Tuesday, January 6, 2015

Buku “Kenapa Aku Meninggalkan Syiah”

http://inilah-bukti-kesesatan-syiah.blogspot.com/2013/07/mengapa-saya-keluar-dari-syiah.html

                             

Buku ini sangat membuat geram penganut ajaran Syiah dengan mengeluarkan banyak bantahan-bantahan termasuk isyu bahwa Assyayid Husain Al-Maliki adalah tokoh fiktif atau rekaan, sama halnya dengan tokoh rekaan ‘Abdullah bin Saba’ penyebar agama Syiah yang dihukum oleh Imam Ali, ra. [bantahan-bantahan tersebut telah diteliti dan isinya sampah/ pemutar balikan fakta/kekalutan]
Buku ini menjadi dasar bagi banyaknya penganut Syiah yang bertaubat dan kembali ke ajaran yang benar..
Buku yang berjudul asli “Lillahi Tsumma Li At-Tharikh” ini ditulis oleh mantan ulama kalangan Syiah yang lahir di Karbala (Iraq). Belajar di kota ilmu (hauzah) di Najaf tempat para ulama menimba ilmu agama. Ia mendapat gelar mujtahid di kalangan Syiah yaitu dari Sayid Muhammad Husain Ali Kasyif Al-Ghitha’..yang dengan demikian pada awalnya ia adalah seorang ulama Syiah yang disegani sebelum akhirnya mendapat hidayah dan kembali ke jalan yang benar, ahlussunnah (Sunni).
Sayyid Hussain al-Musawi bukanlah satu nama yang asing di kalangan kaum/agama Syi'ah. Beliau adalah seorang ulama besar Syi'ah yang lahir di Karbala dan belajar di "Hauzah" sehingga memperolehi gelaran mujtahid daripada Sayyid Muhammad Hussain Ali Kasyif al-Ghitha'. Selain itu, beliau juga memiliki kedudukan yang istimewa di sisi ayatollah Khomeini (tokoh besar imam Syi'ah). Setelah melalui pengembaraan spiritual yang cukup panjang, akhirnya beliau mendapat hidayah dari Allah. Beliau menemui begitu banyak sekali kesesatan dan penyimpangan di dalam ajaran Syi'ah yang selama ini beliau anuti. Beliau pun mengambil keputusan untuk keluar dari Syi'ah, beliau kembali ke jalan yang benar iaitu jalan Ahlus Sunnah wal-Jama'ah, dan kemudian beliau menulis buku ini demi membongkar segala kedustaan puak-puak dan imam-imam Syi'ah. Buku ini adalah sebuah ungkapan jujur dari seorang bekas tokoh besar Syi'ah yang masih memiliki nama yang gah di tengah-tengah tokoh Syi'ah lainnya yang hidup mewah bergelumang dengan harta dan wanita sesuka hati dengan berdalihkan alasan agama secara batil. Kemunculan buku ini ibarat halilintar yang merobohkan tembok pembohongan kaum Syi'ah selama ini. Dengannya kelompok Syi'ah diserang keporak-perandaan dan kacau bilau. Para imam-imam Syi'ah kebingungan untuk menyangkal!
Di antara kesesatan Syiah yang diungkap Sayyid Husain Al-Musawi adalah berkaitan dengan ajaran dan praktik nikah mut’ah (kahwin/nikah kontrak: atau sebenarnya adalah zina) yang dilakukan bukan saja oleh orang-orang Syiah kebanyakan, tetapi juga oleh tokoh-tokoh besar Syiah. Sayyid Hussain, kerana bukunya inilah kemudian mendapatkan ancaman bunuh dari kalangan Syiah. Sebelumnya, dia telah difatwa sesat dan menyesatkan bahkan murtad oleh Husain Bahrululum pada 20 Shafar 1421H di sarang Syiah terbesar, Najaf. Memang, tokoh-tokoh Syiah yang berusaha meluruskan ajaran Syiah nyaris semua berakhir tragis. Sayyid Abul Hasan Al-Asfahani, Sayyid Musa Al-Musawi, Sayyid Ahmad Al-Kasrawi adalah pembesar-pembesar Syiah yang akhirnya dibunuh kerana berusaha meluruskan ajaran Syiah. Berikut adalah kesaksian Sayyid Husain Al-Musawi tentang mut’ah yang dilakukan oleh pemimpin tertinggi Syiah sekaligus Pemimpin Revolusi Iran, Imam Ayatullah Khomeini, seperti yang ditulis Sayyid Husain dalam buku tersebut. Berkaitan dengan nikah mut’ah, Sayyid Husain menulis tentang beberapa kisah dari pembesar Syiah lainnya. Beliau (penulis) antaranya berkata: “Ketika Imam Khomeini tinggal di Iraq, kami ulang-alik berkunjung kepadanya. Kami menuntut ilmu daripadanya sehingga hubungan antara kami dengannya menjadi erat sekali. Suatu waktu disepakati untuk menuju suatu kota dalam rangka memenuhi undangan, iaitu kota yang terletak di sebelah barat Mosul, yang ditempuh kurang lebih satu setengah jam dengan perjalanan menaiki kereta. Imam Khomeini memintaku untuk pergi bersamanya, maka saya pergi bersamanya. Kami disambut dan dimuliakan dengan pemuliaan keluarga Syiah yang tinggal di sana. Dia telah menyatakan janji setia untuk menyebarkan paham Syiah di wilayah tersebut. Ketika berakhir masa perjalanan, kami kembali. Di jalan saat kami pulang, kami melewati Baghdad dan Imam hendak beristirahat dari keletihan perjalanan. Maka dia memerintahkan untuk menuju daerah peristirahatan, di mana di sana tinggal seorang laki-laki asal Iran yang bernama Sayid Shahib. Antara dia dan imam terjalin hubungan persahabatan yang cukup kental. Sayid Shahib merasa bahagia dengan kedatangan kami. Kami sampai ke rumahanya waktu Zuhur, maka dia membuatkan makan siang bagi kami dengan hidangan yang sangat luar biasa. Dia menghubungi beberapa kerabatnya dan mereka pun datang. Rumah menjadi ramai dalam rangka menyambut kedatangan kami. Sayid Shahib meminta kami untuk menginap di rumahnya pada malam itu, maka imam pun menyetujuinya. Katika datang maktu Isya’ dihidangkan kepada kami makanm malam. Orang-orang yang hadir mencium tangan Imam dan menanyakannya tentang beberapa masalah dan imam pun menjawabnya. Ketika