Tuesday, March 10, 2015

Sikap Para Penandatangan Risalah Amman Terhadap Syiah

                          

Untuk melengkapi bahasan sebelumnya tentang Risalah Amman (Baca: Syiah Berlindung Di Balik Risalah Amman)yaitu bahwa Risalah Amman hanya berorientasi pada mazhab fiqh dan sama sekali tidak membenarkan akidah Syiah, kami kutipkan sikap beberapa tokoh ulama terkemuka yang ikut bertandatangan, di antaranya, Syekh Yusuf Al-Qaradhawi, Syekh DR. Ahmad Ath-Thayyib, Syekh Wahbah Az-Zuhaili, dan Syekh Ali As-Salus.
Syekh Yusuf Al-Qaradhawi
Seorang ulama besar abad ini, beliau merupakan ketua ulama sedunia dalam organisasi persatuan ulama islam internasional (Al-Ittihad Al-‘Alamy li ‘Ulama Al-Muslimin). Beliau merupakan satu di antara ratusan ulama yang ikut bertandatangan mengesahkan Risalah Amman. Dalam muqaddimah Risalah Amman, fatwa Syekh Yusuf Al-Qardhawi disebutkan sebagai salah satu rujukan dalam perumusan teks Risalah Amman.
MIUMI (Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia) mengumpulkan fatwa-fatwa Syekh Yusuf Qardhawi dari Fatawa Mu’ashirah milik beliau yang berkaitan dengan masalah Syiah dalam satu buku, fatwa pertama tentang perbedaan pokok mazhab Sunni dan Syiah Imamiyah, fatwa kedua tentang Hukum Mencerca sahabat dan ketiga tentang upaya taqrib antara sunni dan syiah.
Dalam fatwanya yang pertama, Syekh Yusuf Qaradhawi mengatakan, “Sesungguhnya perbedaan yang mendasar di antara kedua mazhab ini (sunni dan syiah) adalah perbedaan di dalam masalah ushuluddin (pokok-pokok agama) dan bukan di dalam masalah furu’. Oleh karena itu, sebutan untuk perbedaan ini adalah perbedaan di antara dua golongan, yaitu Ahlus Sunnah di satu sisi dan Syiah di sisi yang lainnya. Perbedaan ini bukan di antara dua mazhab fiqh”
Berikutnya Syekh Qardhawi melanjutkan “Di antara masalah akidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah yang bertentangan dengan Ahlus Sunnah adalah keyakinan Syiah bahwa kepemimpinan Ali dan keturunannya dari garis keturunan Husein merupakan pokok-pokok keimanan, seperti beriman kepada Allah SWT, beriman kepada para malaikat-Nya, beriman kepada kitab-kitabNya, beriman kepada para rasul-Nya dan beriman kepada hari akhir. Tidak sah dan tidak akan diterima oleh Allah SWT iman seorang muslim, jika dia tidak beriman bahwa Ali adalah khalifah yang ditunjuk oleh Allah SWT. Demikian juga halnya dengan 11 imam keturunan Ali bin Abi Thalib. Baranga siapa yang berani menolak hal ini atau meragukannya, maka dia adalah kafir yang akan kekal di neraka. Seperti inilah riwayat-riwayat yang tercantum di dalam Al-Kafi dan kitab-kitab lainnya yang mengupas masalah akidah mereka. atas dasar inilah, sebagian besar kaum Syiah mengkafirkan Ahlus Sunnah secara umum. Hal ini dikarenakan akidah Ahlus Sunnah berbeda dengan akidah mereka (Syiah). Bahkan Ahlus Sunnah tidak mengakui akidah seperti ini dan menganggap bahwa akidah ini adalah batil dan dusta atas nama Allah SWT dan rasul-Nya”
Tentang sahabat Nabi Muhammad saw yang sering dicaci dan dimaki oleh Syiah, beliau mengatakan, "Memang benar, tidak mungkin kita akan bersatu. Ketika saya mengatakan,”Abu Bakar semoga Allah SWT meridhainya. Umar semoga Allah SWT meridhainya.” Sedangkan engkau (Syi’ah) berkata, ”Abu Bakar semoga Allah SWT melaknatnya. Umar semoga Allah SWT melaknatnya.” Ingat, alangkah besarnya jurang perbedaan antara kalimat ‘semoga Allah SWT meridhainya’ dengan kalimat ‘semoga Allah SWT melaknatnya’."
Inilah sikap Syekh Yusuf Al-Qaradhawi terhadap Syiah yang begitu tegas, jelas dan gamblang terhadap Syiah.
Syekh. DR. Wahbah Az-Zuhaili
Seorang ulama besar, yang menulis kitab himpunan fiqh serta dalil-dalilnya, Al-Fiqh Al-Islami Wa Adillatuhu, merupakan kitab yang sangat popular di kalangan para ulama syariah dalam Islam, karena kitab beliau menjadi salah satu rujukan dalam hal fiqh islam.
Beliau mengisyaratkan sesatnya akidah Syiah dari statemen beliau tentang syarat-syarat diterimanya persaksian seseorang, di antaranya adalah tidak boleh menampakkan sikap mencela-cela sahabat -yang merupakan akidah dan amalan kaum Syiah-, karena itu adalah sebuah kefasikan yang terang-terangan.
Dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuhu, jilid 6, hal 567, beliau mengatakan, “Dan tidak dapat diterima persaksian orang yang menampakkan celaannya terhadap salaf seperti sahabat dan tabi’in, karena telah nampak kefasikannya. Berbeda dengan orang yang menyembunyikannya (sikapnya mencela-cela salaf), karena itu orang fasiq yang tersembunyi.”
Fatwa ini dengan jelas menggambarkan sikap Syekh Wahbah Az-Zuhaili bahwa orang Syiah tidak boleh dijadikan sebagai saksi dalam berbagai masalah muamalah karena dia sebagai orang fasik, yaitu mencela-cela sahabat. Perbuatan kefasikan dalam Islam tentunya bertentangan dengan ajaran Islam, yang menyebabkannya menjadi suatu amalan yang menyimpang.
Syekh DR. Ahmad Ath-Thayyib
Beliau merupakan rektor universitas al-Azhar. Sebagai rektor, beliau digelari Syaikhul Azhar, dalam salah satu pernyataannya sebagai tanggapan atas rencana penyebaran Syiah di Universita sAl-Azhar yang dikutip dari alarabiya.net mengatakan, “Kami tidak akan membiarkan perangkap Syiah bagi pelajar/ mahasiswa sunnah yang menyebabkan mereka beralih menjadi Syiah,yang pada akhirnya menimbulkan bentrok fisik. Kami akan berhadapan bagi setiap usaha menyebarkan mazhab Syi’ah di negeri Islam sebagaimana Iran menghalangi usaha apapun untuk menyebarkan mazhab Sunni di Iran.”
Syekh Ali As-Salus
Beliau menulis satu buku khusus untuk membantah dan membuktikan kedustaan buku Dialog Sunnah-Syiah, karya Syarafuddin Al-Musawi, diterbitkan oleh Mizan sejak tahuan 1983, yang merupakan ‘catatan dialog’ Syarafuddin Al-Musawi dengan Syaikhul Azhar waktu itu, Salim Al-Basyari, beliau mengatakan, “Kami telah menjelaskan hadis-hadis dalam Muraja’ah (judul bahasa arab buku dialog sunnah-syiah) tentang berbagai bentuk kekejian dan kedustaan yang dinisbatkan oleh Al-Musawi yang bermazhab Syiah Rafidhah kepada Syaikh Al-Azhar, Salim Al-Basyari, bahwa dia menerimanya dengan lapang dada, meminta tambahan darinya, dan menyifatinya bahwa hadis-hadis maudhu’ tersebut sebagai dalil dan bukti-bukti kebenaran. Sesungguhnya mahasiswa yang mendapaatkan sedikit ilmu saja mampu merujuk kitab Minhaj As-Sunnah karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Ash-Shawa’iq Al-Muhriqah karya Ibnu Hajar Al-Haitami untuk menjelaskan kebatilan dan kesesatan apa yang terdapat dalam Muraja’ah kedelapan Al-Musawi ini. Tetapi Al-Musawi, seorang Syiah Rafidhah yang terkutuk ini, tanpa rasa sungkan dan malu ingin menjadikan seorang Syaikh Al-Azhar yang kapabel dan kredibel sebagai murid kecil dan bodoh yang menerima ilmu pertama kali melalui dia.” (Ensiklopedi Sunnah Syiah, Studi Perbandingan Akidah dan Tafsir, Pustaka Al-Kautsar, hal 249)

Inilah di antara sikap para ulama yang ikut bertandatangan dalam Risalah Amman, sikap mereka sangat jelas, menolak akidah Syiah. Dengan demikian, sikap mereka ini semakin menguatkan kesimpulan kami bahwa Risalah Amman adalah nota kesepahaman mazhab fiqh, bukan mazhab akidah. Artinya, silakan anda beribadah dan bermuamalah dengan memakai salah satu dari delapan mazhab yang disepakati –menurut Risalah Amman ini-, namun anda hanya boleh mengamalkan ini jika berada dalam lingkaran pemikiran asy’ari, sufi dan salafi. Karena tiga kelompok inilah yang tidak boleh dikafirkan. Selain itu, ‘imamah syiah’ tidak dimasukkan dalam ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam, sehingga Syiah –sekali lagi- keluar dari deretan kelompok Islam yang tidak boleh dikafirkan.
Oleh: Muh. Istiqamah, Wakil Sekretaris LPPI Makassar
SELASA, NOVEMBER 06, 2012  

Syiah Berlindung di Balik Risalah Amman

                           
Menyambut Seminar Internasional "Persatuan Umat Islam Sedunia" di Auditorium Al-Jibra Universitas Muslim Indonesia, Makassar, atas kerjasama dengan Kudebes Iran, Senin, 5 Nov 2012 

