibn ‘Adi mengatakan : “Riwayatnya lemah, sebagian dari riwayatnya terkenal namun bagian terbesar dari riwayat-riwayatnya adalah mungkar dan tidak diikuti”.
7. Al-Hakim, mengatakan : “Riwayat-riwayatnya telah ditinggalkan, ia dituduh zindiq”.
8. Ibn Hibban, mengatakan : “Ia terdakwa sebagai zindiq dan memalsukan riwayat-riwayat”.
Dan para ulama ahlusunnah lainnya yang tidak mempercayainya, seperti Khatib Al-Baghdady, Ibn Abdil Barr, Ibnu Hajar, dll.
Sehingga jelas sekali bahwa keberadaan Abdullah bin Saba’ ini adalah fiktif, dikarenakan hanya bersumber dari satu orang yaitu Saif At-Tamimi, yang dinilai cacat, mungkar, pemalsu, zindiq, dll.
Oleh karena itu, tertolaknya riwayat tentang Abdullah bin Saba’ bukan hanya karena dalam jalur periwayatannya terdapat Saif At-Tamimi, seperti hadits yang dikutip oleh Thabari; melainkan juga bahwa Saif At-Tamimi merupakan sumber tunggal dari cerita keberadaan Abdullah bin Saba’, seperti riwayat-riwayat yang tercantum dalam buku karangan Saif At-Tamimi yang berjudul “Al-Futuh” dan “Al-Jamal”.
Dengan predikat semacam itu, maka sudah semestinya setiap kisah yang diriwayatkan secara tunggal dari Saif At-Tamimi TIDAK BISA dipercaya, baik dalam wacana syari’at maupun tarikh, dan lain-lain.
Ibnu Hajar dalam bukunya yang berjudul “Lisanul Mizan”, mengatakan :
Berita-berita tentang Abdullah bin Saba’ dalam sejarah memang terkenal, tetapi tidak satupun bernilai riwayat“.
Ibnu Hajar juga mengatakan :
Ibnu Asakir kemudian meriwayatkan sebuah cerita panjang dari Saif bin Umar At-Tamimi dalam kitab Al-Futuh yang tidak shohih sanad-sanadnya
Ref. Ahlusunnah :
Ibnu Hajar Al-Asqolani, dalam “Lisanul Mizan”, jilid 3, hal. 289. [Lihat Catatan Kaki no. 5]
Sehingga semua jalur riwayat yang ada tentang Abdullah bin Saba’, sekali lagi, hanya bersumber dari cerita Saif At-Tamimi tersebut. Jadi jelas sekali bahwa riwayat-riwayat tersebut tertolak berdasarkan predikat buruk yang disandang oleh Saif At-Tamimi.
Dan buku Ayatullah Murtadla ‘Askari tersebut di atas merupakan sanggahan dan bantahan terhadap semua pendapat yang menyatakan keberadaan Abdullah bin Saba’, baik itu yang berasal dari ulama ahlusunnah maupun ulama syi’ah terdahulu.
KOMENTAR MANIS:
Saya katakan: Ini tidak layak disebut sebagai bantahan terhadap buku Gen syiah, jadi tidak perlu ditanggapi. Cukuplah tulisan syaikh dalam Gen syiah sebagai bantahannya. Jadi buku Gen Syiah belum terbantahkan.) (Baca makalah Gerakan Sabaiyyah yang insya Allah akan kami muat)