Kritik Atas Tafsir
Al-Mishba
artikel lain :
Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi
Majalah Al-Furqon terbitan Ma’had
Al-Furqon, Sidayu, Gresik, Jawa Timur, memuat tulisan Kritik Atas Tafsir Al-Mishbah karya M.
Quraish Shihab. Kritikan itu dimuat pada edisi 09 tahun ke-8, Rabi’uts Tsani
1430H/ April 2009M halaman 41-44, dengan cover berjudul Di Balik
Istilah Pemikiran Islam.
Masalah Quraish Shihab
menyebarkan pendapat bolehnya katup jantung babi dijadikan pengganti
katup jantung manusia dikritik pula dalam majalah ini.
Krikitkan selengkapnya sebagai berikut:
Kritik Atas Tafsir Al-Mishbah
Oleh Ustadz Abu Ahmad as-Salafi hafidhahullah
Telah masuk kepada kami pertanyaan dari sebagian
pembaca AL-FURQON perihal buku Tafsir Al-Mishbah, Pesan, Kesan dan
Keserasian Al-Qur’an karya M. Quraish Shihab.
Atas kehendak Alloh telah sampai kepada
kami volume yang ketiga daripada Tafsir tersebut yang berisi tafsir Surat
Al-Ma’idah. Setelah kami telaah ternyata ada hal-hal yang perlu kami luruskan
dan ada syubhat-syubhat yang perlu kami jelaskan.
Sebab itu, dalam pembahasan kali ini insya Alloh kami
berusaha melakukan telaah kritis terhadap Volume Ketiga daripada Tafsir ini
sebagai awal telaah terhadap Tafsir ini secara keseluruhan.
Penulis dan Penerbit Buku Ini
Buku ini ditulis oleh Prof. Dr. Muhammad Quraish
Shihab, MA dan diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati Ciputat Tangerang cetakan
kelima Februari 2006M/ Muharrom 1427H.
Katup
Jantung Babi Pengganti Katup Jantung Manusia
Penulis berkata dalam halaman 16 pada tafsir Surat
al-Ma’idah ayat 3:
Atas dasar ini pula agaknya
kita dapat berkata bahwa penggunaan katup jantung babi sebagai pengganti katup
jantung manusia yang sakit dapat dibenarkan, karena tidak digunakan untuk
dimakan. (halaman 16).
Kami katakan:
Imam Al-Qurthubi berkata dalam Al-Jami’li
Ahkamil Qur’an 2/ 222:
{ ولحم الخنزير } خص الله
تعالى ذكر اللحم من الخنزير ليدل على تحريم عينه ذكي أو لم يذك
“Dan ‘daging babi’ Allah khususkan penyebutan
‘daging’ dari babi untuk menunjukkan atas keharamanzatnya dalam keadaan
disembelih atau tidak disembelih.”
Beliau juga berkata di dalam Al-Jami’ li
Ahkamil Qur’an 2/223: “Tidak ada khilaf (beda pendapat) bahwaseluruh
tubuh babi haram kecuali bulunya maka sesungguhnya boleh digunakan
untuk menjahit kulit.”
Nukilan di atas menunjukkan bahwa para ulama sepakat
atas haramnya seluruh tubuh babi –termasuk katup jantungnya— selain bulunya.
Tentang bulu babi atau babi hutan, Imam Al-Khoththobirahimahullah berkata:
“Para ulama berbeda pendapat tentang menggunakan bulu babi. Sekelompok ulama
memakruhkannya. Di anara yang melarangnya adalah Ibnu Sirin, Al-Hakam, Hammad,
As-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Ahmad dan Ishaq berkata: ‘Sabut lebih kami
sukai’. Sedangkan Hasan, Al-Auza’i, Malik, dan Ashabur Ra’yi memberi
keringanan padanya.” (Aunul Ma’bud: 9/ 273).