Risalah Amman atau Amman Message adalah sebuah nota kesepahaman antar-mazhab dalam Islam yang ditandatangani oleh ratusan ulama lintas mazhab dan negara dari segenap penjuru dunia, merupakan seruan persatuan umat Islam sedunia, agar tidak terpecah belah meskipun berbeda mazhab.
Secara khusus, orang-orang Syiah menjadikan Risalah Amman sebagai legitimasi keabsahan mazhab mereka. Karena itu kita dapati akhir-akhir ini Syiah sering menjadikannya sebagai tameng untuk mengadakantaqrib (pendekatan atau penyatuan) antara Sunni dan Syiah. Sering kali mereka mengobralnya kepada masyarakat Islam bahwa “Syiah salah satu mazhab dalam Islam”.
Salah satu bukti getolnya Syiah mensosialisasikan Risalah Amman adalah diterbitkannya buku Menuju Persatuan Umat yang dilengkapi dengan teks Risalah Amman. Buku ini pada awalnya berjudul Satu Islam, Sebuah Dilema yang merupakan kumpulan tulisan para cendikiawan muslim Indonesia, di antaranya Quraish Shihab, Jalaluddin Rakhmat, Nurkholis Majid, dsb. Sehingga dengan usaha-usaha yang dilakukan orang-orang Syiah, tidak terhitung lagi betapa banyak kaum Muslimin yang terkecoh oleh Syiah melalui Risalah Amman.
Namun bukan berarti kami ingin mempertanyakan keabsahan Risalah Amman itu sendiri, karena nota kesepahaman ini telah ditandatangani oleh 552 ulama dari berbagai belahan dunia yang menunjukkan keasliannya dan kebenaran isinya, Insya Allah. Kami lebih kepada usaha untuk mencermati poin-poin yang tertuang dalam Risalah Amman tersebut, terutama pada poin pertama.
Poin Pertama Risalah Amman
Untuk mendapat pengakuan, sering kali orang Syiah mengutip sebagian teks dari poin pertama Risalah Amman yang berbunyi, “Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadi dan mazhabZhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan.
Memang tidak mungkin kita menyalahkan teks ini, apalah artinya kami di hadapan ratusan ulama yang ikut tanda tangan menyetujui isi teks Risalah Amman ini. Namun kami mengajak pembaca mencermati lebih mendalam poin ini. Mazhab yang dimaksud di sini adalah pandangan seseorang dalam masalah fiqh, dan bukan mazhab akidah. Artinya semua yang melaksanakan ibadah-muamalah yang sesuai dengan kedelapan mazhab di atas adalah muslim, tidak boleh dikafirkan.
Apakah kita menganggap seseorang itu keluar dari statusnya sebagai muslim hanya karena dia sujud di atas tanah karbala? Apakah dia langsung divonis kafir karena dia tidak bersedekap dalam shalat? Apakah seseorang boleh dikafirkan hanya karena dia tidak mengucapkan “Amin” dalam shalat? Apakah seseorang murtad hanya karena mengusap kaki dalam wudhu dan tidak membasuhnya? Apakah kita boleh menganggap kafir seseorang hanya karena dia mengorientasikan pandangan fiqhnya pada mazhab ja’fari? Tentu jawaban dari ini semua adalah ‘tidak’.
Seseorang tidak boleh dikafirkan hanya karena berbeda mazhab fiqh, inilah yang dimaksud dalam bunyi poin di atas.
Berikutnya mari kita perhatikan teks selanjutnya dari poin pertama ini, “Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti akidah Asy’ariatau siapa saja yang mengamalkan tasawuf (sufisme). Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti pemikiran Salafi yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (saw) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam.” (pada poin ini tidak disebutkan ‘percaya pada imamah’ yang merupakan pokok keyakinan Syiah)
Pada teks ini larangan takfir (mengkafirkan) hanya berlaku pada tiga kelompok kaum Muslimin, mereka itu; Asy’ariyyah, Sufi dan Salafi. Titik! Dan tidak disebutkan “Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah”, tentu para ulama tersebut mempunyai pandangan yang tajam dan alasan yang kuat mengapa “Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah” tidak dimasukkan dalam deretan kelompok yang tidak boleh dikafirkan. Teks inilah yang banyak dilupakan oleh kaum Muslimin.
Larangan takfir ini dilanggar oleh Syiah. Mereka justru mengkafirkan tiga kelompok di atas (Asya’ari, sufi dan salafi) dan seluruh kaum Muslimin yang tidak mengenal atau mengikuti imam zamannya (tentu yang dimaksud adalah 12 imam Syiah) maka ia mati jahiliyah, mati di luar Islam. (Emilia Renita Az, 40 Masalah Syiah, Buku Pedoman Dakwah IJABI, hal 98)
Kemudian larangan takfir juga berlaku untuk semua kaum Muslimin yang percaya pada Allah, meyakiniRasulullah, dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam. Sehingga yang berbeda atau menyalahi keyakinan ini –menurut Risalah Amman- maka larangantakfirnya tidak berlaku, atau dengan kata lain bisa masuk dalam kelompok yang bisa dikafirkan. (kata-kata yang tebal inilah yang merupakan batasan pembeda antara kelompok Islam yang boleh divonis kafir atau tidak, kelompok Islam yang lurus akidahnya atau menyimpang)
Selanjutnya mari kita bandingkan poin-poin ini dengan akidah Syiah.
Pertama, Syiah memiliki Tuhan dan Nabi yang berbeda dengan Tuhan dan Nabi-nya kaum Muslimin, Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi –seorang ulama rujukan Syiah- mengatakan,
وحاصله إنا لم نجتمع على إله ولا على نبي ولا على إمام، وذلك أنهم يقولون أن ربهم هو الذي كان محمد صلى الله عليه وسلم نبيه وخليفته بعده أبو بكر. ونحن لا نقول بهذا الرب ولا بذاك النبي، بل نقول إن الرب الذي خليفته أبو بكر ليس ربنا ولا ذلك النبي نبينا.
Kesimpulannya: kita (Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami. (Al-Anwar Annu’maniyyah, Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi, jilid 2, hlm. 278, Mu’assasah Al-‘Alami Lil Matbu’at, Beirut, Lebanon.)
Dengan keyakinan seperti ini, Syiah keluar dari kelompok kaum Muslimin yang tidak boleh ditakfir.
Kedua, rukun Iman dan rukun Islam yang dimaksud dalam poin di atas tentunya rukun Iman yang enam dan rukun Islam yang lima yang selama ini kita kenal dan telah menjadi ijma’ kaum Muslimin.
Sedangkan Syiah memiliki rukun iman dan rukun Islam sendiri, yang berbeda dengan ijma’ kaum Muslimin.

Rukun Iman versi Syiah, (1) Tauhid, (2) Adalah (percaya pada keadilan ilahi), (3) Nubuwwah, (4) Imamah, (5) Al-Ma’ad (percaya pada hari akhir)

Rukun Islam versi Syiah, (1) Shalat, (2) Puasa, (3) Zakat, (4) Khumus (kewajiban mengeluarkan seperlima harta), (5) Haji, (6) Jihad, (7) Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar, (8) Tawalla (membenci apa yang dibenci Rasul saw dan ahlul baitnya), (9) Tabarra (mencintai apa yang dicintai Rasul saw dan Ahlul Baitnya), (10) Amal Shaleh (Lihat buku 40 Masalah Syiah, Emilia Renita Az, Buku pedoman dakwah IJABI).
Rukun Iman dan Rukun Islam yang berbeda menegaskan kembali bahwa Syiah keluar dari kelompok Islam yang tidak boleh divonis kafir.
Ketiga, tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam. Salah satu pokok ajaran dalam Islam yang sangat fundamental dan telah disepakati dalam agama Islam dari dulu sampai sekarang, bahkan sampai hari kiamat adalah keaslian Al-Qur’an, tidak ditambah dan tidak dikurangi. Sedangkan Syiah mengingkari keaslian Al-Qur’an, mayoritas ulama Syiah berpandangan demikian demikian, di antaranya, Al-Fadhl bin Syadzan An-Naisaburi, Furat bin Ibrahim Al-Kufi, Al-Ayyasyi, Al-Qummi, Al-Kulaini, Ali bin Ahmad Al-Kufi, Muhammad bin Ibrahim An-Nu’mani, Al-Mufid, Abu Manshur Ath-Thubrusi, Abul Hasan Al-Irbili, Al-Faidh Al-Kasyani, Al-Hurr Al-‘Amili, Hasyim Al-Bahrani, Muhammad Baqir Al-Majlisi, Ni’matullah Al-Jaza’iri, Yusuf bin Ahmad Al-Bahrani dan masih banyak lagi. Inilah ulama-ulama Syiah yang menjadi rujukan sepanjang abad. Bahkan seorang ulama Syiah yang sangat kesohor dan kuburannya sangat diagungkan oleh Syiah –sebagai bukti pemuliaan mereka terhadapnya- An-Nuri Ath-Thabarsi menulis satu kitab khusus yang menetapkan dan menegaskan akan adanya perubahan pada Al-Qur’an (Fashl Khithab Fi Istbat Tahrifi Kitabi Rabbil Arbaab), bahkan dalam muqaddimah bukunya tersebut ia mengetengahkan hampir 40 nama ulama Syiah yang mendukung pendapatnya! Sehingga pendapat mereka yang mengatakan bahwa Al-Qur’an tidak asli lagi sudah menjadi akidah dan ajaran pokok Syiah.
Tiga batasan yang dilanggar Syiah ini semakin menegaskan bahwa Syiah bukanlah kelompok Islam yang lurus akidahnya dan keluar dari  kelompok-kelompok Islam yang tidak boleh divonis kafir menurut Risalah Amman yang telah ditandatangani oleh lebih dari 500 ulama sedunia.
Oleh: Muh. Istiqamah, Wakil Sekretaris LPPI Makassar
JUMAT, NOVEMBER 02, 2012 
http://www.lppimakassar.com/2012/11/syiah-berlindung-di-balik-risalah-amman.html

Risalah Amman, Risalah Orang Yang Lemah!

