Friday, May 15, 2015

Ahlul-Bait dan Taqiyyah

                                                         
Al-Imaam Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :
أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " إِنَّا لَنُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ، وَأَشْهَدُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ "
Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Israaiil, dari Al-Hakam, dari Abu Ja’far, ia berkata : “Sesungguhnya kami benar-benar shalat di belakang mereka (penguasa) tanpa taqiyyah. Dan aku bersaksi atas diri ‘Aliy bin Al-Husain bahwasannya ia juga shalat di belakang mereka tanpa taqiyyah” [Ath-Thabaqaat, 5/110].

Al-Fadhl bin Dukain, tsiqah lagi tsabat. Abu Israaiil (Ismaa’iil bin Khaliifah Al-‘Absiy);shaduuq, namun jelek hapalannya. Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy; tsiqah lagi tsabat, namun kadang melakukan tadlis.
Riwayat ini dikuatkan oleh :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، ثَنَا بَسَّامٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ عَنِ الصَّلَاةِ مَعَ الْأُمَرَاءِ؟ فَقَالَ: صَلِّ مَعَهُمْ، فَإِنَّا نُصَلِّي مَعَهُمْ. قَدْ كَانَ الْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ يَبْتَدِرَانِ الصَّلَاةَ خَلْفَ مَرْوَانَ " قَالَ: فَقُلْتُ: النَّاسُ يَزْعُمُونَ أَنَّ ذَلِكَ تُقْيَةٌ ؟ قَالَ: وَكَيْفَ ؛ إِنْ كَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، يَسُبُّ مَرْوَانَ فِي وَجْهِهِ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى يُوَلَّى "
Telah menceritakan kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Bassaam, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far tentang shalat bersama para penguasa (umaraa’), lalu ia menjawab : “Shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya kami pun shalat bersama mereka. Al-Hasan dan Al-Husain saling mendahului shalat di belakang Marwaan”. Aku berkata : “Orang-orang mengatakan bahwa hal itu dilakukan karena taqiyyah”. Ia menjawab : “Bagaimana bisa, padahal Al-Hasan bin ‘Aliy mencela/menghardik Marwaan di depannya langsung saat berada di atas mimbar, hingga ia berpaling” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/378-379 no. 7650; shahih].
Tentang shalatnya Al-Hasan dan Al-Husain di belakang Marwaan, maka mereka berdua tidak mengulangnya ketika sampai di rumah, sebagaimana riwayat :
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ " أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ كَانَا يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلاةِ الأَئِمَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : Bahwasannya Al-Hasan dan Al-Husain shalat di belakang Marwaan. Ada yang berkata : “Tidakkah keduanya mengulangi shalatnya saat kembali ke tempat kediamannya ?”. Muhammad bin ‘Aliy berkata : “Tidak demi Allah, keduanya tidak menambah shalat yang telah mereka lakukan bersama para pemimpin/penguasa” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 298; shahih].
Atsar ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah[1] 2/378 no. 7642, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm[2] 1/175, ‘Abdurrazzaaq[3] no. 3801, Al-Bukhaariy[4] dalam Al-Ausathno. 417, Ad-Duulabiy dalam Al-Kunaa[5] 1/417, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa[6]3/122 dan dalam Al-Ma’rifah[7] 2/399-400 no. 1541.
Inilah madzhab Ahlul-Bait. Tetap shalat di belakang penguasa tanpa taqiyyah, tanpa mengulang. Artinya, shalat mereka adalah sah karena imam mereka adalah imam muslim.
Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan kelakukan mengada-ada dari Syi’ah Raafidlah. Mereka (Syi’ah Raafidlah) mengkafirkan Bani Umayyah dan kaum muslimin pada umumnya yang tidak sehaluan dengan agama rusak mereka.[8] [Jika memang Bani Umayyah itu kafir, bukankah menjadi kelaziman shalat yang dilakukan Al-Hasan dan Al-Husain itu tidak sah ?[9]]. Keyakinan rusak itu terwariskan hingga detik ini dimana mereka (Syi’ah Raafidlah) mengharamkan shalat di belakang Ahlus-Sunnah, kecuali karena alasan taqiyyah. Ada riwayat menarik yang perlu kita cermati :
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حَفْصَةَ، قَالَ: " قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ: إِنَّ أَبَا حَمْزَةَ الثُّمَالِيَّ، وَكَانَ فِيهِ غُلُوٌّ، يَقُولُ: لَا نُصَلِّي خَلْفَ الْأَئِمَّةِ، وَلَا نُنَاكِحُ إِلَّا مَنْ يَرَى مثل مَا رَأَيْنَا؟ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ بَلْ نُصَلِّي خَلْفَهُمْ، وَنُنَاكِحُهُمْ بِالسُّنَّةِ "
Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibraahiim bin Abi Hafshah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Husain : “Sesungguhnya Abu Hamzah Ats-Tsamaliy – ia adalah orang yang berlebih-lebihan terhadapnya (‘Aliy bin Al-Husain) – berkata : ‘Kami tidak shalat bersama para penguasa, dan kami tidak mengadakan pernikahan kecuali dengan orang yang sependapat dengan kami”. Maka ‘Aliy bin Al-Husain berkata : “Bahkan kami shalat di belakang mereka, dan kami mengadakan pernikahan dengan mereka dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/379 no. 7651; shahih].
Ibraahiim bin Abi Hafshah adalah seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/27 no. 276].
Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua orang pemimpin pemuda ahli surga yang tidak takut celaan orang yang mencela. Berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang ada di dalam hati mereka berupa kebenaran. Tidak berperilaku seperti orang-orang munafik yang bertopeng kedustaan dimana perkataan dan perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati mereka. Mereka (Ahlul-Bait) tetap berani menampakkan kebenaran, bersikap tegas, dan siap mengkritik/mengkoreksi jika melihat kekeliruan, siapapun orangnya. Apakah ia penguasa ataupun sekedar rakyat jelata.
Sifat Al-Hasan dan Al-Husain itulah yang diwarisi oleh anak cucu mereka dari kalangan Ahlul-Bait yang shaalih; namun tidak diwarisi oleh kaum yang mengaku-aku mencintai mereka, Syi’ah Raafidlah.
Para Pembaca dapat membandingkannya berbagai intrik taqiyyah ala Syi’ah. Bahkan, banyak kasus yang tidak dapat kita mengerti mengapa taqiyyah mesti dilakukan. Misalnya :
وعن سماعة قال: قلت لأبي عبدالله عليه السلام في المغرب: انا ربما صلينا ونحن نخاف ان تكون الشمس خلف الجبل أو قد سترها الجبل فقال: ليس عليك صعود الجبل
Dari Samaa’ah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaamtentang Maghrib : “Sesungguhnya kami seringkali khawatir apabila matahari masih di belakang gunung atau tertutup gunung (yaitu belum masuk waktu Maghrib- Abul-Jauzaa’)”. Maka ia menjawab : “Tidak wajib bagimu untuk memanjat/menaiki gunung (untuk melihat matahari apakah telah tenggelam)”.
Al-Majlisiy dan Al-‘Aamiliy berkata : “Lebih patut membawa khabar tersebut padataqiyyah” [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/85 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/198].
Apa perlunya taqiyyah dalam keadaan itu ?
وعن أبي العرندس انه رأي الكاظم في رمضان حين قال المؤذن: الله أكبر صب له غلامه فناوله وشرب.
Dari Abul-‘Arandas : Bahwasannya ia pernah melihat Al-Kaadhim dalam bulan Ramadlaan saat muadzdzin mengumandangkan : ‘Allaahu Akbar’, budaknya menuangkan air minum dan memberikan kepadanya, dan ia pun meminumnya”.
Al-Majlisiy berkata : “Dimungkinkan membawa khabar tersebut pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 83/62].
Apa kepentingan taqiyyah dalam keadaan tersebut ? Apa yang ditakuti ? Apakah hal itu dilakukan hanya untuk ‘menutupi kekeliruan’ imam yang minum setelah adzan berkumandang ?.
عن الرضا أنه نهى عن قراءة المعوذتين في صلاة الفريضة، ولا بأس في النوافل، لأنها من الرقية ليستا من القرآن ادخلوها في القرآن، قال المجلسي: النهي عن قراءة المعوذتين في الفريضة محمول على التقية
Dari Ar-Ridlaa : “Bahwasannya ia melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu, namun tidak mengapa dalam shalat sunnah. Karena surat tersebut termasuk ruqyah yang bukan termasuk bagian dari Al-Qur’an, namun dimasukkan ke dalam Al-Qur’an”.
Al-Majlisiy berkata : “Larangan untuk membaca Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu dibawa pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 85/42].[10]
Apa urusannya taqiyyah dalam melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu ?. Apa yang ia takutkan dari ‘musuh mereka’ (yaitu Ahlus-Sunnah), padahal mereka (Ahlus-Sunnah) membolehkan membacanya dalam shalat apapun ?. Ketakutan dan kekhawatiran macam apa yang mengharuskan taqiyyah ?.
عن الصادق قال: قال الله عزوجل لموسى عليه السلام: فأخلع نعليك، لأنها كانت من جلد حمار ميت،
Dari Ash-Shaadiq, ia berkata : Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Musa ‘alaihis-salaam : “Lepaskan kedua sandalmu, karena ia terbuat dari (kulit) bangkai keledai”.
Al-Majlisiy berkata : “Nampak bahwa khabar dibawa pada taqiyyah”. Hal yang sama dikatakan oleh Al-‘Aamiliy [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/237 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/344].
Jika Pembaca merasa bingung dalam memikirkan alasan taqiyyah dalam riwayat sebelumnya, niscaya akan lebih bingung memikirkan riwayat ini. Siapakah yang menjadi subjek yang melakukan taqiyyah ?. Allah ? Musa ? atau Ash-Shaadiq ?. Seandainya itu dinisbatkan kepada Ash-Shaadiq, ancaman apa kira-kira yang membuatnya bertaqiyyah sehingga berani berdusta atas nama Allah dan Musa ?.
عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).
Dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].
Ath-Thuusiy berkata : “Pemahaman terhadap atas riwayat ini adalah kami membawanya sebagai satu taqiyyah karena riwayat tersebut berkesesuaian dengan madzhabnya orang-orang awam (baca : Ahlus-Sunnah)” [Al-Ibtishaar 3/142 dan Tahdziibul-Ahkaam7/251].
Jadi, dalam kasus ini, klaim taqiyyah ini semata-mata hanya karena perkataan ‘Aliy itu kebetulan cocok dengan perkataan Ahlus-Sunnah.
Para Pembaca dapat lihat bagaimana praktek taqiyyah orang-orang Syi’ah. Masih banyak lagi riwayat yang dapat disebutkan, namun saya rasa sedikit contoh di atas cukup memberikan keterangan bagi mereka yang masih sehat akalnya.
Semoga keterangan singkat ini ada manfaatnya.
[abul-jauzaa’ – 1432].
NB : Kita tidak pernah menafikkan keberadaan taqiyyah, karena ia disyari’atkan dalam kondisi-kondisi tertentu.Taqiyyah menurut legalitas syari’at bermakna menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka.


