Friday, February 20, 2015

"Wahabi", Black Propaganda dan Aroma “Syiah Rafidhah”

DI POJOKkawasan Tebet, bermarkas sebuahmedia online,namanyaMerdeka.com.Media apa ini ya? Ia media onlineumum yang memuat aneka macam berita, mulai dari politik, kasus sosial, gossip artis, gaya hidup, olah-raga, otomotif, bisnis, dan lain-lain. Pokoknya sejenis media online umum, tanpa ciri keislaman tertentu. 

Tetapi anehnya, media online yang koordinator liputannya bernama Anwar Khumaini ini sepertinya memiliki kavling khusus untuk membahas isu-isu seputar "Wahabi" dari perspektif orang-orang yang anti "Wahabi". Banyak artikel yang berbicara tentang isu "Wahabi" dengan nada nyinyir, ketus, stigmatif, dan semacam black propaganda. 

Uniknya, berita-berita instan dari Merdeka.com menjadi rujukan banyak orang untuk memandang isu "Wahabi". Dalam sebuah perdebatan dengan seorang penganut Syiah, dia merujuk berita dari situs online itu. Di forum FB ada yang memberikan link ke sumber yang sama. Melalui email juga ada yang memberikan link ke situs tersebut. 

Di sini terasa dilematik. Kalau kita anggap besar situs Merdeka.com ini, nanti akan menjadi promo tersendiri. Tetapi kalau didiamkan saja fitnah-fitnah atau black propaganda yang disebarkan, itu juga tidak benar. Mungkin sekali waktu kita perlu mengingatkan kaum Muslimin akan bahaya situs "recehan" semacam ini.  

Salah satu artikel yang dimuat dalam situs itu judulnya:"Persekongkolan Bedebah Wahabi dan Bani Saud." Dari model judulnya saja, kita bisa mencium aroma permusuhan layaknya kaum Syiah Rafidhah di balik tulisan ini.
Syiah Rafidhah dunia memang merasa perlu untuk memerangi dakwah Salafiy sebab mereka ini dianggap sebagai musuh paling sengit bagi Syiah Rafidhah. Agenda Syiah Rafidhah untuk menguasai negeri-negeri Muslim akan selalu terhalang, selama masih bercokol "Wahabi" disana. 

Sayyid M. Saidi, seorang tokoh Syiah Iran, pernah terus-terang menunjukkan kebenciannya kepada "Wahabi". Dia mengatakan: "Kami menghormati semua mazhab Islam kecuali Wahabi karena mereka menentang dialog ilmiah, logis dan argumentatif. Mereka membunuh Muslim tak berdosa dan merusak masjid-masjid dengan mengatasnamakan Islam. Pesan kami kepada kaum Wahabi adalah jika mereka memiliki dalil untuk membuktikan kebenaran mereka, maka sampaikan kepada orang lain sesuai dengan logika, prinsip-prinsip, dan argumentasi, bukan dengan radikalisme dan pembunuhan massal." (hidayatullah.com, 23 September 2013). 

Omongan sejenis ini kan tidak ada buktinya kalau dikaitkan dengan tulisan-tulisan stigma yang terus diproduksi oleh kaum Syiah seputar isu "Wahabi dan Saudi".

Secara teori, mereka seperti pro dialog ilmiah dan argumentatif; tetapi secara kenyataan mereka menghalalkan penghancuran Ahlus Sunnah secara massif di negeri-negeri Muslim, seperti di Iran, Iraq, Suriah, Afghanistan, dan lain-lain.
Sayyid Husein Al Mausawi, tokoh ulama Syiah yang bertaubat, mereka bunuh. Dr. Ihsan Ilahi Zhahir asal Pakistan yang sangat anti Syiah, juga mereka bunuh. Banyak ulama/da’i Ahlus Sunnah juga mereka bunuh, pasca Revolusi Khomeini tahun 1979. 

Kembali ke artikel Merdeka.com di atas. Di sana dijelaskan beberapa poin, antara lain:

Muhammad bin Abdul Wahhab (sering dinisbatkan pendiri "Wahabi") oleh gurunya disebut bodoh, arogan, suka melawan; Muhammad bin Abdul Wahhab menjalin aliansi dengan Muhammad bin Saud, aliansinya berlaku sampai sekarang; Kerajaan Saudi menyokong penyebaran dakwah "Wahabi" US$ 2 miliar setiap tahun; dan menyebutkan beberapa pendapat sumir dari sebagian ulama-ulama "Wahabi".

Gaya tulisan demikian persis sekali seperti model tulisan Idahram lewat buku-bukunya. Tidak ada niat dialog atau diskusi, selain menyebarkan propaganda hitam belaka.

Nanti ujungnya mempromokan akidah Syiah Rafidhah; supaya umat manusia kembali ke zaman penyembahan manusia kepada manusia lainnya (baca: imam dan ulama Syiah), setelah Allah anugerahkan Tauhid kepadanya. Na'udzubillah wa na'udzubillah min dzalik. 

Pendapat-pendapat yang sumir harus dilihat konteksnya secara lengkap, tidak bisa "main crop" begitu saja. Ada kaidah yang berlaku, bahwa pendapat yang mengandung syak (keraguan) harus dipulangkan ke pendapat yang tsabit (teguh).

Kemudian tentang tuduhan bahwa Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah itu bodoh, arogan, keras kepala. Ya, tergantung siapa yang memandang. Seorang ulama biasanya gurunya banyak; bisa puluhan, bisa ratusan. Kalau ada satu guru yang mencela, mungkin guru-guru yang lain memuji.

Lalu aliansi Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Muhammad Al Saud pada tahun 1744 terus berlaku sampai sekarang. Hal ini dipertanyakan, sebab Kerajaan Saudi itu sifatnya jatuh-bangun hingga tiga kali. 

Ketika Saudi Jilid I dilenyapkan, maka semua perjanjian yang berlaku saat itu otomatis berakhir. Begitu juga ketika Saudi Jilid II dilenyapkan, maka perjanjian-perjanjian di dalamnya juga berakhir. 

Sebenarnya, dukungan Kerajaan Saudi kepada dakwah "Wahabi", hal ini semata karena kesadaran mereka saja (atau pertimbangan politik karena melihat besarnya pendukung dakwah Salafiy di Saudi). Jadi tidak mesti dikaitkan dengan aliansi 1744 tersebut, sebab bukan rahasia lagi bahwa seringkali terdapat perbedaan persepsi antara ulama "Wahabi" dengan kebijakan kerajaan. 