RISALAH AMMAN MENOLAK ORANG YANG MENGKAFIRKAN SAHABAT DAN ISTERI NABI -Shalallahu alaihi wasalam-!
Intinya1:
RIASALAH Amman berawal sebagai penjelasan rinci yang dikeluarkan oleh Raja Abdullah II bin al-Husain, di sore hari tanggal 27 Ramadhan 1425 H/ 2 Nopember 2004 di Amman Yordania lebih dari satu tahun sebelum peledakan Yordan 9-11-2005- tujuannya: untuk mengumumkan kepada public tentang hakekat Islam atau islam yang sejati menurut pemerintah Yordan-; untuk membersihkan apa-apa yang menempel pada Islam padahal tidak ada kaitannya dengan Islam; menerangkan amal-amal apa yang memerankan Islam dan tidak mencerminkan Islam. tujuannya adalah untuk menjelaskan kepada dunia tentang karakteristik hakekat islam yang sebenarnya.
Demi memberikan legalitas lebih besar untuk penjelasan ini maka Raja Abdullah II mengirimkan 3 pertanyaan kepada 24 ulama besar kaum muslimin yang memiliki kedudukan dari seluruh penjuru dunia Islam, mewakili seluruh madzhab, madrasah pemikiran dalam Islam:
Definisi siapa muslim itu?
Apa boleh takfir (menfonis kafir)?
Siapa yang berhak dalam mengeluarkan fatwa?
Mengacu kepada fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh ulama-ulama besar itu (diantaranya adalah Syaikhul Azhar, Ayatullah al-Sistani, dan Syaikh al-Qardhawi) maka Raja Abdullah II di bulan Juli 2005 mengundang kepada Muktamar Islam Internasional yang diikuti oleh 200 ulama yang menonjol dari 50 negara, di Amman. Mereka semua mengeluarkan kesepakatan atas 3 masalah utama yang dikenal dengan mahawir risalah Amman al-Tsalatsah/Three Points of the Amman Message/ tiga poin dari pesan Amman:
Setiap pengikut salah satu madzhab ahlussunnah yang empat (hanafi, maliki, syafiI dan Hanbali), dan madzhab Jakfari2, madzhab zaidi, madzhab ibadhi, madzhab zhahiri, maka dia muslim, tidak boleh dikafirkan3, haram darahnya, kehormatannya dan hartanya. Dan juga berdasarkan fatwa yang mulia syaikh al-Azhar, tidak boleh mengkafirkan para penganut akidah asyâariyyah, dan orang-orang yang mempraktekkan tasawwuf yang sebenarnya, begitu pula tidak boleh mengkafirkan para pengikut pemikiran salafi yang benar.
Sebagaimana tidak boleh mengkafirkan kelompok lain dari kaum muslimin yang beriman kepada Allah, kepada Rasul-Nya -Shalallahu alaihi wasalam-, beriman kepada rukun iman, menghormati rukun islam, dan tidak mengingkari sesatu yang secara pasti dimaklumi bagian dari agama islam.
Apa yang menghimpun madzhab-madzhab ini lebih banyak dari pada perbedaannya. Pengikut madzhab yang delapan tadi sepakat atas prinsip-prinsip dasar islam. semuanya mengimani Allah  sebagai satu dan esa, dan bahwa al-Qur`an ini adalah kalamullah yang diturunkan, iman kepada sayyidina Muhammad  sebagai nabi dan Rasul untuk seluruh umat manusia. Semuanya bersepakat atas rukun islam yang lima: dua syahadat, shalat, zakat, puasa ramadhan, dan haji ke kabah. Dan bersepakat atas rukun iman: iman kepada Allah, para malaikatnya, kitab-kitabnya, para rasulnya, hari akhir dan takdirnya yang baik dan yang buruk. Dan perselisihan para pengikut madzhab adalah khilaf dalam furu` bukan dlam ushul, dan ini adalah rahmat. Dulu dikatakan: sesunggunya khilaf ulama dalam pendapat itu perkara yang baik4.
Mengakui madzhab-madzhab dalam islam artinya konsisten dengan metodologi tertentu dalam fatwa, maka tidak boleh bagi siapapun untuk maju berfatwa tanpa memiliki keahlian tertentu yang telah ditetapkan oleh masing-masing madzhab. Tidak boleh berfatwa tanpa mengikatkan diri dengan manhajiyyah madzhab-madzhab tadi, dan tidak boleh bagi siapapun mengklaim ijtihad dan membuat madzhab baru atau mendahulukan fatwa yang tertolak yang mengeluarkan kaum muslimin dari kaedah-kaedah syariat dan tsawabitnya (ajaran-ajarannya yang tetap), dan apa-apa yang telah tetap dalam madzhabnya.
Para pemimpin politik dan keagamaan di dunia islam telah mengambil 3 poin ini secara aklamasi di puncak Organisasi muktamar Islam yang diadakan di Makkah bulan Desember tahun 2005 M, dan sepanjang tahun dari sejak Juli 2005 hingga juli 2006, kemudian 3 poin ini juga diadopsi di 6 muktamar islam intrnasional yang lain, dan akhirnya adalah muktamar majmaâ fikih islam dunia (yang berpusat di Jedah) yang diadakan di Amman juli 2006. Maka hasilnya lebih dari 500 tokoh islam yang menonjol dari seluruh dunia islam menyetujui risalah amman dan poinnya yang tiga. Untuk mengetahui daftar nama-nama tokoh tersebut silakan lihat di:
komentar gensyiah:
Risalah amman adalah bukan hujjah bagi syiah. Jika risalah amman melarang mengkafirkan muslim biasa, bahkan mengkafirkan muslim ahli bidah, maka apalagi mengkafirkan khulafaurrasyidin (abu Bakar, Umar, Usman, Ali), mengkafirkan para sahabat nabi (semisal, abu Hurairah, Khalid ibnul Walid, Muawiyyah dll, apalagi mengkafirkan para istrei Nabi (seperi Aisyah dan Hafshah dll), mengkafirkan para ulama ahlusunnah. (silakan ikuti bantahan kami terhadap buku putih syiah yang penuh tipuan)
Risalah Amman bukan hujjah bagi syiah sebatas mengakui madzhab jakfari sebagimana mengakui madzhan ibadhi dan salafi, dan tidak pernah mengakui akidah Rafidhah!
Risalah amman bukan hujjah bagi syiah sebab hanya mengakui khilaf pendapat dan madzhab bukan manhaj dan akidah atau iman.
Risalah Amman tetap mengkafirkan syiah jika mengingkari sesuatu yang dimaklumi sebagai bagian dari islam, sebagaimana risalah Amman menghalalkan darah muslim yang melanggar hak islam dengan melakukan dosa yang yang telah memiliki hudud.
Risalah amman bukan hujjah bagi syiah sebab muslim yang diakui adalah muslim yang mengimani rukun iman yang enam dan rukun islam yang lima seperti yang dijarkan oleh ahlussunnah, bukan seperti rukun islam dan imannya syiah rafidhah!
Risalah amman bukan hujjah bagi syiah sebab yang ikut tanda tangan banyak yang ingkar syiah dan menvonis sesat syiah seperti syaikh syekh Abdullah bin Sulaiman al-Mani, Syekh Shalih alu al-Syekh, bahkan syekh Yusuh al-Qardhawi5 dll.
Risalah amman adalah risalah yang ditulis oleh orang islam dalam situasi yang islam lemah di dalamnya! Perhatikan komentar syekh Ali bin Hasan al-Halabi berikut.

Saya katakan wahai saudara-saudaraku: apa yang ada di dalamnya seperti realitas ini- yang tidak bisa ditolak- ucapan yang diklaim sebagai ajakan untuk pluralism agama adalah ucapan yang global, karena sejak asalnya risalah ini bersifat diplomasi, risalah yang tidak seperti risalah Kasyf al-Subuhat, tidak seperti matan al-Qawaid al-Arbaah, tidak seperti matan al-Manzhumah al-Baiquniyya
Ini adalah risalah kerajaan, ditulis oleh raja sebuah Negara untuk menerangkan islam dalam suatu kondisi yang islam lemah di dalamnya. Apa yang bisa ditulis oleh orang yang lemah? Tidak lain kecuali dia berbicara dengan ungkapan-ungkapan yang bisa mendekatkan pemahaman-pemahan dan menjauhkan dari tuduhan-tuduhan?!
Ini risalah ditulis oleh seorang yang bangga dengan keislamannya, bangga dengan dengan nasbnya yang sambung dengan Rasul, dengan segala kesalahan dan kekurangan yang ada padanya.

Maka mensikapi kondisi seperti ini yang tidak punya kuasa untuk menolak- yang terkadang tidak terpenuhi syarat-syarat sebagian hukum teori sebelum terjadinya-, hal mana menjadikan seorang fakih dengan benar- melihat kepada fikih masalah dari celah yang sempit ini, yang disertai dengan memperhatikan batasan-batasan hukum dari arah ini- dalam bentuk mengunggulkan masalahat-masalahat atas kerusakan-kerusakan sesuai dengan ushul syarâ.

Semoga bermanfaat!

1 ammanmessage.com/index.php?option=com_content&task=view&id=17&Itemid=31
2 Padahal madzhab jakfari itu dongeng, silakan ikuti makalah kami tentang dongeng madzhab fikih jakfari di gensyiah.com.
3 Kecuali jika melanggar hak islam yang membuatnya murtad/kafir sebagaimana maklum dalam islam. ini bicara fikih soal furu, bukan ushul.
4 Ya yang baik itu khilaf pendapat bukan khilaf akidah dan iman, seperti khilafnya ahlussunnah, khawarij dan syiah, sebaigaimana yang telah dirasakan oleh sejarah sejak kemunculan mereka hingga saat ini.
5 http://www.lppimakassar.com/2012/09/fatwa-terbaru-syaikh-yusuf-al-qaradhawi.html
8 November 2012
  

Sikap Al-Azhar Mesir tentang ‘Taqrib’ Sunni-Syiah

Senin, 11 Februari 2013 - 06:41 WIB
Syaikh Qaradhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah. Baca juga sikap Qaradhawi soal Risalah Amman
Oleh: Fahmi Salim
BARU-BARU ini seiring pemberitaan kegiatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Organisasi Konferensi Islam (OKI) ke-12 yang dilaksanakan di Kairo ibukota Mesir dan turut dihadiri Presiden SBY, hasil pertemuan Grand Syeikh Al-Azhar Mesir dengan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, menjadi pusat perhatian umat Islam tak hanya di Mesir tetapi juga di dunia Islam. Apalagi ditengah situasi yang menghangat soal relasi Sunni – Syiah pasca Arab-Spring (revolusi dunia Arab), dan imbasnya sampai ke Indonesia dengan kasus penodaan agama oleh Tajul Muluk, pemimpin Syiah di Sampang.
Dalam sebuah pernyataan resmi ketika menerima kunjungan Presiden Iran, Mahmud Ahmadinejad, di Masyikhatul Azhar pada hari Rabu 6 Februari 2013, Grand Syeikh Al-Azhar Cairo, Prof. Dr. Ahmad Al-Tayyib mengatakan, “Meski para ulama besar Al-Azhar terdahulu pernah terlibat di dalam berbagai konferensi persatuan Islam antara Sunni dan Syiah guna melenyapkan fitnah yang memecah belah umat Islam, penting saya garis bawahi bahwa seluruh konferensi itu nyatanya hanya ingin memenangkan kepentingan kalangan Syiah (Imamiyah) dan mengorbankan kepentingan, akidah dan simbol-simbol Ahlus Sunnah, sehingga upaya taqrib itu kehilangan kepercayaan dan kredibilitasnya seperti yang kami harapkan. Kami juga sangat menyesalkan celaan dan pelecehan terhadap para sahabat dan istri Nabi SAW yang terus menerus kami dengar dari kalangan Syiah, yang tentu saja hal itu sangat kami tolak. Perkara serius lainnya yang kami tolak adalah upaya penyusupan penyebaran Syiah di tengah masyarakat Muslim di Negara-negara Sunni.”
Selain itu Syeikh Al-Thayyib menyinggung kondisi memilukan Ahlus Sunnah di Iran yang menurut beliau, “Banyak dari mereka yang mengadukan kepada kami kondisi dan hak-hak mereka. Saya memandang, tidak boleh hak-hak warga Negara didiskriminasi dan dikerdilkan seperti yang disepakati oleh system politik modern dan diatur syariat Islam.”


