http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/09/ali-bin-abi-thaalib-radliyallaahu-anhu.html
Dari ‘Amr bin Hubsyiy ia berkata : Al-Hasan bin ‘Aliy pernah berkhutbah kepada kami setelah
terbunuhnya ‘Aliy radliyallaahu
‘anhuma. Ia
pun berkata :
لقد فارقكم رجل بالأمس ما سبقه
الأولون بعلم ولا أدركه الآخرون ان كان رسول الله صلى الله عليه وسلم ليبعثه
ويعطيه الراية فلا ينصرف حتى يفتح له وما ترك من صفراء ولا بيضاء الا سبعمائة درهم
من عطائه كان يرصدها لخادم لأهله
“Sungguh
kemarin telah meninggal seorang laki-laki yang tidak didahului orang-orang terdahulu dan
kemudian dalam hal ilmu. Apabila Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallammemberinya bendera (kepemimpinan), maka ia
tidaklah kembali hingga diberikan kemenangan baginya. Dan tidaklah ia
meninggalkan dinar dan dirham kecuali 700 dirham yang berasal dari pemberian
(Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam)
yang ia persiapkan untuk pembantu keluarganya”.
Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam Al-Musnad 1/199, Fadlaailush-Shahaabah no. 922 danAz-Zuhd hal. 133; serta Ibnu Abi Syaibah 12/75.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad 1/199, Ath-Thabaraniy no. 2717-2725, Ibnu Abi
Syaibah 12/73-74, Ibnu Hibbaan no. 6936, Ibnu Sa’d 3/38-39, An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8408, dan yang lainnya dari jalan Ibnu
Hubairah.
Atsar ini
dihasankan oleh Asy-Syaikh Syu’aib Al-Arna’uth serta dishahihkan oleh
Asy-Syaikh Ahmad Syaakir dan Asy-Syaikh Dr. Wasiyullah ‘Abbas. Dan kedudukannya
adalah sebagaimana yang mereka sebutkan (maqbul).
Sebagian
orang Syi’ah menggunakan atsar ini untuk menyatakan keilmuan ‘Aliy berada
di atas semua shahabat tanpa terkecuali. Tidak Abu Bakr, tidak ‘Umar, dan tidak
juga ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum. Tentu saja enggapan ini keliru lagi tertolak.
Tanggapan
:
Perlu
diketahui bahwa riwayat di atas[1] bukan merupakan sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, namun merupakan perkataan Al-Hasan bin
‘Aliy radliyallaahu
‘anhuma. Jadi statusnya
adalah mauquf.
Sanjungan
tersebut dikatakan Al-Hasan bin ‘Aliy saat terjadi fitnah beberapa saat setelah
terbunuhnya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu secara dhalim oleh ‘Abdurrahman bin Muljam – semoga
Allah memberikan balasan setimpal atas dosa-dosanya. Banyak orang terfitnah
sehingga membenci ‘Aliy dan merendahkan kedudukannya. Kemudian, Al-Hasan bin
‘Aliy tampil di atas mimbar untuk mengingkari mereka dan menegaskan keutamaan
‘Aliy di sisinya dan di sisi shahabat secara umum. Dan memang, ‘Aliy bin Abi
Thaalib merupakan shahabat yang paling afdlal saat itu[2].
Apa yang
dikatakan Al-Hasan bukan dimaksudkan untuk mengunggulkan ‘Aliy di atas Abu
Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman radliyallaahu ‘anhum ajma’iin. Uslub yang dipakai oleh Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma ini mirip dengan yang dilakukan kakeknya,
yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Misalnya saja saat beliau menyebutkan
keutamaan Usamah bin Zaid dan ayahnya (Zaid bin Haritsah) radliyallaahu ‘anhumasaat orang-orang tidak menerima keputusan
beliau yang telah mengangkat Usamah menjadi panglima perang dan cenderung merendahkan
kedudukannya :
عن عبد الله بن عمر رضي الله عنهما قال: بعث النبي صلى الله عليه وسلم
بعثا، وأمر عليهم أسامة بن زيد، فطعن بعض الناس في إمارته، فقال النبي صلى الله
عليه وسلم: (إن تطعنوا في إمارته، فقد كنتم تطعنون في إمارة أبيه من قبل، وايم
الله إن كان لخليقا للإمارة، وإن وكان لمن أحب الناس إلي، وإن هذا لمن أحب الناس
إلي بعده).
Dari
‘Abdullah bin ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma, ia berkata : Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah memberangkatkan pasukan dengan
menunjuk Usamah bin Zaid sebagai panglima. Kemudian ada sejumlah orang yang
mencela/mengkritik tentang kepemimpinannya tersebut. Lalu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Jika kalian mencela penunjukkan Usamah
sebagai panglima berarti kalian juga mencela penunjukkan ayahnya sebagai panglima
pada masa sebelumnya. Demi Allah, Zaid memang layak memimpin pasukan, dan dia
tergolong orang yang paling aku cintai. Sedangkan anaknya ini (Usamah) juga
termasuk orang yang paling aku cintai”[Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3730, Muslim no. 2426, At-Tirmidziy
no. 3816, Ahmad dalam Al-Musnad 2/110 dan Fadlaailush-Shahaabah no. 1525].
Tentu saja
perkataan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidaklah dimaksudkan untuk mengunggulkan
Zaid dan Usamah di atas Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Aliyradliyallaahu
‘anhum. Inilah keyakinan Ahlus-Sunnah.
Kalaupun toh kita pahami tanpa memandang ‘illat riwayat, maka pujian atau sanjungan serupa
(yaitu pujian satu shahabat terhadap yang shahabat lainnya) semisal di atas
adalah banyak. Misalnya sanjungan Ibnu Mas’ud terhadap Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :
لو أن
ابن عباس أدرك أسناننا ما عاشره منا أحدٌ. قال وكان يقول : نعم ترجمان القرآن ابن
عباس رضي الله عنه.
“Apabila
Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di antara kami
yang dapat menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir Al-Qur’an
adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Abu Khaitsamah dalamAl-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-Shahabah no. 1860, 1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].
Sanjungan
Qabiishah bin Jaabir terhadap ‘Umar bin Al-Khaththaab radliyallaahu ‘anhuma :
عن قبيصة
بن جابر، قال : ما رأيت رجلا قط أعلم بالله ولا أقرأ لكتاب الله ولا أفقه في دين
الله من عمر.