Sedangkan nilai dukungan Kerajaan Saudi hingga US$ 2 miliar (setara Rp. 18 triliun) per tahun; ya itu perlu dijelaskan kalkulasi keuangannya secara rinci, tidak bisa "main teplok" begitu saja. 

Mungkin situs Merdeka.com mau berbagi kepada masyarakat tentang kalkulasi keuangan yang mereka ketahui. Termasuk juga mereka perlu membuat perbandingan kalkulasi keuangan anggaran-anggaran dari Iran untuk membiayai dakwah Syiah Rafidhah di Indonesia. Kalau mau fair, begitu kan?   

Ya akhirnya, black propaganda seputar dakwah "Wahabi" ini perlu kita jawab dengan komitmen "Laa ilaha illallah" yaitu untuk menghidupan peradaban Tauhid dan membersihkan dunia dari segala bentuk paganisme (kemusyrikan); dan "Muhammad Rasulullah" yaitu menghidupkan Sunnah Nabi Saw dan menjauhi ajaran-ajaran bid'ah yang berpotensi merusak Sunnah-nya. Walhamdulillahi Rabbil 'alamiin.*

oleh AM Waskito, penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”
sumber: hidayatullah.com

Wow! Imam Bukhari Menyamakan Syiah dengan Yahudi

Perdebatan tentang kesesatan aliran Syiah dan masih menjadi perbincangan akhir-akhir ini semakin memanas. Terutama setelah hashtag#SyiahBukanIslam ramai di media sosial, disusul dengan spanduk-spanduk dengan kalimat yang sama di beberapa daerah merespon serangan Syiah ke jamaah Masjid Az-Zikra Sentul.
Konon, Syiah dibagi menjadi tiga: Syiah moderat, Syiah Rafidhah dan Rafidhah Ekstrem. Apakah mereka semua sesat? Saya mencoba mengulasnya secara historis bagaimana sebenarnya faktanya berdasarkan analisis para ulama.

Asal Usul Syiah
Anda mungkin pernah mendengar dialog antara ulama Sunni dan Syiah tentang orang-orang Syiah yang suka mencuri sandal pada zaman Nabi SAW. Dialog berakhir setelah ulama Syiah membantah kebiasaan mencuri itu karena Syiah belum ada pada masa itu.
Tidak diketahui dari mana sumber kisah ini, ada yang mengatakan bahwa itu hanya lelucon untuk Syiah saja. Namun hal itu menimbulkan pertanyaan, yang bukan lelucon  bagaimana, benarkah Syiah belum ada pada masa Nabi? Lantas kapan Syiah muncul? Berikut beberapa pendapat, terutama dari ulama-ulama Syiah sendiri:

1.Syiah muncul pada awal Islam pada zaman Nabi saw dan dibawa oleh Beliau sendiri. Beliau menyeru kepada tauhid dan pengagungan Ali secara bersamaan. Pendapat ini diyakini oleh para ulama Syiah seperti Muhammad Husein Az-Zain,[1] An-Nubakhti,[2] Khamaeini.[3] Bahkan Hazan Asy-Syirazi mengatakan, “Tidak ada Islam kecuali Syiah. Tidak ada Syiah kecuali Islam. Islam dan Syiah adalah dua nama yang hakikatnya adalah satu yang diturunkan oleh Allah dan kabar gembira yang dibawa Rasul.”[4]
2.Syiah muncul pada perang Jamal, ketika Ali berperang dengan Thalhah dan Zubair. Pendapat ini diyakini oleh Ibnu Nadim (Abul Faraj Muhammad bin Ishaq Al-Baghdadi, dikenal sebagai penganut mu’tazilah dan syiah). Ia mengklaim bahwa orang-orang yang berjalan bersama Ali dan mengikutinya pada waktu itu, mereka disebut Syiah.[5]
3.Syiah muncul pada perang Shiffin. Ini adalah pendapat Al-Khuwansari, Ibnu Hamzah Ath-Thusi, Abu Hatim, Ibnu Hazm, dan Ahmad Amin.[6]
4.Syiah muncul setelah kematian Husein ra. Ini adalah pendapat Kamil Musthafa Asy-Syaibi. Ia  adalah ulama  Syiah. Mengklaim bahwa Syiah setelah kematian Husein berubah menjadi aliran yang memiliki ciri khas.[7]
5.Syiah muncul pada akhir kekuasaan Utsman dan menguat pada masa Ali.[8]

Pendapat yang mengatakan bahwa Syiah sudah ada pada zaman Nabi SAW dan kata-kata Syiah telah beredar luas pada masa itu beliau tidaklah bersandar kepada dalil apa pun kecuali kepalsuan.

Ulama Syiah, Muhammad Mahdi Al-Husaini Asy-Syirazi mengatakan,[9]“Mereka dinamai oleh Rasul dengan sebutan itu (Syiah) karena beliau memberikan isyarat kepada Ali as:
هَذَا وَشِيعَتُهُ هُمُ الْفَائِزُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Ini (Ali) dan kelompoknya, merekalah yang menang pada hari kiamat.”[10]
Namun ini adalah pendapat palsu. Seperti disebutkan oleh Muhammad Al-Husein di Ashlusy Syi’ah wa Ushuliha, pendapat yang mengatakan bahwa lafaz Syiah sudah ada pada zaman Nabi hanya bersandar pada kepalsuan.
Syiah menguatkan pendapat itu dengan riwayat yang direka-reka atas nama Nabi saw. Tidak ada yang shahih satu pun. Ulama Syiah sendiri, Ibnul Hadid, mengatakan, “Sumber kepalsuan dalam hadits-hadits keutamaan (fadhail)adalah dari Syiah. Pada awal  masalah ini, Syiah membuat banyak hadits palsu tentang keutamaan imam-imam mereka. Mereka mereka-reka hadits ini untuk alat permusuhan.” [11]

Menurut para peneliti[12]pendapat yang lebih kuat adalah pendapat ketiga, yakni Syiah muncul setelah perang Shiffin, ketika khawarij membelot dan membentuk kelompok sendiri di Nahrawan. Pada sisi lain yang berlawanan dengan Khawarij, muncullah para pengikut dan pendukung Ali yang menjadi cikal bakal pemikiran Syiah dan menguat secara bertahap sampai ekstrem.

