Saturday, March 14, 2015

15 Alasan Kokohnya Aqidah Salaf Shalih

Prof. Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr[1]
Muqaddimah
Sesungguhnya aqidah Islam yang bersumberkan al-Qur’an dan Sunnah memiliki kedudukan yang sangat istimewa dalam agama. bahkan kedudukannya ibarat fondasi bagi bangunan dan akar bagi pohon. Bila aqidah sudah mengakar kuat dalam hati seorang hamba maka akan membuahkan akhlak yang indah, ibadah yang mulia, dan manhaj yang lurus sebab bila aqidah semakin kuat dan mantap maka akan semakin membuahkan segala kebaikan dan kebahagiaan.
Oleh karena itu, para ulama salaf shalih sangat mencurahkan perhatian mereka terhadap masalah aqidah lebih dari segalanya, bahkan lebih daripada makanan, minuman, dan pakaian mereka karena mereka menyadari bahwa kehidupan yang sebenarnya adalah kehidupan hati mereka. Allah berfirman:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسۡتَجِيبُواْ لِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ إِذَا دَعَاكُمۡ لِمَا يُحۡيِيكُمۡۖ وَٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّ ٱللَّهَ يَحُولُ بَيۡنَ ٱلۡمَرۡءِ وَقَلۡبِهِۦ وَأَنَّهُۥٓ إِلَيۡهِ تُحۡشَرُونَ ٢٤
Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu, ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah membatasi antara manusia dan hatinya dan sesungguhnya kepada-Nya-lah kamu akan dikumpulkan. (QS. al-Anfâl [8]: 24)
Bila kita membuka lembaran-lembaran sejarah salaf shalih, niscaya akan kita dapati potret perhatian mereka yang sangat menakjubkan. Di antara buktinya adalah ribuan buku yang ditulis oleh ulama salaf dalam menjelaskan aqidah yang benar dan membelanya dari rongrongan para perusak agama dengan bahasa yang lugas dan jelas seterang matahari di siang bolong. Gayung terus bersambut, estafet perjuangan mereka dilanjutkan oleh generasi selanjutnya tanpa adanya perubahan dalam aqidah mereka.
Tema tulisan ini adalah mengenai kokohnya aqidah salaf dan selamatnya dari segala perubahan semenjak beberapa abad yang lampau. Aqidah Ahlus Sunnah pada zaman sekarang sama halnya dengan aqidah yang dibawa oleh Rasulullah dan para sahabatnya serta orang-orang yang mengikuti jejak mereka sehingga sampai pada zaman sekarang ini tetap dalam keadaan bersih dan jernih.
Ketika ada beberapa golongan menyimpang dari jalan yang lurus, para salaf tetap selamat mempertahankan agama dan aqidahnya karena mereka mengambilnya dari sumber aslinya yaitu al-Qur’an dan Hadits. Mereka tidak terjebak dalam ‘tipu daya’ akal mereka, hawa nafsu, dan perasaan mereka. Sebab itu, jadilah aqidah mereka penuh dengan keselamatan, ilmu, dan kemuliaan.
Tentu saja di balik kokohnya aqidah mereka ada beberapa sebab yang perlu diketahui oleh seorang muslim agar bisa diterapkan dalam kehidupan mereka untuk menjaga kemurnian aqidahnya. Dan setelah saya renungi dan selami petuah-petuah para ulama seputar masalah ini, terkumpul olehku beberapa faktor yang cukup banyak yang menyebabkan kokohnya aqidah mereka. Saya akan ringkas dalam beberapa poin berikut ini:
1. Berpegang teguh dengan al-Qur’an dan hadits Nabi serta mengimani seluruh yang terkandung dalam keduanya
Inilah faktor utama kokohnya aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan selamatnya dari penyimpangan yaitu bersandar dengan al-Qur’an dan hadits. Mereka beriman terhadap seluruh yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits serta pasrah sepenuhnya. Karena rahasia inilah, mereka meraih keselamatan dan keautentikan dalam beragama. Dan sebagaimana sering diungkapkan oleh Syaikhul Islam, “Barangsiapa meninggalkan dalil (petunjuk), niscaya akan tersesat jalan. Dan tidak ada petunjuk yang benar selain apa yang dibawa oleh Rasulullah.” [2] Ibnu Abil Izzi juga mengatakan, “Bagaimana akan sampai kepada tujuan utama tanpa petunjuk yang dibawa oleh Rasulullah.” [3] Yakni itu tidak mungkin dan sangat mustahil.
Oleh karena itu, tidak ada seorang pun dari Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang membuat aqidah dari pemikirannya sendiri, pendapatnya sendiri, atau perasaannya sendiri; berbeda halnya dengan ahli bid’ah yang melakukan hal itu, maka jadilah ketimpangan dan penyimpangan terjadi pada diri mereka. Syaikhul Islam pernah mengatakan, “Aqidah itu bukanlah diambil dariku atau orang yang lebih besar dariku, tetapi diambil dari Allah dan rasul-Nya serta apa yang disepakati oleh salaf shalih.” [4]

2.  Keyakinan mereka bahwa al-Qur’an dan Sunnah telah sempurna menghimpun keyakinan yang benar tanpa ada kekurangan sedikit pun

Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan segala yang dibutuhkan oleh umat manusia baik yang berkaitan tentang aqidah, ibadah, mu’amalah, akhlak, dan sebagainya. Allah berfirman:
ٱلۡيَوۡمَ أَكۡمَلۡتُ لَكُمۡ دِينَكُمۡ وَأَتۡمَمۡتُ عَلَيۡكُمۡ نِعۡمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ ٱلۡإِسۡلَٰمَ دِينٗاۚ
Pada hari ini telah Aku sempurnakan agama kalian dan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridha Islam sebagai agama kalian. (QS. al-Mâidah [5]: 3)
Al-Qur’an dan Sunnah telah menjelaskan secara terperinci masalah-masalah yang ringan seperti adab buang hajat, adab bersuci, dan sebagainya. Lantas, mungkinkah masalah yang lebih penting daripada itu justru malah diabaikan?! Sungguh mustahil sekali hal itu terjadi, sebagaimana ucapan Imam Malik bin Anas, “Mustahil Nabi menjelaskan segala sesuatu sampai masalah adab buang hajat lalu beliau tidak menjelaskan tentang masalah tauhid.”
Tatkala Ahlus Sunnah meyakini hal ini secara bulat dan menyadari secara mendalam bahwa semua masalah aqidah telah dijelaskan dalam al-Qur’an dan Hadits maka mereka pun berkiblat kepadanya dan kembali kepadanya tanpa melirik kepada selainnya, sehingga mereka pun menuai keselamatan yang sempurna tiada terkira. Imam Malik v\ juga pernah berkata, “Sunnah itu ibarat kapal Nabi Nuh p\, siapa yang menaikinya maka selamat dan siapa yang tidak menaikinya maka akan tenggelam.”

3.  Mengembalikan segala bentuk perbedaan dan perselisihan kepada al-Qur’an dan Hadits

Ini adalah faktor utama kokohnya aqidah mereka yaitu setiap kali mereka mendapati perselisihan dan perbedaan maka mereka memahami bahwa tidak ada solusi yang tepat untuk menyelesaikan perselisihan tersebut kecuali dengan mengembalikannya kepada al-Qur’an dan Sunnah sebagaimana firman Allah:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ فَإِن تَنَٰزَعۡتُمۡ فِي شَيۡءٖ فَرُدُّوهُ إِلَى ٱللَّهِ وَٱلرَّسُولِ إِن كُنتُمۡ تُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِ وَٱلۡيَوۡمِ ٱلۡأٓخِرِۚ ذَٰلِكَ خَيۡرٞ وَأَحۡسَنُ تَأۡوِيلًا ٥٩
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS. an-Nisâ’ [4]: 59)
Tidak ragu lagi bahwa siapa pun yang mengembalikan segala perbedaan kepada al-Qur’an dan Hadits niscaya dia akan kokoh, selamat, dan tidak goncang atau plinplan, sebab tidak ada solusi untuk mengatasi perselisihan kecuali dengan berpedoman kepada al-Qur’an dan Sunnah karena pendapat manusia, ideologi, dan akal pikiran mereka berbeda-beda. Tidak ada cara yang jitu untuk menghilangkan semua perbedaan tadi kecuali apabila semuanya mau kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah.

