Thursday, December 25, 2014

Syiah dan Kegagalan Mempropagandakan Imamah

Oleh: Bahrul Ulum
MINGGU ini, umat Islam Indonesia dihebohkan oleh status yang menamakan Emilia Renita AZ, istri Jalaluddin Rahmat, yang menyatakan bahwa Tuhan kaum Syiah berbeda dengan Tuhan umat Islam. Hal ini ia tulis dalam status akunFacebook Emilia Renita AZ yang diposting pada Selasa (04/10/2014).
Dalam statusnya, Emilia mengutip tokoh syiah Al-Gharawi yang mengatakan bahwa, “Tuhan kita (syiah) adalah Tuhan yang menurunkan wahyu kepada Ali, sedangkan Tuhan yang menurunkan wahyu kepada Muhammad maka bukan Tuhan kita. Shollu ‘Ala Nabii……”
Namun kabar yang baru saya dapatkan, Emilia menampik jika status akun itu adalah miliknya. [Baca: Emilia Renita: Saya Tak Tanggapi Fitnah dan Akun Facebook Palsu ]

Sebenarnya pernyataan seperti itu bukan hal baru dalam ajaran Syiah. Dan tulisan ini tidak membahas soal akun asli atau palsu.
Selain Al-Ghawari juga ada tulisan ulama hadits kenamaan Syiah bernama Sayyid Nikmatullah Al-Jazairi dalam kitabnya “Al-Anwar An-Nu’maniyyah” mengenai hal yang sama. Ia menulis,”Kita (Syiah Imamiyah dan Ahlus Sunnah) tidak satu Tuhan, tidak satu Nabi dan tidak satu Imam. Pasalnya, Tuhan yang mereka (Ahlus Sunnah wal Jamaah) akui adalah Tuhan yang menjadikan Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sebagai Nabi-Nya dan Abu Bakar sebagai khalifahnya sepeninggal beliau, sedangkan kami (Syiah Imamiyah) tidak mengakui Tuhan yang seperti ini. Akan tetapi Tuhan yang menjadikan Abu Bakar sebagai khalifah bukanlah Tuhan kami, dan Nabi itu pun bukanlah Nabi kami”. (Nikmatullah Al-Jazairi, Al-Anwar An-Nu’maniyyah, Jilid II/ hal 278).
Kalau kita telaah kitab-kitab Syiah, pernyataan seperti itu sebenarnya merupakan cerminan kegagalan Syiah memprogandakan konsep Imamah. Mereka sangat kecewa dengan nash-nash al-Qur’an maupun Sunnah Nabi yang ternyata tidak secara eksplisit menerangkan tentang konsep tersebut.
Kekecewaan itu kemudian diantaranya dengan menyalahkan Rasulullah karena dianggap menyembunyikan masalah tersebut. Dalam hal ini Khumaini dalam bukunya menulis bahwa seandainya Nabi Muhammad menyampaikan perkara Imamah sebagaimana yang Allah perintahkan (padanya) dan mencurahkan segenap kemampuannya dalam permasalahan ini, niscaya perselisihan yang terjadi di berbagai negeri Islam tidak akan berkobar…..” [Khumaini, Kasyful-Asraar, hal. 155].