Analisis tersebut menunjukkan adanya kesamaan dalam proses lahirnya kesesatan dan aliran menyimpang, mulai dari kaum Nuh masa lalu, Syiah, Khawarij, Nawashib, sampai Yazidi di Irak. Khawarij lahir dari kekecewaan kepada pihak tertentu, lalu berkembang menjadi kebencian, pengafiran dan penghalalan darah.
Tidak berbeda, Syiah lahir dari dukungan kepada Ali bin Abi Thalib, lalu menjadi kecintaan yang berlebihan bahkan sampai menuhankannya. Ali bin Abi Thalib sendiri pada masa hidupnya telah membakar orang-orang yang menuhankan dirinya. Imam Bukhari meriwayatkan dalam kitab Shahihnya, dari Ibnu Abbas ia mengatakan, “Suatu ketika Ali memerangi dan membakar orang-orang zindiq (Syiah yang menuhankan Ali).”

Syiah pada Masa Ulama Hadits dan Imam Mazhab

Tahapan perubahan keyakinan aliran Syiah terus berkembang. Definisi-definisi ulama ahli hadits dan rijalul hadits menunjukkan adanya perbedaan antara Syiah masa lalu dan masa itu. Hal ini dapat dilihat dari definisi yang diungkapkan oleh Ibnu Hajar:

التشيع في عرف المتقدمين هو اعتقاد تفضيل علي على عثمان ، وأن عليا كان مصيبا في حروبه ، وأن مخالفه مخطئ ، مع تقديم الشيخين وتفضيلهما ، وربما اعتقد بعضهم أن عليا أفضل الخلق بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم ، وإذا كان معتقد ذلك ورعا دينا صادقا مجتهدا فلا ترد روايته بهذا ، لا سيما إن كان غير داعية  
وأما التشيع في عرف المتأخرين فهو الرفض المحض ، فلا تقبل رواية الرافضي الغالي ولا كرامة
 ‘Tasyayyu’ dalam definisi para ulama masa lalu (salaf), ialah meyakini bahwa Ali lebih utama daripada Utsman, atau bahwa Ali di pihak yang benar dalam semua peperangannya, dan bahwasanya pihak yang menyelisihinya adalah keliru, dengan tetap meyakini Syaikhain (Abu Bakar dan Umar) lebih utama dan mulia daripada Ali. Sebagian dari kaum Syiah (masa lalu) mungkin saja menganggap Ali sebagai manusia paling mulia setelah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

Bila orang yang berkeyakinan seperti itu adalah seorang yang wara’, taat beragama, jujur, dan berangkat dari hasil ijtihad; maka hadits yang diriwayatkannya tidaklah ditolak semata-mata karena keyakinan tersebut. Lebih-lebih bila ia tidak mengajak orang lain kepada pemikirannya.

Sedangkan istilah tasyayyu’ dalam definisi ulama masa sekarang (ulama setelah generasi salaf) ialah Rafidhah tulen. Maka seorang Syiah ekstrem tidak bisa diterima riwayatnya, dan tidak bernilai sama sekali. (Tahdzib At-Tahdzib,1/81)

Di tempat lain, Ibnu Hajar berkata:
والتشيع محبة على وتقديمه على الصحابة فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه ويطلق عليه رافضي وإلا فشيعي فإن انضاف إلى ذلك السب أو التصريح بالبغض فغال في الرفض وإن اعتقد الرجعة إلى الدنيا فأشد في الغلو
Tasyayyu’ adalah mencintai Ali dan mengutamakannya dibanding semua sahabat lain, dan jika mengutamakannya diatas Abu Bakar dan Umar maka diatasyayyu’ ekstrem yang disebut Rafidhah dan jika tidak maka disebut Syiah, Jika diringi dengan mencela dan membenci keduanya maka disebut Rafidhah ekstrem. Jka mempercayai Raj’ah bahwa Ali kembali ke dunia maka disebut Rafidhah yang sangat ekstrem. (Hady As-Sari Muqaddimah Fathil Bari, 1/460)
Definisi Ibnu Hajar dalam dua kitab tersebut menunjukkan bahwa ada beberapa karakter dalam aliran Syiah:
Tasyayyu’=Syiah: Mencintai Ali dan mengutamakannya daripada sahabat lain dengan tetap meyakini Abu Bakar dan Umar lebih utama daripada Ali.
Tasyayyu’ ekstrem=Rafidhah: Mengutamakan Ali di atas Abu Bakar dan Umar.
Rafidhah ekstrem: Mencela Abu Bakar dan Umar
Rafidhah sangat ekstrem: meyakini Raj’ah (hidupnya kembali imam-imam Syiah di akhir zaman).
Artinya, ada Syiah yang tidak ekstrem dan Syiah ekstrem yang disebut Rafidhah dengan tiga karakter masing-masing. Namun, menurut Imam Adz-Dzahabi, Syiah Ekstrem pada masa lalu dan masa sekarang memiliki perbedaan karakter. Hal ini diungkapkan dalam kitabnya:
فالشيعي الغالي في زمان السلف وعرفهم هو من تكلم في عثمان والزبير وطلحة ومعاوية وطائفة ممن حارب عليا – رضي الله عنه وتعرض لسبهم والغالي في زماننا وعرفنا هو الذى يكفر هؤلاء السادة ويتبرأ من الشيخين ايضا فهذا ضال معثر ولم يكن ابان بن تغلب يعرض للشيخين اصلا بل قد يعتقد بأن عليا أفضل منهما (ميزان الاعتدال 1/118).
“Penganut Syiah ekstrem pada zaman para salaf dan menurut definisi mereka, ialah orang yang mengritik dan mencela Utsman, Zubair, Thalhah, Muawiyah dan sejumlah kalangan yang memerangi Ali.
Sedangkan penganut Syiah Ekstrem pada zaman kita dan yang kita definisikan ialah mereka yang mengkafirkan para tokoh itu (para sahabat) dan memusuhi Abu Bakar dan Umar. Orang seperti ini jelas sesat dan tergelincir.” (Mizanul I’tidal, I/118).
                syiah2
Adz-Dzahabi berbicara dalam konteks jawaban atas pertanyaan bagaimana penganut akidah Syiah bisa diambil haditsnya dan bisa dianggap tsiqah. Maka beliau menjelaskan bahwa Syiah masa lalu dan Syiah pada zamannya berbeda. Artinya, perawi Syiah yang diambil haditsnya pada masa lalu itu tidak sama dengan para penganut Syiah pada masa Imam Adz-Dzahabi. Syiah yang bisa dipercaya itu tidak ada dan tidak ditemukan pada masa hidup Imam Adz-Dhahabi. Hal ini diungkapkan olehnya:
 فما استحضر الان في هذا الضرب رجلا صادقا ولا مامونا بل الكذب شعارهم والتقية والنفاق دثارهم فكيف يقبل نقل من هذا حاله حاشا وكلا
“Saat ini aku tidak mengetahui ada seorang pun (penganut Syiah) dalam masalah ini, yang memiliki kejujuran dan bisa dipercaya. Sebaliknya, berdusta telah menjadi semboyan mereka. Taqiyah (bermuka dua) dan kemunafikan telah menjadi jubah mereka. Bagaimana mungkin orang yang seperti ini bisa diterima riwayatnya? Sama sekali tidak mungkin.” (Mizanul I’tidal, I/118).
Perlu disebutkan bahwa definisi adalah uraian pengertian yang berfungsi membatasi objek, konsep, dan keadaan berdasarkan waktu dan tempat suatu kajian.[13] Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi ialah rumusan tentang ruang lingkup dan ciri-ciri suatu konsep yang menjadi pokok pembicaraan atau studi.[14] Definisi merupakan usaha para ilmuwan untuk membatasi fakta dan konsep.[15] Artinya, definisi berubah ketika faktanya berubah. Definisi Syiah oleh Ibnu Hajar dan Adz-Dzahabi menunjukkan hal ini, karena fakta Syiah masa lalu tidak sama dengan Syiah masa sekarang.
                            SYiah   
Perubahan Sikap Ulama terhadap Syiah