4.  Menjaga kesucian fitrah

Fitrah adalah anugerah Allah kepada hamba-Nya dengan menciptakan mereka semua di atas fitrah sebagaimana sabda Nabi, “Setiap anak lahir dalam keadaan fitrah, kedua orang tuanya-lah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, dan Majusi.” (HR. Bukhari: 1385)
Demikian juga Ahlus Sunnah, fitrah mereka terjaga dari polusi dan penyimpangan tatkala golongan lainnya tercemari oleh polusi-polusi penyimpangan. Oleh karenanya, hendaknya bagi setiap orang untuk bersungguh-sungguh menjaga fitrah mereka.
فَأَقِمۡ وَجۡهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفٗاۚ فِطۡرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِي فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيۡهَاۚ لَا تَبۡدِيلَ لِخَلۡقِ ٱللَّهِۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلۡقَيِّمُ وَلَٰكِنَّ أَكۡثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعۡلَمُونَ ٣٠
Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui. (QS. ar-Rûm [30]: 30)
Namun, perlu diketahui bahwa kesucian fitrah sangat bergantung pada lurusnya landasan beragama. Jika pemilik fitrah berlandaskan pada al-Qur’an dan hadits maka fitrahnya akan selamat dan terjaga. Namun, jika dia mengorbankan fitrahnya kepada hawa nafsu, syubhat (kerancuan) yang merusak dan ideologi yang sesat maka fitrahnya akan tercemar.

5.  Menempatkan akal pada porsinya

Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah golongan yang sangat cemerlang akal mereka, tidak berlebihan atau meremehkan sebagaimana kelompok-kelompok ahli bid’ah. Mereka tidak berlebihan kepada akal seperti halnya para ahli filsafat dan orang yang meniti jejak mereka, sehingga mereka melemparkan al-Qur’an dan Hadits ke belakang punggung mereka dan bersandar pada logika mereka secara penuh.
Sebagaimana diketahui bersama, akal manusia itu berbeda-beda. Oleh karena itu, tatkala sebagian kelompok menjadikan akal sebagai sandaran dan pedoman, maka yang terjadi adalah munculnya penyimpangan dan perbedaan tajam di kalangan mereka, karena akal manusia itu bertingkat-tingkat.
Sebaliknya, ada juga kelompok lainnya yang justru merendahkan akal seperti mayoritas ahli tasawuf sehingga banyak di antara mereka yang terjatuh dalam amalan-amalan yang semigila dan tidak masuk akal. Adapun Ahlus Sunnah wal Jama’ah, mereka bersikap tengah-tengah, tidak berlebih-lebihan sehingga melampaui batas wilayah akal, tetapi juga tidak merendahkannya.
Akal manusia ada batasnya yang tepat. Barangsiapa yang berusaha untuk menceburkan akalnya di luar kapasitasnya maka dia akan tersesat. Akal Ahlus Sunnah selamat dari penyimpangan karena mereka menempatkan akal pada posisinya. Merekalah orang-orang yang cerdas sesungguhnya, karena menempatkan akal pada posisinya yang tepat, tidak berlebihan dan tidak meremehkan.
ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ ١٩١
(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (QS. Âli ’Imrân [3]: 191)

6.  Merasa sangat tenteram, bahagia, dan lezat dengan aqidah salaf

Kelezatan dan kebahagiaan yang dirasakan oleh Ahlus Sunnah tersebut tidak dirasakan oleh para pengekor hawa nafsu lainnya. Allah berfirman:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. (QS. ar-Ra’du [13]: 28)
Tentang hal ini, Ibnul Qayyim menuturkan, “Ketenangan hati dan kemantapan hati tidak mungkin terwujudkan kecuali dengan keyakinan. Oleh karena itu, engkau mendapati hati para Ahlus Sunnah sangat mantap dengan keimanan kepada Allah, malaikat-Nya, dan Hari Akhir. Mereka tidak ragu dan tidak berselisih dalam masalah itu sedikit pun.” [5]
Syaikhul Islam juga menuturkan, “Adapun Ahlus Sunnah dan (Ahlul) Hadits, maka tidak didapati dari salah seorang ulama mereka atau seorang awam di kalangan mereka yang keluar dari aqidahnya, bahkan mereka adalah manusia yang paling sabar sekalipun menuai berbagai cobaan. Demikianlah kondisi para nabi dan para pengikutnya.” [6]
Jika memang demikian ketenteraman hati mereka, lantas untuk apa lagi mereka harus beralih dan mencari selainnya?!!

7.  Menyandarkan pemahaman mengenai al-Qur’an dan Sunnah kepada pemahaman salaf shalih

Pemahaman manusia bisa jadi salah dan keliru, namun barangsiapa yang menggali agama dari sumber aslinya yang jernih yaitu Nabi dan para sahabatnya secara langsung dengan hati yang bersih, akal yang sehat, dan kejujuran maka dia akan meraih ilmu, keselamatan, dan hikmah. Oleh karena itu, Ahlus Sunnah selalu bergantung pada pemahaman salaf shalih dalam memahami dalil-dalil. Imam Sijzi bertutur menyifati Ahlus Sunnah, “Mereka adalah kelompok yang konsisten di atas aqidah yang dinukil oleh para sahabat dalam hal-hal yang tidak ada nash yang jelas dalam al-Qur’an dan Hadits, karena mereka adalah para imam panutan. Kita diperintahkan untuk mengikuti jejak mereka. Ini sangat jelas, tanpa membutuhkan bukti.” [7]
Al-Ajurri juga berkata, “Tanda seorang yang dikehendaki kebaikan oleh Allah adalah tatkala dia menempuh jalan ini yaitu berpegang teguh terhadap al-Qur’an dan Sunnah serta sunnah para sahabat dan a orang-orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik dari para ulama setiap negeri seperti al-Auza’i, Sufyan Tsauri, Malik bin Anas, Syafi’i, Ahmad bin Hambal, al-Qasim bin Sallam, dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka.” [8]
Ibnu Qutaibah juga berkata, “Seandainya kita ingin pindah dari pendapat ahli hadits (Ahlus Sunnah) menuju pendapat ahli kalam/filsafat, maka itu berarti kita pindah dari persatuan menuju perpecahan dan dari kebahagiaan menuju kekacauan.” [9]
Semua ini menunjukkan secara jelas kepada kita bahwa tidak mungkin suatu kekokohan (terwujud) kecuali dengan bersandar pada pemahaman salaf shalih. Allah berfirman:
وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا ١١٥
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. an-Nisâ’ [4]: 115)

8.  Sikap tengah-tengah tidak berlebihan dan tidak meremehkan

Ahlus Sunnah bersikap tengah-tengah tidak berlebih-lebihan dan tidak meremehkan. Mereka menapaki jalan yang lurus dan kokoh di atasnya serta menjauhi jalan-jalan kesesatan baik yang cenderung kepada sikap berlebihan atau yang cenderung kepada sikap merendahkan. Inilah faktor penting kokohnya aqidah mereka. Ibnul Qayyim berkata, “Agama Allah antara berlebihan dan meremehkan dan sebaik-baik manusia adalah yang bersikap tengah. Oleh karena itu, Allah menjadikan umat ini tengah-tengah.” [10] Allah berfirman:
وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ وَمَا جَعَلۡنَا ٱلۡقِبۡلَةَ ٱلَّتِي كُنتَ عَلَيۡهَآ إِلَّا لِنَعۡلَمَ مَن يَتَّبِعُ ٱلرَّسُولَ مِمَّن يَنقَلِبُ عَلَىٰ عَقِبَيۡهِۚ وَإِن كَانَتۡ لَكَبِيرَةً إِلَّا عَلَى ٱلَّذِينَ هَدَى ٱللَّهُۗ وَمَا كَانَ ٱللَّهُ لِيُضِيعَ إِيمَٰنَكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ بِٱلنَّاسِ لَرَءُوفٞ رَّحِيمٞ ١
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu. Dan Kami tidak menetapkan kiblat yang menjadi kiblatmu (sekarang) melainkan agar Kami mengetahui (supaya nyata) siapa yang mengikuti Rasul dan siapa yang membelot. Dan sungguh (pemindahan kiblat) itu terasa amat berat, kecuali bagi orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah; dan Allah tidak akan menyia-nyiakan imanmu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia. (QS. al-Baqarah [2]: 143)
Perlu diketahui bahwa sikap tengah-tengah ini tidak mungkin terwujud kecuali dengan menapaki kebenaran tanpa menambah dan mengurangi. Barangsiapa bersikap demikian, maka dia akan mantap dan kokoh dalam beragama.