tiba saatnya untuk tidur dan orang-orang yang hadir sudah pada pulang kecuali tuan rumah, Imam Khomeini melihat anak perempuan yang masih kecil, umurnya sekitar empat atau lima tahun, tetapi dia sangat cantik. Imam meminta kepada bapa-nya, iaitu Sayid Shahib untuk menghadiahkan anak itu kepadanya agar dia melakukan mut’ah dengannya, maka si bapak menyetujuinya dan dia merasa sangat senang. Lalu Imam Khomeini tidur dan anak perempuan ada di pelukannya, sedangkan kami mendengar tangisan dan teriaknnya! Yang penting, berlalulah malam itu. Ketika tiba waktu pergi kami duduk untuk menyantap makan pagi. Sang Imam melihat kepadaku dan di wajahku terlihat tanda-tanda ketidaksukaan dan pengingkaran yang sangat jelas, kerana bagaimana dia melakukan mut’ah dengan anak yang masih kecil, padahal di dalam rumah terdapat gadis-gadis yang sudah baligh, yang mungkin baginya untuk melakukan mut’ah dengan salah satu di antara mereka, tetapi mengapa dia melakukan hal itu dengan anak kecil?! Dia berkata kepadaku, “Sayyid Husain, apa pendapatmu tentang melakukan mut’ah dengan anak kecil?” Saya berkata kepadanya, “Ucapan yang paling tinggi adalah ucapanmu yang benar adalah perbuatanmu dan engkau adalah seorang imam mujtahid. Tidak mungkin bagiku untuk berpendapat atau mengatakan kecuali sesuai dengan pendapat dan perkataanmu. Perlu dipafami bahawa tidak mungkin bagi saya untuk menentang fatwamu.” Dia berkata, “Sayid Husain, sesungguhnya mut’ah dengan anak kecil itu hukumnya boleh, tetapi hanya dengan cumbuan, ciuman dan himpitan peha. Adapun jima’, maka sesungguhnya dia belum kuat untuk melakukannya.” Imam Khomeini berpendapat atas kebolehan melakukan mut’ah sekalipun dengan anak yang masih disusui. Dia berkata, “Tidak mengapa melakukan mut’ah dengan anak yang masih disusui dengan pelukan, humpitan paha (meletakkan kemaluan di antara dua pahanya) dan ciuman. (lihat kitabnya berjudul Tahrir al-Wasilah, 1/241, nomor 12).” Naudzubillah tsumma naudzubillah...
Buku ini membahas pertama kali mengenai keberadaan Abdullah bin Saba’ yaitu tokoh Yahudi (menampakkan diri sebagai seorang Muslim) yang menyempal dari ajaran Nabi Muhammad -shollallohu ‘alayhi wasallamdan mempelopori aliran Syiah. Penyimpangan Abdullah bin Saba’ adalah ia menuhankan Sahabat Ali – Radhiyallohu anhu. Ia juga mencaci maki Abu Bakar, Umar dan Ustman serta sahabat-sahabat lainnya -Radhiyallohu
anhum serta istri-istri Rasulullah.
Kebanyakan ulama Syiah tidak mengakui keberadaan Abdullah bin Saba’ dan menyatakan ia hanyalah dongengan kaum Sunni. Namun di kitab terkenal kaum Syiah yaitu Ashlu Asy-Syi’ah wa Ushuluha hal 40-41 penulis mendapatkan pernyataan yang menunjukkan keberadaan Abdullah bin Saba’. Misalnya tertulis di dalamnya, “Adapun Abdullah bin Saba’ yang mereka lekatkan dengan Syiah, maka seluruh kitab Syiah menyatakan melaknatnya dan berlepas diri daripadanya….” Bukan itu saja, keberadaan Abdullah Bin Saba’ pun tertulis dalam kitab-kitab muktabar kaum Syiah seperti riwayat dari Abu Ja’far, Al-Maqmani dalam Tanqihu Al-Maqal fi Ilmi Rijal, Ibnu Abi al-Hadidi dalam Syarah Nahjul Balaghah, Sayid Ni’matullah al Jazairi dalam Al- Anwar An-Nu’maniyah dan seterusnya. Jadi banyak ulama Syiah telah berbohong dengan mengatakan Abdullah bin Saba’ adalah tokoh reka-reka kalangan Sunni.
Ada kitab-kitab samawi selain al-Qur’an yang diyakini kaum Syiah diturunkan kepada Nabi Muhammad – Shollallohu ‘alayhi wasallam dan dikhususkan untuk Imam Ali – Radhiyallohu anhu dan ditulisnya, kitab-kitab ini disembunyikannya yaitu:
Al-Jamiah
Shahifah An-Namus
Shahifah Al-Abithah
Mushaf Fathimah
Al-Qur’an tersembunyi yang ada pada Ali dan para Imam sesudahnya (ini berarti yang ada saat ini dianggap tidak asli) Taurat, Injil dan Zaburdst. hingga 12 kitab.
Ini menunjukkan bahwa mereka mempercayai adanya firman Allah dalam kitab selain Al-Qur’an
Al-Karim yang ada saat ini. Mereka yang mengikuti ajaran ini disebut sebagai Syiah Imamiyah mempercayai bahwa mereka mempunyai 12 orang pemimpin, yang pemimpin pertamanya adalah Imam Ali ra. Imam Kedua Belas yang dikenal dengan nama al-Qasim atau al-Muntazhar diyakini kelak akan: Membunuh orang Arab.
Menghancurkan Masjidil Haram dan Masjid Nabawi dan menganggap lebih baik Karbala di Iraq.
Menegakkan hukum keluarga Daud dan Sulaiman. Dari sini bisa diketahui bahwa nuansa ajaran Yahudi sangat kental dalam ajaran Syiah.
Demikian sekilas isi buku “Mengapa Aku Keluar Dari Syiah” dimana karena buku ini, melalui fatwa dari ulama Hauzah, penulis buku ini telah dicabut semua gelar keilmuannya, dimurtadkan dan kalangan Syiah diharamkan membaca bukunya. Masih banyak yang dibahas dalam buku tersebut seperti a.l. masalah Khumus (infaq 1/5 dari harta orang Syiah yang diambil oleh para ulama mereka), kebencian, pengkafiran dan penghalalan darah serta harta Ahlus Sunnah di mata orang Syiah, caci maki dan hinaan mereka terhadap sahabat (Abu Bakar, Umar, Utsman Radhiyallohu anhum) serta istri-istri Nabi (Aisyah, Hafshah), celaan dan fitnah terhadap Rasulullah dalam masalah perkawinan beliau dengan Zainab mantan istri Zain bin Haritsah dan lain sebagainya.
Wallahu a’lam bishshowab