Masalah
Tawassul
Penulis berkata dalam halaman 88 di dalam tafsir ayat
35 dari Surat Al-Maidah:
Ayat ini dijadikan oleh sementara ulama sebagai dalil
yang membenarkan apa yang diistilahkan dengan tawassul –yakni
mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi shallallhu
‘alaihi wa sallam dan para wali (orang-orang yang dekat kepadanya),
yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang
dicintai oleh Allah subhanahu wata’ala. Sementara orang – tulis As-Sy’rawi— mengkafirkan
orang-orang yang bertawassul. Tentu saja, bila ia percaya bahwa sang wali
memberinya apa yang tidak diizinkan Allah atau apa yang tidak wajar
diperolehnya, maka hal ini terlarang. Tetapi, jika ia bermohon kepada Allah
dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang ia yakini lebih dekat kepada
Allah daripada dirinya, maka ketika itu cintanya yang berperanan bermohon, dan
dalam saat yang sama ia yakin tidak akan memperoleh dari Allah sesuatu yang
tidak wajar diperolehnya. Setelah menjelaskan hal di atas, Mutawalli
As-Sya’rawi, ulama Mesir kontemporer kenamaan itu, mengemukakan sebuah hadits
yang juga seringkali dijadikan oleh para ulama sebagai alasan pembenaran
wasilah/ tawassul. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud,
At-Tirmidzi, dan An-Nasai bahwa Umar bin Khaththab berkata: “Pada masa
Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam, jika kami kekeringan karena
hujan tak turun, kami bertawassul dengan (menyebut nama) Nabi kiranya hujan
turun. Setelah Nabi wafat, kami betwasassul dengan menyebut nama Al-‘Abbas
paman Nabi shallallhu ‘alaihi wa sallam.
Kami
katakan:
Penulis
menukil perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas dan tidak memberikan sanggahan
terhadapnya, adalah sekurang-kurangnya ada dua poin yang menjadi catatan bagi
perkataan Mutawalli As-Sya’rawi di atas:
Pertama:
Definisi tawassaul menurut As-Sya’rawi adalah: “mendekatkan
diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan para wali (orang-orang yang dekat dengan-Nya), yakni berdoa
kepada Alloh guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai
oleh AllohSubhanahu wa Ta’ala.” Definisi ini definisi yang sempit karena
seakan-akan yang disebut tawassulhanyalah hal itu saja. Yang benar,
tawassul adalah “melakukan hal-hal yang bisa mendekatkan diri kepada Allah”
sebagaimana dikatakan oleh Mujahid, Abu Wail, Hasan Al-Bashri, Abdullah bin
Katsir, As-Suddi, Ibnu Zaid dan lain-lain. Al-Hafidh Ibnu Katsir menukil
perkataan para imam tersebut kemudian berkata: “Yang dikatakan oleh para imam di
atas tidak menimbulkan beda pendapat di kalangan ahli tafsir.” (Tafsir Ibnu
Katsir: 2:52-53).
Kemudian
yang perlu diketahui, tidak semua tawassul dibolehkan..Tawassul ada yang
disyari’atkan dan ada yang dilarang.
Tawassul
yang disyari’atkan adalah tawassul sebagaimana yang diperintahkan oleh
Al-Qur’an, diteladankan oleh Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
dipraktekkan oleh para sahabat. Di antara tawassul yang disyari’atkan:
1. Tawassul
dengan nama-nama Allah, sebagaimana tersebut dalam firman-Nya:
وَلِلّهِ
اْلأَسْمَاءُ اْلحُسْنَى فَادْعُوْهُ بِهَا
Hanya milik Allah Asmaa-ul Husna, maka bermohonlah
kepada-Nya dengan menyebut Asmaa-ul Husna itu…. (QS Al-A’raf / 7: 180).
2. Tawassul
dengan sifat-sifat Allah sebagaimana do’a Rosululloh shallallahu ‘alaihi
wa sallam:
« يَا حَىُّ يَا قَيُّومُ
بِرَحْمَتِكَ أَسْتَغِيثُ ».
Wahai Dzat yang hidup kekal lagi terus menerus
mengurus (makhluq-Nya), dengan rahmatMu aku mohon pertolongan.” (HR
At-Tirmidzi dalam Jami’nya: 5/ 539 dan dihasankan oleh Syaikh Al-Albani dalamShohihul
Jami’ : 4777).
3. Tawassul
dengan amal sholih, sebagaimana tersebut dalam kitab Shohih Muslim (4/2099)
sebuah riwayat mengisahkan tiga orang yang terperangkap di dalam guwa. Lalu
masing-masing bertawassul dengan amal sholihnya. Orang pertama bertawassul
dengan amal sholihnya berupa memelihara hak buruh. Orang kedua dengan baktinya
kepada kedua orang tua. Orang yang ketiga bertawassul dengan takutnya kepada
Alloh, sehingga menggagalkan perbuatan keji yang hendak ia lakukan. Akhirnya
Alloh membukakan pintu guwa itu dari batu besar yang menghalanginya, hingga
mereka bertiga selamat. Imam Muslim mebawakan riwayat tersebut di bawah
judul: Bab Kisah Tiga Orang yang Terperangkap dalam Guwa dan Tawassul
dengan Amal yang Sholih.
