Sepandai-pandai tupai
melompat, pasti kan terjatuh juga. Pepatah ini adalah hal pertama yang melintas
dalam pikiran saya ketika membaca tulisan bapak Haidar Bagir di harian
Republika (20/1/2012) dengan judul:Syiah dan Kerukunan Umat.
Bapak Haidar Bagir dengan segala daya dan upayanya
berusaha menutupi beberapa ideologi Syiah yang
menyeleweng dari kebenaran. Walau demikian, tetap saja ia tidak dapat
melakukannya. Bahkan bila Anda mencermati dengan seksama, niscaya Anda dapatkan
tulisannya mengandung pengakuan nyata akan kesesatan sekte Syiah Imamiyyah.
Berikut saya ketengahkan ke hadapan Anda tiga pengakuan
terselubung bapak Haidar Bagir.
Pengakuan Pertama:
Data Syiah Imamiyah tentang ideologi adanya Alquran versi
Syiah begitu melimpah dalam berbagai referensi Syiah. Wajar bila Bapak Haidar
Bagir tidak menemukan cara untuk mengingkarinya. Fenomena ini mengharuskannya
menempuh cara selain menutupinya. Dan ternyata Bapak Haidar Bagir lebih memilih
cara mengesankan bahwa data tersebut adalah pendapat pribadi sebagian tokoh
Syiah Imamiyah.
Karenanya, dengan jelas tulisan bapak Haidar Bagir ini
mengandung pengakuan tentang kebenaran adanya Alquran versi Syiah Imamiyyah.
Berdasarkan pengakuannya ini, Anda mendapat kepastian tentang adanya ideologi
Alquran versi Syiah Imamiyyah.
Adapun klaim bapak Haidar bahwa ideologi ini adalah
ideologi sebagian oknum Syiah, maka itu menyelisihi fakta yang ada. Sebagai
salah satu buktinya, Ayatullah Khomeini, yang mereka anggap sebagai Wali Faqih,
dan tokoh terkemuka Syiah Imamiyah zaman ini teryata masih mengajarkannya.
Dalam kitabnya Kasyful Asrar Hal. 149 Al
Khomeini menyatakan: “Telah kami buktikan pada awal pembahasan ini,
bahwa Nabi menahan diri dari membicarakan masalah al imaamah
(kepemimpinan) dalam Alquran. Alasannya beliau khawatir Alquran akan
diselewengkan, atau timbul perselisihan yang sengit di tengah-tengah kaum
muslimin, sehingga hal itu berakibat buruk bagi masa depan agama Islam.”
Adapun keberadaan Mushaf Utsmani di tengah-tengah para
penganut Syiah Imamiyah, maka itu belum cukup kuat untuk mengingkari adanya
mushaf Fatimah dalam ideologi Syiah. Yang demikian itu karena tokoh Syiah
Imamiyah sejak dahulu mengajarkan agar para pengikut mereka untuk sementara
membaca Alquran yang ada, hingga masa bangkitnya Imam ke-12 mereka.
Menurut mereka, hanya Imam Mahdi merekalah yang masih menyimpan dan kelak akan
mengajarkannya kembali kepada para pengikutnya.
Al Kulaini dalam kitanya Al Kafi 2:619,
meriwayatkan bahwa Abu Hasan Ali bin Musa Ar Ridha, bertanya kepada Imam Syiah
ke-5, yaitu Abu Ja’far Muhammad bin Ali bin Al Husain, “ Semoga aku menjadi
penebusmu, kita mendengar ayat-ayat Alquran yang tidak ada pada Alquran kita
ini. Kita juga tidak dapat membacanya sebagaimana yang kami dengar dari Anda,
maka apakah kami berdosa?” Beliau menjawab, “Tidak, bacalah sebagaimana yang
pernah kalian pelajari, karena suatu saat nanti akan datang orang yang
mengajarkannya kepada kalian.”
Adapun klaim bapak Haidar tentang tokoh-tokoh Ahlusunnah
yang menyatakan adanya perubahan pada Alquran, adalah klaim sepihak dan kosong
dari bukti. Pernyataan sahabat Umar bin Al Khatthab juga yang lainnya tentang
ayat rajam adalah penjelasan tentang adanya ayat yang dianulir secara bacaan.
Walaupun secara hukum, ayat-ayat tersebut masih tetap berlaku.
Sebagaimana ulama-ulama Ahlusunnah juga menegaskan bahwa
dalam Alquran terdapat beberapa ayat-ayat yang kandungan hukumnya telah
dihapuskan walau secara bacaan masih tetap ada. Fakta ini bukanlah hal
aneh, karena telah dijelaskan pada ayat 106, surat Al Baqarah.
Namun tentu syariat nasikh (anulir)
suatu ayat menurut Ahlusunnah menyelisihi ideologi perubahan Alquran dalam
doktrin Syiah Imamiyah. Nasikh menurut Ahlusunnah hanya
terjadi semasa hidup Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Adapun
sepeninggal beliau maka tidak terjadi nasikh.
