Thursday, March 12, 2015

Aqidah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab Ahlussunnah Wal Jama’ah [Bukti Otentik Dari Surat Beliau Kepada Penduduk Al-Qashim]

Setelah membahas syubhat-syubhat yang dilontarkan oleh para pengekor hawa nafsu dan orang-orang yang bodoh tentang hakikat dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Syaikh Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir menutup kitabnya yang penuh manfaat dengan mencamtumkan salah satu dari risalah-risalah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab yang beliau kirimkan kepada penduduk Al-Qashim, tatkala mereka bertanya kepada beliau tentang aqidah beliau. Agar mereka bisa tenang mengikutinya atau agar mereka bisa membantahnya jika pada kenyataannya aqidah beliau tersebut bertentangan dengan aqidah yang diyakini oleh para ulama Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Perlu Anda ketahui, bahwa penduduk Al-Qashim tidaklah menerima dakwah beliau kecuali setelah adanya pembahasan dan pemeriksaan. Dan inilah hendaknya yang dilakukan oleh para ulama atau orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu dalam menyingkap hakikat sebenarnya dari setiap berita yang sampai kepada mereka tentang seorang atau sebuah jama’ah yang dituduh dengan kesesatan oleh manusia. Agar orang-orang yang ingin mencari kebenaran dapat berjalan dengan isitqomah diatas kebenaran.
Berikut nukilannya..
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمنِ الرَّحِيمِ
Saya mempersaksikan kepada Allah dan kepada siapa yang hadir bersamaku dari para malaikat, dan saya mempersaksikan kepada kalian bahwasanya:
Saya meyakini apa yang diyakini oleh Al-Firqah An-Najiah (kelompok yang selamat) yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah, berupa keimanan kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, kebangkitan setelah kematian, dan beriman kepada apa yang ditakdirkan, yang baik maupun yang buruk.
Termasuk bentuk beriman kepada Allah adalah mengimani semua yang Dia sifatkan diri-Nya dengannya dalam kitab-Nya melalui lisan Rasul-Nya tanpa melakukan tahrif (pemalingan makna atau huruf) dan tidak pula ta’thil (mengingkari sifat).
Bahkan saya meyakini bahwasanya tidak ada sesuatu pun yang semisal dengan Allah dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Maka saya tidak menafikan dari-Nya apa yang Dia sifatkan untuk diri-Nya dan saya tidak memalingkan kata-kata (sifat Allah) dari makna sebenarnya. Saya tidak melakukan penyimpangan dalam nama-nama dan ayat-ayat-Nya, saya tidak melakukan takyif (membagaimanakan sifat Allah), dan saya tidak memisalkan sifat-sifat Allah dengan sifat-sifat makhluk-Nya. Karena Allah tidak ada yang setinggi dengan-Nya, tidak ada yang setara dengan-Nya, dan tidak boleh dikiaskan dengan makhluk-Nya. Karena Allah paling mengetahui tentang diri-Nya dan selain-Nya, paling jujur ucapan-Nya, dan paling baik perkataan-Nya. Dia menyucikan diri-Nya dari apa yang disifatkan oleh para penentang dari kalangan pelakutakyif dan tamtsil (menyerupakan Allah dengan makhluk). Dia berfirman:
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ
“Maha Suci Tuhanmu Yang mempunyai keperkasaan dari apa yang mereka katakan. Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul.” (Ash-Shaffat: 180-181)
Al-Firqah An-Najiyah berada di pertengahan -dalam masalah perbuatan Allah- antara Al-Qadariyah dengan AI Jabariyah. Mereka berada di pertengahan—dalam masalah ancaman Allah—antara Al-Murji`ah dan Al-Wa’idiyyah. Mereka berada di pertengahan—dalam masalah iman dan agama-antara AI-Haruriah (Khawarij) dan Mu’tazilah dengan Al-Murji’ah dan Al-Jahmiyyah. Dan mereka berada di pertengahan-dalam masalah sahabat Rasulullah—antara Ar-Rafidhah (Syi’ah) denganAl-Khawarij.
Saya meyakini bahwa Al-Qur’an adalah kalam Allah yang diturunkan, bukan makhluk, dari-Nya berasal dan kepada-Nya akan kembali. Dan bahwa Dia berfirman dengannya secara hakiki. Dia menurunkannya kepada hamba, Rasul-Nya, orang kepercayaan-Nya dalam wahyu-Nya, dan perantara antara Dia dengan hamba-hamba-Nya [dalam risalah, bukan dalam ibadah –ed], yaitu Nabi kita Muhammad.
Saya juga meyakini bahwa Allah Maha Berbuat apa yang Dia kehendaki, tidak ada sesuatu pun yang akan terjadi kecuali dengan kehendak-Nya, tidak ada satu pun yang keluar dari keinginan-Nya.
Tidak ada satu pun dalam alam ini yang keluar dari ketetapan-Nya, tidak akan ada satu pun yang lahir kecuali atas pengaturan-Nya, dan tidak ada jalan keluar bagi seorang pun dari taqdir yang telah dibatasi dan tidak ada sesuatu pun yang bisa melampaui apa yang ditetapkan untuknya dalam Al-Lauh Al-Mahfuzh.