Sebelumnya, dalam berbagai kesempatan Grand Syeikh Al-Azhar, Prof. Dr. Ahmad At-Thayyib, menyatakan seperti dilansir Koran Ahram (09/11/2012) bahwa Al-Azhar menolak keras penyebaran ajaran Syiah di negeri-negeri Ahlus Sunnah, karena hal itu akan merongrong persatuan dunia Islam, mengancam stabilitas negara, memecah belah umat dan membuka peluang kepada zionisme untuk menimbulkan isu-isu perselisihan mazhab di Negara-negara Islam.
Selain penolakan terhadap ekspor mazhab Syiah (Syiahisasi) ke negara-negara Sunni, kaum Rafidhah berlindung di balik konsensus Deklarasi Amman untuk legitimasi penyebaran Syiah. Risalah Amman yang selama ini selalu menjadi landasan bagi Syiah menebarkan pengaruhnya bukanlah kesepakatan pembenaran atas penyimpangan akidah.
“Risalah Amman bukanlah cek kosong, Risalah Amman bukan pula kesepakatan pembenaran atas keyakinan menyimpang Rafidhah, yaitu doktrin caci-maki kepada para pembesar Sahabat dan isteri Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassalam, apalagi pembenar doktrin tahrif,” kata seorang pakar Syiah Prof. Mohammad Baharun, yang juga mengetuai Komisi Hukum dan Perundang-undangan MUI. Solusi damai antara Syiah dan Sunni justru dengan membuat jarak yang jelas dan tidak mengelabui umat. “Karena perbedaannya bukan di ranah mazhab fiqih saja, melainkan keyakinan akidah,” ujarnya. [baca: Pakar Syiah Indonesia Dukung Langkah Syeikh Al Azhar]
Risalah Amman 2005 juga tidak mengikat seluruh ulama yang hadir. Faktanya adalah Syeikh Dr. Yusuf Al-Qaradhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional) yang ikut tercantum namanya sebagai penandatangan Risalah Amman, telah merilis tiga fatwa tentang Syiah Imamiyah di dalam kitab “Fatawa Mu’ashirah” jilid 4 yang terbit pada tahun 2009. Dalam fatwanya, beliau membongkar kesesatan Syiah Imamiyah dengan membentangkan pokok-pokok perbedaan akidah antara Ahlus Sunnah dan Syiah, hukum mencaci para sahabat Nabi dan sikapnya tentang pendekatan (taqrib) Sunni-Syiah pasca Muktamar Doha-Qatar tanggal 20-22 Januari 2007.
Tampak dari fatwa Syeikh Al-Qaradhawi (2009) bahwa kaum Syiah masih dikategorikan Muslim (seperti tertulis dalam Risalah Amman), tapi itu tidak berarti golongan Muslim tersebut bersih dan terbebas dari kesesatan terutama dalah hal-hal pokok akidah sebagaimana dijelaskan panjang lebar oleh Qaradhawi.
Di dalam fatwanya al-Qardhawi, yang juga anggota dewan tinggi ulama senior (‘Hai’ah Kibar Ulama’) Al-Azhar menegaskan sikapnya terhadap gagasan ‘Taqrib’,
“Sesungguhnya sejak saya ikut serta di dalam Muktamar Pendekatan Madzhab (Taqrib), saya telah menemukan beberapa poin penting yang membuat pendekatan ini tidak akan terjadi jika poin-poin ini diabaikan atau tidak diberikan hak-haknya. Semua ini telah saya jelaskan dengan sejelas-jelasnya pada saat kunjungan saya ke Iran 10 tahun yang silam. Di sini saya hanya mengacu kepada 3 perkara:
Pertama, kesepakatan untuk tidak mencerca para sahabat. Karena kita tidak bisa dipertemukan atau didekatkan jika masih seperti itu. Karena saya mengatakan: Semoga Allah meridhai mereka (para sahabat), sedangkan engkau (Syi’ah) berkata: Semoga Allah melaknat mereka. Sedangkan antara kata ridha dan laknat memiliki perbedaan yang sangat besar.

Kedua, dilarang menyebarkan sebuah madzhab di sebuah daerah yang dikuasi oleh madzhab tertentu. Atau seperti yang dikatakan oleh Syeikh Muhammad Mahdi Syamsuddin dengan istilah pengsyi’ahan (ekspor madzhab Syi’ah ke negara lain). Ketiga, memperhatikan hak-hak minoritas, terutama jika monoritas tersebut adalah madzhab yang sah.

Inilah sikap saya. Saya tidak akan menjadi penyeru kepada ‘peleburan prinsip’ atau menjadi orang-orang yang berhamburan kepada usaha taqrib (pendekatan Sunni – Syi’ah) tanpa syarat dan ketentuan. Karena saya melihat bahwa muktamar ini hanya seremonial saja. Akan tetapi tidak memecahkan akar permasalahannya dan tidak ada ujung pangkalnya. Muktamar tersebut hanya sebatas basa basi dan tidak menghasilkan apa-apa setelahnya. Saya putuskan bahwa saya harus menjelaskan sesuatu yang ada di dalam diri saya kepada seluruh kaum Muslimin. Saya tidak akan menyembunyikan sesuatu yang dianggap penting di dalam (menjaga) muamalah. Hal ini lah yang dituntut oleh sifat amanah dan tanggung jawab dan perjanjian yang telah diambil oleh Allah terhadap para ulama, ”Hendaklah kamu benar-benar menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia, dan janganlah kamu menyembunyikannya,” (QS Ali Imran [03]: 187).”
Syeikh Qaradhawi menceritakan pengalaman bahwa taqrib di dunia Islam hanya menguntungkan pihak Syiah, yang mendukung pernyataan Grand Syeikh Al-Azhar saat ini Prof. Ahmad Al-Thayyib;
“Pada tahun 60-an yang lampau, Syeikh Mahmud Syaltut sebagai Grand Syeikh Al-Azhar telah mengeluarkan sebuah fatwa yang membolehkan beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari. Dengan alasan di dalam pembahasan fikihnya lebih mendekati kepada Madzhab Ahlu Sunnah, kecuali ada perbedaan sedikit saja yang tidak menjadi alasan untuk melarang beribadah dengan memakai madzhab Ja’fari secara keseluruhan, seperti dalam hal shalat, puasa, zakat, haji dan muamalah. Akan tetapi fatwa ini tidak pernah dibukukan dalam Himpunan Fatwa Syaltut. Fatwa Syaikh Syaltut ini sebagaimana yang disebutkan tidak merambah ke permasalahan akidah dan ushuluddin (pokok-pokok agama Islam) yang di dalamnya mengandung perbedaan yang sangat jelas antara Ahlu Sunnah dengan Syi’ah. Contohnya dalam hal imamah, 12 imam Syi’ah, kemaksuman imam, pengetahuan mereka terhadap hal gaib dan kedudukan mereka yang tidak ada yang bisa mencapainya walaupun oleh malaikat yang sangat dekat (dengan Allah SWT) dan tidak juga oleh nabi yang diutus. Mereka beranggapan bahwa masalah ini adalah masalah penting yang termasuk masalah ushuluddin. Tidak sah iman dan Islam seseorang kecuali dengan mengimani masalah ini. Orang yang menolaknya dianggap kafir, akan kekal di neraka. Juga contoh lainnya yaitu akidah orang-orang Syi’ah terhadap para sahabat dan hal-hal lainnya yang mereka anggap sebagai pokok-pokok agama mereka.
Di samping itu, kami belum pernah menemukan ada orang Syi’ah yang membalas kebaikan dengan kebaikan atau ada yang menjawab salam dengan jawaban yang lebih baik atau dengan salam serupa. Sebab tidak ada dari para ulama senior Syi’ah yang selevel dengan Syaikh Syaltut di kalangan Ahlu Sunnah, baik yang berada di Qum maupun di Najaf yang mengeluarkan fatwa bagi para pengikutnya bahwa boleh beribadah dengan menggunakan madzhab Ahlu Sunnah, meskipun mereka itu (Ahlus Sunnah) tidak perlu hal ini.”
Syeikh Qardhawi dalam fatwanya juga meluruskan makna ‘Taqrib’ agar tidak menjadi bias dan kamuflase terhadap upaya penyebaran ajaran Syiah;
“Seluruh peserta muktamar taqrib madzhab dan putusannya mengatakan bahwa pendekatan itu (terjadi) antar madzhab di dalam Islam. Menurut saya bahwa maksud dari ungkapan ini tidak pas. Karena kalimat madzhab telah menjadi istilah yang mapan bagi madzhab fikih Sunni yang empat yang sudah dikenal, yaitu Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah. Kemudian ditambah dengan madzhab Zhahiriyah juga Zaidiyyah, Ja’fariyyah dan Ibadhiyyah. Adapun perbedaan di antara madzhab-madzhab ini hanya berkisar di dalam masalah furu’ dan amaliah yang tidak sampai menyentuh permasalahan akidah, pokok-pokok keimanan dan ushuluddin (pokok-pokok agama). Maka perbedaan dalam masalah furu, fikih atau ibadah adalah bukan faktor yang berpengaruh di dalam hubungan antara Sunni dan Syi’ah. Sangat penting digarisbawahi bahwa perbedaan antara Sunni dan Syi’ah adalah perbedaan di dalam masalah akidah seperti yang telah saya jelaskan sebelumnya di dalam masalah pendekatan madzhab. Perbedaan dalam akidah inilah yang telah menjadi penyebab tumbuhnya berbagai macam golongan, seperti Mu’tazilah, Jabariyyah, Murji`ah, Syi’ah, Khawarij, Asy’ariyyah, Maturidiyyah, Salafiyyah dan lain-lainnya. Oleh karena itu, jika memungkinkan, aktifitas ‘Taqrib’ lebih tepat disebut sebagai pendekatan antar golongan/firqah (akidah) dan bukan pendekatan antar madzhab (fikih). Karena fikih tidak memerlukan pendekatan. Pun jika kita permudah istilah dengan menyatakan madzhab-madzhab, maka yang kita maksudkan disini adalah madzhab-madzhab akidah dan bukan mazhab-mazhab fikih.”
Lebih jauh al-Qardhawi dalam fatwanya itu, mengungkapkan perbedaan mendasar dalam hal pokok antara Sunni dan Syiah yang tak bisa disatukan.
“Contoh perbedaan di dalam masalah akidah, yaitu khususnya di dalam masalah imamah. Karena mereka (orang-orang Syi’ah) berkeyakinan bahwa imamah adalah pokok akidah mereka dan termasuk ke dalam rukun akidah mereka. Sedangkan kita (Ahlu Sunnah) menganggapnya hanya sebagai furu’ (cabang) saja dan bukan ushul; atau termasuk amaliyah dan bukan sebagai akidah. Akan tetapi imamah di dalam ajaran Syi’ah merupakan pokok ajaran mereka. Karena pokok ajaran mereka bersandar kepada: Al-Washiyah (wasiat politik kepada Ali), Al-Imamah (kepemimpinan Ali dan keturunannya), Al-Ghaibah (masa menghilangnya imam ke-12) dan Ar-Roj’ah (kembalinya Al-Mahdi ke dunia sebelum kiamat untuk menumpas musuh-musuh imam Ahlul Bait). Ajaran Syi’ah menyebutkan masalah imamah dengan sangat tegas. Mereka mengatakan barangsiapa yang tidak beriman kepada imamah ini, maka tidak dianggap sebagai orang yang beriman. Mereka juga mengatakan bahwa imamah ini berasal dari Rasulullah SAW, yang dimulai dari Ali RA kemudian dikuti oleh sebelas imam setelah Ali RA. Di dalam kitab Ushul Al-Kafi dari Abi Ja’far (Al-Baqir) bahwasanya dia telah berkata, “Islam itu dibangun di atas 5 dasar: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (kekuasaan). Tidak ada rukun yang lebih ditekankan kecuali rukun al-wilayah ini. Akan tetapi manusia hanya mengambil empat perkara dan mereka meninggalkan rukun ini, yaitu al-wilayah.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Dari Zurarah dari Abu Ja’far dia berkata, ”Islam itu dibangun di atas lima perkara: Shalat, zakat, haji, puasa dan al-wilayah.” Zurarah berkata: Aku bertanya kepadanya: ”Manakah di antara semua itu yang paling utama?” Abu Ja’far menjawab, ”Al-wilayah lebih utama, karena al-wilayah adalah kunci dari semua rukun itu.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18). Al-Kulaini meriwayatkan dengan sanadnya dari Ash-Shadiq (AS) bahwasanya beliau bersabda, ”Dasar Islam itu ada tiga: Shalat, zakat dan al-wilayah. Tidak sah salah satu dari ketiga rukun ini kecuali dengan menyertakan dua rukun lainnya.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 18).
Di dalam masalah al-wilayah tidak ada rukhshah (keringanan). Dari Abu Abdullah dia berkata,
”Sesungguhnya Allah telah mewajibkan lima perkara kepada umat Nabi Muhammad SAW: Shalat, zakat, puasa, haji dan wilayah (pemerintahan) kami. Allah telah memberikan keringanan di dalam rukun yang empat. Akan tetapi Allah tidak memberikan keringanan kepada seorang muslim pun di dalam hal meninggalkan wilayah (pemerintahan) kami. Tidak, demi Allah. Sesungguhnya tidak ada keringanan di dalam masalah al-wilayah.” Dalam sebuah riwayat disebutkan, ”Islam dibangun atas: Bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bersaksi bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat, membayar zakat, puasa di bulan ramadhan, melaksanakan ibadah haji ke baitullah dan wilayah (pemerintahan) Ali bin Abi Thalib.” (Ushul Al-Kafi, jilid 2 hal. 21).
Bahkan pada kenyataannya mereka (orang-orang Syi’ah) tidak hanya berpegang kepada masalah al-wilayah (pemerintahan Ali) saja. Justru mereka melampauinya sampai ke taraf uluhiyah (ketuhanan). Akhirnya mereka menganggap Ahlu Sunnah bukanlah orang-orang yang beriman kepada Tuhan yang diimani oleh Syi’ah. Inilah salah satu titik perbedaan yang paling mendasar. Ni’matullah Al-Jazairi (wafat 1212 H) misalkan di dalam kitab Al-Anwar An-Nu’maniyyah menulis tentang Ahlu Sunnah wal Jama’ah, ”Sesungguhnya kami tidak bisa bertemu dengan mereka (Ahlu Sunnah) di dalam satu tuhan dan tidak dalam satu nabi dan satu imam. Hal ini dikarenakan mereka (Ahlu Sunnah) berkata, ”Sesungguhnya Rabb mereka adalah yang Muhammad sebagai nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya. Akan tetapi kami tidak mengatakan dengan tuhan ini dan tidak juga dengan nabi itu. Akan tetapi kami mengatakan, ”Sesungguhnya tuhan yang khalifahnya (yang benar: Khalifah nabinya) adalah Abu Bakar adalah bukan tuhan kami dan nabi itu juga bukan nabi kami.” (Al-Anwar An-Nu’maniyah jilid 2 hal. 279, cetakan Yayasan Al-A’lami Beirut Libanon).”
Demikian uraian yang dapat penulis ketengahkan kepada pembaca sekalian mengenai sikap institusi ilmiah terbesar Sunni yaitu Al-Azhar Al-Syarif melalui berbagai pernyataan dan pemikiran fatwa para tokoh kuncinya yaitu Prof. Dr. Ahmad Al-Thayyib dan Prof. Dr. Yusuf Al-Qaradhawi.
Pandangan kedua tokoh Muslim terkemuka itu sangat patut dipertimbangkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat dan Daerah, tokoh-tokoh cendekiawan serta Ormas-ormas Islam di Indonesia, bahkan oleh jajaran Pemerintah Republik Indonesia untuk menyikapi perkembangan Syiah dan infiltrasinya melalui jalur pendidikan dan beasiswa serta penerbitan yang menyerang ajaran Sunni di Indonesia, agar kehidupan keagamaan berlangsung harmonis demi kokohnya NKRI yang islami dan didukung seluruh elemen umat Islam.*
Komisi Pengkajian MUI dan Majelis Tarjih PP Muhammadiyah


