Saturday, May 30, 2015

Menhan Sentil Iran yang Suka Berperang dan Urusi Agama Lain ( Ini Baru Menteri )

Negara Iran yang dominan masyarakatnya menganut ajaran Syiah ( bukan Islam ) dikritik oleh Menhan RI Ryamizard Ryacudu. Menhan mengkritisi pada saat melakukan pertemuan bilateral dengan Negara tersebut, yang mengingatkan untuk persoalan agama lebih baik diurus masing-masing [ jangan urusin Agama  Islam ].
Ia menyebut bahwa untuk masalah dan menentukan agama, Iran tidak perlu untuk mencampurinya. Sehingga di kawasan Arab di kemudian hari menurutnya dapat bersatu sebagaimana mestinya [ biar  Arab dengan Islamnya, Iran dengan  Syiahnya ].
Masalah agama biarkan saja, bukan kamu yang menentukan. Kamu tetap bersahabat saja. Kalau itu dilakukan, Arab bisa bersatu," kata Ryamizard berpesan kepada Brigjen Hossein Dehghan Menhan Iran seperti yang dikutip dari Republika beberapa waktu lalu (26/05/2015).
Menurut Ryamizard, antarnegara tetangga itu harusnya saling menjalin hubungan baik. Kalau berperang itu namanya memutus silaturahim.  Akibatnya, gara-gara masalah sentimen agama (digrecokin syiah), negara di Jazirah Arab harus saling berperang satu sama lain.
Ia mengungkapkan hal demikian pada saat melakukan pertemuan di Moskow, Rusia belum lama ini. Dengan menceramahi panglima atau Menhan Negara Iran, mantan Kasad ini berharap negeri Arab kembali tenang. Tidak berperang kembali.
"Saya melakukan pertemuan bilateral dengan Menhan Iran, satu setengah jam. Saya sampaikan, mengapa perang mulu di Arab? Itu memutus silaturahim,” sampainya.
Entah terkesan dengan pertemuannya itu, mantan kepala staf Angkatan Darat (KSAD) tersebut mengaku, akhirnya diminta secara khusus untuk berkunjung ke Iran. "Akhirnya saya diundang. Memutus silaturahim hanya mengundang malapetaka dari Allah," kata Ryamizard.
Dia pun sempat berkelakar, ingin datang ke Iran, akan tetapi dengan tujuan meningkatkan kerjasama militer, bukan mengisi tausiah agama. ( mudah-mudahan bisa disadarkan )
http://www.voa-islam.com/read/indonesiana/2015/05/30/37276/menhan-sentil-iran-yang-suka-berperang-dan-urusi-agama-lain/?

Menlu Arab Saudi: Iran Sponsori Aksi Terorisme

Menteri Luar Negeri (Menlu) Arab Saudi, Adel al Jubeir, menyatakan bahwa negara Iran mensponsori terorisme. Ia juga menyebutkan bahwa Iran merupakan satu-satunya negara yang selalu mencampuri urusan dalam negeri negera-negara Timur Tengah.
Pernyataan Menlu Jubeir tersebut muncul setelah pertemuannya dengan Menlu Mesir, Sameh Shukri, di Kairo, Mesir. Dalam pertemuan itu, Menlu Shukri mengatakan bahwa Pemerintah Mesir memiliki visi yang sama dengan Arab Saudi.
“Saya pikir Iran termasuk negara yang mensponsori aksi terorisme. Iran juga selalu mencampuri urusan dalam negeri negara-negara di kawasan Timur Tengah. Contoh yang terkini adalah di Yaman,” ujar Menlu Jubeir, seperti dikutip Al Arabiya, Senin (1/6/2015).
“Pemerintah Arab Saudi tidak akan berpangku tangan dalam menghadapi ulah Iran yang selalu mencampuri urusan dalam negeri negara lain,” sambungnya.
Arab Saudi diketahui memang selalu berselisih dengan Iran. Puncaknya terjadi saat Arab Saudi dan koalisinya turut terlibat dalam konflik di Yaman. Pemerintah Arab Saudi ingin mengembalikan kekuasaan Yaman sepenuhnya kepada Presiden Mansour Hadi.
Arab Saudi juga menuding Iran selalu mendukung kelompok Houthi yang telah menggulingkan pemerintahan Presiden Mansour Hadi di Yaman. (Okezone)


Jawaban terhadap Kedustaan Muchtar Luthfi’ ( Syiaher )