Tentu saja tuduhan Khumaini ini tidak berdasar, karena Rasulullah telah menyampaikan semua ajaran yang diterimanya dari Allah. Tidak ada satupun khabar atau informasi yang beliau sembunyikan. Rasululah merupakan manusia yang paling takut kepada Allah dibanding manusia lainnnya. Dalam hal ini Allah berfirman:“Hai rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu. dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang kafir”. (Al-Maidah (5): 670).
Ayat ini menurut para ahli tafsir sebagai jaminan dari Allah bahwa Rasulullah tidak akan terbunuh dalam menyampakaikan ajaran Islam. Beliau akan wafat setelah semua ajaran Islam tersampaikan kepada umat manusia.
Ternyata Rasulullah Memilih Abu Bakar dan Umar
Kekecewaan kaum Syiah bukan saja mereka tujukan kepada Rasulullah, tetapi juga kepada para sahabat beliau. Mereka menuduh para sahabat telah merampas hak Ali dalam soal Imamah. Ketiga khalifah sebelum Imam Ali, yaitu Abu Bakar, Umar dan Ustman dianggap sebagai perampok yang merampas hak Ali dalm masalah kekhalifahan.
Abu Bakar dan Umar meski memimpin dengan amanah, adil, jujur dan ihlas, tidak dianggap sebagai khalifah Islam oleh kaum Syiah, tapi sebagai perampok yang mengambil alih hak Ali sebagai pengganti Rasulullah. (Nashir Abdullah Ibnu Ali al-Qofari, Ushul Mazhab Syiah, hal 825)
Karena alasan itulah hingga saat ini kaum Syiah sangat membenci Abu Bakar dan Umar. Sebagai bentuk kebencian terhadap dua sahabat Rasulullah itu, mereka selalu melaknat keduanya dalam do’a harian. Al-Kaf’ami dalam kitabnya al-Mishbah, menyebutkan doa yang berisi laknat terhadap Abu Bakar dan Umar yang dinamakan dengan Doa Shanamai Quraisy (doa atas dua berhala Quraisy).
Dia menyebutkan bahwa doa ini diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib radliyallaahu ‘anhu. “Ya Allah limpahkan shalawat untuk Muhammad dan keluarga Muhammad, dan laknatlah dua berhala Quraiys, dan kedua jibt dan thaghutnya (maksudnya: syetan yang disembah selain Allah-Pent), kedua tukang dustanya, dan kedua putrinya yang telah menyelisihi perintah-Mu dan mengingkari wahyu-Mu.” (Taqiuddin Ibrahim Ibnu Ali Husein ibnu Muhammad ibnu Shaleh al-Amili Kaf’ami, al-Mishbah, hal. 552)
Bahkan mereka menyalahkan secara total apa yang dilakukan oleh khalifah sebelum Ali, yang menurut kaum Syiah diangkat berdasar pemikiran atau persetujuan kaum muslimin. Bagi kaum Syiah, cara seperti ini dianggap melawan atau menentang wasiat Nabi Muhammad. Karena itu mereka menganggap ketiga khalifah sebelum Ali telah murtad dan kafir. Demikian pula orang yang mengakui kekhalifahan mereka juga dianggap sesat, baik orang-orang dahulu maupun orang-orang belakangan. ( al-Majalisi, Bihar al-Anwar, juz IV, hal. 385)