4. Tawassul dengan memohon do’a kepada para nabi
dan orang-orang shalih yang masih hidup, sebagaimana tersebut dalam riwayat, bahwa seorang buta datang kepada
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Orang itu berkata: “Ya Rosululloh,
berdoalah kepada Alloh agar menyembuhkanku (sehingga bisa melihat kembali).”
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Jika engkau menghendaki aku
akan berdoa untukmu dan jika engkau menghendaki bersabar adalah lebih baik
bagimu.” Ia (tetap) berkata: “Doakanlah.” Lalu Rosululloh shallallohu ‘alaihi
wa sallam menyuruhnya berwudhu secara sempurna, lalu sholat dua raka’at,
selanjutnya beliau menyuruhnya berdoa dengan mengatakan:
اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك وَأَتَوَجَّهُ إلَيْك بِنَبِيِّك مُحَمَّدٍ نَبِيِّ
الرَّحْمَةِ يَا مُحَمَّدُ إنِّي أَتَوَجَّهُ بِك إلَى اللَّهِ فِي حَاجَتِي
هَذِهِ فَتُقْضَى لِي وَتُشَفِّعُنِي فِيهِ وَتُشَفِّعُهُ فِيَّ قَالَ
فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرِئَ
“Ya
Alloh seungguhnya aku memohon kepadaMu, dan aku menghadap kepadaMu dengan
(perantara) NabiMu, seorang Nabi yang membawa rahmat. Wahai Muhammad,
sesungguhnya aku menghadap dengan (perantara)mu kepada Tuhanku dalam hajatku
ini, agar dipenuhi-Nya untukku. Ya Alloh jadikanlah ia pemberi syafa’at
kepadaku, dan berilah aku syafaat (pertolongan) di dalamnya.” Ia (rowi hadits) berkata:
“Laki-laki itu kemudian melakukannya sehingga ia sembuh. (HR Ahmad dalam Musnadnya:
4/ 138 dan At-Tirmidzi dalam Jami’nya, dan dia berkata: “hasan
shohih ghorib”, dan dishohihkan oleh Al-Hakim dalam Mustadrok: 1/
458, dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dan Al-Albani dalam Shahihul Jami’: 1279).
Adapun Tawassul yang dilarang adalah
tawassul yang tidak ada dasarnya dalam agama Islam, seperti: tawassul dengan
orang-orang mati (sebagaimana disebutkan oleh As-Sya’rawi tadi), meminta hajat
dan memohon pertolongan kepada mereka, tawassul dengan jah (kemuliaan)
Rosululloh shallallahu ‘alaihi wa sallam. Contohnya, ucapan mereka: “Wahai
Tuhanku, dengan kemuliaan Muhammad, sembuhkanlah aku” adalah perbuatan bid’ah.
Sebab para sahabat tidak melakukan hal tersebut.
Tawassul bid’ah ini bisa menyebabkan kemusyrikan.
Yaitu jika ia mempercayai bahwa Alloh membutuhkan perantara sebagaimana yang
berlaku pada seorang pemimpin atau penguasa. Sebab kalau demikian, ia
menyamakan Tuhan dengan makhluq-Nya. Para imam banyak yang mengingkari
tawassul-tawassul bid’ah ini. Imam Abu Hanifah rahimahulloh berkata: “Tidak
selayaknya bagi seorang pun berdoa kepada Alloh kecuali dengan-Nya, aku
membenci jika dikatakan: ‘Dengan ikatan-ikatan kemuliaan dari arsy-Mu, atau dengan
hak makhluq-Mu’.” Hal senada juga dikatakan oleh Imam Abu Yusuf.
(Lihat Fatawa Hindiyyah: 5/ 280).
Kedua: Hadits tentang tawassul Umar, teksnya
adalah begini:
عَنْ أَنَسٍ – رضى
الله عنه أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ
الْمُطَّلِبِ ، فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ
بِنَبِيِّنَا – صلى الله عليه وسلم – فَتَسْقِينَا ، وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ
إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا . قَالَ فَيُسْقَوْنَ .
Dari Anas bahwasanya Umar bin Khoththob
radhiyallahu ‘anhu jika terjadi kekeringan maka bertawassul dengan (do’a)
al-Abbas bin Abdul Muththalib radhiyallahu ‘anhu. Umar berkata: “Ya Alloh,
dahulu kami bertawassul dengan Nabi kami hingga Engkau menurunkan hujan kepada
kami. Dan sekarang kami bertawassul dengan pamannya Nabi kami, maka turunkan
hujan kepada kami!” kemudian turunlah hujan.(HR. Bukhari: 4/ 99 no. 954 dan
lain-lain).