Tulisan yang dibawakan oleh Muchtar Luthfi ini hanyalah merupakan daur ulang ucapanahlul-bida’ (kemasannya pun masih kemasan lama) yang sangat memusuhi dakwah salaf, dakwah Ahlus-Sunnah (walau penulis juga ngaku-ngaku membawa pemahaman Ahlus-Sunnah – memang mudah bagi setiap pengaku). Dilihat dari siapa yang dia nukil dan siapa yang dia bela, kok nampaknya kita tahu siapa dalang dibalik pemikiran Muchtar Luthfi. Lebih jelas lagi setelah di bagian akhir tulisan, Muchtar Luthfi mengaku sebagai mahasiswa pasca sarjana Perbandingan Agama dan Mazhab di Universitas Imam Khomaini Qom, Republik Islam Iran. Malang nian….. Menuntut ilmu di sarang perusak agama (Syi’ah). Universitas naas : Universitas Imam Khomaini Qum, Iran.
Tidak banyak yang akan ana komentari (hitung-hitung hemat energi). Secara global saja, diantaranya :
1. Apa yang ditulis oleh Muchtar Luthfi tidaklah ilmiah menurut ana, walau ia lengkapi dengan berderet catatan kaki. Karena pada hakikatnya, apa yang ia bela adalah pemahaman bid’ah, sedangkan yang ia serang adalah pemahaman sunnah.
2. Muchtar Luthfi berceloteh bahwa istilah Wahabi ini seakan-akan diciptakan oleh keluarga Su’ud dan Al-Imam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahumallah. Celotehan ini adalah celotehan yang sama sekali tidak berdasar. Istilah “Wahabi” ini sebenarnya sebutan yang diberikan oleh musuh-musuh dakwah Tauhid kepada Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab beserta orang-orang yang sepaham dengan beliau. Pada banyak kesempatan, beliau (Ibnu Abdil-Wahhab) sering menyebutkan tentang dakwah Ahlus-Sunnah. Beliau berkata :
“Alhamdulillah, saya bukanlah orang yang mengajak manusia kepada madzhab seorang shufi, faqih, mutakallim (ahli kalam), atau imam dari para imam yang saya hormati seperti Ibnul-Qayyim, Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir, dan selainnya. Akan tetapi, saya hanya mengajak kepada Allah saja tiada sekutu bagi-Nya dan saya menyeru kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang belau wasiatkan kepada umatnya mulai awal hingga akhir. Saya berharap agar saya tidak menolak kebenaran apabila datang kepada saya. Bahkan saya bersaksi kepada Allah, malaikat-Nya, dan seluruh makhluk-Nya; apabila datang suatu kalimat kebenaran kepada kami dari kalian, maka saya akan menerimanya secara bulat dan saya akan mmebuang ke tembok setiap ucapan yang menyelisihinya dari para imamku, selain Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam karena beliau tidak mungkin mengatakan kecuali kebenaran” [Da’awi Al-Munawi’in 5/252 oleh Abdul-‘Aziz bin Muhammad Alu Abdul-Lathif, Darul-Wathan, Riyadl, KSA, Cet. I, 1412 H].
Beliau juga berkata dalam suratnya kepada Abdurrahman bin ‘Abdillah As-Suwaidi, salah seorang ulama ‘Iraq :
“Saya khabarkan kepadamu bahwa saya – alhamdulillah – seorang muttabi’ (mengikuti sunnah), bukan mubtadi’ (mengikuti bid’ah). Aqidah dan agamaku adalah madzhab Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, sebagaimana jejak para imam kaum muslimin seperti imam empat dan orang-orang yang mengiktui mereka hingga hari kiamat”[Ibid, 5/36].
Dan yang lebih jelas lagi adalah Raja ‘Abdul-‘Aziz dalam khutbahnya di Makkah pada bulan Dzulhijjah 1347 H mengatakan :
“Mereka menjuluki kami “Wahabiyyun” dan madzhab kami adalah “Wahabi” sebagai madzhab tertentu, maka ini kesalahan fatal akibat kabar bohong yang didesuskan oleh sebagian kalangan yang memiliki niat jahat. Kami bukanlah pemeluk madzhab baru atau aqidah baru. Muhammad bin ‘Abdil-Wahab rahimahullah tidaklah membawa ajaran baru. Aqidah kami adalah aqidah salaf shalih yang diajarkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagaimana pemahaman salaf shalih. Kami menghormati para imam empat, tidak ada bedanya bagi kami antara Malik, Syafi’i, Ahmad, dan Abu Hanifah. Semuanya terhormat dalam pandangan kami.
Inilah aqidah yang diemban oleh Syaikhul-Islam Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab rahimahullah. Inilah aqidah kami, sebuah aqidah yang dibangun di atas tauhid yang murni dari segala noda-noda bid’ah. Aqidah tauhid inilah yang kami dakwahkan dan dapat menyelamatkan kita dari semua petaka” [Koran Ummul-Qurra’ edisi Dzulhijjah 1347 H, Mei 1929 M. Islamiyyah Laa Wahabiyyah halaman 396 oleh Dr. Nashir ‘Abdil Karim Al-‘Aql, Kunuz Isybiliyyah, Cet. II, 1425].
Nah, kalau perkaranya telah jelas; adalah hal yang aneh apabila Muchtar Luthfi beranggapan bahwa karena istilah “Wahabi” di luar Saudi tidak populer dan cenderung negatif, maka berganti bajulah dengan istilah Salafy. Ini menunjukkan ketololannya yang amat sangat. Apalagi tuduhan murahannya dimana keluarga Su’ud ini bertalian erat dengan Yahudi Arab. Adapun di awal berdirinya Saudi banyak terjadi pertumpahan darah (?), maka pernyataan ini bisa dibenarkan bisa juga didustakan sekaligus. Dibenarkan, bahwa memang pada awal berdirinya Saudi terjadi beberapa peperangan, sebagaimana lazimnya terjadi peperangan waktu itu. Itu terjadi karena adanya penentangan terhadap dakwah Tauhid serta hasutan yang dihembuskan ahlul-bida’ sehingga Daulah Utsmaniyyah menyerang keluarga Su’ud. Hal itu ditambah pula dengan provokasi yang dilakukan Inggris. Telah terjadi peperangan beberapa kali antara pasukan Ibnu Sa’ud dengan pasukan Inggris. Ini sekaligus membuktikan kedustaan bahwa Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab dan keluarga Sa’ud didukung oleh pemerintah kolonial Inggris. Bagi ana, tuduhan murahan seperti ini telah sering terdengar dan terbaca….. jadi nggak heran bin aneh lagi.
3. Setelah berkomentar sana-sini tentang aqidah – yang katanya bahwa yang diomongkaan dan dibelanya itu adalah aqidah ahlus-sunnah – , Muchtar Luthfi dengan tidak malu mencela aqidah Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Ahlus-Sunnah. Jika saja lisannya telah berani mencela Imam Ahmad dengan ucapan : “terjerumus ke dalam jurang kejumudan dan kaku dalam memahami teks agama. Salah satu dampak konkrit dari metode di atas tadi adalah, keyakinan akan tajsim (anthropomorphisme) dan tasybih dalam konsep ketuhanan” ; janganlah heran bila ia dengan entengnya mencela para ulama yang lain. Termasuk di sini Ibnu Taimiyyah dan Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab. Tidak usah didetailkan jawabannya, ana kira ikhwah semua telah tahu : Siapa yang benar dalam permasalahan ini. Imam Ahmad bin Hanbal atau Muchtar Luthfi ?
Muchtar Luthfi mungkin tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa apa yang diyakini oleh Imam Ahmad bin Hanbal merupakan keyakinan para Imam Ahlus-Sunnah yang sesuai dengan keyakinan atau aqidah para shahabat radliyallaahu ‘anhum. Aqidah Ahlus-Sunnah mengatakan tentang perihal asma’ wa shifat : Menerima dengan maknanya sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah tanpa adanya tahrif, ta’thil, takyif, dan tamtsil/tasybih. Di sinilah aqidah Imam Ahmad berdiri; aqidah Ahlus-Sunnah. Kemudian, mari kita dengar apa perkataan para imam yang lain mengenai hal ini :
Al-Walid bin Muslim pernah bertanya kepada Imam Malik bin Anas, Al-Auza’i, Al-Laits bin Sa’d, dan Sufyan Ats-Tsauri rahimahumullah tentang berita yang datang mengenai sifat-sifat Allah, mereka semua menjawab :
أَمِرُّوا هَا كَمَا جَاءَ بِلا كَيْفَ
“Perlakukanlah (ayat-ayat tentang Sifat Allah) sebagaimana datangnya dan janganlah kamu persoalkan (yaitu : jangan kamu Tanya tentangbagaimana sifat itu)”[Diriwayatkan oleh Imam Abu Bakar Al-Khallal dalam Kitabus-Sunnah, Al-Laalikai no. 930, dan yang lainnya dengan sanad shahih].
Imam Asy-Syafi’i berkata ketika menjelaskan prinsip-prinsip aqidah :
الإيمان بما جاء عن الله تعالى في كتابه المبين على ما أراده الله من غير زيادة، ولا نقص، ولا تحريف. الإيمان بما جاء عن رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، في سنة رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، على ما أراده رسول الله، صلى الله عليه وسلم ، من غير زيادة ولا نقص ولا تحريف.
“Beriman kepada Allah ta’ala yang terdapat dalam Al-Qur’an sebagaimana yang dikehendaki-Nya tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif (= ta’wil; yaitu mengubah lafadh nama dan sifat Allah atau mengubah maknanya atau menyelewengkan dari makna sebenarnya). Beriman kepada apa-apa yang datang dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dalam sunnahnya sebagaimana yang dikehendaki oleh beliau tanpa adanya penambahan, pengurangan, dan tahrif [LihatLum’atul-I’tiqad oleh Imam Ibnu Qudamah Al-Maqdisi; syarah oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin halaman 14; download dari www.almeskhat.net/books].
Bukankah Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Al-Auza’i, Imam Al-Laits, dan yang semisal dengan mereka adalah para Imam Ahlus-Sunnah ? Nah,…. jikalau demikian adanya, apa yang dibenci dan dimusuhi mahasiswa gaya ini sebenarnya aqidah Ahlus-Sunnah yang diyakini oleh para imam. Lantas dimana engkau berdiri wahai Muchtar ? Yang engkau bela pada hakikatnya merupakan aqidah Asy’ariyyah Maturidiyyah dan aqidah Syi’ah ! Bukan Ahlus-Sunnah !! Dan bila dicermati, metode berpikir Muchtar Luthfi adalah metode yang dianut oleh Ahlul-Kalam. Maka simaklah apa yang dikatakan Imam Asy-Syafi’i rahimahullah : “Hukum untuk ahli kalam menurutku adalah mereka harus dicambuk dengan pelepah kurma dan sanda atau sepatu dan dinaikkan ke unta, lalu diiring keliling kampung. Dan dikatakan : ‘Inilah balasan orang yang meninggalkan Al-Kitab dan As-Sunnah dan mengambil ilmu kalam” [Lihat Ahaadits fii Dzammil Kalaam wa Ahlihi hal. 99 karya Imam Abul-Fadhl Al-Maqri’ – wafat tahun 454 H; Jami’ul-Bayanil-‘Ilmi wa Fadhlihi karya Ibnu ‘Abdil-Barr 2/941].
Jadi ingat sya’ir tentang Laila :
أَيُّهَا اْلمُدَّعِي وَصْلًا بِلَيْلَى
لَسْتَ مِنْهَا وَلا قُلامَةَ ظِفْرٍ
إِنَّمَا أَنْتَ مِنْ لَيْلَى كََوَاوٍ
أُلْحِقَتْ فِي اْلهِجَاءِ ظُلْمًا لِعَمْرٍ
“Wahai orang yang mengaku cinta kepada Laila
Kau bukanlah kekasihnya walau hanya sepotong kukupun
Hubunganmu dengan Laila hanyalah seperti huruf wawu
Yang tersisipkan (pada ‘Umar) untuk mendhalimi ‘Amr”
Begitulah keadaan yang tergambar pada Muchtar Luthfi….. Ngaku-ngaku Ahlus-Sunnah dan gemar mencatut nama Ahlus-Sunnah; justru bertujuan mendhalimi Ahlus-Sunnah. Pada hakikatnya engkau bukanlah Ahlus-Sunnah walau sepotong kuku pun……. Syair tersebut cocok sekali untukmu……
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah dan Syaikh Muhammad bin Abdil-Wahhab lah yang dijadikan objek celaan Muchtar Luthfi, justru berada di atas aqidah dan manhaj Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