Dari
Qabiishah bin Jaabir, ia berkata : “Tidaklah aku melihat seorang laki-laki pun
yang lebih mengetahui (berilmu) terhadap Allah, lebih bagus bacaannya terhadap
Kitabullah, dan lebih paham terhadap agama dibandingkan ‘Umar” [Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 472 dengan sanad shahih].
Atau bahkan
sanjungan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada Mu’adzradliyallaahu ‘anhu :
وأعلمهم
بالحلال والحرام معاذ بن جبل
“Dan
orang yang paling mengerti tentang halal dan haram di antara mereka, (yaitu)
Mu’adz bin Jabal” [Diriwayatkan
oleh At-Tirmidzi no. 3790, Ahmad 3/281, Ibnu Sa’d 2/341 dll., An-Nasa’iy dalam Al-Kubraa no. 8242, Ath-Thahawiy dalam Syarh Musykilil-Atsar 808, Al-Baihaqiy 6/210, Ath-Thayalisiy no.
2096, dan lainnya. Sanadnya shahih, sebagaimana dikatakan oleh Al-Albaniy dan
Al-Arna’uth].
Tiga
riwayat yang ‘sebanding’ di atas sudah barang tentu memberatkan orang Syi’ah
untuk menukilnya.
Pujian-pujian
mereka (para shahabat) kepada yang lain menunjukkan bahwa mereka adalah
orang-orang yang tawadlu’ yang mengerti siapa saja yang harus
ditinggikan dan siapa saja yang harus direndahkan (yaitu orang-orang munafik
dan kafir). Setiap shahabat mempunyai keutamaan. Dan di antara
keutamaan-keutamaan yang dimiliki, mereka semua telah berijma’ (sepakat) untuk
mengutamakan Abu Bakr dan ‘Umar dibandingkan shahabat yang lain – dalam
keutamaan yang bersifat global/umum (bukan keutamaan yang bersifat parsial).
Ibnu ‘Umar radliyallaahu
‘anhuma berkata :
كنا
نفاضل على عهد رسول الله صلى الله عليه وسلم أبو بكر ثم عمر ثم عثمان ثم نسكت
“Kami
mengutamakan di jaman Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam : Abu Bakr, kemudian ‘Umar, kemudian
‘Utsman, kemudian kami diam” [Diriwayatkan oleh Ibnu Hibban no. 7251, Ibnu Abi
Syaibah 12/9, Ahmad 2/14, Ibnu Abi ‘Aashim no. 1195, dan Ath-Thabaraniy no.
13301; shahih].
Bahkan
‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sendiri yang menegaskan keutamaan mereka
berdua.
عن عمرو
بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا أخبركم بخير هذه
الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.
Dari ‘Amr
bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di atas mimbar.
Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang sebaik-baik umat ini
setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? yaitu Abu Bakr. Maukah aku beritahukan
kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad hasan].
عن علي
بن ربيعة الوالبي عن علي قال : إني لأعرف أخيار هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر،
ولو شئت أن أسمي الثالث لفعلت.
Dari ‘Aliy
bin Rabii’ah Al-Waalabiy, dari ‘Aliy, ia berkata : “Sesungguhnya aku mengetahui
sebaik-sebaik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam. (Yaitu) Abu Bakr dan ‘Umar. Jika saja
aku ingin untuk menyebutkan yang ketiga, niscaya aku lakukan” [Diriwayatkan
oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 428 dengan sanad hasan].
عن أبي
جحيفة قال : كنت أرى أن عليا أفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم. قلت :
يا أمير المؤمنين، إني لم أكن أرى أن أحدا من المسلمين من بعد رسول الله أفضل منك.
قال : أولا أحدثك يا أنا جحيفة بأفضل الناس بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ؟
قلت : بلى ! قال : أبو بكر، قال : أفلا أخبرك بخير الناس بعد رسول الله وأبي بكر ؟
قال : قلت : بلى فديتك ! قال : عمر.
Dari Abu
Juhaifah, ia berkata : “Aku dulu berpendapat bahwa ‘Aliy adalah orang yang
paling utama setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam”. Aku berkata : “Wahai Amiirul-Mukminin,
sesungguhnya aku tidak berpandangan ada seseorang dari kalangan kaum muslimin
setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam lebih utama daripada engkau”. Ia (‘Ali bin
Abi Thaalib) berkata : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu wahai Abu
Juhaifah tentang orang yang paling utama setelah Rasulullahshallallaahu
‘alaihi wa sallam ?”. Aku berkata : “Tentu”. ‘Ali berkata : “Abu Bakr”. Kemudian ia
melanjutkan : “Tidakkah engkau mau aku beritahukan kepadamu orang yang paling
baik setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan Abu Bakr ?”. Aku menjawab : “Tentu,
berilah kami penjelasan”. ‘Aliy berkata : “Umar” [Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 404; shahih li-ghairihi).
عن محمد
بن الحنفية قال: قلت لأبي: أيُّ الناس خير بعد رسول اللّه صلى اللّه عليه وسلم؟
قال: أبو بكر، قال: قلت: ثم من؟ قال: ثم عمر، قال: ثم خشيت أن أقول ثم من؟ فيقول
عثمان، فقلت: ثم أنت يا أبتِ؟ قال: ما أنا إلا رجل من المسلمين.
Dari
Muhammad bin Al-Hanafiyyah, ia berkata : Aku bertanya kepada ayahku (yaitu ‘Ali
bin Abi Thaalib radliyalaahu ‘anhu) : “Siapakah manusia yang paling baik setelah Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Abu Bakr”. Aku bertanya :
“Kemudian siapa ?”. Ia menjawab : “Kemudian ‘Umar”. Muhammad bin Al-Hanafiyyah
berkata : “Kemudian aku khawatir untuk menanyakan 'kemudian siapa' (setelah
‘Umar), lalu menjawab : 'Utsmaan. Aku kembali bertanya : “Kemudian setelah itu
engkau wahai ayahku ?”. Ia menjawab : “Aku hanyalah seorang laki-laki dari
kalangan kaum muslimin” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3671, Abu Daawud
no. 4629, dan yang lainnya].
Kalaupun
misal kita pertentangkan – (dan sebenarnya kita tidak pernah mempertentangkannya)
– antara perkataan Al-Hasan bin ‘Aliy dengan ‘Aliy yang dua-duanya membicarakan
tentang diri ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma; siapakah yang lebih pantas untuk didahulukan ? Tentu saja
perkataan ‘Aliy tentang dirinya-lah yang lebih didahulukan daripada selainnya,
sebagaimana ma'ruf dalam kaidah-kaidah tarjih ilmu ushul.
