Thursday, April 23, 2015

Sekilas Tentang Pemikiran Khumaini

                                            
Oleh

DR Mani’ bin Hammad Al-Juhani

Khumaini, beberapa kalangan menyebutnya sebagai pencetus revolusi Iran yang mengusung kebangkitan Islam. Dia dipandang paling berjasa dalam menumbangkan rezim Iran Syah Pahlevi, yang dicap sebagai diktator. Dengan keberhasilannya ini, Khumaini seolah-olah menyerukan untuk meninggikan kalimat Islam. Padahal, jika merunut pemikirannya, dia tidak berbeda dengan penganut Syi’ah lainnya, yang memiliki penyimpangan aqidah ataupun akhlak pada dirinya. Selain itu , ia ternyata memiliki pemikiran-pemikiran hasil perasaan benaknya, yang setali tiga uang dengan pemikiran dan aqidah Syi’ah secara umum. Yakni melencengkan dan penuh dengan kedengkian terhadap kaum muslimin. Anehnya, masih ada saja yang menganggapnya sebagai sang pembaharu, dan kemudian mengidolakannya.



Di antara pemikiran yang digagas Khumaini, sebagiannya belum pernah muncul dari seorang kepala mubtadi dari kalangan Syi’ah ataupun firqah lainnya pada masa lampau. Berikut ini beberapa pernyataan Khumaini dalam berbagai masalah, yang sangat nyata penyimpangannya.

Khumaini mempunyai pemikiran tentang Wilayatul al-Faqih. Maksud dari gagasan ini adalah, orang faqih yang mempunyai keilmuan yang sudah memadai dan sifat ‘adalah (adil), ia berhak menggenggam wilayah amah (khilafah) dan kekuasaan yang mutlak untuk menangani urusan rakyat dan negara, lantaran ia dipandang sebagai washi (pemegang mandat) untuk mengambil alih urusan mereka, saat imam yang ditunggu kedatangannya masih belum tiba. Pemikiran Khumaini yang seperti ini, tidak pernah disebutkan oleh satu pun ulama pada masa lalu, baik dari kalangan ulama madzhab maupun ahli hadits.

Klaimnya sebagai orang yang memegang mandat kekuasaan, secara otomatis telah mampu mengangkat kedudukannya munuju martabat imam yang ma’shum. Sebagai konsekwensinya, pemegang mandat tadi merupakan orang yang berhak memonopoli kendali kekuasaan, menetapkan hukum syari’at dan fiqih, dan memahami hukum-hukum. Tidak ada seorangpun yang boleh menyalahkan atau menggagalkan usulannya, meskipun itu sebuah majlis syura.

Dia juga melontarkan pernyataan, bahwa para nabi dan rasul belum sempat menyempurnakan syari’at dari langit (syari’at Allah). Menurut Khumaini, para nabi dan rasul juga belum berhasil menancapkan tonggak-tonggak keadilan di dunia ini. Adapun tokoh yang nantinya berhasil membumikan keadilan secara sempurna, menurut Khumaini adalah Imam Mahdi (versi Syi’ah) yang akan datang.

Klaim ini dilontarkan Khumaini saat merayakan hari kelahiran Al-Mahdi menurut versi Syi’ah pada 15 Sya’ban 1400H

Pemikiran lainnya yang juga aneh, Khumaini pernah memaparkan tentang martabat para imam. Dia mengatakan ; “Sesungguhnya seorang imam mempunyai kedudukan yang terpuji dan derajat yang tinggi, serta memiliki kewenangan mengatur alam semesta. Seluruh partikel yang ada di alam semesta tunduk pada kekuasaan dan kontrolnya”.

Dia juga pernah melontarkan : “Para imam (Syi’ah), kami tidak pernah membayangkan terjadinya kealpaan dan kelalaian pada diri mereka”.

Menurut Khumaini, di antara hal yang prinsip pada madzhab Syi’ah, para imam menduduki tempat yang tidak bisa dicapai oleh malaikat terdekat, juga nabi yang diutus sekalipun. Khumaini menambahkan, ajaran-ajaran para imam persis seperti ajaran-ajaran Al-Qur’an yang harus diaplikasikan dan diikuti.

Khumaini juga memiliki konsep wala dan bara. Dalam perspektif Syi’ah wala dan bara adalah setia terhadap para imam dan memusuhi para musuh imam. Musuh para imam yang dimaksud adalah generasi para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Adapun pandangannya tentang jihad, Khumaini mengatakan, bahwa jihad diberhentikan saat imam tidak ada. Dia juga memandang, bahwa pemerintah Islam tidak pernah tegak kecuali pada masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan Ali Radhiyallahu ‘anhu saja. Sungguh pernyataan ini sangat bertentangan dengan fakta. Karena kita mengetahui, betapa banyak para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sangat berjasa memegang amanah kekhalifahan, seperti Abu Bakar Ash-Shidiq, Umar bin Al-Khaththab maupun Utsman bin Affan, juga Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘anhu. Mengenai permusuhan terhadap para sahabat Nabi, tidak perlu lagi diangkat. Kitab-kitab mereka sudah menjadi saksi atas perbuatan tercela tersebut .

Dengan mencermati pemikirannya yang miring tentang pemerintahan Islam, maka tidak aneh jika akhirnya kita mengetahui, ternyata Khumaini menyanjung menteri Holagukhan yang berhasil membantu kehancuran khilafah Islam di Baghdad. Dengan sanjungan tersebut menunjukkan, jika Khumaini memiliki sifat hasad terhadap kaum muslimin. Sementara itu dia juga menyelenggarakan hari raya Nairuz, hari perayaan warisan bangsa Persia (Majusi). Bahkan memandang sunnahnya mandi dan berpuasa pada hari tersebut.

