Saya termasuk orang yang tidak setuju
menjelek-jelekkan ulama sebesar Imam Ibnu Taimiyah. Seperti misalnya kalangan
syiah dan sebagian ahlussunnah menjelek-jelekkannya dengan julukan dedengkotnya
wahabi. Bagi saya beliau adalah ulama ahlussunnah waljamaah. Adapun
kejelekannya yang banyak diungkapkan seperti mujasimah adalah fitnah yang
dihembuskan oleh orang-orang yang tidak menyukainya.
Kekurangannya, sebutlah demikian, adalah sikap kerasnya kepada
musuh-musuh syariat. Beliau berhadapan secara frontal tokoh-tokoh syiah,
wahdatul wujud, sejarawan yang menyimpang, pernah beliau meludahi buku sejarah
yang banyak mengandung penyimpangan, dan beliau juga pernah mengkritik kitab
Sibawaih yang dianggap "kitab sucinya" ahli bahasa dan mengatakan di
dalamnya terdapat 81 kesalahan. Hal ini membuat marah Imam Abu Hayyan yang
sebelumnya pernah memujinya. Semua itu, kritikan itu, selagi benar, adalah amar
ma'ruf nahi munkar beliau dalam menghentikan segala kemungkaran yang tampak
dihadapannya. Tapi mungkin saja sikap kerasnya itu dipandang lain, apalagi oleh
orang yang dari segi keilmuan berada dibawahnya.
Namun di sisi lain, beliau menunjukkan
sikap lemah lembut, tawadhu, banyak beribadah, Prof. Fazlur Rahman menyebut
beliau sebagai neo-sufi, sebagai julukan terhadap ulama yang memiliki citra
ruhani. Beliau pernah berkata, ”Jika dibenakku sedang berfikir suatu masalah,
sedangkan hal itu merupakan masalah yang muskil bagiku, maka aku akan beristighfar
seribu kali atau lebih atau kurang. Sampai dadaku menjadi lapang dan masalah
itu terpecahkan. Hal itu aku lakukan baik di pasar, di masjid atau di madrasah.
Semuanya tidak menghalangiku untuk berdzikir dan beristighfar hingga terpenuhi
cita-citaku.” Beliau juga pernah berkata, "Manusia tanpa dzikir seperti
ikan tanpa air."
Imam Ibnu Taimiyah meninggal penjara
Qal`ah Dimasyq disaksikan oleh salah seorang muridnya Imam Ibnul Qayyim, ketika
dia sedang membaca Al-Qur'an surah Al-Qamar yang berbunyi "Innal Muttaqina
fi jannatin wanaharin"
Tidaklah mengherankan di antara deretan
murid-muridnya adalah ulama-ulama Rabbani yang tidak diragukan lagi, sebut saja
misalnya Imam Ibnul Qayyim Al Jauziyah yang karyanya I'lamul Muwaqqin adalah
rujukan utama pemikiran banyak ulama besar, seperti pengakuan Syaikh Wahbah
Zuhaili. Beliau juga menelurkan masterpice dibidang tasawuf "Madarijus
Salikin". Lalu ada murid beliau yang lain seperti Imam Ibnu Katsir, pakar
tafsir dan sejarah yang tiada duanya, salah satu ulama besar mazhab syafi'i.
Ada juga ahli hadits dan sejarawan kenamaan seperti Imam Adz Dzahabi.
Bagaimana mungkin ulama seperti Imam Ibnu
Taimiyah mampu melahirkan generasi ulama-ulama Rabbani jika beliau sendiri
bukan seorang murabbi agung. Di antara orang yang membenci dan mencintainya
secara fanatik, saya adalah orang yang berusaha bersikap adil terhadapnya.
Sebagai penghormatan saya kepada para ulama besar, maka saya berkata apalah
saya ini. Khilafiyah di antara para ulama saya biarkan apa adanya tanpa perlu menghujat
di antara pendapat yang bertolak belakang dengan pendapat yang saya yakini.
Saya katakan, semua itu, perbedaan pada masalah-masalah furu, adalah rahmat
dari Allah yang bisa saja satu pendapat dapat dijadikan pegangan dimasa
tertentu, tapi dimasa lain pendapat yang lain lebih layak dijadikan pegangan.