Siapa Bilang Sunni Syi'ah Tidak Bisa Bersatu


Sebagaimana dikatakan oleh penulis, bahwa shahihnya manhaj adalah syarat muthlaq untuk mengetahui hakikat Islam yang benar, dan sebaliknya rusaknya manhaj adalah sebab utama kabur dan gelapnya hakikat. Dan keshahihan manhaj yang dianut oleh dua pihak yang berseberangan, tidak akan dapat disingkap kecuali melalui dialog dan diskusi.
Sungguh menyakitkan bagi umat ini, yang selama sekian abad telah disibukkan oleh perseteruan yang getir dengan golongan sempalan Syi'ah. Pertentangan apa yang sebenarnya terjadi antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah? Apakah perselisihan yang terjadi di antara keduanya hanya masalah kecil atau substansial? Hanya masalah furu' atau dalam masalah ushul (akidah)? Hanya karena faktor-faktor politik atau pokok-pokok Agama? Sebegitu jauhkan pertentangan di antara keduanya hingga harus ada usaha untuk mempertemukannya?

Buku ini adalah di antara jawabannya. Buku ini merupakan dialog antara seorang doktor dan guru besar Ahlus Sunnah dengan seorang doktor dan guru besar Syi'ah, yang isinya patut dicermati oleh setiap kaum Muslimin; para ustadz, pemikir, penulis, pemerhati sosial, mahasiswa, dan terutama bagi mereka yang selama ini menyerukan pluralisme; agar kita semua memiliki bashirah dalam beragama.
Dialog ini benar-benar terjadi, bukan fiktif, sehingga hasil kesimpulan dari dialog ini juga benar-benar sebuah kesimpulan ilmiah yang bisa diper-tanggungjawabkan.

AWAL MULA KISAH DIALOG 

Dalam buku ini Syaikh Dr. Sa'ad Hamdan, penulis buku ini, menuturkan di awal buku ini, yang secara ringkas sebagai berikut: Pada Bulan Ramadhan 1423 H, saya dikunjungi oleh Dr. Abu Mahdi Muhammad al-Husaini al-Qazwini, di kediaman saya. Dia adalah seorang dosen di salah satu universitas di Iran, bahkan dia juga memberikan mata kuliah di delapan universitas di sana, sebagaimana yang dia beritahukan kepada saya setelah itu.Tujuannya hanya ingin melakukan dialog dengan saya mengenai berbagai masalah yang diperselisihkan antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah. Dan saya pun langsung menyanggupinya.

Berlangsunglah dialog tersebut dalam sejumlah masalah, dan di antara keyakinan Ahlus Sunnah yang saya tegaskan ketika itu adalah bahwa Allah Ta'ala telah mengutus para rasul untuk menegakkan hujjah atas seluruh makhluk, sebagaimana Firman Allah Ta'ala,
رُسُلًا مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ لِئَلَّا يَكُوْنَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيْزًا حَكِيْمًا.
(Mereka Kami utus) sebagai rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan Allah Maha Perkasa lagi Mahabijaksana. (An-Nisa`: 165).

Kemudian Allah menutup para rasul tersebut dengan Nabi kita, Muhammad Shallallahu alaihi wasallam. Dan karena beliau adalah pembawa risalah terakhir kepada umat manusia, maka pastilah Allah telah menyiapkan bagi beliau faktor-faktor kesuksesan dalam menegakkan hujjah yang dimaksud, yang dengan itu Allah mematahkan alasan-alasan manusia yang tidak taat hingga Hari Kiamat tiba. Dan faktor-faktor kesuksesan tersebut tidak dapat terealisasi kecuali dengan tegaknya beberapa hal pokok, yang di antaranya adalah:

1. Hendaknya kitab suci yang diturunkan Allah kepada beliau mencakup semua kebutuhan manusia dalam beragama.
2. Hendaknya Allah menjaga kitab suci tersebut dari kekurangan atau penambahan, sehingga hujjah benar-benar tegak dengannya untuk selamanya.

3. Hendaknya Allah menyiapkan orang-orang yang menjaga Agama ini dan menyampaikannya kepada manusia. Menurut Ahlus Sunnah, semua ini telah teresalisasi, sedangkan menurut Syi'ah tidak terealisasi.