Pada kitab hasil karyanya, Tahriru Al-Wasilah, Khumaini juga memiliki pendapat-pendapat dalam bidang fiqih yang aneh, dan menyelisihi dalil yang shahih. Di antaranya ;

[1]. Sucinya air yang telah dipakai istinja.
[2]. Menurut Khumaini, di antara yang membatalkan shalat adalah meletakkan tangan di atas tangan lainnya.
[3]. Dia juga berpendapat, boleh menyetubuhi isteri melalui lubang dubur
[4]. Dalam masalah poligami, Khumaini berpendapat boleh memperisteri seorang wanita dan bibinya sekaligus

Dari pemaparan singkat di atas, kita bisa melihat secara sangat jelas besarnya kekeliruan (baca : penyimpangan) yang telah ditorehkan Khumaini melalui pernyataan maupun tulisannya. Waliyatu Al-Faqih yang ia lontarkan, merupakan cerminan kelumpuhannya untuk menjawab tertundanya kedatangan Imam Mahdi Syi’ah yang telah sembunyi dalam sebuah gua selama beratus-ratus tahun lamanya, sebagaimana sering mereka propagandakan. Sebuah bid’ah yang terpaksa dimunculkan dalam masalah aqidah yang diada-adakan oleh Syi’ah tentang imam dua belas.

Dalam perspektif Ahlus Sunnah, Imam Mahdi juga ada, namun kemunculannya pada akhir zaman nanti. Meski demikian, tidak berarti umat tidak tertuntut melaksanakan kewajiban-kewajiban yang bisa dilaksanakan.

Manusia yang ma’shum itu hanya para nabi dan rasul saja. Tidak ada yang lain.bahkan para khalifah empat pun tidak ma’shum. Sehingga, manusia-manusia yang didaulat Khumaini (dan Syi’ah) sebagai imam yang memiliki kemampuan tidak terbatas, sesungguhnya, pendapat ini jelas-jelas bertentangan dengan rububiyah Allah Ta’ala.

Sementara itu, tentang pendapat-pendapat fiqih yang tercantum dalam kitab Tahriru Al-Wasilah, seorang muslim yang awam sekalipun mengetahui kesalahan yang teramat fatal dan keliru dalam pendapat-pendapatnya tersebut.

Pantas untuk menjadi peringatan bagi kita, bahwa perbuatan bid’ah hanya akan mengantarkan seseorang kepada kebingungan, kesalahan dan tidak menutup kemungkinan menjerumuskan kepada kekufuran. Wal iyyadzu billah. Oleh karena itu, menjadi keharusan bagi kita kaum muslimin, hendaklah berkaca terhadap generasi Salaf adalah pilihan tepat dalam mengamalkan Islam dan kandungannya.

[Diangkat berdasarkan kitab Al-Mausu’ah Al-Musyassarah oleh DR Mani’ bin Hammad Al-Juhani hal1/440-443, dengan tambahan seperlunya oleh Abu Minhal]

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 02/Tahun X/1427H/2006. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]



Kita semua -Kaum Muslimin- tentu yakin dengan seyakin-yakinnya tanpa keraguan sedikitpun bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam telah sukses dalam Dakwahnya. Demi Allah, Islam telah sempurna. Beliau adalah manusia terbaik yang dipilih oleh Allah dan diutus sebagai Rahmat bagi alam semesta. Aku tanya kepada engkau wahai yang memiliki akal, apakah Allah akan menjadikan seorang hamba yang lemah sebagai pemimpin umat sekaligus pengemban Risalah Agung? Apa jadinya jika Islam ketika awalnya didakwahkan dipimpin oleh orang lemah? Atau adakah manusia yang menyatakan bahwa Allah salah memilih? Betapa hina wajahnya, betapa busuk 'Aqidahnya.


Dan diantara orang-orang hina itu, dia telah mati dengan kain kafannya yang tercabik-cabik. Siapakah orang tersebut? Tidak lain dan tidak bukan dia adalah satu dari pemimpin besar agama Syi'ah, yakni Khomeini Az-Zindiq. Pujaan hamba-hamba Mut'ah bersamaan dirinya adalah tukang Mut'ah. Dialah seorang yang menganggap bahwa Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam adalah seorang Hamba yang lemah dengan mengatakan bahwa Beliau -Rasulullah- Shallallaahu 'Alaihi Wasallam termasuk para Nabi 'Alaihimush Sholatu Wa Sallam tidak berhasil menegakkan keadilan pada masa dakwahnya! Astaghfirullah Al-'Azhim.. Demi Allah ini adalah penghinaan terhadap Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam. Ini adalah penghinaan terhadap Nabi kalian wahai Kaum Muslimin! Ini adalah penghinaan terhadap para Nabi dan Islam!


Dia -Khomeini- Az-Zindiq berkata :

فكل نبي من الأنبياء إنما جاء لإقامة العدل وكان هدفه هو تطبيقه في العالم لكنه لم ينجح، وحتى خاتم الأنبياء صلى الله عليه وآله وسلم الذي كان قد جاء لإصلاح البشر وتهذيبهم وتطبيق العدالة فإنه هو أيضاً لم يوفَّق، وإن من سينجح بكل معنى الكلمة ويطبق العدالة في جميع أرجاء العالم هو المهدي المنتظر 

"Maka setiap Nabi dari nabi-nabi yang ada, sesungguhnya datang untuk menegakkan keadilan, dan tujuannya adalah menerapkannya di seluruh dunia. AKAN TETAPI MEREKA TIDAK BERHASIL, BAHKAN SAMPAI PENUTUP PARA NABI (yakni Rasulullah Shallallaahu 'Alaihi Wasallam) yang datang untuk memperbaiki keadaan manusia dan membimbing mereka serta menerapkan keadilan juga TIDAK DIBERIKAN TAUFIQ. Dan sesungguhnya orang yang akan berhasil dengan segala makna kalimat dan menerapkan keadilan diseluruh penjuru dunia adalah Al-Mahdi Al-Muntazhar" [Mukhtarat Min Ahadits Wa Khithabat Al-Imam Al-Khomeini 2/42] (jaser-leonheart.blogspot.com/syiahindonesia.com)

Berikut screen shotnya:

                                                                                       
                                            