Saya meyakini keimanan kepada semua yang dikabarkan oleh Nabi berupa semua perkara yang terjadi setelah kematian. Maka saya mengimani adanya fitnah(ujian) dalam kubur dan kenikmatannya, dan dikembalikannya roh-roh kepada jasad jasad, sehingga seluruh manusia akan berdiri untuk Rabb semesta alam dalam keadaan tidak beralas kaki, telanjang, lagi tidak berkhitan, sementara matahari mendekat kepada mereka. Mizan-mizan (timbangan amalan) ditegakkan, yang padanya semua amalan hamba akan ditimbang. Barang siapa yang berat timbangan kebaikannya maka mereka itulah orang-orang yang beruntung, dan barang siapa yang ringan timbangan kebaikannya maka mereka itulah orang-orang yang merugikan diri-diri mereka sendiri, kekal di dalam Jahannam. Buku-buku catatan amalan akan disebarkan, maka di antara manusia ada yang menerimanya dengan tangan kanannya dan ada juga yang menerimanya dengan tangan kirinya.
Saya mengimani adanya telaga Nabi kita Muhammad di pelataran Hari Kiamat. Airnya lebih putih daripada susu, lebih manis daripada madu, bejana-bejana sebanyak jumlah bintang-bintang langit, dan barang siapa yang minum darinya sekali niscaya dia tidak akan merasakan haus setelahnya selama-lamanya.
Saya juga mengimani adanya sirath (titian) yang akan dipasang di atas pinggir Jahannam, yang seluruh manusia akan melewatinya sesuai dengan kadar amalan-amalan mereka.
Saya mengimani adanya syafa’at Nabi dan bahwasanya beliau adalah pemberi syafa’at pertama dan yang pertama kali diberikan izin untuk memberi syafa’at. Tidak ada yang rnengingkari adanya syafa’at Nabi kecuali para penganut bid’ah dan kesesatan. Hanya saja syafa’at beliau ini tidak akan terwujud kecuali setelah adanya izin dan keridhaan dari Allah. Sebagaimana pada firman Allah:
وَلَا يَشْفَعُونَ إِلَّا لِمَنِ ارْتَضَى
“Dan mereka tiada memberi syafa’at melainkan kepada orang yang diridhai Allah.” (Al-Anbiya’ : 28)
Allah    berfirman:
مَن ذَا الَّذِي يَشْفَعُ عِنْدَهُ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tiada yang dapat memberi syafa’at di sisi Allah taripa izin-Nya.” (Al-Baqarah: 255)
Allah    berfirman:
وَكَم مِّن مَّلَكٍ فِي السَّمَاوَاتِ لَا تُغْنِي شَفَاعَتُهُمْ شَيْئاً إِلَّا مِن بَعْدِ أَن يَأْذَنَ اللَّهُ لِمَن يَشَاءُ وَيَرْضَى
“Dan berapa banyaknya malaikat di langit, syafa’at mereka sedikit pun tidak berguna, kecuali sesudah Allah mengizinkan bagi orang yang dikehendaki dan diridhai-Nya” (An-Najm: 26)
Semetara Dia tidak meridhai kecuali tauhid dan tidak mengizinkan kecuali kepada yang memiliki tauhid. Adapun kaum musyrikin maka mereka tidak punya sedikit pun bagian dari syafa’at. Sebagaimana pada firman Allah:
فَمَا تَنفَعُهُمْ شَفَاعَةُ الشَّافِعِينَ
“Maka tidak berguna lagi bagi mereka syafa’at dari orang-orang yang memberikan syafa’at.” (Al-Muddatstsir: 48)
Saya mengimani bahwa Surga dan Neraka adalah makhluk, keduanya sudah ada sekarang, dan keduanya tidak akan fana.
Saya mengimani bahwa kaum mukminin akan melihat Rabb mereka dengan penglihatan mereka pada Hari Kiamat sebagaimana mereka melihat Bulan pada Malam Purnama, mereka tidak akan kesulitan dalam melihat-Nya.
Saya mengimani bahwa Nabi kita Muhammad adalah penutup para nabi dan rasul. Dan tidak sah keimanan seorang hamba hingga dia beriman kepada risalah beliau dan mempersaksikan kenabian beliau.
Saya mengimani bahwa manusia paling utama dari umat beliau adalah Abu Bakr Ash-Shiddiq, kemudian Umar A1Faruq, kemudian Utsman Dzu An-Nurain, kemudian Ali Al-Murtadha, kemudian sisanya dari kesepuluh orang lainnya yang sudah dijamin masuk surga , kemudian mereka yang ikut Perang Badr, kemudian mereka yang membai’at Nabi di bawah pohon, yang mengikuti bai’at Ridhwan, kemudian sahabat lainnya
Saya berloyal kepada para sahabat Rasulullah menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka, mendoakan untuk mereka, dan meminta ampunan untuk mereka, serta saya menahan diri dari menyebutkan kejelekan-kejelekan mereka dan diam pada perkara yang mereka berselisih padanya.