Menurut Ahlus Sunnah, Allah telah menurunkan sebuah kitab suci yang sempurna sebagai pedoman beragama bagi umat ini dan Allah telah berjanji untuk memeliharanya, sehingga tidak akan mungkin bisa ditambahi dan tidak pula dikurangi. Dan bersama itu Allah juga telah menyiapkan orang-orang pilihan lagi mulia untuk melanjutkan penegakan hujjah dan dakwah sepeninggal NabiNya yang agung, yakni para sahabat, yang dengan dakwah dan jihad merekalah Agama ini tersebar ke berbagai pelosok bumi ini.
Tetapi menurut Syi'ah, al-Qur`an tidak cukup, dan harus ada imam yang menjelaskan kepada manusia. Yang aneh, imam yang mereka klaim tersebut tidak memiliki kuasa di muka bumi, dalam arti tidak memiliki legalitas untuk melaksanakan tugas tersebut.
Syi'ah juga mengklaim bahwa al-Qur`an yang sampai kepada kita sekarang adalah kurang. 
Penganut Syi'ah juga berkeyakinan bahwa para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam, -yang berdasarkan catatan sejumlah kitab rujukan diperkirakan berjumlah sepuluh ribu orang-, semuanya telah murtad dan mengkhianati Nabi Shallallahu alaihi wasallam, kecuali empat orang saja.
Dengan demikian, Syi'ah telah memvonis Agama Islam ini telah gagal ditegakkan sejak pertama kali, dan itu artinya bahwa Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wasallam juga telah gagal dalam mendidik para sahabat beliau. Ini juga berarti bahwa Agama ini tidak bisa menjadi hujjah yang tegak kepada manusia dan kemanusiaan.
Pembicaraan lain yang mengemuka saat itu adalah tentang standar dan rumusan prinsip yang menjadi pegangan dalam menshahihkan dan mendhaifkan hadits. Dan masalah ini sangat penting dan mendasar untuk diketahui oleh para pemerhati, karena ketika Ahlus Sunnah berdalil dengan hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam-imam Ahli Hadits Ahlus Sunnah semacam al-Bukhari dan Muslim, Syi'ah menolaknya, dan tentu mereka memiliki alasan dan argumen. Bagaimana Argumentasi mereka dan apa jawaban Ahlus Sunnah? Ini semua adalah poin-poin yang sangat penting untuk ditelaah oleh seorang Ahlus Sunnah wal Jama'ah sejati, agar menjadi seorang Muslim yang tangguh dalam membela Agamanya.
Dan begitulah dialog tersebut berkembang ke berbagai masalah prinsip lain yang tertuang secara apik dalam buku kita ini. 
Pertemuan tersebut kemudian berakhir, dan Dr. Abu Mahdi al-Qazwini kemudian meninggalkan Makkah. 
Lebih kurang satu tahun tiga bulan setelah itu, saya menerima faksimili dari Dr. al-Qazwini yang dilampirkan dengan sebuah risalah hasil penelitian-nya setebal 52 halaman. Dia mengatakan bahwa dia telah menghabiskan 500 jam untuk meneliti kitab-kitab Syi'ah dan kitab-kitab Ahlus Sunnah untuk mempelajari jawaban-jawaban saya. Dan dari sana kemudia dialog berlanjut dengan berbagai cara; surat menyurat, faksimili dan lainnya. Demikianlah Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi menuturkan secara ringkas.
Semua itu adalah bahan dari buku ini, yang berhasil disusun oleh Syaikh Dr. Sa'ad Hamdan dengan bagus dan enak dibaca, penuh argumen dan juga sopan santun dalam dialog yang tinggi dan patut dihargai.
Kesan terakhir dari Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi beliau tuangkan dengan mengatakan, Ini saya lakukan dengan harapan dapat menyadarkan dia dan setiap penganut Syi'ah, dan sebagai peringatan terhadap bahaya dan keropos-nya akidah mereka, agar mereka menolong diri mereka sendiri sebelum mereka meninggalkan dunia ini (untuk mempertanggungjawabkan semua apa yang mereka yakini di hadapan Allah azza wajalla).

ISI BUKU SECARA UMUM

Di antara yang menarik dalam dialog ini adalah tudingan Dr. al-Qazwini bahwa buku Lillah Tsumma li at-Tarikh (yang kami kira sudah ada edisi terjemahannya) yang merupakan pengakuan seorang mantan ulama Syi'ah yang kemudian bertaubat kepada Islam, bahwa itu adalah pengakuan bohong alias fiktif. Dan Syaikh Dr. Sa'ad al-Ghamidi berhasil membuktikan bahwa itu tidak fiktif dan pengakuan tersebut bukanlah suatu kebohongan terhadap Syi'ah. 

Masalah lain yang juga dibela mati-matian oleh Dr. al-Qazwini adalah kaidah dan prinsip dalam menshahihkan dan mendhaifkan hadits-hadits. Dan diskusi dalam tema ini sangat penting untuk dicermati oleh kaum Muslimin, terutama para ustadz dan tokoh, karena ternyata Syi'ah memilik standar dan kaidah tersendiri, bahkan memiliki kitab-kitab rujukan biografi para perawi hadits sendiri yang berbeda dengan apa yang dipegang oleh Ahlus Sunnah. Masalah lain yang juga disinggung adalah penafsiran berbagai ayat al-Qur`an, yang acap kali terjadi perselisihan yang tajam antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah.
Dan masalah yang paling sengit yang diperdebatkan dalam buku ini adalah mengenai khilafah; benarkah Nabi Shallallahu alaihi wasallam pernah mewasiatkan agar diganti oleh Ali bin Thalib sebagai khalifah setelah beliau wafat? Apa jawaban Ahlus Sunnah? Temukan jawabannya dalam buku kita ini.