      [1]      Atsar :
حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرٍ، عَنْ أَبِيهِ، قَالَ: " كَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، وَالْحُسَيْنُ، يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقِيلَ لَهُ أَمَا كَانَ أَبُوكَ يُصَلِّي إِذَا رَجَعَ إِلَى الْبَيْتِ؟ قَالَ: فَيَقُولُ: لَا وَاللَّهِ، مَا كَانُوا يَزِيدُونَ عَلَى صَلَاةِ الْأَئِمَّةِ "
      [2]      Atsar :
أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الشَّافِعِيُّ، قَالَ: أَخْبَرَنَا حَاتِمٌ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ الْحَسَنَ وَالْحُسَيْنَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمَا كَانَا " يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: أَمَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لَا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلَاةِ الْأَئِمَّةِ "
      [3]      Atsar :
عَنِ الثَّوْرِيِّ، عَنْ هِشَامٍ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ: " أَنَّ حَسَنًا، وَحُسَيْنًا، كَانَا يُسْرِعَانِ إِذَا سَمِعَا مُنَادِيَ مَ   رْوَانَ، وَهُمَا يَشْتُمَانِهِ يُصَلِّيَانِ مَعَهُ "
      [4]      Atsar :
حَدَّثَنَا مُحَمَّدٌ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو نُعَيْمٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ عَبْدِ رَبِّهِ، قَالَ: حَدَّثَنِي شُرَحْبِيلُ أَبُو سَعْدٍ، قَالَ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ
      [5]      Atsar :
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مَعْبَدِ بْنِ نُوحٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو أحْمَد الزُّبَيْرِيُّ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ عَبْدِ الرَّحِيمِ بْنِ عَبْدِ رَبِّهِ، عَنْ شُرَحْبِيلَ أَبِي سَعْدٍ، قَالَ: رَأَيْتُ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ يسرعان إلى الصلاة خلف مروان "
      [6]      Atsar :
أَخْبَرَنَا يَحْيَى بْنُ إِبْرَاهِيمَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ يَحْيَى، ثنا أَبُو الْعَبَّاسِ، أنبأ الرَّبِيعُ، أنبأ الشَّافِعِيُّ، أنبأ حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ رضي الله عنهما، كانا يصليان خلف مروان، قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: " لا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلاةِ الأَئِمَّةِ "
       [7]      Atsar :
وَأَخْبَرَنَا أَبُو بَكْرٍ، وَأَبُو زَكَرِيَّا، وأبو سعيد، قَالُوا: حَدَّثَنَا أَبُو الْعَبَّاسِ، قَالَ: أَخْبَرَنَا الرَّبِيعُ، قال: أخبرنا الشافعي قَالَ: أَخْبَرَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ " كَانَا يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لا وَاللَّهِ مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلاةِ الأَئِمَّةِ "
       [8]      Misalnya riwayat dusta mereka :
عَمِيرَةَ عَنْ أَبِي بَكْرٍ الْحَضْرَمِيِّ قَالَ قُلْتُ لِأَبِي عَبْدِ اللَّهِ ( عليه السلام ) أَهْلُ الشَّامِ شَرٌّ أَمْ أَهْلُ الرُّومِ فَقَالَ إِنَّ الرُّومَ كَفَرُوا وَ لَمْ يُعَادُونَا وَ إِنَّ أَهْلَ الشَّامِ كَفَرُوا وَ عَادَوْنَا
Muhammad bin Yahyaa, dari Ahmad bin Muhammad bin ‘Iisaa, dari Al-Husain bin Sa’iid, dari Fadlaalah bin Ayyuub, dari Saif bin ‘Amiirah, dari Abu Bakr Al-Hadlramiy, ia berkata : Aku bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam : “Manakah yang lebih jelek, orang-orang Syaam ataukah orang-orang Romawi ?”. Ia berkata : “Sesungguhnya orang-orang Romawi itu kafir, namun tidak memusuhi kami. Adapun orang-orang Syaam itu kafir lagi memusuhi kami” [Al-Kaafiy, 2/410 – kata Al-Majlisiy dalam Mir’atul-‘Uquul 11/220 : Hasan].
