Posted on 23 Oktober 2010 by abunamirahasna http://abunamira.wordpress.com/2010/10/23/hasan-bin-ali-bin-abu-talib-3-50-h/
Dia adalah
putra sulung Ali bin Abu Talib dengan Fatimah Postur dan paras mukanya mirip
dengan Rasulullah. Dia diangkat sebagai khalifah sepeninggal ayahnya. Dia lebih
mengutamakan tidak berperang, menghindari pertumpahan darah sesama muslim,
untuk itu dia menyerahkan kursi ke khalifahan kepada Muawiah sampai dia
meninggal dunia di Madinah.
Riwayat Hidup
Al-Hasan dan Wafatnya
Oleh: Ustadz
Muhammad Umar Sewed
Beliau
dilahirkan pada bulan Ramadlan tahun ke-3 Hijriyah menurut kebanyakan para
ulama sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Hajar. (lihat Fathul Bari juz VII, hal.
464)
Setelah ayah
beliau Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu terbunuh, sebagian kaum muslimin membai’at
beliau, tetapi bukan karena wasiat dari Ali. Berkata Syaikh Muhibbudin
al-Khatib bahwa diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya juz ke-1 hal. 130
-setelah disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib akan terbunuh- mereka berkata
kepadanya: “Tentukanlah penggantimu bagi kami.” Maka beliau menjawab: “Tidak,
tetapi aku tinggalkan kalian pada apa yang telah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam….” Dan disebutkan oleh beliau (Muhibuddin Al-Khatib) beberapa
hadits dalam masalah ini. (Lihat Ta’liq kitab Al-’Awashim Minal Qawashim, Ibnul
Arabi, hal. 198-199). Tetapi setelah itu Al-Hasan menyerahkan ketaatannya
kepada Mu’awiyah untuk mencegah pertumpahan darah di kalangan kaum muslimin.
Kisah tersebut
diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitab As-Shulh dari Imam Al-Hasan
Al-Bashri, dia berkata: -Demi Allah- Al-Hasan bin Ali telah menghadap Mu’awiyah
beserta beberapa kelompok pasukan berkuda ibarat gunung, maka berkatalah ‘Amr
bin ‘Ash: “Sungguh aku berpendapat bahwa pasukan-pasukan tersebut tidak akan
berpaling melainkan setelah membunuh pasukan yang sebanding dengannya”. Berkata
kepadanya Mu’awiyah -dan dia demi Allah yang terbaik di antara dua orang-:
“Wahai ‘Amr! Jika mereka saling membunuh, maka siapa yang akan memegang urusan
manusia? Siapa yang akan menjaga wanita-wanita mereka? Dan siapa yang akan
menguasai tanah mereka?” Maka ia mengutus kepadanya (Al-Hasan) dua orang
utusan dari Quraisy dari Bani ‘Abdi Syams Abdullah bin Samurah dan Abdullah bin
Amir bin Kuraiz, ia berkata: “Pergilah kalian berdua kepada orang tersebut!
Bujuklah dan ucapkan kepadanya serta mintalah kepadanya (perdamaian -peny.)”
Maka keduanya mendatanginya, berbicara dengannya dan memohon padanya…)
kemudian di akhir hadits Al-Hasan bin Ali meriwayatkan dari Abi Bakrah bahwa
dia melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di atas mimbar dan Hasan
bin Ali di sampingnya beliau sesaat menghadap kepada manusia dan sesaat melihat
kepadanya seraya berkata:
إِنَّ
ابْنِى هَذَا سَيِّدٌ، وَلَعَلَّ اللهَ أَنْ يُصْلِحَ بِهِ بَيْنَ فِئَتَيْنِ
عَظِيْمَتَيْنِ مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. (رواه البخارى مع الفتح ۷/٦٤۷ رقم ٢۷٠٤)
Sesungguhnya
anakku ini adalah sayyid, semoga Allah akan mendamaikan dengannya antara dua
kelompok besar dari kalangan kaum muslimin. (HR. Bukhari dengan Fathul Bari, juz
V, hal. 647, hadits no. 2704)
Berkata Ibnu
Katsir dalam Al-Bidayah: “….Al-Husein menyalahkan saudaranya Al-Hasan atas
pendapat ini, tetapi beliau tidak mau menerimanya. Dan kebenaran
ada pada Al-Hasan sebagaimana dalil yang akan datang….” (lihat AlBidayah wan
Nihayah, juz VIII hal. 17). Yang dimaksud oleh beliau adalah dalil yang sudah
kita sebutkan di atas yang diriwayatkan dari Abi Bakrah radhiyallahu ‘anhu.
Itulah keutamaan Al-Hasan yang paling besar yang dipuji
oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka bersatulah kaum muslimin hingga tahun
tersebut terkenal dengan tahun jama’ah.