TENTANG JUDUL BUKU
Barangkali judul ini mengganggu sebagian kaum Muslimin yang seakan-akan bertabrakan dengan isi buku. Untuk itu kami sampaikan, bahwa judul ini diputuskan berdasarkan keputusan tim di pustaka DARUL HAQ. Dan kami tidak bermaksud melakukan pengelabuan kalimat. Tujuan dasar kami dengan judul ini Siapa bilang Sunni Syi'ah tidak Bisa bersatu adalah agar kalangan yang selama ini menyerukan dialog dan menghentikan perseteruan dengan Syi'ah juga membacanya dan menjadi jelas bahwa seruan mereka itu adalah suatu usaha yang sia-sia; karena Islam dan Syi'ah sama sekali tidak akan pernah bisa bersatu. Jadi Siapa Bilang Sunni Syi'ah Tidak Bisa Bersatu? Yang bilang adalah buku ini, tetapi Anda harus membacanya terlebih dahulu, terutama bagi mereka yang selama ini menggembar- gemborkan bahwa perselisihan antara Ahlus Sunnah dengan Syi'ah hanya faktor-faktor politik, atau masalah-masalah kecil yang tidak prinsipil, dan untuk mereka inilah judul ini kami alamatkan. Coba Anda cermati!! Dua orang profesor doktor dari kedua belah pihak berdiskusi secara panjang lebar, tapi toh hasilnya: Tidak mungkin dipertemukan. Kenapa?

• Ahlus Sunnah sepakat bahwa Abu Bakar dan Umar adalah manusia terbaik setelah Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam, dan ini didukung oleh berbagai dalil dari al-Qur`an dan as-Sunnah yang bahkan mencapai derajat mutawatir. Tetapi Syi'ah justru memasukkan mereka berdua di antara mereka yang murtad sepeninggal Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam.

• Ahlus Sunnah sepakat bahwa al-Qur`an telah sempurna dan terjaga dari pengurangan dan penambahan, bahkan tak satu pun dari golongan yang menyempal dari Ahlus Sunnah yang menyelisihi kesepakatan ini selain Syi'ah yang berani mengatakan bahwa al-Qur`an ini kurang.
• Ahlus Sunnah sepakat bahwa para istri Nabi Shallallahu alaihi wasallam termasuk dalam Ahlul Bait yang dimuliakan Allah, tetapi sebaliknya Syi'ah mencaci maki mereka sebagai orang-orang yang munafik dan murtad sepeninggal Nabi Shallallahu alaihi wasallam.
• Ahlus Sunnah sepakat bahwa para sahabat Nabi Shallallahu alaihi wasallam yang wafat dalam keislaman, mereka semua adalah orang-orang yang tsiqah (kredibel dan terpercaya), tetapi Syi'ah mengatakan bahwa semua sahabat telah murtad kecuali beberapa orang saja yang bisa dihitung dengan jari tangan kanan saja.
• Dan masih banyak masalah lain yang diperdebatkan oleh kedua belah pihak, yang kesimpulannya: Tidak ada jalan untuk mempertemukan antara Agama Islam dengan agama Syi'ah. Pendengar Radio Raja` yang dirahmati Allah…….

Di penghujung resensi ini, kami, tim Pustaka DARUL HAQ, berdoa kepada Allah agar berkenan mencatat amal kecil ini sebagai amal shalih bagi semua pihak yang telah ikut andil dalam penerbitannya. Buku ini adalah jawaban bagi kesimpangsiuran yang selama ini menyeruak di tengah kaum Muslimin mengenai hakikat ajaran Syi'ah, agar kaum Muslimin tidak tertipu dengan penampilan anti barat dan sorban rapi yang selama ini ditampakkan oleh tokoh-tokoh Syi'ah. Kita harus senantiasa ingat bahwa 72 golongan sempalan umat ini berada di neraka dan hanya golongan yang tegak mengikuti Sunnah Nabi Shallallahu alaihi wasallam dan al-Jama'ah yang akan selamat hingga surga. Semoga Allah melindungi kita semua dari fitnah. Amin….

                                                         
                                             

                                           

Kebohongan Terbesar Dalam Sejarah Islam

Di antara kebohongan terbesar dalam sejarah Islam adalah tudingan bahwa para Sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم menyembunyikan permusuhan di antara mereka! Sungguh, tudingan ini sangat bathil dan jauh dari apa yang difirmankan Allah سبحانه و تعالى:‎ 
كُنتُمْ خَيْرَأُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنكَرِوَتُؤْمِنُونَ بِاللَّـهِ ۗ
Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. (Qs. Ali-Imran:110)