Semoga Allah merahmati Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah
Syiah
Mengkambing hitamkan Ibnu Taimiyah
Saya terlibat diskusi dengan orang Syiah.
Kali ini semakin terlihat betapa dangkalnya pemikiran orang syiah. Hanya karena
mengutip perkataan Imam Ibnu Taimiyah, saya kemudian dituduh Wahabi oleh
mereka.
Pertama, keadaan mereka seperti pepatah
yang mengatakan, gajah dipelupuk mata tak tampak, semut di seberang lautan
tampak. Mereka meributkan perkataan Imam Ibnu Taimiyah yang hanya satu kutipan,
tapi anehnya tidak meributkan perkataan ulama-ulama lainnya seperti Imam
Syafi'i, Imam Malik, dan Imam Ahmad.
Mengapa? Karena mereka takut kalau mereka
menyerang para Imam Madzhab itu belang syiah mereka akan terlihat. Mereka
menyadari psikologis kaum muslimin saat ini yang sangat kuat berpegang kepada
imam madzhab yang empat. Menyerang 4 imam sama saja dengan menyerang ahlus
sunnah yang hakiki, meskipun pada dasarnya ahlus sunnah itu bukan hanya dari
empat imam saja.
Akhirnya mereka menyerang ulama yang
paling besar perbedaan pendapatnya dengan kalangan penganut akidah asyariyah
dan maturidiyah. Yaitu Imam Ibnu Taimiyah. Dengan demikian,serangan mereka
terhadap orang-orang yang anti syiah seolah dilancarkan oleh kaum ahlus sunnah
sendiri. Pada akhirnya sesama ahlus sunnah saling bentrok sendiri. Sementara
akar permasalahan tentang pemikiran Syiah tidak dikemukakan lebih lanjut.
Sampai disini, orang syiah berhasil membelokkan masalah yang sesungguhnya. Di
satu sisi, mereka tetap mengemukakan pemikirannya yang sesat, di sisi lain
mereka mengadu domba sesama kalangan ahlus sunnah.
Kedua, orang syiah memberi gelar orang
yang mengutip perkataan Ibnu Taimiyah dengan sebutan Wahabi. Saya heran, apa
hubungan langsung antara Ibnu Taimiyah dengan Wahabi? Seolah Ibnu Taimiyah itu
penganut Wahabi. Padahal Ibnu Taimiyah hidup sebelum pendiri "Wahabi"
itu hidup.
Kalau memang orang yang mengutip
perkataan Ibnu Taimiyah disebut Wahabi, tentu orang-orang Islam Liberal seperti
Prof. Fazlur Rahman dan Prof. Nurcholis Majid adalah penganut Wahabi. Prof.
Fazlur Rahman pernah memuji Ibnu Taimiyah dengan sebutan "neo sufism"
dan Prof. Nurcholis Majid menulis desertasi doktoralnya tentang pemikiran Ibnu
Taimiyah.
Orang-orang Jamaah Tabligh dengan
tokohnya seperti Syaikh Maulana Kandahlawi dalam bukunya banyak mengutip
perkataan Imam Ibnu Taimiyah dan Imam Ibnul Qayyim. Bahkan tokohnya yang lain,
yakni Syaikh Abul Hasan An-Nadwi menulis buku biografi tentang Imam Ibnu
Taimiyah. Sementara itu dikalangan Wahabi itu sendiri, Jamaah Tabligh sering
dikritik sebagai jamaah yang banyak bid'ahnya.
Begitupun dengan Jamaah Ikhwanul Muslimin
yang banyak dikritik dan dihujat oleh kalangan Wahabi, banyak mengutip
pemikiran Imam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya.
Kesimpulannya, Imam Ibnu Taimiyah adalah
milik kaum muslimin. Bukan milik orang-orang Wahabi semata. Murid-murid Imam
Ibnu Taimiyah di antaranya: Imam Ibnul Qayyim Al-Jauziyah, Imam Ibnu Katsir,
Imam Ibnu Rajab, dan Imam Adz Dzahabi. Banyak karya-karya Imam Ibnul Qayyim
condong pada tasawuf seperti kitab Madarijus Salikin, Ighatsul Lahfan dan Al Jawabul
Kafi. Imam Ibnu Katsir terkenal dengan karyanya Tafsir Ibnu Katsir dan Al
Bidayah wan Nihayah yang dijadikan rujukan seluruh kaum ahlussunnah tidak
terkecuali. Begitupun Imam Adz Dzahabi dikenal sebagai ahli hadits yang diakui
oleh para ulama ahlussunnah.
