Friday, March 31, 2017

Imam Ibnu Taimiyah: Ulama Ahlussunnah Dan Murabbi Agung


Saya termasuk orang yang tidak setuju menjelek-jelekkan ulama sebesar Imam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya kalangan syiah dan sebagian ahlussunnah menjelek-jelekkannya dengan julukan dedengkotnya wahabi. Bagi saya beliau adalah ulama ahlussunnah waljamaah. Adapun kejelekannya yang banyak diungkapkan seperti mujasimah adalah fitnah yang dihembuskan oleh orang-orang yang tidak menyukainya.

Kekurangannya, sebutlah demikian, adalah sikap kerasnya kepada musuh-musuh syariat. Beliau berhadapan secara frontal tokoh-tokoh syiah, wahdatul wujud, sejarawan yang menyimpang, pernah beliau meludahi buku sejarah yang banyak mengandung penyimpangan, dan beliau juga pernah mengkritik kitab Sibawaih yang dianggap "kitab sucinya" ahli bahasa dan mengatakan di dalamnya terdapat 81 kesalahan. Hal ini membuat marah Imam Abu Hayyan yang sebelumnya pernah memujinya. Semua itu, kritikan itu, selagi benar, adalah amar ma'ruf nahi munkar beliau dalam menghentikan segala kemungkaran yang tampak dihadapannya. Tapi mungkin saja sikap kerasnya itu dipandang lain, apalagi oleh orang yang dari segi keilmuan berada dibawahnya.
Namun di sisi lain, beliau menunjukkan sikap lemah lembut, tawadhu, banyak beribadah, Prof. Fazlur Rahman menyebut beliau sebagai neo-sufi, sebagai julukan terhadap ulama yang memiliki citra ruhani. Beliau pernah berkata, ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah, sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah. Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi cita-citaku.” Beliau juga pernah berkata, "Manusia tanpa dzikir seperti ikan tanpa air."

Imam Ibnu Taimiyah meninggal penjara Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Imam Ibnul Qayyim, ketika dia sedang membaca Al-Qur'an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina fi jannatin wanaharin"

Tidaklah mengherankan di antara deretan murid-muridnya adalah ulama-ulama Rabbani yang tidak diragukan lagi, sebut saja misalnya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang karyanya I'lamul Muwaqqin adalah rujukan utama pemikiran banyak ulama besar, seperti pengakuan Syaikh Wahbah Zuhaili. Beliau juga menelurkan masterpice dibidang tasawuf "Madarijus Salikin". Lalu ada murid beliau yang lain seperti Imam Ibnu Katsir, pakar tafsir dan sejarah yang tiada duanya, salah satu ulama besar mazhab syafi'i. Ada juga ahli hadits dan sejarawan kenamaan seperti Imam Adz Dzahabi.

Bagaimana mungkin ulama seperti Imam Ibnu Taimiyah mampu melahirkan generasi ulama-ulama Rabbani jika beliau sendiri bukan seorang murabbi agung. Di antara orang yang membenci dan mencintainya secara fanatik, saya adalah orang yang berusaha bersikap adil terhadapnya. Sebagai penghormatan saya kepada para ulama besar, maka saya berkata apalah saya ini. Khilafiyah di antara para ulama saya biarkan apa adanya tanpa perlu menghujat di antara pendapat yang bertolak belakang dengan pendapat yang saya yakini. Saya katakan, semua itu, perbedaan pada masalah-masalah furu, adalah rahmat dari Allah yang bisa saja satu pendapat dapat dijadikan pegangan dimasa tertentu, tapi dimasa lain pendapat yang lain lebih layak dijadikan pegangan.
Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah

Syiah Mengkambing hitamkan Ibnu Taimiyah

Saya terlibat diskusi dengan orang Syiah. Kali ini semakin terlihat betapa dangkalnya pemikiran orang syiah. Hanya karena mengutip perkataan Imam Ibnu Taimiyah, saya kemudian dituduh Wahabi oleh mereka.

Pertama, keadaan mereka seperti pepatah yang mengatakan, gajah dipelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan tampak. Mereka meributkan perkataan Imam Ibnu Taimiyah yang hanya satu kutipan, tapi anehnya tidak meributkan perkataan ulama-ulama lainnya seperti Imam Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad.

Mengapa? Karena mereka takut kalau mereka menyerang para Imam Madzhab itu belang syiah mereka akan terlihat. Mereka menyadari psikologis kaum muslimin saat ini yang sangat kuat berpegang kepada imam madzhab yang empat. Menyerang 4 imam sama saja dengan menyerang ahlus sunnah yang hakiki, meskipun pada dasarnya ahlus sunnah itu bukan hanya dari empat imam saja.

Akhirnya mereka menyerang ulama yang paling besar perbedaan pendapatnya dengan kalangan penganut akidah asyariyah dan maturidiyah. Yaitu Imam Ibnu Taimiyah. Dengan demikian,serangan mereka terhadap orang-orang yang anti syiah seolah dilancarkan oleh kaum ahlus sunnah sendiri. Pada akhirnya sesama ahlus sunnah saling bentrok sendiri. Sementara akar permasalahan tentang pemikiran Syiah tidak dikemukakan lebih lanjut. Sampai disini, orang syiah berhasil membelokkan masalah yang sesungguhnya. Di satu sisi, mereka tetap mengemukakan pemikirannya yang sesat, di sisi lain mereka mengadu domba sesama kalangan ahlus sunnah.