Propaganda Syiah dan “Risalah Amman”

Oleh: Abu Muhammad Waskito

SETELAH sebelumnya di koran Republika terjadi polemik sengit antara tokoh Syiah (Haidar Bagir) dan tokoh-tokoh Ahlus Sunnah (Muhammad Baharun, Fahmi Salim, dan Kholili Hasib); pada tanggal 9 Februari 2012, masih di Republika, sebuah lembaga bernama Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YMIB) menurunkan publikasi besar dengan judul, Melawan Politik Adu Domba dengan Persatuan Umat. Publikasi ini didukung Radio Iran, IRIB versi Indonesia; dimuat setengah halaman sebagai iklan, di Republika edisi hari itu, halaman 2.

Di bawah ini kami sebutkan isi lengkap publikasi dari YMIB tersebut; di dalamnya kami berikan catatan kaki sebagai penjelasan, agar kaum Muslimin bisa membedakan antara kebenaran dan kebathilan. 

Melawan Politik Adu Domba dengan Persatuan Umat

“Menyimak berbagai persilangan pendapat mengenai mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang belakangan ini, khususnya tanda-tanda penggunaan kekerasan yang mengancam keutuhan bukan hanya umat Islam, melainkan bangsa Indonesia dan NKRI secara keseluruhan, kami dari Yayasan Muslim Indonesia Bersatu (YMIB) merasa perlu berbagi sejarah pendekatan antar mazhab dalam Islam khususnya antara mazhab Ahlus-Sunnah dan Syi’ah.” 

Catatan 1: 

Retorika membenturkan gerakan Islam dengan negara (NKRI) sudah dipakai sejak zaman Orde Baru, ketika LB, Moerdani menguasai militer. Seakan, setiap umat Islam menuntut hak-nya, ia selalu dicurigai ingin “meruntuhkan NKRI”. Dalam kasus Sampang, warga NU marah karena penistaan-penistaan agama yang dilakukan oleh Tajul Muluk dan kawan-kawan. Selalu ada penyulut kekerasan itu. Dalam kasus di Puger Jember, seorang ustadz NU bernama Fauzi terkena bacokan dari aktivis-aktivis Syiah yang ingin menggagalkan acara kajian seputar kesesatan Syiah dengan menghadirkan Habib Muhdhor Al Hamid yang dikenal tegas kepada Syiah. Baca artikel, Pengikut Syiah Mengamuk, Aktivis NU Kena Bacok, situs Voa-islam, 31 Mei 2012]. 

Sesungguhnya inisiatif-inisiatif seperti ini sudah terjadi sejak berabad-abad yang lalu, bahkan telah melahirkan karya-karya besar dalam kedua mazhab besar Islam ini. 

Catatan 2: 

Ibnu Hazm Az Zhahiri t ketika disebutkan perkataan orang Nashrani, beliau berkata, “Sedangkan perkataan mereka –Nashrani- yang mendakwahkan bahwa orang Rafidhah telah mengubah Al Qur`an, maka sesungguhnya orang-orang Rafidhah itu bukan bagian dari kaum Muslimin; mereka adalah firqah buatan yang awal-awal muncul setelah wafatnya Rasulullah e, sekitar 25 tahun kemudian… Ia adalah kelompok yang mengalir seperti mengalirnya Yahudi dan Nashrani dalam hal kebohongan dan kekufuran.” (Al Fashlu fil Milal wan Nihal, juz 2, hlm. 213]. 

"Tapi, yang mungkin belum banyak diketahui adalah aktivitas-aktivitas ke arah yang sama di abad 20 dan abad 21 ini. Khususnya terkait dengan upaya-upaya pendekatan mazhab yang dilakukan secara intensif di Mesir, baik di kalangan gerakan Ikhwanul-Muslimin maupun Al-Azhar. Puncaknya adalah deklarasi yang belakangan disebut sebagai Risalah Amman, yang ditandatangani di ibukota Yordania ini," demikian kutip YMIB di Republika.

Catatan 3: 

Al Azhar, Ikhwanul Muslimin, Hasan Al Banna, dll. mereka bagian dari Islam; tetapi mereka bukan satu-satunya suara yang mewakili kaum Muslimin. Sudah sangat dikenal tentang salah satu definisi Ahlus Sunnah, yaitu: “Wa amma al ma’na al aam li ahlis Sunnah wal jama'ah fa yadkhulu fihi jami’ul muntasibina ilal Islam, maa ‘aada ar rafidhah” (dan makna umum Ahlus Sunnah wal Jama'ah masuk ke dalamnya siapa saja yang mengikatkan dirinya dengan Islam, selain orang Rafidhah atau Syiah). [Al Wajiz Fi Aqidatis Salafis Shalih, karya Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsari, hlm. 34]. Karena itu sangat dikenal dua istilah dikotomis ini: Ahlus Sunnah vs Syiah, atau Sunni vs Syi’i. Al Azhar, Ikhwanul Muslimin, Hasan Al-Banna, dll. tidak bisa mengubah kesepakatan umat ini].

Ceritanya bermula dengan Imam Syahid Hasan Al-Banna, pembawa panji gerakan Islam terbesar era modern, Al-Ikhwan Al-Muslimun. Dalam kegigihan beliau memperjuangkan Islam, beliau termasuk salah satu tokoh ide pendekatan antarmazhab dan berperan-serta dalam aktivitas Jama’ah Taqrib Baina Al-Mazhahib Al-Islamiyah di Kairo. Mengenai hal ini, salah satu pemikir Ikhwanul Muslimin Ustad Salim Bahansawi dalam bukunya berkata: “Sejak Jama’ah Taqrib Antarmazhab didirikan, dan Imam Hasan al-Banna dan Ayatullah Qummi berperan dalam pendiriannya, kerja sama antara Ikhwanul Muslimin dan Syiah tercipta.” [Limaza Ightala Hasan al-Banna, cetakan pertama, Darul I’tisham, hal. 32; yang dikutip dalam buku Al-Sunnah Al-Muftara ‘Alaiha, karya Ustadz Salim al-Bahansawi, cetakan Kairo, hal. 57].

Catatan 4

Sekali lagi, sikap Syaikh Hasan Al Banna t itu tidak mewakili suara kaum Muslimin di dunia. Ia hanya mewakili sikap Ikhwanul Muslimin, atau diri beliau sendiri. Sejujurnya, dalam dakwah Jama'ah Tarbiyah (Al Ikhwan al Muslimun) di Indonesia, pada periode 80-an sampai 90-an; sikap mereka sangat tegas kepada Syiah. Justru saya pribadi belajar banyak dari sikap mereka. Bahkan Dr. Hidayat Nur Wahid, dikenal sebagai pakar akidah, khususnya tentang sekte Syiah]. 

Dalam hubungan ini, Dr. Abdulkarim Zaidan, salah satu pemimpin penting Al Ikhwan al Muslimun Iraq menulis:  “Mazhab Ja’fari ada di Iran, Iraq, India, Pakistan, Libanon dan Suriah atau negara-negara lainnya. Perbedaan antara fikih Ja’fari dan mazhab lainnya tidak lebih dari perbedaan antara satu mazhab dengan mazhab lainnya (dalam mazhab Sunni).” [Al-Madkhal li al-Dirasah al-Syariah al-Islamiyyah, hal. 128].

Catatan 5

Tidak mungkin kalau perbedaan antara Ahlus Sunnah dengan Syiah, hanya semisal perbedaan antara madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali. Andaikan demikian, maka Ahlus Sunnah sejak lama akan sepakat dengan “Madzhab Lima Imam”.