Khomeini: Aisyah, Zubair, Thalhah dan Muawiyyah Lebih Najis dari Anjing dan Babi

Para pembela Syiah baik dari kalangan Syiah sendiri maupun tokoh-tokoh yang mengaku Ahlussunnah, harusnya sadar bahwa Syiah dan Sunni sampai kapanpun tidak akan bisa bersatu, karena banyaknya hal prinsipil yang berbeda antara Syiah dan umat Islam kebanyakan.
Menghina Istri dan sahabat Nabi sudah menjadi point penting yang menjadi tidak mungkin terwujudnya persatuan tersebut. Kalaupun bersatu, maka persatuan tersebut adalah persatuan yang semu, persatuan yang dipaksakan.
Banyak pihak yang memuji hingga setinggi langit Khomeini pemimpin Syiah Iran yang telah mangkat. Tokoh sesat ini dianggap sebagai inspirator bangkitnya Islam kembali dengan slogan-slogan palsunya “Laa Syarqiyah Wa La Gharbiyah” (Tidak Timur dan Tidak barat, untuk menunjukkan bahwa revolusi Iran era akhir 70 an lalu adalah murni revolusi Islam tidak memandang timur ataupun barat).
Namun banyak orang yang tidak tahu betapa kotornya mulut tokoh yang dianggap “Ayatullah” ini, dalam Kitab karangannya yang berjudul “Al-Thaharah”, juz 3 halaman 457, dengan terang-terangan tokoh sesat ini mengatakan: “Jika seorang pemimpin memberontak terhadap amirul mukminin (Ali) untuk melawan dia dalam kepemimpinan atau tujuan lain seperti Aisyah, Zubair, Thalhah dan Muawiyah….., atau jika dia menampakkan permusuhan terhadap Amirul Mukminin atau setiap Imam, walaupun mereka tidak terlalu (najis) dalam penampilan luar……namun ketahuilah mereka lebih najis dari Anjing dan Babi…”
Naudzubillahmindzalik, betapa kotornya pernyataan sang imam sesat tersebut terhadap orang-orang yang dimuliakan di dalam Islam. Dengan pernyataan Khomeini ini, masih bisakah umat Islam bersatu dengan Syiah?
Ketika Aisyah dituduh berzina oleh orang-orang munafik madinah, Allah langsung membelanya dari atas langit yang ke tujuh dengan menurunkan sepuluh ayat dalam surat An-Nur untuk membebaskan Aisyah radhiyallahu ‘anha dari tuduhan keji tersebut.
Tragedi di dunia Islam cukuplah sebagai pelajaran bahwa jika kaum sesat Syiah sudah mulai banyak, maka mereka akan melakukan makar terhadap umat Islam tak terkecuali di Indonesia. Dengan jumlah sedikit saja di Indonesia mereka sudah berani unjuk gigi, apalagi nanti jika sudah besar.
Menarik satu pernyataan dari salah satu dosen di Malaysia yang mengatakan bahwa untuk Syiah, umat Islam harus menerapkan konsep tasamuh yang berbasis “lakum dinukum waliyadin”, insya Allah konflik Syiah dan umat Islam bisa diminimalisir. Wallahu a’lam

Oleh : Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi Hafidhahullah
Saya sangat takjub ketika membaca jawaban Asy-Syaikh Mamduh Farhan Al-Buhairi hafidhahullah ketika menjawab syubhat dari Syiah yang dilontarkan kepada majalah beliau Qiblati. Jawaban beliau dirasa tidak biasa, dan tidak pernah terbersit sebelumnya di benak ini, tapi saya menganggap ini adalah jawaban yang brilian.
Syubhat  (dari Syiah):
Berapa lama anda akan menjadi pengikut setia Abu Bakar Az-Zindiq, dan Umar Al-Mal’un, dan Aisyah yang dipastikan berada dalam api neraka. Kapan anda akan sadar bahwa anda dalam kesesatan?
Jawaban (Syaikh Mamduh):
Sebelum saya menjawab syubhat anda, saya telah mengirim statemen ini ke Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan kepada semua pihak yang memiliki loyalitas terhadap Islam supaya mereka mengetahui hakekat agama Syiah.
Untuk menanggapi syubhat anda, sejujurnya saya agak bingung siapa yang anda maksudkan dengan nama-nama yang anda sebutkan,
untuk Abu Bakar yang anda gelari dengan sebutan Az-Zindiq, saya tidak tahu siapa orang yang anda maksudkan seperti itu? apakah dia: Abu Bakar bin ‘Ali bin Abi Thalib? Atau Abu Bakar bin Al-Hasan bin ‘Ali? Atau Abu Bakar bin Husein bin ‘Ali? Atau Abu Bakar bin Musa Al-Kazhim? Tentukan Abu Bakar yang mana yang anda maksudkan?
Bagi Umar, yang anda gelari dengan Al-Mal’un (terkutuk) Saya tidak tahu Umar yang mana yang anda maksudkan? Apakah dia: Umar bin ‘Ali bin Abi Thalib? Atau Umar bin Al-Hasan bin ‘Ali? Atau Umar bin Al-Husein bin ‘Ali? Atau Umar bin ‘Ali Zaenal Abidin bin Al-Husein? atau Umar bin Musa Al-Kazhim? Tolong tentukan Umar yang mana yang anda maksudkan?
Untuk Aisyah, yang anda klaim masuk neraka ke dalam api neraka. saya tidak tahu Aisyah yang mana maksudmu? Apakah dia Aisyah binti Ja’far Ash-Shadiq? Atau Aisyah binti Musa Al-Kazhim? Atau Aisyah binti Ar-Ridha? Atau Aisyah binti ‘Ali Al-Hadi? Tentukan Aisyah yang mana yang anda maksudkan?
Kemudian saya ingin bertanya kepada anda mengapa mereka menamakan putra dan putri mereka dengan nama-nama tersebut?!
Apakah bukan karena mereka menghormati pemilik nama aslinya dan memuliakan mereka! Dan Mereka ingin supaya kenangan dan kebaikan mereka selalu kekal dalam ingatan!
Betapa besar harapan saya untuk menanggapi syubhat anda sepenuhnya, tapi saya tidak bisa melakukannya karena anda tidak mendefinisikan untuk saya tokoh yang terdapat dalam pertanyaan anda. Mungkin pada kesempatan berikutnya jika anda mendefinisikannya, saya bisa menanggapi pertanyaan anda insya Allah.(attaqwapik/iz)