Perbedaan karakter Syiah masa lalu dan masa selanjutnya melahirkan sikap yang jelas dan tegas dari para ulama. Imam Bukhari di kitab Khalqu Af’alil ‘Ibadmengatakan:
ما أبالي صليتُ خلف الجهمي والرافضي أم صليت خلف اليهود والنصارى؛ ولا يسلَّم عليهم ولا يعادون ولا يناكحون ولا يشهدون ولا تؤكل ذبائحهم
“Aku tidak membedakan apakah aku shalat bermakmum di belakang seorang penganut Jahmiyah atau Rafidhah, ataukah bermakmum di belakang Yahudi dan Nasrani (semuanya tidak sah). Mereka tidak boleh disalami, tidak boleh dibesuk ketika sakit, tidak boleh dinikahi (wanitanya), tidak dilayat jenazahnya, dan tidak boleh dimakan sembelihannya.”
Imam Bukhari sangat tegas. Penulis kitab hadits yang dinilai sebagai kitab paling shahih setelah Al-Qur’an tersebut menyamakan Syiah dengan Yahudi dan Nasrani. Tidak ada ucapan salam, tidak dilayat jenazahnya, tidak dinikahi wanitanya, dan tidak dimakan sembelihannya adalah konsekuensi terhadap orang yang murtad dan keluar dari Islam.
Para Imam Mazhab juga tidak kalah tegas dalam hal ini. Imam Ahmad seperti disebutkan dalam kitab As-Sunnah (1/493), pernah ditanya oleh Abdullah putranya:
سألت أبي عن رجل شتم رجلاً من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال: ما أراه على الإسلام
“Aku bertanya kepada ayahku tentang seseorang yang mencaci salah seorang sahabat Nabi SAW. Maka ayah menjawab, ‘Menurutku ia tidak berada di atas Islam’.”
Imam Asy-Syafi’i mengatakan:
لم أر أحداً من أصحاب الأهواء، أكذب في الدعوى، ولا أشهد بالزور من الرافضة
“Saya tidak pernah melihat seorang pun di antara para pengikut hawa nafsu yang lebih dusta dalam pengakuan dan lebih bohong dalam kesaksian daripada Rafidhah.” (Al-Ibanah, II, 545).

Syiah Hari Ini dan Sikap Ulama

Syiah hari ini dapat dilihat dengan jelas di Iran. Karakter dan keberadaan Syiah di beberapa negara lain, termasuk Indonesia mulai tampak jelas dengan pecahnya revolusi Suriah. Terutama pada pertengahan 2013 saat kekuatan militer rezim Syiah Bashar Asad mulai melemah. Masuknya Hizbullah Lebanon dalam pertempuran Qushair pada pertengahan Mei-Juni 2013 telah mengundang perhatian ulama dunia untuk bersikap. Salah satunya adalah pertemuan ulama dunia di Kairo Mesir pasca peristiwa itu, yang melahirkan fatwa kewajiban umat Islam untuk menolong Ahli Sunnah Suriah yang dizalimi.

Yang terbaru adalah pemberontakan Syiah Hautsi Yaman yang telah merebut Ibukota Shan’a pada September 2014 lalu.
Yaman adalah basis Syiah Zaidiyah, yang dikenal dalam sejarah sebagai kelompok Syiah yang dekat dengan ahli Sunnah. Sebagian kalangan menyebutnya Syiah Moderat. Zaidiyah dinisbatkan kepada imam mereka, Zaid bin Ali bin Husain bin Ali bin Abi Thalib (80-122H). Imam Zaid memimpin revolusi melawan Bani Umayyah pada masa Hisyam bin Abdul Malik (122H).
Sekte Zaidiyah masih mengakui kekhilafahan Abu Bakar dan Umar. Mereka juga enggan untuk melaknat keduanya sebagaimana sekte-sekte Syiah yang lain. Namun, Syiah Zaidiyah hari ini telah berubah. (baca: Pergeseran Zaidiyah). Wilayah Saada, Yaman Utara tempat bermukim mereka telah menjadi basis kekuatan kelompok Hautsi, yang berkiblat kepada Iran, terutama setelah pemimpin mereka, Badrudin Al-Hautsi, pulang dari Iran.