9.  Tidak mendahulukan akal dan pendapat daripada al-Qur’an dan Sunnah

As-Sam’ani berkata, “Faktor utama kesepakatan ahli hadits (Ahlus Sunnah, Red.) adalah karena mereka mengambil agama mereka dari al-Qur’an dan Sunnah sehingga membuat mereka bersatu dan saling mencintai. Adapun ahli bid’ah, tatkala mereka mengambil agama mereka dari akal dan logika mereka, maka hal itu membuat mereka berpecah dan berselisih, sebab akal dan pendapat manusia jarang sekali bisa bersatu.” [11]
Jadi, faktor utama kokohnya agama mereka adalah karena mereka tidak mendahulukan akal dan pendapat mereka dari al-Qur’an dan Sunnah. Berbeda halnya para ahli bid’ah yang mendahulukan hal-hal ini daripada al-Qur’an dan Sunnah. Ada yang mendahulukan akalnya, ada yang mendahulukan pendapatnya, ada yang mendahulukan perasaannya, ada yang mendahulukan impiannya, dan ada yang mendahulukan hawa nafsunya.

10.   Bergantung kepada Allah

Ahlus Sunnah selalu memohon taufiq kepada Allah, meminta dan memohon agar Allah memberikan keteguhan kepada mereka sebagaimana dicontohkan oleh Nabi dalam banyak do’anya, di antaranya: “Ya Allah, Dzat yang membalikkan hati, tetapkanlah hati hamba dalam agama-Mu.”
Kedekatan mereka kepada Allah ini membuahkan keshalihan dalam ibadah dan kemuliaan akhlak. Oleh karena itu, termasuk buah aqidah yang benar adalah menumbuhkan kebaikan dalam amalan. Berbeda halnya para ahli bid’ah, banyak di antara mereka yang rusak ibadah dan akhlaknya. Barangsiapa yang mengamati mereka—khususnya para tokoh mereka—niscaya akan mendapati hal ini secara jelas. Kalaulah seandainya memang ada pada mereka, maka apa yang ada pada Ahlus Sunnah lebih agung dan lebih mulia.

11.   Merasa sangat yakin dengan aqidah salaf dan menjauhi perdebatan

Ahlus Sunnah wal Jama’ah memiliki keyakinan yang sangat kuat terhadap agama dan aqidah mereka sehingga tidak butuh menawarkannya pada pendapat dan logika orang lain. Lain halnya dengan ahli bid’ah, mereka berpindah-pindah dari suatu keyakinan menuju keyakinan lainnya karena mereka selalu dibayangi oleh keraguan dan kerancuan. Allah berfirman:
وَلَمَّا ضُرِبَ ٱبۡنُ مَرۡيَمَ مَثَلًا إِذَا قَوۡمُكَ مِنۡهُ يَصِدُّونَ ٥
Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy) bersorak karenanya. (QS. az-Zukhruf [43]: 57)
Umar bin Abdul Aziz berkata, “Barangsiapa menjadikan agamanya sebagai bahan perdebatan maka dia akan sering berpindah-pindah pendapat.” [12]
Suatu saat, ada seorang berkata kepada Imam Malik, “Wahai Abu Abdillah, dengarkanlah aku, saya akan berdialog dan berdebat denganmu jika engkau kalah maka engkau ikuti pendapatku.” Kata Imam Malik, “Bagaimana jika ada orang lain yang mendebat kita lalu dia mengalahkan kita?” Orang tersebut menjawab, “Ya kita ikuti dia.” Serentak Imam Malik mengatakan, “Wahai Abdullah, sesungguhnya Allah mengutus Muhammad dengan satu agama, namun mengapa saya melihat dirimu berpindah-pindah dari agama menuju agama lainnya.” Beliau juga mengatakan, “Apakah setiap kali datang seorang yang lebih lihai berbicara, lalu kita tinggalkan apa yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad?!![13]
Pernah juga ada seorang datang kepada Imam Hasan al-Bashri seraya mengatakan, “Wahai Abu Sa’id, marilah kita berdebat tentang agama.” Maka Hasan menjawab, “Saya telah yakin dengan agama saya, jika memang kamu kehilangan agamamu maka pergi dan carilah.” [14]
Nukilan-nukilan atsar di atas menunjukkan kokohnya mereka dalam beragama dan tidak butuh kepada perdebatan dan dialog untuk mencari pemikiran dan pendapat lainnya yang menyimpang.

12.   Meyakini bahwa masalah-masalah aqidah dan iman adalah absolut dan paten

Semua itu karena aqidah tidak mungkin dihapus atau diganti, karena semua dakwah para nabi adalah sama sejak awal hingga akhir sebagaimana dalam hadits, “Para nabi adalah bersaudara, syari’at mereka berbeda tetapi pokok aqidah mereka satu.” (HR. Muslim 4/1837)

13.   Mudah dan tidak bertele-tele atau berbelit-belit

Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah jelas dan terang seterang matahari di siang hari, lain halnya dengan aqidah-aqidah menyimpang lainnya yang sulit, rancu, dan bertele-tele.
Imam Ibnul Qayyim menjelaskan tentang terangnya aqidah ini karena sumbernya yang jelas, “Seperti sinar matahari bagi pandangan mata yang tidak tertutupi oleh apa pun, masuk ke telinga tanpa pamitan dan bersarang ke akal seperti air segar bagi orang yang kehausan. Keistimewaan aqidah ini dibandingkan ilmu kalam dan logika seperti keistimewaan Allah daripada makhluk-Nya. Tidak mungkin bisa seorang pun mencoreng aqidah ini kecuali seperti seorang yang hendak mencoreng sinar matahari yang muncul di siang hari tanpa adanya mendung.” [15]
Perumpamaan orang yang hendak mencela dan meragukan aqidah yang shahih dan bersumber dari al-Qur’an dan Hadits adalah seperti seorang yang datang kepada manusia di siang hari lalu mengatakan, “Saya akan membuktikan kepada kalian bahwa sekarang ini adalah malam hari.” Allah berfirman:
أَفَلَمۡ يَسِيرُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَتَكُونَ لَهُمۡ قُلُوبٞ يَعۡقِلُونَ بِهَآ أَوۡ ءَاذَانٞ يَسۡمَعُونَ بِهَاۖ فَإِنَّهَا لَا تَعۡمَى ٱلۡأَبۡصَٰرُ وَلَٰكِن تَعۡمَى ٱلۡقُلُوبُ ٱلَّتِي فِي ٱلصُّدُورِ ٤
Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. al-Hajj [22]: 46)