Demikian juga, tidak sesuai dengan sabda Rasulullah سبحانه و تعالى :
“Sebaik-baik manusia adalah generasiku.” (HR. Al-Bukhari)
Di antara tanda keterasingan Islam setelah berlalunya perieode tiga generasi yang utama adalah munnculnya penulis-penulis yang mendistorsi dan menyelewengkan fakta sejarah. Mereka menyelisihi dan menentang kebenaran. Mereka menyangka bahwasannya tidak ada rasa persaudaraan di antara para Sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم . mereka juga menyangka bahwa para Sahabat tidak saling mengasihi, tetapi saling bermusuuhan, saling mengutuk, saling menipu, bersifat hipokrit, dan melakukan konspirasi satu sama lain. Semua keburukan ini, menurut para penulis itu, semata-mata diperbuat Sahabat-Sahabat Nabi صلى الله عليه وسلم karena penentangangan, permusuhan, kecenderungan mengikuti hawa nafsu, dan egoisme untuk menggapai dunia.
Demi Allah, mereka berbohong! Sungguh, mereka telah melemparkan kedustaan yang besar dan nyata. Sebab justru sebaliknya, yang benar adalah Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, az-Zubair, Abu Ubaidah, Aisyah, Fathimah, dan Sahabat-Sahabat yang lain begitu mulia dan suci, sehingga tidak mungkin mereka terjatuh dalam hal-hal hina tersebut.
Terlebih lagi, Bani Hasyim dan Bani Umayah mengingat keislaman, kasih sayang, dan kekerabatan mereka di samping hubungan keduanya yang erat, mereka lebih bersemangat dalam berbuat kebaikan (daripada berselisih paham). Melalui kepemimpinan merekalah negeri-negeri di luar Jazirah Arab ditaklukan, hingga orang berbondong-bondong memeluk agama Allah سبحانه و تعالى berkat upaya tersebut. Perlu diketahui pula bahwa nama-nama yang disebutkan itu nasabnya bertemu pada Bani Hasyim, baik dari jalur hubungan paman, kekerabatan, ataupun pernikahan.
Anda harus yakin bahwa berita-berita yang benar, yaitu yang dinukilkan orang Mukmin yang jujur dan shalih, menetapkan bahwa semua Sahabat Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah orang-orang terbaik sepanjang sejarah manusia setelah para Nabi dan Rasul صلى الله عليه وسلم. Adapun berita-berita miring tentang para Sahabat yang isinya menuduh mereka sebagai orang-orang yang berjiwa sempit, itu hanyalah bualan yang disebarkan para pendusta dan pemalsu hadits.
Bagaimana Kita Membaca Sejarah?
Kita harus membaca sejarah seperti halnya membaca hadits-hadits Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Tatkala hendak membaca hadits-hadits beliau, tentu saja kita mengklarifikasi riwayatnya terlebih dahulu, apakah sanadnya shahih, ataukah tidak? Tidak mungkin riwayat dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم diketahui benar atau tidaknya tanpa melalui penelitian sanad dan matan. Karenanya, para ulama memperhatikan hadits dan perawinya. Mereka mengumpulkan setiap redaksi hadits yang diriwayatkan perawi, memilah-milahnya, menilainya, dan memisahkan yang shahih dari yang dha’if. Dengan metode ini, hadits-hadits yang dinisbatkan kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم  bisa dibersihkan dari cela, kebohongan, dan hal buruk semisal yang disiapkan padanya.
Akan tetapi, riwayat-riwayat terkait sejarah amat berbeda. Terkadang, kita menemukan riwayat-riwayat yang tidak bersanad. Terkadang pula, kita menemukan sanadnya tetapi biografi para perawi riwayat itu tidak ditemukan. Sering juga kita tidak menemukan jarh (kritik) ataupun ta’dil (sanjungan) ulama terhadap perawinya terkait kredibilitas periwayanya. Alhasil, kita kesulitan untuk menghukumi riwayat tentang sejarah tersebut dikarenakan tidak mengetahui keadaan sebagian perawinya. Dengan kata lain, meneliti keontetikan sejarah lebih sulit daripada keotentikan hadits. Oleh sebab itu, kita tidak boleh menyepelekannya. Justru, kita harus mengklarifikasi dan mengetahui cara pengambilan riwayat sejarah yang shahih.
Berikut beberapa kitab sejarah yang harus diwaspadai.
1.Al- Aghaani karya Abul Faraj al-Ashbahani. Kitab ini berisi obrolan, syair, dan nyanyian yang dicampuri berita-berita yang tidak benar.
2.Al-Iqdul Farid karya Ibnu Abdi Rabbih. Kitab sastra ini banyak memuat nukilan-nukilan palsu.
3.Al-Imaamah was Siyaasah yang dinisbatkan kepada Ibnu Qutaibah rahimahullah, tetapi penisbatan ini adalah dusta belaka.
4.Murujudz Dzahab atau Taatikh al-Mas’udi karya al-Mas’udi. Kisah-kisah yang dituturkan di dalam kitab ini tidak bersanad. Ibnu Taimiyah    رحمه الله bahkan mengomentarinya:”Dalam Taarikh al-Mas’udi terdapat banyak kebohongan, saking banyaknya, sampai-sampai tidak ada yang mengetahui jumlahnya kecuali Allah سبحانه و تعال 
5.Syarh Nahjil Balaaghah karya ‘Abdul Hamid bin Abul Hadid, seorang Mu’tazilah  yang dinilai dha’if oleh para ulama al-Jarh wat Ta’dil. Orang yang mengetahui alas an penyusunan kitab ini pasti akan meragukan diri dan karya penulisnya. Kitab ini disusun demi al-Wazir bin al-Alqami, seseorang yang menjadi penyebab utama terbunuhnya jutaan Muslim Baghdad di tangan bangsa Tartar.
6.Tarikh al-Ya’qubi. Kitab ini dipenuhi riwayat-riwayatmursal, tidak ada sanadnya yang bersambung secara utuh. Penulisnya sendiri adalah seorang yang tertuduh sebagai pembohong.(ZE)
Dikutip dari Buku: Inilah Faktanya (Dr. 'Utsman bin Muhammad al-Khamis)


                                         