Sebelumnya beberapa ulama ahli sunnah berupaya mendekatkan (taqrib) Suni dan Syiah. Salah satu wujudnya adalah penandatanganan Risalah Amman tahun 2004 oleh para ulama Suni dan Syiah, dengan tiga poin kesepakatan, yang mengarah kepada upaya saling menghormati.
Namun, tokoh besar yang ikut menandatangani Risalah tersebut, Dr Yusuf Al-Qardhawi,  hari ini menyatakan telah tertipu oleh Syiah. Kezaliman Syiah terhadap Ahli Sunah Suriah telah menyadarkannya. Ulama kelahiran Mesir tersebut menceritakan pengalamannya di banyak negara menjelaskan bahwa Syiah bukan hanya satu golongan saja. Namun fakta kekejaman Syiah di Suriah membuat beliau menyatakan:
 الشيعة خدعوني.. وحزب الله كذبة كبيرة
“Syiah telah menipuku.. dan Hizbullah adalah pendusta besar.”[16]
Ketua Persatuan Ulama Sedunia tersebut juga mengatakan, revolusi Suriah menampakkan dan menjelaskan hakikat Hizbullah dan  pendukungnya yang tertipu oleh setan. Mereka, menurutnya, tidak pantas disebut hizbullah (tentara Allah), tetapi hizbusy Syaithan (tentara setan).[17]

Konklusi
Sejarah telah menunjukkan perbedaan yang jelas antara Syiah masa lalu dan masa sekarang. Syiah yang bisa dipercaya itu sdh tidak ada pada zaman Imam Adz-Dzahabi yang hidup pada tahun 673-748 Hijriah, apalagi sekarang? Sikap ulama terhadap Syiah juga tegas, ketika hakikat Syiah telah jelas bagi mereka. (Agus Abdullah)
Referensi:
[1] Syi’ah wa At-Tasyayyu’, 19.
[2] Firaq Asy-Syi’ah, An-Naubakhati, 39.
[3] Al-Hukumah Al-Islamiyah, 136.
[4] Asy-Sya’air Al-Husainiyyah, 11.
[5] Al-Fahrasat, Ibnu Nadim, 249.
[6] Nama Ahmad Amin adalah dua orang. Kedua-duanya adalah penulis. Pertama adalah seorang Mesir penulis buku Dhuha Al-Islam wa Fajrul Islam wa bada’a Al-Islam. Kedua adalah seorang rafidhah penulis kitab At-Takamul fil Islam.
Syi’ah wa At-Tasyayyyu’, 25.
[7] As-Shilah baina At-Tashawwuf wa At-Tasyayyu’, 23.
[8] Risalah f Ar-Radd ala Ar-Rafidhah, 42.
[9] Qadhiyatu Asy_Syi’ah, 3.
[10] Diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di Tarikh Dimasyq, 24/333 dan Ibnu Al-Ghathrif di Juz’inya dari Abu Sa’id Al-Khudri, Al-Albani mengatakan dalam Adh-Dhaifah, hadits ini palsu (maudhu’).
[11] Syarh Nahjul Balaghah, 1/783
[12] Lihat Ensiklopedi Aliran yang Berafiliasi kepada Islam,
[13] Widjono (2007); Bahasa Indonesia, Jakarta:PT Grasindo. hal. 117-121. Cet. 2
[14] Departemen Pendidikan Nasional(2008);Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hal 303. Cet Pertama Edisi IV.
[15] Parera, J.D.(2004);Teori Semantik.Jakarta :Penerbit Erlangga.Hal 200- Cet. 2
[17] http://www.qaradawi.net/new/takareer/6663–q-q-

Rabu, 6 Jumadil Awwal 1436 H / 25 Februari 2015 08:39 wib
Apakah Golongan Syi'ah Lebih Berbahaya Dari Yahudi?
Bismillahirrahmanirrahim ..
“Apakah mereka (Syi’ah) lebih berbahaya dari Yahudi?”…….
Sebab hakikat dari pertanyaan ini adalah untuk membungkam lisan mereka yang sadar akan penderitaan umat, sekaligus membikin kikuk mereka yang berusaha menjaga dan melindungi kaum muslimin.
Saya akan menyanggah mereka dan mengatakan kepada mereka:
“Memang apa salahnya kalau umat Islam menghadapi dua bahaya yang mengintai secara bersamaan? Apakah muslimin Ahlussunnah yang mencari-cari alasan untuk menyerang Syi’ah, ataukah realita di lapangan membuktikan berulang kali bahwa merekalah yang memulai serangan?”
Kita menyaksikan gencarnya serangan Syi’ah terhadap umat Islam, dan saya rasa realita kita saat ini tak jauh berbeda dengan masa lampau. Bahkan saya bersaksi bahwa sejarah akan mengulangi dirinya, dan generasi muda akan mewarisi dendam kesumat nenek moyang mereka.
Tak ada kebaikan sedikit pun yang bisa diharapkan dari kelompok yang menganggap bahwa 99% sahabat Nabi adalah bejat, mengingat hal itu merupakan pengingkaran yang nyata akan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam :
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku.” (HR. Bukhari no 3451 dan Muslim no 2533)
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim dan yang lainnya.
Realita Syi’ah –dari dulu sampai sekarang- adalah amat sangat menyakitkan…( + an RRZ: menikam dalam selimut )
Mari kita tengok kembali beberapa masalah yang akan menjadikan visi kita lebih jelas, sehingga dapat membantu kita untuk menentukan sikap paling tepat yang mesti kita ambil terhadap Syi’ah; lalu kita tahu: lebih baik bicara ataukah diam saja!
PERTAMA: 

Semua orang tahu bahwa sikap Syi’ah terhadap para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mulai dari Abu Bakar Ash Shiddiq, Umar Al Faruq, Utsman Dzin Nuurain, lalu isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terutama Aisyah radhiallahu ‘anha hingga para sahabat secara umum.