14.   Mengambil pelajaran dari keadaan kelompok lainnya

Dahulu pernah dikatakan: “Orang bijak adalah orang yang mengambil pelajaran dari lainnya.” Demikian pula Ahlus Sunnah, mereka mengambil pelajaran dari keadaan para ahli bid’ah yang goncang dan ragu serta plinplan dalam beragama. As-Sam’ani pernah menggambarkan keadaan mereka dalam ucapannya, “Jika Anda melihat ahli bid’ah, niscaya Anda akan mendapati mereka berpecah belah dan berselisih, bergolong-golong dan berkelompok, tidak ada kesatuan diantara mereka, sebagian membid’ahkan sebagian yang lain bahkan mengkafirkan, seorang anak mengkafirkan ayahnya, saudaranya, tetangganya, mereka selalu dalam permusuhan dan perselisihan, sehingga umur mereka habis namun kalimat mereka belum bersatu”.[16]

15.   Bersatu dan tidak berselisih

Kalimat Ahlus Sunnah wal Jama’ah satu dan tidak berbeda. Lain halnya ahli bid’ah yang berpecah belah dan bergolong-golong, setiap golongan bangga dengan golongannya masing-masing. Imam Qatadah berkata, “Seandainya pemikiran Khawarij itu adalah petunjuk, niscaya akan bersatu, namun karena ia adalah kesesatan maka berpecah belah.” [17]
Lihatlah Ahlus Sunnah. Dakwah mereka satu, aqidah mereka satu, semuanya di atas jalan yang lurus sejak dahulu hingga sekarang baik dalam tauhid ibadah atau asma’ wa shifat atau anjuran kepada sunnah dan menjauhi bid’ah. Mereka satu kata sekalipun berbeda zaman dan tempat. Semua itu adalah bukti konkret akan kebenaran aqidah ini.
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَۚ وَلَوۡ كَانَ مِنۡ عِندِ غَيۡرِ ٱللَّهِ لَوَجَدُواْ فِيهِ ٱخۡتِلَٰفٗا كَثِيرٗا ٨
Maka apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an? Kalau kiranya al-Qur’an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. (QS. an-Nisâ’: 82)
Akhirnya, saya berdo’a kepada Allah agar memasukkan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang shalih, mengikuti sunnah dan atsar salaful ummah, menjauhkan kita dari bid’ah. Dan saya berdo’a kepada Allah agar memberikan anugerah kepada kita aqidah yang lurus, iman yang tebal, akhlak yang indah dan menjadikan kita semua para pengajak kebenaran.


[1]    Disadur secara bebas—dengan sedikit gubahan—oleh Abu Ubaidah Yusuf as-Sidawi dari risalah beliau Tsabatu Aqidah Salaf wa Salamatuha Mina Taghyirat, Penerbit Darul Fadhilah, KSA, cet. pertama, 1423 H.
[2]    Miftâh Dâr as-Sa’âdah hlm. 90
[3]    Syarh ’Aqîdah ath-Thahawiyyah hlm. 18
[4]    Majmû’ Fatâwâ 3/203
[5]    Ash-Shawâ’iqul Mursalah 2/741
[6]    Majmû’ Fatâwâ 4/50
[7]    Ar-Raddu ’alâ Man Ankara al-Harfa wash Shauth hlm. 99
[8]    Asy-Syarî’ah 1/301
[9]    Ta’wîl Mukhtalifil Hadîts hlm. 16
[10]   Ighâtsatul Lahfân 1/201
[11]   Mukhtashar Shawâ’iq hlm. 518
[12]   Al-Ibânah oleh Ibnu Baththah 2/503
[13]   Idem 2/507–508
[14]   Idem 2/509
[15]   Ash-Shawâ’iq al-Mursalah 3/1199
[16]   Mukhtashar Shawâ’iq hlm. 518
[17]   Tafsîr ath-Thabarî 3/178

Ulama al-Syafi‘iyyah Menegaskan Allah di Atas ‘Arsy

13 March 2014 (news)

Sesungguhnya akidah bahwa Allah di atas ‘Arsy adalah akidah yang hak (benar). Dasarnya berupa dalil-dalil Alquran, Hadis, ijmak ulama, akal, dan fitrah sangat banyak dan sangatlah gamblang. Cukuplah bagi kita merenungi ucapan berikut:
قَالَ بَعْضُ أَكَابِرِ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ : فِي الْقُرْآنِ أَلْفُ دَلِيْلٍ أَوْ أَزْيَدُ تَدُلُّ عَلَى أَنَّ اللهَ تَعَالَى عَالٍ عَلَى الْخَلْقِ وَأَنَّهُ فَوْقَ عِبَادِهِ
“Sebagian tokoh senior mazhab al-Syafi‘i mengatakan, ‘Dalam Alquran terdapat seribu dalil atau lebih yang menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas makhluk dan Allah di atas hamba-Nya.’”[1]
Semoga Allah merahmati al-Imam Ibn Abil-‘Izz al-Hanafi yang telah mengatakan—setelah menyebutkan 18 segi dalil—, “Dan jenis-jenis dalil-dalil ini, seandainya dibukukan tersendiri, maka akan tertulis kurang lebih seribu dalil. Oleh karena itu, para penentang masalah ini hendaknya menjawab dalil-dalil ini. Akan tetapi, sungguh sangatlah mustahil mereka mampu menjawabnya.”[2]
Sesungguhnya akidah ini merupakan syiar Ahlusunah wal Jamaah sejak dahulu hingga sekarang. Ucapan-ucapan para ulama salaf tentang hal ini banyak sekali, tak bisa hitung jumlahnya.[3] Namun, pada kesempatan kali ini, kami akan memfokuskan pada ulama-ulama mazhab al-Syafi‘iyyah seperti al-Imam al-Syafi‘i, al-Muzani, al-Baihaqi, al-Sabuni, al-Bagawi, Abu al-Hasan al-Asy‘ari, dan sebagainya dari para tokoh mazhab al-Syafi‘iyyah, karena kami melihat suatu keajaiban pada zaman sekarang, di mana banyak orang-orang yang menisbahkan diri kepada mazhab al-Syafi‘i sekarang justru menganut paham “Allah di mana-mana” bahkan menganggap sesat orang-orang yang berkeyakinan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya.
Aduhai, apalah artinya Anda menisbahkan diri kepada para ulama tersebut kalau memang kenyataannya Anda tidak mengikuti akidah mereka?! Sungguh benar ucapan penyair:
وَكُلٌّ يَدَّعِيْ وَصْلًا بِلَيْلَى             وَلَيْلَى لَا تُقِرُّ لَهُمْ بِذَاكَا
Semua orang mengaku punya hubungan dengan Laila
Tetapi Laila tidak mengakuinya[4]
Berikut ini beberapa ucapan para tokoh ulama al-Syafi‘iyyah, yang secara tegas mengatakan bahwa Allah berada di atas ‘Arsy yang sesuai dengan kemuliaan-Nya.[5] Semoga bisa dijadikan renungan bagi kita semuanya:

1.    Al-Imam al-Syafi‘i (150–204 H)

Al-Imam al-Syafi‘i meyakini ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya. Hal ini ditegaskan oleh para ulama al-Syafi‘iyyah sendiri. Akidah al-Imam al-Syafi‘i dalam masalah ini juga diaminkan oleh para tokoh mazhab al-Syafi‘i yang paling tahu tentang mazhab al-Syafi‘i. Al-Imam al-Baihaqi—salah seorang ulama pembela mazhab al-Syafi‘i—berkata setelah membawakan dalil-dalil yang banyak tentang masalah ini, “Asar-asar salaf tentang hal ini sangat banyak sekali. Dan inilah mazhab dan keyakinan al-Imam al-Syafi‘i.”[6]
Demikian juga ditegaskan oleh al-Hafiz Ibn Hajar—salah seorang ulama al-Syafi‘iyyah—, beliau berkata, “Dan al-Baihaqi telah meriwayatkan dengan sanad yang sahih dari Ahmad ibn Abil-Hawari … dan dari jalan Abu Bakr al-Daba’i ia berkata, ‘Mazhab Ahlusunah terhadap firman Allah “Dan ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy…” adalah tanpa ditanya bagaimananya. Dan asar-asar dari salaf tentang hal ini banyak sekali. Dan ini adalah jalan al-Imam al-Syafi‘i dan Ahmad ibn Hanbal.’”[7]
Al-Imam al-Syafi‘i berdalil dengan hadis Mu‘awiyah ibn HakamRadhiallahu ‘Anhu dalam beberapa kitabnya.[8]
وَأَحَبُّ إِلَيَّ أَنْ لَا يَعْتِقَ إِلَّا باَلِغَةً مُؤْمِنَةً ، فَإِنْ كَانَتْ أَعْجَمِيَّةً فَوَصَفَتِ الْإِسْلَامَ أَجْزَأَتْهُ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِلَالٍ ابْنِ أُسَامَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ عُمَرَ بْنِ الْحَكَمِ أَنَّهُ قَالَ : أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ n فَقُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ جَارِيَةً لِيْ كَانَتْ تَرْعَى غَنَمًا لِيْ فَجِئْتُهَا وَفَقَدْتُ شَاةً مِنَ الْغَنَمِ فَسَأَلْتُهَا عَنْهَا فَقَالَتْ : أَكَلَهَا الذِّئْبُ فَأَسَفْتُ عَلَيْهَا وَكنُتْ ُمِنْ بَنِيْ آدَمَ فَلَطَمْتُ وَجْهَهَا وَعَلَيَّ رَقَبَةٌ أَفَأَعْتِقُهَا ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ n (أَيْنَ اللهُ ؟) فَقَالَتْ : فِي السَّمَاءِ فَقَالَ (مَنْ أَنَا ؟) فَقَالَتْ : أَنْتَ رَسُوْلُ اللهِ ، قَالَ : (فَأَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ).
Saya lebih suka agar tidak memerdekakan budak kecuali budak yang sudah balig dan mukminah. Seandainya dia non-Arab kemudian bersifat Islam maka sudah mencukupi. Mengabarkan kepada kami Malik dari Hilal ibn Usamah dari ‘Atha’ ibn Yasar dari ‘Umar ibn Hakam[9] berkata, “… Saya memiliki seorang budak wanita yang bekerja sebagai penggembala kambing di Gunung Uhud dan al-Jawwaniyyah (tempat dekat Gunung Uhud). Suatu saat saya pernah memergoki seekor serigala telah memakan seekor dombanya. Saya termasuk dari bani Adam, saya juga marah sebagaimana mereka juga marah, sehingga saya menamparnya, kemudian saya datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, ternyata beliau menganggap besar masalah itu. Saya berkata, ‘Wahai Rasulullah, apakah saya merdekakan budak itu?’ Jawab beliau, ‘Bawalah budak itu padaku.’ Lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya, ‘Di mana Allah?’ Jawab budak tersebut, ‘Di atas langit.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bertanya lagi, ‘Siapa saya?’ Jawab budak tersebut, ‘Engkau adalah Rasulullah.’ Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda, ‘Merdekakanlah budak ini karena dia seorang wanita mukminah.’”[10]
Al-Imam al-Syafi‘i membawakan hadis dalam kitab-kitabnya tanpa mengkritik isi kandungannya. Maka hal itu menunjukkan bahwa beliau berhujah dengan hadis ini. Al-Imam al-ZahabiRahimahullahu Ta’ala berkata, “Dalam hadis ini terdapat dua masalah:
Pertama: Disyariatkannya pertanyaan seorang muslim ‘di mana Allah’[11]
Kedua: Jawaban orang yang ditanya ‘di atas langit’. Barangsiapa yang mengingkari dua masalah ini, maka berarti dia mengingkari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.”[12]
Al-Imam al-Syafi‘i Rahimahullahu Ta’ala juga mengatakan:
الْقَوْلُ فِي السُّنَّةِ الَّتِيْ أَنَا عَلَيْهَا وَرَأَيْتُ أَصْحَابَنَا عَلَيْهَا أَهْلَ الْحَدِيْثِ الَّذِيْنَ رَأَيْتُهُمْ وَأَخَذْتُ عَنْهُمْ مِثْلَ سُفْيَانَ وَمَالِكٍ وَغَيْرِهِمَا الإِقْرَارُ بِشَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِيْ سَمَائِهِ يَقْرُبُ مِنْ خَلْقِهِ كَيْفَ شَاءَ وَيَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا كَيْفَ شَاءَ.
“Pendapat dalam sunah (akidah) yang saya yakini dan diyakini oleh kawan-kawan saya ahli hadis yang saya bertemu dengan mereka dan belajar kepada mereka seperti Sufyan, Malik, dan selain keduanya adalah menetapkan syahadat bahwa tidak ada yang berhak untuk diibadahi secara benar kecuali hanya Allah saja dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah dan bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya di langit-Nya dekat dengan para hamba-Nya sekehendak Dia dan Dia turun ke langit dunia sekehendak-Nya.”[13]
Riwayat dari al-Imam al-Syafi‘i ini sangat tegas menyatakan akan Allah berada di atas langit. Asar ini ternyata juga diriwayatkan dari banyak jalur oleh para ulama. Al-Barzanji (wafat 1103 H)—salah seorang ulama mazhab al-Syafi‘iyyah—menukil ucapan al-Imam al-Syafi‘i di atas dari jalur Yunus ibn ‘Abdil-A‘la, Ibn Hisyam al-Baladi, Abu Saur, Abu Syu‘aib, Harmalah, al-Rabi‘ ibn Sulaiman, dan al-Muzanni.[14]
Demikianlah ketegasan al-Imam al-Syafi‘i. Lantas adakah yang mengambil pelajaran darinya?![15]

2.    Al-Imam al-Muzanni (175–264 H), murid senior al-Imam al-Syafi‘i.

Beliau mengatakan:
[عَالٍ] عَلَى عَرْشِهِ ، وَهُوَ دَانٍ بِعِلْمِهِ مِنْ خَلْقِهِ ، أَحَاطَ عِلْمُهُ بِالأُمُوْرِ …
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, Dia (Allah) dekat pada hamba-Nya dengan ilmu-Nya. Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu…”[16]
عَالٍ عَلَى عَرْشِهِ ، بَائِنٌ مِنْ خَلْقِهِ ، مَوْجُوْدٌ وَلَيْسَ بِمَعْدُوْمٍ وَلَا بِمَفْقُوْدٍ
“Tinggi di atas ‘Arsy-Nya, terpisah dengan makhluk-Nya. Allah itu ada, bukannya tidak ada dan hilang.”[17]

3.    Al-Imam ‘Usman ibn Sa‘id al-Darimi(200–280 H)

Beliau berkata:
قَدِ اتَّفَقَتِ الْكَلِمَةُ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ ، أَنَّ اللهَ بِكَمَالِهِ فَوْقَ عَرْشِهِ ، فَوْقَ سَمَوَاتِهِ
“Telah bersepakat kalimat kaum muslimin dan kafirin bahwa Allah di atas langit.”[18]

4.    Al-Imam Ibn Khuzaimah (223–311 H)

Beliau berkata:
فَتِلْكَ الْأَخْبَارُ كُلُّهَا دَالَّةٌ عَلَى أَنَّ الْخَالِقَ الْبَارِيَ فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ ، لَا عَلَى مَا زَعَمَتِ الٍْمُعَطِّلَةُ : أَنَّ مَعْبُوْدَهُمْ هُوَ مَعَهُمْ فِي مَنَازِلِهِمْ.
“Maka hadis-hadis ini seluruhnya menunjukkan bahwa Pencipta berada di atas langit yang tujuh. Hal ini tidak sebagaimana yang dipersangkakan oleh al-Mu‘attilah (pala penafi/penolak sifat-sifat Allah, Pen.) bahwasanya sembahan mereka bersama mereka di rumah-rumah mereka.”[19]

5.    Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari (260–324 H)