Yang
mengherankan justru kaum Syi’ah Rafidlah menyesali kejadian ini dan
menjuluki Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu sebagai ‘pencoreng wajah-wajah kaum
mukminin’. Sebagian mereka menganggapnya fasik sedangkan sebagian lagi bahkan
mengkafirkannya karena hal itu. Berkata Syaikh Muhibbudin Al-Khatib
mengomentari ucapan Rafidlah ini sebagai berikut: “Padahal termasuk dari
dasar-dasar keimanan Rafidlah -bahkan dasar keimanan yang paling utama- adalah
keyakinan mereka bahwa Al-Hasan, ayah, saudara dan sembilan keturunannya
adalah maksum. Dan dari konsekwensi kemaksuman mereka, bahwa mereka tidak akan
berbuat kesalahan. Dan setiap apa yang bersumber dari mereka berarti hak yang
tidak akan terbatalkan. Sedangkan apa yang bersumber dari Al-Hasan bin Ali radhiyallahu
‘anhuma yang paling besar adalah pembai’atan terhadap amiril mukminin Mu’awiyah,
maka mestinya mereka pun masuk dalam bai’at ini dan beriman bahwa ini adalah
hak karena ini adalah amalan seorang yang maksum menurut mereka. (Lihat catatan
kaki kitab Al-Awashim minal Qawashim hal. 197-198).
Tetapi
kenyataannya mereka menyelisihi imam mereka sendiri yang maksum bahkan
menyalahkannya, menfasikkannya, atau mengkafirkannya. Sehingga terdapat dua
kemungkinan:
Pertama, mereka
berdusta atas ucapan mereka tentang kemaksuman dua belas imam, maka hancurlah
agama mereka (agama Itsna ‘Asyariyyah).
Kedua, mereka
meyakini kemaksuman Al-Hasan, maka mereka adalah para pengkhianat yang
menyelisihi imam yang maksum dengan permusuhan dan kesombongan serta kekufuran.
Dan tidak ada kemungkinan yang ketiga.
Adapun Ahlus
Sunnah yang beriman dengan kenabian “kakek Al-Hasan” shallallahu ‘alaihi wa
sallam berpendapat bahwa perdamaian dan bai’at beliau kepada Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu adalah salah satu bukti kenabian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dan
amal terbesar Al-Hasan serta mereka bergembira dengannya kemudian menganggap AlHasan
yang memutihkan wajah kaum mukminin.
Demikianlah
khilafah Mu’awiyah berlangsung dengan persatuan kaum muslimin karena Allah Subhanahu
wa Ta ‘ala dengan sebab pengorbanan Al-Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhu yang
besar yang dia -demi Allah- lebih berhak terhadap khilafah daripada Mu’awiyah radhiyallahu
‘anhu sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakar Ibnul Arabi dan para ulama.
Semoga Allah meridlai seluruh para shahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Pada tahun ke 10 masa khilafah Mu’awiyah meninggallah Al-Hasan radhiyallahu
`anhu pada umur 47 tahun. Dan ini yang dianggap shahih oleh Ibnu Katsir, sedangkan
yang masyhur adalah 49 tahun. Wallahu A’lam bish-Shawab. Ketika beliau
diperiksa oleh dokter, maka dia mengatakan bahwa Al-Hasan radhiyallahu ‘anhu meninggal
karena racun yang memutuskan ususnya. Namun tidak diketahui dalam sejarah siapa
yang membunuhnya. Adapun ucapan Rafidlah yang menuduh pihak Mu’awiyah sebagai
pembunuhnya sama sekali tidak dapat diterima sebagaimana dikatakan oleh Ibnul
‘Arabi dengan ucapannya: “Kami mengatakan bahwa hal ini tidak mungkin karena
dua hal: pertama, bahwa dia (Mu’awiyah) sama sekali tidak mengkhawatirkan
kejelekan apapun dari Al-Hasan karena beliau telah menyerahkan urusannya kepada
Mu’awiyah. Yang kedua, hal ini adalah perkara ghaib yang tidak ada yang
mengetahuinya kecuali Allah, maka bagaimana mungkin menuduhkannya kepada salah
seorang makhluk-Nya tanpa bukti pada zaman yang berjauhan yang kita tidak dapat
mudah percaya dengan nukilan seorang penukil dari kalangan pengikut hawa nafsu
(Syi’ ah). Dalam keadaan fitnah dan Ashabiyyah, setiap orang akan menuduh lawannya
dengan tuduhan yang tidak semestinya, maka tidak mungkin diterima kecuali dari
seorang yang bersih dan tidak didengar darinya kecuali keadilan.” (Lihat Al-Awashim
minal Qawashim hal. 213-214)
Demikian pula
dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah bahwa tuduhan Syi’ah tersebut
tidak benar dan tidak didatangkan dengan bukti syar’i serta tidak pula ada
persaksian yang dapat diterima dan tidak ada pula penukilan yang tegas
tentangnya. (Lihat Minhajus Sunnah juz 2 hal. 225)
Semoga Allah
merahmati Al-Hasan bin Ali dan meridlainya dan melipatgandakan pahala amal dan
jasa-jasanya. Dan semoga Allah menerimanya sebagai syahid. Amiin.