Bila kita
ikuti logika bathil kaum Syi’ah Rafidlah yang berdalil dengan riwayat Al-Hasan
bin ‘Aliy di atas bahwa ‘Aliy itu adalah orang yang paling berilmu dibandingkan
seluruh shahabat, maka kita akan menemui beberapa ‘kesulitan’ sebagai berikut :
1. Hadits
ditunjuknya Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu sebagai imam shalat pengganti beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjelang wafatnya.
عن
عبيدالله بن عبدالله؛ قال: دخلت على عائشة فقلت لها: ألا تحدثيني عن مرض رسول الله
صلى الله عليه وسلم؟ قالت: بلى. ثقل النبي صلى الله عليه وسلم. فقال "أصلى
الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! قال "ضعوا لي ماء في
المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى
الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال "ضعوا لي ماء في
المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق. فقال "أصلى
الناس؟" قلنا: لا. وهم ينتظرونك. يا رسول الله! فقال" ضعوا لي ماء في
المخضب" ففعلنا. فاغتسل. ثم ذهب لينوء فأغمي عليه. ثم أفاق فقال "أصلى
الناس؟" فقلنا: لا. وهم ينتظرونك، يا رسول الله! قالت والناس عكوف في المسجد
ينتظرون رسول الله صلى الله عليه وسلم لصلاة العشاء الآخرة. قالت فأرسل رسول الله
صلى الله عليه وسلم إلى أبي بكر، أن يصلي بالناس. فأتاه الرسول فقال: إن رسول الله
صلى الله عليه وسلم يأمرك أن تصلي بالناس. فقال أبو بكر، وكان رجلا رقيقا: يا عمر!
صل بالناس. قال فقال عمر: أنت أحق بذلك. قالت فصلى بهم أبو بكر تلك الأيام. ثم إن
رسول الله صلى الله عليه وسلم وجد من نفسه خفة فخرج بين رجلين. أحدهما العباس،
لصلاة الظهر. وأبو بكر يصلي بالناس. فلما رآه أبو بكر ذهب ليتأخر. فأومأ إليه
النبي صلى الله عليه وسلم أن لا يتأخر. وقال لهما "أجلساني إلى جنبه"
فأجلساه إلى جنب أبو بكر. وكان أبو بكر يصلي وهو قائم بصلاة النبي صلى الله عليه
وسلم. والناس يصلون بصلاة أبي بكر. والنبي صلى الله عليه السلام قاعد.
Dari ‘Ubaidillah
bin ‘Abdillah, ia berkata : Aku pernah masuk ke tempat ‘Aisyahradliyallaahu
‘anhaa, lalu aku bertanya kepadanya : “Tidakkah engkau sudi memberitahuku
tentang sakit Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?”. Ia menjawab : “Tentu. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam sakit berat. Beliau bertanya :‘Apakah
orang-orang telah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka menunggumu
wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambilkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Beliau mandi,
lalu keluar hendak menuju pintu masjid, kemudian beliau pingsan. Setelah sadar
beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka
menunggumu wahai Rasulullah’. Beliau bersabda : ‘Ambillkan aku air dalam bejana’. Kami pun mengambilkannya. Kemudian
beliau mandi, lalu keluar menuju masjid, namun beliau pingsan lagi. Setelah
sadar, beliau bertanya : ‘Apakah orang-orang sudah shalat ?’. Kami menjawab : ‘Belum, mereka
menunggumu wahai Rasulullah’. ‘Aisyah berkata : “Ketika itu orang-orang beri’tikaf
dimasjid sambil menunggu Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk shalat ‘Isya’. Maka Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengutus seseorang kepada Abu Bakr untuk
mengimami shalat. Utusan itu menemui Abu Bakr, lalu berkata : ‘Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyuruhmu untuk menjadi imam shalat’. Abu
Bakr – dan dia adalah orang yang sangat halus perasaannya – berkata : ‘Wahai
‘Umar, imamilah orang-orang shalat !’. ‘Umar menjawab : ‘Engkau lebih berhak
menjadi imam’. Maka Abu Bakr menjadi mam shalat selama beberapa hari. Kemudian
Rasulullah shallallaahu
‘alaihi wa sallam merasa tubuhnya agak sehat. Lalu beliau keluar untuk shalat Dhuhur
dengan dipapah oleh dua orang, salah satunya adalah Al-‘Abbasradliyalaahu
‘anhu. Pada saat Abu Bakr akan menjadi imam shalat, ia melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu mundur. Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam memberinya isyarat agar ia jangan mundur.
Nabi berkata kepada kedua orang yang memapah beliau : Dudukkan aku di samping Abu Bakr’. Abu Bakr shalat dengan berdiri
mengikuti shalat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan orang-orang mengikuti shalat
Abu bakr. Dan Nabi (ketika itu) shalat sambil duduk” [Diriwayatkan oleh
Al-Bukhari no. 713 dan Muslim no. 418].
Dalam
hadits di atas Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakrradliyallaahu ‘anhu sebagai pengganti beliau menjadi imam
shalat. Padahal di situ ada ‘Umar, ‘Utsman, dan tentu saja ‘Ali bin Abi Thaalib
– bersama para shahabat lainnya radliyallaahu ‘anhum. Jika saja memang ilmu ‘Ali bin Abi
Thaalib itu adalah paling tinggi di antara shahabat, mengapa beliau tidak
menunjuknya sebagai pengganti imam shalat. Padahal, dalam syari’at, hukum
secara umum menyatakan seorang imam diangkat atau ditunjuk berdasarkan
keutamaan yang ia miliki. Ia ditunjuk berdasarkan kriteria orang yang paling
bagus/hapal dan faqih dalam Al-Qur’an-nya.
عن أبي
مسعود الأنصاري؛ قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم "يؤم القوم أقرؤهم
لكتاب الله. فإن كانوا في القراءة سواء. فأعلمهم بالسنة. فإن كانوا في السنة سواء.