4. O iya,….. Muchtar Luthfi dalam uraian picisannya menukil perkataan Sayyid Hasan bin Ali as-Saqqaf; yang ia juluki secara berlebihan sebagai seorang “ulama Ahlu-Sunnah” yang sangat getol mempertahankan serangan dan ekspansi kelompok wahabisme ke negara-negara muslim. Pengakuan dan julukan ulama Ahlus-Sunnah yang disematkan kepada As-Saqqaf ini pun disesuaikan dengan selera Muchtar Luthfi yang otomatis berkesesuaian paham dengannya. Kalau seperti ini, idem pula dengan apa yang telah ana tuliskan di atas. As-Saqqaf (juga Muchtar Luthfi) bukanlah seorang Ahlus-Sunnah ditinjau dari aqidah dan manhajnya. Ia adalah seorang beraqidah Jahmiyyah tulen dengan ta’wil dan ta’thil terhadap sifat-sifat Allah. Ia berkata dalam kitabnya At-Tandiid liman ‘Adadat-Tauhid halaman 50: “Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah menegaskan bahwa Allah ta’ala tidak boleh disifati kalau Dia berada di luar alam maupun di dalam alam”. Ahlus-Sunnah menurut selera As-Saqqaf. Persis dengan apa yang dipahami oleh Muchtar Luthfi. Jadi,…. syair tentang Laila di atas cocok pula diucapkan pada As-Saqqaf. Mulutnya yang kotor dengan seringnya melontarkan penghinaan dan kata-kata keji terhadap Ibnu Taimiyyah, Ibnul-Qayyim, Muhammad bin Abdil-Wahhab, Al-Albani, dan yang lainnya. Sebagaimana pepatah Arab : Kambing tetaplah kambing walaupun ia bisa terbang. As-Saqqaf bukanlah apa-apa dibandingkan dengan para ulama yang ia cela.
5. Muchtar Luthfi telah membeo Hasan As-Saqqaf dengan mengatakan bahwa Salafy adalah Nashiby (Pembenci Ahlul-Bait). Ana terus terang nggak tahu, apakah perkataan ini dilandasi dengan ilmu atau dengan kebodohan. Standar apa yang dipakai. Bila yang dimaksud bahwa Salafy sangat menentang tindakan berlebih-lebihan terhadap Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam seperti halnya kaum Syi’ah dan Shufi, justru pemahaman Muchtar Luthfi lah yang harus diformat ulang. Tentu, jika ia kembali menegaskan bahwa dirinya berada di aqidah Ahlus-Sunnah. Lain halnya jika ia mengaku seorang Syi’i atau Shufi, duduk perkaranya jelas.
Imam Abul-Qasim Al-Asbahani dalam Al-Hujjah fii Bayanil-Mahajjah 2/489-490 berkata : “Dan termasuk sunnah Rasul adalah cinta terhadap Ahlul-Bait Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Mereka adalah orang-orang yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya :
قُل لاّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِلاّ الْمَوَدّةَ فِي الْقُرْبَىَ
“Katakanlah: "Aku tidak meminta kepadamu sesuatu upahpun atas seruanku kecuali kasih sayang dalam kekeluargaan." (QS. Asy-Syuuraa : 23) [selesai].
Syaikh Shalih Al-Fauzan berkata : “…..kita diperintahkan untuk mencintai mereka (Ahlul-Bait), menghormati dan memuliakan mereka selama mereka berittiba’ kepada sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang shahihah dan istiqamah di dalam memegang dan menjalani syari’at agama. Adapun kalau mereka menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam dan tidak istiqamah di dalam memegang dan menjalani syari’at agama, maka kita tidak diperbolehkan mencintai mereka sekalipun mereka Ahlul-bait Rasulullah…..” (lihat Syarah ‘Aqidah Wasithiyyaholeh Syaikh Shalih Al-Fauzan hal. 148).
Dan di sini khusus akan ana bawakan matan asli dari kitab ‘Aqidah Wasithiyyah karya Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah – dimana Muchtar Luthfi ini menuduh Ibnu Taimiyyah sebagai seorang Nashiby. Berikut perkataan Ibnu Taimiyyah rahimahullahu ta’ala “
ويحبون أهل بيت رسول الله ويتولونهم ويحفظون فيهم وصية رسول الله صلى الله عليه وسلم حيث قال يوم غدير خم : (أذكركم الله في أهل بيتي) ، وقال أيضاً للعباس عمه وقد إليه اشتكى أن بعض قريش يجفو بني هاشم فقال : (والذي نفسي بيده لا يؤمنون يحبوكم حتى لله ولقرابتي) وقال : (إن الله اصطفى بني إسماعيل واصطفى من بني إسماعيل كنانة واصطفى من كنانة قريشاً واصطفى من قريش بني هاشم واصطفاني من بني هاشم). ويتولون أزواج رسول الله صلى الله عليه وسلم أمهات المؤمنين ويؤمنون بأنهن أزواجه في الآخرة خصوصاً خديجة رضي الله عنها أم أكثر أولاده أول من آمن به وعاضده على أمره وكان لها منه المنزلة العالية والصِّدّيقة بنت الصّدّيق رضي الله عنها التي قال النبي صلى الله عليه وسلم : (فضل عائشة على النساء كفضل الثريد على سائر الطعام). 
“Mereka (Ahlus-Sunnah), mencintai Ahlul-Bait Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, setia kepada mereka serta menjaga wasiat Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang mereka, dimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda pada hari Ghadir-Khum (ketika pulang dari haji wada’), beliau bersabda : “Aku peringatkan kalian kepada Allah tentang keluargaku” (HR. Muslim 4/1873 dari Zaid bin Arqam), dan beliau berkata kepada ‘Abbas, dimana ‘Abbas mengadu (mengeluh) kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bahwa sebagian dari orang Quraisy membenci Bani Hasyim, maka beliau bersabda : “Demi Dzat yang diriku ada di tangan-Nya. Mereka tidaklah beriman sehingga mereka mencintai kalian karena Allah dan karena mereka itu sanak kerabatku”. Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam pun bersabda : “Sesungguhnya Allah telah memilih Bani Isma’il. Dan Dia telah memilih Kinanah dari Bani Isma’il. Dan Dia telah memilih Quraisy dari Kinanah. Dan Dia telah memilih Bani Hasyim dari Quraisy. Dan Dia telah memilhku dari Bani Hasyim”. Dan Ahlus-Sunnah senantiasa setia dan cinta kepada istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam, karena mereka adalah Ummahatul-Mukminin. Juga dikarenakan mereka adalah istri beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam di akhirat kelak; khususnya Khadijah radliyallahu ‘anha, ibu dari sebagian besar anak-anak Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Khadijah adalah orang yang pertama beriman kepada beliau dan mendukung beliau, serta mempunyai kedudukan tinggi. Dan Ash-Shiddiqah binti Ash-Shiddiq (yaitu ‘Aisyah) radliyallaahu ‘anhaa dimana beliau berkata tentangnya : “Keutamaan ‘Aisyah atas seluruh wanita adalah seperti keutamaan tsarid atas semua jenis makanan” [selesai].
Perhatikan aqidah Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah tentang Ahlul-Bait Nabi di atas. Tuduhan Nashiby yang ditujukan kepada Syaikhul-Islam oleh orang-orang semacam Muchtar Luthfi ini adalah tuduhan usang untuk menjauhkan umat dari ulamanya. Kita tahu bahwa Syaikhul-Islam mempunyai perkataan-perkataan yang keras dan tegas dalam membantah kaum Syi’ah dan Ahlul-Bida’. Oleh karena itu, mereka merasa sewot sehingga tidak segan berdusta atas nama Syaikhul-Islam demi mempopulerkan aqidah mereka yang sesat. Adapun beberapa nukilan mereka dari kitab Minhajus-Sunnah, maka itu hanyalah manipulasi yang sangat biasa mereka lakukan dengan mengambil beberapa potong kalimat Ibnu Taimiyyah yang sesuai dengan hawa nafsu mereka dan membuang sebagian yang lain yang merugikan mereka.
Orang macam Muchtar Luthfi ini menginginkan kita untuk bersikap ghulluw terhadap Ahlul-Bait dengan menempatkan mereka pada posisi yang tidak semestinya. Puncak keinginannya – mungkin – adalah meyakini apa yang telah diyakini Syi’ah Rafidlah terhadap para imam mereka yang dua belas itu. Selain itu, orang semacam Muchtar Luthfi ini pula hendak mempopulerkan orang-orang sesat yang sering ngaku Ahlul-Bait Nabi (baca : Ahlul-Bait palsu) menjadi seorang tokoh “panutan” sebagaimana sering kita lihat di masyarakat kita. Ahlul-Bait palsu yang sering merangkap profesi menjadi kaahin dan ‘arraf (alias dukun/paranormal). Dan kalaupun benar diantara mereka adalah Ahlul-Bait, maka – sebagaimana telah dijelaskan oleh Syaikh Shalih Al-Fauzan – ke-walaa’-an (loyalitas) kita kepada mereka pun harus diukur sejauh mana mereka beriltizam kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah. Kemuliaan nasab hanya bermanfaat jika diiringi kemuliaan aqidah, manhaj, dan amal. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda :
ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه
“Barangsiapa yang lambat amalnya, maka kemuliaan nasabnya tidak bisa mempercepatnya” [HR. Muslim – Al-Arba’un-Nawawiyyah hadits ke-36].
6. Dalam ocehannya itu, Muchtar Luthfi merasa perlu membuat kedustaan baru karena merasa gerah atas penjelasan para ulama Ahlus-Sunnah (yang sering ia namakan : Ulama Wahabi/Salafy) atas kesesatan Syi’ah, aliran tumbuh subur di negeri yang ia minum susunya (baca : racunnya). Ia sangat ingin agar Syi’ah diterima sebagai salah satu madzhab Islam, sebagaimana madzhab-madzhab lain yang diakui. Ya,…. karena telah mendapat recehan beasiswa, ia gadaikan aqidah yang shahih untuk kemudian dicampur dengan aqidah hitam milik Syi’ah. Tidakkah engkau tahu wahai Muchtar, kalau yang namanya Syi’ah itu mencela dan mengkafirkan para shahabat ? Akibat lemahnya aqidah al-wala’ wal bara’-mu, engkau merasa harus lebih marah dan tersinggung ketika para ulama Ahlus-Sunnah membeberkan keborokan Syi’ah daripada kemarahanmu pada orang Syi’ah mencaci-maki para shahabat Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam. Padahal, para shahabat adalah satu-satunya generasi dari kalangan umat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam yang telah diridlai Allah. Al-Qur’an menjadi saksi :
وَالسّابِقُونَ الأوّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأنْصَارِ وَالّذِينَ اتّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدّ لَهُمْ جَنّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَآ أَبَداً ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” [QS. At-Taubah : 100].
Adalah hal yang sangat-sangat aneh jikalau ada orang yang justru membela seorang pendusta macam Khomeini, padahal mulutnya yang tidak lebih mulia dari mulut burung bulbul telah mengatakan tentang dua shahabat yang mulia (Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma) : “Kami tidak ada urusannya dengan dua tokoh itu dalam mengacak-acak Al-Qur’an, mempermainkan hukum Tuhan; dalam apa yang mereka halalkan dan haramnkan serta perbuatan kejam dan keji mereka…..dst.”[lihat Kasyful-Asrar hal. 126-127]. Perkataannya yang lain : “Perkataan ‘Umar bin Khaththab saat itu hanyalah kebohongan yang terlontar dari seorang kafir dan zindiq, dimana bertolak belakang dengan ayat-ayat yang ada di dalam Al-Qur’an”[ibid, hal. 176].
Dalam kitab Raudlatul-Kaafi halaman 205, orang yang punya nama Al-Kulaini (ulama haditsnya kaum Syi’ah) telah menuliskan sebuah riwayat (baca : dusta) : “Abu Ja’far menyatakan bahwa semua orang menjadi murtad setelah Nabi Muhamamdshallallaahu ‘alaihi wasallam kecuali tiga orang”. Dikatakan : “Siapa tiga orang itu?”. Ia menjawab : “Ar-Riqaad, Abu Dzar, dan Salman”.
Banyak riwayat senada yang punya inti cerita demikian (kafirnya mayoritas shahabat). Tahukah kita apa konsekuansi dari anggapan kafirnya para shahabat Nabi ? Betul, mereka hendak membatalkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebab dua sumber itu sampai kepada kita melalui para shahabat. Untuk Al-Qur’an, mereka agak takut-takut untuk berkata secara “gentle”. Sebab, jika mereka mencela Al-Qur’an, semua orang otomatis menolak agama dan keyakinan yang mereka jajakan. Makanya, mereka membuat penakwilan-penakwilan ganjil untuk menyerang aqidah Ahlus-Sunnah. Saat ini, dengan metode muka dua mereka (taqiyyah), mereka hendak menyembunyikan aqidah agama Syi’ah yang memuat adanya tahrif (perubahan) Al-Qur’an. Al-Kulaini meriwayatkan (secara dusta) dari Ja’far bin Muhamad yang berkata : “Yang ada pada kami adalah mushhaf Fathimah (as). Mereka tidak tahu apa sebenarnya Mushhaf Fathimah itu. Mushhaf Fathimah adalah tiga kali lebih besar dari Al-Qur’an kalian. Demi Allah,… tidak ada sehuruf pun Al-Qur’an kalian ini terdapat di dalamnya” [Al-Ushul minal-Kaafi 1/238]. Telah berlalu perkataan Khomeini yang mengatakan bahwa Al-Qur’an telah diacak-acak oleh Abu Bakar dan ‘Umar radliyallaahu ‘anhuma. Sebagai tambahan, simaklah perkataan Al-Mufid dalam kitabnya Al-Maqaalaat : “Golongan Imamiyyah (Syi’ah) berkeyakinan bahwa Abu Bakar dan ‘Umar bin Khaththab merupakan tokoh yang sesat. Keduanya mengacak-acak Al-Qur’an saat menyusunnya dan tidak jujur dalam menetapi ketentuan Nuzul-Qur’an dan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam” [Dinukil dari Fashlul-Khithaabkarya Ath-Thabrusi hal. 27). Kalau di bidang hadits,………. maka orang Syi’ah ini dikenal jago dalam menghina Shahihain (karena mereka memang tidak mempercayai kitab-kitab hadits Ahlus-Sunnah). Mem-plintir-plintir hadits, dan lain sebagainya…..