Kedua, orang syiah memberi gelar orang yang mengutip perkataan Ibnu Taimiyah dengan sebutan Wahabi. Saya heran, apa hubungan langsung antara Ibnu Taimiyah dengan Wahabi? Seolah Ibnu Taimiyah itu penganut Wahabi. Padahal Ibnu Taimiyah hidup sebelum pendiri "Wahabi" itu hidup.

Kalau memang orang yang mengutip perkataan Ibnu Taimiyah disebut Wahabi, tentu orang-orang Islam Liberal seperti Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Nurcholis Majid adalah penganut Wahabi. Prof. Fazlur Rahman pernah memuji Ibnu Taimiyah dengan sebutan "neo sufism" dan Prof. Nurcholis Majid menulis desertasi doktoralnya tentang pemikiran Ibnu Taimiyah.

Orang-orang Jamaah Tabligh dengan tokohnya seperti Syaikh Maulana Kandahlawi dalam bukunya banyak mengutip perkataan Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Bahkan tokohnya yang lain, yakni Syaikh Abul Hasan An-Nadwi menulis buku biografi tentang Imam Ibnu Taimiyah. Sementara itu dikalangan Wahabi itu sendiri, Jamaah Tabligh sering dikritik sebagai jamaah yang banyak bid'ahnya.

Begitupun dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin yang banyak dikritik dan dihujat oleh kalangan Wahabi, banyak mengutip pemikiran Imam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya.

Kesimpulannya, Imam Ibnu Taimiyah adalah milik kaum muslimin. Bukan milik orang-orang Wahabi semata. Murid-murid Imam Ibnu Taimiyah di antaranya: Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Imam Ibnu Katsir, Imam Ibnu Rajab, dan Imam Adz Dzahabi. Banyak karya-karya Imam Ibnul Qayyim condong pada tasawuf seperti kitab Madarijus Salikin, Ighatsul Lahfan dan Al Jawabul Kafi. Imam Ibnu Katsir terkenal dengan karyanya Tafsir Ibnu Katsir dan Al Bidayah wan Nihayah yang dijadikan rujukan seluruh kaum ahlussunnah tidak terkecuali. Begitupun Imam Adz Dzahabi dikenal sebagai ahli hadits yang diakui oleh para ulama ahlussunnah.