Pengkhianatan Syi’ah Kepada Al Hasan
Dan Al Husain
(Dirangkum dari buku Pengkianatan-Pengkhianatan Syi’ah karya Dr. Imad Ali Abdus Sami’)
Setelah Ali bin Abi Tholib terbunuh,Al Hasan lebih
memilih berdamai dengan Muawiyah,namun orang-orang syi’ah terus menerus
mendesak Al Hasan untuk berperang melawan Muawiyah.
Dan pada
akhirnya Al Hasan menyutujui desakan mereka ini dan mengutus Qais bin Ubaidah untuk memimpin dua
belas ribu pasukan melawan pasukan Muawiyah.
Ketika Al
Hasan sedang berada di Al Madain,datanglah seorang penduduk Iraq dan
berteriak,bahwa Qais telah terbunuh.Timbulah kekacauan diantara orang-orang
syi’ah Iraq,watak asli mereka muncul (berkhianat),mereka tidak sabra dan justru
menyerbu kemah Al Hasan,dan merampas barang-barangnya.
Salah
seorang syi’ah Iraq,Mukhtar bin Ubaid Ats Tsaqofi memiliki rencana busuk ,yaitu
mengikat Al Hasan dan menyerahkannya kepada pamannya Saad bin Mas’ud Ats
Tsaqofi,dengan imbalan harta dan kedudukan karena tamaknya dia.
Sa’ad
adalah salah seorang pendukung Ali yang menjadi gubernur Al Madain,namun dia
juga mengkhianati putra Ali yaitu Al Hasan dengan menghinakannya dan
menyerahkannya kepada Muawiyah.
Sampai-sampai
Al Hasan berkata : “Aku memandang Muawiyah lebih baik kepadaku,dibanding
orang-orang yang mengaku sebagai pendukungku,mereka malah ingin mencelakakanku
dan merampas hartaku…”
Inilah
bentuk pengkhianatan orang syi’ah kepada Al Hasan,yang mana mereka mengklaim
cinta kepada Ahlul bait.
Adapun
pengkhianatan syi’ah kepada Al Husain adalah apa yang terjadi di karbala,yang mengakibatkan Al Husain terbunuh.
Jadi
setelah Muawiyah wafat,orang-orang Iraq mendesak Al Husain untuk menjadi
kholifah.Dibawah tekanan mereka ini,Husain terpaksa mengirim Muslim bin Aqil untuk memantau kondisi yang terjadi
pasca wafatnya Muawiyah.
Ia tidak
mengetahui kedatangan penduduk Iraq yang meminta berbaiat kepada Al Husain yang
berjumlah sekitar dua belas ribu orang,kemudian mereka mengirim perwakilan
kepada Al Husain untuk membaiatnya.
Akan tetapi
Al Husain tertipu dengan pengkhianatan mereka.Husain pergi menemui mereka
padahal sudah diperingatkan oleh orang-orang terdekatnya untuk tidak menemui
mereka,karena rekam jejak mereka yang sering berkhianat.
Sampai Ibnu
Abbas pun menasehati Al Husain : “Apakah engkau akan pergi ke kaum yang telah membunuh pemimpin mereka,merampas
negeri mereka.Sekalipun mereka berbuat demikian apakah engkau tetap menemui
mereka? Mereka mengajakmu ke sana,sedang penguasa mereka bersikap tiran kepada
mereka.Apa yang mereka lakukan,hanya untuk negara mereka saja.Mereka hanya
mengajak engkau menuju medan perang dan pembantaian,dan engkau tidak akan aman
bersama mereka.Mereka akan berkhianat,menipu,dan menyerangmu dan nanti mereka
akan menjadi orang yang paling keras memusuhimu…”
Secara
jelas pengkhianatan Syi’ah Kufah tampak ketika Muslim bin Aqil terbunuh
ditangan pasukan bani Umayyah,dan orang-orang syi’ah diam membisu tidak
memberikan bantuan apa-apa,karena mereka telah menerima sejumlah uang dari bani
Umayyah.
Ketika
Husain keluar bersama keluarga dan pengikutnya yang berjumlah 70 orang,setelah
terjalin kesepakatan dan perjanjian,kemudian penguasa bani Umayyah
Ubaidillah bin Ziyad masuk untuk menghancurkannya di medan
peperangan,maka terbunuhlah Al Husain dan seluruh orang yang menyertainya.
Kata-kata
terakhirnya sebelum wafat adalah : “Ya Allah,berilah putusan di antara kami dan
diantara orang-orang yang mengajak kami untuk menolong kami,namun justru mereka
membunuh kami”.
Bahkan Al
Husain mendoa’akan keburukan untuk mereka : “Ya Allah,apabila Engkau memberi
mereka kenikmatan,maka cerai beraikanlah mereka,buatlah mereka menempuh jalan
yang berbeda-beda,dan janganlah restui pemimpin mereka selamanya…”
Jika
orang-orang syi’ah saja berkhianat kepada Ahlul bait apalagi terhadap umat
Islam ini.