Berdasar keyakinan ini Syiah secara mutlak tidak mengakui kepemimpinan khalifah sebelum Ali karena mereka dipilih oleh manusia.
Padahal dalam persoalan kekhalifahan, Ali bin Abi Thalib tidak sebagaimana yang mereka yakini. Ali termasuk seorang sahabat yang tidak gila kekuasaan dan jabatan. Dalam kitab rujukan Syiah sendiri, yaitu Nahjul Balaghah, disebutkan bahwa Imam Ali menolak ketika akan diangkat menjadi khalifah/imam. Ia berkata: “Da’uuniy wal tamisuu ghairiy (Carilah orang selain aku)” (Sayid Syarif Radhi, Nahjul Balaghah, Khutbah 91)
Demikian juga saat khalifah Umar hendak wafat, beliau memilih 6 orang untuk melakukan syuro, supaya memilih diantara mereka sebagai penggantinya. Kemudian 3 orang dari mereka mengundurkan diri, lalu Abdurrahman bin Auf r.a. juga ikut mengundurkan diri, tinggal Utsman r.a. dan Ali r.a. Dalam kondisi seperti ini Imam Ali tidak mengatakan kepada mereka bahwa beliau telah menerima wasiat kekhalifahan dari Nabi -shollallohu alaihi wasallam.
At-Thabarsy juga mengutip perkataan Muhammad Al-Baqir bahwa Ali menetapkan kekhilafahan Abu Bakar, mengakui akan keimanannya, turut mengangkatnya dengan kekuasaannya, sebagaimana yang disebutkan bahwa Usamah bin Zaid yang mencintai Rasul tatkala ia siap untuk berangkat, Rasul berpulang ke Al-Malaul A’la. Setelah ia menerima pemberitahuan akan kewafatan Rasulullah, ia kembali bersama pasukannya memasuki kota Madinah. Maka tatkala ia melihat bahwa manusia mengangkat Abu Bakar, ia mendatangi Ali bin Abi Thalib dan bertanya: “Apa ini?”. Ali menjawab: “Sebagaimana yang engkau lihat”. Berkata Usamah: “Apakah engkau turut mengangkatnya(Abu Bakar)?. Ali pun menjawab: “Iya”. (Abi Mansur Ahmad ibnu Ali ibnu Abi Thalib al-Thabarasy, al-Ihtijaj, Juz I,/hal.115
Adapun Ali yang terlambat membai’at Abu Bakar, diterangkan oleh ulama Syiah sendiri yaitu Ibnu Abil Hadid: “Kemudian berdiri Abu Bakar, berpidato kepada orang banyak dan menyatakan keuzurannya, berkata: “Sungguh pengangkatan saya adalah kekhilafan, mudah-mudahn Allah menghindarkan akan bahayanya. Aku takut akan fitnah, Demi Allah. Aku tak pernah menginginkannya walau hanya satu hari, aku sudah diserahi tugas yang amat berat lagi besar, aku merasa tak kuat dan tak mampu, aku ingin agar ada orang yang lebih kuat yang menggantikanku.’ Begitulah Abu Bakar mengakui keberatannya. Golongan Muhajirin menerima keberatan itu dan berkata Ali dan Zubair: “Kita tidak marah, kecuali melalui musyawarah, dan kami memandang Abu Bakar manusia paling berhak dengan pengangkatan itu, karena ia adalah teman Rasul di dalam gua, kami mengetahui pengalamannya, dan ialah yang diperintahkan Rasul untuk menggantikan beliau untuk memimpin shalat di saat Rasul masih hidup”. ( Ibnu Abil Hadid, Syarah Nahjul Balaghah, juz II, hal.50).
Pernyataan Imam Ali ini menunjukkan bahwa ia mengakui kekhalifahan Abu Bakar. Jika kekhalifahan harus berdasar nash, tentu ia tidak akan mengakui kekhalifahan Abu Bakar.
Demikian juga para sahabat yang lain telah sepakat bahwa tidak ada wasiat dari Rasulullah mengenai Ali bin Abi Thalib sebagai pengganti beliau. Disamping itu seandainya memang benar Nabi SAW bersabda demikian, pastilah akan terjadi, karena tidaklah beliau mengucapkan sesuatu melainkan dari wahyu yang diwahyukan oleh Allah dan Allah tak pernah menyelisihi perkataan-Nya/janji-Nya.
Bahkan ironisnya ada riwayat dari kitab Syiah yang dengan jelas menerangkan Rasulullah memberi tahu Khafsah, salah satu istrinya bahwa yang menggantikan beliau sebagai khalifah adalah Abu Bakar dan Umar. Diriwayatkan oleh al-Majlisi dan lainnya dari Imam Ja’far Shadiq berkata “Ketika nabi membisikkan kepada sebagian istrinya, yaitu Khafsah. Berkata Shadiq, ‘Dia telah ingkar dengan perkataanya’ ……..”Sesungguhnya Rasulullah memberi tahu Khafsah bahwasanya ayahnya (yaitu Umar bin Khatab) dan Abu Bakar Shidiq nanti bakal memimpin setelah beliau.” Maka keduanya (Abu Bakar dan Umar) mempercepat kematian Nabi dengan memberi racun. Lalu Allah memberitahu Nabi atas perbuatan kedua orang itu.” (Al-Majalisi, Biharul Anwar, Juz XXII/hal 246)
Meski riwayat tersebut dimaksudkan untuk mencela Abu Bakar dan putrinya serta Umar dan putrinya yang akan meracuni Rasulullah, namun penulis riwayat ini kurang jeli sehingga memasukkan cerita tentang Rasulullah yang memberitahu Khafsah bahwa ayahnya Umar dan sahabatnya Abu Bakar akan menjadi pemimpin atau Imam.*
Penulis adalah Sekretaris Umum Majelis Intelekual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI) Jawa Timur
 Sumber Tulisan: hidayatullah.com


Siapa Syiah Sebenarnya?

Syiah terbahagi kepada berpuluh-puluh puak, bahkan ada yang mengatakan sehingga 300 puak. Terdapat Syiah Imamiyyah Ithna Asyariyyah, Syiah Zaidiyyah, Syiah Ismailiyyah, Syiah Kaisaniyyah dan banyak lagi. Tulisan kali ini hanya akan membicarakan tentang Syiah Imamiyyah Ithna Asyariyyah atau Syiah Jaafariyyah yang penganutnya agak ramai di Malaysia ketika ini.


Dr. Ali Ahmad As Salus dalam bukunya yang bertajuk Ma'a Al Ithna Asyariyyah fi Ushul wal Furug telah memulakan dengan petikan ini:

"Syiah Ithna Asyariyyah tidak semuanya sama, sebahagian mereka yang melampau yang kita lihat apa yang mereka tulis mengandungi perkara kufur dan zindiq, sebahagian yang lain menyeru kepada pandangan yang lebih sederhana dan ada juga yang mencampurkan antara pandangan yang melampau dan sederhana."

Rujukan Syiah

Tafsir Hasan Al Askari,Tafsir Al I'yasyi dan Tafsir Al Qummi.

Ketiga-tiga tafsir ini muncul pada kurun ketiga hijrah. Penulisnya mengkafirkan para sahabat khususnya Khulafa' Ar Rasyidin sebelum Saidina Ali dan semua yang membai'ah mereka. Penulisnya juga beriktikad Al Quran ada yang telah diselewengkan secara nas dan makna. Mereka beriktikad tentang Imamah 12 orang imam sehingga ke peringkat syirik. 