Catatan : Marwan termasuk orang-orang Syaam yang berdiri di belakang barisan Mu’aawiyyah bin Abi Sufyaan radliyallaahu ‘anhu.
عِدَّةٌ مِنْ أَصْحَابِنَا عَنْ أَحْمَدَ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ خَالِدٍ عَنْ عُثْمَانَ بْنِ عِيسَى عَنْ سَمَاعَةَ عَنْ أَبِي بَصِيرٍ عَنْ أَحَدِهِمَا عليهما السلام قَالَ إِنَّ أَهْلَ مَكَّةَ لَيَكْفُرُونَ بِاللَّهِ جَهْرَةً وَ إِنَّ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَخْبَثُ مِنْ أَهْلِ مَكَّةَ أَخْبَثُ مِنْهُمْ سَبْعِينَ ضِعْفاً .
Sejumlah shahabat kami, dari Ahmad bin Muhammad bin Khaalid, dari ‘Utsmaan bin ‘Iisaa, dari Samaa’ah, dari Abu Bashiir, dari salah seorang dari dua imam ‘alaihimas-salaam, ia berkata : “Sesungguhnya penduduk Makkah kafir kepada Allah secara terang-terangan. Dan penduduk Madinah lebih busuk/jelek daripada penduduk Makkah 70 kali”  [Al-Kaafiy, 2/410 – kata Al-Majlisiy : Muwatstsaq].
Catatan : Riwayat ini berbicara tentang kekafiran para shahabat serta ulama tabi’iin danatbaa’ut-taabi’iin dari kalangan Ahlus-Sunnah yang tidak sehalauan dengan Syi’ah Raafidlah.
Dan ini adalah perkataan orang Syi’ah yang sedang marah-marah tidak jelas :
Saya hanya meminta kejujuran kalian dalam beragama! Pikirkan, sampai kapan kalian terus membela aimmatul kufri,para pemimpin kaum kafir/munafik seperti Abu Sufyan, Mu’awiyah, Yazid, Hajjâj bin Yusuf, Marwan bin Hakam, Abdul Malik bin Marwan dkk. dengan mengatas-namakan Ahlusunnah wal Jama’ah?! Dengan mengatas-namakan Salaf Shaleh?!
Catatan kecil tentang riwayat :
حَدَّثَنَا أَبِي، قَالَ: نا جَرِيرٌ، عَنِ الأَعْمَشِ، عَنْ مُنْذِرٍ الثَّوْرِيِّ، عَنْ سَعْدِ بْنِ حُذَيْفَةَ، قَالَ: قَالَ عَمَّارٌ: " وَاللَّهِ مَا أَسْلَمُوا وَلَكِنَّهُمُ اسْتَسْلَمُوا، وَأَسَرُّوا الْكُفْرَ حَتَّى وَجَدُوا عَلَيْهِ أَعْوَانًا، فَأَظْهَرُوهُ "
Telah menceritakan kepada kami ayahku, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Jariir, dari Al-A’masy, dari Mundzir Ats-Tsauriy, dari Sa’d bin Hudzaifah, ia berkata : Telah berkata ‘Ammaar : “Demi Allah, mereka tidaklah beragama Islam. Akan tetapi mereka pura-pura masuk Islam dan menyembunyikan kekafiran. Hingga ketika mereka mendapati para pembela, mereka pun menampakkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Khaitsamah dalam As-Safaruts-Tsaaniy minat-Taariikh no. 3430].
Atsar ini tidak shahih. Al-A’masy, meskipun seorang yang tsiqah, namun ia seorang mudallis pada tingkatan ketiga menurut pendapat yang raajih, dan di sini ia meriwayatkan dengan ‘an’anah [lihat pembahasannya di sini].
    [9]      Atau,…. menurut agama Syi’ah, shalat di belakang orang kafir itu boleh ?. Jika memang demikian, jangan heran jika satu waktu Pembaca menemukan orang-orang Syi’ah beribadah di belakang orang-orang Yahudi dan Nashrani. Lihat saja gejalanya :
    [10]     Pembaca sekalian akan mendapati banyak ‘keajaiban’ dalam agama Syi’ah dimana ada beberapa surat yang dilarang dibaca dalam shalat. Saya ajak Pembaca untuk mencermati fiqh Syi’ah dalam penjelasan Ayatullah Muhammad Al-Ya’quubiy dalam situsnya :
Pertanyaan :
هل هناك سور قرآنية يكره قراءتها في الصلاة؟
“Apakah ada surat Al-Qur’an yang dimakruhkan membacanya dalam shalat ?”.
Jawaban :
بسمه تعالى