Maksud bertawassul dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukan “bertawassul dengan menyebut nama Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam“ sebagaimana disebutkan oleh penulis (M. Quraish Shihab) di
atas atau dengan kedudukannya. Akan tetapi, maksudnya adalah
bertawassul dengan do’a Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana di
dalam riwayat Mustakhraj al-Ismaili (dalam Fathul Bari:
2/495) terhadap hadits ini dengan lafazh;
” كَانُوا إِذَا
قَحَطُوا عَلَى عَهْد النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
اِسْتَسْقَوْا بِهِ ، فَيَسْتَسْقِي لَهُمْ فَيُسْقَوْنَ فَلَمَّا كَانَ فِي
إِمَارَة عُمَر ” فَذَكَرَ الْحَدِيث .
Pada zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam para sahabat meminta hujan dengan perantaraan Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam jika mengalami kekeringan (kemarau panjang
), maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memintakan
hujan kepada Alloh untuk mereka. Kemudian mereka diberi hujan . Pada zaman
pemerintahan Umar …….. (dan menyebut hadits di atas ).
Demikian juga bertawassul dengan al –
‘Abbas radhiyallahu ‘anhu juga bukan menyebut namanya atau dengan jah (kemuliaan)
al – ‘Abbas melainkan dengan do’anya sebagaimana dikatakannya
oleh al- Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fatahul Bari 2/497
; “ Zubair bin Bakkar dalam al- Ansab telah menjelaskan
sifat do’a al-‘Abbas dalam kejadian ini.” Kemudian beliau sebutkan do’a
al-Abbas pada waktu itu .
Manusia Bebas Menganut Keyakinan ?
Penulis
berkata di dalam hlm .112 di bawah tafsir ayat 48 dari Surat al- Ma’idah:
Melalui
tuntunan syari’at itu, kamu semua berlomba–lombalah dengan
sungguh-sungguh berbuat aneka kebajikan, dan jangan
menghabiskan waktu atau tenaga untuk memperdebatkan perbedaan dan perselisihan
yang terjadi antara kamu dan selain kamu, karena pada akhirnya,hanya kepada
Allahlah tidak kepada siapapun selainNya kembali kamu
semuanya wahai manusia , lalu Dia memberi tahukan kepada kamu pemberitahuan
yang jelas serta pasti apa yang kamu telahterus menerus berselisih
dalam menghadapinya, apapun perselisihan itu, termasuk
perselisihanmenyangkut kebenaran keyakinan dan praktek–praktek agama
masing–masing.
Kami
katakan:
Pernyataan
penulis di atas mengesankan bahwa Alloh memberikan kebebasan kepada manusia
untuk berkeyakinan karena toh semuanya akan kembali kepada
Alloh. Padahal tidak demikian karena ada kalimat di dalam ayat yang
ditinggalkan oleh penulis yaitu وَلَكِنْ
لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آَتَاكُمْ (Tetapi Dia
hendak menguji kalian terhadap apa yang diberikan–NYA kepada kalian). al-Hafizh
Ibnu Katsir menjelaskan: “Bahwasanya Alloh Ta’ala menjadikan sayari’at-syari’at
yang bermacam–macam untuk menguji hamba–hamba–Nya pada apa yang Alloh
syari’atkan atas mereka dan memberikan pahala kepada mereka atas ketaatannya
kepada-Nya atau menghukum mereka atas kemaksiatan kepada-Nya .” (Tafsir
Ibnu Katsir : 2/84 )
Kemudian
pada hlm . 114 penulis berkata :
Kata لَوْ lauw/ sekiranya dalam
firmanNYA : لَوْ شَاءَ اللَّهُ lauw
sya’a Allah / sekiranya Allah menghendaki, menunjukkan bahwa hal
tersebut tidak dikehendakiNya, karena kata lauw, tidak digunakan kecuali untuk
mengandaikan sesuatu yang tidak mungkin terjadi, yakni mustahil . Ini berarti,
Allah tidak menghendaki menjadikan manusia semua sejak dahulu hingga kini satu
umat saja, yakni satu pendapat, satu kencenderungan, bahkan satu agama dalam
segala prinsip dan rinciannya. Karena jika Allah swt menghendaki demikian,
Dia tidak akan memberi manusia kebebasan memilah dan memilih, termasuk
kebebasan memilih agama dan kepercayaan. Kebebasan memilah dan memilih itu,
dimaksudkan agar manusia dapat berlomba-lomba dalam kebajikan, dan dengan
demikian akan terjadi kreativitas dan peningkatan kualitas, karena hanya dengan
perbedaan dan perlombaan yang sehat, kedua hal itu akan tercapai.