Al Kafi, karya Al Kulani

Kitab ini kitab hadis yang terbesar. Mengandungi 8 juzuk, 2 juzuk yang pertama dikenali dengan nama Al Usul Min Al Kafi, juzuk 3 hingga 7 dikenali dengan nama Al Furu' min Al Kafi, dan juzuk terakhir dikenali dengan nama nama Ar Raudhah min Al Kafi. Pada Syiah, kitab ini menyamai taraf kitab Sahih Bukhari. Kitab ini ditulis oleh Muhammad bin Yaakob Al Kulaini yang merupakan murid Al Qummi, pemilik Tafsir Al Qummi. Buku ini mempunyai kedudukan yang sangat tinggi pada penganut Syiah dan telah disyarahkan oleh lebih 50 ulama Syiah yang lain. 

Kitab Tafsir Al Tibyan, karya Al Tusi

Penulis kitab ini ialah Al Tusi, seorang ulama besar Syiah Ithna Asyariyyah. Beliau menulis kitab ini dengan membawa pandangan yang sederhana dan cuba menentang kesesatan yang dibawa oleh orang-orang sebelumnya. Walau bagaimanapun, beliau terpengaruh dengan sebahagian akidah yang menyeleweng ketika menghuraikan tafsir ayat-ayat Al Quran.

Kitab Al Murajaat

Karya Abdul Hussein Syarafuddin Al Musawa "Hamba Hussein" ini merupakan sebuah kitab yang isi kandungannya dipetik daripada ulama Syiah yang melampau sahaja. Bahkan penulisnya menambah isi kandungannya menjadikan ia lebih syirik, lebih kufur dan lebih sesat. Beliau tidak memetik dari Kitab At Tibyan, karangan At Tusi. Penulis kitab ini dianggap sebagai Syiah Rafidhah yang paling melampau, zindiq dan kufur.

Kitab Lillah Summa Littarikh / Kenapa Aku Meninggalkan Syiah

Buku ini berjaya diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu oleh beberapa orang penuntut Al Azhar. Penulis buku ini ialah As Sayyid Hussein Al Musawi. Beliau cuba memperbetulkan fahaman yang melampau dalam Syiah Ithna Asyariyyah. Buku ini adalah contoh Syiah yang sederhana dan tidak melampau. Mereka menyanjung tinggi kedudukan para sahabat dan memuliakan ahlul bait sama seperti Ahlus Sunnah wal Jamaah. Kedudukan ulama ahlul bait yang dianggap imam dibersihkan daripada iktikad yang syirik.

As Syiah Wal Tashih: As Sira' Baina As Syiah wal Tasyayyu'

Buku ini ditulis oleh Dr Musa Al Musawi. Buku ini juga antara buku Syiah yang sederhana. Penulisnya cuba mengajak penganut Syiah supaya tidak melampau dalam ajaran Syiah dan mengajak mereka kembali kepada ajaran imam-imam mereka yang sebenar.

Asal Usul Syiah

Perkataan 'Syiah' disebut beberapa kali dalam Al Quran. Antaranya:

"Kemudian pasti akan Kami tarik dari tiap-tiap golongan siapan di antara mereka yang sangat durhaka kepada Tuhan Yang Maha Pemurah." (Maryam: 69)

"Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya di dalam kota itu dua orang lelaki yang berkelahi; seorang  daripada golongannya (Bani Israel) dan seorang (lagi) daripada musuhnya (kaum Fira'un). Maka orang yang daripada golongannya meminta tolong kepadanya untuk mengalahkan orang daripada musuhnya lalu Musa meninjunya, dan matilah musuh itu. Musa berkata: "Ini adalah perbuatan syaitan. Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang menyesatkan lagi nyata (permusuhannya)." (Al Qasas: 15)

"Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk golongannya (Nuh)." (As Shoffat: 83)

Golongan Syiah sering berhujjah dengan mengatakan perkataan 'Syiah' disebut dalam Al Quran untuk mempertahankan kebenaran aqidah mereka. Tidak semestinya apabila disebut dalam Al Quran menandakan aqidah ajaran itu sahih. Fira'un, Namrud dan Haaman juga disebut di dalam Al Quran biarpun mereka sesat serta kufur. 