Buktinya hal itu tidak ada dalam Islam. KH. Hasyim Asyari dalam konsep teologi NU-nya, mengklaim bahwa madzhab dalam Islam hanya 4 saja, tanpa madzhab Ja’fari di dalamnya. Berikut ucapan Imam Syafi’i  yang menjadi rujukan kaum Muslimin Nusantara, “Aku tidak mengetahui satu pun dari pengikut hawa nafsu yang lebih dusta dalam dakwaannya, tidak aku saksikan dalam  kepalsuannya, dari kaum Rafidhah.” (Disebutkan dalam Al Ibanah Al Kubra, juz 2, hlm. 545; dan Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah, juz 8, hlm. 499). Pendapat Ustadz Abdul Karim Zaidan tidak bisa menafikan pendapat Imam Syafi’i t ].

Sementara itu, Ustadz Bahansawi, dalam kitabnya yang sama, membantah bahwa Syiah memiliki Qur’an yang berbeda dengan menyatakan:  “Qur’an yang ada di kalangan Ahli Sunnah adalah Qur’an yang ada di masjid dan di rumah-rumah orang Syiah.” Dia juga berkata: “Syiah Ja’fari (12 Imam) meyakini bahwa barang siapa yang men-tahrif Quran ... adalah kafir.”

Catatan 6

UCAPAN Al Bahnasawi ini terburu-buru, atau punya tendensi tertentu. Syeikh Musa bin Jarullah Al Turkistani Al Qazani Ar-Rusi, seorang ulama Ahlus Sunnah asal Rusia. Saat Rusia jatuh ke tangan paham atheis, beliau meninggalkan negaranya dan memilih tinggal di negeri Muslim. Beliau berpindah-pindah dari India, Saudi, Mesir, Iran, dan Iraq. Beliau telah mengkaji kitab-kitab asli Syiah, tinggal di tengah orang Syiah, masuk masjid, perayaan-perayaan, taklim, sekolah-sekolah, ruang-ruang belajar, dll.


Beliau benar-benar hadir di tengah-tengah kaum Syiah dalam rangka mencari jalan persatuan Ahlus Sunnah dan Syiah. Setelah sekian lama, beliau simpulkan, ajaran Syiah sangat bertentangan dengan dasar-dasar akidah Ahlus Sunnah; mereka meyakini Al-Qur`an telah diubah. (Baca Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, karya Prof.Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, Maret 2012, hlm. 466-470).



Apa yang dikatakan Syeikh Musa Jarullah ini lebih obyektif, karena beliau sudah mengkaji kitab-kitab Syiah, pernah tinggal di Iran dan Ira; semua itu semula berdasarkan niatan baik menyatukan Ahlus Sunnah dan Syiah].


Berpindah ke Al-Azhar, Syeikh Muhammad Abu Zahrah, seorang ulama terkemuka universitas ini, berkata dalam kitab Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah (hal. 52):

“Tidak bisa disangkal lagi bahwa Syiah adalah salah satu firqah Islam. Tentu saja kita harus memisahkan firqah Sabaiah yang mengakui Ali sebagai Tuhan (yang jelas dalam Syi’ah pun dianggap kafir). Dan tidak bisa diragukan lagi bahwa seluruh akidah Syiah berdasarkan nash al-Qur’an atau hadis-hadis yang dinisbahkan kepada Nabi.”



Catatan 7

Ucapan Syeikh Muhammad Abu Zahrah ini tidak benar. Bagaimana bisa akidah Syiah berdasarkan Al Qur`an dan Sunnah, sedangkan mereka mencaci-maki istri-istri Nabi Radhiyallahu ‘Anhunna; mereka mencaci-maki dan mengkafirkan para Sahabat; mereka mensifati imam-imam Syiah sebagai manusia makshum; mereka menghalalkan kawin mut’ah, dll? Ulama-ulama Ahlus Sunnah banyak membahas masalah kesesatan firqah Syiah ini.



Cukuplah ucapan Abdul Qahir Al Baghdadi, yang kitabnya menjadi rujukan Asy’ariyah, Maturidiyah, Salafiyah, serta lainnya sebagai penjelas yang tak membutuhkan takwil lagi,



“Sedangkan para pengikut hawa nafsu dari kalangan Al Jarudiyah, Al Hisyamiyah, Al Jahmiyah, dan Al Imamiyyah yang mereka itu telah mengkafirkan sebaik-baik Sahabat…maka kami mengkafirkan mereka, di kalangan kami tidak diperbolehkan menshalatkan mereka (kalau mati –pen.) dan tidak boleh shalat di belakang mereka (menjadi makmum –pen.).” [dalam Al Farqu Bainal Firaq, hlm. 357].



Sekarang, saatnya kita mendengar pandangan Mahmud Syaltut, Syeikh Al-Azhar yang paling terkemuka dalam sejarah-modern institusi ini. Setelah “menganalisa fikih mazhab-mazhab Islami dari Sunni sampai Syiah, berlandaskan dalil dan argumentasi, serta tanpa mengedepankan fanatisme kepada ini dan itu”, beliau memfatwakan:



“Mazhab Ja’fari yang terkenal dengan mazhab Syiah 12 Imam, adalah mazhab yang sama seperti mazhab Ahlus-Sunnah, beribadah dengan mazhab tersebut dibolehkan dalam syariat. Kaum Muslimin harus mengetahui hal ini dan terbebas dari fanatisme yang salah berkaitan dengan mazhab tertentu, sebab agama dan syariat Allah tidak tergantung pada satu mazhab khusus atau terbatas pada satu mazhab saja. Karena semua telah berjtihad dan, karena itu, mereka diterima di sisi Allah.” Belaiu melanjutkan: “… (kita) melihat bahwa jarak antara Syiah dan Sunni sama seperti jarak antara fikih mazhab Abu Hanifah, Maliki atau Syafii.” 



Catatan 8



Ini adalah ucapan umum yang perlu dijelaskan lagi, agar tidak menjadi fitnah bagi umat. Prof. Dr. Ali Ahmad As-Salus, seorang pakar fikih di Universitas Syariah, Qatar. Saat kuliah pasca sarjana di Daarul Ulum Kairo, beliau mendapati dosennya, Syeikh Muhammad Al Madini, kerap menjelaskan bahwa Syiah tidak berbeda dengan madzhab yang empat, sehingga Syiah bisa dianggap sebagai madzhab kelima. Kebetulan dosennya, Syeikh Al Madini, juga anggota Lembaga Pendekatan Antarmadzhab (Taqrib Bainal Madzahib). Selama lebih 30 tahun Prof. As-Salus mengkaji literatur-literatur Syiah, dan bergaul dengan tokoh-tokoh Syiah. Bahkan tesis beliau membahas perbandingan fikih antara Syiah dengan madzhab yang empat.


Berikut perkataan Syeikh As-Salus; “Tetapi setelah melakukan penelitian dan kajian, dimana saya membaca secara intensif karya-karya dan buku-buku mereka, lalu saya mendapatkan suatu hal yang amat berbeda dari apa yang diilustrasikan oleh para penganjur dan pendukung upaya pendekatan madzhab Ahlus Sunnah dan Syiah. Kepercayaan Syiah terhadap konsep Imamah dan semua yang dibangun di atas itu, pada dasarnya menghambat dan menghalangi suatu (upaya) pendekatan. Karena akidah mereka tidak lain kecuali memfitnah dan menistakan manusia-manusia terbaik yang dilahirkan untuk manusia, yaitu para Sahabat." [Ensiklopedi Sunnah-Syiah, karya Prof. Ali Ahmad As-Salus, jilid 1, hlm. 1-7. Jakarta, Pustaka Al Kautsar, Agustus 2011. Judul kitab asli, Ma’as Syi’ah Al Itsna Al ‘Asyariyah fil Ushul wal Furu’: Mausu’ah Syamilah].

Di masa belakangan ini kita juga dapat menemukan berlimpah kesaksian dari para ulama Sunni tentang keabsahan berbagai mazhab dalam Islam. Yang paling penting di antaranya adalah kesaksian sedikitnya 146 ulama besar, cendekiawan Muslim, dan otoritas-keagamaan lainnya  –termasuk para mufti dan pejabat resmi keagamaan- dari sedikitnya 48 negara, yang diberi nama Risalah ‘Amman. 

Di antara pokok isinya adalah: “Siapa saja yang mengikuti dan menganut salah satu dari empat mazhab Ahlus Sunnah (Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali), dua mazhab Syiah (Ja’fari dan Zaydi), mazhab Ibadhi, dan mazhab Zhahiri adalah Muslim. Tidak diperbolehkan mengkafirkan salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas. Darah, kehormatan dan harta benda salah seorang dari pengikut/penganut mazhab-mazhab yang disebut di atas tidak boleh dihalalkan."

Catatan 9

Para ulama ini setinggi apapun kedudukan mereka, dari sisi keagamaan maupun duniawi; sebanyak apapun jumlah mereka; mereka tidak bisa melampaui kedudukan Imam Bukhari  dalam Islam. Lalu apa kata Imam Bukhari tentang kaum Rafidhah (Syiah Imamiyah)? Berikut perkataan beliau; “Aku tidak bedakan apakah aku shalat di belakang seorang Jahmi atau Rafidhi, atau aku shalat di belakang Yahudi dan Nashrani. Mereka tidak diberikan salam, tidak didatangi (undangannya), tidak dinikahkan (dengan wanita-wanita kaum Muslimin), tidak dijadikan saksi, tidak dimakan sembelihannya.” [Khalqu Af’alil Ibad, hlm. 125].

Lebih lanjut, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti akidah Asy’ari atau siapa saja yang mengamalkan tasawuf (sufisme). Demikian pula, tidak diperbolehkan mengkafirkan siapa saja yang mengikuti pemikiran Salafy yang sejati. Sejalan dengan itu, tidak diperbolehkan mengkafirkan kelompok Muslim manapun yang percaya pada Allah, mengagungkan dan mensucikan-Nya, meyakini Rasulullah (Shallallahu 'alaihi wassalam) dan rukun-rukun iman, mengakui lima rukun Islam, serta tidak mengingkari ajaran-ajaran yang sudah pasti dan disepakati dalam agama Islam. Ada jauh lebih banyak kesamaan dalam mazhab-mazhab Islam dibandingkan dengan perbedaan-perbedaan di antara mereka.

Catatan 10

Para ulama itu sudah tahu dan sangat tahu, bagaimana pokok-pokok ajaran Syiah. Mereka sudah tidak perlu lagi diajari. Hanya mungkin masalahnya, di antara ulama ada yang pura-pura tidak tahu, atau menutup mata dari hal-hal yang sudah jelas di depan mata.


Kalangan Salafiyah pasti tahu kitab Minhajus Sunnah karya Ibnu Taimiyah; kalangan Asy’ariyah pasti sudah tahu kitab Shawaiq Al Muhriqah karya Ibnu Hajar Al Haitami; bahkan dalam buku KH. Sirajuddin Abbas, I’tiqad Ahlus Sunnah, golongan Syiah dibahas pada bagian pertama.