Para shahabat adalah hujjah


عن أبي نجيح العرباض بن سارية رضي الله عنه قال وعظنا رسول الله صلى الله عليه وسلم موعظة وجلت منها القلوب وذرفت منها العيون فقلنا يا رسول الله كأنها موعظة مودع فأوصنا قال أوصيكم بتقوى الله عز وجل والسمع والطاعة وإن تأمر عليكم عبد فإنه من يعش منكم فسيرى اختلافا كثيرا فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل بدعة ضلالة
Dari Abi Nujaih ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu, ia berkata : Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallammemberi pelajaran kepada kami sehingga hati kami takut kepadanya dan mata mencucurkan air mata. Kami berkata : “Wahai Rasulullah, sepertinya pelajaran ini adalah pelajaran orang yang akan berpisah ? Oleh karena itu, berilah kami nasihat”. Beliau bersabda : “Aku wasiatkan hendaklah kalian bertaqwa kepada Allah, mendengar dan taat kendati kalian diperintah oleh seorang budak, karena orang-orang yang hidup (sepeninggalku) dari kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham. Tinggalkanlah hal-hal yang baru, karena setiap bid’ah adalah sesat” [Diriwayatkan oleh Abu Dawud no. 4607; At-Tirmidzi no. 2676; Ahmad 4/126-127; Ad-Darimi 1/44; Ibnu Majah no. 43,44; Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah no. 27; Ath-Thahawi dalam Syarh Musykilil-Atsar 2/69; Al-Baghawi no. 102; Al-Aajurriy dalam Asy-Syari’ah hal. 46; Al-Baihaqi 6/541; Al-Lalika’i dalam Syarh Ushulil-I’tiqad no. 81; Al-Marwadzi dalam As-Sunnah no. 69-72; Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 5/220, 10/115; dan Al-Hakim 1/95-97. Hadits tersebut berkualitas shahih].
Banyak pelajaran yang dapat diambil terkait dengan hadits di atas. Akan tetapi, di sini saya hanya akan sedikit menyinggung permasalahan terkait dengan judul tema yang diangkat.
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam : “Karena orang-orang yang hidup (sepeninggalku) dari kalian akan melihat pertentangan yang banyak. Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham” ; adalah penjelasan dari beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang apa yang akan terjadi pada umat, yaitu banyaknya perselisihan dalam prinsip-prinsip agama dan cabang-cabangnya, perkataan, perbuatan, dan keyakinan. Hal ini sesuai dengan riwayat dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam tentang perpecahan umat beliau menjadi tujuh kelompok dimana semua kelompok tersebut tersebut masuk neraka kecuali satu; yaitu kelompok yang berpegang teguh dengan sunnah beliau dan sunnah para shahabat. Dalam hadits tersebut juga terdapat perintah ketika terjadi perselisihan agar berpegang teguh pada sunnah beliau dan sunnah al-khulafaur-rasyidin sepeninggal beliau. As-Sunnah adalah jalan yang dilalui, termasuk di dalamnya berpegang teguh kepada keyakinan-keyakinan, perkataan-perkataan, dan perbuatan-perbuatan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan para al-khulafaur-rasyidin. Itulah sunnah yang paripurna. Oleh karena itu, generasi salaf dulu tidak menamakan sunnah kecuali kepada apa saja yang mencakup ketiga aspek tersebut. Hal ini diriwayatkan dari Al-Hasan, Al-Auza’i, dan Al-Fudlail bin ‘Iyadl [Jami’ul-Ulum wal-Hikam, hal. 341-342; Daarul-Hadits; 1424].
Ibnu Rajab rahimahullah menjelaskan :
وفي أمره صلى الله عليه وسلم باتباع سنته وسنة الخلفاء الراشدين بعد أمره بالسمع والطاعة لولاة الأمور عموما دليل على أن سنة الخلفاء الراشدين متبعة كاتباع السنة بخلاف غيرهم من ولاة الأمور
“Perintah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam untuk mengikuti sunnah beliau dan sunnah para al-khulafaur-rasyidin setelah mendengar dan taat kepada pemimpin merupakan bukti bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidin harus diikuti sebagaimana halnya mengikuti sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Ini tidak berlaku bagi sunnah para pemimpin selain al-khulafaur-rasyidin” [idem; hal. 342].
Dari penjelasan Ibnu Rajab tersebut jelaslah bagi kita bahwasannya sunnah al-khulafaur-rasyidin mempunyai kedudukan khusus yang berbeda dengan kedudukan selainnya. Asy-Syaikh Masyhur bin Hasan Alu Salman menjelaskan (dalam ceramah beliau di Unibraw Malang tanggal 7 Desember 2004) bahwa sunnah al-khulafaur-rasyidindan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah satu. Karena itulah Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي]; lalu setelah itu beliau berkata : [عضوا عليها بالنواجذ] dengan lafadh yang satu (tunggal/mufrad). Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallam tidak berkata : [عضوا عليهما بالنواجذ]. Pada hakikatnya, semua ini merupakan agama Allah. Karena, sebagaimana Allah memilih Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya dari kalangan manusia, maka Allah juga memilih untuk nabi-Nya shahabat-shahabat yang pilihan. Abdullah bin Mas’ud pernah menegaskan tentang hal ini :
إن الله نظر في قلوب العباد فوجد قلب محمد صلى الله عليه وسلم خير قلوب العباد فاصطفاه لنفسه فابتعثه برسالته ثم نظر في قلوب العباد بعد قلب محمد فوجد قلوب أصحابه خير قلوب العباد فجعلهم وزراء نبيه يقاتلون على دينه فما رأى المسلمون حسنا فهو عند الله حسن وما رأوا سيئا فهو عند الله سيء
“Sesungguhnya Allah melihat hati hamba-hamba-Nya dan Allah mendapati hati Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam adalah sebaik-baik hati manusia. Maka Allah pilih Nabi Muhammad shallallaahu ‘alaihi wasallam sebagai utusan-Nya. Allah memberikan kepadanya risalah, kemudian Allah melihat dari seluruh hati hamba-hamba-Nya setelah Nabi-Nya, maka didapati bahwa hati para shahabat merupakan hati yang paling baik sesudahnya. Maka Allah jadikan mereka sebagai pendamping Nabi-Nya yang mereka berperang atas agama-Nya. Apa yang dipandang kaum muslimin (yaitu para shahabat Rasul) itu baik, maka itu baik pula di sisi Allah. Dan apa yang mereka (para shahabat Rasul) pandang jelek, maka di sisi Allah itu jelek” [HR. Ahmad no. 3600 dan dinyatakan shahih oleh Asy-Syaikh Ahmad Syakir. Lihat Majma’uz-Zawaid no. 832 dimana Al-Haitsami berkata : Rijalnya adalah tsiqat].
Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata : “Beliau shallallaahu ‘alaihi wasallammenggabungkan sunnah (jalan, ajaran) para khalifah beliau dengan sunnahnya. Beliaushallallaahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk mengikuti sunnah para khalifah, sebagaimana beliau memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya. Dalam memerintahkan hal itu, beliau bersungguh-sunguh, sampai-sampai memerintahkan agar menggigitnya dengan gigi geraham. Dan ini berkaitan dengan yang para khalifah fatwakan dan mereka sunnahkan (tetapkan) bagi umat, walaupun tidak datang keterangan dari Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam. Namun hal itu dianggap sebagai sunnah beliau. Demikian juga dengan yang difatwakan oleh keseluruhan mereka atau mayoritas mereka, atau sebagian mereka. Karena beliau mensyaratkan hal itu dengan menjadi ketetapan Al-Khulafaur-Rasyidun. Dan telah diketahui, bahwa mereka tidaklah mensunnahkan ketika mereka menjadi khalifah pada waktu yang sama, dengan demikian diketahui bahwa apa yang disunnahkan tiap-tiap seorang dari mereka pada waktunya, maka itu termasuk sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin” [I’lamul-Muwaqqi’in 2/388; Darul-Hadits; 1422].
Apa yang menjadi ketetapan/sunnah dari Al-Khulafaur-Rasyidin memerlukan perincian sebagaimana diterangkan oleh para ulama dalam kajian ilmu Ushulul-Fiqh. Jikalau salah satu atau lebih dari Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut berkata atau berbuat tanpa ada pertentangan dari yang lain, maka inilah sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin yang diterima. Bahkan inilah yang disebut ijma’. Kesepakatan Al-Khulafaur-Rasyidin adalah ma’shuum. Hal ini didasari oleh hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary radliyallaahu ‘anhu bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إن الله تعالى قد أجار أمتي من أن تجتمع على ضلالة
Sesungguhnya Allah telah melindungi umatku dari bersepakat di atas kesesatan” [Shahih bi syawahidihi sebagaimana penjelasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Dhilalul-Jannah no. 80-85].
Adapun jika terdapat perselisihan pendapat, maka hal itu dirinci :
1.     Jikalau yang berselisih pendapat itu salah satu atau lebih pembesar shahabat (Al-Khulafaur-Rasyidin, Ibnu ‘Abbas, atau Ibnu Mas’ud) di satu pihak dengan selain mereka di pihak lain; maka pendapat yang diunggulkan adalah pendapat para pembesar shahabat dengan syarat tidak bertentangan (kontradiktif) dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah.
2.     Jikalau yang berselisih pendapat itu antar pembesar shahabat, maka dalam hal ini tidak ada kecondongan. Pendapat yang dipilih adalah yang paling dekat dengan dalil (Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahihah).
Mungkin dari sini timbul pertanyaan : “Apakah Sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin tersebut bukan merupakan bid’ah yang diada-adakan dalam agama ?”. Maka kita jawab : Bukan !! Perhatikan hadits ‘Irbadl bin Sariyyah radliyallaahu ‘anhu di atas. Penyebutan [وإياكم ومحدثات الأمور] “Tinggalkanlah hal-hal yang baru” ; diucapkan setelah kalimat [فعليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين من بعدي عضوا عليها بالنواجذ] “Maka, hendaklah kalian berpegang teguh pada sunnahku dan sunnah para khulafaur-rasyidin yang mendapat petunjuk sesudahku. Gigit (pegang erat) sunnah tersebut dengan gigi geraham”. Ini menunjukkan sunnah Al-Khulafaur-Rasyidin dan para shahabat lainnya yang telah diterima bukanlah sesuatu hal yang muhdats (sehingga disebut bid’ah). Apalagi jika hal itu adalah ijma', maka kedudukannya semakin kuat sebagaimana tertandas dalam hadits Ka’b bin ‘Ashim Al-Asy’ary di atas.
Contoh dalam kasus ini dapat saya cuplikkan dari penjelasan Ibnu Rajab Al-Hanbali dalam Jami’ul-Ulum wal-Hikam; yaitu tentang beberapa keputusan ‘Umar bin Khaththabradliyallaahu ‘anhu di masa pemerintahannya yang kemudian disepakati oleh para shahabat lainnya di masa itu. Misalnya keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang masalah warisan seperti al-aul, dan dalam masalah suami dan ibu bapak, serta istri dan bapak-ibu bahwa ibu mendapat sepertiga dari sisa warisan. Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang orang yang melakukan hubungan suami-istri hendaknya orang tersebut tetap melanjutkan ibadah hajinya namun ia wajib menggantinya di tahun lain dan menyembelih unta. Contoh lain adalah keputusan ‘Umar bin Khaththab tentang istri orang hilang dan kesamaan pendapatnya dengan khalifah lain dari keempat khalifah. Contoh lain adalah kesepakatan Umar bin Khaththab dengan para shahabat tentang talak tiga dan keharaman mut’ah bagi para wanita. Contoh lain adalah perbuatan ‘Umar bin Khaththab membentuk dewan, menentukan pajak terhadap lahan yang dikuasai kaum muslimin dengan senjata, pemberian jaminan kepada orang kafir dzimmi dengan syarat-syarat yang disyaratkan kepada mereka, dan lain-lain.
Kebenaran kesepakatan ‘Umar bin Khaththab dengan para shahabat yang tidak ada penentangan di dalamnya semasa kekhalifahannya diperkuat oleh sabda Nabishallallaahu ‘alaihi wasallam :
رأيتني في المنام أنزع على قليب فجاء أبو بكر فنزع ذنوبا أو ذنوبين وفي نزعه ضعف والله يغفر له ثم جاء عمر بن الخطاب فاستحالت غربا فلم أر أحدا يفري فريه حتى روى الناس وضربوا بعطن وفي رواية فلم أر عبقريا من الناس ينزع نزع ابن الخطاب وفي رواية أخرى حتى تولى الحوض يتفجر
Di mimpiku aku melihat diriku menarik air dari sumur kemudian Abu Bakar datang lalu menarik air beberapa timba atau dua timba, namun tarikannya lemah. Lalu Allah mengampuninya. Kemudian anak Khaththab (Umar) datang, lalu timba-timba tersebut menjadi besar. Aku tidak melihat orang yang bekerja secermat ‘Umar hingga manusia minum dengan puas dan unta mereka minum dengan puas serta berhenti di mata air”. Di riwayat lain : “Aku tidak melihat orang cerdas dari manusia yang menarik seperti tarikan anak Khaththab”. Di riwayat lain : “Hingga ia pergi sedang kolam tetap memancarkan air” [Diriwayatkan oleh Imam Ahmad 2/368, Al-Bukhari no. 3664, dan Muslim no. 2392. Hadits tersebut dishahihkan oleh Ibnu Hibban no. 6898].