Sebagaimana yang dinyatakan terang-terangan oleh referensi dan nara sumber mereka yang telah mereka yakini; adalah bahwa para sahabat tadi adalah orang-orang fasik dan murtad. Mayoritas mereka telah sesat dan berusaha menyembunyikan serta menyelewengkan ajaran Islam.
Dari sini apakah kita harus mengawasi dan diam saja ‘demi menghindari fitnah’?
Fitnah apakah yang lebih besar dari pada menuduh generasi teladan sebagai masyarakat ‘bejat dan pendusta’?!?
Marilah kita merenungi sama-sama perkataan bijak salah seorang sahabat yang bernama Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu:
إذا لَعَنَ آخرُ هذه الأمَّة أوَّلها، فَمَنْ كان عنده علمٌ فليظْهره، فإنَّ كاتم ذلك ككاتم ما أُنزل على محمدٍ صلى الله عليه وسلم”.
“Bila umat Islam di akhir zaman mulai melaknat pendahulunya, maka siapa saja yang berilmu hendaklah menunjukkan ilmunya. Bila ia menyembunyikan, maka ia seperti yang menyembunyikan ajaran Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (Nisbat riwayat ini kepada Nabi sanadnya dha’if, namun riwayat ini adalah dari perkataan Jabir bin Abdillah)
Bisakah Anda menangkap kedalaman makna ucapan ini?
Hujatan terhadap generasi sahabat bukan sekedar hujatan terhadap mereka yang telah tiada… tidak juga seperti ucapan sebagian orang bahwa: “Hujatan tersebut tidak berbahaya bagi para sahabat, karena mereka telah masuk Surga meski Syi’ah tidak suka.” Akan tetapi bahaya besar di balik ucapan ini ialah karena hujatan terhadap para sahabat pada hakikatnya adalah hujatan terhadap Islam secara langsung. Sebab kita tidak mendapatkan ajaran Islam kecuali melalui para sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Kalau berbagai hujatan yang menimbulkan keraguan akan akhlak, niat, dan perbuatan para sahabat dibiarkan; lantas agama model apa yang akan kita anut?
Hilanglah agama kita kalau kita terima semua itu… hilanglah hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ajaran beliau.
Justeru kita bertanya kepada Syi’ah: “Al Qur’an apa yang kalian baca sekarang? Bukankah yang menyampaikannya adalah mayoritas sahabat yang kalian hujat? Bukankah yang berjasa mengumpulkannya adalah Abu Bakar Ash Shiddiq radhiallahu ‘anhu, yang kalian anggap berbuat licik untuk menjadi khalifah? Lantas mengapa ia tidak merubah-rubah Al Qur’an sebagaimana merubah-rubah Sunnah menurut tuduhan kalian?”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam sebuah hadits:
عَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ المهديين مِنْ بَعْدِي”.
“Kalian wajib berpegang teguh pada Sunnahku dan Sunnahnya Khulafa’ur Rasyidin yang telah mendapat hidayah sepeninggalku.” (HR. Tirmidzi no 2676, Ibnu Majah no 42 dan Ahmad no 17184)
Jadi, Sunnah Khulafa’ur Rasyidien adalah bagian tak terpisahkan dari agama Islam. Hukum dan sikap yang diputuskan oleh Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali adalah hujjah (dalil) bagi setiap muslim, kapan, di mana pun, dan sampai hari kiamat… lantas bagaimana mungkin hujatan terhadap mereka kita biarkan?!


Sebab itulah, ulama-ulama kita yang mulia demikian berang bila mendengar ada orang yang berani menghujat sahabat. Imam Ahmad bin Hambal misalnya, beliau pernah mengatakan:

إذا رأيت أحدًا يذكر أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم بسوءٍ، فاتهمه على الإسلام
“Kalau engkau mendapati seseorang berani menyebut para sahabat dengan tidak baik, maka tuduhlah dia sebagai musuh Islam.”(Ash Sharimul Maslul ‘ala Syaatimir Rasul 3/1058 oleh Ibnu Taimiyyah)
Al Qadhi Abu Ya’la (salah seorang fuqaha mazhab Hambali) mengatakan: 
“Para fuqaha sepakat bahwa orang yang mencaci-maki para sahabat tak lepas dari dua kondisi: kalau dia menghalalkan hal tersebut maka dianggap kafir, namun jika tidak menghalalkannya maka dianggap fasik (bejat)” (Ibid, 3/1061)
Abu Zur’ah Ar Razi (salah seorang pakar hadits yang wafat th 264 H) mengatakan:
إذا رأيتَ الرجلَ ينتقص من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم، فاعلم أنّه زنديق
“Kalau engkau mendapati seseorang mengkritik sahabat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam, maka ketahuilah bahwa dia itu Zindiq (munafik).” (Al Kifayah fi ‘Ilmir Riwayah hal 49 oleh Al Khatib Al Baghdadi)
Sedangkan Ibnu Taimiyyah berkata:
“Barang siapa menganggap bahwa para sahabat telah murtad sepeninggal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kecuali segelintir orang yang jumlahnya tak sampai belasan orang, atau menganggap fasik (bejat) mayoritas sahabat; maka orang ini kekafirannya tidak diragukan lagi.” (Ash Sharimul Maslul 3/1110 oleh Ibnu Taimiyyah)
Sikap yang keras terhadap para penghujat sahabat ini, tak lain adalah karena para sahabatlah yang menyampaikan agama ini kepada kita. Kalau salah seorang dari sahabat dihujat, berarti Islam jadi meragukan. Mengingat banyaknya pujian yang Allah berikan kepada mereka dalam Al Qur’an, maupun dalam Sunnah Nabi-Nya, jelaslah bahwa orang yang menghujat para sahabat berarti mendustakan ayat-ayat dan hadits yang cukup banyak tadi.
Mungkin ada yang berkata: 
“Lho, kami tidak pernah mendengar si Fulan dan si Fulan yang Syi’ah itu menghujat para sahabat?”
Kepada mereka, kami ingin agar memperhatikan poin-poin berikut:
Pertama: Kaum Syi’ah Itsna Asyariyah pada dasarnya meyakini bahwa para sahabat telah bersekongkol melawan Ali bin Abi Thalib, Ahlul Bait, dan Imam-imam yang diyakini oleh mereka. Intinya, tidak ada seorang Syi’i pun (baik di Iran, Irak, maupun Lebanon) melainkan ia meyakini kefasikan para sahabat. 
Sebab jika mereka menganggap para sahabat adalah orang shalih, hancurlah rukun iman mereka sebagai Syi’ah.
Jadi, telah menjadi suatu keniscayaan pabila setiap orang Syi’ah baik pejabat, ulama, maupun rakyat jelata untuk bersikap tidak hormat kepada para sahabat, dan tidak menerima agama yang mereka bawa dalam bentuk apa pun.
Kedua: Tokoh-tokoh Syi’ah senantiasa mengelak untuk menampakkan kebencian mereka kepada para sahabat, meski terkadang nampak juga dalam sebagian statemen atau perilaku mereka, sebagaimana firman Allah:
لَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ
“Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka.” (Qs Muhammad: 30)
Banyak di antara kita yang menyaksikan debat antara DR. Yusuf Al Qardhawi dengan Rafsanjani (mantan presiden Iran) di TV Al Jazeera. Kita sama-sama menyaksikan bagaiman Rafsanjani selalu mengelak dari setiap usaha DR. Qardhawi agar ia menyebut sahabat dan ummahatul mukminin (isteri-isteri Nabi) dengan baik.
Dan ketika Khamenei (pemimpin Revolusi Iran sekarang) ditanya tentang hukum mencaci-maki para sahabat, dia tidak mengatakan bahwa hal itu keliru atau haram. Namun ia menjawab secara dusta dengan berkata: “Semua perkataan yang mengakibatkan perpecahan di antara kaum muslimin pasti diharamkan dalam syari’at.” Intinya, haramnya mencaci-maki sahabat menurutnya ialah karena hal itu menimbulkan perselisihan di antara kaum muslimin, bukan karena haram menurut syari’at, sebagaimana yang dilansir oleh koran Al Ahraam Mesir tanggal 23 November 2006.
Ketiga: Kita harus waspasa terhadap akidah ‘taqiyyah’ (bermuka dua) yang menurut syi’ah adalah sembilan persepuluh dari agama mereka. Artinya, mereka biasa mengatakan perkataan yang bertentangan dengan keyakinan mereka selama mereka belum berkuasa. Namun setelah berkuasa mereka akan menampakkan jati dirinya terang-terangan.
Dalam sejarah Syi’ah, kita menyaksikan bahwa tatkala mereka menguasai beberapa wilayah Daulah Abbasiyah yang Sunni di Irak, Mesir, Afrika Utara (Maghrib) dan semisalnya; mereka langsung terang-terangan menghujat para sahabat, dan menjadikan hal itu sebagai pokok agama mereka.
Jadi, jelaslah bagi kita dari sini akan pentingnya menjelaskan hakikat Syi’ah terhadap para sahabat yang mulia. Kalau tidak, maka orang yang menyembunyikan kebenaran ini ibarat Syaithan yang bisu, dan sikap ini akan mengakibatkan kehancuran Islam…
KEDUA: Bahaya Doktrinasi Syi’ah di Dunia Islam…. tidak diragukan lagi bahwa doktrinasi Syi’ah (tasyayyu’) demikian gencar dilakukan di berbagai negara Islam. Ia tidak hanya marak di tempat asalnya seperti Iran, Irak dan Lebanon, namun kini berlangsung sangat kuat di Bahrain, Emirat Arab, Suriah, Yordania, Saudi Arabia, Mesir, Afghanistan, Pakistan dan negara-negara muslim lainnya…
(Termasuk Indonesia yang dalam lima tahun terakhir meningkat secara drastis, lewat tokoh-tokoh mereka macam Jalaluddin RakhmatQuraish Shihab dan sebagainya.
Bahkan menurut pengamatan sebagian pihak, jumlah murid Kang Jalal mencapai lebih dari 10 juta! –pent). +an dari RRZ: Belum lagi nanti para pelajar Indonesia yg telah lulus dari universitas2 Qoom/Iran, negeri Syiah, diperkirakan 10 ribu lebih. Maka semangkin berkobarlah Syiah di Republik tercinta Indonbesia ini. Dan hal tsb harus diantisipasi sejak dini oleh seluruh Komponent ummat Islam, khususnya Pemerintah Republik Indonesia dan MUI/para Ulama dan seluruh Ormas Islam.
Parahnya lagi, banyak orang yang menganut pemikiran-pemikiran Syi’ah tanpa mengira bahwa mereka adalah Syi’ah. Bahkan setelah menulis beberapa artikel ini, kami –yaitu Dr. Raghib Sirjani- mendapat banyak e-mail yang penulisnya mengaku Sunni, namun isinya penuh dengan pemikiran dan gaya Syi’ah.
Kita juga tidak menutup mata akan perang global yang ditujukan kepada para sahabat lewat media massa (Yakni media massa di Mesir tempat penulis tinggal -pent) dan saluran-saluran televisi di negeri-negeri Sunni. Yang paling masyhur ialah hujatan salah satu koran Mesir terhadap Siti Aisyah radhiallahu ‘anha beberapa hari terakhir. Demikian pula perang yang dilancarkan terhadap Shahih Bukhari, termasuk acara televisi yang dibawakan oleh wartawan terkenal dan selalu mengkritik para sahabat dalam setiap episode.
Masalah semakin rumit dan tidak bisa didiamkan, mengingat adanya perkawinan silang antara manhaj (metode) Syi’ah dengan Tasawuf, dengan klaim bahwa keduanya mencintai Ahlul bait.