Para pengikut/penganut kedelapan mazhab Islam yang telah disebutkan di atas semuanya sepakat dalam prinsip prinsip utama Islam (Ushuluddin). Semua mazhab yang disebut di atas percaya pada: “Satu Allah yang Mahaesa dan Mahakuasa; percaya pada Al-Qur’an sebagai wahyu Allah; dan bahwa Baginda Muhammad e adalah Nabi dan Rasul untuk seluruh manusia. Semua sepakat pada lima rukun Islam: dua kalimat Syahadat; kewajiban shalat; zakat; puasa di bulan Ramadhan, dan Haji ke Baitullah di Makkah. Semua percaya pada dasar-dasar akidah Islam: Kepercayaan pada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitabNya, para rasul-Nya, hari akhir, dan takdir baik dan buruk dari sisi Allah.


Perbedaan di antara ulama kedelapan mazhab Islam tersebut hanya menyangkut masalah-masalah cabang agama (furu’) dan tidak menyangkut prinsip-prinsip dasar (ushul) Islam. Perbedaan pada masalah-masalah cabang agama tersebut adalah rahmat Ilahi. Sejak dahulu dikatakan bahwa keragaman pendapat di antara ‘ulama adalah hal yang baik.


Catatan 11


Pendapat ini dibantah oleh Abdul Qahir Al Baghdadi dalam Al Farqu Bainal Firaq. “Bahwasanya Nabi menjelaskan tentang firqah tercela, yaitu firqah pengikut hawa nafsu yang menyelisihi Firqah An Najiyyah, dalam bab keadilan dan Tauhid; atau dalam janji dan yang dijanjikan; atau dalam qadar dan kemampuan; atau dalam masalah takdir baik dan buruk; atau dalam bab hidayah dan kesesatan; atau dalam bab keinginan dan  kehendak; atau dalam bab penglihatan dan pencapaian; atau dalam bab Sifat-sifat Allah U, Nama-nama dan Sifat-sifat-Nya; atau dalam bab di antara bab-bab seputar pujian dan pembolehan; atau dalam bab di antara bab-bab seputar kenabian dan syarat-syaratnya; atau dalam bab-bab semisal itu yang telah bersepakat Ahlus Sunnah wal Jama'ah, dari kalangan Ahlul Ra’yi dan Ahlul Hadits, di atas pokok yang satu. Menyelisihi mereka dalam hal itu, para pengikut hawa nafsu dari kalangan Qadariyah, Khawarij, Rafidhah, Najariyah, Jahmiyah, Mujassimah, Musyabbihah, dan siapa yang mengikuti firqah sesat. Maka  sesungguhnya kaum yang menyimpang dalam bab keadilan dan Tauhid, masalah kubur dan islaf (pinjaman), yang mendefinisikan ru’yah dan shifat, pujian dan pembolehan, dan syarat-syarat kenabian dan imamah; mereka satu sama lain saling mengkafirkan.” [Al Farqu Bainal Firaq, hlm. 3]].


Di antara para penandatangan Risalah Amman yang bertarikh 27-29 Jumadil Ula 1426 H (4-6 Juli 2005 M) adalah: Prof. Dr. Ali Jumu’a (Mufti Besar Mesir); Prof. Dr. Ahmad Muhammad Al-Tayyib (Rektor Universitas Al-Azhar); Prof. Dr. Mahmud Hamdi Zaqzuq (Menteri Agama Mesir); Dr. Yusuf Qardhawi (Ketua Persatuan Ulama Islam Internasional, Qatar); Dr. Muhammad Sa’id Ramadan Al-Buthi (Dai, Pemikir dan Penulis Islam, Syria); Prof. Dr. Syeikh Wahbah Mustafa Al-Zuhayli (Ketua Departemen Fiqih, Damascus University); Shaykh Dr. Ikrimah Sabri (Mufti Besar Al-Quds dan Imam Besar Masjid al-Aqsha); Syeikh Habib ‘Umar bin Muhammad bin Salim bin Hafiz (Ketua Madrasah Darul Mustafa, Tarim, Yaman); dan lain-lain. [Untuk daftar penandatangan selengkapnya, lihat website kami: www.muslim unity.com].


Catatan 12


Syeikh Mamduh bin Farhan Al Buhairi, pengasuh majalah Qiblati terbit di Malang, dalam salah satu tulisannya, beliau memuji Syeikh Al Qaradhawi yang akhirnya mengubah pandangannya tentang Syiah.


Pada awalnya Al-Qaradhawi pro dengan kampanye At-Taqrib antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Namun setelah melihat kekejaman kaum Syiah terhadap para pengungsi asal Palestina, beliau mengubah pandangannya.


Demikian juga dengan Dr. Mustafa As-Siba’i, seorang ulama Ikhwanul Muslimin di Libanon. Pada mulanya beliau sangat antusias dengan ide At-Taqrib. Berbagai usaha sudah beliau lakukan untuk merealisasikan ide pendekatan madzhab. Namun saat muncul buku Al-Murajaat karya Sharafuddin Al Mausawi, beliau merasa sangat terkejut ketika dalam buku itu terdapat hujatan-hujatan terhadap Abu Hurairah ra, bahkan beliau disebut kufur dan munafik.


As-Siba’i mengatakan: “Ide pendekatan madzhab yang dilontarkan oleh ulama-ulama Syiah secara keseluruhan, hanyalah basa-basi dalam sebuah pertemuan. Sementara mereka terus melakukan penghinaan terhadap para Sahabatydan berprasangka-buruk terhadap mereka. Mereka juga sangat meyakini kebenaran riwayat-riwayat yang ada dalam kitab-kitab pendahulu mereka. Mereka yang menyerukan pendekatan madzhab, akan tetapi mereka tidak memiliki jiwa pendekatan. Ide pendekatan itu sama sekali tidak ada pengaruhnya bagi ulama-ulama Syiah di Iraq dan Iran. Sehingga kelompok-kelompok Syiah di masing-masing daerah tetap berpegang-teguh kepada kitab-kitab para pendahulu mereka, yang berisi pencemaran nama baik dan gambaran penuh kebohongan terhadap para Sahabat y, yang berselisih pendapat. Seolah-olah, ide pendekatan madzhab dalam versi mereka, adalah mendekatkan golongan Ahlus Sunnah kepada ajaran Syiah.” (Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, hlm. 464-466). Kalimat terakhir As-Siba’i ini sangat mendasar, bahwa ide pendekatan madzhab pada hakikatnya ialah upaya menjadikan Ahlus Sunnah menjadi penganut Syiah].


Tentu saja mudah diduga bahwa para ulama terkemuka ini tak akan begitu gegabah mengeluarkan pernyataan-pernyataan mereka, tanpa terlebih dulu mempelajari dengan teliti seluruh dasar dan rincian mazhab-mazhab tersebut, termasuk tuduhan-tuduhan yang dilontarkan orang kepada mereka.

Catatan 13 

ULAMA-ULAMA kontemporer yang disebutkan itu tidak akan bisa menutupi pandangan Imam Ahmad bin Hanbal tentang Syiah Rafidhah. Berkata Al Khilal, mengabarkan kepadaku Abdul Malik bin Abdul Hamid, dia berkata: aku mendengar Abu Abdullah (Imam Ahmad) berkata: “Siapa yang mencaci (Sahabat) aku takut dia akan menjadi kufur seperti Rafidhah.” Kemudian beliau berkata: “Siapa yang mencaci Sahabat Nabi n, kami tidak merasa aman bahwa dia akan melesat keluar dari agama ini.” [As Sunnah lil Khilal, juz 2, hlm. 557-558]. Sebagian perkataan ulama ini kami ambil dari situs Khayma.com, dalam artikel berjudul: Ar-Rafidah as Syi’ah: Min Aqa’idi Rafidhah, Hiqdihim ‘ala Ahlis Sunnah, At-Taqiyyah, Ghadrihum, Bara’atu Ahlil Bait Minhum, Aqwalil Ulama. Sebagian lain kami himpun sendiri, bi idznillahil ‘Azhim]. 

Namun, yang tak kalah pentingnya, semua pernyataan bijak di atas tidak akan banyak manfaatnya, kecuali jika para pengikut mazhab-mazhab dalam Islam benar-benar dapat bersikap dan membawa diri sesuai dengan prinsip-prinsip persaudaraan Islam. 

Termasuk di dalamnya sikap menghormati keyakinan mazhab yang berbeda, mendahulukan persangkaan baik (husnuzh-zhan), juga kesediaan melakukan verifikasi (tabayun) dalam hal adanya tuduhan-tuduhan terhadap mazhab tertentu.

Catatan 14

Justru kata-kata seperti ini lebih tepat diarahkan ke kaum Syiah sendiri. Seperti disebut oleh Ustadz Adian Husaini dalam Solusi Damai Sunnah-Syiah, yang dimuat di jurnal Islamia, Republika, “Jika kaum Syiah mengakui bahwa kaum Sunni sebagai mazhab dalam Islam, seyogianya mereka menghormati Indonesia sebagai negeri Islam Sunni. Hasrat mensyiahkan Indonesia bisa berdampak buruk bagi masa depan negeri ini. …itulah jalan damai untuk Muslim Sunni dan kelompok Syiah.” (Jurnal Islamia Republika, 19 Januari 2012, hlm. 23). Fakta berbicara, dari tahun ke tahun, pemeluk Syiah semakin bertambah. Jika demikian, lalu siapa sebenarnya yang lebih agressif dan merasa paling benar sendiri?]. 

Yang terpenting di antaranya adalah tidak merasa benar sendiri dan menganggap keyakinan mazhab lain sebagai salah, apalagi kemudian merasa perlu mendakwahan mazhabnya serta berupaya mengubah keyakinan para pengikut mazhab lainnya.

Catatan 15:

Lebih penting lagi ialah hidup di atas kejujuran dan tidak menjadikan kedustaan sebagai agama. Termasuk tidak bermain-main data dan retorika, untuk mengelabuhi orang-orang awam dari kalangan Ahlus Sunnah. Harus dipahami dengan jelas, bahwa di kalangan Syiah, sudah dimaklumi bahwa mereka mengkafirkan kalangan Ahlus Sunnah, menghalalkan harta, kehormatan, dan darah Ahlus Sunnah. Ibnu Taimiyah v dalam Majmu’ Al Fatawa, juz 28, hlm. 261-262 menjelaskan, “Mereka (Rafidhah –pen.) mengkafirkan seluruh umat Muhammad, mulai dari yang awal hingga akhir. Mereka mengkafirkan semua orang yang meyakini kelurusan Abu Bakar, Umar, kaum Muhajirin, dan kaum Anshar. Mereka juga mengkafirkan orang yang meridhai hal itu, atau orang yang memohonkan ampunan untuk mereka kepada Allah, sebagaimana yang Allah  perintahkan. Karena itulah mereka mengkafirkan tokoh-tokoh umat Islam seperti Said bin Musayyib, Abu Muslim Al-Khaulani, Uwais Al-Qarni, Atha’ bin Abi Rabbah, dan Ibrahim An Nakh’i. Begitu juga dengan Malik, Al Auza’i, Abu Hanifah, Hammad bin Zaid, Hammad bin Salamah, Ats-Tsauri, As-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Fudhail bin Iyadh, Abu Sulaiman Ad-Darani, Ma’ruf Al-Kurkhi, Al Junaid bin Muhammad, Sahl bin Abdullah At-Tasatturi, dan tokoh-tokoh lainnya. Kaum Syiah Rafidhah berkeyakinan bahwa kekafiran mereka yang disebutkan tadi itu, jauh lebih berat dibandingkan kekafiran Yahudi dan Kristen. Sebab kaum Yahudi dan Kristen itu –menurut mereka- kafir asli atau sejak awal. Sedangkan mereka adalah kafir karena murtad. Kekafiran karena murtad jauh lebih berat dibandingkan kafir asli, menurut kesepakatan ulama. Sampai-sampai mereka berpendapat bahwa Abu Bakar, Umar, mayoritas kaum Muhajirin dan Anshar, para istri Rasulullah, seperti Aisyah, Hafshah, para pemimpin dan umat Islam secara umum, tidaklah beriman kepada Allah sama sekali. Pasalnya, keimanan yang diikuti dengan kekufuran, tidaklah diterima dan tidak sah.” (Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, hlm. 178-179).