Ditambah lagi menurut syariat Ahlusunnah,
hingga hari kiamat tidak ada yang mengembalikan ayat-ayat yang
semasa Nabi hidup shallallahu ‘alaihi wa sallammansukh (dianulir).
Sedangkan menurut sekte Syiah Imamiyyah Alquran mengalami
perubahan sepeninggal Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan
kelak ayat-ayat yang dirubah sepeninggal beliau akan dikembalikan lagi oleh
imam mereka ke-12. Karena itu, sekte Syiah senantiasa menantikan kehadiran
sosok tersebut, yang mereka yakini sebagai Imam Mahdi.
Pengakuan Kedua :
Pada awal tulisan, Bapak Haidar mengklaim bahwa celaan
Syiah terhadap sahabat hanyalah sebatas kecenderungan dan bukan ajaran.
Menurutnya, Syiah yang mencela sahabat Khalifah Abu Bakar, Umar, Utsman, dan
juga sebagian istri Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam hanyalah
minoritas.
Selanjutnya Bapak Haidar berusaha menguatkan klaim ini
dengan menyebutkan sekte Syiah Zaidiyah. Menurutnya sekte Zaidiyah menerima
kekhilafahan sahabat Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Penuturan ini adalah bukti nyata bahwa Bapak Haidar telah
memutar balikkan fakta. Sejatinya Bapak Haidar Bagir-lah yang telah menggunakan
data syadz (ganjil) guna mendukung kesimpulanya. Karena sekte
Zaidiyah adalah sekte minoritas Syiah, sedangkan meyoritas Syiah saat ini
adalah para pengikut sekte Imamiyyah.
Terlebih lagi, adanya pengakuan terhadap kekhilafahan sahabat
Abu Bakar, Umar, dan Utsman adalah alasan Imamiyah mengucilkan sekte Zaidiyah.
Adapun beberapa tokoh Syiah Imamiyyah yang disebut oleh
bapak Haidar telah mengakui kekhilafahan ketiga sahabat di atas, maka saya
tidak ingin banyak mempersoalkannya. Saya hanya ingin bertanya: apakah
pengakuan tersebut diamini oleh tokoh Imamiyyah yang lain dan kemudian
diterapkan oleh seluruh penganut Imamiyah?
Fakta yang terjadi di lapangan membuktikan bahwa pengikut
Syiah imamiyah tetap saja melaknati ketiganya dan juga lainnya. Kasus sampang
dan berbagai kasus serupa di negri kita adalah salah satu buktinya. Karena itu
Abu Lukluah Al Majusi aktor pembunuh Khalifah Umar bin Khatthab diagungkan oleh
sekte Imamiyah sehingga mereka menjulukinya dengan Baba Suja’uddin.
Dan sebagai apresiasi atas jasanya membunuh Amirul Mukminin Umar bin Al
Khatthab, mereka membangun kuburannya dengan megah.
Pengakuan Ketiga:
Kebesaran jiwa ulama-ulama Ahlusunnah dan juga seluruh
Ahlusunnah untuk menghentikan kemungkaran yang dilakukan oleh dinasti
Abbasiyah. Sehingga mereka semua patuh dan mengapresiasi sikap Khalifah Umar
bin Abdul Aziz yang menginstruksikan hal tersebut. Dan alhamdulillah hingga
kini, hal tersebut sirna dan tidak ada yang melakukannya kembali.
Namun hal serupa hingga saat ini tidak kuasa dilakukan
oleh para penganut ajaran Syiah Imamiyah. Sehingga walaupun para aktor
sandiwara taqrib telah menyerukannya, namun tetap saja di
lapangan para penganut Syiah terus mencaci sahabat-sahabat Nabi. Sikap Yasir Al
Habib beserta para pengikutnya dan juga Syiah di Sampang adalah bukti nyata,
bahwa seruan tersebut hanyalah seruan tanpa pembuktian.
Pengakuan bapak Haidar ini, dapat menjadi bukti nyata
bahwa hanya dengan mengikuti ajaran Ahlusunnahlah kedamaian antar komponen umat
Islam dapat terwujud. Adapun ajaran Syiah, terlebih Imamiyyah, hingga saat ini
terus menjadi biang terjadinya permusuhan bahkan perang saudara di
tengah-tengah umat Islam. Sikap pasukan Al Hutsi di Yaman yang menyerang
Ahlusunnah di daerah Dammaj, dan juga pasukan Al Mahdi di Irak yang membantai
Ahlusunnah adalah bukti nyata akan hal tersebut.
Pengakuan Keempat :
Bapak Haidar Bagir juga mengakui bahwa sekte Syiah yang
selama ini menjadi biang kericuhan umat Islam adalah Syiah Imamiyah atau Itsna
’Asyariyah. Karena itu beliau merasa perlu untuk mengutarakan adanya perubahan
pandangan tentang keabsahan khilafah sahabat Abu Bakar, Umar, dan Utsman.
Walau demikian, ada satu fakta yang mungkin kurang
diwaspadai oleh bapak Haidar Bagir. Mengakui adanya perubahan ini sejatinya
adalah pengakuan bahwa ideologi Imamah versi Imamiyyah adalah sesat. Andai
tidak sesat, buat apa beliau perlu mengutarakan adanya ralat yang dilakukan
oleh sebagian tokoh sekte Imamiyah?