Kami
katakan:
Alloh
memerintahkan kepada hamba-hamba–Nya untuk memilih jalan yang satu yaitu yang
haq, dan bukan memberi kebebasan kepada mereka untuk memilih semua jalan, Syaikh Muhammad bin Sholih
al–Utsaimin berkata: “Barang siapa berkeyakinan bahwa boleh hukumnya bagi
seseorang untuk menganut agama apa saja yang dia kehendaki dan bahwa dia bebas
di dalam memilih agamanya; maka dia telah kafir karena Alloh Subhanahu wa
Ta’ala berfirman:
( وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ
الإِسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ
الْخَاسِرِينَ ) [ آل عمران: 85]
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka
sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk
orang-orang yang rugi. ( QS , Ali Imron [ 3 ] :85 )
Dan firman –NYA:
إِنَّ الدِّيْنَ
عِنْدَ اللهِ اْلإِسْلاَمِ
Sesungguhnya agama ( yang diridhoi ) di sisi Alloh
hanya lah Islam …….( QS . Ali Imron [3] : 85 )
Oleh karena itu, tidak boleh seseorang berkeyakinan
bahwa agama selain Islam adalah boleh, bagi manusia boleh beribadah melaluinya.
Bahkan bila dia berkeyakinan seperti ini, maka para ulama telah secara
jelas–jelas menyatakan bahwa dia telah kafir yang mengeluarkan dari agama
ini (Islam) . ( lihat Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Fadhilah asy-Syaikh
Ibn Utsaimin juz 3 hlm . 99-100)
Mentakwil
Sifat Mahabbah
Penulis berkata di dalam hlm. 130:
Cinta Allah kepada hamba-Nya, dipahami oleh
pakar-pakar Al – Qur’an dan Sunnah dalam arti limpahan kebaikan dan anugerah-Nya.
Kami katakan:
Penulis telah melakukan penolakan (ta’ thil ) sifat mahabbah (kecintaan)
bagi Alloh dan memalingkannya kepada limpahan kebaikan dan anugrah–Nya, karena
yang benar sebagaimana dipahami oleh Ahlu Sunnah wal Jama’ah bahwa Alloh memiliki
sifat mahabbah ( kecintaan ) sesuai dengan keagungan-Nya tidak
sama dengan sifat kecintaan dari para makhluk-Nya .
Penulis Tafsir Fathul Qodir (1/333)
menafsirkan mahabbah di atas dengan anugerah nikmat dan
ampunan. Namun, penafsiran ini dikomentari oleh Syaikh Muhammad al- Khummais:
“Ini adalah tafsir dengan lazim (keharus)nya . Yang benar
adalah jalan yang ditempuh oleh salaful ummah (pendahulu umat)
dengan menetapkan sifat mahabbah bagi Alloh sesuai dengan
keagungan–Nya . “ (‘Adzbul Ghodir fi Bayani Takwilat fi Kitab Fathul Qodir halaman
8.)
Penutup
Demikianlah penjelasan atas sebagian kesalahan –
kesalahan dan syubhat – syubhat buku ini yang bisa kami paparkan. Sebetulnya
masih banyak hal – hal lainya belum kami bahas mengingat keterbatasan tempat.
Semoga sedikit yang kami paparkan di atas bisa menjadi pelita bagi kita dari
kesamaran syubhat – syubhat buku ini dan semoga Alloh selalu menunjukkan kita
ke jalan – Nya yang lurus dan dijauhkan dari jalan –jalan kesesatan . Aamiin.
Wallohu A’lamu bish – showab. (Majalah al-Furqon, Edisi 9
tahun kedelapan, Robbi’uts Tsani 1430/ April ’09, halaman 41-44).
Tergelincirnya Orang Alim
Setelah kita
cermati, ternyata banyak masalah mengenai Islam yang ditimbulkan oleh Quraish
Shihab. Kalau mengikuti Quraish Shihab, maka sikap seorang muslim kurang
lebihnya bisa digambarkan:
-
Bolehkah katup jantung babi untuk manusia? Boleh karena tidak digunakan untuk
dimakan.
-
Wajibkah Muslimah pakai jilbab? Tidak.
-
Bolehkah ikut atau bahkan aktif di aliran sangat sesat bernama Syi’ah? Boleh.