Perkataan 'Syiah' di dalam Al Quran membawa maksud pengikut. Syiah Ithna Asyariyyah ialah salah satu puak Syiah Imamiyyah yang dikategorikan oleh para ulama sebagai melampau. Mereka juga menggelarkan diri mereka dengan nama Syiah Ja'fariyyah, iaitu salah seorang yang mereka anggap sebagai imam mereka. Perkataan Itha Asyariyyah bermaksud dua belas, ataupun merujuk kepada 12 orang imam mereka. Khomeini dan Kerajaan Iran adalah pendokong kepada aliran ini. Mereka mendakwa sebagai umat Islam yang mempercayai 12 imam setelah kewafatan Rasulullah SAW dengan Saidina Ali sebagai imam yang pertama. Mereka juga mendakwa sebagai golongan yang mencintai keluarga Nabi Muhammad SAW serta melebihkan mereka daripada sahabat-sahabat yang lain.

Perlu dijelaskan di sini, Syiah ini bukan seperti golongan Syiah yang ada di kalangan sahabat dan tabi'in yang menyebelahi Ali R.A. ketika berlaku persengketaan dengan Muawiyyah.

Tulisan ini dipetik daripada buku bertajuk, "Siapa Syiah Sebenarnya" karangan Ustaz Abdullah Din dan Ustaz Azfar Abdullah.

"Dan aku (Nabi Hud) tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu. Imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam" (As- Syu'ara : 127)


Akidah Syiah Imamiyyah Ithna Asyariyyah

Imamah dan Khilafah

Mereka mempercayai Imamah ialah jawatan penting yang diberikan kepada Saidina Ali R.A. selepas kewafatan Rasulullah SAW. Mereka mendakwa jawatan ini dilantik secara nas oleh Rasulullah SAW sebelum kewafatannya, bahkan jawatan ini kononnya dinaskan secara jelas di dalam Al Quran oleh Allah SWT. Pada mereka, sesiapa yang menolak imam-imam Syiah, dia menjadi kafir bahkan lebih kafir daripada Iblis.

Khomeini menulis dalam Hukumah Islamiyah:

Rasulullah SAW yang mulia telah dilantik oleh Allah sebagai khalifah di muka bumi untuk menghukum ke atas manusia dengan adil dan tidak mengikut hawa nafsu. Allah telah menurunkan kepadanya wahyu supaya baginda menyampaikan apa yang telah diturunkan ke atasnya kepada orang yang menggantikannya. Rasul telah mengikut ketentuan ini dan telah melantik Amirul Mukminin, Ali sebagai penggantinya. Baginda di dalam membuat penentuan ini bukanlah didorong oleh faktor bahawa Ali adalah menantunya, atau Ali telah bekerja keras dan mempunyai khidmat-khidmat cemerlang, tetapi kerana Allah yang telah memerintahkannya supaya berbuat demikian

Mereka mempercayai jawatan ini diwarisi oleh keturunan Ali R.A. hingga Imam yang kedua belas, iaitu Imam Muhammad Al Mahdi bin Hasan Al Askari.

Imam-imam tersebut ialah:
1.                Imam Ali bin Abi Talib
2.                Imam Hasan bin Ali
3.                Imam Husin bin Ali
4.                Imam Ali Zainal Abidin bin Husin
5.                Imam Muhammad Al Baqir bin Ali Zainal Abidin
6.                Imam Jaafar As Sadiq bin Muhammad Al Baqir
7.                Musa Al Kazim
8.                Imam Ali Ar Rida
9.                Imam Muhammad Al Jawwad
10.             Imam Ali bin Muhammad Al Jawwad
11.             Imam Hassan bin Ali Askari
12.             Muhammad bin Hasan Al Askari Al Mahdi

Di sisi Syiah, Imam mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada para Nabi dan Malaikat. Khomeini dalam bukunya Al Hukumah Islamiyyah, halaman 95:

Pastinya kekuasaan dan pemerintahan bagi Imam tidaklah bermakna terpencilnya dia dan kedudukannya yang sebenar di sisi Allah, dan kuasa itu tidak akan menjadikannya seperti pemerintah-pemerintah yang lain daripadanya. Sesungguhnya Imam mempunyai kedudukan yang terpuji, darjat yang tinggi juga merupakan khalifah yang mempunyai kuasa pembentukan yang tunduk kepada pemerintahan dan kuasa semua unsur di alam ini. Dan di antara perkara-perkara yang tidak dapat dipertikaikan lagi menurut mazhab kita ialah bahawasanya Imam-imam kita telah mempunyai kedudukan tinggi tetapi tidaklah sampai ke tahap yang dicapai oleh malaikat yang sentiasa berdampingan (dengan Allah) dan juga Nabi yang diutus. Riwayat-riwayat dan hadis yang ada pada kita telah mempastikan bahawa Rasul Agung SAW dan para Imam A.S. di sebalik dunia ini mereka adalah merupakan cahaya-cahaya yang telah diterbitkan oleh Allah dari 'ArasyNya, dan Allah menganugerahkan kepada mereka kedudukan dan darjat yang hampir dengan Allah yang hanya Imam sahaja yang mengetahuinya.