Terlebih sejatinya ideologi bahwa imam (penguasa umat)
dalam Islam hanya berjumlah 12 orang, adalah ideologi tidak nyata dan tidak
masuk akal. Anda pasti telah mengetahui bahwa dari kedua belas imam Syiah yang
benar-benar pernah mengenyam sebagai khalifah hanyalah sahabat Ali bin Abi
Thalib dan putranya Hasan.
Adapun Husein beserta anak cucunya, maka hingga mereka
meninggal dunia, tidak seorang pun yang sempat menjadi pemimpin. Sehingga
berbagai dalil yang mereka yakini tentang keimaman mereka benar-benar
menyelisihi fakta.
Secara defacto seluruh ahli sejarah
sepakat bahwa Hasan bin Abi Thalib telah menyerahkan khilafah (kekuasaan)
kepada sahabat Mu’awiyah. Dan tahun terjadinya serah terima khilafah ini
akhirnya dikenal dan diabadikan oleh umat Ahlusunnah hingga akhir masa.
Sehingga mereka menyebut tahun tersebut dengan sebutan ‘aamul jama’ah (tahun
persatuan).
Setiap Ahlusunnah bergembira dengan kejadian ini.
Ahlusunnah menganggap sikap Hasan ini sebagai jasa terbesar yang beliau lakukan
untuk umat Islam. Bahkan Ahlusunnah hingga saat ini meyakini bahwa sikap Hasan
ini sebagai wujud nyata dari sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentangnya,
“Sejatinya putraku ini adalah seorang pemimpin, dan
semoga dengannya Allah menyatukan dua kelompok besar dari umat Islam.” (HR.
Bukhari)
Namun tahukah Anda bahwa Ahlusunnah yang mengapresiasi
kebesaran jiwa Hasan ini ternyata tidak diteladani oleh penganut Syiah.
Beberapa referensi Syiah malah menukilkan sikap yang berlawan arah. Beberapa
tokoh Syiah malah menganggap sikap Hasan ini sebagai bentuk pengkhianatan.
Pada suatu hari, seorang tokoh Syiah bernama Sufyan
bin Laila berkunjung ke rumah Hasan bin Ali. Didapatkan beliau sedang
duduk-duduk sambil berselimut di depan rumahnya. Spontan Sufyan bin Laila
mengucapkan salam kepada Hasan dengan berkata, “Semoga keselamatan
atasmu, wahai orang yang telah menghinakan kaum mukminin!” Karena merasa
ganjil dengan ucapan selamat yang disampaikan oleh Sufyan, Hasan bertanya,
“Darimana engkau mengetahui hal itu?” Ia menjawab, “Engkau telah memangku
kepemimpinan, lalu engkau melepaskannya dari bahumu. Selanjutnya engkau
sematkan kepemimpinan itu di bahu penjahat ini agar ia leluasa menerapkan hukum
selain hukum Allah.”
Kisah ini bisa Anda temui pada beberapa refensi agama
Syiah, semisal: Al Ikhtishashkarya As Syeikh Al Mufid wafat thn:
413 H, Hal.82, Ikhtiyaar Ma’rifat Ar Rijal, karya As Syeikh At
Thusi wafat thn: 460, Hal. 1:327 dan Biharul Anwar karya
Muhammad Baqir Al Majlisi wafat thn: 1111 H, Hal.44:24.
Sejak serah terima khilafah antara sahabat Hasan kepada
sahabat Mu’awiyah ini, tidak seorang pun dari keturunan sahabat Ali bin Abi
Thalib yang memangku jabatan khalifah. Bahkan Husein bin Abi Thalib yang hendak
merebut khilafah dari Yazid bin Mu’awiyah, menemui kegagalan dan terbunuh
sebelum sempat mendapatkannya. Tak ayal lagi, ia hidup tanpa imamah, hingga
akhir hayatnya, demikian pula nasib seluruh anak cucunya. Dengan demikian
kesepuluh imam Syiah Imamiyyah setelah Hasan berstatus Kings Without A
Kingdom.
Ini adalah bukti nyata bahwa meyakini keimamahan
kesepuluh imam sekte Imamiyah adalah kekeliruan, karena menyelisihi fakta.
Sehingga wajar bila seluruh Ahlusunnah dan juga setiap yang berakal sehat tanpa
terkecuali umat Islam di negri kita tercinta ini menolak ideologi Syiah
Imamiyyah.
Ditulis oleh Dr. Arifin Baderi (Dewan Pembina Konsultasi Syariah)
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
Artikel www.KonsultasiSyariah.com
About The Author:
Dr. Muhammad Arifin, M.A. Dosen Tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan anggota Pembina Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI).
Dr. Muhammad Arifin, M.A. Dosen Tetap STDI Imam Syafii Jember, dosen terbang Program Pasca Sarjana jurusan Pemikiran Islam Program Internasional Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), dan anggota Pembina Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI).
baca makalah berikut :