فأقدمهم هجرة. فإن كانوا في الهجرة سواء، فأقدمهم سلما. ولا يؤمن الرجل الرجل في
سلطانه. ولا يقعد في بيته على تكرمته إلا بإذنه"
Dari Abu
Mas’uud Al-Anshaariy, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Yang berhak mengimami shalat adalah orang
yang paling bagus/banyak hafalan/faqih Al-Qur’an-nya. Kalau dalam Al-Qur’an
kemampuannya sama, dipilih yang paling mengerti tentang As-Sunnah. Kalau dalam
As-Sunnah juga sama, maka dipilih yang lebih dahulu berhijrah. Kalau dalam
berhijrah sama, dipilih yang lebih dahulu masuk Islam. Janganlah seseorang
mengimami orang lain dalam wilayah kekuasannya, dan janganlah ia duduk di rumah
orang lain di tempat duduk khusus/kehormatan untuk tuan rumah tersebut tanpa
ijin darinya” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 673].
Penunjukkan
beliau di sini bukanlah penunjukkan yang bersifat kebetulan. Tentu saja beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah memikirkan dengan matang penunjukan
ini. Tidaklah beliau memilih Abu, kecuali dengan pertimbangan keutamaannya dan
ilmu yang ia miliki. Pertanyaannya : ‘Mengapa beliaushallallaahu ‘alaihi wa
sallam tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia memiliki
keutamaan dan ilmu yang paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada
yang menghalangi beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau
menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya
Kita di
sini tidak akan pernah beralasan bahwa ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu membelot tidak hadir dalam shalat
berjama’ah. Jika alasan itu dipakai, sama saja kita menuduh ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu menjadi bagian orang-orang munafiq.
Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ’anhu berkata :
لَقَدْ
رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْ الصَّلَاةِ إِلَّا مُنَافِقٌ قَدْ عُلِمَ
نِفَاقُهُ أَوْ مَرِيضٌ إِنْ كَانَ الْمَرِيضُ لَيَمْشِي بَيْنَ رَجُلَيْنِ حَتَّى
يَأْتِيَ الصَّلَاةَ وَقَالَ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ عَلَّمَنَا سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى الصَّلَاةَ
فِي الْمَسْجِدِ الَّذِي يُؤَذَّنُ فِيهِ
”Sungguh
aku telah melihat keadaan kami (yaitu keadaan para shahabat)! Tidaklah ada yang
meninggalkan shalat berjama’ah (di masjid) kecuali orang munafik yang jelas
kemunafikannya; atau orang yang yang sakit. Jika ia seorang yang sakit, tentu
ia bisa berjalan dengan dipapah oleh dua orang sehingga dia bisa mendatangi
shalat berjama’ah. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kita
’sunnah-sunnah huda’ (= ajaran agama). Dan di antara sunnah-sunnah huda
tersebut adalah shalat berjama’ah di masjid yang di dalamnya dikumandangkan
adzan” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 654].
Na’uudzubillahi
min dzaalik !! Sungguh jauh beliau (‘Ali bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu) dari kemunafikan.
2. Hadits
tentang wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakrradliyallaahu
‘anhu sepeninggal beliau.
عن محمد
بن جبير بن مطعم، عن أبيه؛ أن امرأة سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا.
فأمرها أن ترجع إليه. فقالت: يا رسول الله! أرأيت إن جئت فلم أجدك؟ - قال أبي:
كأنها تعني الموت - "فإن لم تجديني فأتي أبا بكر".
Dari
Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya : Bahwasannya ada seorang wanita
bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang sesuatu perkara. Maka beliau
memerintahkannya untuk kembali lagi (di lain waktu). Maka wanita itu berkata :
“Wahai Rasulullah, bagaimana menurutmu jika aku datang namun aku tidak dapat
menemuimu ?” – Ayahku (Jubair bin Muth’im) berkata : ‘Sepertinya yang ia
maksudkan jika beliau wafat’ - . Maka beliau bersabda :“Apabila engkau tidak
dapat menemuiku, maka temuilah Abu Bakr” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhari no. 3659,
Muslim no. 2386, dan yang lainnya].
Perintah
beliau shallallaahu
‘alaihi wa sallam untuk menemui Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu bukanlah berkaitan dengan hutang-piutang
atau sejenisnya. Jika memang ini yang dimaksud, tentu beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam akan memerintahkan untuk menemui ‘Aliy bin
Abi Thaalib radliyallaahu
‘anhu karena ia merupakan keluarga beliau yang terdekat.
Perintah ini adalah berkaitan dengan permasalahan yang
ditanyakan oleh si wanita tadi. Dan objek yang dijadikan pengganti beliau
sbagai tempat bertanya, tentu mempunyai kapasitas ilmu untuk menyelesaikannya.
Tidaklah Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam mewariskan sesuatu
yang lebih berharga dibandingkan ilmu. Dan ilmu itulah yang telah terwarisi
oleh Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu untuk menyelesaikan permasalahan
sepeninggal Nabi shallallaahu ‘alaihi
wa sallam.
قال رسول
الله صلى الله عليه وسلم : إن العلماء ورثة الأنبياء إن الأنبياء لم يورثوا دينارا
ولا درهما إنما ورثوا العلم فمن أخذ به أخذ بحظ وافر
Telah
bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Sesunguhnya ulama itu pewaris para nabi.
Dan sesungguhnya para nabi itu tidaklah mewariskan dinar dan dirham, namun
mereka hanyalah mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, dia telah
mengambil bagian yang sempurna” [Diriwayatkan oleh Ahmad 5/196,
At-Tirmidzi no. 2682, Ad-Daarimiy no. 349, Abu Dawud no. 3641, Ibnu majah no.
223, dan yang lainnya – shahih].
Tidak
mungkin beliau menunjuk seseorang jika tidak punya alasan bukan ?
Pertanyaannya
: “Jika memang ‘Aliy bin Abi Thaalb dinyatakan sebagai orang yang paling
berilmu seantero shahabat, mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallamtidak menunjuknya untuk menyelesaikan
perkara sepeninggal beliau ?”. Logikanya, jika memang beliau meyakini apa yang
diinginkan Syi’ah, tentu beliau akan menunjuk ‘Aliy. Apalagi sifat penunjukkan
ini adalah satu hal yang longgar, dapat dipikirkan dan diputuskan melalui pertimbangan,
sebagaimana kasus yang pertama. Bukan merupakan keadaan tergesa-gesa, khusus,
atau darurat yang membolehkan meninggalkan sesuatu lebih utama kepada yang
kurang utama. Tentu saja beliau memikirkan yang terbaik bagi umatnya
sepeninggal beliau nanti.
Maka,
teranglah bagi kita bahwa pemahaman Syi’ah dengan menggunakan atsar Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma di atas adalah salah.
[Abu
Al-Jauzaa’ – 9 Syawwal 1430 H].