-
Bolehkah manusia menganut keyakinan apapun? Boleh
nBolehkah
menolak sebagian sifat Allah? Boleh
Bagaimana
jadinya, kalau yang seharusnya tidak boleh –seperti katup jantung babi– malah
dikatakan boleh. Sebaliknya, yang seharusnya wajib –seperti jilbab bagi
Muslimah— malah jadi tidak wajib. Kalau sudah seperti itu, maka apa bedanya dengan kaum sepilis
(sekulerisme, pluralisme agama, dan liberalisme) yang dinyatakan sesat dan
haram oleh Munas MUI (Majelis Ulama Indonesia) tahun 2005?
Imam Ibnu
Taimiyah memperingatkan:
قَالَ ابْنُ
مُجَاهِدٍ وَالْحَكَمُ بْنُ عُتَيْبَةَ وَمَالِكٌ وَغَيْرُهُمْ : لَيْسَ أَحَدٌ
مِنْ خَلْقِ اللَّهِ إلَّا يُؤْخَذُ مِنْ قَوْلِهِ وَيُتْرَكُ إلَّا النَّبِيَّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ سُلَيْمَانُ التَّيْمِيُّ إنْ أَخَذْت
بِرُخْصَةِ كُلِّ عَالِمٍ اجْتَمَعَ فِيك الشَّرُّ كُلُّهُ قَالَ ابْنُ عَبْدِ
الْبَرِّ هَذَا إجْمَاعٌ لَا أَعْلَمُ فِيهِ خِلَافًا
Telah berkata
Ibnu Mujahid, Al-Hakam bin ‘Utaibah, Malik dan lainnya: Tidak ada seorang pun
dari makhluq Allah kecuali (ada yang) diambil dari perkataannya dan (ada yang)
ditinggalkan kecuali (perkataan) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan telah
berkata Sulaiman At-Taimi, apabila kamu memegangi rukhshoh (keringanan) setiap
orang alim (ulama) maka terkumpullah padamu seluruh keburukan. Ibnu Abdil Barr
berkata, ini adalah ijma’ (kesepakatan) tidak ada di dalamnya suatu perbedaan
(pendapat).
Selanjutnya
Ibnu Taimiyah mengutip perkataan sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَالَ زِيَادُ بْنُ
حُدَيْرٍ : قَالَ عُمَرُ : ثَلَاثٌ يَهْدِمْنَ الدِّينَ زَلَّةُ الْعَالِمِ وَجِدَالُ
الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ وَأَئِمَّةٌ مُضِلُّونَ .
Ziyad bin
Hudair berkata, Umar telah berkata: Tiga perkara yang merusak agama adalah
tergelincirnya orang alim (ulama), bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an, dan
pemimpin-pemimpin (imam-imam) yang menyesatkan.
وَقَالَ الْحَسَنُ :
قَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ : إنَّ مِمَّا أَخْشَى عَلَيْكُمْ زَلَّةَ الْعَالِمِ
وَجِدَالَ الْمُنَافِقِ بِالْقُرْآنِ,…) الفتاوى الكبرى –
(ج 9 / ص 108)(
Al-Hasan
berkata, telah berkata Abu Darda’: “Sesungguhnya di antara hal yang aku
khawatirkan atas kamu sekalian adalah tergelincirnya orang alim (ulama), dan
bantahan orang munafiq dengan Al-Qur’an… (Ibnu Taimiyyah, al-Fatawa
Al-Kubro, juz 9 halaman 108).
Dalam hal ini
Ibnu Taimiyyah menegaskan:
وَلِهَذَا قِيلَ :
احْذَرُوا زَلَّةَ الْعَالِمِ فَإِنَّهُ إذَا زَلَّ زَلَّ بِزَلَّتِهِ عَالَمٌ .
مجموع فتاوى ابن تيمية - (ج 4
/ ص 296)
Oleh karena itu
dikatakan: Awas hati-hati (hindarilah) tergelincirnya orang alim (ulama),
karena sesungguhnya ketika ia tergelincir maka tergelincirlah dunia karena
tergelincirnya (ulama itu). (Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, juz 4 halaman 296). (haji). (Selesai,
alhamdulillah).
Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan
Kontroversi
1 bulan lalu
KIBLAT.NET –
Prof. DR. Quraish Shihab kembali mendapat sorotan dari umat Islam di Indonesia
atas komentarnya yang kontroversial dalam program “Tafsir Al-Misbah” yang
disiatkan di Metro TV pada 12 Juli 2014 lalu. Namun, bagi Quraish Shihab
kontroversi bukanlah barang baru. Ulama lulusan Universitas Al-Azhar Kairo ini
kerap mengeluarkan pernyataan yang bertentangan dengan jumhur ulama umat Islam
dalam urusan syari’at.