Masih terlalu banyak untuk disebutkan kesesatan Syi’ah, seperti : rajaa’, kema’shuman imam, nikah mut’ah, dan yang lainnya.
Nah……dengan melihat kenyataan ini, sungguh kebangetan (bodohnya) kalau ada orang yang masih mengangap bahwa Syi’ah itu tidak sesat. Dan satu diantara banyak orang yang kebangetan itu adalah Muchtar Luthfi. Mungkin perkataan Imam Malik ini cukup mewakili apa yang hendak ana katakan : “Karena mereka membenci para shahabat, dan barangsiapa membenci para shahabat, maka ia telah kafir berdasarkan ayat ini (yaitu QS. Al-Fath : 29)” [lihat Tafsir Ibnu Katsir QS. Al-Fath : 29). Selain Imam Malik, berderet Imam-Imam Ahlus-Sunnah yang menganggap Syi’ah itu sebagai satu aliran yang sangat-sangat sesat…………. (ex : Al-Qadli ‘Iyadl, Ahmad bin Hanbal, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Ma’in, dan lain-lain).
Kemudian yang lainnya, yaitu tentang sesatnya Shufiyyun dan para Khurafiyyun, maka telah jelas (kecuali bagi Muchtar Luthfi mungkin). Bagaimana tidak sesat jika ada seseorang yang berkeyakinan orang yang mati dapat menolong sehingga dipropagandakan bagi orang yang hidup untuk “minta” sesuatu padanya ? Bagaimana tidak sesat jikalau ada orang yang memproklamirkan diri bahwa dirinya telah mencapai tingkatan ma’rifat sehingga ia terbebas dari taklif (beban syari’at) ? Bagaimana tidak sesat jikalau ada orang yang ngaku wali namun kerjaannya hanyalah ngurusin jimat, kesaktian, dan yang semisal yang tak ubahnya sepertimbah dukun (cuman bedanya, dukun yang satu ini berkopiah atau bersorban) ? Kalau itu semua tidak dikatakan sesat, ya…. mendingan bicara saja sama ayam. Itu lebih selamat daripada menyebarkan syubhat di telinga kaum muslimin. Tapi ingat, ulama Ahlus-Sunnah (Salafy/Wahabi sebagaimana dimaksud Muchtar Luthfi) tidak sembrono dalam menjustifikasi sesuatu. Bila mereka mengatakan sesuatu itu tidak benar, maka akan dijelaskan dalilnya. Mereka selalu merujuk pada penjelasan ulama salaf mengenai hal ini. Dan perlu diketahui pula bahwa ketika menyebut suatu perbuatan itu sebagai perbuatan syirik, tidak serta-merta pelakunya secara individu disebut musyrik.
7. Katanya pula, Wahabi/Salafy hobi memalsu dan mengotak-atik kitab. Para ulama Salafy/Wahabi tidak punya kegemaran seperti itu pak ! Ana kadang merasa lucu; di awal, Muchtar Luthfi mengkritik Wahabi dan orang-orang yang bersamanya di hari ini. Kemudian, ia nabrak-nabrak nama Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah dimana seakan-akan ia sebut ulama Wahabi. Tahu nggak lucunya ikhwah ? Syaikh Muhammad bin ‘Abdul-Wahhab itu lahir tahun 1115 H/1703 M. Apa hubungannya dengan Imam Ahmad dan Ibnu Taimiyyah ? Apa mereka itu Wahabi ? Kemudian, ia nyinggung-nyinggung tentang Imam Al-Alusi dengan Ruhul-Ma’ani-nya. Terus terang ana belum pernah dengar dongeng yang diceritakan oleh Muchtar ini (tentang perubahan yang dilakukan oleh anaknya yang bernama : Nukman al-Alusi). Terlepas benar atau salahnya cerita ini, apa hubungannya dengan Wahabi dan Salafy ? Tuduhan Muchtar Luthfi sudah demikian membabi-butanya. Orang yang tidak sepaham dengannya ia sebut dengan Wahabi/Salafi. Jadi, standar seorang Wahabi/Salafi adalah ketidaksesuaian dengan Muchtar Luthfi. Aneh !!
Orang seperti Muchtar Luthfi ini hanyalah mengikuti suara yang berhembus di telinganya saja. Berhubung ia sekolah di Iran, maka suara yang berngiang adalah suara celaan terhadap Ahlus-Sunnah. Perlu diketahui bersama bahwasannya banyak ulama yang mentahqiq ataupun mentakhrij suatu kitab. Contoh : Tafsir Ibnu Katsir. Banyak ulama yang mentahqiq atau meringkas kitab tafsir ini dengan membuang beberapa riwayat israiliyyat dan dla’if dan menambahkan sedikit catatan kaki untuk menambah faidah. Ini tidak bisa disebut main curang, karena kitab tersebut selalu diberikan keterangan hasil tahqiq-an oleh pentahqiq. Selain itu, kitab yang asli pun masih tercetak. Tidak ada yang disembunyikan. Ini adalah hal yang sangat biasa dilakukan di kalangan ulama. Misalnya juga : kitab Shahih Muslim. Dalam rangka memudahkan para pembaca untuk menghafal dan mempelajarinya, maka Imam Al-Mundziri meringkasnya dalam bentuk Mukhtashar Shahih Muslim. Shahih Bukhari juga…. (seperti ringkasannya Imam Az-Zabidi). Mengenai kitab manhaj/aqidah, taruhlah kita ambil contoh kitab Al-I’tisham karya Imam Asy-Syathibi. Banyak ulama yang telah mentahqiqnya seperti Syaikh Muhammad Rasyid Ridla, Syaikh Salim, bin ‘Ied Al-Hilaly, Syaikh Abdurrazzaq Al-Mahdi, dan yang lainnya. Sifat peringkasan ini adalah diperbolehkan dengan tanpa merubah tujuan penulisan kitab. Hal ini telah ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam Al-Muqaddimah-nya :
أن يكون الشيء من التواليف التي هي أمهات للفنون مطولا مسهباً ، فيقصد بالتأليف تلخيص ذلك بالاختصار والايجاز وحذف المتكرر إن وقع مع الحذر من حذف الضروري لئلا يخل بمقصد المؤلف الاول .. "
“Sebuah karya tulis yang panjang dan lebar dimana merupakan induk ilmu pengetahuan, maka tujuan dari penulisan adalah meringkas dengan cara menghilangkan pengulangan kalau memang ada, disertai keberhati-hatian agar jangan sampai merusak maksud dan tujuan si Penulis kitab”. [selesai]
Dari situ kita tahu bahwa peringkasan kitab dengan menghapus apa-apa yang tidak diperlukan (baik berupa pengulangan atau penghilangan kalmat-kalimat yang kurang bermanfaat – seperti riwayat-riwayat dla’if atau yang semisal) adalah diperbolehkan. Dan hal itu – sekali lagi – biasa dilakukan oleh para ulama dahulu, apalagi sekarang. Selain peringkasan, para ulama juga terbiasa memberikan ta’liq/hasyiyah(komentar/catatan kaki/catatan pinggir) atau syarah pada sebuah kitab, baik berisi penjelasan atau bahkan kritikan. Dalam bidang hadits kita mengenal Hasyiyah As-Sindi ‘alaa Sunan Nasa’i karya Nuruddin bin ‘Abdil-Hadi As-Sindi, Al-Muntaqaa Syarh Al-Muwaththa’ karya Imam Al-Baji, dan lain-lain. Di bidang fiqh kita mengenal :Hasyiyah Ibni ‘Abidin. Dan lain-lain banyak. Mungkin Muchtar Luthfi ini merasa kurang sreg jika beberapa hadits dla’if dan maudlu yang merupakan makanan favorit kaum Syi’ah dan Shufi dihilangkan dalam kitab atau diberi beberapa catatan/peringatan. Hal inilah yang terjadi di Kitab Fathul-Bari atau Syarah Shahih Muslim dimana para ulama memberikan beberapa catatan berharga atas dua kitab tersebut. Apakah ini yang namanya khianat dan curang ? Mungkin hanya Muchtar Luthfi dan orang-orang yang seide dengannya saja yang berkepentingan untuk mengatakannya………….
Dusta yang dibawa Muchtar Luthfi ini memang keterlaluan. Katanya, Salafy/Wahaby telah menghapus riwayat : “Aku adalah kota ilmu, sedang Ali adalah pintunya” dalamJaami’ al-Ushul karya Ibnu Atsir, kitab Tarikh al-Khulafa’ karya as-Suyuthi dan as-Showa’iq al-Muhriqoh karya Ibnu Hajar. Satu kitab ana ambil : Tarikh Khulafaa’-nya As-Suyuthi. Matan yang ana miliki masih mencantumkan hadits tersebut. Tepatnya begini (ana ambil satu paragraf) :
واخرج الترمذي عن أبي سعيد الخدري قال كنا نعرف المنافقين ببغضهم عليا وأخرج البزار والطبراني في الأوسط عن جابر بن عبد الله وأخرج الترمذي والحاكم عن علي قال قال رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم أنا مدينة العلم وعلى بابها هذا حديث حسن علي الصواب لا صحيح كما قال الحاكم ولا موضوع كما قاله جماعة منهم ابن الجوزي والنووي وقد بينت حاله في التعقبات على الموضوعات 
Mungkin saja,…. sebagaimana telah ana tuliskan, bahwa kitab yang dibaca oleh Muchtar Luthfi itu berupa ringkasan atau hasil tahqiq. Namun hal itu bukan berarti menghilangkan riwayat itu sama sekali dalam kitab aslinya. Karena ternyata, hadits tersebut memang tidak shahih !! Muchtar Luthfi mengatakan bahwa hadits tersebut terdapat dalam “Shahih At-Tirmidzi”.
Sekarang mari kita lihat lafadh hadits yang terdapat dalam Sunan Tirmidzi :
حدثنا إسماعيل بن موسى حدثنا محمد بن عمر بن الرومي حدثنا شريك عن سلمة بن كهيل عن سويد بن غفلة عن الصنابحي عن علي رضى الله تعالى عنه قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم أنا دار الحكمة وعلي بابها قال هذا حديث غريب منكر
……..(sanad diringkas)….Dari Ash-Shanabahii, dari ‘Ali, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Aku adalah kota ilmu sedangkan ‘Ali adalah pintunya”. Berkata At-Tirmidzi : “Hadits Gharib Munkar !!” (HR. Tirmidzi nomor 3723).
Status hadits tadi adalah seperti yang dikatakan Imam At-Tirmidzi, baik dengan lafadh tersebut atau lafadh sebagaimana tersebut dalam Tarikh Al-Khulafaa’.
Semua lafadh yang semakna dengan hadits di atas adalah tidak shahih. Ibnul-Jauzi menyebutkannya dalam kumpulan hadits maudlu : Al-Mu’dlu’aat 3/349-355. Syaikh Al-Albani juga menyebutkannya dalam Silsilah Adl-Dla’iifah no. 2955. Kemarahan Muchtar Luthfi tersebut patut kita “pahami” karena sepertinya ia pengagum berat Khomeini dan Syi’ah dengan bungkus : Cinta Ahlul-Bait – (dikiranya Ahlus-Sunnah tidak cinta pada Ahlul-Bait kali…..). Jadi jangan heran kalau ada hadits, walaupunmaudlu’, yang terpaksa dihilangkan oleh para ulama, membuat dirinya sangat gusar.
Kalau tadi dia nuduh, dan telah kita buktikan bahwa tuduhannya adalah dusta; sekarang mari kita gantian lihat metode tipu-menipu penukilan hadits dari golongan Syi’ah. Ana contohkan : Seorang ulama Syi’ah kontemporer : Ja’far Subhani; yang dalam banyak tulisannya sering bergaya layaknya Ahlul-Hadits (yang banyak menipu orang awam). Dalam bukunya Al-Wahabiyyah fil-Mizan, yang diterjemahkan Pustaka Hidayah : Kritik Atas Paham Wahabi halaman 27 ketika mengkritik hadits Jabir :
حدثنا أبو بكر بن أبي شيبة حدثنا حفص بن غياث عن بن جريج عن أبي الزبير عن جابر قال نهى رسول الله صلى الله عليه وسلم أن يجصص القبر ،وأن يقعد عليه،وأن يبى عليه
“Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang melabur kuburan, duduk di atasnya, dan mendirikan bangunan di atasnya” (HR. Muslim no. 970).
Ia (Ja’far Subhani) menuliskan beberapa komentar ulama Jarh wa Ta’dil akan ke-mudallis-an Ibnu Juraij (yang menyebabkan kelemahan). Kita tahu, bahwasannya seorang perawi mudallis, riwayatnya diterima apabila ia menegaskan penyimakannya terhadap kabar yang diterima. Dan sungguh aneh, Ja’far Subhani sengaja menyembunyikannya ! Padahal, penegasan penyimakan Ibnu Juraij itu ada pada riwayat yang lain, yaitu persis hadits di bawah hadits di atas. Imam Muslim menyebutkan :