Saya meyakini keutamaan (keistimewaan kedudukan mereka) mereka sebagai pengamalan dari firman Allah ;
وَالَّذِينَ جَاؤُوا مِن بَعْدِهِمْ يَقُولُونَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلِإِخْوَانِنَا الَّذِينَ سَبَقُونَا بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلّاً لِّلَّذِينَ آمَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَؤُوفٌ رَّحِيمٌ
“Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hat/ kami ter¬hadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Se¬sungguhnya Engkau Maha Penyantun lag/ Maha Penyayang” (AI-Hasyr: 10)
Saya mendoakan kepada ibu-ibu kaum mukminin (isteri-isteri Rasulullah ) radhiallahu anhunna yang disucikan dari berbagai kejelekan.
Saya mengakui karamah para wali dan mukasyafah(kejadian-kejadian luar biasa) yang terjadi pada mereka, hanya saja mereka tidak pantas mendapatkan sedikit pun apa yang menjadi hak Allah dan tidak boleh diminta dari mereka sesuatu yang tidak ada yang bisa memenuhinya kecuali Allah.
Saya tidak memastikan untuk seorang Muslimin bahwa dia masuk Surga dan tidak pula memastikan akan masuk Neraka, kecuali orang yang telah dipastikan oleh Rasulullah . Akan tetapi saya mengharapkan orang-rang yang berbuat baik bisa masuk Surga dan mengkhawatirkan orang-orang yang berbuat jelek akan masuk Neraka.
Saya tidak mengkafirkan seorang pun dari kaum Muslimin karena suatu dosa yang dia perbuat, dan saya tidak mengeluarkan dia dari lingkup Islam.
Saya memandang jihad tetap berlaku bersama setiap pemimpin yang baik maupun yang fajir, dan shalat berjama’ah di belakang mereka adalah boleh.
Jihad tetap berlaku semenjak Allah mengutus Muhammad hingga akhir umat ini memerangi Dajjal, jihad ini tidak dibatalkan oleh kejahatan seorang imam yang fajir dan tidak pula dibatalkan oleh keadilan seorang imam yang adil.
Saya menilai wajibnya mendengar kepada imam-imam kaum Muslimin,-yang baik maupun yang fajir di antara mereka-, selama mereka tidak memerintahkan untuk bermaksiat kepada Allah. Siapa saja yang memegang khilafah, manusia sudah sepakat akan kepemimpinannya dan mereka ridha kepadanya, ataukah orang itu menundukkan mereka dengan pedangnya hingga dia bisa menjadi khalifah (secara paksa) maka tetap wajib untuk taat kepadanya dan haram untuk keluar dari ketaatan kepadanya.
Saya memandang disyari’atkannya memboikot para penganut bid’ah dan menjauhi mereka hingga mereka bertaubat. Saya menghukumi mereka dengan agama (yang bersifat lahiriyah) dan menyerahkan rahasia-rahasia mereka kepada Allah.
Dan saya meyakini bahwa semua perkara ibadah yang di-buat-buat dalam Islam adalah bid’ah.
Saya meyakini bahwa `iman’ itu adalah ucapan dengan lisan, amalan dengan anggota tubuh, dan keyakinan dengan hati, dia bisa bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan kemaksiatan. Dia terdiri dari 73 sampai 79 cabang, di mana cabang tertingginya adalah syahadat ‘Laa ilaha illallah’ (kesaksian bahwa: tidak ada yang berhak diibadahi selain Allah), dan cabangnya yang paling rendah adalah menyingkirkan segala gangguan dari jalanan.
Saya memandang wajibnya amar ma’ruf dan nahi mungkar sesuai dengan apa yang diwajibkan oleh syari’at Muhammadiyah yang suci.
Ini adalah aqidah ringkas yang saya tuliskan dalam keadaan pikiran saya sedang sibuk, agar kalian bisa mengetahui apa yang ada pada saya dan Allah yang menjadi tempat bersandar atas apa yang kami katakan.
Kemudian tidak samar bagi anda bahwa telah sampai kepadaku kabar bahwa risalah Sulaiman bin Suhaim telah sampai kepada anda, dan bahwa risalah tersebut telah diterima dan dibenarkan oleh sebagian orang yang menisbatkan dirinya kepada ilmu di negeri anda. Dan Allah mengetahui bahwa orang ini (Ibnu Suhaim) telah membuat banyak perkara dusta atas nama saya yang tidak pernah saya ucapkan, dan kebanyakannya tidak pernah terbetik di dalam pikiranku.