Al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari dalam kitabnya al-Ibānah hlm. 405–423 telah memaparkan secara panjang lebar dalil-dalil tentang istiwa dan ketinggian Allah di atas langit-Nya serta membantah orang-orang yang menyimpang dalam masalah ini. Di antara ucapannya:
وَأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا قَالَ ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )
“Dan bahwasanya Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana firman-Nya, ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’”[20]
Setelah beliau memaparkan dalil-dalil yang banyak sekali tentang keberadaan Allah di atas ‘Arsy, beliau berucap:
وَزَعَمَتِ الْمُعْتَزِلَةُ وَالْحَرُوْرِيَّةُ وَالْجَهْمِيَّةُ أَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ ، فَلَزِمَهُمْ أَنَّهُ فِيْ بَطْنِ مَرْيَمَ وَفِيْ الْحُشُوْشِ وَالأَخْلِيَةِ ، وَهَذَا خِلَافُ الدِّيْنِ ، تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ
“Dan kaum Mu‘tazilah, Haruriyyah, dan Jahmiyyah beranggapan bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala berada di setiap tempat. Hal ini melazimkan mereka bahwa Allah berada di perut Maryam, tempat sampah, dan WC. Paham ini menyelisihi agama. Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka.”[21]
Beliau bahkan menukil ijmak para ulama salaf yang bersepakat akan akidah ini. Beliau mengatakan:
وَأنَهَّ تَعَالىَ فَوْقَ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ دُوْنَ أَرْضِهِ
“Dan mereka (para ulama Ahlusunah) bersepakat … bahwasanya Allah berada di atas langit-Nya, di atas ‘Arsy-Nya, bukan di bumi-Nya.”[22]
Demikian ucapan-ucapan emas al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari. Lantas, adakah yang mau menggunakan akalnya?![23]

5.    Al-Khattabi (319–388 H)

Beliau mengatakan dalam kitabnya Syi‘ar al-Dīn[24]—setelah membawakan beberapa ayat:
فَدَلَّ مَا تَلَوْنَاهُ مِنْ هَذِهِ الآيِ عَلَى أَنَّ اللهَ سبحانه فِي السَّمَاءِ مُسْتَوٍ عَلَى الْعَرْشِ، وَلَوْ كَانَ بِكُلِّ مَكَانٍ لَمْ يَكُنْ لِهَذَا التَّخْصِيْصِ مَعْنًى وَلَا فِيْهِ فَائِدَة ، وَقَدْ جَرَتْ عَادَةُ الْمُسْلِمِيْنَ خَاصَّتِهِمْ وَعَامَّتِهِمْ بِأَنْ يَدْعُوَ رَبَّهُمْ عِنْدَ الْاِبْتِهَالِ وَالرَّغْبَةِ إِلَيْهِ وَيَرْفَعُوْا أَيْدِيَهُمْ إِلَى السَّمَاءِ وَذَلِكَ لِاسْتِفَاضَةِ الْعِلْمِ عِنْدَهُمْ بِأَنَّ رَبَّهُمْ الْمَدْعُوَّ فِي السَّمَاءِ سُبْحَانَهُ.
“Ayat-ayat yang kami bacakan ini menunjukkan bahwa Allah tinggi di atas ‘Arsy. Seandainya Allah berada di setiap tempat maka pengkhususan ini tidak ada faedah dan tidak ada maknanya. Dan kebiasaan kaum muslimin baik yang awam maupun yang terpelajar jika berdoa memohon kepada Allah maka mereka mengangkat tangan mereka ke langit. Hal itu karena telah masyhur bagi mereka bahwa Rabb yang mereka berdoa kepada-Nya berada di atas langit.”[25]

6.    Abu al-Qasim Hibatullah ibn al-Hasan al-Lalika’i Rahimahullahu Ta’ala (wafat 418 H)

Beliau mengatakan:
سِيَاقُ مَا رُوِيَ فِي قَوْلِهِ تَعَالَى ( الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى ) وَأَنََّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ فِي السَّمَاءِ وَقَالَ عَزَّ وَجَلَّ : ( إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ). وقال: ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ أَنْ يَخْسِفَ بِكُمُ الأَرْضَ ). وَقَالَ تعالى: ( وَهُوَ الْقَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ وَيُرْسِلُ عَلَيْكُمْ حَفَظَةً ). فَدَلَّتْ هَذِهِ الآيَةُ أَنَّهُ تَعاَلىَ فِِي السَّمَاءِ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ بِكُلِّ مَكَانٍ مِنْ أَرْضِهِ وَسَمَائِهِ
“Penjelasan tentang apa-apa yang diriwayatkan dalam firman-Nya Ta‘āla: ‘Ar-Rahman (Yang Maha Pemurah) tinggi di atas ‘Arsy.’ (QS Ṭāha [20]: 5). Dan bahwasanya Allah berada di atas ‘Arsy-Nya di langit. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, ‘Kepada-Nya-lah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.’ (QS Fāṭir [35]: 10). Dan firman-NyaTa‘āla: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit bahwa Dia akan menjungkirbalikkan bumi bersama kamu.’ (QS al-Mulk [67]: 16). Dan firman-Nya Ta‘āla: ‘Dan Dialah yang mempunyai kekuasaan tertinggi di atas semua hamba-Nya, dan diutus-Nya kepadamu malaikat-malaikat penjaga.’ (QS al-An‘ām [6]: 61). Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya Allah Ta‘āla berada di langit dan ilmu-Nya meliputi seluruh tempat di bumi-Nya dan langit-Nya.”[26]

7.    Al-Imam al-Sabuni (373–449 H)

Beliau berkata:
وَيَعْتَقِدُ أَصْحَابُ الْحَدِيْثِ وَيَشْهَدُوْنَ أَنَّ الله سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى فَوْقَ سَبْعِ سَمَوَاتِهِ عَلَى عَرْشِهِ مُسْتَوٍ، كَمَا نَطَقَ بِهِ كِتَابُهُ فِيْ قَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ فِي سُوْرَةِ يُوْنُسٍ: إِنَّ رَبَّكُمُ اللّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ)…
“Para ahli hadis berkeyakinan dan bersaksi bahwasanya AllahSubhanahu wa Ta’ala berada di atas tujuh langit, di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana tertuang dalam Kitab-Nya dalam surat Yūnus: ‘Sesungguhnya Tuhan kamu ialah Allah Yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy untuk mengatur segala urusan.’ (QS Yūnus [10]: 3)…”[27]

8.    Abu al-Qasim Isma‘il al-Asbahani al-Syafi‘i (wafat 535 H)

Beliau berkata:
فَصْلٌ فِيْ بَيَانِ أَنَّ الْعَرْشَ فَوْقَ السَّمَوَاتِ، وَأَنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ فَوْقَ الْعَرْشِ
“Pasal: Penjelasan bahwa ‘Arsy di atas langit dan bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas ‘Arsy.”[28]

9.    Yahya al-‘Imrani al-Syafi‘i (wafat 558 H)

Beliau berkata:
عِنْدَ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ وَالسُّنَّةِ أَنَّ اللهَ سُبْحَانَهُ بِذَاتِهِ ، بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ ، عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى فَوْقَ السَّمَوَاتِ ، غَيْرُ مُمَاسٍّ لَهُ ، وَعِلْمُهُ مُحِيْطٌ باِلأَشْيَاءِ كُلِّهَا
“Di sisi ahli hadis dan sunah, bahwasanya Allah Subḥānahudengan Zat-Nya terpisah dari makhluk-Nya, beristiwa di atas ‘Arsy-Nya di atas langit, tanpa menyentuhnya, dan ilmu-Nya meliputi segala sesuatu.”[29]