وحدثني هارون بن عبد الله حدثنا حجاج بن محمد ح وحدثني محمد بن رافع حدثنا عبد لرزاق جميعا عن بن جريج قال أخبرني أبو الزبير أنه سمع جابر بن عبد الله يقول سمعت النبي صلى الله عليه وسلم بمثله
Memang, Ja’far Subhani dalam buku tersebut tidak hanya mengkritik Ibnu Juraij (ia juga mengkritik Abu Zubair). Tapi kritikannya jauh sekali dari standar kata ilmiah.
Contoh lain adalah sebagaimana uraian Syaikh Al-Albani ketika menjelaskan kedustaan dan ketidakamanahan As-Sayyid Abdur-Ridla Al-Mar’isyi Asy-Syi’iy dalam bukunya : As-Sujuud ’alaat-Turbah Al-Husainiyyah. Ia pernah berkata saat ingin memberikan dasar justifikasi shahihnya amalan orang Syi’ah yang sujud di atas lempengan tanah Karbala dengan mencomot dari sumber Ahlus-Sunnah :
و منهم الفقيه الكبير المتفق عليه مسروق بن الأجدع المتوفى سنة ( 62) تابعي عظيم من رجال الصحاح الست كان يأخذ في أسفاره لبنة من تربة المدينة المنورة يسجد عليها ( ! ) كما أخرجه شيخ المشايخ الحافظ إمام السنة أبو بكر ابن أبي شيبة في كتابه " المصنف " في المجلد الثاني في " باب من كان يحمل في السفينة شيئا يسجد عليه ، فأخرجه بإسنادين أن مسروقا كان إذا سافر حمل معه في السفينة لبنة من تربة المدينة المنورة يسجد عليها "
“Dan diantara mereka adalah Al-Faqih Al-Kabir Masruq bin Ajda’ yang meninggal tahun 62 Hijriah, seorang tabi’in besar yang tergolong rijal shihah yang enam. Dia (Masruq) mengambil batu lempengan dari tanah Madinah Munawwarah dalam safar-safarnya untuk sujud di atasnya sebagaimana diriwayatkan oleh Syaikhul-Masyaayikh Al-Haafidh Imamus-Sunnah Abu bakar Ibnu Abi Syaibah dalam kitabnyaAl-Mushannaf jilid 2 bab Man Kaana Yahmilu fis-Safiinah Syaian Yasjudu ’Alaih. Dia meriwayatkannya dengan dua sanad, bahwasannya Masruq apabila safar dalam perahu ia membawa batu lempengan dari Madinah Munawwarah untuk sujud di atasnya”.
Kedustaannya adalah : Pertama; atsar ini dalam Al-Mushannaf tidak diriwayatkan dengan dua sanad, namun hanya satu sanad yang bersumber dari Muhammad bin Sirin. Kedua, perkataannya : ‘batu lempengan dari Madinah Munawwarah’ itu tidak ada sama sekali di tempat yang ia tunjukkan dalam Al-Mushannaf. Entah dari mana orang Syi’ah ini bisa mengambil kalimat tersebut. Selain itu, atsar ini juga lemah.
Ini adalah contoh ringan saja. Yang lain ? Banyak…. Dan memang, orang Syi’ah itu telah biasa dan membiasakan diri untuk berdusta. Maka tidak berlebihan perkataan para imam jarh wa ta’dil bahwa orang Syi’ah adalah orang yang paling dusta dalam periwayatan.
Muchtar Luthfi mengisyaratkan bahwa orang-orang yang ia sebut sebagai Salafy/Wahabi itu tidak berani bersaing dengan kelompok Syiah dari sisi keilmiahan. Atas dasar apa ia mengatakan itu ? Apa karena orang-orang Salafy/Wahabi memborong dan membakar kitab-kitab Syi’ah yang menebar syubhat kepada umat itu ? Tindakan ini sungguh tepat demi menyelamatkan aqidah umat Islam dari tipu daya Syi’ah. Kita tidak ingin umat membenci shahabat Nabi karena “tergigit” dan tertular virus rabies Syi’ah dari buku yang dibaca. Kita tidak ingin umat melakukan prostitusi massal dengan kedok nikah mut’ah ala Syi’ah. Dan kita pun tidak ingin umat berkubang kesyirikan degan menuhankan para imam Syi’ah. Banyak ketidakinginan syar’i kita.
Hal ini sama sekali tidak berkorelasi dengan akurasi bantahan ilmiah dari ulama. Betapa banyak bantahan yang telah dihasilkan dari produk-produk tipu daya Syi’ah. Kenyataan yang ada di lapangan, justru merekalah yang “main kayu”. Korban-korban ulama Ahlus-Sunnah atas kedhaliman ahlul-bida’ telah banyak. Salah satu contohnya adalah Dr. Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah. Ia adalah murid Al-‘Allamah Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Ia sangat produktif menulis kitab kesesatan Syi’ah, Shufiyyah, dan Ahmadiyyah dengan bahan dan rujukan dari kitab-kitab mereka sendiri. Karena gerah dan eksistensinya mulai terancam atas tulisan-tulisan Dr. Ihsan, maka ahlul-bida’ membunuhnya secara curang. Semoga Allah melimpahkannya pahala kesyahidan. Dr. Ali Muzhafaryan pun mengalami nasib serupa. Dan masih banyak yang lain lagi.
8. Akhir ulasan Muchtar Luthfi membahas tentang sisi kesamaan Salafy/Wahabi dengan Khawarij. Ia menuduh Syikah Muhammad bin Abdil-Wahhab adalah gembong takfir yang tidak segan-segan mengecap kafir pada orang-orang yang tidak sehalauan dengannya. Cukuplah ana nukilkan perkataan Syaikh Ibnu ‘Abdil-Wahhab tentang ini; beliau berkata dalam risalahnya kepada penduduk Qasim sekaligus menepis tuduhan serupa yang dilntarkan oleh Ibnu Suhaim :
“Allah mengetahui bahwa orang tersebut telah menuduhku yang bukan-bukan, bahkan tidak pernah terbetik dalam benakku. Diantaranya dia berujar bahwa aku mengatakan : ‘Manusia sejak 600 tahun silam tidak dalam keislaman, aku mengkafirkan orang yang bertawassul kepada orng-orang shalih, aku mengkafirkan Al-Bushiri, aku mengkafirkan orang yang bersumpah dengan selain Allah’. Jawabanku terhadap tuduhan ini : ‘Maha Suci Engkau ya Rabb kami, sesungguhnya ini kedustaan yang amat besar” [Majmu’ah Muallafat Syaikh 5/11,12].
Perkataan Syaikh Ibnu Abdil-Wahhab ini sekaligus membantah tuduhan Muchtar Luthfi si pembeo ahlul-bida’. Dan inilah yang diyakini oleh Salafy saat ini, bahwa mereka tidak enteng saja mengatakan Fulan Kafir tanpa adanya hujjah yang nyata. Dan mungkin pula, ini disebabkan oleh kebodohan Muchtar Luthfi – sebagaimana bisa terlihat – akibat tidak bisa membedakan perkataan mujmal dan mu’ayyan. Maksudnya begini……. Jikalau kita melihat orang yang meminta-minta keselamatan kepada orang mati di kubur, maka kita boleh mengatakan : “Wahai Fulan, engkau telah berbuat syirik”. Atau mengatakan lebih umum lagi : “Barangsiapa yang meminta-minta sesuatu kepada penghuni kubur, maka ia telah berbuat kufur akbar”. Allah ta’ala berfirman :
قُلِ ادْعُواْ الّذِينَ زَعَمْتُم مّن دُونِهِ فَلاَ يَمْلِكُونَ كَشْفَ الضّرّ عَنْكُمْ وَلاَ تَحْوِيلاً * أُولَـَئِكَ الّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَىَ رَبّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنّ عَذَابَ رَبّكَ كَانَ مَحْذُوراً
“Katakanlah,’Panggilah mereka yang kamu anggap (tuhan) selain Allah, maka mereka tidak akan mempunyai kekuasaan untuk menghilangkan bahaya daripadamu dan tidak pula memindahkannya. Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka siapa diantara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharap rahmat-Nya dan takut akan siksa-Nya; sesungguhnya siksa Tuhanmu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti”. (QS. Al-Israa’ : 56-57).
Perkataan di atas tentu berbeda dengan : “Fulan telah kafir”. Harap diperhatikan !!
Orang semacam Muchtar Luthfi ini tentu kebakaran kumis melihat dakwah Tauhid yang ingin mengajak manusia untuk memurnikan ibadah hanya kepada Allah ta’aladan menjauhi segala kesyirikan.
Pelengkap bumbu dusta, Muchtar pun membeo pendahulunya dari kalangan ahlul-bida’ yang mengatakan bahwa daerah Nejd di Saudi, tempat Syikah Muhammad bin Abdil-Wahhab berdakwah, sebagai tempat kemunculan fitnah dan tanduk syaithan. Ia mencocok-cocokkan hadits sesuai dengan hawa nafsunya – sebagaimana biasa. Ana jawab secara ringkas. Hadits tersebut terdapat dalam beberapa lafadh dan jalur sehingga saling menafsirkan. Dalam lafadh yang dikeluarkan oleh Imam Ath-Thabrani dalam Mu’jamul-Kabir no. 13241 dari jalur Isma’il bin Mas’ud : Telah menceriytakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdillah bin ‘Aun, dari ayahnya, dari Nafi, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
اللَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي شَامِنَا , اللَّهُمَّ بَارِكْ فِي يَمَنِنَا, فَقَالَهَا مِرَارًا , فَلَمَّا كَانَ فِي الثَّالِثَةِ أَوِ الرَّابِعَةِ , قَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ وَفِي عِرَاقِنَا , قَالَ:إِنَّ بِهَا الزَّلازِلَ , وَالْفِتَنَ , وَبِهَا يَطْلُعُ قَرْنُ الشَّيْطَانِ.
“Ya Allah, berkahilah kami dalam Syam kami, ya Allah berkahilah kami dalam Yaman kami”. Beliau mengulanginya beberapa kali, pada ketiga atau keempat kalinya, para shahabat nerkata : “Wahai Rasulullah, dalam ‘Iraq kami ?”. Beliau menjawab : “Sesungguhnya di sana terdapat kegoncangan dan fitnah dan di sana pula terdapat tanduk syaithan”.
Imam Muslim dalam Shahihnya nomor 2905 meriwayatkan dari Ibnu Fudlail, dari ayahnya, dia berkata : Aku mendengar ayahku, Salim bin Abdillah bin ‘Umar berkata
يا أهل العراق ما أسألكم عن الصغيرة وأركبكم للكبيرة سمعت أبي عبد الله بن عمر يقول سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقول إن الفتنة تجىء من ها هنا وأومأ بيده نحو المشرق حيث يطلع قرنا الشيطان
“Wahai penduduk Iraq, alangkah seringnya kalian bertanya tentang masalah-masalah sepele dan alangkah beraninya kalian menerjang dosa besar. Aku mendengar ayahku, Abdullah bin ‘Umar berkata : “Aku mendengar Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : ‘Sesungguhnya fitnah datangnya dari arah sini’. Beliau menunjukkan dengan tangannya kea rah timur. Dari situlah munculnya dua tanduk syaithan”.
Jadi yang dimaksud Nejd dalam hadits tersebut adalah ‘Iraq. Nejd dalam bahasa Arab berarti : arah timur. Bagi penduduk kota Madinah, nejed-nya adalah Iraq (Iraq terletak di sebelah timur Madinah).
Sebenarnya Muchtar Luthfi telah menuliskan bahwa yang dimaksud dengan kata “Najd” adalah timur. Namun ia manipulasi sesuai dengan hawa nafsunya denganmbawa-mbawa nukilan Al-Qisthalani.
Mengenai urusan gundul-menggundul rambut kepala, maka ini tuduhan yang lebih ngawur lagi. Ana juga heran sama Muchtar Luthfi dan orang yang ia taqlidi; bagaimana bisa ia hubungkan gundul-menggundul dengan Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab dan Wahabi/Salafy-nya ? Ngawur ya ngawur, tapi kok kebangetan…..Syaikh Muhammad bin ‘Abdil-Wahhab pernah membantah fitnah ini dengan berkata :
“Sesungguhnya ini adalah kedustaan dan kebohongan kepada kami. Seorang yang beriman kepada Allah dan hari akhir tidak mungkin melakukan hal ini, sebab kekufuran dan kemurtadan tidaklah terealisasi kecuali dengan mengingkari perkara-perkara agama yang ma’lum bi dlarurah (diketahui oleh semua). Jenis-jenis kekufuran baik berupa ucapan maupun perbuatan adalah perkara yang maklum bagi para ahli ilmu. Tidak mencukur rambut kepala bukanlah termasuk diantaranya (kekufuran atau kemurtadan). Bahkan kami tidak berpendapat bahwa mencukur rambut adalah sunnah, apalagi wajib, apalagi kufur keluar dari Islam bila ditinggalkan” [Ad-Durarus-Saniyyah 10/275-276, cet. 5].
Kesimpulan : Apa yang telah dicelotehkan oleh Muchtar Luthfi ini hanyalah lagu usang yang mencela dakwah Tauhid dan usaha-usaha untuk kembali kepada pemahaman as-salafush-shalih. Latar belakang tulisannya hanyalah murni sentimen kelompok karena pembelaan terhadap kaum shufi dan Syi’ah, walau sesekali ia mengatasnamakan Ahlus-Sunnah (?). Ia cela Imam Ahmad, Ibnu Taimiyyah, dan – tidak lupa – Muhammad bin Abdil-Wahhab. Ia sepertinya gak berani nyebut-nyebut Imam Syafi’i. Soalnya kalau ia berbuat seperti itu, bisa gak laku dagangan basi dia buat orang Indonesia yang kebanyakan ngaku syafi’iyyah. Dan telah disebutkan, Imam Syafi’i (dan juga para imam yang lain) berlepas diri dari aqidah yang dianut oleh Muchtar Luthfi dan orang-orang yang setipe dengannya. Wallaahu a’lam.