Sekarang masalahnya, kita lebih percaya kepada Ibnu Taimiyah atau kepada pengurus YMIB itu?]. 

Akhirnya, marilah kita tutup seruan kerukunan umat ini dengan mendengar peringatan dari 2 tokoh besar dalam kedua mazhab Islam ini. 

Ustad Anwar Jundi dan kitabnya Al-Islam wa Harikah al-Tarikh berkata: “Sejarah Islam penuh dengan pertentangan dan perseteruan pikiran serta pertikaian politik antara Ahli Sunnah dan Syiah. Para agressor asing sejak Perang Salib sampai sekarang selalu berusaha memanfaatkan pertentangan ini dan memperdalam pengaruhnya agar persatuan dunia Islam tidak terwujud.”

Sementara itu, Imam Khomeini dalam salah satu khutbahnya menyatakan: “Tangan-tangan kotor yang telah menciptakan pertentangan di dunia Islam antara Sunni dan Syiah… Mereka adalah perpanjangan tangan imperialis yang ingin berkuasa di negara-negara Islam. Mereka adalah pemerintahan-pemerintahan yang ingin merampok kekayaan rakyat kita dengan berbagai tipuan dan alat dan menciptakan pertentangan [dengan nama Syiah dan Sunni.” 

Catatan 16

Sebenarnya, kalau kaum Muslimin jeli membaca sejarah, mereka akan tahu, siapa yang sangat beringas dalam sejarah Islam? Siapa yang membuka pintu bagi Tartar untuk menghancur-leburkan Dinasti Abbassiyah di Baghdad? Siapa yang membangun Dinasti Shafawid dan Fathimiyah, yang selalu memusuhi Ahlus Sunnah (Abbassiyah, Saljuqiyah, Ayyubiyah)? Siapa yang dibersihkan oleh Shalahuddin Al Ayyubi dari barisannya? Siapa yang beraliansi dengan Portugis dan Inggris dalam rangka memerangi Dinasti Turki Utsmani? Semua itu dilakukan oleh Syiah Rafidhah yang meyakini kekufuran Ahlus Sunnah.

Bukan hanya di masa lalu, di era modern makar Syiah juga terus-menerus menimpa Ahlus Sunnah. Syiah Rafidhah telah menindas kaum Ahlus Sunnah di Iran dan membunuhi ulama-ulamanya. Mereka kini menguasai Libanon dan menyingkirkan pengaruh Ahlus Sunnah di sana. Mereka menjerumuskan para pejuang Palestina (Hamas) dalam aliansi yang sangat merugikan. Mereka selalu memicu kerusuhan di Karachi Pakistan. Aliansi Syiah di bawah Jendral Rasyid Dustum, memerangi pemerintahan Burhanuddin Rabbani dan Thaliban, di Afghanistan. Syiah di Iraq menindas kaum Ahlus Sunnah dan berambisi menjadikan Iraq sebagai basis Syiah murni (pasca kekuasaan Saddam Husain). Syiah Nushairiyah di Suriah sejak era Hafezh Assad sampai Bashar Assad, telah membantai ratusan ribu kaum Muslimin, dan hendak menjadikan umat Islam sebagai orang-orang musyrik yang menyembah Bashar Assad. Wal ‘iyadzu billah. Syiah Houti di Yaman menyerang markas Muslim Sunni di Dammaj, Yaman. Syiah selalu membuat manuver di Bahrain, Saudi Timur, juga di Mesir, untuk melakukan destabilisasi.

Tokoh Syiah mengklaim, bahwa tidak mungkin Amerika akan bisa masuk ke Afghanistan dan Irak, tanpa bantuan mereka. Singkat kata, tidak ada sejarah perdamaian, kerukunan, atau persatuan di antara Ahlus Sunnah dan Syiah. Mayoritas sejarahnya berisi permusuhan, perang, dan penindasan terhadap Ahlus Sunnah. Kaum Syiah adalah manusia-manusia yang sangat bahaya.

Ibnu Taimiyah;  berkata tentang Syiah, “Mereka adalah yang paling jahat dari umumnya pengikut hawa nafsu, dan lebih berhak diperangi daripada Khawarij.” (Majmu’ Al-Fatawa, juz 28, hlm. 482). Abu Hamid Muhammad Al Maqdisi t berkata, “Tidak tersembunyi bagi siapa saja yang memiliki ilmu dan pemahaman dari kalangan Muslimin, bahwa banyak yang mendahului kami dalam bab ini, seputar akidah-akidah kelompok Rafidhah ini yang menyelisihi tulisan-tulisannya (ulama Salaf –pen.) ia kafir secara jelas, yang menentang karena jahil dihukumi keji, tidak berhenti ulama mengkafirkan mereka dan menghukumi mereka telah melesat keluar dari agama Islam.” (Risalah fir Raddi ‘alar Rafidhah, hlm. 200)]. 

Inilah juga pesan Risalah Amman: “...kita mengajak seluruh Muslim untuk tidak membiarkan pertikaian di antara sesama Muslim dan tidak membiarkan pihak-pihak asing mengganggu hubungan di antara mereka.” Semoga Allah. selalu memberikan hidayah dan ‘inayah-Nya kepada umat Islam di seluruh dunia. 

Catatan 17

Sebuah hakikat yang harus dipahami oleh kaum Muslimin. Pertama, dalam pertemuan Rabithah Ulama Muslimin di Istanbul Turki, 27-28 Rabi’ul Awwal 1432 H (pertengahan Maret 2011; Risalah Amman keluar pada 4-6 Juli 2005), mereka mengingatkan bahaya aliansi strategis antara pemerintah Iran, Hizbulah Libanon, pemerintah Suriah, dan Syiah Irak. Kalau direnungkan, aliansi ini seperti “benteng negara-negara” yang melingkar untuk mengamankan posisi Israel dari jangkauan para pejuang Ahlus Sunnah. Cermati itu!!!

Kedua, penyebaran ajaran Syiah Rafidhah di negeri-negeri Ahlus Sunnah akan menghasilkan manusia-manusia yang toleran terhadap missi Zionis dan penjajahan Yahudi. Tidak berlebihan jika gerakan semacam itu didukung oleh negara-negara Barat. Dan selamanya, Amerika tidak akan pernah menyerang Iran, karena mereka satu kepentingan, dalam mengamankan posisi Israel. Fa’tabiru ya ulil abshar!!!]. 

Beretorika 

Sejak awal kaum Syiah pandai dalam retorika. Mereka lihai dalam mengelabui umat Islam dengan retorika-retorika memukau. Jalaluddin Rahmat sendiri dikenal sebagai sosok pakar komunikasi. Dalam publikasi yang disiarkan oleh YMIB lewat Republika itu judulnya sangat menohok: “Melawan Politik Adu Domba dengan Persatuan Umat”. Seolah, kaum Syiah sangat pro persatuan umat dan mereka mengingatkan kaum Muslimin agar tidak mudah diadu-domba.

Masalahnya, secara keyakinan, konsep ideologi, simbol-simbol sosial, fakta sejarah masa lalu dan sejarah kontemporer; justru kaum Syiah selalu membuat onar di Dunia Islam.

Di manapun mereka mendapati eksistensi Ahlus Sunnah, mereka akan mencurahkan segala energi dendam dan kedengkiannya. Hanya saja, semua itu dibalut retorika-retorika manis misalnya: persatuan umat, ukhuwwah Islamiyyah, pendekatan madzhab, dll. Mereka selalu dan selalu menyembunyikan bara dendam dan permusuhannya, di balik penampilan indah dan ramah.

Kami tidak henti-henti mengingatkan kaum Muslimin Ahlus Sunnah di Nusantara, agar mereka istiqamah, sadar diri, dan selalu waspada menghadapi kaum Rafidhah ini. Dimanapun Rafidhah memiliki kekuatan kecil, mereka akan berlindung di balik ukhuwwah, persatuan, dan pendekatan madzhab. Namun bila mereka telah memiliki kekuatan, kehidupan Ahlus Sunnah tidak akan mereka biarkan tenang, damai, dan selamat. Nas’alullah al ‘afiyah lana wa li sa’iril Muslimin, zhahira wa bathina, fid dini wad dunya wal akhirah. Allahumma amin ya Hafizh.

Berbagai prahara kehidupan yang telah menimpa kaum Ahlus Sunnah di Suriah, Iraq, Afghanistan, Libanon, Yaman, Pakistan, dan lainnya, hendaknya semua itu menjadi pelajaran besar yang tidak diremehkan. Kita jangan terpengaruh oleh perkataan para tokoh pro-liberal maupun pro-Syiah yang meremehkan tantangan kaum Syiah Rafidhah ini.

Cukuplah peristiwa Sampang Madura dan pembacokan ustadz NU di Puger Jember, menjadi warning bagi kita semua, bahwa Syiah Rafidhah selalu menyimpan dendam membara terhadap Ahlus Sunnah. Jika terhadap Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Hafshah, Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Imam Malik, Imam Syafi’i, dan lainnya y, mereka berani mencaci-maki, menghujat, dan melaknat; apalagi terhadap kita yang tidak memiliki apa-apa dibandingkan para Sahabat dan ulama-ulama mulia itu?

Ibnu Taimiyah v berkata, “Hendaklah setiap orang yang berakal, menyaksikan apa yang terjadi pada masanya. Hampir pada setiap masa, ketika terjadi huru-hara, keburukan, dan kerusakan dalam Islam, kebanyakan berasal dari Rafidhah. Anda pasti bisa melihat, bahwa mereka adalah orang yang paling banyak melakukan huru-hara dan keburukan. Mereka tidak akan tinggal diam, selama mereka masih mampu berbuat huru-hara, kekejian, serta menebarkan kerusakan di antara umat.” [Khawarij dan Syiah dalam Timbangan Ahlus Sunnah wal Jamaah, hlm. 463. Dikutip oleh penulisnya, Prof. Dr. Ali Muhammad Ash-Shalabi, dari Minhajus Sunnah, juz 3, hlm. 243].  

Wahai Rabb kami, janganlah Engkau gelincirkan hati-hati kami (kepada kesesatan), setelah Engkau berikan petunjuk kepada kami. Anugerahkan kepada kami dari sisi-Mu berupa rahmat, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (karunia). [Surat Ali Imran, ayat 8]. Wahai Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan sikap kami yang berlebihan dalam urusan kami. Teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami atas orang-orang kafir. [Surat Ali Imran, ayat 147]. Amin Allahumma amin.