Itu merupakan pertanda bagi ‘Umar bin Khaththab tidaklah wafat hingga ia meletakkan segala hal pada tempatnya dan segala sesuatu menjadi tegak. Ini disebabkan karena masa kekhalifahannya lama, konsentrasi dan perhatiannya terhadap segala peristiwa. Ini berbeda dengan masa kekhalifahan Abu Bakar yang singkat. Beliau sibuk dengan penaklukan dan pengiriman pasukan untuk perang yang menyebabkan tidak bisa konsentrasi terhadap segala peristiwa. Bisa jadi, peristiwa terjadi di jaman Abu Bakar, namun tidak dilaporkan kepadanya dan baru dilaporkan pada masa kekhalifahan ‘Umar bin Khaththab. Hingga pada akhirnya ‘Umar bin Khaththab pada masa kekhalifahannya mampu membawa manusia kepada kebenaran.
Sedangkan hal-hal yang tidak disepakati ‘Umar bun Khaththab dengan para shahabat dan ‘Umar mempunyai pendapat pribadi di dalamnya, maka orang lain boleh berbeda pendapat dengannya, seperti dalam masalah kakek dengan saudara-saudara laki-laki dalam masalah warisan dan masalah talak tiga sekaligus; maka pendapat ‘Umar bin Khaththab dalam masalah tersebut bukan merupakan hujjah bagi orang lain dari para shahabat. Wallaahu a’lam [selesai nukilan dari Jami’ul-Ulum wal-Hikam hal. 344-355].
Contoh di atas memberi gambaran kepada kita bahwa apa yang disepakati oleh para shahabat merupakan hujjah dan apa yang mereka perselisihkan harus ditinjau mana yang lebih dekat dengan kebenaran.
Lantas,…. apakah seorang shahabat atau salah satu dari Al-Khulafaur-Rasyidin bisa dikatakan berbuat salah jika mereka berijtihad bertentang dengan sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam ? Maka kita jawab : Ya, bisa ! Para shahabat bahkan bisa berbuat kesalahan atas ijtihad mereka. Contohnya adalah sebagai berikut :
أن عثمان رضي الله عنه صلى بمنى أربعا , فقال عبد الله بن مسعود منكرا عليه : صليت مع النبي صلى الله عليه وسلم ركعتين , و مع أبي بكر ركعتين , و مع عمر ركعتين , و مع عثمان صدرا من إمارته ثم أتمها , ثم تفرقت بكم الطرق فلوددت أن لي من أربع ركعات ركعتين متقبلتين
Bahwasannya ‘Utsman radliyallaahu ‘anhu shalat di Mina empat raka’at, maka berkatalah Abdullah bin Mas’ud dalam rangka mengingkari perbuatannya : “Aku shalat (ketika safar) bersama Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dua raka’at, bersama Abu Bakar dua raka’at, dan bersama ‘Umar dua raka’at, dan bersama ‘Utsman di awal pemerintahannya, beliau melakukannya dengan sempurna (empat raka’at – tidak diqashar). Setelah itu berbagai jalan (manhaj) telah memecah belah kamu semua. Dan aku ingin sekiranya empat raka’at itu tetap menjadi dua raka’at (sebagaimana dilakukan Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam)…….. [HR. Abu Dawud 1/307. Lihat Silsilah Ash-Shahiihah no. 224].
Dalam hadits di atas telah diceritakan bahwa ‘Utsman bin ‘Affan melakukan shalat tamam empat raka’at ketika di Mina yang berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pendahulunya (Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam, Abu Bakar, dan ‘Umar). Maka perbuatan ‘Utsman tersebut diingkari oleh Abdullah bin Mas’ud. Dalam hal ini, yang benar adalah bahwa shalat di Mina (ketika mabit dalam ibadah haji) dilakukan secara qashar. Bukan tamam.
Contoh lain adalah tentang masalah nikah mut’ah. Ibnu ‘Abbas dan sebagian kecil shahabat lain (Mu’awiyah bin Abi Sufyan, Salamah bin Umayyah bin Khalaf, dan Ma’bad bin Umayyah bin Khalaf radliyallaahu ‘anhum) membolehkan nikah mut’ah. Tentu hal ini bertentangan dengan pendapat jumhur shahabat dan juga apa yang telah shahih dari hadits Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam. Maka, apa yang menjadi pendapat Ibnu ‘Abbasradliyallaahu ‘anhuma tersebut tidaklah teranggap, walau beliau di kalangan shahabat merupakan pembesar/ulama.
أن عليا رضى الله تعالى عنه قال لابن عباس إن النبي صلى الله عليه وسلم نهى عن المتعة وعن لحوم الحمر الأهلية زمن خيبر
Bahwasannya ‘Ali berkata kepada Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhu : “Sesungguhnya Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam telah melarang nikah mut’ah dan melarang makan daging himar jinak (yang dipakai alat angkut) di masa perang Khaibar” [HR. Bukhari no. 4825].
Bahkan ada riwayat yang menyatakan kerasnya penyelisihan sebagian shahabat terhadap pendapat Ibnu ‘Abbas tersebut sebagaimana yang diceritakan oleh Ibnu Syihab, dia menyatakan : “Telah memberitahukan kepadaku ‘Urwah bin Az-Zubair :
أن عبد الله بن الزبير قام بمكة فقال إن ناسا أعمى الله قلوبهم كما أعمى أبصارهم يفتون بالمتعة يعرض برجل فناداه فقال إنك لجلف جاف فلعمري لقد كانت المتعة تفعل على عهد إمام المتقين يريد رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال له بن الزبير فجرب بنفسك فوالله لئن فعلتها لأرجمنك
Bahwa Abdullah bin Az-Zubair pernah menjadi khathib di Makkah, waktu itu beliau mengatakan : “Sesungguhnya sebagian orang telah dibutakan Allah mata hatinya sebagaimana Allah telah membutakan matanya, yaitu mereka berfatwa tentang bolehnya bikah mut’ah”. Beliau menyindir seseorang, maka orang tersebut memanggil Abdullah bin Az-Zubair dan berkata : “Sesungguhnya engkau adalah orang yang kaku dan keras. Demi umurku, sesungguhnya mut’ah telah dilakukan di jaman pimpinan orang-orang yang bertaqwa (yaitu Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam)”. Maka berkatalah Abdullah bin Az-Zubair kepada orang tersebut : “Silakan kamu mencoba sendiri (yaitu nikah mut’ah). Demi Allah, kalau seandainya kamu melakukannya, maka aku akan merajammu dengan batu” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 1406].
Imam An-Nawawi menerangkan bahwa yang berdebat dengan Abdullah bin Az-Zubair waktu itu adalah Ibnu ‘Abbas radliyallaahu ‘anhuma.
Inti yang ingin saya katakan adalah bahwa : Perselisihan di kalangan shahabat tetap harus dikembalikan kepada nash, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah Ash-Shahiihah. Dalam kasus Ibnu ‘Abbas, tidak boleh kita bermut’ah hanya karena mengikuti ijtihad beliau. Mungkin hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam belum sampai padanya dengan jelas sehingga para shahabat dengan keras mengingkarinya. Tetap kita katakan bahwa pendapat Ibnu ‘Abbas itu salah.
Itulah sedikit yang bisa saya sampaikan. Ringkas memang, tapi harapan saya dapat memberikan sedikit gambaran tentang realitas kehujjahan shahabat dan berbagai khilaf yang mungkin timbul di antara mereka sehingga kita bisa arif untuk menyikapinya.