Resensi
Singkat Buku Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
Saya mendapatkan buku ini ketika saya
duduk dikelas 1 SMA. Yaitu sekitar tahun 1995/1996. Ketika baru pertama kali
mendapatkannya, saya sangat antusias membacanya hingga berhasil
mengkhatamkannya tidak hanya sekali. Saya terbantu dengan terjemahannya yang
bagus sehingga membuat saya yang awam ini mudah memahaminya. Alhamdulillah
ketika orang lain saat ini bingung tentang siapa itu Ibnu Taimiyah, saya sudah
mendapat gambaran yang jelas tentang diri beliau sejak lama melalui buku ini.
Mengapa buku ini? Pertama, buku ini
ditulis oleh Syaikh Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi, ulama besar asal India.
Nasab beliau sampai kepada Hasan bin Ali bin Abi Talib r.a. Beliau terkenal
lewat bukunya "Maza khasiral alam bi inhitatil Muslimiin" (Apakah
Kerugian Dunia Akibat Kemunduran Umat Islam) yang telah dipuji banyak ulama
sebagai karya yang patut dibaca dan juga telah diterjemahkan ke dalam banyak
bahasa. Karya tersebut telah mengantarkan beliau untuk mendapatkan The King
Faishal International Award pada tahun 1980 bersama Dr. Muhammad Natsir (mantan
PM Indonesia).Di dalam buku tersebut tergambar betapa luasnya wawasan beliau.
Sehingga saya memberi kesimpulan bahwa beliau seorang ulama yang berilmu luas
dan seorang adib (penulis) yang cakap.
Al Allamah DR Yusuf al-Qaradhawi berkata
tentang diri Syaikh Abul Hasan Ali An Nadwi: “Saya mengenali kepribadiannya dan
juga karya-karyanya. Saya mendapati pada dirinya hati seorang muslim yang
sejati dan pemikiran Islam yang asli. Saya mendapati beliau senantiasa hidup
dengan Islam dan untuk Islam. Saya kira bukan saya saja yang mencintainya
tetapi semua orang yang mengenalinya pasti mencintainya, bahkan siapa saja yang
lebih mengenalinya pasti akan bertambah kecintaan terhadapnya.”
Kedua, buku "Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah" dikatakan beliau dalam mukadimahnya adalah buku pertama dalam
edisi bahasa Inggris yang demikian rinci dan detail sehingga mendapatkan
sambutan positif dari kalangan ilmuwan, peminat pendidikan Islam, dan pengamat
sejarah.
Syaikh Muhammad Abu Zahrah, ulama besar
Mesir, salah satu ulama yang mendorongnya untuk menulis bahasan ini. Padahal
Syaikh Abu Zahrah sendiri dikenal sebagai seorang ulama yang telah banyak menulis
sejarah tokoh-tokoh Islam. Dorongan ini menunjukkan bahwa sesungguhnya Syaikh
Abul Hasan sangat fakih dalam menulis sejarah tokoh Islam.
Ketiga, hubungan beliau yang akrab di
antara banyak ulama lintas mazhab, jamaah dan harokah menunjukkan pergaulan
beliau yang luas dan bisa jadi hal ini membuat beliau dapat lebih arif dan
objektif dalam menulis tanpa memusuhi satu kelompok tertentu. Beliau dekat
dengan Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Al Azhar, hingga salafiyun. Dalam
Jamaah Tabligh beliau adalah murid dan sahabat Syaikh Ilyas Al Kandahlawy.
Dalam Ikhwanul Muslimin beliau adalah ulama yang disegani. Dalam buku
"Mereka yang Telah Pergi" terlukis bagaimana kecintaan jamaah
Ikhwanul Muslimin terhadap diri beliau. Dalam Al Azhar beliau adalah sahabat karib
ulama-ulama Al Azhar utamanya Syaikhul Azhar Abdul Halim Mahmud. Dalam salafi
beliau adalah pengurus Rabithah Alam Islami di Makkah dan Majelis Pertimbangan
Universitas Islam Madinah.