‏ يحرم قراءة سور العزائم (العلق, فصلت, النجم, السجدة) والأحوط تجنب الضحى والانشراح ‏والفيل والايلاف.‏
“Dengan menyebut nama-Nya ta’ala.
Diharamkan membaca surat Al-‘Azaaim (Al-‘Alaq, Fushshilat, An-Najm, dan As-Sajdah). Dan yang lebih hati-hati juga menjauhi membaca surat Adl-Dluhaa, Al-Insyiraah, Al-Fiil, dan Al-Iilaaf (Al-Quraisy – Abul-Jauzaa’)”.
Sumber :

                                   

Syiah Iran Bernafsu Ingin Menguasai Timur Tengah ?

Kenapa syiah iran sangat ingin menguasai jazirah arab? jawaban cukup mudah karena agama syiah merupakan bayangan dari persia dan majusi, keinginan syiah iran tidak lain kalau bukan ingin mendirikan kerajaan persia yang terbaru dengan mengkambinghitamkan Ahlul Bait.


Dalam sejarah yang sebenarnya saja syiah suka membunuh Ahlul Bait dan melakukan taqiyah dengan menuduh tuduhan dusta atas sunni kalangan Muawiyah.

Kenapa syiah seperti itu? karena kedengkian dan kebencian yang ada dalam hati syiah kepada sunni, sedangkan sunni tidak ada kebencian sedikitpun atas syiah, lihat saja kalau engkau berdebat dengan syiah pasti jawabannya sangat kasar dengan memandang rendah kaum sunni yang berdebat dengan dia.

Akibat kedengkian dan kebencian syiah kepada sunni maka dari itulah dimanfaatkan oleh syiah iran untuk mengacaukan politik negara mayoritas sunni dengan mengandalkan minoritas syiah dengan melakukan berbagai usaha baik yang haram sekalipun dilakukan seperti pembunuhan dan pemerkosaan.

Syiah iran menjadikan orang syiah yang selain persia sebagai budak-budak yang dikorbankan dalam peperangan sebagai tentara bayaran untuk mati dan membunuhi kalangan sunni baik anak-anak atau wanita sekalipun akan dihabisi, tujuannya hanya untuk merampas tanah yang diduduki oleh sunni.

Lihat saja apa yang terjadi di irak dimana tentara milisi bayaran syiah iran membunuh, memerkosa dan membakar semua perumahan sunni setelah mereka kuasai dan mengalahkan isis, tujuannya bukan ingin memerangi isis karena agama syiah melainkan karena tanah untuk tuannya syiah iran, bahkan iran mengajukan usulan untuk menyatukan irak-iran.