Di antara bentuk kedustaan tersebut adalah dia mengatakan bahwasanya saya tidak menggunakan kitab-kitab mazhab yang empat, dan bahwasanya saya mengatakan bahwa manusia tidak berada di atas aqidah yang benar sejak 600 tahun yang lalu, dan bahwasanya saya mengklaim diri saya sebagai orang yang mampu berijtihad (memunculkan mazhab baru), dan bahwasanya saya tidak mengikuti para ulama, dan bahwasanya saya mengatakan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama itu adalah siksaan, dan bahwasanya saya mengkafirkan orang yang bertawassul melalui orang-orang shalih, dan bahwasanya saya mengkafirkan Al-Bushiri karena ucapannya, “Wahai makhluk yang paling mulia,” dan bahwasanya saya mengatakan bahwa jika seandainya saya sanggup untuk merobohkan kubah (yang berada di atas kubur) Rasulullah niscaya saya akan merobohkannya dan seandainya saya yang berkuasa atas Ka’bah maka saya akan mengganti saluran airnya dengan saluran air yang terbuat dari kayu, dan bahwasanya saya mengharamkan ziarah ke kubur Nabi, dan bahwasanya saya mengingkari ziarah ke kubur kedua orang tua dan selain keduanya, dan bahwasanya saya mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain nama Allah, dan bahwasanya saya mengkafirkan Ibnu Al-Faridh dan Ibnu Arabi, dan bahwasanya saya membakar kitab Dala’il Al-Khairat dan Raudh Ar-Riyahin dan saya menamakannya Raudh Asy-Syayathin. Jawaban saya atas semua tuduhan di atas adalah, “Maha Suci Engkau ya Allah, itu sungguh merupakan kedustaan yang besar.” Muhammad dahulu telah dituduh bahwa beliau mencela Isa bin Maryam dan bahwa beliau mencela orang-orang shalih. Maka hati-hati para penuduh ini mirip dengan mengarang kebohongan dan ucapan dusta. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَفْتَرِي الْكَذِبَ الَّذِينَ لاَ يُؤْمِنُونَ بِآيَاتِ اللّهِ وَأُوْلـئِكَ هُمُ الْكَاذِبُونَ
“Sesungguhnya yang mengada-adakan kebohongan, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada ayat-ayat Allah, dan mereka itulah orang-orang pendusta”. (An-Nahl: 105)
Mereka menuduh beliau dengan kedustaan bahwasanya beliau mengatakan bahwa para malaikat, Isa, dan Uzair berada dalam Neraka. Maka Allah menurunkan ayat dalam masalah ini:
إِنَّ الَّذِينَ سَبَقَتْ لَهُم مِّنَّا الْحُسْنَى أُوْلَئِكَ عَنْهَا مُبْعَدُونَ
“Bahwasanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari Kami, mereka itu dijauhkan dari neraka” (Al-Anbiya’ : 101)
Adapun masalah-masalah lain, yaitu bahwa saya mengatakan, “Islam seseorang tidak akan sempurna hingga dia mengetahui makna kalimat `laa ilaha illallah’,” bahwa saya men-jelaskannya kepada siapa yang datang kepada saya dengan mengetahui maknanya, bahwa saya mengkafirkan orang yang bernazar jika dia menginginkan dengan nazarnya untuk bertaqarrub kepada selain Allah dan membuat nazar untuk itu, dan bahwa menyembelih untuk selain Allah adalah kekafiran dan sembelihannya haram dimakan. Maka masalah-masalah ini adalah benar dan saya mengucapkannya. Saya mempunyai dalil dari kalam Allah dan sabda Rasul-Nya yang menunjukkan apa yang saya katakan ini, dan juga dari perkataan para ulama panutan seperti Imam Empat. Jika Allah memudahkan maka saya akan memaparkan jawabannya secara panjang lebar dalam risalah tersendiri insya Allah.
Kemudian pelajarilah dan ambillah pelajaran dari firman Allah:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْماً بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (Al-Hujurat: 6)
Sumber : Tash-hiih Khatha’ Tarikhi Haula Al-Wahhabiyyah Oleh Syaikh Dr. Muhammad bin Sa’ad Asy-Syuwai’ir | Edisi Indonesia : “Wahabi dan Imperialisme”  | Penterjemah : Abu Muawiyyah Hammad | Penerbit: Griya Ilmu. Juli 18, 2011


Tanggapan ( 2 ) terhadap tulisan Habib Muhammad Rizieq Shihab : syiah-vs-wahabi

Pedagang Nasi Basi Itu Ternyata Adalah???
Posted by www.sunnahcare.com on Selasa, 10 Maret 2015

RISALAH TERBUKA UNTUK PARA PEDAGANG NASI "BASI": HABIB RIZIEQ SHIBAB, KAMI SIAP BERDIALOG DENGAN ANDA.

Oleh: Abu Husein At-Thuwailibi.
Habib Muhammad Rizieq Shihab adalah termasuk salah seorang Da'i yang kami hormati bahkan kami cintai dinegeri ini, terlepas dari segala perkara yang saya selisihi darinya, namun ia adalah saudara kita, orang tua kita, yang layak kita hormati dan cintai dengan segala kelebihan dan kekurangannya, walaa nuzakkii 'alallahi ahadaa... Dia dan dakwahnya banyak memberikan sumbangsih terhadap Islam dan Muslimin, walau disadari atau tidak terkadang tidak jarang juga "merusak" cintra islam dan muslimin dengan aksi-aksinya yang dinilai kontroversi...ini realita ! Semoga Allah mengampuni kita dan menerima amal-amal kita, Allahul Musta'an.