Jadi, menurut saya, dalam buku Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah ini, Syaikh Abul Hasan mampu menulisnya secara menyeluruh,
adil dan objektif. Mengupasnya secara mendetail dan mengungkapnya tanpa ragu.
Dari buku ini saya memperoleh kesimpulan tentang sosok Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah sebagai berikut:
Pertama, Syaikhul Islam bermadzhab
Hanbali tetapi beliau tidak sepenuhnya taklid padanya bila memiliki pendapat
yang menurutnya benar.
Kedua, ulama yang cerdas, berilmu luas
dan mendalam. Untuk mengetahui masalah yang sesungguhnya, beliau mempelajarinya
hingga paham dan ahli. Disamping ilmu-ilmu syar'i, beliau juga menguasai ilmu
filsafat, sejarah, logika, dan ilmu-ilmu sosial. Bahkan beliau ternyata sangat
pakar dibidang Kristologi. Buku Al Jawab Ash Shahih yang terdiri dari 4 jilid
menunjukkan hal itu yang menurut Syaikh Abu Zahrah adalah karya beliau yang
utama untuk dipelajari. Namun sayang, keilmuan beliau yang luas ini kurang
begitu mendapat perhatian. Umat Islam saat ini terlalu terfokus dan terforsir
membahas buku-buku beliau terkait akidah.
Ketiga, ulama pemberani. Beliau tidak
segan-segan mengungkap secara terbuka apa yang menurutnya kebenaran. Baik
dihadapan ulama maupun penguasa. Baik kawan maupun lawan. Sehingga penjara pun
menjadi salah satu tempat tinggal beliau hingga akhir hayat akibat kevokalan
beliau ini.
Keempat, ulama mujahid. Beliau adalah
ulama yang memimpin pasukan Islam untuk menghadapi pasukan Tatar yang dikenal
kejam dan brutal. Beliau berkeliling ke masjid-masjid di Damaskus mengobarkan
semangat jihad kaum muslimin. Peperangan itu berakhir dengan kemenangan pasukan
Islam. Sangat disayangkan kisah heroik beliau ini jarang dibahas oleh kaum
muslimin saat ini.
Kelima, sufi sejati. Syaikh Abul Hasan
menulis bab khusus tentang hal ini dengan tema "Ibnu Taimiyah Seorang yang
Ma'rifat kepada Allah dan Muhaqiq". Syaikh Abul Hasan membukanya dengan
kalimat: "Syaikhul Islam di mata umum dikenal sebagai ahli ilmu kalam,
fuqaha, dan muhaddits besar. Lebih dari itu, orang yang banyak mempelajari
buku-bukunya akan mengakui bahwa dia memang seorang ulama yang cerdas, berilmu
luas, memiliki hujah yang kuat dan berperangai mulia. Orang yang mengenal Ibnu
Taimiyah dari buku-buku para sejarawan atau dari sebagian murid-muridnya
mungkin memandangnya tidak lebih dari seorang muhaddits yang kering dan hanya
mengetahui ilmu-ilmu zhahir." Apa yang dikatakan Syaikh Abul Hasan itu
sepertinya mewakili prasangka banyak orang, yaitu "Syaikhul Islam adalah
ulama yang kering ruhani dan hanya mengetahui ilmu-ilmu zahir". Kemudian
Syaikh Abul Hasan mengungkap secara panjang lebar fakta kesalahan prasangka
itu.
Yang jelas, dari fakta-fakta itu
tergambar bahwa sesungguhnya Syaikhul Islam adalah seorang ahli ibadah dan
inabah, zuhud, salamatus shadr, tawadhu, yakin, tajam firasat dan memiliki
karamah. Insya Allah pada kesempatan lain saya akan membahas tema ini.
Demikian resensi singkat buku Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah karya Syaikh Abul Hasan Ali Al Hasani An Nadawi. Saya
beruntung telah membaca buku yang luas dan adil ini. Maka semakin terang
benderanglah siapa sesungguhnya Ibnu Taimiyah itu. Semoga Allah merahmati
penulis dan orang yang ditulisnya. Aamiin.