Terdapat juga dari kalangan Imam-imam A.S. sebagai berkata:

"Sesungguhnya bagi kami ada berbagai keadaan yang tidak dapat dicapai kecuali oleh Malaikat yang sentiasa berdampingan (dengan Allah) serta Nabi yang diutus."

Kedudukan seumpama ini ada juga pada Fatimah Az Zahra (A.S) tetapi tidaklah bererti beliau adalah seorang khalifah, pemerintah, ataupun hakim. Kedudukan ini adalah satu perkara lain yang berada di sebalik status khalifah dan kekuasaan. Sesungguhnya Fatimah bukanlah seorang hakim atau pemerintah ataupun khalifah, (ungkapan ini) tidaklah bermakna bahawa Fatimah tidak mempunyai kedudukan yang hampir (kepada Allah) itu, sebagaimana perkara tersebut tidak memberi erti bahawa ia adalah seorang perempuan biasa seperti perempuan-perempuan yang ada di masa kita ini.

Para imam ini kononnya bersifat maksum. Mereka menganggap para Imam ini bukan sahaja terpelihara daripada dosa kecil dan dosa besar, malah terpelihara daripada melakukan sebarang kesilapan dan kesalahan serta tidak terlupa. Pada mereka Imam mempunyai ilmu yang setaraf dengan Nabi. Yang membezakan antara Nabi dan Imam ialah Imam tidak diberikan wahyu. Pun begitu, mereka percaya imam mempunyi ilmu ladunni. Mereka juga mempercayai para Imam juga mempunyai mukjizat. Antara contohnya ialah:

Abu Jaafar Muhammad bin Jariri At Tabari berkata, "Saya telah melihat tuanku Imam Al Baqir AS membuat seekor gajah dari tanah, lalu beliau menaikinyadan terbang di udara ke Mekah dan kembali di atasnya. Aku tidak percaya berita tersebut sehinggalah aku bertemu dengan Imam Al Baqir lalu aku katakan kepadanya Jabir telah menceritakan begini, begini (kisah ini). Imam Al Baqir terus melakukan perkara yang sama (mengambil tanah dan membentuk seekor gajah) lalu menaikinya dan membawa aku bersamanya ke Mekah dan kembali semula."

Imam yang kedua belas ialah Imam Mahdi di sisi Syiah. Beliau dipercayai ghaib pada tahun 260 H di Samarra' dalam sebuah lubang. Imam Mahdi atau namanya Imam Muhammad bin Hasan Al Askari akan kembali memenuhi dunia dengan keadilan pada suatu masa nanti. 

Ar Raj'ah

Bermaksud kepercayaan bahawa para Imam akan dibangkitkan sebelum kiamat untuk menuntut bela dan menghukum orang-orang yang zalim yang telah merampas hak-hak mereka. Kepercayaan ini menjadi suatu kepercayaan yang disepakati oleh para ulama Syiah. Berkata Syeikh Mufid dalam Awail al Maqalat:

"Golongan Imamiyyah sepakat tentang wajibnya raj'ah atau kembalinya sebahagian besar orang-orang yang telah mati (sebelum kiamat)."

Mengkafirkan Sahabat

Contoh 1 - Abu Bakar dan Umar kafir

Dalam Kitab Bihar Al Anwar karya Muhamma Baqir Al Majlisi,

"Daripada Maula Ali bin Husin AS, aku bersama dengannya (dengan Imam Ali bin Husin) dalam khalwahnya. Aku berkata "Bolehkah engkau beritahu aku tentang keadaan dua orang lelaki ini iaitu Abu Bakar dan Umar". Dia berkata, "Kedua-duanya kafir dan orang yang menyintainya juga menjadi kafir."

Dan daripada Hamzah As Sumali beliau bertanya kepada Ali bin Husin tentang kedua-duanya lalu dijawabnya, 

"Kedua-dua mereka kafir dan menjadi kafir orang yang menganggap mereka sebagai pemimpinnya."

Contoh 2 - Semua Sahabat Murtad

Kitab Al Kafi karya Al Kulaini,

Daripada Abi Jaafar, "Semua manusia (sahabat) telah murtad selepas kewafatan Nabi SAW melainkan 3 orang". Aku bertanya, "Siapa mereka bertiga?" lalu jawabnya, "Miqdad bin Aswad, Abu Zar al Ghifari dan Salman al Farisi."

bersambung...( insya Allah ) 

Tulisan ini dipetik daripada buku bertajuk, "Siapa Syiah Sebenarnya" karangan Ustaz Abdullah Din dan Ustaz Azfar Abdullah.