Misalnya sekitar tahun
2006 lalu, pengarang Tafsir Al-Misbah ini mengeluarkan buku berjudul “Jilbab
Pakaian Wanita Muslimah”. Prof. Quraish Shihab memaparkan pandangannya
yang ‘kontroversial’ tentang jilbab. Sudah lama ia mempunyai pendapat bahwa
jilbab adalah masalah khilafiah – satu pendapat yang ganjil menurut pandangan
para ulama Islam terkemuka.
Dalam bukunya
tersebut, Quraish menyimpulkan, bahwa: “ayat-ayat al-Quran yang berbicara
tentang pakaian wanita mengandung aneka interpretasi.” Juga, dia katakan:
“bahwa ketetapan hukum tentang batas yang ditoleransi dari aurat atau badan
wanita bersifat zhanniy yakni dugaan.”
Masih menurut
Quraish, “Perbedaan para pakar hukum itu adalah perbedaan antara
pendapat-pendapat manusia yang mereka kemukakan dalam konteks situasi zaman
serta kondisi masa dan masyarakat mereka, serta pertimbangan-pertimbangan nalar
mereka, dan bukannya hukum Allah yang jelas, pasti dan tegas.
Di sini,
tidaklah keliru jika dikatakan bahwa masalah batas aurat wanita merupakan salah
satu masalah khilafiyah, yang tidak harus menimbulkan tuduh-menuduh apalagi
kafir mengkafirkan. (hal. 165-167). Dalam bukunya yang lain, “Wawasan
Al-Quran”, (cetakan ke-11, tahun 2000), hal. 179), Quraish juga sudah menulis:
“Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda
pendapat.”
Pandangan
Quraish Shihab tersebut mendapat kritik keras dari Dr. Eli Maliki, doktor
bidang fiqh yang juga lulusan Al-Azhar, Kairo. Membahas QS 24:31 dan 33:59, Eli
Maliki menjelaskan, bahwa Al-Quran sendiri sudah secara tegas menyebutkan batas
aurat wanita, yaitu seluruh tubuh, kecuali yang biasa tampak, yakni muka dan
telapak tangan. Para ulama tidak berbeda pendapat tentang masalah ini. Yang
berbeda adalah pada masalah: apakah wajah dan telapak tangan wajib ditutup?
Sebagian mengatakan wajib menutup wajah, dan sebagian lain menyatakan, wajah
boleh dibuka.
Salah seorang
ulama lain yang sama-sama lulusan dari Universitas Al-Azhar, Kairo, DR. Ahmad
Zain An-Najah bahkan membantah buku karangan Quraish Shihab dengan judul,
“Jilbab Menurut Syariat Islam (Meluruskan Pandangan Quraish Shihab). Doktor
bidang fiqh tersebut menguraikan dengan gamblang sejumlah kelemahan ilmiah
Quraish Shihab, diantaranya ialah tidak cerman dan teliti dalam penukilan,
sangat sedikit menggunakan referensi fiqh, tidak merujuk pada referensi primer,
pengaburan terhadap pendapat para ulama, dan seabreg kurangnya pemenuhan amanah
ilmiah dalam mengambil kesimpulan hukum. Untuk mendalami masalah ini anda bisa
melihat tulisan DR. Ahmad Zain dan merujuknya ke situs ahmadzain.com.
Quraish Shihab
Quraish
Shihab dan Syiah
Prof. Dr.
Quraish Shihab, juga pernah dikecam karena secara halus memberikan pembelaannya
terhadap kaum Syi’ah dengan menulis buku berjudul “Sunnah-Syiah Bergandengan
Tangan! Mungkinkah?”. Buku ini diterbitkan oleh Penerbit Lentera Hati pada
Maret 2007.
Namun,
pembelaan Prof. Dr. Quraish Shihab tersebut mendapat kritikan tajam dari Tim
Penulis Buku Pustaka Pondok Pesantren Sidogiri. Tim penulis ini menulis buku
sanggahan pembelaan Quraish Shihab terhadap Syiah yang berjudul “Mungkinkah
Sunnah-Syiah dalam Ukhuwah? Jawaban atas Buku Dr. Quraish Shihab (Sunnah-Syiah
Bergandengan Tangan! Mungkinkah?” pada September 2007.
Kedekatan
Quraish Shihab dengan pemikiran Syiah juga terlihat ketika ia meluncurkan
buku berjudul Ensiklopedi Al-Qur’an: Kajian Kosa Kata dan Tafsirnya, yang
diterbitkan oleh Bayt Al-Qur’an dan Museum Istiqlal bekerjasama dengan Yayasan
Bimantara (2007).