[1] Terutama perkataan : “tidak didahului orang-orang terdahulu dan kemudian dalam hal ilmu”.
[2] Yaitu di jaman ‘Aliy radliyallaahu ‘anhu.
Ustadz,
Ada yang membantah balik tulisan ini ternyata.
http://second*******
Ada banyak syubhat di situ.
Jazakallahu khairan.
Saya sudah melihat bantahan itu. Dan jawaban atas bantahan itu
adalah tulisan di atas. Dengan kata lain, orang Syi’ah tersebut sebenarnya
tidak menjawab apa-apa atas tulisan di atas. Jika saya rangkum dari tulisan
saya di atas, maka ada beberapa point pokok (dan silakan antum bandingkan
dengan keluaran jawaban dari orang Syi’ah tersebut) :
1. Status riwayat tersebut adalah mauquf. Adapun riwayat-riwayat semisal yang berisi pujian kepada shahabat
tertentu adalah banyak. Sudah saya sebutkan tiga riwayat : pujian shahabat
kepada shahabat (Ibnu Mas’ud kepada Ibnu ‘Abbas), pujian tabi’in kepada
shahabat (Qabiishah bin Jaabir kepada ‘Umar), dan pujian Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada shahabat (Mu’adz).
2. ‘Aliy bin Abi Thaalib mengakui keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu
‘anhum ajma’iin di atas dirinya – karena sebenarnya orang Syi’ah tersebut ingin
menonjolkan hal sebaliknya secara ekspilisit.
3. Kenyataan bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakr
sebagai imam shalat menggugurkan anggapan orang Syi’ah, karema imam shalat
secara asal dipilih berdasarkan keutamaan dan keilmuan (paling utama dan
berilmu). Juga ditunjuknya Abu Bakr dalam menyelesaikan persoalan sepeninggal
Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam wafat.
Jika melihat argumentasinya, kita melihat bahwa hujjah-nya berporos pada status
Al-Hasan bin ‘Aliy radliyallaahu ‘anhuma sebagai ahlul-bait - yang sesuai
aqidah Syi’ah ia adalah hujjah secara mutlak (berdasar hadits tsaqalain). Itu
saja. Kemudian ia kembangkan dan berputar-putar kesana dan kemari….sampai akhir
pembahasan (yang kita tidak tahu apa sebenarnya inti yang ia bantah kecuali
penegasan bahwa Al-Hasan adalah hujjah karena termasuk Ahlul-Bait – that’s all).
Adapun ‘aqidah Ahlus-Sunnah terhadap ahlul-bait adalah bahwa kita menghormati
ahlul-bait dengan penghormatan lebih/istimewa (namun tanpa ghulluw terhadap
mereka) dimana penghormatan kita kepadanya disesuaikan seberapa jauh mereka
menetapi Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. Tentu saja kita menolak ‘aqidah
Syi’ah yang semacam itu. Padahal dalam praktek, mereka pun menerapkan hal yang
‘sama’ dengan kita (yaitu Ahlul-Bait itu tidak mempunyai kebenaran secara
mutlak). Bukankah mereka mendalilkan bahwa Ahlul-Bait itu adalah ‘Aliy,
Fathimah, Al-Hasan, dam Al-Husain berdasarkan hadits kisa’ ?. Namun pada kenyataannya mereka
mengeluarkan keturunan Al-Hasan bin ‘Aliy sebagai ahlul-bait dan menganggap
mereka bukan ‘sumber keselamatan’. Juga, mereka mengeluarkan Zaid bin ‘Aliy bin
Al-Husain bin ‘Aliy dari Ahlul-Bait karena prinsip yang ia pakai tidak sesuai
dengan ‘aqidah mereka. Iya apa iya ? Ini membuktikan bahwa Ahlul-Bait pun bukan
merupakan kebenaran yang mutlak. Jadi, ini bukan karena Ahlus-Sunnah tidak
pernah bisa memahami hadits Tsaqalain.
Kalau pun toh hadits ini boleh kita pahami sebagaimana yang mereka pahami, maka
ada hadits serupa yang level keshahihannya sebanding dengan hadits tsaqalain.
أوصيكُمْ بتَقوى الله ، والسَّمْعِ والطَّاعةِ ، وإنْ تَأَمَّرَ
عَليكُم عَبْدٌ ، وإنَّه من يَعِشْ مِنْكُم بعدي فَسَيرى اختلافاً كَثيراً ،
فَعَلَيكُمْ بِسُنَّتِي وسُنَّةِ
الخُلفاء الرَّاشدينَ المهديِّينَ ، عَضُّوا عليها بالنَّواجِذِ ،
وإيَّاكُم ومُحْدَثاتِ الأمور ، فإنَّ كُلَّ بِدعَةٍ ضَلالةٌ
“Aku wasiatkan kalian untuk bertakwa kepada Allah ta’ala, tunduk dan patuh
kepada pemimpin kalian meskipun yang memimpin kalian adalah seorang budak.
Karena di antara kalian yang hidup (setelah ini) akan menyaksikan banyaknya
perselisihan. Wajib atas kalian berpegang teguh terhadap sunnah-ku dansunnah
Khulafaurrasyidin yang mendapatkan
petunjuk, gigitlah dengan gigi geraham. Hendaklah kalian
menghindari perkara yang diada-adakan, karena semua perkara bid’ah adalah
sesat” [shahih – walau sebagian orang Syi’ah telah berdaya upaya melemahkan
hadits ini].
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan dikotomi
keistimewaan terhadap Khulafaur-Rasyidin. Bahkan, beliau shallallaahu ‘alaihi w
asallam sendiri mengatakan wajib hukumnya (dengan mengunakan kata : fa’alaikum
– yang maknanya wajib). Namun kita tidak ghulluw, ….. pada mereka. Ada beberapa
ijtihad dari individu Khulafaur-Raasyidin yang tidak kita terima karena
diselisihi shahabat lain (tidak terjadi ijma’) dan berselisihan dengan
As-Sunnah Ash-Shahiihah.
Kembali pada permasalahan awal, orang Syi’ah tersebut tidak memahami (- lebih
tepatnya : tidak mau tahu) ‘illat perkataan Al-Hasan (dari peristiwa yang
melatarbelakanginya), sama seperti kasus hadits manzilah beberapa waktu lalu.
Ya karena mereka ingin memaksakan pendapat mereka bahwa ‘Aliy adalah shahabat
yang paling berilmu yang tidak akan pernah dicapai generasi awal dan generasi
akhir umat manusia.