Na'am. Ustadz Habib Rizieq Shihab menulis artikel barunya,isinya mencela Syiah Rafidhoh dan Nashibi. Nashibi adalah kelompok pembenci Ahlul Bait Rasulullah, yang mana nashibi ini sesat juga.
Tapi sayangnya, salah satu tokoh yang Habib Rieziq sebut Nashibi adalah Ibnu Taimiyah rahimahullah, atau yang sering disebut Syaikhul Islam. Katanya, dalam kitab Minhajus Sunnah karya beliau penuh dengan caci-maki terhadap para Shahabat Nabi dan Ahlul Bait beliau.
Bilahil-'Adziim, pernyataan demikian menjadi semacam dorongan bagi Ustadz Abi Syakir dan siapa saja yang berakal untuk membaca langsung Kitab Minhajus Sunnah Nabawiyah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah. Sedih terasa di hati...
Menurut ustadz Abi Syakir, meskipun ini butuh waktu, beliau akan membangun SIKAP. Jika benar tuduhan Habib Rizieq Shihab bahwa Ibnu Taimiyah rahimahullah mencaci dan mencela para Shahabat Nabi, khususnya Ali bin Abi Thalib, Fathimah binti Rasulillah, Hasan dan Husein bin Ali --radhiyallahu 'anhum ajma'in--; maka kami akan meninggalkan pendapat Ibnu Taimiyah. Karena SANGAT TIDAK BOLEH seorang Ahlus Sunnah mencela, mencaci, memburukkan para Shahabat Nabi, khususnya dari kalangan Keluarga Nab. Tidak boleh itu. Hatta, Muawiyah pun tidak boleh dicela dan dicaci; meskipun kita boleh menyalahkan pendapat dan perbuatannya yang bertentangan dengan kebijakan Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib.
Dalam hati, kami tidak percaya, Ibnu Taimiyah punya sikap seperti yang disebutkan Habib Rizieq itu. Itu baru perasaan kami yang sering membaca pendapat-pendapat beliau yang adil, jujur, dan moderat. Kami tidak percaya dengan kesimpulan Habib Rizieq itu; meskipun untuk memastikannya, tetap harus membaca sendiri kitab Minhajus Sunnah itu.
Tapi kami berjanji, jika Ibnu Taimiyah terbukti mencaci maki para Shahabat (Ahlul Bait) sehingga berhak disebut sebagai Nashibi oleh Habib Rizieq, kami tak ragu untuk meninggalkannya; karena yang semacam itu jelas bukan Ahlus Sunna dan Ibnu Taimiyah berarti sesat.
Perlu anda ketahui, Kitab ini salah satu karya besar Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Bantahan kuat terhadap sekte Rafidhah (Syiah). Sangat kuat, sehingga orang-orang Rafidhah merasa sakit hati teramat dalam.
Tapi Ibnu Taimiyah memakai metode unik, membantah Rafidhah dengan lawannya, yaitu sekte Nashibi (pembenci Ahlul Bait). Ini mengingatkan pada dialog imajiner antara "Jabbari Vs Qadari" karya Ibnul Qayyim Jauziyah.
Posisi Ibnu Taimiyah sendiri bukan NASHIBI, karena beliau hanya "pinjam tangan" saja. Istilah Jawa-nya "nabok nyilih tangan" (memukul dengan tangan orang lain).
Mengapa Ibnu Taimiyah meminjam tangan pandangan sekte NASHIBI?
Begini:
(1). Itu menunjukkan KEDALAMAN ilmunya, tahu dengan sangat dalam paham Syiah Rafidhah dan lawannya, Nashibi. Keduanya bukan Ahlus Sunnah.
(2). Beliau seperti ingin MENGHINAKAN pendapat-pendapat ulama Syiah, Muthahhar Al-Hully. Bahkan dalam judul buku pun ada kesan dibuat tandingan; yang satu "Minhajul Karamah" satu lagi "Minhajus Sunnah". Sisi penghinaannya, kalau Al-Hully mengagung-agungkan Ahlul Bait; maka Nashibi punya hujjah untuk mematahkan pengagungan itu. Jika ada ekstrem kanan, ada juga ekstrem kirinya.
(3). Bagi Ibnu Taimiyah seakan dirasa TIDAK PENTING membantah Al-Hully dengan ilmunya sendiri, cukup dibantah dengan lawannya saja. Hanya saja, bagi orang yang TERBURU-BURU, metode itu disalah-pahami. Dikiranya pendapat NASHIBI mewakili paham Ibnu Taimiyah.
(4). Hikmah lain, ulama jarang membahas paham NASHIBI, maka dalam kitab itu Ibnu Taimiyah mendokumentasikan paham tersebut. Ini adalah kerja ilmiah yang sangat baik, alhamdulillah.