Salah satu
indikasinya, dalam Ensiklopedi itu kerap menggunakan kitab tafsir yang
populer di kalangan Syi’ah berjudul “Al-Mizan” karangan At-Thabathaba’i sebagai
referensi dalam penulisan entri. Bahkan dapat dikatakan, rujukan utama
Ensiklopedi ini adalah tafsir Syi’ah yang memberikan penafsiran terhadap
Al-Qur’an sesuai dengan pemahaman aliran Syi’ah yang memusuhi sahabat-sahabat
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula dalam karyanya
Tafsir-Al-Misbah, banyak di antara kutipannya yang merujuk pada kitab tafsir
Al-Mizan yang sangat dipuja kalangan syi’ah.
Namun, seperti
dikutip dari Republika Online, Quraish Shihab menampik tudingan bahwa dirinya
adalah pengikut syi’ah.
“Nabi SAW saja
difitnah, apalagi cuma Quraish Shihab,” ujarnya sambil tertawa ringan. Dia
menjelaskan, prinsip syiah sangat jelas seperti percaya kepada imamah. Tak
hanya itu, terdapat ritual khas yang kerap dijalankan penganut syiah seperti
shalat di batu karbala dan menangguhkan puasa.
“Orang-orang
yang menuding saya Syiah, apakah pernah melihat saya shalat di atas batu
Karbala? Apakah, ketika Ramadhan, pernah melihat saya tangguhkan buka puasa 10
hingga 15 menit, sebagaimana keyakinan Syiah,” ujar Quraish seperti dikutip
dari Republika pada Senin, 17 Februari 2014.
Meski Quraish
Shihab menampik dituduh Syiah, namun kedekatannya dengan kelompok Syiah di
Indonesia tak bisa dipungkiri lagi. Di Indonesia, Iran memiliki lembaga pusat
kebudayaan Republik Iran bernama, ICC (Islamic Cultural Center). Lembaga ini
telah berdiri sejak 2003 di bilangan Pejaten, Jakarta Selatan.
Menurut Majalah
Hidayatullah yang mewawancarai pihak ICC, di antara orang-orang yang mengajar
di ICC itu adalah kakak beradik: Umar Shihab (salah seorang Ketua Majelis Ulama
Indonesia Pusat) dan Prof. Quraish Shihab. Ia mengajar di lingkungan Syiah
bersama tokoh-tokoh syiah di Indonesia seperti Dr Jalaluddin Rakhmat, Haidar
Bagir, O. Hashem dan sejumlah keturunan alawiyin atau habaib dari kalangan
syiah, seperti Agus Abu Bakar al-Habsyi dan Hasan Daliel al-Idrus.
Ditulis Oleh:
Fajar Shadiq
Orang beriman share informasi yang benar
6 Responses to
“Quraish Shihab, Tokoh Tafsir yang Akrab Dengan Kontroversi”
Mr.B004 says:
MUI apa yang
kalian lakukan ?
Pemerintah apa yang lakukan ??
Saudaraq apa dapat kita lakukan???
boy rafly says:
gak pantes
disebut prof. dicabut aja gelarnya 004
SUDAH WAJAR
KALO DIA BILANG GITU KARNA ORANG SYI’AH PUNYA CARA UNTUK BISA DI IYAKAN ORANG
AWAM, APALAGI MEDIA AWAM SEPERTI METRO TV. DIA GAK TAU APA ITU SYI’AH APA ITU
ISLAM, ATURAN KALO ACARA ISLAM YANG DI PAKE ORANG ISLAM DONG, JANGAN ORANG
SYI’AH JADI BIKIN RESAH UMAT ISLAM, KARNA SYI’AH DENGAN TAQIYAHNYA DIA NGAKU
ISLAM, PADAHAL DIA KAFIR ….
Bagiku Agamaku,
Bagimu agamamu..
Mulailah dari
keluarga, Percayalah sama apa yg kita yakini, dan abaikan yg menurut kita
menyimpang, jangan ragu untuk tidak menonton ato menghapus saluran TV yg kita
anggap kurang pantas bagi diri dan keluarga, Tidak usah diperdebatkan lagi.
nanti merujuk ghibah.
Paulus says:
Jangan
mengganggap diri kita sempurna, karena hanya Allah hakim yang menentukan kita
masuk Surga atau Neraka. Karena Imam dan perbuatan kita lah yang dapat membuat
kita ke Surga. Karena Surga hanya ada di dalam Allah.
hariyantotheng says:
Jangan
mengganggap diri kita sempurna, karena hanya Allah hakim yang menentukan kita
masuk Surga atau Neraka. Karena Imam dan perbuatan kita lah yang dapat membuat
kita ke Surga. Karena Surga hanya ada di dalam Allah.