Coba deh bandingkan dengan
perkataan Ibnu Mas’ud kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhum :
لو أن ابن عباس أدرك أسناننا ما عاشره منا أحدٌ. قال وكان يقول : نعم
ترجمان القرآن ابن عباس رضي الله عنه.
“Apabila Ibnu ‘Abbas menjumpai jaman kita, niscaya tidak ada seorang pun di
antara kami yang dapat menandingi (ilmu)-nya. Sebaik-baik penerjemah/penafsir
Al-Qur’an adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu” [Diriwayatkan oleh Abu
Khaitsamah dalam Al-‘Ilmu no. 49; Ahmad dalam Fadlaailush-Shahabah no. 1860,
1861, 1863; Ibnu Sa’d dalam Ath-Thabaqaat 2/366; dan yang lainnya - shahih].
Perkataan punya dasar berkat oleh doa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma sebagaimana riwayat berikut :
عن ابن عباس قال : كنت في بيت ميمونة ابنة الحارث فوضعت لرسول الله
صلى الله عليه وسلم طهوره فقال : من وضع هذا ؟ فقالت ميمونة : عبد الله ، فقال :
" اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل "
Dari Ibnu ‘Abbas ia berkata : “Aku pernah berada di rumah Maimunah binti
Al-Haarits. Maka aku ambilkan untuk Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
(air) untuk bersuci (thaharah). Beliau pun bertanya : ‘Siapakah yang
mengambilkan (air) ini ?’. Maimunah menjawab : ‘Abdullah’. Beliau bersabda :
‘Ya Allah, faqihkan ia dalam agama dan ajarkanlah ilmu ta’wil (tafsir)
kepadanya”. [shahih].
Riwayat yang selevel ini pun tidak digubris ma Syi’ah dengan alasan orang yang
menyanjung dan yang disanjung bukan Ahlul-Bait. Lha apa iya doa beliau
shallallaahu 'alaihi wa sallam ini gak maqbul ? padahal beliau shallallaahu
'alaihi wa sallam tidak berdoa semacam ini pada semua shahabat.
Dan pemahaman Ahlul-Bait Ahlus-Sunnah memang berbeda dengan Syi’ah Raafidlah
(baca :
http://abul-jauzaa.blogspot.com/2009/05/ahlul-bait-nabi-shallallaahu-alaihi-wa.html).
Dan dengan ini sasaran tembak mereka adalah : ‘Aliy bin Abi Thaalib adalah
shahabat yang paling utama – walau mereka malu-malu untuk mengatakan di tulisan
tersebut. Padahal ini bertentangan dengan ijma’ konsensus dari para shahabat
sendiri – yang tentunya ijma’ mereka didasarkan pada sabda Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Dan aneh, mereka katakan ini tidak konsisten.
Tentu saja, klaim in-konsisten ini mereka katakan dalam upaya mereka
menggugurkan keafdlalan Abu Bakr dan ‘Umar di atas ‘Aliy radliyallaahu ‘anhum.
Telah disebutkan beberapa riwayat shahih perkataan ‘Aliy yang mengunggulkan Abu
Bakr dan ‘Umar di atas dirinya. Bahkan disebutkan riwayat ini mutawatir
(sebagiannya bisa dilihat di :
http://www.alsrdaab.com/vb/showthread.php?t=47487). Hal yang mereka (Syi’ah)
tolak mentah-mentah. Dalam beberapa referensi Syi’ah pun terdapat nukilan ‘Aliy
bin Abi Thaalib terhadap Abu Bakr dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhum ajma’in :
إن خير هذه الأمة بعد نبيها أبو بكر وعمر
“Sesungguhnya sebaik-baik umat ini setelah Nabinya shallallaahu ‘alaihi wa
sallam adalah Abu Bakr dan ‘Umar” [Kitaabusy-Syaafiy oleh As-Sayyid
Al-Murtadlaa, 2/428].
لا أوتى برجل يفضلني
على أبي بكر وعمر إلا جلدته حد المفتري
“Janganlah ada seorang laki-laki yang datang kepadaku dengan melebihkanku di
atas Abu Bakr dan ‘Umar kecuali akan aku cambuk dia dengan cambukan pada
seorang pendusta” [Al-Kisysyiy, biografi no. 257; Mu’jamul-Khuu’iy 8/153, 326;
dan Al-Fushuul-Mukhtar hal. 127] – ini diucapkan di atas mimbar Kuffah.
Tapi seperti biasa, riwayat-riwayat itu ditolak oleh kaum Syi’ah Raafidlah
dengan alasan : Tidak sesuai dengan keinginan (baca : hawa nafsu) mereka.
Katanya, ini adalah riwayat dari orang-orang Ahlus-Sunnah.
Ada selipan dari perkataan orang Syi’ah tersebut bahwa yang dikatakan Ali
(tentang keutamaan Abu Bakr dan ‘Umar di atas dirinya) adalah karena
ketawadlu-an semata (bukan hal yang sebenarnya) yang dengan itu orang Syi’ah
itu membandingkannya dengan khutbah Abu Bakr; maka ini salah alamat lah. Abu
Bakr mengatakan itu dalam konteks yang umum dimana ia berkata :
“Amma ba’du, wahai manusia sekalian sesungguhnya aku telah dipilih sebagai
pimpinan atas kalian danbukanlah aku yang terbaik diantara kalian maka jika berbuat kebaikan bantulah aku. Jika aku bertindak keliru maka
luruskanlah aku.
Ini pembandingan yang bersifat umum. Dan sangat mudah diketahui uslub ini
adalah uslub tawadlu’. Kan beda dengan perkataan ‘Aliy bin Abi Thaalin kepada
Abu Bakr dan ‘Umar (dengan segala lafadhnya) dimana penegasan keutamaan ini
bersifat mu’ayyan (individu). Coba
antum cermati :
عن عمرو بن حريث، قال : سمعت عليا وهو يخطب على المنبر وهو يقول : ألا
أخبركم بخير هذه الأمة بعد نبيها، أبو بكر، ألا أخبركم بالثاني فإن الثاني عمر.
Dari ‘Amr bin Hariits, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Aliy berkhutbah di
atas mimbar. Ia berkata : “Maukah aku beritahukan kepada kalian tentang
sebaik-baik umat ini setelah Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ? yaitu Abu
Bakr. Maukah aku beritahukan kepada kalian yang kedua ? yaitu ‘Umar”
[Diriwayatkan oleh Ahmad dalam Fadlaailush-Shahaabah no. 398 dengan sanad
hasan].