Resensi Singkat Buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah


Saya mendapatkan buku ini ketika saya duduk dikelas 1 SMA. Yaitu sekitar tahun 1995/1996. Ketika baru pertama kali mendapatkannya, saya sangat antusias membacanya hingga berhasil mengkhatamkannya tidak hanya sekali. Saya terbantu dengan terjemahannya yang bagus sehingga membuat saya yang awam ini mudah memahaminya. Alhamdulillah ketika orang lain saat ini bingung tentang siapa itu Ibnu Taimiyah, saya sudah mendapat gambaran yang jelas tentang diri beliau sejak lama melalui buku ini.
Mengapa buku ini? Pertama, buku ini ditulis oleh Syaikh Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi, ulama besar asal India. Nasab beliau sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Talib r.a. Beliau terkenal lewat bukunya "Maza khasiral alam bi inhitatil Muslimiin" (Apakah Kerugian Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam) yang telah dipuji banyak ulama sebagai karya yang patut dibaca dan juga telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa. Karya tersebut telah mengantarkan beliau untuk mendapatkan The King Faishal International Award pada tahun 1980 bersama Dr. Muhammad Natsir (mantan PM Indonesia).Di dalam buku tersebut tergambar betapa luasnya wawasan beliau. Sehingga saya memberi kesimpulan bahwa beliau seorang ulama yang berilmu luas dan seorang adib (penulis) yang cakap.
Al Allamah DR Yusuf al-Qaradhawi berkata tentang diri Syaikh Abul Hasan Ali An Nadwi: “Saya mengenali kepribadiannya dan juga karya-karyanya. Saya mendapati pada dirinya hati seorang muslim yang sejati dan pemikiran Islam yang asli. Saya mendapati beliau senantiasa hidup dengan Islam dan untuk Islam. Saya kira bukan saya saja yang mencintainya tetapi semua orang yang mengenalinya pasti mencintainya, bahkan siapa saja yang lebih mengenalinya pasti akan bertambah kecintaan terhadapnya.”
Kedua, buku "Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah" dikatakan beliau dalam mukadimahnya adalah buku pertama dalam edisi bahasa Inggris yang demikian rinci dan detail sehingga mendapatkan sambutan positif dari kalangan ilmuwan, peminat pendidikan Islam, dan pengamat sejarah.
Syaikh Muhammad Abu Zahrah, ulama besar Mesir, salah satu ulama yang mendorongnya untuk menulis bahasan ini. Padahal Syaikh Abu Zahrah sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang telah banyak menulis sejarah tokoh-tokoh Islam. Dorongan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Syaikh Abul Hasan sangat fakih dalam menulis sejarah tokoh Islam.
Ketiga, hubungan beliau yang akrab di antara banyak ulama lintas mazhab, jamaah dan harokah menunjukkan pergaulan beliau yang luas dan bisa jadi hal ini membuat beliau dapat lebih arif dan objektif dalam menulis tanpa memusuhi satu kelompok tertentu. Beliau dekat dengan Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Al Azhar, hingga salafiyun. Dalam Jamaah Tabligh beliau adalah murid dan sahabat Syaikh Ilyas Al Kandahlawy. Dalam Ikhwanul Muslimin beliau adalah ulama yang disegani. Dalam buku "Mereka yang Telah Pergi" terlukis bagaimana kecintaan jamaah Ikhwanul Muslimin terhadap diri beliau. Dalam Al Azhar beliau adalah sahabat karib ulama-ulama Al Azhar utamanya Syaikhul Azhar Abdul Halim Mahmud. Dalam salafi beliau adalah pengurus Rabithah Alam Islami di Makkah dan Majelis Pertimbangan Universitas Islam Madinah.
Jadi, menurut saya, dalam buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ini, Syaikh Abul Hasan mampu menulisnya secara menyeluruh, adil dan objektif. Mengupasnya secara mendetail dan mengungkapnya tanpa ragu. Dari buku ini saya memperoleh kesimpulan tentang sosok Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah sebagai berikut:
Pertama, Syaikhul Islam bermadzhab Hanbali tetapi beliau tidak sepenuhnya taklid padanya bila memiliki pendapat yang menurutnya benar.
Kedua, ulama yang cerdas, berilmu luas dan mendalam. Untuk mengetahui masalah yang sesungguhnya, beliau mempelajarinya hingga paham dan ahli. Disamping ilmu-ilmu syar'i, beliau juga menguasai ilmu filsafat, sejarah, logika, dan ilmu-ilmu sosial. Bahkan beliau ternyata sangat pakar dibidang Kristologi. Buku Al Jawab Ash Shahih yang terdiri dari 4 jilid menunjukkan hal itu yang menurut Syaikh Abu Zahrah adalah karya beliau yang utama untuk dipelajari. Namun sayang, keilmuan beliau yang luas ini kurang begitu mendapat perhatian. Umat Islam saat ini terlalu terfokus dan terforsir membahas buku-buku beliau terkait akidah.
Ketiga, ulama pemberani. Beliau tidak segan-segan mengungkap secara terbuka apa yang menurutnya kebenaran. Baik dihadapan ulama maupun penguasa. Baik kawan maupun lawan. Sehingga penjara pun menjadi salah satu tempat tinggal beliau hingga akhir hayat akibat kevokalan beliau ini.
Keempat, ulama mujahid. Beliau adalah ulama yang memimpin pasukan Islam untuk menghadapi pasukan Tatar yang dikenal kejam dan brutal. Beliau berkeliling ke masjid-masjid di Damaskus mengobarkan semangat jihad kaum muslimin. Peperangan itu berakhir dengan kemenangan pasukan Islam. Sangat disayangkan kisah heroik beliau ini jarang dibahas oleh kaum muslimin saat ini.
Kelima, sufi sejati. Syaikh Abul Hasan menulis bab khusus tentang hal ini dengan tema "Ibnu Taimiyah Seorang yang Ma'rifat kepada Allah dan Muhaqiq". Syaikh Abul Hasan membukanya dengan kalimat: "Syaikhul Islam di mata umum dikenal sebagai ahli ilmu kalam, fuqaha, dan muhaddits besar. Lebih dari itu, orang yang banyak mempelajari buku-bukunya akan mengakui bahwa dia memang seorang ulama yang cerdas, berilmu luas, memiliki hujah yang kuat dan berperangai mulia. Orang yang mengenal Ibnu Taimiyah dari buku-buku para sejarawan atau dari sebagian murid-muridnya mungkin memandangnya tidak lebih dari seorang muhaddits yang kering dan hanya mengetahui ilmu-ilmu zhahir." Apa yang dikatakan Syaikh Abul Hasan itu sepertinya mewakili prasangka banyak orang, yaitu "Syaikhul Islam adalah ulama yang kering ruhani dan hanya mengetahui ilmu-ilmu zahir". Kemudian Syaikh Abul Hasan mengungkap secara panjang lebar fakta kesalahan prasangka itu.
Yang jelas, dari fakta-fakta itu tergambar bahwa sesungguhnya Syaikhul Islam adalah seorang ahli ibadah dan inabah, zuhud, salamatus shadr, tawadhu, yakin, tajam firasat dan memiliki karamah. Insya Allah pada kesempatan lain saya akan membahas tema ini.
Demikian resensi singkat buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah karya Syaikh Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi. Saya beruntung telah membaca buku yang luas dan adil ini. Maka semakin terang benderanglah siapa sesungguhnya Ibnu Taimiyah itu. Semoga Allah merahmati penulis dan orang yang ditulisnya. Aamiin.