10.  Ibn al-Salah al-Syafi‘i (wafat 643 H)

Beliau telah mengomentari kasidah tentang sunah yang disandarkan kepada Abu al-Hasan al-Karkhi (wafat 532 H). Kasidah tersebut di antaranya:
عَقِيْدَةُ أَصْحَابِ الْحَدِيْثِ فَقَدْ سَمَتْ *** بِأَرْبَابِ دِيْنِ اللهِ أَسْنَى الْمَرَاتِبِ
عَقَائِدُهُمْ أَنَّ الإِلَهَ بِذَاتِهِ *** عَلَى عَرْشِهِ مَعَ عِلْمِهِ بِالْغَوَائِبِ
Akidah ashabul-hadis telah membawa para pemeluk agama ke derajat yang tinggi
Akidah mereka bahwasanya Allah dengan Zat-Nya di atas ‘Arsy-Nya, disertai ilmu-Nya tentang perkara-perkara gaib
Ibn al-Salah mengomentari kasidah tersebut dengan berkata:
هَذِهِ عَقِيْدَةُ أَهْلِ السُّنَّةِ وَأَصْحَابِ الْحَدِيْثِ
“Ini adalah akidah Ahlusunah dan aṣḥābul-ḥadīṡ.”[30]

11.  Al-Imam al-Nawawi (631–676 H)

Al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas ‘Arsy-Nya, di antara buktinya[31]:
1)  Beliau mengatakan dalam kitabnya Juz’ fīhi Żikr I‘tiqād Salaf fi al-Hurus wa al-Aṣwāt[32]:
وَنُؤْمِنُ بِأَنَّ اللهَ عَلَى عَرْشِهِ كَمَا أَخْبَرَ فِي كِتَابِهِ وَلَا نَقُوْلُ هُوَ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ بَلْ هُوَ فِي السَّمَاءِ وَعِلْمُهُ فِيْ كُلِّ مَكَانٍ
“Kami beriman bahwa Allah di atas ‘Arsy-Nya sebagaimana Allah kabarkan dalam Kitab-Nya yang mulia. Kami tidak mengatakan bahwa Allah di setiap tempat, bahkan Allah di atas langit dan ilmu-Nya di setiap tempat.”
Lalu beliau membawakan QS al-Mulk [67]: 16, Fāṭir [35]: 10, hadis budak wanita, lalu beliau mengatakan, “Demikian juga dalil-dalil lainnya dalam Alquran dan hadis banyak sekali, kami mengimaninya dan tidak menolaknya sedikit pun.”
2)  Beliau menulis dan menyalin kitab al-Ibānah karya al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari.[33] Dan sebagaimana sudah kami sebutkan di muka bahwa al-Imam Abu al-Hasan al-Asy‘ari menegaskan dalam kitabnya tersebut tentang ketinggian Allah.
3)  Dalam kitab berjudul Ṭabaqāt Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah karya Ibn al-Salah yang diringkas dan ditertibkan oleh al-Imam al-Nawawi. Dalam biografi al-Khattabi, beliau sangat menghormati dan mengagungkan al-Khattabi. Salah satunya beliau mengatakan tentang al-Khattabi:
وَصَرَّحَ بِأَنَّهُ فِي السَّمَاءِ
“Dan beliau (al-Khattabi) menegaskan bahwa Allah di atas langit.”[34]
Perhatikanlah, al-Imam al-Nawawi menukil ucapan di atas dengan menyetujuinya. Seandainya beliau tidak menerima ucapan ini, niscaya beliau akan membuangnya atau mengkritiknya atau membantahnya!!
4)  Al-Imam al-Nawawi mengatakan dalam kitabnya Rauḍah al-Ṭālibīn 10/85—salah satu kitab fikih masyhur dalam mazhab al-Syafi‘i:
لَوْ قَالَ لَا إِلَهَ إلَّا اللهُ الْمَلِكُ الَّذِيْ فِي السَّمَاءِ أَوْ إِلَّا مَلِكُ السَّمَاءِ كَانَ مُؤْمِنًا قَالَ اللهُ تَعَالَى ( أَأَمِنْتُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ )
“Seandainya dia (orang kafir) mengatakan ‘tiada ilah yang berhak diibadahi kecuali Allah, Raja yang di atas langit atau kecuali Raja langit’ maka dia beriman. Allah berfirman: ‘Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang di langit.’ (QS al-Mulk [67]: 16).”
Inilah empat bukti bahwa al-Imam al-Nawawi termasuk ulama yang menegaskan ketinggian Allah di atas langit.

12.  Al-Imam al-Zahabi (673–748 H)

Beliau berkata:
مَقَالَةُ السَّلَفِ وَأَئِمَّةِ السُّنَّةِ بَلِ وَالصَّحَابَةِ وَاللهِ وَرَسُوْلِهِ وَالْمُؤْمِنُوْنَ أَنَّ الله عزوجل فِي السَّمَاءِ وَأَنَّ اللهَ عَلَى الْعَرْشِ وَأَنَّ اللهَ فَوْقَ سَمَاوَاتِهِ وَأَنَّه يَنْزِلُ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا .وَحُجَّتُهُمْ عَلَى ذَلِكَ النُّصُوْصُ وَالآثَارُ.
 وَمَقَالَةُ الْجَهْمِيَّةِ أَنَّ اللهَ تَبَارَكَ وَتعَالَى فِيْ جَمِيْعِ الأَمْكِنَةِ تَعَالَى اللهُ عَنْ قَوْلِهِمْ بَلْ هُوَ مَعَنَا أَيْنَمَا كُنَّا بِعِلْمِهِ
 وَمَقاَلُ مُتَأَخِّرِيْ الْمُتَكَلِّمِيْنَ أَنَّ اللهَ تَعَالَى لَيْسَ فِيْ السَّمَاءِ وَلَا عَلَى الْعَرْشِ وَلَا عَلَى السَّمَوَاتِ وَلَا فِيْ الأَرْضِ وَلَا دَاخِلَ الْعَالِمِ وَلَا خَارِجَ الْعَالَمِ وَلَا هُوَ بَائِنٌ عَنْ خَلْقِهِ وَلَا مُتَّصِلٍ بِهِمْ.
“Ucapan para salaf dan imam-imam Sunah bahkan para sahabat, Allah, Nabi, dan seluruh kaum mukmin bahwasanya Allah di atas langit dan di atas ‘Arsy, dan bahwa Allah turun ke langit dunia. Hujah-hujah mereka adalah hadis-hadis dan asar-asar yang banyak. Adapun perkataan Jahmiyyah (bahwa) ‘AllahTabāraka wa Ta‘āla ada di seluruh tempat’, Maha Tinggi Allah dari perkataan (rendahan) mereka itu. Namun, Allah bersama kita di mana saja kita berada dengan ilmu-Nya. Dan perkataan ahli kalam kontemporer (bahwa) ‘Allah Ta‘āla tidak di langit, tidak di atas ‘Arsy, tidak di atas langit-(Nya), tidak di bumi, tidak berada di dalam alam, tidak di luar alam, tidak terpisah dari makhluk-Nya, dan tidak pula melekat dengannya’!”[35]
Demikianlah ketegasan para ulama mazhab al-Syafi‘i. Dan ini pun baru sebagian saja, belum seluruhnya.
أُوْلَئِكَ آبَائِيْ فَجِئْنِيْ بِمِثْلِهِمْ           إِذَا جَمَعَتْنَا يَا جَرِيْرُ الْمَجَامِعُ
Merekalah orang tuaku, maka datangkanlah padaku semisal mereka
Apabila perkumpulan mengumpulkan kita, wahai Jarir.[36]
Lantas, siapakah panutan orang-orang yang berpaham “Allah di mana-mana”?! Sesungguhnya mereka telah mengikuti kaum Jahmiyyah, Mu‘tazilah, dan ahli kalam. Semoga Allah memberikan hidayah kepada semuanya ke jalan yang benar.Āmīn.
Disusun oleh Utadz Abu Ubaidah Yusuf bin Mukhtar as-Sidawi