Riwayat Syi’ah dlm Shahihain (updated !!) (Bagian Kedua)

Dalam tulisan saya sebelumnya, telah dijelaskan bahwa para perawi syi’ah yg ada dalam shahihain adalah orang-orang jujur, dan kalaupun ada diantara mereka yang sampai ke tingkat rafidhi, maka tetap saja mereka tidak sama dengan rafidhah hari ini; dan kalaupun ada yg sampai mencaci-maki sahabat Nabi, maka riwayat mereka dlm shahihain tidaklah berdiri sendiri, namun sekedar mutaba’at dan penguat bagi riwayat lainnya; sehingga sebenarnya yg menjadi pijakan adalah riwayat lain, bukan riwayat si Rafidhi tsb. Inilah yg difahami dari penjelasan Imam Adz Dzahabi dan Ibnu Hajar.
Dan saya berani mengajak Mubahalah kepada siapa saja yg bisa membuktikan bahwa dalam Shahihain terdapat hadits yg diriwayatkan oleh perawi syi’ah yg akidahnya spt syi’ah hari ini (rafidhah itsna ‘asyariyah, syi’ah khomeini, syi’ah hizbullat, syi’ah dajjaluddien laknat, dan semisalnya). Adapun dalam selain shahihain, maka tidak masuk dalam pembahasan, karena yg diterima semua haditsnya hanyalah shahihain menurut ijma’ kaum muslimin. Sedangkan yg lain bisa diterima bisa pula ditolak, tergantung keabsahan sanad dan matannya.
Kendatipun demikian, masih saja ada yg ingin membela syi’ah hari ini yg notabene adalah rafidhah alias itsna ‘Asyariyah, atau zanaadiqah (munafikin) berbaju muslim; dengan dalih bhw Ahlussunnah banyak meriwayatkan hadits dr orang-orang syi’ah, bahkan yg dijuluki Rafidhi sekalipun.
Mereka lantas mencontohkan spt ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini yg haditsnya tercantum dlm Shahih Bukhari. ‘Abbad bin Ya’qub memang seorang Rafidhi, namun banyak ahli hadits yg menganggapnya jujur dalam meriwayatkan hadits. Ini adalah tolok ukur penting yg tidak akan diabaikan oleh para ulama ahli hadits dari kalangan ahlussunnah. Pun demikian, Imam Bukhari tidak menjadikan hadits si ‘Abbad ini sebagai satu-satunya pijakan beliau, hal ini bisa dilihat jelas dengan mengutip hadits tersebut lengkap dgn sanadnya dalam Shahih Bukhari, yaitu sbb:
صحيح البخاري- طوق النجاة (9/ 156)
7534 – حَدَّثَنِي سُلَيْمَانُ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْوَلِيدِ ح و حَدَّثَنِي عَبَّادُ بْنُ يَعْقُوبَ الْأَسَدِيُّ أَخْبَرَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ عَنْ الشَّيْبَانِيِّ عَنْ الْوَلِيدِ بْنِ الْعَيْزَارِ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا سَأَلَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ لِوَقْتِهَا وَبِرُّ الْوَالِدَيْنِ ثُمَّ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Dalam kitab Tauhid, bab ke-48, hadits no 7534, Imam Bukhari mengatakan: “Sulaiman mengabarkan kepadaku, katanya: Syu’bah mengabarkan kepada kami, dari Al Walid (ح)[1]
‘Abbad bin Ya’qub Al Asadi juga mengabarkan kepada kami, katanya: ‘Abbad ibnul ‘Awwam mengabarkan kepada kami, dari Asy Syaibani, dari Al Walid ibnul ‘Aizaar (inilah titik temunya), dari Abu ‘Amru Asy Syaibani, dari Ibnu Mas’ud radhiyallaahu ‘anhu, bahwa ada seorang lelaki bertanya kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam: “Amalan apakah yg paling afdhal?”
“Shalat pada waktunya, berbakti kepada orang tua, kemudian Jihad fi sabilillah”, jawab Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam.
Bila diperhatikan, maka dlm sanad tersebut Imam Bukhari meriwayatkan hadits pertama kali dari Sulaiman, yaitu Sulaiman bin Harb bin Bajiel Al Azdy yg merupakan salah seorang imam Ahlussunnah. Sulaiman bin Harb meriwayatkannya dari Syu’bah, yang juga meruapakan salah seorang imam Ahlussunnah. Syu’bah meriwayatkannya dari Al Walid, yaitu Al Walid ibnul ‘Aizaar bin Huraits Al ‘Abdy Al Kufy, yang tergolong tsiqah. Nah, sampai titik ini, sanadnya shahih dan perawinya tidak ada yg tersifati dengan bid’ah apa pun.
Barulah kemudian Imam Bukhari meriwayatkan hadits tsb dari jalur berbeda yg padanya terdapat Si Rafidhi ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini tsb. Artinya, keberadaan sanad yg kedua ini hanyalah sebagai mutaabi’ (pengikut) bukan sanad utama yg menjadi pijakan satu-satunya. Ini jelas sekali bagi orang yg faham musthalah hadits.
Lebih dari itu, matan hadits Ibnu Mas’ud ini sebelumnya telah diriwayatkan  oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya sebanyak dua kali, dengan sanad lain yg tidak ada padanya si perawi Rafidhi tsb.
Yang pertama ialah kitab Mawaqietus Shalah, bab yg keempat, no 527:
صحيح البخاري- طوق النجاة (1/ 112)
527 – حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ هِشَامُ بْنُ عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ قَالَ الْوَلِيدُ بْنُ الْعَيْزَارِ أَخْبَرَنِي قَالَ سَمِعْتُ أَبَا عَمْرٍو الشَّيْبَانِيَّ يَقُولُ حَدَّثَنَا صَاحِبُ هَذِهِ الدَّارِ وَأَشَارَ إِلَى دَارِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ سَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ الْعَمَلِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى وَقْتِهَا قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قَالَ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي بِهِنَّ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
Ini adalah hadits yg sama namun dengan sanad yg berbeda, Imam Bukhari meriwayatkannya dari Abul Walied Hisyam bin Abdil Malik -, dari Syu’bah, dari Al Walid ibnul ‘Aizaar dst.
Sedangkan yg kedua ialah pada kitab Al Jihad was Siyar, bab yg pertama, no 2782:
صحيح البخاري- طوق النجاة (4/ 14)
2782 – حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ صَبَّاحٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَابِقٍ حَدَّثَنَا مَالِكُ بْنُ مِغْوَلٍ قَالَ سَمِعْتُ الْوَلِيدَ بْنَ الْعَيْزَارِ ذَكَرَ عَنْ أَبِي عَمْرٍو الشَّيْبَانِيِّ قَالَ قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْعُودٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ سَأَلْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيُّ الْعَمَلِ أَفْضَلُ قَالَ الصَّلَاةُ عَلَى مِيقَاتِهَا قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ ثُمَّ بِرُّ الْوَالِدَيْنِ قُلْتُ ثُمَّ أَيٌّ قَالَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَسَكَتُّ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَوْ اسْتَزَدْتُهُ لَزَادَنِي.
Ini adalah hadits yg sama namun dengan sanad yg berbeda, Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al Hasan bin Shabbah, dari Muhammad bin Sabiq, dari Malik bin Mighwal, dari Al Walid ibnul ‘Aizaar dst.
Dari sini, jelaslah bahwa riwayat ‘Abbad bin Ya’qub tidaklah menjadi hujjah dengan sendirinya, karena ia telah didahului oleh tiga sanad yg shahih yg semuanya tidak mengandung seorang syi’ah pun.
Bahkan dalam sanad yg kedua, guru langsung imam Bukhari adalah Al Hasan bin Shabbah, yg oleh Adz Dzahabi dinyatakan (أحد الأعلام، قال أحمد: ثقة، صاحب سنة، وقال أبو حاتم: صدوق له جلالة عجيبة ببغداد) artinya: “Salah seorang tokoh. Imam Ahmad mengatakan: Dia tsiqah dan seorang ahlussunnah. Sedangkan Abu Hatim mengatakan: Dia shaduq, dan memiliki kehormatan luar biasa di Baghdad”.[2]
Oleh karenanya, ketika membahas para perawi dlm Shahih Bukhari yg mendapat kritikan dari ulama lainnya –yg salah satunya adalah Si ‘Abbad ini-, Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan:
فتح الباري – ابن حجر (1/ 412(
عباد بن يعقوب الرواجني الكوفي أبو سعيد رافضي مشهور إلا أنه كان صدوقا وثقة أبو حاتم وقال الحاكم كان بن خزيمة إذا حدث عنه يقول حدثنا الثقة في روايته المتهم في رأيه عباد بن يعقوب وقال بن حبان كان رافضيا داعية وقال صالح بن محمد كان يشتم عثمان رضي الله عنه قلت روى عنه البخاري في كتاب التوحيد حديثا واحد مقرونا وهو حديث بن مسعود أي العمل أفضل وله عند البخاري طرق أخرى من رواية غيره
Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini Al Kufi, Abu Said. Dia seorang Rafidhi yg terkenal, akan tetapi ia jujur (shaduq) dan dianggap tsiqah oleh Abu Hatim. Al Hakim mengatakan bahwa konon Ibnu Khuzaimah bila meriwayatkan hadits darinya mengatakan: “Seorang yg tsiqah dalam hal meriwayatkan, namunmuttaham[3] dalam pemahamannya, yaitu Abbad bin Ya’qub mengabarkan kepada kami…”. Adapun Ibnu Hibban mengatakan: “Dia adalah seorang rafidhi yg menyerukan ajarannya”. Sedangkan Shalih bin Muhammad mengatakan: “Dia konon mencaci Utsman radhiyallaahu ‘anhu”.
Setelah menukil berbagai pendapat tadi, Ibnu Hajar lantas berkomentar: “Al Bukhari meriwayatkansebutir hadits darinya dalam kitab at Tauhid, secara maqrun (alias dirangkai dgn perawi lainnya), yaitu hadits Ibnu Mas’ud tentang amal apakah yg paling afdhal. Dan hadits Ibnu Mas’ud ini memiliki jalur-jalur lainnya dalam Shahih Bukhari, dari riwayat selain ‘Abbad.[4]
Dari sini, jelaslah bahwa riwayat ‘Abbad bin Ya’qub tidak berdiri sendiri. Dan ‘Abbad –walaupun dianggap rafidhi- tidaklah sama dengan rafidhah hari ini yg tukang dusta dan ahli taqiyyah (bermuka dua). Ia walaupun mencaci Utsman, tetap tidak keluar dari Islam, karena tidak memiliki akidah yg sama dengan syi’ah hari ini yg mengkafirkan mayoritas sahabat Nabi.
Jadi, separah apa pun julukan rafidhi yg disematkan kepada para perawi hadits dalam kitab-kitab utama rujukan Ahlussunnah, spt Al Kutubut Tis’ah (Shahihain, Sunan yg empat, plus Muwaththa’ Malik, Musnad Ahmad, dan Sunan Ad Darimi), tetap saja mrk tidak dianggap sbg orang-orang murtad karena meyakini bhw Al Qur’an yg ada tidak otentik lagi, atau meyakini kafirnya para sahabat Nabi, atau meyakini kema’shuman 12 Imam sebagaimana yg diyakini oleh Syi’ah hari ini.
Jelas ini sesuatu yg mustahil ditemukan pada para perawi yg dicap rafidhi tersebut. Sebab Imam Nasa’i adalah Imam yg paling akhir wafatnya dari para penyusun Al Kutubut Tis’ah tadi. Beliau wafat tahun 303 H. Berarti guru-gurunya adalah orang-orang yg wafat sebelum beliau. Sedangkan syi’ah yg berkembang hari ini adalah Syi’ah itsna ‘Asyariyah yg meyakini kema’shuman 12 Imam, dan berikut ini adalah silsilah ke-12 imam Syi’ah beserta tahun kematian mereka masing-masing[5]:
1. أميرُ المؤمنين عليُّ بنُ أبي طالب (ت/ 40 هـ) وقبره في النجف الاَشرف . 2. الاِمامُ الحسَنُ بن علي (المجتبى) (ت/50 هـ) وقبره في البقيع. 3. الاِمامُ الحسين بن علي سيدُ الشهداء (ت/ 61 هـ) وقبره في كربلاء. 4. الاِمامُ عليُّ بن الحسينُ بن علي زينُ العابدين (ت/ 94 هـ) وقبره في البقيع. 5. الاِمامُ محمدُ بن علي باقرُ العلوم (ت/114 هـ) وقبره في البقيع. 6. الاِمامُ جعفرُ بنُ محمد الصادقُ (ت/ 148 هـ) وقبره في البقيع. 7. الاِمامُ موسى بنُ جعفر الكاظمُ (ت/ 183 هـ.) وقبره في الكاظمية. 8. الاِمامُ عليُّ بن موسى الرضا (ت/ 203 هـ. ق) وقبره في خراسان. 9. الاِمامُ محمدُ بن علي الجوادُ (ت /220 هـ ق) وقبره في الكاظمية. 10. الاِمامُ عليُّ بن محمد الهادي (ت /254 هـ ق) وقبره في سامراء. 11. الاِمامُ الحسنُ بنُ علي العسكريُ (ت/ 260 هـ. ق) وقبره في سامراء. 12. الاِمامُ محمدُ بنُ الحسن المعروف بالمهديِّ، والحجة ـ عجَّل الله فرجَه الشريف ـ وهو الاِمامُ الثاني عشر، وهو حيٌّ حتى يظهر بأمر الله .
  1. 1.       Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib (w. 40 H), kuburannya di Najaf.
  2. 2.      Imam Al Hasan bin Ali (Al Mujtaba) (w. 50 H), kuburannya di Baqi’.
  3. 3.      Imam Al Husein bin Ali, Sayyidusy Syuhada’ (w. 61 H), kuburannya di Karbala’.
  4. 4.      Imam Ali bin Husein Zainul ‘Abidien (w. 94 H), kuburannya di Baqi’.
  5. 5.      Imam Muhammad bin Ali (Al Baqir) (w. 114 H), kuburannya di Baqi’.
  6. 6.      Imam Ja’far bin Muhammad (Ash Shadiq) (w. 148 H), kuburannya di Baqi’.
  7. 7.      Imam Musa bin Ja’far (Al Kazhim) (w. 183 H), kuburannya di Al Kazhimiyah.
  8. 8.     Imam Ali bin Musa (Ar Ridha) (148- 203 H), kuburannya di Khurasan.
  9. 9.      Imam Muhammad bin Ali (Al Jawwad) (195- 220 H), kuburannya di Al Kazhimiyah.
  10. 10.  Imam Ali bin Muhammad (Al Hadi) (212- 254 H), kuburannya di Samurra’.
  11. 11.   Imam Al Hasan bin Ali Al Askari (232- 260 H), kuburannya di Samurra’.
  12. 12.  Imam Muhammad bin Hasan (Al Mahdi) (yg menurut Syi’ah berumur 5 tahun ketika Bapaknya meninggal, dan akan muncul di akhir zaman nanti) (255-? H).
Nah, bila diperhatikan, maka Imam yg kesebelas ini baru lahir tahun 232 H, sedangkan Imam terakhir mereka baru lahir th 255 H, ini semua menurut literatur syi’ah sendiri[6]. Sedangkan mayoritas perawi yg dicap syi’ah atau bahkan rafidhah sekalipun -yg terdapat dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah- sudah banyak yg wafat sblm tahun 255 H. Contohnya ‘Abbad bin Ya’qub Ar Rawajini yg wafat th 250 H. Jadi, mana mungkin dia memiliki akidah yg sama dengan Rafidhah hari ini (yg meyakini kema’shuman 12 Imam, termasuk Al Mahdi), sedangkan dia keburu mati sblm imamnya dilahirkan???
Contoh lainnya ialah Sulaiman bin Qarm bin Mu’adz, Abu Dawud Adh Dhabbi yg menurut Adz Dzahabi wafat antara tahun (161-170 H).[7]
Orang ini juga dianggap syi’ah oleh sejumlah ahli hadits, seperti Abu Dawud yg mengatakan (كان يتشيع) “Dia konon berpemahaman syi’ah”. Demikian pula oleh Ibnu ‘Adiy yg mengatakan (وتدل صورة سليمان هذا على أنه مفرط فى التشيع) “Gambaran akan pribadi Sulaiman ini menunjukkan bahwa ia kebablasan dalam tasyayyu’-nya”. Sedangkan Al Hakim mengatakan bahwa (غمزوه بالغلو فى التشيع) “Mereka mengritiknya karena sikap ghuluw-nya dalam tasyayyu'”. Adapun Ibnu Hibban, maka beliau lah satu-satunya yg mencap Sulaiman bin Qarm sebagai Rafidhi ekstrim dengan mengatakan (كان رافضيا غاليا فى الرفض) “Dia adalah seorang rafidhi yg ekstrim”.
Perlu diketahui bahwa Ibnu Hibban dikenal sbg ulama yg terlalu keras dalam mengritik para perawi. Namun kalaulah Sulaiman bin Qarm ini kita anggap sebagaiRafidhi, maka tetap saja dia bukanlah Rafidhah Itsna ‘Asyariyah yg meyakini kema’shuman 12 Imam tsb.Sebab dia sudah keburu wafat sebelum Imam yg kesembilan hingga kedua belas lahir ke dunia ini.
Lagi pula, hadits Sulaiman bin Qarm dalam Shahih Muslim juga tidak menjadi pijakan utama, namun sekedar sebagai mutabi’ saja. Berikut ini penjelasannya:
صحيح مسلم – عبد الباقي (4/ 2034)
# 2640 حدثنا عثمان بن أبي شيبة وإسحاق بن إبراهيم قال إسحاق أخبرنا وقال عثمان حدثنا جرير عن الأعمش عن أبي وائل عن عبد الله قال جاء رجل إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال * يا رسول الله كيف ترى في رجل أحب قوما ولما يلحق بهم قال رسول الله صلى الله عليه وسلم المرء مع من أحب \ 1 \ # 2640 حدثنا محمد بن المثنى وبن بشار قالا: حدثنا بن أبي عديح وحدثنيه بشر بن خالد أخبرنا محمد يعنى بن جعفر كلاهما عن شعبة ح وحدثنا بن نمير حدثنا أبو الجواب حدثنا سليمان بن قرم جميعا عن سليمان عن أبي وائل عن عبد الله عن النبي صلى الله عليه وسلم * بمثله
Dalam Shahihnya (kitab Al Birr wash Shilah, bab ke-50, hadits no 2640), Imam Muslim meriwayatkan hadits dari dua jalur utama. Jalur yg pertama dengan rangkaian perawi sbb:
Utsman bin Abi Syaibah dan Ishaq bin Ibrahim, dari Jarir, dari Al A’masy, dari Abu Wa-il, dari Abdullah (bin Mas’ud), bahwa Nabi bersabda:… al hadits.
Sedangkan jalur kedua merupakan kumpulan dari 3 sanad, yaitu:
1>    Muhammad bin Mutsanna dan Muhammad bin Basysyar, dari Ibnu Abi ‘Adiy (ح)
2>   Bisyir bin Khalid, dari  Muhammad bin Ja’far; keduanya (yakni Ibnu Abi ‘Adiy dan Muhammad bin Ja’far) meriwayatkannya dari Syu’bah (ح)
3>   Ibnu Numeir, dari Abul Jawab, dari Sulaiman bin Qarm; semuanya (artinya Syu’bah dan Sulaiman bin Qarm) dari Sulaiman (Al A’masy), dari Abu Wa-il, dst…. sebagaimana yg sebelumnya.