"Dan aku (Nabi Hud) tidak meminta imbalan kepadamu atas ajakan itu. Imbalanku hanyalah dari Tuhan seluruh alam" (As- Syu'ara : 127)
Posted by Abu Nu'man at 11:10 PM 



Hubungan Aswaja Indon Dan Syiah Dalam Menghadapi Wahabi Di Indonesia

Desember 23, 2014
Paranoid Aswaja Indon Menghadapi Wahabi
Aswaja Indon bukanlah sebutan untuk Aswaja yang banyak ditulis dalam sejarah perjalanan perkembangan paham paham Islam dari masa ke masa.Aswaja Indon lebih tepat sebuahmuara pemikiran Islam Kejawaan, atau sentralisasi kiblat beragama berdasarkan retorika berpikir Jawa.Terutama gagasan gagasan Walisongo, menjadi kiblat utama mereka menafsirkan Islam, sehingga tidak memerlukan legalitas agama dari Islam asalnya. Sebab terlalu banyak potensi kejawaan di dalamnya yang dikemas dengan kata ”Ulama Pewaris Nabi”, meskipun kenyataannya bukanlah warisan nabi yang menjadi standar keagamaannya.
Kata ”Aswaja” menjadi kependekan dari Ahlus-Sunah wal-Jamaah, justru tidak ada relevansinya dengan metode “Ahlus-Sunnah“yang terdapat dalam kitab kitab klasik.Nama “Aswaja” bisa disebut sekedar legalisasi kelompok tradisional guna meluluskan banyak ide-ide cemarlangnya dalam memasarkan paham-paham kejawaan yang dikemas dengan nilai amaliyah Islam.
Sama halnya dengan seorang yang pakai nama Nabi: ”Muhammad”, nama tersebut bisa dipakai semua orang, tetapi tidak berarti bahwa nama ”Muhammad” merupakan kepribadian orangnya.Aswaja Indon lebih tepat disebut jelmaan aliran-aliran ‘aqliyah, yang menempatkan akal manusia jauh diatas dasar dasar naqliyah. Sehingga lebih menyerupai sebuah alibi menguasai massa, bukan pada target agama yang monumental kenabian.
Itulah sebabnya Aswaja yang korelasi dengan kombinatif Jawa Islam sulit menerima paham-paham produk orang lain yang mengusik ketenangannya. Aswaja yang dibesarkan dan banyak diasuh oleh militansi lingkungan Syi’ah menjadi benteng utama perlindungan Syi’ah dalam membendung arus pemikiran Wahabi, kendati statement ‘wahabi’ menjadi lebih trendy di kalangan Syi’ah.
Aswaja cukup menjadi jembatan tol penyebarangan Syi’ah menuju wilayah orang-orang yang masih primitif dalam beragama. Maksudnya dalam mempertahankan ajaran-ajaran adat lewat jendela agama. Sebagai bukti dalam percaturan agama Islam, hanya Aswaja Indon dan Syi’ah yang memaksa umat agar menolak Wahabi, sekalipun dengan sekedar aksen kebohongan yang mereka buat.
Perpaduan Aswaja Indon dan Syi’ah sangat luar biasa, bahkan tak ada perbedaan dalam menangkis dakwah-dakwah Wahabi. Kedua kelompok ini dengan taqiyahnya selalu mengecilkan kata “wahabi” bukan dengan nalar ilmiah, tetapi apologetik yang disebut Taqiyah.
Misalnya perkataan perkataan Aswaja Indon tentang Al-Bany, seorang Ulama hadist abad moderen, bagaimana adab adab yang diajarkan di pesantren menjadi redup seketika, ketika kyai-kyai mereka berteriak lantang dengan menyebut ”wahabi” sebagai ajaran sesat.
Muncul serentetan kebencian yang di luar akal sehat : ”Albani desibut ngalbany, Utsaimin disebut ”Ngusaimin , Bin Baz, disebut si buta ngabas”.
Terhadap Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim al Jauzi sebagai bapak yang melahirkan ‘ Muhammad bin Abdul wahabpun disebut juga dengan kata kata yang tidak beradab.
Syi’ah paling berhasil dan memetik buahnya dengan kekeruhan berfikir Aswaja, yang membuat aswaja Paranoid dengan Wahabi.
Tidak ada lagi sopan santun pesantren yang konon mengajarkan akhlaqul karimah;yang ada pembelaan membabi buta mereka dalam mempertahankan warisan adat (maaf bukan warisan Islam). Lewat aksi aksi kebencian dengan berbagai modus dan tipe anti kebencian yang mereka lontarkan.
Porsi terbesar di tentukan oleh KH. Said Aqil Siroj, seorang ketua Umum PB NU, mengaburkan wahabi dengan sebutan cikal bakal terorisme, meskipun tindakan kang said banyak yang menentangnya dari kalangan NU.
Tambahan admin : Tuduhan tersebut bisa dilihat di postingan ini
Jawaban dari tuduhan said aqil tersebut bisa dilihat disini
Ucapan ucapan Said Aqil siraj-pun melewati batas, dengan menggambarkan bom bom yang meledak di Indonesia dan negara negara Asing sebagai bagian dari sepak terjangan wahabi. Said Aqil Siroj paling lantang dan paling cerdas dalam membangun opini anti wahabi, dengan menyebut wahabi sebagai sebuah kelompok yang berbeda dengan Islam. Pengkafiran Said Aqil banyak ditiru santri-santri dari masyarakat muslim yang tergabung di NU, bahwa sumber terorisme adalah wahabi.
Hingga dalam berbagai wawancara KH. Said Aqil Siroj dalam berbagai media mengumandangkan anti wahabi, sebagai musuh agama. Sebuah rencana Syi’ah yang luar biasa, terlalu banyak ulama ulama yang masuk perangkap Syi’ah dan menjadi pembela kebatilan.