Dulunya baghdad merupakan ibu kota persia yang sekarang merupakan ibu kota irak maka jangan heran jika baghdad dipertahankan oleh syiah dan milisinya mati-matian dan membunuh semua sunni yang ada pada distrik baghdad. Sekarang syiah iran telah berhasil memprovokasi minoritas syiah yang ada di irak, suriah, yaman dan libanon untuk mengendalikan negara tersebut atau menghancurkannya dengan cara membunuhi kalangan mayoritas sunni agar berkurang dan nantinya kalangan minoritas syiah akan menjadi mayoritas dinegara tersebut di irak dulunya syiah cuma 30-40% sekarang sudah menjadi 60% begitu juga dengan yaman dulunya syiah hanya 10% sekarang sudah menjadi 35% karena kalangan sunni sudah berkurang akibat banyaknya kematian yang dibunuh oleh milisi syiah.

Dengan menjadikan syiah sebagai agama mayoritas di negara arab maka iran bisa dengan mudah mengontrol semua orang-orang syiah tanpa perlawanan dari kalangan syiah, karena semua syiah sudah menjadi budak dari syiah persia iran, dengan begitu terciptalah sebuah empire atau kekaisaran persia baru dimana wilayah yang dulunya persia sudah dipersatukan kembali dibawah syiah iran dengan agama lanjutan dari majusi yaitu agama syiah.

Agama syiah merupakan agama lanjutan dari agama majusi (zoroaster) karena terdapat 75% ajaran agama majusi dalam agama syiah seperti boleh mut'ah dengan anak atau ibu sendiri dan berbagai macam aliran majusi lainnya yang ada dalam agama syiah selain itu juga sebagian perawi dari syiah berasal dari orang-orang majusi dan para mantan-mantan majusi selain itu juga terdapat perawi dari yahudi dan nasrani. 



Tafsir Ngawur Ala Syiah Disebarkan Ke Masyarakat Sunni

                                             

Poin-Poin Kesesatannya : -Sahabat Ali bin Abu Thalib yang membagi manusia, dia penghuni Neraka dan dia penghuni Surga. Selain Syiah akan dimasukkan ke neraka, sedangkan Syiah saja yang akan dimasukkan ke dalam Surga. Nb : ini adalah di antara kesesatan aqidah Syiah dan ditanamkan kepada para pengikutnya. Selain Syiah akan mendapatkan neraka meski dia beriman dengan Rukun Iman yang lain. Kalau warga Syiah di Indonesia beralasan bahwa itu bukan yang kita yakini, itu Syiah luar negeri. Pernyataan itu terbantahkan dengan fakta bahwa mereka mencetak buku tersebut dan menyebarkannya kepada masyarakat Sunni. Aqidah yang bagi Sunni hanya akan menjadi bahan tertawaan.

                                      

Syarat dia mukmin harus mengetahui Imam Syiah….ajaran apa lagi ini. Kalau ada orang yang tidak mengikuti Imam Syiah maka bukan mukmin. Bahkan menjadi syarat diterimanya amal. Jadi menurut keyakinan Syiah, seluruh muslim yang tidak Syiah amalannya tidak diterima. Buktinya mana? Anda jangan asal tuduh….lihat halaman 79 dari buku tersebut.

                                       

Pada halaman 93, Surga ada 8 pintu, yang 5 pintu adalah bagi para penganut Syiah. Enak dong! Warga Syiah pintu surganya banyak?! Mereka rupanya sudah punya kafling di Surga dan juga pintunya.

                                        

Tafsir sesat ala Syiah. Kebaikan dalam ayat Asyura ayat 23 adalah wilayah dalam ajaran Syiah. Ini adalah salah satu di antara tafsiran ngawur ala Syiah yang berdalil dengan ayat yang benar tapi dengan tafsiran sesuai dengan kehendak mazhabnya

                                                 


Di halaman 144, seorang hamba kakinya tidak akan beranjak sampai dia ditanya 4 hal, eh yang terakhir adalah pertanyaan tentang anda Syiah pa bukan, kalau Syiah maka berhasil, kalau bukan….celakalah dia…

                                           

Hal 149, timbangan yang adil dalam ayat Al Anbiya’ 47 adalah para nabi dan para Washinya (Para Imam Syiah)

                                            

                                              

Hal 173 : orang mukmin dalam ayat At Taubah 105 adalah Para Imam. Tafsir ini sejalan dengan hawa nafsu mereka. Dalam ayat lain, yang bisa menjadi saksi hanya para Imam mereka, yang lain tidak. Amat kejilah keyakinan mereka. Nauzubillah min dzalik. (Tim Peneliti syiahindonesia.com)

Nahjul Balaghoh Bukan Asli dari Ali Radhiallahu Anhu , Kenapa ?