Wasiat Ali Menjelang Wafat

Menjelang wafat, hanya hal-hal penting yang diingat. Mari kita simak bersama wasiat Ali bin Abi Thalib menjelang wafat
Wasiat dari Ali pastilah penting. Apalagi bagi teman-teman syi'ah, yang meyakini Ali sebagai imam ma’shum yang wajib diikuti. Dari Abu Ali Al Asy’ari, dari Muhammad bin Abdul Jabbar, dan Muhammad bin Ismail, dari Fadhl bin Syadzan, dari Shafwan bin Yahya, dari Abdurrahman bin Hajjaj berkata : Abul Hasan Musa ‘Alaihis salam mengirimkan padaku wasiat Amirul Mukminin ‘Alaihis salam, isinya : Bismillahirrahmanirrahim, ini adalah wasiat dari pembagian harta dari hamba Allah Ali, demi mencari ridha Allah, kiranya agar sudi memasukkan saya ke surga dan menjauhkan dari neraka karena wasiat ini, pada hari di mana ada wajah yang putih dan ada juga wajah yang menghitam,  seluruh harta milikku yang ada di Yanbu’ dan sekitarnya adalah sedekah, dan seluruh budaknya selain Rabah, Abu Naizar dan Jubair adalah merdeka, tidak ada yang boleh menghalangi mereka, mereka adalah budak, mengelola harta selama lima tahun, mereka boleh mengambil bagian harta untuk nafkah pribadi mereka dan keluarganya, sedangkan harta milik saya yang ada di Wadil Qura, dari harta milik anak keturunan Fatimah berikut budaknya adalah sedekah, dan yang ada di Dimah beserta penduduknya adalah sedekah, kecuali Zuraiq, berlaku baginya seperti yang aku lakukan pada teman-temannya, sedangkan hartaku yang ada di Adzinah berikut penduduknya adalah sedekah, dan Faqirain seperti yang kalian ketahui adalah sedekah di jalan Allah, dan yang telah kutentukan dari hartaku ini adalah sedekah yang wajib kutunaikan baik saat aku hidup maupun sudah mati, seluruhnya diinfakkan demi mencari keridhoan Allah, di jalan Allah, demi meraih keridhoan-Nya, dan untuk kerabatku dari golongan Bani Hasyim serta Bani Muthalib, yang dekat maupun yang jauh, semuanya dikelola oleh Hasan bin Ali, dia boleh memakan harta itu dengan baik-baik, dan menginfakkan di jalan yang diajarkan Allah, maka itu halal dilakukannya, tidak ada masalah, jika dia ingin maka boleh dijadikan miliknya, sesungguhnya anak-anak Ali, budak dan hartanya adalah dikelola oleh Hasan bin Ali.  Jika rumah yang menjadi miliknya bukan termasuk rumah sedekah, dan dia ingin menjualnya maka dia boleh menjualnya. jika dia menjualnya, maka hasil penjualannya dibagi menjadi tiga, sepertiga disedekahkan di jalan Allah, dan dua pertiga untuk Bani Hasyim dan Bani Muthalib, sepertiganya untuk keluarga Abu Thalib, dibagikan pada mereka sesuai petunjuk Allah, jika terjadi sesuatu pada Hasan sedangkan Husein masih hidup, maka dikelola oleh Husein bin Ali, dan Husein harus mengelola sesuai dengan petunjukku pada Hasan, dia wajib melakukan apa yang dilakukan oleh Hasan, bagian sedekah untuk anak-anak fatimah adalah sama seperti anak-anak Ali, saya menggariskan ketentuan untuk anak keturunan Fatimah adalah untuk mencari keridhoan Allah dan menghormati Rasulullah, mengagungkan dan memuliakan Rasulullah dan Fatimah, jika terjadi sesuatu pada Hasan dan Husein, maka yang masih hidup di antara mereka berdua melihat anak cucu Ali , jika ada dari mereka yang baik agama dan amanatnya, maka diserahkan padanya jika dia mau, jika tidak ada dari mereka yang baik agama dan amanatnya, maka diserahkan pada salah satu dari anak cucu Abu Thalib yang  dilihatnya baik, jika di antara anak cucu Abu Thalib sudah tidak ada lagi yang dituakan dan bijaksana, maka diserahkan pada salah satu dari Bani Hasyim, dengan syarat agar harta itu tetap dan tidak dijual, dan menginfakkan hasilnya seperti yang telah kutentukan, yaitu fi sabilillah, dan harta yang ada pada keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib tidak boleh dijual, dihibahkan dan diwariskan, dan harta Muhammad bin Ali yang menjadi miliknya, maka dia digabungkan dengan bagian anak cucu Fatimah, dan budak-budak yang namanya ada dalam daftar kecil, mereka seluruhnya merdeka. Inilah ketentuan yang dituliskan oleh Ali bin Abi Thalib dalam pengelolaan hartanya pada pagi ini, sehari setelah aku sampai di Muskin (nama tempat di dekat Kufah), demi mencari keridhoan Allah dan negeri akherat, hanya Allah lah tempat kita semua meminta tolong dalam segala kondisi, tidak halal bagi seorang muslim yang beriman pada Allah dan hari akhir untuk merubah dan melanggar ketentuan ini, baik orang dekat maupun orang jauh. Dan budakku yang kugauli, jumlahnya 17, ada dari mereka yang memiliki anak, ada yang hamil, ada lagi yang tidak memiliki anak, siapa yang memiliki anak atau sedang hamil, maka tidak dimerdekakan, dan menjadi bagian anaknya, jika anaknya mati sedang dia masih hidup, maka dia merdeka tidak boleh ada yang menggugat, ini adalah pembagian yang ditentukan oleh Ali bagi hartanya, sehari setelah sampai di Muskin, disaksikan oleh Abu Samr bin Burhah, Sha’sha’ah bin Shuhan, Yazid bin Qais, Hiyaj bin Abi Hiyaj. Ali menulis wasiat ini dengan tangannya sendiri pada 10 Jumadil Ula tahun 37 H. Selain berwasiat mengenai pengelolaan hartanya, Ali juga berwasiat: “Bismillahirrahmanirrahim, inilah wasiat dari Ali bin Abi Thalib, mewasiatkan bahwa dirinya bersyahadat tiada tuhan selain Allah, hanya Dia sendiri tidak ada sekutu baginya, dan Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya, diutus dengan petunjuk dan agama yang benar, untuk memenangkannya di atas seluruh agama, walaupun orang musyrik benci, Shallallahu ‘alaihi wa ‘aalihi, lalu sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabbul Alamin, tidak ada sekutu baginya dan itulah yang diperintahkan padaku, dan aku termasuk golongan muslimin.  Lalu aku mewasiatkan padamu wahai Hasan, dan seluruh Ahlul Baitku, dan anakku, juga seluruh mereka yang membaca tulisanku ini, agar bertaqwa pada Allah Rabb kalian, jangan sampai kalian mati kecuali dalam keadaan muslim. Berpeganglah pada tali Allah bersama-sama, dan janganlah kalian berpecah belah, karena aku mendengar Rasulullah bersabda: Hubungan baik di antara kaum muslimin lebih baik dari pada shalat dan puasa secara umum, dan hal yang merontokkan agama serta yang menghabiskan agama adalah rusaknya hubungan baik di antara kaum muslimin, tidak ada daya dan upaya melainkan dari Allah semata, yang Maha Tinggi lagi Maha Agung. Perhatikanlah kerabat dekat kalian, sambunglah silaturahmi, agar Allah memudahkan hisab amalan kalian. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang anak yatim, teruslah memberi makanan mereka, jangan sampai terputus, jangan sampai mereka tidak terurus di depan kalian, aku telah mendengar rasulullah bersabda: Siapa yang menanggung hidup anak yatim sampai bisa bekerja dan mencukupi hidupnya, Allah mewajibkan baginya surga, sebagaimana mewajibkan neraka bagi orang yang memakan anak yatim. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang Al-Qur’an, jangan sampai kalian ketinggalan dalam mengamalkanya dari orang lain, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang tetangga kalian, karena Rasulullah telah berwasiat tentang mereka, dan selalu mewasiatkan sampai kami mengira bahwa tetangga akan mewarisi harta tetangganya. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang rumah-rumah Allah (masjid) jangan sampai kosong dari kehadiaran kalian selama kalian masih hidup, jika kalian meninggalkan rumah-rumah Allah, kalian tidak diberi tenggang lagi dari azab, dan hal yang  didapat dari orang yang pergi ke masjid adalah diampuni dosanya yang telah lalu, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang shalat, karena shalat adalah sebaik-baik amalan, shalat adalah tiang agama. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang zakat, sungguh zakat memadamkan kemarahan Rabb kalian, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang puasa Ramadhan, karena berpuasa pada bulan itu adalah perisai dari api neraka, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang kaum fakir dan miskin, ikutkan mereka dalam kehidupan kalian, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang jihad dengan harta, jiwa dan lisan kalian, karena hanya ada dua macam orang yang berjihad, yaitu imam yang membawa petunjuk, dan orang taat yang mengikuti petunjuk imam, Aku ingatkan kalian pada Allah tentang keturunan Nabi kalian, jangan sampai mereka dizhalimi di depan mata kalian, sedangkan kalian mampu membela mereka. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang sahabat Nabi kalian, yang tidak berbuat dosa dan tidak melindungi pendosa, karena Rasulullah mewasiatkan mereka, dan melaknat orang yang berbuat jahat di antara mereka, atau melindungi penjahat, juga dari selain mereka. Aku ingatkan kalian pada Allah tentang wanita dan budak, karena kata-kata akhir Nabi kalian adalah: Aku wasiatkan pada kalian dua golongan lemah, yaitu wanita dan budak. Shalat, shalat, shalat, dan janganlah kalian takut melakukan perintah Allah karena celaan orang, Allah akan membela kalian dari orang yang mengganggu dan menganiaya kalian, ucapkan perkataan yang baik pada manusia, seperti telah diperintahkan oleh Allah. janganlah kalian meninggalkan amar ma’ruf dan nahi mungkar, jika kalian tinggalkan, Allah akan menjadikan bagi kalian pemimpin dari golongan terjelek dari kalian, lalu kalian berdo’a dan tidak dikabulkan. Wahai anakku, hendaknya engkau menyambung hubungan, memberi orang lain dan berbuat baik, hindarilah memutus hubungan, saling membelakangi dan berpecah belah, hendaknya kalian saling tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah tolong menolong atas perbuatan dosa dan permusuhan, bertakwalah pada Allah, sesungguhnya hukuman Allah adalah keras, semoga Allah menjaga kalian, seperti menjaga keluarga Nabi dan Nabi-Nya di antara kalian, kutitipkan kalian pada Allah, dan aku membaca Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh. Lalu Ali terus mengucapkan: Laa Ilaaha Illallah, hingga akhirnya wafat pada malam tanggal 23 Ramadhan, bertepatan malam jumat, tahun 40 H. Wasiat di atas tercantum dalam literatur syiah : Al-Kafi, Man La Yahdhuruhul Faqih, Tuhaful Uqul, Tahdzibul Ahkam, Nahjus Sa’adah, Biharul Anwar, Mustadrak Safinatil Bihar. Wasiat ini tidak ditujukan pada anak-anak Ali saja, tapi pada siapa saja yang membaca surat wasiatnya. Yang perlu kita cermati di sini, Ali berwasiat tentang banyak hal. Ali mengawali wasiatnya dengan wasiat tentang persatuan umat. Lalu dengan Al-Qur’an, shalat, zakat, puasa Ramadhan dan ibadah haji.  tidak ketinggalan Ali berwasiat agar bersikap baik terhadap para sahabat Nabi, berlaku baik pada wanita dan budak, tentang anak yatim, dan amar makruf nahi munkar. Semua poin dalam wasiat ini adalah hal-hal yang sangat penting. Namun Ali tidak menyinggung satu hal yang dianggap penting oleh syi’ah hari ini. Ternyata Ali sama sekali tidak menyinggung masalah imamah. Tidak menyinggung 12 imam, kewajiban mengikuti imam, tidak mewasiatkan pada anak cucunya berikut umat Islam untuk mengikuti 12 imam. Ini satu pertanda bahwa Ali tidak mengenal keyakinan imamah seperti yang dikenal oleh syi’ah hari ini. Ali malah berwasiat untuk bersikap baik kepada para sahabat Nabi, mereka yang dianggap pengkhianat oleh syi’ah. Berwasiat tentang persatuan umat, melarang untuk bermusuhan sesama muslim. Sementara syi’ah menganggap kaum muslim yang tidak meyakini imamah adalah sesat. Ali tidak meyakini imamah sebagaimana diyakini syi’ah hari ini, dan tidak pernah tahu tentang kewajiban beriman pada 12 imam. Kata Ali bin Abi Thalib: “Jika terjadi sesuatu pada Hasan dan Husein, maka yang masih hidup di antara mereka berdua melihat anak cucu Ali , jika ada dari mereka yang baik agama dan amanatnya, maka diserahkan padanya jika dia mau.” Jika Ali mengimani adanya 12 imam, sebagaimana syi’ah hari ini, mestinya diserahkan pada Ali bin Husein, bukan salah satu dari anak cucu Ali. Bukankah 12 imam sudah ditunjuk oleh Nabi? Atau Ali, sang pintu ilmu nan ma’shum, kali ini tidak tahu? Memang Ali tidak mengenal ajaran imamah. 
[hakekat/syiahindonesia.com].