Dan kita semua tahu bahwa faham tasawuf demikian merebak di banyak negara di dunia. Dan faham ini telah terjangkiti virus bid’ah, khurafat dan kemunkaran yang demikian banyak, dan bertemu dengan Syi’ah dalam hal mengultuskan Ahlul bait. Dari sini, penyebaran Syi’ah sangat mudah ditebak seiring dengan menyebarnya tarekat-tarekat Sufi.
KETIGA: Kondisi di Irak demikian mencekam. Pembunuhan muslimin Ahlussunnah tersebab identitas mereka adalah fenomena biasa yang sering terjadi. Sekjen ulama Ahlussunnah di Irak yang bernama Harits Adh Dhaary menyebutkan bahwa ada lebih dari 100 ribu muslim Sunni yang tewas di tangan Syi’ah sejak th 2003 hingga 2006.
Ditambah proses deportasi yang terus menerus di beberapa lokasi demi mempermudah kekuasaan Syi’ah di sana. Dan mayoritas mereka yang dideportasi (diusir) keluar dari Irak adalah Ahlussunnah; dan ini menyebabkan perubahan susunan masyarakat yang sangat berbahaya akibatnya nanti.
Pertanyaannya sekarang: “Apakah fitnah yang timbul ketika membahas masalah Syi’ah lebih berbahaya dari fitnah terbunuhnya sekian banyak warga Ahlussunnah tadi? Lantas sampai kapan masalah ini harus didiamkan? Padahal semua orang tahu betapa solidnya dukungan Iran dalam pembersihan mereka yang beridentitas Sunni?”
KEEMPAT: Ambisi Iran terhadap Irak demikian besar, bahkan hal nampak nyata. Mengingat kedua negara sebelumnya pernah terlibat perang sengit selama 8 tahun penuh, dan sekarang jalannya terbuka lebar bagi Iran. Apalagi Irak memiliki nilai religius penting bagi kaum Syi’ah, mengingat adanya wilayah-wilayah suci di sana, termasuk enam makam Imam Syi’ah.
Di Najaf terdapat makam Ali bin Abi Thalib, lalu di Karbala’ terdapat kuburan Husein, dan di Baghdad terdapat makam Musa Al Kadhim dan Muhammad Al Jawwad, tepatnya di wilayah Al Kadhimiyyah. Sedangkan di Samarra terdapat makam Muhammad Al Hadi dan Hasan Al ‘Askari; dan masih banyak kuburan-kuburan palsu lain yang diklaim sebagai kuburan para Nabi seperti Adam, Nuh, Hud dan Shalih di Najaf; namun semuanya palsu.
Selain Ambisi Iran terhadap Irak yang sangat berbahaya, Amerika juga mendukung terwujudnya ambisi tersebut. Kita semua menyaksikan bagaimana pemerintahan Syi’ah bentukan Amerika di Irak. 
Sandiwara saling tuduh antara Amerika dan Iran sudah tidak mempan lagi sekarang, sebab tidak pernah terlintas dalam benak Amerika untuk menyerang Iran sama sekali, akan tetapi yang sangat mencemaskan bukanlah ambisi untuk menguasai minyak atau kekayaan Irak saja, bukan pula sekedar memperluas kekuasaan Syi’ah;
Namun parahnya mereka menjadikan kebrutalan dan sadisme tersebut sebagai bagian dari agama mereka.
Sebab Syi’ah menuduh para sahabat dan pengikut mereka dari kalangan Ahlussunnah sebagai musuh-musuh Ahlulbait dan menjulukinya dengan naashibah atau nawaashib. Padahal kita lebih menghargai Ahlulbait daripada mereka.
Mereka lalu mengeluarkan vonis-vonis mengerikan atas tuduhan tersebut. Misalnya Khumaini yang mengatakan:
“Pendapat yang lebih kuat ialah memasukkan nawashib sebagai ahlul harbi (lawan perang), yang hartanya halal di mana pun didapati, dan dengan cara apa pun.” (Tahrirul Wasilah 1/352 oleh Al Khumaini)
Lalu tatkala imam mereka yang bernama Muhammad Shadiq Ar Ruhani ditanya tentang hukum orang yang mengingkari keimaman dua belas imam, dia mengatakan sesuatu yang sangat aneh:
“Sesungguhnya imamah (jabatan imam) lebih tinggi dari nubuwah (kenabian) dan kesempurnaan agama ini ialah dengan menjadikan Amirul mukminin alaihissalam sebagai imam;
Allah ta’ala berfirman: alyauma akmaltu lakum dienakum (pada hari ini telah kusempurnakan bagimu agamamu). Maka siapa yang tidak mempercayai keimaman dua belas imam niscaya ia akan mati dalam kekafiran” (Lihat fatwa ini dalam link berikut: www.imamrohani.com/fatwa-ar/viewtopic.php)
Khumaini dalam bukunya Al Hukumatul Islamiyyah mengatakan bahwa para imam akan mencapai kedudukan yang tidak pernah dicapai oleh malaikat terdekat maupun rasul sekalipun.( sebenarnya ada lanjutannya yi, bahkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sekalipun. Dengan kata lain merendahkan kedudukan Rasul.  )
 Karenanya, tidak mengakui keimaman menurut mereka lebih berat dari pada tidak mengakui kenabian, dan inilah tafsiran atas pengkafiran Syi’ah atas Ahlussunnah, yang diikuti dengan penghalalan darah mereka di Irak dan negeri-negeri lainnya. Oleh karena itu, Irak harus dimasukkan dalam kekuasaan mereka karena banyaknya tempat-tempat ‘suci’ mereka yang masih dikuasai oleh orang-orang yang mereka anggap kafir.
KELIMA: Ancaman langsung tak berhenti di Irak saja, namun ambisi mereka terus meningkat untuk menguasai daerah sekitarnya. Mereka menganggap Bahrain sebagai bagian dari Iran, sebagaimana pernyataan kepala pemeriksa umum Ali Akbar Nathiq Nuri di kantor pemimpin revolusi saat peringatan 30 tahun revolusi Iran. Ia mengatakan:
“Bahrain pada dasarnya adalah propinsi Iran yang keempat belas, yang diwakili oleh seorang legislatif di majelis permusyawaratan Iran.” (Lihat situs al jazirah berikut: www.aljazeera.net/NR/exeres/684338CB-837A-4879-8C7A-1A1B995DD286.htm)
Kita juga tahu bahwa Iran menduduki tiga pulau milik Emirat Arab di teluk Arab, dan jumlah mereka makin bertambah di Emirat hingga nisbahnya mencapai 15% dari total jumlah penduduk, dan menguasai pusat-pusat perdagangan terutama di Dubai.
Demikian pula kondisinya di Arab Saudi yang tidak statis; sebab sejak revolusi Iran tahun 1979, berbagai gangguan stabilitas terjadi berulang kali di Arab Saudi. Bahkan itu terjadi langsung setelah revolusi Iran, dengan munculnya demonstrasi Syi’ah di Qathif dan Saihat (dua wilayah Saudi), yang paling gencar di antaranya adalah tanggal 19 November 1979.
Masalah pun kadang semakin parah hingga berubah menjadi tindak anarkhis dan kejahatan di Baitullah Makkah. Sebagaimana yang terjadi pada musim haji tahun 1987 dan 1989. Bahkan pasca jatuhnya pemerintahan Saddam Husein, sekitar 450 tokoh Syi’ah di Saudi mengajukan proposal kepada putera mahkota ketika itu, yaitu Pangeran Abdullah dan meminta agar diberi jabatan-jabatan tinggi di dewan parlemen, jalur diplomasi, badan militer dan keamanan, serta menambah jumlah mereka di majelis syuro.
Bahkan Ali Syamkhani, yang merupakan penasehat tertinggi masalah militer bagi pimpinan umum revolusi Iran mengatakan, bahwa bila Amerika menyerang proyek nuklir Iran.
Iran tidak sekedar membalas dengan menyerang fasilitas milik Amerika di teluk, namun akan menggunakan rudal-rudal balistiknya untuk menyerang target-target strategisnya di teluk Arab. Pernyataan ini dilansir oleh majalah Times Inggris pada hari Ahad 10 November 2007. (oleh fizaro)