                                       
Berikut beberapa komentar ulama mengenai kitab Nahjul Balaghoh yang dikarang oleh seorang Syi’ah Rafidhah bernama al-Murtadla Abi Thalib Ali bin Husein bin Musa Al Musawi (w th. 436 Hijriyah): Imam adz-Dzahabi berkata –ketika membahas biografi orang ini– sebagai berikut: “Dia adalah penghimpun kitab Nahjul Balaghoh yang menyandarkan kalimat-kalimat yang ada dalam kitab ini kepada Imam Ali radhiallahu ‘anhu tanpa disebutkan sanad-sanadnya. Sebagian besar kalimat-kalimat itu batil, meskipun juga di dalamnya ada hal yang benar. Namun ucapan-ucapan palsu yang terdapat dalam kitab ini mustahil diucapkan oleh Imam Ali”. (Siyar A’lamin Nubala,17/589-590). Beliau juga berkata:”…Barang siapa yang melihat buku Nahjul Balaghoh ini, maka ia akan yakin bahwa ucapan-ucapan itu adalah dusta atas nama Amirul Mukminin Ali radhiallahu ‘anhu , karena di dalamnya terdapat caci-makian yang sangat jelas terhadap dua tokoh besar shahabat yaitu Abu Bakar dan Umar radhiallahu ‘anhuma . Juga tedapat ungkapan-ungkapan yang kaku (menurut kaidah sastra arab, pent) yang bagi orang yang telah mengenal jiwa bangsa Quraisy (dan tingginya bahasa mereka, pen. ) dari kalangan para shahabat dan orang-orang setelahnya akan mengerti dengan yakin bahwa kebanyakan isi kitab tersebut adalah batil. (Mizanul i’tidal 3/124 Lisanul Mizan 4/223). Ibnu Sirin menilai bahwa seluruh apa yang mereka (kaum Syi’ah) riwayatkan dari Ali radhiallahu ‘anhu semuanya kedustaan. (Al-‘ilmus Syamikh, hal 237) Demikian pula Al-Khathib al-Baghdadi dalam kitabnya Al-Jami’ Li Akhlaqir rawi wa adibis sami’ telah memberikan isyarat tentang Kedustaan kandungan kitab ini”. Beliau berkata : “Adapun yang mirip dengan apa yang kita sebutkan tadi adalah hadits-hadits tentang malahim (peperangan). Tidaklah didalamnya itu terdapat hadits-hadts nabi, namun sesungguhnya kebanyakan yang ada adalah palsu, dan mayoritas hanya dibuat-buat, seperti kitab yang dinisbatkan kepada daniyal (daniel), dan khutbah yang (dinisbatkan) periwayatannya kepada ali bin abi thalib.” (juz 2 hal. 161) Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “… sebagian besar khutbah-khutbah yang dinukil penyusun kitab Nahjul Balaghoh adalah dusta atas nama Ali radhiallahu ‘anhu . Beliau terlalu mulia dan terlalu tinggi kapasitasnya untuk berbicara dengan ucapan seperti itu. Tetapi mereka mereka-reka kebohongan dengan anggapan bahwa hal itu sebagai sanjungan. Sungguh Itu bukanlah kebenaran, bukan pula merupakan sanjungan…. (Minhajus Sunnah an-Nabawiyah, 8/55-56) Al qodhiy muhammad bin 'abdillah abu bakr bin al 'arobiy al ma'aririfiy al asybiliy al maliki (W 543 H) berkata : “Kitab Nahjul Balaghoh adalah satu diantara kitab-kitab yang dijadikan referensi oleh Syi’ah. Mereka menyandarkan (perkataan2 didalanmnya) kepada ‘ali radhiyallahu ‘anhu. Namun hakikatnya adalah sebagian saja. Malahan kebanyakan adalah (perkataan2nya) ridho dan murtadho dua orang yang bermadzhab Syi’ah. Didalam kitab tersebut terdapat tipu muslihat, fitnah (kebohongan) yang sangat banyak.” (Al'awashim Minal Qowashim Fie Tahqiq Muwafaqoshohabah Ba'da Wafatinnabiy Shalallahu 'Alaihi Wasalam, Darul Jil, Berut, Lebanon, Cet 2, Tahun 1987 M/1407 H, Juz 1hal 274). 
sumber : syiahindonesia.com
http://faktasyiah.blogspot.com/2014/10/kampanye-syiah-oktober-2014-di-jakarta.html