(5). Hikmah bagi orang AWAM: Pahami dua titik ekstrem, kaum Syiah yang menuhankan Ahul Bait dan kaum Nashibi yang menghujat Ahlul Bait. Keduanya jangan diambil, karena sama-sama EKSTREM.
Intinya, Tidak bisa menilai Ibnu Taimiyah dari metode "pro kontra" yang beliau gunakan dalam Kitabnya Minhajus Sunnah Nabawiyah. TAPI lihatlah aneka pendapat beliau dalam kitab-kitabnya yang lain. Termasuk Majmu' Fatawa-nya. na'am.
Ibnu Taimiyah sebenarnya nama yang tidak asing ditelinga kawan dan lawan. Beliau adalah sosok ulama’ islam yang tidak diragukan lagi keilmuannya. Maka tidak kelirulah kalau umat islam menjuluki beliau sebagai Syaikhul Islam.
Hanya saja, dari pihak lawan ada yang ’kebakaran kumis’ (karena tidak punya jenggot) dengan kiprah dakwah beliau. Karena memang beliau menelanjangi ahlul bathil sampai tidak ada satu helai benang pun di ’badan’ mereka.
Lihat saja kitab beliau Minhajus Sunnah, kitab yang terdiri dari 8 jilid beliau khususkan untuk membantah kaum syi’ah dan qodariyah. Berbagai argumen mereka dipatahkan berkeping-keping oleh beliau didalam kitab tersebut.
Maka –sekali lagi- tidaklah heran, apabila mereka sampai berusaha begitu keras, memeras keringat, dan membanting tulang untuk menodai nama suci beliau dari tengah umat, dengan kata lain ingin menjauhkan umat dari ulama’ panutannya.
Diantara senjata tumpul yang sering mereka gunakan untuk menghantam Ibnu Taimiyyah adalah ’sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul Bait’. Kata mereka, Ibnu Taimiyyah sangat benci kepada Ahlul Bait, terkhusus kepada Ali bin Abi Thalib.
Entah dari mana dagangan basi ini mereka dapatkan, lha wong orang yang bertahun-tahun mempelajari kitab-kitab beliau pun saja tidak pernah menemukan hal itu. Yang ada justru sebaliknya, beliau sangat memuliakan ahlul bait, tentu ini semua akan diketahui oleh orang yang benar-benar mempelajari kitab beliau, bukan ikut-ikutan, atau hanya sekedar mencuplik sana sini.
Maka dari itulah, kami pada edisi ini menampilkan tentang sikap Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul Bait Nabi Shallallahu ’alaihi wa Sallam.
Berikut paparan dari kami
Coba perhatikan Kitab Al-’Aqidah Al-Wasithiyyah

...

Dalam kitab ini beliau memberikan bab khusus tentang ahlul bait,

منزلة أهل البيت النبوي عند أهل السنة والجماعة
Kedudukan Ahlul bait disisi Ahlussunnah wal Jama’ah
Dan mereka (ahlussunnah) mencintai Ahlul bait rasul, menjadikan mereka wali, dan selalu menjaga wasiat Rasulullah tentang mereka ketika beliau bersabda pada hari Ghadir Khum: “Aku ingatkan kalian atas nama Allah untuk menunaikan hak-hak ahlul baitku.”
Dan beliau juga pernah berkata kepada Al-’Abbas, paman beliau ketika dia (Al-’Abbas) mengadu kepada Nabi Shalallahu ‘alaihi wa Sallam bahwa Qurai’sy mengganggu Bani Hasyim: “Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, sekali-kali mereka tidak akan beriman sampai mencintai kalian karena Allah dan juga kerabatku.”
Beliau juga bersabda: “Sesungguhnya Allah telah memilih bani Isma’il, dan memilih dari bani Isma’il bani Kinanah, dan memilih dari bani Kinanah kaum Quraisy, dan memilih dari kaum Quraisy bani Hasyim dan memilihku dari bani Hasyim.” ……
Kemudian Kitab Minhajus Sunnah
Sebuah kitab yang sangat terkenal baik oleh kawan maupun lawan, dalam banyak tempat beliau menyebutkan secara detail tentang ahlul bait:
وأما أهل السنة فيتولون جميع المؤمنين، ويتكلمون بعلم وعدل، ليسوا من أهل الجهل ولا من أهل الأهواء، ويتبرؤن من طريقة الروافض والنواصب جميعاً، ويتولون السابقين الأولين كلهم، ويعرفون قدر الصحابة وفضلهم ومناقبهم، ويرعون حقوق أهل البيت عليهم السلام التي شرعها الله لهم
……“Adapun Ahlussunnah, mereka mencintai semua orang yang beriman, mereka berucap dengan ilmu dan keadilan. Mereka bukan orang jahil, bukan pula pengikut hawa nafsu. Mereka berlepas diri dari metode (Syi’ah) rafidhah dan kaum nawashib semuanya. Mereka sangat mencintai seluruh As-Sabiiqunal Awwalun, sangat mengetahui kedudukan para shahabat dan keutamaan mereka. Dan mereka selalu memelihara hak-hak Ahlul Bait ‘alaihimus Salam yang telah Allah syari’atkan untuk mereka”
(Ibnu Taimiyyah dalam Minhajus Sunnah 2/71).