[1]     Majmū‘ Fatāwa 1/121, Bayān Talbīs Jahmiyyah 1/155
[2]     Syarḥ ‘Aqīdah al-Ṭaḥawiyyah hlm. 386
[3]     Sebagaimana dipaparkan oleh al-Imam al-Zahabi dalamal-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm dan Ibn al-Qayyim dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyah. Lihat pula tulisan bagus “101 Perkataan Ulama Salaf Tentang Allah di atas Arsy” di <http://gizanherbal.wordpress.com/2011/06/12/101-perkataan-ulama-salaf-tentang-allah-di-atas-arsy-seri-allah-di-atas-arsy/>.
[4]     Al-Risālah al-Tabukiyyah hlm. 27 karya Ibn al-Qayyim
        Faedah: Syair ini termasuk di antara syair-syair yang tidak diketahui siapa pengucapnya.
[5]     Penulis mengambil manfaat sebagian nukilan ucapan ulama salaf ini dari artikel “Aqidah Salafi Shalih fil Uluw wal Istiwa” dari <http://as-salaf.com> dan <http://www.firanda.com>.
[6]     Al-Asmā’ wa al-Ṣifāt 1/517
[7]     Fatḥ al-Bāri 13/407
[8]     Seperti dalam kitabnya al-Umm 5/280 dan al-Risālah: 7–8.
[9]     Dalam sanad al-Imam Malik tertulis “‘Umar ibn Hakam” sebagai ganti dari “Mu‘awiyah ibn Hakam”. Para ulama menilai bahwa hal ini merupakan kesalahan al-Imam Malik. Al-Imam al-Syafi‘i berkata—setelah meriwayatkan hadis ini dari al-Imam Malik—, “Yang benar adalah Mu‘awiyah ibn Hakam sebagaimana diriwayatkan selain Malik, dan saya menduga bahwa Malik tidak hafal namanya.” (al-Risālah hlm. 7–8)
[10]   Hadis ini sahih. Diriwayatkan oleh al-Imam al-Bukhari dalam Juz’ al-Qirā’ah hlm. 70, Muslim dalam Ṣaḥīḥ-nya: 537, Ahmad 5/448, Malik dalam al-Muwaṭṭa’ 2/772, al-Syafi‘i dalamal-Risālah no. 242, dll. Lihat takhrij secara luas tentang hadis ini, komentar ulama ahli hadis tentangnya, dan pembelaan ulama terhadapnya dalam buku kami Membela Hadits Nabi. Perlu saya tambahkan di sini, bahwa di antara ahli bidah yang menghujat hadis ini adalah Muh. Idrus Ramli yang tanpa malu mengatakan bahwa hadis ini adalah mudtarib (simpang siur), lemah, dan tidak bisa dijadikan hujah sebagaimana dalam <http://www.idrusramli.com/2013>. Sungguh—jika dia menyadarinya—ini penghujatan terhadap hadis dan para imam ahli hadis!!
[11]   Al-Imam ‘Abdul-Gani al-Maqdisi Rahimahullahu Ta’alaberkata, “Siapakah yang lebih jahil dan rusak akalnya serta tersesat jalannya melebihi seorang yang mengatakan bahwa tidak boleh bertanya ‘di mana Allah’ setelah ketegasan Rasulullah n\ yang bertanya ‘di mana Allah’?!” (al-Iqtiṣād fi al-I‘tiqād hlm. 89 dan Tadzkirah al-Mu‘tasi hlm. 89–90 syarah Dr. ‘Abdurrazzaq al-Badr)
[12]   Al-‘Uluww li al-‘Aliyy al-‘Aẓīm (hlm. 81—Mukhtaṣar al-Albani—)
[13]   Adab al-Syāfi‘i wa Manāqibuhu hlm. 93 karya Ibn Abi Hatim, I‘tiqād al-Imām al-Syāfi‘i no. 4 karya al-Hakari. Dan dinukil oleh Ibn Qudamah dalam Iṡbāt Ṣifat al-‘Uluww hlm. 123, Ibn al-Qayyim dalam Ijtimā‘ Juyūsy al-Islāmiyyah hlm. 164, al-Zahabi sebagaimana dalam Mukhtaṣar al-‘Uluww hlm. 176, dan al-Suyuti dalam al-Amr bi al-Ittibā‘ hlm. 313.
[14]   ‘Aqīdah al-Imām Nāṣir al-Ḥadīṡ wa al-Sunnah Muḥammad ibn Idrīs al-Syāfi‘i hlm. 89–91
[15]   Semoga Allah merahmati al-Imam Abu Muẓaffar al-Sam‘ani ketika mengatakan, “Tidak pantas bagi seorang untuk membela mazhab al-Syafi‘i dalam masalah fikih tetapi tidak mengikutinya dalam masalah usul (pokok-pokok akidah).” (al-Intiṣar li Aṣḥāb al-Ḥadīṡ hlm. 9)
[16]   Syarḥ al-Sunnah li al-Muzanni hlm. 79 no. 1 (tahqiq: Jamal ‘Azzun)
[17]   Ibid. hlm. 82
[18]   Naqḍ Abi Sa‘īd ‘ala al-Mirisi al-Jahmi al-‘Anīd 1/228
[19]   Kitāb al-Tauḥīd 1/273
[20]   Al-Ibānah fi Uṣūl Diyānah hlm. 17
[21]   Ibid. hlm. 26
[22]   Risālah ila Ahl al-Ṡagr karya Abu al-Hasan al-Asy‘ari hlm. 231–234 (tahqiq: ‘Abdullah ibn Syakir al-Junaidi)
[23]   Semoga Allah merahmati al-Hafiz Abu al-‘Abbas al-Tarqi tatkala berkata, “Saya melihat kaum Jahmiyyah yang meniadakan ‘Arsy dan menakwilkan istiwa, mereka menisbahkan diri kepada Abu al-Hasan al-Asy‘ari. Ini bukanlah awal kebatilan dan kedustaan yang mereka lakukan.” (Risālah fi Żabb ‘an Abil-Ḥasan al-Asy‘ari karya Ibn Dirbas hlm. 111–112)
[24]   Ibn Salah dalam Ṭabaqāt Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah ketika menyebutkan biografi al-Khattabi menyebutkan bahwa salah satu karya tulisnya adalah kitab Syi‘ar Dīn. Beliau menempuh penjelasan berdasarkan dalil tanpa mengikuti cara ahli kalam, sampai beliau mengatakan, “Dan beliau menegaskan dalam kitab tersebut bahwa Allah di atas langit.” Demikianlah al-Imam Ibn Salah menukil dan tidak mengkritiknya sebagai tanda persetujuannya.
[25]   Dinukil Ibn al-Qayyim dalam Taḥżīb al-Sunan 13/35–36 dan sebagiannya dinukil oleh al-Qurtubi dalam al-Asna fi Syarḥ Asmā’illāhi al-Husna hlm. 170.
[26]   Syarḥ Uṣūl al-I‘tiqād karya al-Lalika’i hlm. 387–388
[27]   ‘Aqīdah al-Salaf Aṣḥāb al- Ḥadīṡ hlm. 176
[28]   Al-Ḥujjah bi Bayān al-Maḥajjah 2/83
[29]   Al-Intiṣār fi al-Radd ‘ala al-Qadariyyah al-Asyrār 2/607
[30]   Kitāb al-‘Arsy karya al-Zahabi 2/342
[31]   Dinukil dari al-Dalā’il al-Wafiyyah fi Taḥqīq ‘Aqīdah al-Imām al-Nawawi al-Salafiyyah Am Khalafiyyah hlm. 42–47 karya Syaikhuna Masyhur ibn Hasan Salman.
[32]   Demi inṣāf dan keadilan, kami katakan bahwa kitab ini masih diragukan oleh sebagian ulama dan peneliti akan keabsahannya sebagai buah karya al-Imam al-Nawawi. (Yusuf Abu Ubaidah)
[33]   Lihat Majmū‘ Fatāwa Ibn Taimiyyah 3/224, dan al-‘Uluww2/1248 karya al-Zahabi.
[34]   Taḥżīb Ṭabaqāt Fuqahā’ al-Syāfi‘iyyah 1/470
[35]   Al-‘Uluww hlm. 143
[36]   Diwān Farazdaq 1/418, dan al-Īḍāḥ fi ‘Ulūm Balagah karya al-Khatib al-Qazwini 1/46