Nah, jelaslah bahwa Sulaiman bin Qarm sekedar mutabi’ (pengikut) saja dan tidak menjadi pijakan Imam Muslim dalam meriwayatkan hadits di atas. Sebab Imam Muslim menyandingkan riwayat Sulaiman bin Qarm tsb dengan riwayat dua perawi lainnya yg bukan syi’ah, yaitu Jarir (bin Abdul Hamid Adh Dhabbi) dan Syu’bah bin Hajjaj.
Mungkin sementara ini dulu yg bisa saya sampaikan terkait syubhat yg sering dilontarkan pihak syi’ah, bahwa orang-orang Rafidhah yg ada dlm kitab-kitab hadits Ahlussunnah adalah spt Rafidhah hari ini, sehingga bila Rafidhah hari ini dianggap kafir, maka konsekuensinya ada orang kafir dalam kitab-kitab hadits Ahlussunnah…
Semoga penjelasan ini dapat membuka mata mereka, dan menepis syubhat dari hati sebagian Ahlussunnah yg –mungkin- termakan syubhat murahan kaum syi’ah tsb.
Kesimpulannya:
Perawi yg sering dituding sebagai syi’ah/syi’ah ekstrim oleh sebagian ahli hadits, tidak keluar dari kondisi berikut:
Pertama: Tudingan tsb tidak benar dan tidak terbukti, sehingga otomatis kesyi’ahan si perawi tidak bisa diterima.
Kedua: Tudingan tsb benar, akan tetapi ia bukanlah syi’ah yg meyakini ke-imaman 12 orang yg ma’shum, atau meyakini kafirnya Abu Bakar dan Umar, atau meyakini ketidakotentikan Al Qur’an; sebagaimana syi’ah hari ini. Karena konsekuensi dari keyakinan tsb mereka harus dikafirkan dan tidak mungkin hadits seorang kafir bisa diterima, apa pun alasannya.
Ketiga: Tudingan tsb masih diperselisihkan kebenarannya. Alias menurut sebagian ulama si perawi memang demikian, namun menurut yg lain tidaklah demikian. Kalaulah Imam Bukhari/Muslim termasuk pihak yg meragukan keabsahan tudingan tsb, maka tidak bisa dikatakan bhw mereka meriwayatkan dari Syi’ah. Namun bila keduanya meyakini kebenaran tudingan tsb –dan ini perlu pembuktian dari ucapan mereka sendiri-, maka tetap saja ia bukanlah syi’ah yg kita kenal hari ini, dan hal tsb telah ditegaskan oleh para ulama dan terbukti secara ilmiah dlm tiga artikel sblmnya.
Ini juga berlaku bagi mereka yg dijuluki Rafidhi oleh sebagian salaf, yaitu yg sampai memaki sebagian sahabat; akan tetapi ahlussunnah tetap mensyaratkan adanya sifat jujur pada diri si perawi tsb, yg hari ini sudah tidak ada lagi. Kemudian kalaupun ada di antara para rafidhah tadi yg haditsnya termaktub dalam Shahihain, maka terbukti bahwa hadits mrk bukanlah pijakan satu-satunya, namun sekedar mutabi’ yg keberadaannya atau ketidak beradaannya tidak akan mempengaruhi keabsahan hadits tsb, menurut kaidah musthalah hadits.
Di samping itu, penting untuk kita ketahui bahwa penggunaan julukan Rafidhi oleh para salaf memiliki makna khusus yg berbeda dengan penggunaan ulama yang datang kemudian. Hal ini bisa difahami dari penjelasan Ibnu Hajar dlm Muqaddimah Fathul Baarinya (1/459) sbb:
والتشيع محبة عليٍّ وتقديمه على الصحابة. فمن قدمه على أبي بكر وعمر فهو غال في تشيعه، ويطلق عليه رافضي؛ وإلا فشيعي، فإن انضاف إلى ذلك السب أو التصريح بالبغض فغال في الرفض. وإن اعتقد الرجعة إلى الدنيا فأشد في الغلو.
Tasyayyu’ artinya mencintai Ali dan mendahulukannya di atas para sahabat. Barang siapa mendahulukan Ali di atas Abu Bakar dan Umar, maka dia ekstrim dalam tasyayyu’nya, dan disebut juga Rafidhi. Namun bila tidak demikian, maka disebut Syi’i. Bila disamping itu dia juga mencaci dan menyatakan kebenciannya terhadap para sahabat, maka dia ekstrim dalam kerafidhahannya. Dan bila ia meyakini raj’ah (hidup kembalinya para imam utk melampiaskan dendam kpd musuh2-nya), berarti ia lebih ekstrim lagi.
Dari sini bisa kita simpulkan bahwa perawi yg tergolong syi’ah ada 4 macam:
  1. 1.       Syi’ah biasa: yaitu yg sekedar melebihkan Ali diatas para sahabat, tanpa mencaci maki seorang pun dari mereka.
  2. 2.      Syi’ah ekstrim/Rafidhah: yaitu yg melebihkan Ali di atas Abu Bakar dan Umar, tanpa mencaci maki mereka berdua.
  3. 3.      Rafidhah ekstrim: yaitu yg melebihkan Ali di atas mereka berdua dan mencaci maki para sahabat.
  4. 4.      Rafidhah super ekstrim: yang meyakini Ali akan kembali hidup untuk melampiaskan dendam kpd musuh-musuhnya, seperti Abu Bakar, Umar, Aisyah, dan Hafshah.
Inilah yg dapat difahami dari klasifikasi Al Hafizh Ibnu Hajar ttg penggunaan istilah syi’ah/tasyayyu’ dan rafidhah yg sering dipakai para ahli hadits di masa salaf. Kendatipun demikian, kita mendapati adanya golongan kelima yg disebut berpemahaman tasyayyu’, yaitu yg tasyayyu’nya sangat ringan seperti Abdurrazzaq bin Hammam As Shan’ani, yg bahkan tidak melebihkan Ali di atas Utsman. Dan banyak pula perawi-perawi lain yg seperti itu.
Perlu diketahui pula, bahwa tidak ada satu riwayatpun dalam Shahihain dari jalur perawi yg disepakati sebagai Rafidhi, yang riwayatnya mendukung bid’ah mereka. Akan tetapi yg kita jumpai hanyalah riwayat-riwayat dalam masalah lain yg tidak ada sangkut pautnya dengan penyimpangan akidah mereka. Dalam hal ini, Imam Adz Dzahabi menjelaskannya dengan sangat ilmiah sbb:
مسألة كبيرة، وهي: القدري والمعتزلي والجهمي والرافضي، إذا عُلم صدقُه في الحديث وتقواه، ولم يكن داعياً إلى بدعته، فالذي عليه أكثر العلماء قبول روايته، والعمل بحديثه. وتردّدوا في الداعية، هل يؤخذ عنه؟ فذهب كثير من الحفاظ إلى تجنب حديثه وهجرانه، وقال بعضهم: إذا علِمنا صدقَه وكان داعية، ووجدنا عنده سُنَّةً تفرد بها، فكيف يسوغ لنا ترك تلك السنة؟ فجميع تصرفات أئمة الحديث تُؤذِن بأن المبتدع إذا لم تُبِح بدعتُه خروجَه من دائرة الإسلام، ولم تُبِح دمَه، فإن قبول ما رواه سائغوهذه المسألة لم تتبرهن لي كما ينبغي، والذي اتضح لي منها أن من دخل في بدعةٍ، ولم يُعدَّ من رؤوسها، ولا أمعن فيها، يقبل حديثه. سير أعلام النبلاء  7/154
Ada sebuah masalah besar, yaitu: Seorang penganut faham Qadariyah, Mu’tazilah, Jahmiyah, danRafidhah; jika ia diketahui sebagai orang yg jujurdalam berkata, dan memiliki ketakwaan; dan iabukanlah da’i yg mengajak orang lain kepada bid’ahnya; maka menurut mayoritas ulama riwayatnya dapat diterima dan haditsnya boleh diamalkan. Akan tetapi mayoritas ulama tersebut ragu terhadap mereka yg tergolong da’i-da’i ahli bid’ah, apakah boleh diambil haditsnya? Banyak darihuffazhul hadits yang memilih untuk menjauhi dan meninggalkan riwayat mereka. Sedangkan sebagian lainnya mengatakan: Bila kami telah mengetahui kejujurannya dan ia tergolong da’i ahli bid’ah, dan padanya terdapat suatu sunnah (hadits) yang tidak ada pada selainnya; maka bagaimana bagaimana mungkin kita boleh menerlantarkan sunnah tersebut?
Jadi, sikap seluruh imam ahli hadits menunjukkan bahwa selama kebid’ahan si perawi tidak mengeluarkannya dari Islam dan tidak menghalalkan darahnya; maka riwayatnya tetap boleh diterima.
Masalah ini masih belum terbukti secara memuaskan bagiku, akan tetapi yg jelas bagiku dalam masalah ini ialah: bahwa siapa saja yg terjerumus dalam bid’ah, namun tidak dianggap sebagai tokohnya, dan tidak terlalu menggeluti bid’ahnya; maka haditsnya bisa diterima.[8]
Keempat: Boleh jadi tudingan bid’ah tersebut memang benar, akan teapi si perawi telah bertaubat darinya. Contohnya ialah cap rafidhi yg disematkan kpd perawi Shahih Muslim yg bernama Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly. Hal ini dinyatakan oleh As Saaji (w. 507 H), Ibnu Hibban (w. 354 H) dgn ungkapan: (كان يغلو في الرفض) “Dia konon bersikap ekstrim dalam kerafidhahannya”. Sedangkan Imam Ahmad mengatakan (أظنه يتشيع) “Kukira dia bertasyayyu'”. Sedangkan Ibnu Ma’ien menganggapnya (كان من غلاة الشيعة) Dia termasuk syi’ah ekstrim.[9]
Akan tetapi tuduhan bahwa dia seorang rafidhi ekstrim tsb dinafikan oleh Adz Dzahabi yg mengatakan:
وَقَدْ شَذَّ ابْنُ حِبَّانَ – كَعَوَائِدِهِ – فَقَالَ: لا تَحِلُّ الرِّوَايَةُ عَنْهُ، كَانَ غَالِيًا فِي الرَّفْضِ، وَهُوَ رَأْسُ الزَّيْدِيَّةِ مِمَّنْ كَانَ يَعْتَكِفُ عِنْدَ خَشَبَةِ زَيْدٍ الَّتِي هُوَ مَصْلُوبٌ عَلَيْهَا وَكَانَ دَاعِيَةً إِلَى مَذْهَبِهِ.
قُلْتُ: لَمْ يَكُنْ غَالِيًا فِي رَفْضِهِ، فَإِنَّ الرَّافِضَةَ رَفَضَتْ زَيْدَ بْنَ عَلِيٍّ وَفَارَقَتْهُ، وَهَذَا قَدْ رَوَى لَهُ مُسْلِمٌ.
Ibnu Hibban berpendapat nyeleneh –sebagaimana biasanya-, dengan mengatakan: “Harun ini tidak halal riwayatnya. Dia bersikap ekstrim dalam kerafidhahannya, dan dia adalah tokoh Zaidiyah yg kerap beri’tikaf di tiang kayu tempat penyaliban Zaid bin Ali, dan dia tergolong da’i-nya zaidiyah”.
Adz Dzahabi lantas berkomentar: “Ia bukanlah seorang yg ekstrim dalam kerafidhahannya, sebab kaum Rafidhah justru menolak (keimaman) Zaid bin Ali, dan memisahkan diri darinya. Sedangkan orang ini haditsnya diriwayatkan oleh Muslim”.[10]
Di samping itu, kita mendapati bahwa Qutaibah (w. 276 H) -yang hidup sebelum Ibnu Hibban dan As Saaji dan lebih dekat dengan zaman si perawi,  sehingga lebih mengetahui tentangnya-, telah menukil sebuah sya’ir yang disusun oleh Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly tsb, yang menunjukkan bahwa ia telah bertaubat dari kerafidhahannya, yaitu sbb:
ألم تر أن الرافضين تفرقوا … فكلهم في جعفر قال منكرا
فطائفة قالوا إمام ومنهم … طوائف سمته النبي المطهرا
ومن عجب لم أقضه جلد جفرهم … برئت إلى الرحمن ممن تجفرا
برئت إلى الرحمن من كل رافض … بصير بباب الكفر في الدين أعورا
Tidakkah kau perhatikan bahwa kaum rafidhah telah berpecah
                        Dan mereka semua mengatakan kemunkaran terhadap Ja’far
Ada kelompok yang menganggapnya sebagai Imam
                        Dan diantara mereka menyebutnya sebagai Nabi yg suci
Diantara keajaiban yg tak habis kupikirkan adalah Jilid Jafr mereka[11]
                        Aku berlepas diri kepada Allah dari yg meyakini Jafr tsb[12]
Aku berlepas diri kepada Allah dari setiap rafidhi
                        Yg buta sebelah mengenai pintu kekafiran terhadap dien.
Bait-bait ini jelas menunjukkan bahwa ia telah berlepas diri dari keyakinan kaum Rafidhah dan menyifati apa yg mereka nisbatkan kepada Ja’far As Shadiq sebagai kemunkaran. Karenanya, Ibnu Hajar mengatakan ttg Harun ini sbb: (صدوق رمي بالرفض، ويقال: رجع عنه) “Dia shaduq dan dicap sebagai rafidhi, dan dikatakan bhw ia telah rujuk darinya”.[13]
Lagi pula, Harun bin Sa’ad Al ‘Ijly digolongkan oleh Adz Dzahabi kedalam mereka yg wafat antara tahun 141-150 H. Konsekuensinya, dia wafat sebelum lahirnya imam syi’ah yg ke-9, sehingga secara logika ia tidak mungkin berkeyakinan spt syi’ah imamiyah itsna ‘asyariyah hari ini, lha wong imam-imam yg ada di zamannya saja belum genap berjumlah 12!!
Di samping itu, satu-satunya hadits yg diriwayatkan oleh Imam Muslim dlm Shahihnya, sama sekali tidak ada sangkut-pautnya dgn bid’ah syi’ah, sebab hadits tsb diriwayatkan dari jalur Humeid bin Abdurrahman, dari Hasan bin Shalih, dari Harun bin Sa’ad, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah secara marfu’ dgn lafazh:
ضِرْسُ الْكَافِرِ، أَوْ نَابُ الْكَافِرِ، مِثْلُ أُحُدٍ وَغِلَظُ جِلْدِهِ مَسِيرَةُ ثَلَاثٍ
Geraham atau taring seorang kafir (di Neraka) besarnya seukuran gunung Uhud, sedangkan ketebalan kulitnya sejauh perjalanan tiga hari.[14]
Anehnya lagi, Ibnu Hibban yg mengatakan bhw Harun bin Sa’ad ini tidak halal riwayatnya, juga menggolongkannya sebagai perawi yg tsiqah dalam kitab Tsiqat-nya[15], dan bahkan meriwayatkan hadits ini dari jalur yg sama dalam Shahihnya (16/532-no 7487), sbb:
7487 – أخبرنا أحمد بن علي بن المثنى، قال: حدثنا إسحاق بن [ص:533] إبراهيم بن أبي إسرائيل المروزي، قال: حدثنا حميد بن عبد الرحمن، عن الحسن بن صالح، عن هارون بن سعد، عن أبي حازم، عن أبي هريرة، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم:  «ضرس الكافر، أو ناب الكافر مثل أحد، وغلظ جلده مسيرة ثلاث»
Nah, ini menunjukkan bahwa sikap Ibnu Hibban ini memiliki dua kemungkinan:
Pertama, beliau lupa dengan perkataannya sehingga terjadilah kontradiksi.
Kedua, beliau berubah pikiran dari yg semula menganggap riwayatnya tidak halal, lalu men-tsiqah-kannya dan meriwayatkan haditsnya dlm kitab Shahih, dan inilah yg nampaknya lebih rajih karena didukung dengan periwayatan haditsnya.
Wallaahu a’lam.
Sufyan Fuad Baswedan
Madinah, 8 Shafar 1435 H.
[1]Ini adalah simbol yg digunakan oleh ahli hadits untuk pindah dari satu sanad ke sanad berikutnya pada hadits yg sama. Setelah simbol ha’ ini, maka perawi berikutnya adalah guru langsung dari si penulis kitab, yg dalam hal ini adalah Imam Bukhari rahimahullah.
[2] Lihat: Al Kaasyif no 1038.
[3]Secara bahasa artinya tertuduh, dan di sini maksudnya tertuduh sbg ahli bid’ah atau orang sesat.
[4]Hadyus Saari muqaddimah Fathul Baari 1/412.
[5]Nama-nama beserta tahun wafat mereka saya ambil dari bbrp situs syi’ah, salah satunya adalah:http://www.imamhussain.org/howseholdd/6vie.html dan yg lainnya.
[6]Lihat di: http://www.almuwail.com/alaskarysera.htm
[7]Lihat: Tariekh Al Islam 4/400.
[8]Dinukil dari Siyar A’laamin Nubala’ (7/154).
[9]Lihat biografinya dlm kitab: Tahdziebut Tahdzieb dan Ikmal Tahdziebul Kamal.
[10]Dinukil dari Taariekhul Islam (3/997).
[11]Dalam kitab Al Irsyad (hal 247), Al Ihtijaj (2/372), Kasyful Ghummah (2/381), dan literature syi’ah lainnya disebutkan sbb:
عن الصادق عليه السلام: علمنا غابرٌ ومزبورٌ ونَكْتٌ في القلوب ونَقْرٌ في الأسماع. وإن عندنا الجفر الأحمر والجفر الأبيض ومصحف فاطمة عليها السلام. وإن عندنا الجامعة فيها جميع ما يحتاج الناس إليه. فسئل عن تفسير هذا الكلام فقال: أما الغابر فالعلم بما يكون، وأما المزبور: فالعلم بما كان، وأما النكت في القلوب فهو الإلهام والنقر في الأسماع: حديث الملائكة، نسمع كلامهم ولا نرى أشخاصهم، وأما الجفر الأحمر: فوعاء فيه سلاح رسول الله صلى الله عليه وآله، ولن يخرج حتى يقوم قائمنا أهل البيت، وأما الجفر الأبيض: فوعاء فيه توراة موسى وإنجيل عيسى وزبور داود وكتب الله الأولى، وأما مصحف فاطمة عليها السلام ففيه ما يكون من حادث، وأسماء كل من يملك إلى أن تقوم الساعة. وأما الجامعة: فهي كتاب طوله سبعون ذراعاً أملاه رسول الله صلى الله عليه وآله من فلق فيه وخط علي بن أبي طالب عليه السلام بيده، فيه والله جميع ما يحتاج الناس إليه إلى يوم القيامة، حتى أن فيه أرش الخدش والجلدة ونصف الجلدة.
Dari Ja’far As Shadiq AS katanya: “Kami diajari Ghabir, Mazbuur, Naktun fil quluub dan Naqrun fil asmaa’. Dan kita memiliki Jafr Merah, Jafr Putih, dan Mushaf Fatimah. Kita juga memiliki Al Ja-mi’ah yang di dalamnya ada semua yg dibutuhkan manusia”. Beliau ditanya ttg penafsiran dari ucapan tsb, maka jawabnya:
Ghabir adalah ilmu tentang apa yang akan terjadi.
Mazbuur adalah ilmu tentang apa yg telah terjadi.
Naktun fil quluub adalah ilham.
Naqrun fil asmaa’ adalah pembicaraan para malaikat. Kami dapat mendengar ucapan mereka walau tidak melihat sosok mereka.
Jafr merah adalah suatu wadah yg berisi senjata Rasulullah dan ahli bait beliau.
Jafr putih adalah suatu wadah yg berisi Tauratnya Musa, Injilnya Isa, Zaburnya Dawud, dan kitab-kitab Allah yg terdahulu.
Mushaf Fatimah berisi peristiwa2 yg akan terjadi, dan nama-nama setiap orang yg akan berkuasa hingga hari kiamat.
Al Ja-mi’ah adalah sebuah kitab sepanjang 70 hasta yang didiktekan oleh Rasulullah SAW, dan ditulis oleh Ali AS. Demi Allah, padanya terdapat semua yg dibutuhkan manusia hingga hari kiamat, termasuk denda bagi yg melukai, dan bagi sekali cambukan dan setengah kali cambukan.
[12]Disebutkan oleh Ibnu Qutaibah dlm Ta’wil Mukhtaliful Hadits hal 71.
[13]Taqribut Tahdzieb no 7227.
[14]HR. Muslim no 2851.
[15]Lihat: Ats Tsiqaat (7/579, biografi nomor 11557).