Abul-Jauzaa' Al-Atsary

Syi’ah Tidak Pantas Disebut Mazhab

Sejak dahulu para pengikut syi’ah memperjuangkan agar ajaran yang mereka anut diakui sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Mereka ingin agar cap sesat terhadap mereka hilang dengan legalitas mazhab tersebut.

Di beberapa Negara Islam ajaran syi’ah adalah ajaran terlarang dan divonis sesat seperti di negara Arab Saudi, Brunai dan Malaysia. Di Indonesia meski belum di atur dalam peraturan pemerintah, namun MUI telah memfatwakan bahwa syi’ah adalah ajaran sesat dan menyesatkan. Meski demikian para pengikut sy’iah dengan berbagai cara gencar mewacanakan bahwa syi’ah adalah salah satu mazhab dalam Islam.

Kita kerap mendengar mereka berkoar-koar dalam tulisan, dalam diskusi-diskusi, bahwa mereka adalah mazhab akhlak dan cinta. Namun dalam kenyataannya ajaran syi’ah adalah ajaran yang penuh dengan kebencian. Mereka selalu berdalih mengaku cinta ahlul bait (keluarga Rasulullah), tapi mereka tidak bisa menyembunyikan kebencian mereka pada sahabat Rasulullah bahkan pada istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mereka anggap kafir. Misalnya tuduhan kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sebagai pelacur. Na’udzubillah.

Akhlak apa yang penuh dengan laknat ini? Cinta apa yang membenci orang-orang yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya?

Kembali pada persoalan wacana legalitas syi’ah sebagai mazhab. Muncul pertanyaan di sini. Apa tolak ukur sehingga sebuah ajaran itu dianggap sebagai salah satu madzhab dalam Islam? Apakah semudah itu? Bagaimana jika ahmadiyah ataupun NII yang marak diberitakan baru-baru ini juga minta dianggap sebagai salah satu mazhab?

Mazhab dan Perbedaanya di dalamnya

Kata mazhab berasal dari kata zahaba yang artinya pergi; oleh karena itu mazhab artinya : tempat pergi atau jalan. Pengertian mazhab menurut istilah dalam kalangan umat Islam ialah : Sejumlah dari fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat seorang alim besar di dalam urusan agama, baik ibadah maupun lainnya.

Di antara tonggak penegang ajaran Islam di muka bumi adalah muncul beberapa mazhab raksasa di tengah ratusan mazhab kecil lainnya. Keempat ulama mazhab itu adalah Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad. Sebenarnya jumlah mazhab besar tidak hanya terbatas hanya 4 saja, namun keempat mazhab itu memang diakui eksistensi dan jati dirinya oleh umat selama 15 abad ini.

Jika kita meneliti karya-karya ataupun fatwa-fatwa para imam madzhab yang dibukukan maka kita akan mendapatkan bahwa perbedaan mereka adalah pada persoalan fikih. Dengan kata lain mereka berbeda pendapat pada masalah cabang dalam agama ini, dimana seseorang yang mumpuni memang bisa melakukan ijtihad, tentu saja dengan tetap berpegang pada al-Qur’an dan Hadits yang sahih. Contohnya saja permasalahan yang mana lebih afdhal, shalat sunnah setelah shalat Jum’at dikerjakan di masjid atau di rumah? Berapa jumlah rakaatnya, apakah dua atau empat? Masing-masing madzhab bisa saja berbeda pendapat dalam masalah ini.

Singkatnya perbedaan pendapat dalam madzhab ini adalah sesuatu yang bisa ditolerir.

Adapun dalam masalah akidah maka mereka semua sama. Aqidah imam empat, Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad adalah yang dituturkan oleh Al-Qur’an dan Sunnah Nabi, sesuai dengan apa yang menjadi pegangan para sahabat dan tabi’in. Tidak ada perbedaan di antara mereka dalam masalah ushuluddin. Mereka justru sepakat untuk beriman kepada sifat-sifat Allah, bahwa Al-Qur’an itu dalam Kalam Allah, bukan makhluk dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Mereka juga mengingkari para ahli kalam, seperti kelompok Jahmiyyah dan lain-lain yang terpengaruh dengan filsafat Yunani dan aliran-aliran kalam.
Mereka sepakat seperti keyakinan para ulama Salaf, di mana antara lain, bahwa Allah itu dapat dilihat di akhirat, Al-Qur’an adalah kalam Allah bukan makhluk, dan bahwa iman itu memerlukan pembenaran dalam hati dan lisan.