TENTANG IMAM ALI DI MATA IBNU TAIMIYYAH
Ibnu Taimiyyah berkata:
((فضل عليّ وولايته لله وعلو منزلته عند الله معلوم، ولله الحمد….))
“Keutamaan Ali dan kewaliyannya serta kedudukannya yang tinggi di sisi Allah adalah suatu yang sudah dimaklumi, alhamdulillah. Dari riwayat-riwayat yang shahih memberikan kepada kita sebuah keyakinan (tentang keutamaannya), yang tidak membutuhkan lagi (setelah adanya hadits shahih itu riwayat-riwayat) dusta dan tidak pula (riwayat) yang tidak diketahui kebenarannya”
(Minhajus Sunnah: 8/165)
Ibnu Taimiyyah berkata:
((وأما كون عليّ وغيره مولى كل مؤمن ، فهو وصف ثابت لعليّ في حياة النبي صلى الله عليه وسلم وبعد مماته، وبعد ممات عليّ، فعلي اليوم مولى كل مؤمن))
“Adapun keadaan Ali dan selainnya bahwa dia adalah kekasih setiap mukmin, itu adalah sifat yang benar untuk Ali semasa NabiShalallahu ‘alaihi wa Sallam hidup dan setelah beliau wafat dan juga setelah Ali meninggal. Maka Ali pada hari ini tetap wali/kekasih setiap mukmin”
(Minhajus Sunnah:7/325)
((وأما علي رضي الله عنه فلا ريب أنه ممن يحب الله ويحبه الله))
“Adapun Ali Radhiallahu ‘anhu, tidak diragukan lagi bahwa dia termasuk orang yang mencintai Allah dan dicintai Allah”
(Kitab Minhajus Sunnah:7/218 )
((لا ريب أن موالاة علي واجبة على كل مؤمن، كما يجب على كل مؤمن موالاة أمثاله من المؤمنين))
“Tidak diragukan lagi bahwa mencintai Ali bagi setiap mukmin adalah wajib. Sebagaimana diwajibkan pula bagi setiap mukmin mencintai mukmin yang lainnya”
(Minhajus Sunnah:7/27).
Ketika menggambarkan keberanian Ali radhiallahu ‘anhu, Ibnu Taimiyyah berkata:
))لا ريب أن علياً رضي الله عنه كان من شجعان الصحابة، وممن نصر الله الإسلام بجهاده، ومن كبار السابقين الأوَّلين من المهاجرين والأنصار، ومن سادات من آمن بالله واليوم الآخر وجاهد في سبيل الله، وممن قاتل بسيفه عدداً من الكفار
((“Tidak diragukan lagi bahwa Ali Radhiallahu ‘anhu termasuk shahabat yang paling berani. Dan termasuk yang Allah menolong islam dengan sebab jihadnya, beliau termasuk shahabat besarsabiqunal awwalun dari muhajirin dan anshar, termasuk pembesar orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir dan (pembesar) orang yang berjihad fii sabilillah. Dan beliau termasuk orang yang dengan pedangnya telah membunuh sejumlah orang kafir.” (Minhajus Sunnah:8/76)
Ibnu Taimiyyah berkata menggambarkan kezuhudan Ali:
((وأما زهد عليّ رضي الله عنه في المال فلا ريب فيه))
“Adapun kezuhudan Ali Radhiallahu ‘anhu dalam hal harta tidak perlu diragukan lagi” (Minhajus Sunnah:7/489).
Ibnu Taimiyyah lebih mengutamakan shahabat yang tidak ikut memerangi Ali daripada shahabat yang ikut memerangi Ali:
((وأيضاً فأهل السنة يحبون الذين لم يقاتلوا علياً أعظم مما يحبون من قاتله، ويفضلون من لم يقاتله على من قاتله كسعد بن أبي وقاص، وأسامة بن زيد، ومحمد بن مسلمة، وعبد الله بن عمر رضي الله عنهم. فهؤلاء أفضل من الذين قاتلوا علياً عند أهل السنة. والحب لعليّ وترك قتاله خير بإجماع أهل السنة من بغضه وقتاله، وهم متفقون على وجوب موالاته ومحبته، وهم من أشد الناس ذبّاً عنه، ورداً على من طعن عليه من الخوارج وغيرهم من النواصب…..))