Artikel terkait :
jika Syi’ah dikafirkan, sama artinya akan banyak sekali hadis Shahih Bukhari-Muslim yang mesti ditolak adalah perkataan yang batil

Konsep Batil Hadits Syiah, dari Cacat Ruwat hingga Cacat Sanad

Menyoal Validitas Hadits Syi’ah

Benarkah Imam Bukhari Mengambil Riwayat Dari Kaum Syiah?

Sekilas tentang Perawi Utama Syi’ah : Jaabir Al-Ju’fiy, Zuraarah, dan Muhammad bin Muslim

http://lamurkha.blogspot.com/2014/11/sekilas-tentang-perawi-utama-syiah.html

Artikel tambahan :

Syi'ah : Bagaimana Aqidah Rafidhah Terhadap Para Shahabat Rasulullah ?
Disusun oleh
Abdullah bin Muhammad As Salafi.

Aqidah Rafidhah berdiri atas caci maki, mencela dan mengkafirkan para sahabat -semoga Allah meridhoi para sahabat-. Al Kulaini menyebutkan di Furu Al Kafi dari Ja'far alaihi salam : Manusia menjadi murtad setelah Nabi (meninggal) kecuali tiga orang, lalu aku bertanya : siapa tiga orang itu ? beliau berkata : Al miqdaad bin Aswad, Abu Dzar Al Ghifari dan Salman Al Farisi [1].

Al Majlisi dalam kitab Haqqul Yakin menyebutkan : Bahwasanya seorang budak Ali bin Hasein berkata kepadanya : saya mempunyai hak pelayanan yang wajib atas dirimu, maka beritahu aku tentang Abu Bakr dan Umar, lalu ia menjawab : Mereka berdua adalah orang kafir, dan orang yang mencintai mereka maka ia orang kafir juga.[2]

Dalam tafsir Al-Qummi pada firman Allah [An Nahl : 90]:

Mereka mengatakan : al fahsyaa (keji) adalah Abu Bakar, mungkar adalah Umar dan baghyi (kezoliman) adalah Utsman[3].

Mereka mengatakan dalam buku mereka Miftahul Jinaan : Ya Allah anugerahkanlah salawat atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad dan laknatlah dua berhala kaum Quraisy dan dua yang mereka sembah selain Allah[4]. dan dua taghut serta anak perempuan mereka berdua dan seterusnya [5]. Dan yang mereka maksudkan dengan itu adalah Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah.

Pada hari asyura (hari ke sepuluh bulan Muharram), mereka membawa seekor anjing lalu mereka namakan dengan umar, kemudian mereka menghujani dengan pukulan pakai tongkat, serta melontarnya dengan batu sampai mati, kemudian mereka menghadirkan seekor anak kambing, mereka beri nama dengan Aisyah, kemudian mereka mulai mencabut bulunya, dan menghujani dengan pukulan pakai sandal, sampai mati [6]. 

Sebagaimana mereka merayakan hari terbunuhnya Faruq Umar bin Khatab dan mereka memberi nama pembunuh umar yaitu abu Lukluk al Majusi dengan nama Baba Syujaa'uddin (bapak) pemberani agama (pahlawan agama) [7], semoga Allah meridhoi seluruh sahabat dan para ummul mukminin.

Lihatlah wahai saudaraku muslim, alangkah dengkinya dan alangkah kejinya golongan yang keluar dari agama ini, tentang apa yang telah mereka katakan terhadap manusia pilihan setelah para nabi, yang mana Allah dan rasul-Nya telah memuji mereka. Dan telah sepakat umat ini atas keadilan (kelurusan dan keterpercayaan) dan keutamaan mereka. Sejarah dan kenyataan pun telah membuktikan dan menyaksikan serta perkara-perkara ini sudah merupakan pengetahuan yang wajib diketahui (oleh setiap umat) atas kebaikan, dan posisi mereka selalu di depan serta jihad mereka dalam Islam.

APA SEGI KESAMAAN ANTARA YAHUDI DENGAN RAFIDHAH ?
Syakh Islam Ibnu Taimiyah berkata : Bukti dari, sesungguhnya bencana Rafidhah adalah bencana Yahudi, hal itu terlihat pada :

Sesungguhnya orang Yahudi mengatakan : Tidak boleh yang menjadi raja kecuali dari keluarga nabi Daud, Rafidhah berkata : Tidak boleh menjadi imam kecuali dari anak Ali.

Yahudi mengatakan : Tidak ada jihad di jalan Allah sampai keluar Masehid Dajjal dan diturunkan pedang. Orang Rafidhah mengatakan : Tidak ada jihad di jalan Allah sampai keluar Al Mahdi, dan datingnya penyeru menyeru dari langit.

Orang Yahudi mengakhirkan (mengundurkan) shalat sampai bintang bertebaran, begitu juga orang Rafidhah mereka mengundurkan shalat maghrib sampai bintang-bintang bertebaran, padahal hadits mengatakan : “Senantiasa umatku di atas fitrah, selama mereka tidak mengakhirkan shalat maghrib sampai bintang bertebaran [8].

Orang Yahudi telah merubah taurat, begitu juga orang Rafidhah, mereka telah merubah Al Quran. 

Orang Yahudi tidak memandang bolehnya mengusap khuf (sepatu kulit yang menutupi mata kaki), begitu juga orang Rafidhah.

Orang Yahudi membenci malaikat Jibril, mereka mengatakan : Malaikat Jibril adalah musuh kita dari kalangan malaikat. Begitu juga orang Rafidhah, mereka mengatakan : Malaikat Jibril telah salah menyampaikan wahyu kepada Muhammad[9].

Begitu juga orang Rafidhah meyerupai orang kristen pada satu ajaran nasrani yaitu, wanita-wanita mereka tidak memiliki hak mendapatkan mahar, akan tetapi hanya bersenang-senang dengan mereka dengan kesenangan, begitu juga orang Rafidhah, mereka menikah dengan cara mut'ah, dan mereka menghalalkan itu.

Orang yahudi dan kristen lebih utama dari orang Rafidhah dengan satu sifat (yaitu) : 

Orang yahudi jika ditanya : siapakah orang yang terbaik di kalangan pemeluk agamamu? Mereka menjawab : adalah sahabat-sahabat Musa.

Orang Kristen jika ditanya : siapakah orang yang terbaik di kalangan pemeluk agamamu? Mereka menjawab : adalah Hawari (sahabat-sahabat) Isa.

Orang rafidhah jika ditanya : siapakah orang yang terburuk di kalangan pemeluk agamamu? Mereka menjawab : adalah sahabat-sahabat Muhammad. [10]

[Disalin dari kitab Diantara Aqidah Syi'ah, Disusun oleh Abdullah bin Muhammad As Salafi, Diterjemahkan oleh Abu Abdillah Muhammad Elvi Syam, Lc.]
_________
Foote Note.
[1] Furuu Al Kafi, oleh Al Kulaini, hal : 115.
[2] Haqqul Yakiin, oleh Al Majlisi, hal : 522. Di sini perlu di isyaratkan bahwa sesungguhnya Ali bin Hasein dan Ahlu Bait semuanya berlepas diri dari semua ini yaitu kedustaan yang diada-adakan oleh kaum Rafidah atas diri mereka, semoga Allah memerangi kaum rafidhah, alangkah jeleknya kedustaan yang mereka buat. (Insya Allah penterjemah akan membuat satu edisi yang berisikan sikap Ahlul Bait terhadap para sahabat, yang akan diambil dari buku-buku pegangan mereka sendiri, agar pembaca mengetahui sebenarnya mereka telah menyelisihi ahlul Bait sendiri dalam bersikap terhadap para sahabat Rasul.)
[3] Tafsir Al Qummi, hal : 218.
[4] Ketahuilah pembaca budiman : Mereka sendiri telah menjadikan kuburan Kumaini sebagai tempat yang suci, dan mendirikan di atasnya bangunan seperti Ka'bah sebagai tandingan Ka'bah kita yang mulia. 
[5] Miftahul Jinaan, hal : 114. Lihat doa dua berhala Quraisy, insya Allah di edisi ke 15.
[6] Tabdiidul Zhilaam wa tanbiihun Niyam, oleh Ibrahim Al Jabhaan, hal : 27.
[7] Abbas Al Qummi, (Alkuna wal Alqaab) 2/55.
[8] Hadits diriwayatkan oleh : Imam Ahmad : 4/147. 5/417, 422, Abu Daud, no : 418, dan Abnu Majah, no : 689, di dalam jawaid dikatakan : sanadnya hasan (baik).
[9] Ada juga suatu kelompok yang mengatakan yang aneh-aneh, mereka mengatakan : sesungguhnya Jibril telah berkhianat, dimana ia menyampaikan wahyu kepada Nabi Muhammad, sedangkan yang lebih utama dan lebih berhak terhadap risalah adalah Ali bin Abi Thalib, oleh karena inilah mereka mengatakan : telah berkhianat Amiin (malaikan jibril) dan ia telah menghalang risalah sampai ke Haidari (Ali).
Wahai saudaraku muslim, bagaimana mungkin mereka menuduh Jibril Alaihi salam telah berkhianat, sedangkan Allah telah menyifatinya dengan amanah (terpercaya), sebagaimana Allah telah berfirman : Telah dibawa oleh Ruhul Amiin (malaikat Jibril), dan firman-Nya : selalu taat kemudian terpercaya”. Apakah yang akan anda katakan wahai muslin terhadap keyakinan yang diimani oleh orang-orang rafidhah ini?
[10] Minhaajul Sunnah, oleh syeikhul Islam Ibnu Taimiyah : 1/24.