Para Imam madzhab ini meyakini bahwa Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah penutup para Nabi dan Rasul, tidak seperti keyakinan Ahmadiyah yang menyatakan bahwa si Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi setelah Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam.

Para Imam madzhab ini meyakini bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui segala yang ghaib, mengetahui yang segala yang akan terjadi, dan mengetahui dan telah menetapkan segala sebab akibatnya, tidak sebagaimana Syi’ah yang menisbatkan sifat bada’ kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dalam kitab pegangan syi’ah rafidhah, Ushulul-kaafi Fi’I kitaabit-tauhid hal : 1/331, tertulis “Abu Abdillah berkata seseorang belum dianggap beribadah kepada Allah sedikitpun, sehingga ia mengakui adanya sifat bada’ pada Allah”.

Bada’ adalah baru diketahui setelah peristiwa itu terjadi. Dengan kata lain sesuatu yang belum terjadi adalah masih samar. Ini adalah sifat yang merendahkan keilahiyan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Padahal dalam surah An-Naml : 65, Allah menegaskan bahwa tidak ada seorang pun di bumi dan di langit yang mengetahui segala perkara yang ghaib kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Lucunya, Syi’ah Rafidhah justru meyakini bahwa para imam mereka mengetahui segala ilmu pengetahuan tak ada sedikitpun yang samar baginya.

Akidah Sesat Syi’ah

Selain yang telah dijelaskan di atas berikut ini akan kami paparkan beberapa akidah nyeleneh dari syi’ah rafidhah.
1. Keyakinan Rafidhah bahwa Al-Qur’an telah diubah

Rafidhah yang dikenal dewasa ini dengan Syi’ah, mengatakan bahwa: Al-Qur’anul Karim yang ada pada kita (yang kita kenal ini) ia bukan Al-Qur’an yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa sallam, ia telah mengalami perubahan, penggantian, penambahan dan pengurangan.

Mayoritas ahli hadits Syi’ah beranggapan adanya pengubahan dalam Al-Qur’an, sebagaimana yang dikatakan oleh Annury Ath- Thibrisi dalam bukunya “Fashul khitab fii tahrifi kitab Rabbil-Arbab. Muhammad bin Ya’kub Al-Kulaini berkata dalam bukunya “Ushulul-Kafi” pada bab yang mengumpulkan dan membukukan Al-Qur’an hanyalah para imam yang diriwayatkan dari Jabir, ia (Jabir) berkata saya mendengar Abu Ja’far berkata ”siapa yang mengaku telah mengumpulkan Al-Qur’an dan membukukan seluruh isinya sebagaimana yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka sesungguhnya ia seorang pendusta, tidak ada yang mengumpulkan dan yang menghapalkannya, sebagaimana yang diturunkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, melainkan Ali bin Abi Thalib, dan para imam sesudahnya.”

Rafidhah meyakini bahwa al-Qur’an yang ada sekarang tidak seperti al-Qur’an yang masih tersembunyi yang di antaranya isinya ada surat “Al-Wilayah”. Dan di antara anggapan orang-orang syi’ah bahwa di sana ada satu ayat yang hilang dari surat Alam Nasyrah. Ayat itu berbunyi: “waj’alnaa ‘Aliyyan Shihraka” Artinya, “dan kami jadikan Ali menantumu”.

Sungguh mereka tak merasa malu dengan anggapan seperti ini, meskipun mereka mengetahui bahwa surat “alamnasyrah” ini termasuk surat Makiyyah, yang mana Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu belum menjadi menantu Rasulullah pada saat itu (di Makkah).

2. Kebencian kepada para Sahabat Nabi

Aqidah Rafidhah berpijak di atas pencacian, pencelaan dan pengkafiran terhadap sahabat-sahabat Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Diungkapkan oleh Al-Kulaini dalam bukunya Furu’ul-Kaafi yang diriwayatkan dari Ja’far: “Semua sahabat sepeninggal Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam murtad (keluar dari Islam) kecuali tiga, kemudian saya bertanya kepadanya: siapakah ketiga sahabat ini? Ia menjawab: Al-Miqdad bin Al-Aswad, Abu Dzar Al-Ghifari dan Salman Al-Farisi.”

Mereka (Syi’ah) mengatakan dalam kitab: “Miftahul Jinan” “Ya Allah, berikanlah kepada Muhammad dan keluarganya shalawat, dan laknatilah ke dua patung Quraisy, kedua jibt dan thaghutnya dan kedua anak perempuannya (maksudnya: Abu Bakar, Umar, Aisyah dan Hafshah).

Mereka mengadakan pesta besar-besaran dalam rangka merayakan hari kematian Umar bin Khattab, dan memberikan penghargaan kepada pembunuhnya, Abu Lu’lu’ah seorang yahudi dengan gelar “Pahlawan Agama”. Di atas Kuburan Abu Lu’lu’ah yang mereka bangun dengan sangat megah, tertulis laknat kepada Abu Bakar, Umar bin Khattab dan Utsman bin Affan.

Lihatlah, betapa besar kebencian dan kotornya sekte ini, yang dinyatakan sudah keluar dari agama, dan betapa buruk dan kotornya ucapan-ucapan mereka yang dialamatkan kepada manusia-manusia terbaik setelah para nabi, yang mereka dipuji oleh Allah dan rasul-Nya, dan umat telah sepakat akan keadilan dan keutamaannya, serta sejarah telah mencatat kebaikan-kebaikannya, kecepatannya dalam masuk agama Islam, dan jihadnya dalam menegakkan agama Islam.

Masih banyak penyimpangan mereka dalam masalah akidah, tapi untuk menuliskannya semuanya perlu berhalaman-halaman bahkan berjilid-jilid buku. Dan lembaran ini tentu saja tidak cukup untuk itu. Namun dari penjelasan di atas maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa akidah syi’ah rafidhah betul-betul telah menyimpang dari ajaran Islam yang benar. Sehingga sangat sulit untuk menghilangkan cap sesat pada sekte sempalan ini apalagi melabelinya sebagai salah satu mazhab dalam Islam. Wallahu a’lam.

Ditulis dari berbagai sumber

Simak juga di Buletin Al-Balagh edisi 21