“Dan juga. Ahlussunnah mencintai para shahabat yang tidak ikut memerangi Ali lebih besar dari kecintaan mereka kepada shahabat yang ikut memerangi Ali. (Ahlus Sunnah) lebih mengutamakan shahabat yang tidak ikut memerangi Ali dari shahabat yang ikut memeranginya, Seperti Sa’d bin Abi Waqqash, Usamah bin Zaid, Muhammad bin Maslamah, dan Abdullah bin Umar Radhiallahu ‘anhum. Mereka ini lebih utama disisi Ahlus Sunnah dari (para shahabat) yang ikut memerangi Ali.Dan mencintai Ali demikian pula menghindar untuk tidak memeranginya lebih baik dengan kesepakatan Ahlus Sunnah dari membencinya dan memeranginya. Dan mereka sepakat atas wajibnya menjadikan Ali wali dan mencintainya. Mereka (ahlus sunnah) adalah manusia yang paling gigih membela Ali, dan membantah setiap yang mencelanya dari kalangan Khawarij dan selain mereka dari Nawashib”
(Minhajus Sunnah:4/395)
Ibnu Taimiyyah lebih mengutamakan imam Ali daripada Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan para shahabat nabi shalallahu ‘alaihi wasallam:
بل هم كلهم متفقون على أنه أجلّ قدراً، وأحق بالإمامة، وأفضل عند الله وعند رسوله وعند المؤمنين من معاوية وأبيه وأخيه الذي كان خيراً منه، وعليّ أفضل من الذين اسلموا عام الفتح وفي هؤلاء خلق كثير افضل من معاوية. أهل الشجرة افضل من هؤلاء كلهم ، وعليّ أفضل جمهور الذين بايعوا تحت الشجرة، بل هو أفضل منهم كلهم إلا ثلاثة، فليس في أهل السنة من يقدم عليه أحداً غير الثلاثة، بل يفضلونه على جمهور أهل بدر وأهل بيعة الرضوان، وعلى السابقين الأوَّلين من المهاجرين والأنصار))
“Bahkan mereka (Ahlussunnah) semua sepakat bahwa Ali memiliki kedudukan lebih tinggi, lebih berhak dengan kepemimpinan, dan lebih mulia di sisi Allah dan rasul-Nya serta kaum mukminin dari Mu’awiyah, ayahnya dan saudaranya yang lebih utama darinya (Mu’awiyah). Dan Ali lebih utama dari semua shahabat yang masuk islam pada Fathu Makkah, sedangkan banyak diantara mereka (yang masuk islam pada Fathu Makkah) lebih utama dari Mu’awiyah. Dan Ahlu Syajarah (yang berbaitan di bawah pohon, bai’at ridhwan) lebih utama dari mereka (yang masuk islam pada fathu Makkah), dan Ali lebih utama dari mereka semua yang ikut berbai’at di bawah pohon kecuali dari tiga orang. Tidak ada dari kalangan Ahlussunnah yang mendahulukan seorang pun diatas Ali kecuali dari tiga orang. Bahkan Ali lebih afdhal dari mayoritas Ahlu Badar (yang ikut perang badar) dan yang mengikuti bai’at Ridhwan, dan (lebih utama) dari Sabiqunal Awwalun dari Muhajirin dan Anshar” (Minhajus Sunnah:4/396)
Ibnu Taimiyyah lebih mendahulukan shahabat yang berperang dipihak Ali daripada shahabat yang berperang dipihak Mu’awiyah –radhiallahu ‘anhum ajma’in- beliau berkata:
((معلوم أن الذين كانوا مع علي من الصحابة مثل: عمار وسهل بن حنيف ونحوهما كانوا أفضل من الذين كانوا مع معاوية))
“Telah maklum bahwa para shahabat yang berperang di pihak Ali seperti, Ammar, Sahl bin Hunaif dan selain keduanya lebih afdhal dari para shahabat yang ikut berperang di pihak Mu’awiyah” (Majmu’ atur Rasail wal Masail li Ibni Taimiyyah, hal:61)
Imam Husein di mata Ibnu Taimiyyah
Berkata Ibnu taimiyyah:
((والحسين رضي الله عنه قتل مظلوماً شهيداً ، وقتلته ظالمون معتدون(( مقتل الحسين وحكم قاتله – ص 77“
Dan Husein Radhiallahu ‘anhu terbunuh sebagai syahid secara zhalim, yang membunuhnya adalah orang-orang yang zhalim yang melampaui batas” (Maqtal Al-Husein wa Hukmu Qatilihi, hal:77)
((( وأما من قتل الحسين ) أو أعان على قتله ، أو رضي بذلك فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين ، لا يقبل الله منه صرفاً ولا عدلا ً)) مجموع الفتاوى 4 / 487 – 488
“Adapun orang yang telah membunuh Husein atau memiliki andil dalam pembunuhannya, atau ridha dengan hal itu, maka dia akan mendapatkan LA’NAT ALLAH, MALAIKAT DAN SELURUH MANUSIA, Allah tidak akan menerima darinya sharfan tidak pula adlan”
(Majmu’ Fatawa 4/487-488 )
Inilah wahai saudaraku seiman pendirian Ibnu Taimiyyah terhadap Ahlul Bait Nabi. Beliau sangat mencintai mereka. Maka dari sini jelaslah bahwa panah-panah api lagi beracun yang selalu beliau lancarkan adalah ditujukan kepada kaum syi’ah dan selain mereka, dan bukan kepada Ahlul Bait Nabi. Wallahu ’alam
Habib Rizieq Shihab perlu diajak dialog, agar syubhat-syubhatnya dibersihkan.