Selain itu, apakah iya ‘Aliy bin Abi Thaalib radliyallaahu ‘anhu sampai
mengancam untuk mencambuk jika hanya sekedar tawadlu’ saja ? Padahal cambuk
merupakan bagian dari hukuman fisik (had ataupun ta’zir) yang harus tegak
dengan bukti kesalahan. Bukan sekedar perasaan ketawadluan……
Dan juga hujjah keimaman Abu Bakr dalam shalat,……. sudah dituliskan : “Mengapa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam tidak
menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib jika memang ia memiliki keutamaan dan ilmu yang
paling tinggi tinggi di antara shahabat ? Tidak ada yang menghalangi beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk menunjuk ‘Aliy jika memang beliau
menghendakinya dan lebih layak dibanding lainnya”.
Saya baca berulang kok nggak nemu jawabannya. Malah orang Syi’ah itu
mengalihkan pembicaraan dengan klaim kesimpangsiuran riwayat – katanya. Padahal
itu ada dalam Shahihain. Untuk menjelaskan ini tentu memerlukan ruang
tersendiri. Jangan heran jika orang Syi’ah mengatakan ‘siampang-siur’ karena
semangat yang mereka bawa adalah seperti itu. Beda dengan ahlus-sunnah yang
berusaha memahaminya berdasarkan kesemua riwayat (baik dengan melakukan tarjih
ataupun jamak).
Kita ambil benang merahnya saja…. bahwa Abu Bakr radliyallaahu ‘anhu dalam
sejarah Ahlus-Sunnah dan Syi’ah adalah shahabat yang ditunjuk oleh Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam sebagai imam oleh Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam dalam shalat berjama’ah menggantikan beliau. Cuma, sebagian orang Syi’ah
muta’akhkhiriin mengklaim bahwa Abu Bakr maju menjadi imam tanpa seijin beliau
shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
‘Ali bin Abi Thaalib
radliyallaahu ‘anhu berkata :
و إنا نرى أبا بكر أحق الناس بها , إنه لصاحب الغار و ثاني أثنين , و
إنا لنعرف له سنه , و لقد أمره رسول الله بالصلاة و هو حي
“Dan kami berpendapat bahwa Abu Bakr lebih berhak dengan kekhalifahan itu. Ia
adalah shaahibul-ghaar, orang kedua di antara dua orang (bersama Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wa sallam). Dan sungguh kami tahu akan perihal
kehidupannya. Sungguh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah
memerintahkannya untuk mengimami shalat sedangkan beliau waktu itu masih hidup”
[Syarh Nahjil-Balaghah oleh Ibnu Abil-Hadiid, 1/332].
Jangan katakan bahwa Ibnu Abil-Hadiid bukan orang Syi’ah, tapi orang
Mu’tazillah. Memang benar ia seorang Mu’tazillah. Tapi ia juga dikatakan oleh
Al-Qummiy dalam kitab Al-Kunaa wal-Alqaab (1/185) sebagai seorang Syi’iy (yang
ber-tasyayyu’). Dan kitabnya ini masyhur di kalangan Syi’ah, baik di dalam
ataupun di luar negeri. Disebutkan juga dalam kitab Raudlaatul-Jannaat (5/19)
bahwa ia seorang yang mempunyai keutamaan dan beberapa pujian lainnya. Adapun
Syarh Nahjul-Balaghah sendiri, dalam situs imamreza (situsnya orang Syi’ah)
disebut sebagai syarah paling lengkap tentang Nahjul-Balaghah.
Itu salah satunya saja…. masih ada nukilan sejarah lainnya yang punya inti sama
bahwa beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam menunjuk Abu Bakr sebagai imam
shalat (nantilah kapan-kapan kita bawakan kembali kalau gak males).
Kembali : Mengapa Nabi tidak menunjuk ‘Ali bin Abi Thaalib sebagai imam
jika beliau meyakini beliau adalah orang yang paling berilmu ? Standar yang
paling berilmu ini sebagai asal penunjukan imam tetap berlaku hingga sekarang.
Tidak peduli apakah ia masih kecil atau lebih muda usia. Hal itu berdasarkan hadits ‘Amru bin Salamah :
كنا بماء ممرِّ الناس وكان يمرّ بنا الرّكبان فنسألهم ما للناس ما
للناس؟ ما هذا الرجل؟ فيقولون: يزعم أن الله أرسله، أوحى إليه، أوحى الله بكذا،
فكنت أحفظ ذاك الكلام، فكأنما يقرُّ في صدري، وكانت العرب تلوَّم بإسلامهم الفتح
فيقولون اتركوه وقومه، فإن ظهر عليهم فهو نبي صادق، فلما كانت وقعة أهل الفتح بادر
كل قوم بإسلامهم، وبدر أبي قومي بإسلامهم فلما قَدِمَ قال: ”جئتكم والله من عند
النبي صلّى الله عليه وسلّم حقّاً، فقال: ”صلّوا صلاة كذا في حين كذا، وصلّوا صلاة
كذا في حين كذا، فإذا حضرت الصّلاة فليؤذن أحدكم، ليؤمكم أكثركم قرآناً“ فنظروا
فلم يكن أحد أكثر قرآناً منّي، لِمَا كنت أتلقَّى من الركبان، فقدّموني بين
أيديهم، وأنا ابن ست أو سبع سنين، وكانت عليَّ بردة، كنت إذا سجدت تقلصت عني،
فقالت امرأة من الحي: ألا تغطون عنا است قارئكم؟ فاشتروا فقطعوا لي قميصاً فما
فرحت بشيء فرحي بذلك القميص“
“Kami pernah berada di sumber air yang dilewati banyak orang. Waktu itu para pengendara
dalam perjalanan melewati sumber air kami. Kami bertanya pada mereka : “Ada apa
dengan orang banyak ? Ada apa dengan orang banyak ? Siapakah laki-laki itu
(Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam) ?”. Mereka menjawab : “Ia adalah
seorang laki-laki yang mengaku diutus sebagai seorang Rasul dan mendapat wahyu
begini dan begini”. Aku lalu menghafal betul ucapan tersebut sehingga
seolah-olah terpatri dalam dadaku. Dan orang-orang Arab menunggu untuk masuk
Islam bila terjadi penaklukkan kota Makkah. Mereka berkata : “Tinggalkan saja
dia dan kaumnya. Kalau dia berhasil menaklukkan mereka, berarti dia seorang
Nabi yang sebenarnya. Ketika terjadi penaklukkan kota Makkah, mereka
berlomba-lomba masuk Islam. Ayahku sendiri mendahului kaumnya masuk Islam.