Tambahan admin :

Kyai NU membantah said aqil yang mencela sahabat, silahkan baca disini
Taqiyah taqiyah Aswaja yang ditebarkan di berbagai media selalu menyebut Wahabi sebagai islam radikalisme, tanpa memperhatikan sikap-sikap arogansi warga NU, banser, Anshor yang membabi buta mengobarkan permusuhan dengan cara merusak pengajian pengajian MTA, misalnya. Dalam hal ini NU berdiri yang paling Islam, ketika memporak-porandakan pengajian orang lain dengan sekedar asumsi : ”itu si MTA ngatain NU syirik dan bid’ah segala”.
Ketersinggungan NU ini bisa dilihat di situs resminya, bagaimana gaya NU menulis berita dan artikel anti wahabi. Dominan disebut provokasi NU terhadap kelompok-kelompok Islam. Terkadang menyuarakan Aswaja NU Indon sebagai kelompok pluralis sejati, walaupun pada intinya sangat standar ganda. Diantaranya mencela dan merusak kegiatan dan kelompok lain.
Densus 99 produk pemikiran Aswaja Indon, lebih memenuhi kriteria mata-mata NU dalam melacak kegiatan kegiatan Wahabi dalam berbagai arena. Bahkan dengan kekuatan otot Aswaja Indon bisa mengerahkan massa untuk memberangus paham lain yang tidak sejalan dengan Aswaja Indon, dengan alasan mengganggu kelompok mereka.

Contoh lain dari taqiyah NU, “wah wahabi keji, tidak mau membantu rakyat Palestin”, bahkan meminta rakyat Palestina meninggalkan negerinya. Padahal sejak perjuangan pembebasan rakyat Palestina tidak pernah terlepas dari Dana Arab Saudi.


Tambahan admin : Bantuan saudi untuk palestina begitu besar, silahkan baca disini
Juga pernah menyebut  wahabi mencabut nama “Israel” dari buku hitam musuh musuh Islam. Padahal kalau mau bercermin muka, Wahid Institute itu apa? dari mana dananya.
Termasuk dana dana dari Israel atas Yayasan Simon Peres itu dari mana. Terlalu banyak gaya dan taqiyah aswaja yang lebih dominan kalau disebut ”anak anak syiah wilayah jawa (aswaja)yang mengambil bagian menciptakan paranoid dalam kehidupan Aswaja dalam berdampingan dengan paham lain.
[selesai – dikutip dari : kompasiana dengan sedikit perbaikan kata].
*******
Saya berkata : Artikel di atas menarik, hanya saja pemakaian kata ‘taqiyyah‘ kurang tepat. Maknataqiyyah adalah : Menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka. Mungkin kata yang tepat yang menggantikan kata ‘taqiyyah‘ dalam artikel di atas adalah ‘tuduhan’ atau ‘propaganda’ atau sejenisnya.

Tambahan :
Tidak semua ulama tokoh NU ini sejalan dengan sepak terjang bapak Said aqil siraj, silahkan lihat video para kyai tersebut yang menasehati said aqil siraj dan mengatakan tentang sikap para tokoh NU yang membela syiah itu merupakan berkhianat kepada pendiri NU, Hasyim asy’ari, silahkan lihat disini
Pendiri NU, KH Hasyim Asy’ari menyatakan bahwa SYIAH ITU KAFIR, silahkan lihat ulasannya disini