Sejauh Manakah Nahjul Balaghah Itu Benar-benar Dari Ali r.a?
Oleh zain-ys
Kitab Nahjul Balaghah itu amat popular di kalangan penganut Islam dan penganut Syiah. Isinya mengandungi ucapan, khutbah dan surat yang disandarkan kepada saidina Ali r.a.
Timbul persoalan di sini, apakah benar isi Nahjul Balaghah itu benar-benar asli dari Ali r.a.?
Nantikan artikel dari al-ahkam.net menjawab persoalan ini..
Bagi mereka yang biasa dengan pengajian hadis, sudah pasti menjawabnya dengan kata-kata Ibnu al-Mubarak:
الإسناد من الدين، ولولا الإسناد لقال من شاء ما شاء
Maknanya: Sanad itu sebahagian dari agama. Dan, kalaulah tiada sanad, nescaya seseorang itu akan berkata apa sahaja semahunya.
Kata imam al-Zahabi di dalam Siyar A'lam al-Nubala' ketika menulis biografi al-Murtadha Ali bin Husain bin Musa al-Musawi:
Menurutku dia adalah penulis kitab Nahjul Balaghah, yang disnibahkan lafaznya kepada Imam Ali r.a. Tanpa sanad. Sebahagiannya mengandungi kebatilan dan terselit juga di dalamnya kebenaran. Namun di sana terdapat topik-topik yang tak mungkin diucapkan oleh imam Ali r.a. 
Ada yang mengatakan: Malah ia (Nahjul Balaghah) disusun oleh saudaranya yang bernama al-Syarif al-Radhi...
Kata al-Zahabi lagi: Di dalamnya terdapat cercaan terhadap para sahabat Rasulullah s.a.w. maka kami mohon perlindungan dari Allah dari ilmu yang tidak memberi manfaat.
Web islamqa.info kelolaan Syeikh al-Munajjid ada menyebutkan;
Sebahagian ulama yang menyatakan kedustaan yang terdapat di dalamnya ialah al-Khatib al-Baghdadi di dalam al-Jami' Li Akhlaqi al-Rawi Wa Adabus Sami'. Begitu juga dengan Ibnu Khalikan, al-Shofadi dan selain mereka. Kesimpulan yang dapat diambil dari semua itu ialah:
·        Jarak masa antara penyusun kitab dan antara Ali r.a. adalah tujuh genarasi perawi. Penyusunnya telah membuang semua perawi berkenaan. Sebab itulah perkataannya tidak boleh diterima tanpa sanad.
·        Seandainya pengarangnya ada menyebutkan sanad, tidak boleh tidak ia mestilah dikaji dan disiasat tahap kepercayaan mereka itu.
·        Al-Murtadha, tuan punya kitab ini bukanlah ahli riwayah melainkan dia adalah seorang mutakallim agama dan tahap kepercayaannya.
·        Cercaan terhadap para sahabat yang terdapat di dalamnya memadai untuk menolaknya.
·        Cercaan dan makian yang ada di dalamnya bukanlah dari akhlak mukmin, lebih-lebih lagi di kalangan para imam mereka seperti Ali r.a.
·        Terdapat di dalamnya percanggahan dan ibarat yang tidak kemas yang pasti ia bukanlah dari imam-imam dalam bidang Balaghah dan Bahasa.
Kitab Nahjul Balaghah ini diterima oleh golongan Syiah Rafidhah secara pasti kesahihannya sebagaimana al-Quran sedangkan ia dalam keadaan penuh dengan percanggahan. Ini menjadi bukti bahawa mereka tidak mengambil tentang berat hal ehwal agama mereka dalam urusan yang melibatkan penapisan dan pengesahan sumber samada ia sahih dan kukuh atau sebaliknya.
Atas asas ini, jelas kitab ini tidak sah dinisbahkan kepada Ali r.a. Ia juga dengan segala isikandungannya samasekali tidak menjadi hujah di dalam masalah syarak. Adapun untuk membacanya kerana mahu menelaah isikandungannya dari sudut balaghah, maka hukumnya sama seperti membaca mana-mana kita lughah/bahasa tanpa menisbahkannya kepada Amiril Mukminin Ali r.a.
Teks penuh rujuk sini: http://www.islamqa.info/ar/30905
Kesimpulan
Kitab Nahjul Balaghah BUKAN ASLI DARI ALI R.A. KENAPA?
·        Ditulis selepas 4 genarasi periwayatan
·        Tiada sanad
·        Penyusunnya bukan ahli riwayah
·        Ada cercaan ke atas para Sahabat
·        Ada caci maki yang pasti bukan dari Ali r.a.
·        Ucapannya ada yang pasti bukan dari pakar Balaghah dan bahasa