Ketika dia (ayahku) datang dari kota Makkah, dia berkata : Sungguh kami datang
dari sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Beliau shallallaahu ‘alaihi
wasallam bersabda : Lakukanlah shalat ini di waktu ini, lakukanlah shalat itu
di waktu itu. Bila datang waktu shalat, hendaknya salah seorang di antara
kalian menjadi muadzin, dan yang menjadi imam
adalah orang yang terbanyak hafalan Al-Qur’annya”. Lalu mereka saling meneliti.
Ternyata, tidak ada seorang pun yang banyak hafalan Al-Qur’annya lebih banyak
dariku, karena sudah banyak mendapatkan hafalan dari para pengendara
dahulu.Mereka pun mengajukan diriku sebagai imam bagi mereka, padahal aku
berumur enam atau tujuh tahun. Dan aku di waktu itu mengenakan burdah (semacam
pakaian), yang bila aku sujud, kain burdahku itu tertarik ke atas. Ada seorang
wanita dusun berkata kepadaku : “Kenapa kalian tidak menutupi pantat imam
kalian itu ?”. Mereka pun membeli bahan pakaian sebagai gamis untukku. Belum
pernah aku bergembira lebih dari kegembiraanku ketika mendapatkan gamis itu”.
Dalam riwayat Abu Dawud disebutkan
tambahan :
فما شهدت مجمعاً من جرم إلا كنت إمامهم وكنت أصلي على جنائزهم إلى
يومي هذا
“Setiap kali aku berkumpul dengan sekelompok kaum muslimin, pasti aku dipilih
sebagai imam mereka. Dan aku terbiasa menshalatkan jenazah-jenazah sebagai imam
hingga hari ini” [HR. Al-Bukhari dalam kitab Al-Maghazi no. 4302. Tambahan dari
Sunan Abi Dawud nomor 585 (lihat pula no. 587)].
Hadits di atas hanya memperjelas hadits ‘persyaratan’ imam shalat yang telah
disebutkan dalam artikel di atas.
Selanjutnya dalam penunjukkan Abu Bakr dalam menyelesaikan permasalahan
sepeninggal Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Kalau orang Syi’ah
tersebut menolak bahwa penunjukkan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada
Abu Bakr adalah karena pertimbangan keutamaan dan keilmuannya, pertanyaan
menggelitiknya adalah : ”Mengapa beliau tidak
menunjuk ‘Aliy bin Abi Thaalib sepeninggal beliau jika memang ilmu ‘Aliy itu
tidak tertandingi atas semua shahabat”.
Ini juga tidak kita temukan jawabannya dari orang Syi’ah tersebut.
Apalagi Abu Bakr – dalam riwayat tersebut - ghaib (tidak ada) di tempat itu.
Jadi penunjukkan itu bukan sekedar penyanjungan semata, tapi memang bersifat
seperti wasiat (dari orang meninggal kepada yang hidup). Dan justru ketika
tidak disebut urusan apa yang wanita tersebut harus diselesaikan dengan Abu
Bakr sepeninggal Nabi, maka dapat kita pahami bahwa urusan ini bersifat umum.
Konsekuensinya, penunjukkan Abu Bakr pada urusan yang bersifat umum sepeninggal
beliau menunjukkan bahwa Abu Bakr memiliki keutamaan dalam hal ilmu yang
bersifat umum pula.
Itu saja yang dapat saya jawab secara singkat (walau gak kerasa panjang juga).
Saya gak jawab kalimat demi kalimat orang Syi’ah tersebut, namun saya hanya
menanggapi inti pokok dan benang merahnya saja. Wallaahu a’lam.
Mantab Ustadz, anehnya orang syi'ah itu suka marah kalau dirinya disebut
syi'ah padahal orang awwam spt saya saja dengan mudah bisa menilai bahwa dia
itu syi'i sejati hahaha. kalau sekedar bilang di mulut "saya bukan
syi'ah" mah gampang, tapi dlm prakteknya dia seringkali telah mengungkap
jati dirinya sendiri dg totally sampai hal sekecil-kecilnya.. lihat saja ustadz
artikel dia yg berjudul "kepalsuan pasien terakhir" jelas sekali dia
pro ama nikah mut'ah dan artikel2nya yg laen sangat sangat membela hampir semua
keyakinan syi'ah.. lha kok msh juga ga mau disebut syi'ah tho.. hahaha lucu
& konyol bener.
kembali pada jawaban dia thd artikel ustadz, ttg Abu Bakar Radhiyallahu Anhu
yang memimpin sholat menggantikan Rasulullah Shalallahu alaihi wa sallam, dia
jelas ga bisa membantah soal keshahihan hadits2 tsb, makanya dia cari2 alasan
untuk melemahkan dg mengatakan bahwa riwayat2 mengenai hal tsb "simpang
siur" bener kata ustadz, itu mmg perlu tmpt trsendiri utk membahasnya,
tetapi yang jelas jawaban orang syi'ah tsb tidak bisa menafikan sedikitpun
bahwa Abu Bakar lah yang ditunjuk menjadi Imam Shalat, yang menunjukkan bahwa
beliau ilmunya di atas sahabat yang lain. hahaha.
Barokallahu fiik ustadz.
Assalamualaikum ustadz,
Sesungguhnya saya adalah orang pengetahuan agamanya masih rendah.
kalau membaca al bidayah kulafaurrasyidin, kita akan tahu kecenderungan
buruknya pemerintahan uthman saat beliau berangkat tua. Dan saat itu imam aliy
kelihatan lebih baik.
Mohon pencerahan atas kebodohan saya ini.
kalo ini gmn ust, mohon tanggapan :
Rasulullah saw berkata kepada Sayidah Fatimah az-Zahra as: “wahai Fatimah,
apakah kamu tidak rela kalau suamimu adalah sebaik-baiknya umatku, yang masuk
islam terlebih dahulu, paling banyak ilmunya, dan
paling bijak dan sabar dari umatku.”{al-Khatib al-Khawarizumi didalam
al-Manaqib halaman 106 hadis 111)
Benarkah Ali lahir di dalam ka'bah ?? seperti banyak di sebut-sebut
sebagian umat ini .
Jawab ya stadz .....
kayanya ilmu ali sama abu bakar dan umar sebanding, tapi kan kalo semuanya
sebanding yang paling tua di dahulukan